Gereja Lintas Agama : Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan

advertisement
BAB III
Allah juga Bergerak Berbelok-Belok
Choan-seng Song
Pengantar
Dengan judul ini, kita akan mulai membahas
pemikiran Choan-seng Song, teolog terkemuka Asia
asal Taiwan yang bukunya banyak diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh BPK Gunung Mulia.
Judul ini juga kami kutip dari pernyataan Song karena
kami berpendapat bahwa judul ini bukan hanya
mengejutkan, tetapi juga mengandung jawaban
terhadap pertanyaan yang sedang kita gumuli:
“Apakah menjadi murid berarti seseorang mesti
menjadi anggota gereja institusional? Tidak dapatkah
seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam
agamanya sendiri?”
Biografi dan Karya-Karya Song
Choan-seng Song adalah professor teologi dan
budaya Asia di Pacific School of Religion, Barkeley
dan Regional Professor of Theology di South East Asia
Graduate School of Theology di Singapura dan Hong
Kong. Ia pernah menjadi salah seorang Direktur
Komisi Iman dan Tata Gereja Dewan Gereja-Gereja seDunia (DGD/WCC).
Gereja Lintas Agama
121
Song adalah seorang penulis yang kreatif dan
produktif. Tulisan-tulisannya berupa artikel dimuat
dalam banyak jurnal, secara khusus Asia Journal
Theology dan East Asia Journal Theology. Selain itu ia
juga menerbitkan buku-buku dalam bahasa Inggris.
Beberapa buku itu sudah diterjemahkan ke dalam
bahsa Indonesia, yakni: Sebutkanlah Nama-Nama
Kami. Allah Yang Turut Menderita. Yesus dan
Pemerintahan Allah.
Ada tiga keprihatinan utama Choan-seng Song
yang mewarnai karya-karyanya. Kami mencatat ketiga
point ini di awal anjangsana kita ke dalam pemikiran
Song sebagai penegasan bahwa inilah konteks
pemikiran teologi.
Pertama, perhatiannya yang besar terhadap
agama-agama dunia yang semuanya berasal dari Rahim
Asia. Betapapun Song beragama Kristen, tetapi jauh
dari dirinya untuk mengklaim kekristenan sebagai
agama yang sempurna dan unggul. Seperti yang akan
122
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
kita dalami nanti, Song melihat agama-agama sebagai
jalan-jalan yang berbeda, tetapi yang mengarah kepada
tujuan yang sama. Teologi atau refleksi Kristen tentang
Allah memang harus bertolak dari satu keyakinan
religius (agama) tertentu, tetapi ia akan jatuh dalam
bahaya mengkarikaturkan Allah jika Allah diklaim
hanya sebagai milik dari agama tersebut.
Kedua, dalam karya-karyanya kita justru
menemukan betapa besar kecintaan Song terhadap
budaya
dan
pengalaman-pengalaman
spiritual
manusia. Song secara asal-usul adalah seorang Cina
kelahiran Taiwan. Sekarang ia tinggal dan bekerja di
Amerika. Pengalaman lintas budaya ini membuat dia
arif memahami tempat budaya dalam pemaknaan
kehidupan.
Berbeda dengan teologi tradisional selama
berabad-abad dalam kekristenan yang memandang
agama-agama non Kristen dan budaya masyarakat dari
dunia di luar Eropa dan Amerika Utara secara negatif,
Song justru mencurahkan seluruh energinya untuk
memperlihatkan bahwa penilaian negatif itu
sesungguhnya lebih merupakan arogansi filosofi dan
kebudayaan Barat. Penilaian negatif itu berseberangan
jalan dengan hakikat agama-agama non Kristen dan
kebudayaan masyarakat dunia ketiga dilihat dari
perspektif penyataan Allah di dalam Kristus
sebagaimana disaksikan dalam Alkitab: Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru.
Gereja Lintas Agama
123
Song karena itu termasuk dalam salah satu juru
bicara teologi yang menyuarakan kesetaraan dan
sepadanan agama-agama dan budaya manusia sebagai
sumber-sumber otentik bagi upaya menjajaki dan
mengalami makna Allah bagi penderitaan dan
pengharapan manusia. “Agama-agama dan budaya
manusia,” kata Song, “bukanlah sekedar faktor-faktor
kebetulan dalam sejarah sehingga dapat dibuang
semau-maunya.”1
Ketiga, situasi kemiskinan dan ketidakadilan
yang menjadi nasib tak terelakkan dari sebagian besar
penduduk dunia, dengan jumlah terbesar dari mereka
ada di Asia juga menjadi masalah yang tak hentihentinya digumuli Song dalam karya-karyanya.
Singkatnya: kepelbagaian agama, keberagaman budaya
dan situasi kemiskinan serta penderitaan umat
manusia merupakan darah dan daging dari
perenungan-perenungan Song akan Allah dan
maknaNya bagi kehidupan manusia.
Misi atau Pekabaran Injil
Perkenankan
kami
mulai
membahas
pemahaman Song tentang pekerjaan misi atau
pekabaran Injil gereja dengan mengutip pendapat Song
ini: “Kita harus menolak cobaan untuk menjadikan
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 1995. hlm. 71.
1
124
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Kristen segala sesuatu yang kita lihat dan sentuh.”2
Pernyataan Song ini bukan sebuah spontanitas, keluar
begitu saja. Tidak! Pernyataan ini ada konteksnya, ada
sebabnya yakni paham dan praktek
misi atau
pekabaran Injil yang pernah dan sedang berlangsung
dalam gereja.
Misi atau pekabaran Injil yang berlangsung
dalam gereja selama dua millennium yang sudah
berlalu, demikian ditunjukkan Song, adalah memaksa
orang-orang yang telah dimenangkan bagi Kristus dan
daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh para
misionaris
menjadi Kristen. “Misi Kristen pada
hakikatnya adalah suatu misi pengkristenan.3 Para
pekabar Injil datang kepada bangsa-bangsa dan
berusaha mengubah nama-nama pribumi dengan
nama-nama Kristen dan membuang nama-nama
pribumi mereka bersama dengan semua keyakinan dan
nilai-nilai kekudusan dan kemanusiaan yang mereka
miliki. Semua hal yang tidak bernuansa Kristen
dianggap tidak layak dan tidak pantas.
Tidak ada sama sekali keinginan, usaha apalagi
agenda dari para pekabar Injil untuk berkenalan
dengan agama bangsa-bangsa itu. Doa-doa dan
meditasi yang dinaikan kepada Allah dengan hati yang
murni dan penuh penyerahan diri, ritus dan ibadah
yang diselenggarakan secara tetap sebagai bentuk
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 1989. hlm. 64.
3
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 7.
2
Gereja Lintas Agama
125
penyembahan akan keagungan dan kebesaran Allah
dianggap sebagai sampah.
Nyanyian-nyanyian
pemujaan dari umat beragama non-kristen hanya
dilihat sebagai sumber kebisingan yang mengganggu.
Misi atau pekabaran Injil hanya memiliki satu agenda:
mentobatkan mereka ke dalam kekristenan.
Song mendeskripsikan paham dan praktek misi
yang dilakoni para misionaris selama ini dalam kalimat
berikut: “Kami minta kalian menerima Yesus sebagai
juruselamat kalian, sebagaimana kami mengerti dan
menghayatiNya dari Alkitab kami, dari sejarah Kristen
kami, dan dari budaya Kristen kami, dan bukan
sebagaimana kalian memahaminya dari sejarah kalian,
agama dan kebudayaan kalian… kami mempunyai
sesuatu yang lebih baik untuk kalian.”4
Ada dua permasalahan yang terkandung dalam
paham dan praktek misi seperti yang tergambar di atas.
Pertama, misi atau pekabaran Injil diartikan sebagai
penyebaran dan perluasan kekristenan serta budaya
dan peradaban dari si pewarta Injil, bukan lagi
pemberitaan firman Allah dan proklamasi nama Yesus.
Pembiasan ini sudah disadari. Pada bulan Mei 1980
orang Kristen dari pelbagai belahan bumi yang
bergabung dalam WCC bertemu di Melbourne. Di situ
mereka menegaskan hal berikut:5
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
11.
5
Dikutip dari Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama
Kami. hlm. 7.
4
126
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Misi kita adalah menyampaikan firman Allah,
menyebut nama Yesus Kristus, agar seluruh umat
manusia boleh menjawab panggilan Tuhan kita
di hadiratNya dan berpaling kepadaNya.
Hal serupa kembali ditegaskan beberapa
misionaris Jerman sebagai refleksi terhadap pekerjaan
pekabaran Injil mereka di Papua. “Tugas missioner
kami adalah untuk memberitahukan kepada manusia
akan adanya tawaran keselamatan melalui rahmat
Allah dalam Yesus Kristus. Tugas kami adalah
membagikan kartu undangan untuk beriman kepada
Yesus Kristus. Kami berbahagia jika ada yang ikut
dengan kami, dan kami juga tidak kecewa jika ada
orang yang dengan alasan tertentu tidak ikut
bergabung. Mereka semua anak-anak Allah. Kami
tidak memberitakan adanya Allah baru, karena kami
percaya bahwa hanya ada satu Allah.”6
Kedua, misi yang dipahami sebagai penyebaran
dan perluasan kekristenan mengandaikan bahwa
agama Kristen adalah agama yang benar, absolut dan
unggul. Agama-agama non Kristen adalah palsu dan
para pemeluknya bakal diusir dari rumah Sang Bapa.
Paling bagus mereka hanya akan dijadikan tukang cari
kayu dan tukang timba air dalam rumah sang Bapa.
Fidon R. Mwonbeki. Dalam: Joane Beuker, dkk. Identitas
di dalam Krisis. West Papua Netzwerk. Tanpa Tahun. hlm.
6
16.
Gereja Lintas Agama
127
Pandangan seperti ini sungguh mengerikan.
Song lalu berkisah tentang Lin Yutang, seorang
perempuan Kristen Cina yang memutuskan untuk
menjadi seorang kafir karena tidak tahan mendengar
cap kafir yang dikenakan para misionaris kepada
tradisi rakyat dan mitologi-mitologi bangsanya. Lin
Yutang mengaku bahwa pemberontakannya itu bukan
terhadap Yesus, tetapi terhadap misi Kristen yang
bertujuan kristenisasi.7
Inilah konteks dari pernyataan Song yang kita
kutip tadi: “Kita harus menolak`cobaan untuk
menjadikan Kristen segala sesuatu yang kita lihat dan
sentuh.” Kalau begitu, apa sesungguhnya yang harus
kita lakukan dalam misi atau pekabaran Injil? Jawaban
Song untuk pertanyaan ini adalah sebagai berikut:8
Misi
Kristen
tidak perlu menjadi misi
pengkristenan. Tugas orang Kristen bukan untuk
membaptiskan setiap orang dan segala sesuatu
dengan nama Kristen. Memberitakan kabar baik
dalam Kristus tidak sama dengan mengkristenkan
dunia dengan sistem-sistem kepercayaan Kristen,
asumsi-asumsi doktriner Kristen atau nilai-nilai
kebudayaan Kristen. …. Misi Kristen yang
menuntut perubahan seperti itu, berlawanan
dengan Injil inkarnasi.
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
13.
8
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
18.
7
128
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Inti kabar baik, kata Song, adalah: “Allah
mengenal kita satu per satu dengan nama kita masingmasing. Allah mengenal kita dengan baik sekali,
sehingga Ia menjadi salah seorang dari kita di dalam
Yesus Kristus. Bukankah ini inti Injil?” Misi atau
pewartaan Injil bukanlah untuk mentobatkan orang ke
dalam kekristenan, tetapi memberitahukan kepada
setiap orang bahwa Allah mengenal mereka satu per
satu dengan nama masing-masing, tentu saja dengan
tujuan supaya masing-masing mereka menjalani hidup
dalam pengucapan syukur kepada Allah menurut nilainilai yang dikenal dalam agama dan budayanya.
Inti sari Injil ialah: Allah mengenal manusia
satu persatu dengan nama masing-masing, apapun juga
agama dan keyakinan religiusnya. Keselamatan yang
dikerjakan Allah di dalam Kristus diperuntukan bagi
setiap mereka. Song menulis: “Tidak ada bangsa yang
dikecualikan dari kasih Allah yang menyelamatkan,
tak satupun, bahkan tidak juga mereka yang jahat,
diabaikan di luar kasih yang ikut menderita.”9 Song
menyebut ini sebagai rahasia misi yang harus
dipelajari, diselidiki dan diungkapkan oleh misi
Kristen.
Rahasia yang Song maksudkan adalah
kenyataan bahwa bukan orang Kristen atau para
pewarta Injil yang membawa Allah kepada bangsabangsa non-kristen di Asia dan Afrika. Allah
sendirilah yang memperkenalkan orang Kristen
9
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 71.
Gereja Lintas Agama
129
kepada saudara-saudaranya di Asia dan Afrika.10 Ini
mengandaikan bahwa bukan gereja yang memulai misi
di dalam dunia, melainkan Allah. Dunia telah menjadi
ladang misi Allah sebelum gereja dipanggil melayani
pekerjaan misi. Dan dunia tidak pernah berhenti
sebagai ladang misi Allah setelah gereja turut ambil
bagian dalam misi tersebut. Dalam melakukan
pekerjaan misi atau pekabaran Injil, gereja tidak
menggantikan Allah atau membuat Allah beristrahat
apalagi pensiun.
Keikutsertaan gereja dalam pekerjaan misi
yang telah dimulai Allah justru membuat Allah
semakin sibuk. Allah harus meneruskan misi
penyelamatanNya di tempat-tempat di mana gereja
dilarang, pada saat yang sama Allah juga harus
menopang
gereja
untuk
mengerjakan
misi,
menguatkan gereja kalau semangatnya melemah dan
memulihkan situasi apabila misi dikerjakan gereja
dengan cara dan tujuan yang berlawanan dengan
kehendak Allah.11
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
18.
11
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
60.
10
130
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Pemaparan Song tentang rahasia misi yang
menjungkirbalikkan paham tradisional kita tentang
misi atau pewartaan Injil12 ia dasarkan atas keyakinan
yang tertanam kokoh dalam hatinya tentang Allah
yang disaksikan dalam Alkitab. Baiklah kita segera
mendalami pemikiran Song tentang Allah.
Allah Sejarah Tuhan Bangsa-Bangsa
Allah adalah Tuhan atas sejarah. Dia bukan
hanya Tuhan bagi Israel. Sejarah bangsa-bangsa di luar
umat perjanjian bukanlah suatu sejarah yang sama
sekali asing bagi Allah.13 Song menegaskan bahwa
Allah bukan monopoli bangsa manapun. Allah juga
bukan milik dari satu bangsa tertentu. Tidak ada satu
bangsa, betapapun salehnya yang dapat mengurung
Allah atau mengklaim Allah sebagai milik pribadinya.
Allah adalah Tuhan atas sejarah dan pemiliki seluruh
bumi dan isinya.
Dengan merujuk kepada Yesaya 49:15 Song
menggambarkan hubungan Allah sebagai pemilik dan
bangsa-bangsa miliknya dengan gambaran hubungan
seorang ibu dengan anaknya. Karena, sama seperti
sang nabi, Song juga bertanya: “Dapatkah seorang
perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak
menyayangi anak dari kandungnya? Sebagai ibu,
Widi Artanto. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks
Indonesia. Yogya: Taman Pustaka Kristen. 2008. hlm. 4.
13
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 57.
12
Gereja Lintas Agama
131
ingatan Allah kepada manusia miliknya adalah ingatan
yang kuat, suci dan tidak dapat dilanggar.”14
Memang Alkitab memberi lebih banyak
perhatian pada hubungan Allah dan Israel sebagai
hubungan ibu dan anak. Meskipun demikian, kata
Song, perhatian dan keprihatinan Allah terhadap Israel
tidak membuat perhatian dan keprihatinanNya
terhadap bangsa-bangsa kendor. Ingatan dan
kepedulian Allah terhadap Sion dan Yerusalem sama
kuat dengan ingatan dan kepedulian Allah terhadap
Babel dan Mesir. Perhatian dan keprihatinan, ingatan
dan kepedulian itu berhubungan dengan sebuah
rencana masa depan yang telah dipatri Allah kuat-kuat
dalam hatiNya sejak kekekalan, yakni keselamatan
mereka.
Paradigma hubungan Allah, Israel dan bangsabangsa yang baru saja kita tunjukkan tadi juga
dikenakan Song dalam hubungan Allah, Gereja Kristen
dan orang-orang dalam agama non-kristen. Dia
menulis begini:15
Tak ada orang, betatapun salehnya, dapat
menyatakan klaim secara khusus atas Allah.
Memang Allah mengingat Israel, tetapi Ia pun
mengingat orang-orang Babel. Allah mempunyai
ingatan yang kuat akan gereja Kristen, memang,
tetapi
kesejahteraan
orang-orang
yang
14
15
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 65.
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 66.
132
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
berkeyakinan dan berbudaya lain pun tak pernah
lenyap dari kenangan Allah.
Berhadapan dengan realita diri Allah ini, yakni
Allah yang terbuka kepada semua manusia dan adalah
Tuhan yang mengerjakan keselamatan bagi semua
orang maka teologi Kristen, demikian kata Song, harus
bersifat terbuka.16 Artinya, teologi tidak boleh dibatasi
pada pekerjaan dengan data yang siap pakai dan
mengulang-ulangi penafsiran-penafsiran yang baku
terhadap
data-data
tersebut.
Agama-agama
mempunyai data-data baru. Teologi dan misi atau
pekabaran Injil harus terbuka terhadap hal-hal asing
yang terjadi di sekeliling mereka.17
Allah yang adalah Tuhan atas sejarah dan
semua manusia terus bekerja bagi keselamatan mereka.
Gerakan yang diambil Allah untuk menanamkan
keselamatan itu, kata Song, tidak dapat lagi
diterangkan dalam pengertian sejarah yang bergerak
pada sebuah garis lurus. Tidak! Allah yang bekerja
dalam gerakan garis lurus adalah Allah yang tertutup
dan diskriminatif. Allah seperti ini melumpuhkan
bahkan menghilangkan makna keselamatan yang Dia
sendiri kerjakan. Ini bukanlah gerakan Allah yang
disaksikan Alkitab.
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
61.
17
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
66.
16
Gereja Lintas Agama
133
Manakala Alkitab bersaksi tentang Allah,
Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa Allah
bergerak maju untuk menanamkan keselamatan ke
dalam setiap manusia dan gerakan yang dilakukan
Allah itu adalah ke segala arah. “Allah bergerak maju,
bergerak ke samping dan bahkan ke belakang.
Barangkali Allah juga bergerak berbelok-belok….
Allah pergi ke mana saja yang membutuhkan
kehadiran yang menebus – di Asia, di Afrika, seperti
halnya di Israel dan di Barat.”18
Atas dasar pemikiran ini, Song dengan keras
menolak peranan Israel sebagai pengantara, wali bagi
bangsa-bangsa lain dengan siapa dan melaluinya Allah
memperlihatkan karya penebusanNya. Pandangan ini
mengandaikan bahwa warisan-warisan kebudayaan
dan agama di luar Israel tidak akan bermanfaat sama
sekali bagi penyataan Allah. Song memberontak
terhadap model berteologi seperti ini. Bagi dia perlu
ditemukan satu kerangka teologi baru untuk
memahami kehadiran Allah yang menyelamatkan di
antara bangsa-bangsa dan agama-agama di luar Israel.
Song juga menolak kebiasaan memilah-milah
sejarah dalam dua bagian: sejarah keselamatan dan
sejarah dunia. Bagi dia sejarah adalah satu totalitas.
Kalau Israel dipilih Allah untuk mewujudkan
kehadiranNya yang menyelamatkan, itu bukan dalam
arti Israel menjadi wali bagi bangsa-bangsa. Yang
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
64.
18
134
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
benar ialah Israel ada sebagai simbol atau contoh dari
hal yang sama yang dikerjakan Allah di antara bangsabangsa. Menegaskan ini Song menulis:19
Dalam terang pengalaman unik Israel, bangsabangsa lain boleh belajar bahwa sejarah mereka
juga dikaruniai kuasa keselamatan.
Inilah kerangka teologi baru yang diusulkan
Song. Dia sendiri menamakan kerangka ini loncatan
teologis Asia. Ungkapan ini sejajar dengan apa yang
disebut Pieres sebagai Asian sense dari teologi (teologi
yang memiliki cita-rasa Asia).20 Loncatan Asia ini
hanya bisa dibuat apabila kita melakukan rancang
bangun pemahaman teologis dalam satu kerangka
teologis yang baru.
Dalam hubungan dengan rancang bangun
kerangka teologis yang baru itu Song menyebut di sini
hal menarik untuk kita dalami lebih jauh, yakni
gerakan garis lurus dan gerakan berbelok-belok dari
Allah dalam menamkan keselamatan kepada manusia
milikNya. Seperti apakah gerakan garis lurus dan
Choan-seng Song. Third-Eye Theology. Maryknoll: Orbis
Book. 1979. hlm. 36.
20
Dikutip dari A.A. Yewangoe. “Pokok-Pokok Pikiran
Aloysius Pieris.” Dalam: Perhimpunan Sekolah-Sekolah
Theologia di Indonesia (PERSETIA): Bahan Study Institute
tentang Dogmatika tanggal 9-22 Juni 1989 di Kaliurang –
Yogyakarta. 1989. hlm. 37.
19
Gereja Lintas Agama
135
gerakan berbelok-belok itu dan apa artinya itu bagi
keselamatan manusia?
Gerakan Garis Lurus & Gerakan Berbelok-Belok dari
Allah
Allah yang bergerak untuk menanamkan
keselamatan yang Dia kerjakan di dalam Kristus pada
sebuah garis lurus, kata Song, adalah teologi dari
tradisi deuteronomis yang menghiasi kitab-kitab
sejarah, yakni dari Yosua, Hakim-Hakim, I dan II
Samuel serta I dan II Raja-Raja. Allah bergerak maju
mengikuti sebuah garis lurus tidak dapat dan tidak
akan toleran terhadap klaim-klaim kebenaran yang
lain.
Ia
tidak
menyesuaikan
diri,
apalagi
berkompromi.21 Ia datang untuk memisahkan antara
yang benar dan salah, hitam dan putih, yang dihukum
dan yang diselamatkan. Allah yang bergerak pada
sebuah garis lurus menarik batas jelas antara agama
yang benar dan agama yang sesat atau kafir.
Ini mengandaikan bahwa misi pewartaan
keselamatan mewajibkan orang-orang mengambil
keputusan untuk meninggalkan agama yang salah
untuk bergabung dengan agama yang benar. Dalam
kasus umat Allah dalam Perjanjian Lama itu berarti
orang-orang diminta menjauhkan agama-agama
Kanaan dengan semua ritus dan ibadahnya demi
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
27.
21
136
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
mempertahankan kemurnian iman kepada Yahweh.
Siklus dosa-hukuman-pertobatan-kelepasan adalah
tema yang terus berulang dalam kitab-kitab yang
sudah kita catat di atas. Inilah salah satu arti dari garis
lurus yang dimaksudkan Song.
Inilah panorama berpikir yang mengisi setiap
detak nadi teologi deuteronomi. Ia menggantikan
perjanjian yang universal dari Allah dengan suatu
perjanjian yang partikularistis, yakni yang mengikat
Israel kepada Allah dengan menolak bangsa-bangsa
lain dan orang-orang lain. “Dalam Yosua,” demikian
kata Song, “kita melihat dengan amat jelas
perkembangan teologi deuteronomis tentang sejarah
menjadi suatu pemikiran yang eksklusif yang terutama
dipengaruhi oleh hubungan-hubungan kebencian
Israel dengan bangsa-bangsa.”22
Panorama ini bertolak dari pemahaman
tentang Allah sebagai yang tinggi, kuat dan tak
tertandingi kuasaNya. Konsepsi tentang Allah seperti
ini melahirkan gagasan mengenai Mesias dalam
pengertian keagamaan dan politis yang bercorak
militant, superior dan unggul. Jenis teologi ini
memang berguna memperkokoh identitas diri Israel
sebagai kaum minoritas di tengah-tengah agamaagama Kanaan waktu itu, tetapi teologi ini berbahaya,
kata Song karena ia tidak mampu melihat tempat
positif dari bangsa-bangsa lain di dalam karya
penciptaan dan penebusan Allah. Teologi yang
22
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 67.
Gereja Lintas Agama
137
bercorak Israel sentris ala tradisi deuteronomis
“tidaklah memadai sebagai basis pemahaman tentang
kegiatan Allah dalam lingkaran-lingkaran yang lebih
luas.23
Bahaya ini, kata Song disadari secara penuh
oleh nabi-nabi klasik abad ke VIII dan VII Seb.
Masehi. Di bawah kepeloporan deutero Yesaya,
mereka mengambil langkah berani untuk melompat
dari sentrisme Israel ke pandangan yang jauh lebih
luas tentang bangsa-bangsa. Mereka ini berbicara
tentang Allah yang bergerak dalam segala arah:
bergerak maju, ke samping, ke belakang, berputarputar dan bahkan bergerak berbelok-belok dalam
menanamkan keselamatan.
Allah yang bergerak ke segala arah, bahkan
juga berbelok-belok, tidak lagi menaruh pemisahan
antara yang benar dan yang salah, yang fasik, kafir dan
yang ditebus dan diselamatkan. Yang Ia buat justru
merangkul dan mempersatukan sehingga tidak lagi ada
yang jauh dan dekat, orang dalam dan orang luar,
pendatang atau orang asing. Ia berjuang untuk
mempertemukan dan memadukan yang tidak
mungkin dipersatukan. Itu nampak, sebagaimana yang
diperlihatkan Song, dalam pemberitaan Yesaya tentang
Koresy, raja Persia yang diangkat Allah sebagai
gembala Tuhan, mesias Allah atau Nebukadnezar yang
disebut dalam pemberitaan Yeremia sebagai hamba
Tuhan (Yer. 27:5-6).
23
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 68.
138
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Tindakan Allah memilih tokoh-tokoh ini
dipakai Song untuk menunjukan bahwa bahwa
medan-medan teologi (pencaharian makna Allah)
adalah bidang yang tanpa batas. Dalam arti upaya
menjajaki dan mengalami makna Allah tidak
mempunyai batas-batas yang telah ditentukan lebih
dahulu.24 Asumsi bahwa hanya budaya yang sangat
dipengaruhi kekristenanlah yang dapat mempunyai
tempat yang sah dalam pencaharian makna Allah oleh
Song dianggap sebagai asumsi yang keliru.
Inilah panorama teologi yang mengisi tradisi
deutero Yesaya. Allah tidak lagi dipahami dalam
panorama berpikir deuteronomi sebagai tuan yang
berkuasa, tinggi dan militan, melainkan sebagai hamba
rendah hati, berbela rasa dan rela menderita. Teologi
Allah yang militan dari tradisi deuteronomi digantikan
oleh tradisi deutero Yesaya dengan teologi Allah yang
ikut menderita. Song menulis: “Iman yang selalu
berusaha mengukuhkan diri dan mendominasi orang
lain, menyingkir kepada iman yang menyangkali
dirinya agar yang lainnya boleh digenapi.25
Penggambaran Allah secara baru yang
diperkenalkan tradisi deutero Yesaya memang sulit
diterima, tetapi paham ini mendorong Israel untuk
meninggalkan klaim-klaim keunggulan diri mereka
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
57.
25
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 6970.
24
Gereja Lintas Agama
139
sebagai satu bangsa untuk solider dengan mereka yang
lain, terutama mereka yang selama ini dalam tradisi
deuteronomi dianggap sebagai sampah umat manusia.
Panggilan kepada reorientasi ini bertolak dari faham
akan Hamba yang Menderita yang menyatakan hukum
kepadan bangsa-bangsa (Yes. 42:1), menjadi terang
untuk bangsa-bangsa (Yes. 49:6), matinya di antara
penjahat-penjahat dan orang menempatkan kuburnya
di antara orang fasik (Yes. 53:9).
Allahnya tradisi deutero Yesaya adalah Allah
yang melakukan trasposisi dan cukup rendah hati
untuk menerima bangsa-bangsa pada ruang
pengadilan. Ia tidak memaksa keputusan kepada
mereka tetapi mengundang mereka mengungkapkan
pandangan-pandangan mereka. Mereka dipersilahkan
oleh Allah untuk ikut memutuskan bersama Allah
bagaimana keselamatan itu ditanamkan ke dalam
mereka.26
Rancang bangun teologi baru ini memiliki
fondasi kuat pada relasi tidak terpisahkan antara
penciptaan dan penebusan. Fondasi ini bukan hasil
rekayasa Song. Itu adalah bagian integral dari
konstruksi teologi tradisi deutero Yesaya yang
menghubungkan pengangkatan Koresy sebagai mesias
Allah dan Nebukadnezar sebagai Hamba Tuhan
dengan peristiwa penciptaan. Atas dasar ini Song
dengan tegas mengatakan bahwa di mana ada ciptaan
di sana ada penebusan, sebab Allah yang menebus itu
26
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 71.
140
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
tidak lain adalah Allah yang menciptakan. Cerita
penciptaan tidak lain adalah cerita keselamatan.27 Ini
berarti bahwa Kristus harus dipahami sebagai yang
sudah ada di dalam kebudayaan bangsa-bangsa lain
jauh hari sebelum kekristenan itu sendiri datang.28
Jelasnya Allah dalam tradisi deutero Yesaya
adalah Allah yang terbuka. Ia tidak bergerak dalam
garis lurus saja. Ia juga bergerak melingkar dan
berbelok-belok. Kalau keterbukaan ini sekarang kita
pakai untuk memahami misi gereja yang menurut
Song haruslah berjalan mengikuti misi Allah,29 maka
konsekwensinya adalah misi gereja haruslah terbuka,
melingkar dan berbelok-belok, yakni melompat keluar
dari rasa superioritas iman dan keselamatan yang
selama ini diciptakan oleh agama Kristen untuk
melihat bahwa tak ada satu agama atau bangsa yang
dikecualikan dari kasih Allah yang menyelamatkan.30
Misi gereja atau pewartaan Injil yang terbuka
bukan berarti berkompromi dengan kebenaran yang
ada di pihak lain, tetapi mengakui bahwa kebenaran
yang selama ini kita pahami hanyalah satu bagiannya
saja, bahkan secercah saja. Kebenaran itu barulah
Choan-seng Song. Christian Mission in Reconstruction:
An Asian Analysis. Maryknoll: Orbis Book. 1977. hlm. 52.
27
28
Dikutip dari A.A. Yewangoe. “KecenderunganKecenderungan…” hlm. 10.
29
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
60.
30
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 71.
Gereja Lintas Agama
141
memperoleh wujudnya secara penuh apabila ia berada
di antara kumpulan orang dari segala segi kehidupan.31
Kristus Melintasi Batas-Batas Agama
Allah dalam tradisi deutero Yesaya yang
melakukan transposisi dari keberadaannya sebagai
tuan yang berkuasa, tinggi dan militan, menjadi
sebagai hamba rendah hati, berbela rasa dan rela
menderita, kita temukan makin jelas dan terang
benderang dalam diri dan karya Yesus Kristus. Allah
seperti yang nyata di dalam Kristus melintasi batasbatas ras, agama dan budaya.32 Transposisi ini, menurut
Song tidak hanya terjadi pada Kristus di Betlehem dua
ribu tahun yang lalu, tetapi sedang terjadi sekarang di
Asia.
Kristus
menghadirkan
diriNya
dalam
pengungkapan diri yang berbeda-beda sebagai
cerminan kasihNya yang merangkul manusia untuk
masuk dalam lingkaran keselamatkan.
Transposisi itu diceritakan Song dengan
menunjuk kepada pengalaman seorang rahib Hindu,
Sri Ramakrishna yang beberapa kali dijumpai Yesus
dalam penglihatan. Yesus yang menampakan diri
kepadanya memiliki hidung pesek. Sri Ramakrishna
tidak bertobat ke dalam agama Kristen. Yesus juga
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
63.
32
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 4.
31
142
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
tidak pernah meminta Sir Ramakrishna untuk
meninggalkan agamanya, Hindu.33
Kristus menjumpai Sri Ramakrishna sebagai
seorang berhidung pesek. Ia melakukan transposisi
dari hidung mancung ke hidung pesek karena orang
Asia yang adalah saudara dan saudari Sri Ramakrishna
umumnya berhidung pesek, hidung yang sering
dilecehkan orang Eropa. Yesus membuat hidungNya
pesek supaya kehadiranNya tidak mengganggu dan
membangkitkan kemarahan orang Asia, supaya Dia
tidak dianggap asing bagi orang Asia dan membuat
orang Asia minder untuk menerima Dia sebagai
saudara mereka.
Kristus melintasi batas-batas agama, yang
mentransposisikan diri supaya dapat menyapa orangorang yang ditemuinya sebagai saudara bukan hal yang
aneh. Dalam Perjanjian Baru sebagaimana ditegaskan
Paulus dalam I Korintus 9:22 Kristus “menjadi segalagalanya untuk semua orang.” Kalau Kristus saja
melakukan transposisi (membuat diriNya sama dengan
orang-orang yang Dia temui) supaya mereka dapat
menerima Dia dan Dia juga dapat menyapa mereka,
mengapa gereja tidak melakukan hal yang sama dalam
karya misinya?
Kalau Kristus adalah isi dari Injil, maka injil
pun tentulah tidak anti perubahan (transposisi). Song
menunjukan hal ini secara eksplisit. Injil, menurut
Song, sejak awal pemberitaannya telah mengalami
33
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 3.
Gereja Lintas Agama
143
transposisi bahkan juga mengakibatkan perubahan
yang dahsyat dalam hati masyarakat. Injil dengan
kemampuan berubah yang dahsyat itu ditegaskan
Paulus dalam I Korintus 9:20-23.
Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi
seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan
orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang
hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi
seperti orang yang hidup di bawah hukum
Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di
bawah hukum Taurat, supaya aku dapat
memenangkan mereka yang hidup di bawah
hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak
hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi
seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum
Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum
Allah, karena aku hidup di bawah hukum
Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka
yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi
orang-orang yang lemah aku menjadi seperti
orang yang lemah, supaya aku dapat
menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua
orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya
aku sedapat mungkin memenangkan beberapa
orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku
lakukan karena Injil, supaya aku mendapat
bagian dalamnya.
Mengomentari penegasan Paulus ini Song
mengatakan bahwa kekuatan Injil untuk mengubah
144
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
hati manusia bukan berarti Injil anti perubahan. Yang
terjadi justru sebaliknya. Injil yang mengubah
lembaga-lembaga manusia dan menciptakan nilai-nilai
baru memiliki kemampuan berubah yang luar biasa.
Kemampuan berubah dari Injil itulah yang selama ini
diremehkan atau diabaikan gereja.34 Apa yang
dilakukan gereja selama ini adalah menampilkan Injil
sebagai yang anti perubahan, padahal injil yang anti
perubahan akan membuat injil menjadi sesuatu yang
aneh.
Peremehan gereja atas kemampuan berubah
yang luar biasa dari Injil nampak dalam upaya gereja
untuk menempatkan Injil dalam sebuah gerakan garis
lurus, yakni upaya memahami kabar keselamatan yang
dikerjakan Allah di dalam Kristus sebagai sebuah
gerakan yang logis dan tidak memungkinkan adanya
selaan. Gerakan logis itu bermula dari ciptaan,
kejatuhan, pemilihan Israel, Yesus Kristus, gereja
sebagai Israel baru dan akhirnya penggenapan
terakhir. Garis sejarah ini susul menyusul dan tidak
dapat dibelokkan atau diputuskan (Allah Turut
Menderita: 33).
Garis lurus seperti ini, kata Song,
menghasilkan penyederhanaan. Ia membuang segala
ketidakaturan dan meluruskan masalah-masalah kita
yang kusut. Injil sebagai kabar keselamatan yang
bergerak maju menurut garis lurus mengandaikan
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 1617.
34
Gereja Lintas Agama
145
bahwa Injil menolak kerja sama, menghakimi,
menghukum, menghapuskan dan tidak mengenal
pengampunan. Injil yang dipahami sebagai sebuah
garis lurus membuat Allah menjadi sebuah karikatur
(Allah Turut Menderita: 34). Injil yang dijadikan
sebuah
gerakan
keselamatan
garis
lurus
memperkenalkan kepada kita Allah yang monoton dan
tidak menarik. Ia membuat wajah orang Kristen
muram dan murung. Ia membuat ibadah jemaat
menjadi seperti sebuah pertemuan ilmiah, orang-orang
yang hadir dalam ibadah itu diliputi ketegangan dan
memperlihatkan wajah yang serius. Injil garis lurus
menyingkirkan gelak tawa pada wajah Allah dan
wajah para penyembahNya. Agama tidak lagi menjadi
media pengungkapan sukacita dan kebahagiaan, tetapi
menjadi sesuatu yang berbahaya. Akhirnya. Injil garis
lurus tidak memberi ruang apapun untuk memahami
pekerjaan Allah di luar Israel dan gereja (Allah Turut
Menderita: 35-37).
Israel, Gereja dan para pengikut Kristus
memahami Injil sebagai sebuah gerakan garis lurus,
sebagaimana yang sudah berlangsung selama berabadabad sesungguhnya berseberangan dengan Allah yang
bergerak ke segala arah: ke depan, ke belakang, ke atas,
ke bawah, ke dalam dan juga keluar, dan juga secara
menyilang. Allah tidak terikat hanya dalam satu garis
gerakan. Ia melakukan gerakan yang tidak dapat
dikungkung ke satu arah tertentu saja.35 Alasannya,
35
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 38.
146
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
menurut Song, Allah adalah Kasih. Song menjelaskan
kasih sebagai hakikat Allah itu dalam kutipan
berikut:36
Kasih bukanlah sebuah konsep geometris. Ia tak
dapat diukur dengan mistar. Ia tak dapat
ditimbang pada timbangan. Ia tak dapat
diluruskan dengan garis. Dan yang paling tidak
mungkin ialah, kasih sebagai garis lurus. Kasih
itu bundar, tidak lurus. Ia tidak menembus
angkasa seperti sebuah garis lurus, melainkan
mengisinya dan menyapunya. Ia bukanlah suatu
gerakan linear melainkan gerakan konsentris. Ia
tidak analitis melainkan sintetis. Ia tidaklah
menghakimi melainkan merangkul. … Allah
bukanlah garis lurus, melainkan kasih. Allah
garis lurus dari heilsgeschichte adalah Allah yang
keras, ketat yang telah menentukan sebelumnya
siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang
akan dihukum.
Jelaslah bahwa injil yang dijadikan sebuah
gerakan garis lurus oleh gereja bertentangan dengan
hakikat Injil yang adalah kasih. Gereja tahu itu, tetapi
mengapa gereja toh melakukan kesalahan itu. Dalam
eksposisinya terhadap pembangunan menara Babel,
Song menunjukkan bahwa Injil dipahami sebagai garis
lurus karena ada ketakutan terhadap keterserakkan.
Berserak itu akan menyebabkan kehancuran
36
Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 34.
Gereja Lintas Agama
147
persekutuan
dan
merusakkan
kesinambungan
identitas. Ketakutan itu sebenarnya tidak beralasan,
karena justru perserakkan akan membuat ikatan
persekutuan makin kokoh dan identitas diri justru
makin dipahami. Itu sebabnya, Allah bertindak. Ia
menggagalkan upaya membangun Menara Babel.37
Allah yang bergerak dalam segala arah, Yesus
Kristus yang mendemostrasikan secara utuh dan
sempurna gerakan yang mengagumkan dari Allah ini
dan Injil yang memiliki kemampuan berubah yang
dahsyat itu haruslah kita terjemahkan dalam
kehidupan bergereja. Upaya mewujudkan temuan
mengagumkan ini dalam kehidupan bergereja, kata
Song, hanya bisa dilakukan kalau kita memandang
sejarah Israel dan Gereja dari sudut pandang yang
berlainan (Allah Turut Menderita: 38). Pertanyaan
kita: seperti apakah cara pandang tentang Israel dan
Gereja dari sudut pandang yang baru itu?
Transposisi Pemahaman tentang Gereja
Jürgen Moltmann, salah satu teolog terkemuka
abad ke-20 mengatakan bahwa setiap statement
tentang Kristus selalu berkonsekwensi pada statement
tentang Gereja.38 Di atas kita tegaskan, setidakChoan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 2830.
38
Jurgen Moltmann. The Church in the Power of the Spirit.
A Contribution to Messianic Ecclesiology. London: SCM
Press LTD. 1977. hlm.6.
37
148
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
tidaknya menurut Song, Kristus mewujudkan kepada
kita transposisi yang dilakukan Allah dalam rangka
mewujudkan karya keselamatannya kepada manusia.
Transposisi itu ditunjukkan Kristus bukan hanya
dengan bergerak menurut garis lurus, tetapi bergerak
ke segala arah: ke depan, ke belakang, ke atas, ke
bawah, ke dalam dan juga keluar, dan juga secara
menyilang.
Kristus yang bertransposisi ke segala arah ini
tentulah juga harus diikuti dengan transposisi gereja.
Belajar dari Oscar Cullman, Song menegaskan agar
gereja harus mengubah garis lurus menjadi garis
melingkar dalam pemahamannya akan injil dan karya
Allah dalam sejarah. Pertanyaan kita adalah transposisi
macam apakah yang perlu dilakukan gereja sebagai
wujud ketaatannya kepada Kristus sang kepala
sebagaimana yang dipahami oleh Song?
Dari
memusatkan
antara tulisan-tulisan Song yang
perhatian pada upaya transposisi
pemahaman tentang gereja ada satu tulisan yang akan
kita jadikan pijakan pembahasan, yakni tulisan dalam
buku Sebutkanlah Nama-Nama Kami, secara khusus
bab mengenai Pertobatan Dialogis Dalam Tujuh Tahap
yang isinya adalah sebuah analisa naratif terhadap
cerita rakyat Alice dalam Rumah Kaca.39
Setiap agama, kata Song, memiliki ego-agama,
doktrinal, dogmatis dan konstitusional. Isi dari egoChoan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
159-186.
39
Gereja Lintas Agama
149
agama itu tentu saja eksklusif, bahkan superlatif:
agama A adalah yang terbaik, karena itu adalah agama
Allah. Doktrin dan dogma-dogma itu mendefinisikan
agama bersangkutan sebagai yang terbaik dan tak
terhindarkan dalam rangka memperoleh keselamatan
Allah. Setiap umat dari agama itu suka melihat dunia
melalui kacamata ego-agamanya. Bagi gereja, egoagamanya adalah kekristenan.
Ego-agama itu berguna bagi tiap agama untuk
merumuskan identitas serta mengatur perilaku religius
dan sosial para pemeluknya. Tetapi ego-agama itu
tidak harus diabsolutkan. Song dalam upayanya untuk
melakukan transposisi pemahaman tentang gereja
menegaskan bahwa tidak boleh terjebak dalam ego-
agama, ego-doktrinal, dst.40
Artinya, gereja tidak harus menuntut umat
beragama lain untuk melihat dunia sebagaimana orang
Kristen melihatnya, memahami keindahan hidup
menurut cara-cara yang dipahami orang Kristen dan
melaksanakan ibadah sebagaimana yang dipraktekkan
dan dijalani orang Kristen. Gereja harus belajar
menerima kenyataan bahwa orang-orang dari agama
lain yang hidup berdampingan dengannya melihat
dunia, menjalani hidup dan memaknai kenyataankenyataan dengan cara yang berbeda dan dari sudut
pandang yang lain.
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
165.
40
150
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Jelasnya, gereja harus membuka mata dan
hatinya untuk melihat bahwa ada orang yang tinggal
di rumah yang lain, yang sama dengan dirinya
sekaligus juga berbeda dengan dirinya. Untuk
memiliki pemahaman seperti itu gereja harus keluar
dari ego-agama dan serentak dengan itu melangkah
masuk ke ruang hidup agama-agama lain.41 Keluar dari
diri sendiri untuk bertemu dengan orang lain bukan
satu tanda kekalahan atau kelemahan. Justru
sebaliknya, itu adalah satu bukti kedewasaan dan
keperkasaan iman. Avery Dulles menulis: “Manusia
menemukan dirinya dengan keluar dari dirinya
sendiri.”42
Ini tentu satu keputusan yang harus dibuat,
meskipun penuh resiko dan menyakitkan. Gerakan
keluar itu dimaksud untuk memperdalam pengenalan
terhadap para penghuni rumah di samping kita,
sekaligus memperluas paham kita mengenai luas
medan-medan kerja Allah sebab anugerah Allah yang
menyelamatkan itu tidak terikat hanya pada orangorang yang menyandang simbol Kristen atau biblis.
Pendalaman dan perluasan pemahaman itu tentu
dimulai dengan proses perjumpaan dan dialog. Ini
yang harus dilakukan gereja, yakni keluar dari egoagama Kristen untuk masuk dalam ruang hidup
agama-agama non-kristen.
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
168.
42
Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 61.
41
Gereja Lintas Agama
151
Song mengakui bahwa dalam dialog tentulah
masing-masing pihak akan mulai dengan mencari halhal dalam agama lain yang sama dengan yang dikenal
dalam agama sendiri. Ini sesuatu yang manusiawi dan
normal (Sebutkanlah Nama-Nama: 167). Semua orang
yang melakukan perjalanan ke negeri-negeri asing
terbiasa dengan hal itu. Manusia cenderung mencari
wajah yang dikenal di antara wajah-wajah yang asing.
Dalam petualangannya masuk ke dalam ruang
hidup agama-agama non Kristen, para pengikut Kristus
akan merasa gembira dan aman kalau menemukan
sesuatu yang sama dalam agama yang lain itu. Tetapi
gereja tidak boleh hanya berpuas diri dengan
pengenalan akan hal-hal yang sama itu. Melakukan hal
itu, kata Song, sama dengan menganggap hinduisme
sekedar
sebagai
perpanjangan
kekristenan
(Sebutkanlah Nama-Nama: 164) dan juga tidak akan
mengerti perasaan otentik dari orang-orang dalam
agama itu.
Gereja harus berjalan lebih jauh lagi. Ia harus
memusatkan diri dalam pencaharian itu untuk
memahami dan mengerti hal-hal yang tidak sama,
yang lain dari yang biasa dia alami, yang wujud dan
rupanya benar-benar baru, bahkan mengejutkan. Ini
hanya bisa gereja temukan apabila ia tidak bergerak
menurut garis lurus, yakni melihat hinduisme sebagai
perpanjangan kekristenan (Sebutkanlah Nama-Nama:
164). Gereja harus berani bergerak dalam ruang hidup
agama-agama lain secara berbelok-belok, seperti yang
dilakukan Allah di dalam Kristus, yakni menemukan
152
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
pemahaman dan penghayatan hindiusme akan Allah
dan keselamatan yang benar-benar baru.
Jadi upaya gereja menemukan dan memahami
hal-hal yang baru di rumah yang berbeda itu bukan
sebuah tanda penyangkalan kepada Kristus, sehingga
gereja menjadi kurang kristiani. Itu justru sebuah
upaya meniru Kristus. Song lalu menunjukkan
bagaimana Yesus masuk ke dalam ruang hidup agama
Yahudi bukan dengan melakukan gerakan garis lurus,
tetapi dengan gerakan berbelok-belok.
Perayaan Sabat agama Yahudi yang dilakukan
menurut gerakan garis lurus menegaskan bahwa orang
dilarang bekerja pada haris Sabat, termasuk
menyembuhkan orang sakit. Yesus bosan dengan
gerakan garis lurus itu. Ia membuat gerakan berbelokbelok dengan cara menyembuhkan orang-orang sakit,
tak peduli pada hari-hari biasa maupun hari Sabat.
Kalau pendapat umum memposisikan si anak bungsu
yang menghambur-hamburkan uang ayahnya sebagai
yang tidak akan mendapat bagian dalam berkat sang
ayah, Yesus justru mengatakan sebaliknya (Lk. 15:1132).
Begitu juga dengan dugaan orang bahwa pesta
bakal ditunda karena para tamu undangan berhalangan
hadir, Yesus bercerita bahwa si tuan pesta menyuruh
hamba-hambanya, pergi ke kota, berjalan ke semua
lorong dan belokan untuk membawa semua orang
Gereja Lintas Agama
153
yang ada di sana, yang jahat maupun yang baik, untuk
datang ke pestanya (Mt. 22:10).43
Gerakan berbelok-belok gereja dalam ruang
hidup agama-agama lain sebagai bagian dari
komitmennya untuk meniru Kristus, justru akan
membuat dia terpesona. Mata dan hati gereja pasti
akan melihat bahwa yang hadir dalam pesta
keselamatan itu bukan hanya orang dari agama
Kristen. Tata cara perayaan itu juga tidak pernah
seragam, monoton dan membosankan, yakni dengan
cara-cara Kristen saja. Tiap orang merayakan
keselamatan dengan cara yang dikenal dalam
agamanya. Pesta itu benar-benar hidup. Keselamatan
dikaruniakan untuk semua secara lintas agama dan
budaya.44
Perspektif baru ini harus membuat gereja
bertobat, kata Song. Jadi gereja tidak masuk ke ruang
hidup agama-agama lain untuk mentobatkan orangorang dari agama lain itu, tetapi gereja yang harus
lebih dahulu bertobat. Gereja bertobat dari kebiasaan
mengkafirkan agama lain, atau melihat mereka sebagai
monster.45 Sekarang gereja harus melihat mereka
sebagai sesama yang ikut mengumuli makna Allah
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
170, 171.
44
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
171.
45
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
179-180.
43
154
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
tetapi dengan cara yang sama sekali berbeda dari yang
selama ini dibiasakan dalam kekristenan. Gereja harus
memandang orang-orang dalam agama lain sebagai
sesama saudara dari satu Allah yang adalah Bapa.
Dengan ini kita sampai pada paham bergereja
(eklesiologi) yang dikembangkan Song. Menurut Song
gereja adalah persekutuan persaudaraan dari orangorang yang menyebar dalam berbagai agama, yang
terus-menerus menjaga kebenaran iman yang telah
tertanam dalam hatinya sambil terus berkomunikasi
dengan saudara-saudaranya dalam agama lain supaya
kebenaran itu mempengaruhi pikiran, perkataan dan
perbuatannya sehingga hidup, perkataan dan
perbuatannya menjadi bisa dipercaya.
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang
hatinya telah dipenuhi kebenaran Allah. Menegaskan
ini Song menulis: “Kebenaran agama adalah kebenaran
hati” (Sebutkanlah Nama-Nama: 183). Agama adalah
kebenaran hati, yakni hati yang dipenuhi cinta kasih
kepada Allah dan cinta kasih kepada sesama. Agama
bukan pertama-tama masalah organisasi, aturanaturan, tata ibadah, gaya meditasi dan dogma serta
prinsip.
Gereja adalah orang-orang yang menjaga
hatinya untuk tetap berpegang pada kebenaran
sehingga kata dan perbuatannya dapat dipercaya.
Orang-orang seperti ini tidak hanya ada dalam agama
Kristen. Ia juga ada dalam lingkungan Hindu, Budha,
Islam, Kong Hu Chu, dst. Orang-orang ini ada dalam
Gereja Lintas Agama
155
agama masing-masing, tetapi dalam roh mereka satu
dan tidak terpisah. Si A yang Kristen hidup dalam hati,
pikiran, perkataan dan perbuatan si B yang bukan
Kristen, sedangkan si C yang Muslim hidup dalam
hati, pikiran, perkataan dan perbuatan si A yang
Kristen.46
Kami mendapat kesan kuat bahwa gereja
dalam pandangan Choan-seng Song tidak jatuh sama
dengan agama Kristen. Gereja mengatasi dan
melampaui agama Kristen. Kami bahkan sampai
kepada kesimpulan bahwa gerejanya Choan-seng Song
bercorak lintas agama. Gereja ada dalam agama
Kristen, tetapi tidak terikat hanya kepadanya. Gereja
juga ada dalam agama-agama non-kristen.
Membaca pernyataan Song yang dalam dan
sarat makna ini saya teringat nyanyian popular gereja
yang sering saya lantunkan dengan hati-hati dan
penuh penghayatan: “Kalau hatimu sperti hatiku,
kaulah saudara dan saudariku.” Kesamaan hati yang
dimaksudkan dalam lagu ini tentu tidak menunjuk
kepada sama dalam hal keputusan politik atau pilihan
agama. Kalimat tadi menunjuk kepada kesamaan
keputusan hati untuk menjadikan Firman Allah
sebagai landasan hidup dan karya. Jadi orang-orang
yang hatinya sama untuk hal ini, mereka itu adalah
gereja.
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
186.
46
156
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Pemahaman Song tentang gereja seperti ini
dengan sendirinya menafikan setiap bentuk
perpindahan agama, sebab kebenaran bukan lagi
masalah berada di agama A dan bukan di agama B,
melainkan kebenaran adalah di dalam hati, hati yang
dipenuhi oleh Firman Allah dan yang mencintai dan
menerima sesamanya.
Transposisi Misi Kristen di Asia
Choan-seng Song membahas pokok ini secara
mendalam dan mengesankan dalam analisanya
terhadap cerita rakyat orang-orang Maori dari Selandia
Baru tentang kisah cinta Mata-ora dan Niwa-reka.
Analisa itu dimuat dalam buku Sebutkanlah NamaNama Kami di bab kedua dengan judul: Misi Kristen
Yang Dirajah. Baiklah kita melihat cerita itu dan
bagaimana Song menerangkannya.47
Mata-ora adalah seorang pemuda penghuni
alam atas. Niwa-reka adalah seorang perempuan ras
peri dari dunia bawah. Keduanya jatuh cinta dan
membangun kebahagiaan hidup bersama untuk
beberapa waktu. Suatu hari karena cemburu dan
marah, Mata-ora memukul istrinya yang tidak
bersalah. Kecewa diperlakukan tidak adil oleh
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
24-26. Keseluruhan uraian dalam bagian ini kami sarikan
dari buku tadi.
47
Gereja Lintas Agama
157
suaminya, Niwa-reka pulang ke rumah orang tuanya
di alam bawah.
Mata-ora menyesali perbuatannya. Dia turun
ke alam bawah mencari istrinya. Di rumah orang tua
istrinya, ia melihat mertua laki-lakinya sedang
merajah (membuat tattoo) di tubuh seorang pemuda.
Pemuda itu menjerit kesakitan, tubuhnya berdarah
dan terdapat banyak sekali luka. Cara merajah seperti
itu yakni yang menimbulkan kesakitan tidak dikenal
di alam atas. Karena itu Mata-ora, berkata kepada
mertuanya: “Caramu merajah salah.”
Di tubuh Mata-ora juga ada tattoo. Mertua
laki-lakinya mengulurkan tangannya dan menghapus
tattoo-tattoo di tubuh Mata-ora. Tattoo di tubuh Mataora terhapus dan menghilang hanya dengan sekali
sentuhan tangan mertuanya, suatu tanda bahwa cara
merajah yang dipraktekkan di dunia atas justru tidak
berkualitas. Mata-ora sedih karena ia kehilangan
tattoo. Ia meminta mertuanya membuatkan kembali
tattoo di tubuhnya menurut cara alam bawah. Karena
kesakitan akibat tubuhnya dirajah, Mata-ora
menyanyikan sebuah pantun untuk mengurangi
kehebatan penderitaannya.
Niwa-reka yang bersembunyi karena tidak
ingin bertemu suaminya mendengar nyanyian kasihderita Mata-ora. Dalam suara dan lagu itu terkandung
ungkapan cinta, penyesalan dan pertobatan Mata-ora.
Ia tergugah dengan ungkapan isi hati Mata-ora. Niwareka keluar dari persembunyiannya. Ia merawat luka158
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
luka suaminya. Setelah luka-luka Mata-ora sembuh dia
mengajak Niwa-reka, istrinya kembali ke alam atas,
setelah sebelumnya ia berjanji kepada mertuanya dan
juga kepada istrinya bahwa tata cara hidup di alam
bawah akan dia bawa dan terapkan di alam atas.
Ini sebuah kisah cinta yang mengharukan
antara dua orang dari dua dunia yang berbeda. Bagi
Song cerita ini cocok untuk melakukan rekosntruksi
pemahaman tentang misi Kristen di dunia non-kristen.
Ada beberapa aspek dari cerita itu yang patut
diperhatikan dengan saksama. Pertama: Mata-ora dan
Niwa-reka. Mata-ora mewakili gereja (agama Kristen)
sedangkan Niwa-reka mengatasnamai agama-agama
non-kristen.
Kedua, gambaran di tubuh (tattoo). Tattoo
adalah cap diri seseorang atau satu komunitas. Itu
adalah tanda identitas diri sebagai bagian dari
komunitas yang memberikan kepadanya akar dan arti
kehidupan. Orang-orang dalam dunia Kristen maupun
dunia non-kristen sama-sama memiliki tattoo,
identitas diri dari komunitasnya.
Dalam arti ini tattoo, menurut Song, adalah
tanda keselamatan. “Ia memberikan perlindungan
magis terhadap kemalangan dan penyakit.” Tattoo juga
menunjukkan tingkatan, status atau keanggotaan
seseorang dalam satu kelompok. Tattoo juga berarti
keindahan (Sebutkanlah Nama-Nama: 23). Cara Song
menjelaskan makna tattoo ini memberi kesan yang
kuat bahwa tattoo yang benar, yakni tattoo yang
Gereja Lintas Agama
159
didasari cinta sampai mengeluarkan darah (kasihderita) adalah yang dialami di Salib dan berujung pada
kebangkitan. 48 Jadi orang-orang non-Kristen pun
mengenal jalan salib.
Kehidupan bersama yang damai antara
manusia dari berbagai agama adalah asumsi utama dari
pelaksanaan misi. Mata-ora adalah representasi gereja
(baca juga agama Kristen) sedangkan Niwa-reka
mewakili orang-orang dari agama lain (non-kristen).
Kedua insan ini hidup dalam alam berpikir yang
berbeda dan memahami dunia dari cara pandang yang
berbeda juga. Tetapi dalam satu hal mereka sama,
yakni kebutuhan akan cinta kasih. Dan karena cinta
kasih itulah mereka bersepakat membangun
kehidupan bersama dalam sebuah ikatan perkawinan.
Ada yang hilang dari gereja (Mata-ora) jika ia
ditinggalkan atau tidak lagi ada bersama dengan agama
lain (Niwa-reka). Inilah kenyataan yang dialami setiap
agama. Hidup bersama dalam relasi cinta kasih adalah
kebutuhan tiap agama. Gereja harus membangun
hidup bersama yang damai dan penuh cinta kasih
dengan umat dari agama lain. Gereja akan kehilangan
arti apabila ia membuat orang dari agama lain
menjauhkan apalagi memusuhi dirinya, misalnya oleh
sebab kemarahan atau kesombongan dan kecemburuan
gereja terhadap sesamanya yang lain itu.
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
38.
48
160
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Misi gereja terhadap orang dari agama lain,
demikian ditegaskan Song haruslah pertama-tama dan
utama adalah masalah cinta kasih dan bukan masalah
kebenaran.
Kebenaran
membuat
gereja
menyombongkan diri atas sesamanya dan tidak
mengenal toleransi, tidak mau menyesuaikan diri,
apalagi kompromi. Ia menghakimi dan tidak dapat
dihakimi. Perpaduan antara hal-hal yang berbeda,
penyatuan
antara
kontradiksi-kontradiksi
dan
mengharmonisasikan polarisasi-polarisasi tidak ada
dalam kamus kebenaran.49 Kebenaran mengkotakkotakan manusia ke dalam yang terjangkau dan yang
tidak terjangkau. Ini karena kebenaran adalah sebuah
gerakan garis lurus.
Kalau kebenaran hanya akan membuat orangorang yang berbeda agama akan menjauh dari gereja
bahkan menutup diri, maka misi gereja kata Song,
tidak boleh berkutat pada masalah kebenaran. Ia harus
lebih merupakan masalah cinta kasih gereja terhadap
orang dari agama lain yang dengannya Allah jatuh
cinta (Sebutkanlah Nama-Nama: 30). Kalau kebenaran
menolak penyatuan dan mentabukan perpaduan halhal yang berbeda, cinta kasih berjuang untuk
mempertemukan
perbedaan-perbedaan.
Kasih
berjuang
untuk
mempersatukan
dan
mempersekutukan karena kasih adalah budar, garis
melingkar. Itulah agenda utama gereja dalam
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
27.
49
Gereja Lintas Agama
161
mengerjakan misinya, yang tidak lain adalah
mengikuti misi Allah, yakni bergerak ke segala arah,
bergerak dalam garis melingkar.
Kebenaran lebih memberi perhatian pada
prinsip-prinsip. Salah satu prinsip kebenaran yang
dipegang agama Kristen ialah bahwa penyataan Allah
yang penuh hanya ada dalam agama Kristen. Agama
lain tidak memiliki penyataan Allah dan tidak
mengenal kebenaran. Karena itu orang Kristen pergi
untuk mentobatkan orang dari agama lain dalam
kegiatan penginjilan dan mewajibkan mereka menjadi
pemeluk agama kristen. Ingat perkataan Mata-ora di
dunia bawah: “Caramu merajah salah.”
Sebaliknya, cinta kasih lebih berhubungan
dengan orang-orang. Cinta kasih tidak menafikan
kenyataan bahwa agama Kristen adalah agama
penyataan Allah. Tetapi ia datang kepada umat
beragama lain bukan untuk menghakimi mereka
dengan pernyataan bahwa apa yang ada dalam agama
yang lain itu salah. Tidak! Misi datang ke dunia lain
untuk menyatakan kasih Allah bukan untuk menuduh
dan menghakimi orang lain. Gereja pergi kepada
bangsa-bangsa untuk membangun persekutuan dan
persaudaraan dengan orang-orang lain itu dalam kuasa
kasih Allah (Sebutkanlah Nama-Nama: 30).
Mata-ora pergi ke alam bawah untuk mencari
istrinya yang pergi meninggalkan dia akibat mendapat
perlakuan kasar. Di alam bawah Mata-ora melihat
mertuanya sedang merajah atau membuat tattoo pada
162
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
tubuh seorang pemuda. Mata-ora sudah memiliki
tattoo. Di alam bawah dia melihat orang-orang di sana
juga merajah tubuh mereka. Merajah atau mentattoo
tubuh yang dilakukan orang di alam bawah kelihatan
asing. Proses merajah itu menimbulkan luka,
perdarahan sehingga pelakuknya kesakitan.
Mata-ora menyapa mertuanya yang sedang
bekerja: “Caramu merajah salah!” Mata-ora merasa
bahwa tattoo yang ada padanya dan cara membuat
tattoo yang dikenalnya di alam atas lebih baik. Mataora mencela cara orang-orang alam bawah mentattoo
diri mereka. Mata-ora masih memahami misi sebagai
masalah kebenaran. Ini sikap yang selalu ditunjukan
gereja dalam pertemuannya dengan orang-orang dari
agama lain. Gereja mencela semua yang dikenal di luar
kekristenan dan menganggap apa yang dimilikinya
lebih baik dan unggul. Gereja meminta orang-orang
lain itu mengukir tubuh mereka dengan cara-cara
yang dikenalnya.
Tetapi segera menjadi nyata bahwa tattoo yang
selama ini dijadikan gereja sebagai tanda identitas
gereja ternyata adalah tanda yang dangkal, hanya ada
di permukaan dan berguna sekedar sebagai hiasan.
Tattoo itu tidak tertanam dalam daging dan darah
gereja. Tattoo seperti ini menghasilkan iman, teologi
dan misi yang dangkal, yang Song namakan iman
steno, teologi steno dan misi steno. Maksudnya, iman,
teologi dan misi itu tidak mengciptakan hubunganhubungan
baru
antar
manusia.
Ia
hanya
melanggengkan kebiasaan dan tradisis yang sudah ada,
Gereja Lintas Agama
163
yakni hubungan basa-basi dan sekedar ramah di
permukaan.50
Dari situ Song menegaskan bahwa misi steno
yang dipahami dan dipraktekkan dengan tujuan untuk
mentobatkan orang beragama lain ke dalam agama
Kristen adalah misi yang dangkal dan asal-asalan.51 Ia
lahir dari teologi atau pemahaman tentang Allah yang
bersifat prematur dan bergerak dalam garis lurus. Misi
dan teologi seperti itu tidak siap hidup dalam kasihderita terhadap Allah dan sesama, malah lebih suka
membuat orang yang kepadanya injil diberitakan
menderita, yakni meminta orang meninggalkan
agamanya untuk beralih ke dalam agama Kristen. Itu
sama dengan mencabut orang yang ditobatkan itu dari
akar budayanya dan mengasingkan dia dari
identitasnya.
Tattoo seperti ditegaskan Song adalah tanda
dari identitas diri seseorang. Tattoo bercerita tentang
asal-usul dan tempat seseorang dalam komunitasnya.
Betapa takutnya Mata-ora ketika tahu bahwa
tattoonya telah hilang. Tanpa tattoo artinya tidak
memiliki identitas diri, tanpa asal usul dan bakal
50
Pernyataan Song ini juga diakui secara eksplisit oleh para
misionaris Eropa yang bekerja di Papua di akhir abad ke-20
saat mereka menceritakan kembali pengalaman mereka.
Lihat Joane Beuker, dkk. Identitas di Dalam Krisis.
Pertanyaan Pada Misi dan Gereja-Gereja di Papua Barat.
WESTPAPUA: Netzwerk.
51
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
33.
164
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
terusir dari komunitasnya. Inilah yang terjadi
manakala seseorang diminta meninggalkan agamanya.
Itu ibarat meniadakan tattoo dari tubuhnya. Ketakutan
ini tidak pernah diperhatikan gereja selama dua
milenium mengerjakan misi.
Beruntung Mata-ora yang adalah representasi
gereja mengalami hal itu. Kehilangan tattoo membuat
dia takut dan merasa hidupnya berada dalam ancam
yang berbahaya. Ia karena itu segera meminta agar
tattoonya dikembalikan, bukan lagi dengan cara asalasalan, tetapi dengan cara yang benar. Tattoo dirinya
dibuat kembali tetapi dengan cara yang benar, yakni
tidak sekedar dipermukaan, tidak lagi sekedar sebagai
hiasan tubuh.
Pertemuan dengan mertuanya yang berasal
dari alam bawah dan pengenalannya terhadap cararcara merajah di alam bawah membuat Mata-ora sadar
akan kualitas tattoo miliknya dan kekurangan dari cara
merajah yang selama ini diandalkannya. Ia juga sadar
bahwa orang-orang di lingkungan yang lain darinya
juga melakukan hal-hal yang sama tetapi dengan cara
yang berbeda dari apa yang dikenalnya. Kita dapat
katakan bahwa dalam pertemuan itu Mata-ora
mengalami pertobatan. Mata-ora tidak lagi meminta
orang lain bertobat. Mata-ora yang bertobat.
Inilah pemahaman misi hasil format ulang
yang harus dilakukan gereja dalam perjumpaan dengan
orang-orang dari agama lain. Gereja perlu bertobat
dari prinsip lama tentang misi, yakni memandang
Gereja Lintas Agama
165
orang lain kafir, tidak memiliki kebenaran ilahi,
berada di luar jangkauan kasih penyelamatan Allah.
Format misi dari Barat yang tidak mau mendengarkan
orang lain, tidak ingin belajar dari umat beragama lain
serta mengkafirkan ibadah, spiritualitas dan pelayanan
mereka harus diubah menjadi sikap saling
mendengarkan untuk bersama-sama terbuka pada
suara Allah.52
Untuk tetap setia dengan gambaran yang
dipakai Song, misi bukan lagi upaya menghapuskan
tattoo milik seseorang dan menggantikannya dengan
tattoo yang baru, tetapi merajah ulang tatto miliknya
dengan cara yang baru sehingga menjadi jati dirinya.
Tatto milik umat beragama lain yang dipahami sebagai
identitas iman agama itu harus tetap dijaga, bahkan
diperdalam
sekaligus
diperluas
makna
dan
penghayatannya, supaya bukan sekedar iman teoritis,
iman steno tetapi iman yang berwujud dalam
perbuatan dan karya nyata dalam masyarakat.
Menjadi jelas dari anjangsana kita ke dalam
pemikiran Song mengenai misi yang ditransposisikan,
yakni bagi Song, misi dan penginjilan tidak harus
membuat seseorang meninggalkan agamanya dan
berpindah ke agama yang baru. Misi harus lebih
mengarah pada penegasan kembali identitas agama dan
iman yang bersangkutan dengan cara-cara yang baru
dan mendalam supaya ia benar-benar berakar dan
Widi Artanto. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks
Indonesia. hlm. 123.
52
166
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
bertumbuh identitas itu secara benar, bukan lagi secara
dangkal, hanya dipermukaan dan sekedar sebagai
hiasan, iman sebagai ungkapan verbalistis dan
penjabaran teoritis. Identitas yang ditegaskan secara
baru itu pada saat yang sama perlu diperluas untuk
ikut memahami identitas sesamanya yang lain supaya
kedua pihak bertumbuh bersama dalam pengetahuan
dan
pengenalan
akan
karya
Allah
yang
menyelamatkan dunia.
Muncul pertanyaan, apakah menurut Song
kata pertobatan sudah menjadi istilah yang usang
sehingga harus dibuang dari perbendaharaan misi dan
pekabaran injil yang dilaksanakan gereja? Song tidak
berpikir seperti itu. Menurut dia pertobatan tetap
dibutuhkan dan wajib dilakukan. Pertobatan adalah
aturan dasar dalam perjumpaan umat dari berbagai
agama yang terlibat dalam dialog. Tetapi pertobatan
yang dimaksud bukan dalam arti perpindahan agama,
melainkan pembaharuan wawasan, cara pandang,
penghayatan dan pengalaman iman. Song menamakan
ini pertobatan dialogis. Dia menulis sebagai berikut:53
Tetapi ada jenis pertobatan lain: berbalik
(metanoia) dari memakai dialog sebagai alat
untuk mengubah iman kepercayaan lain dan
melangkah masuk ke dalam kehidupan mitramitra berdialog. Memang pertobatan dialogis
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
186.
53
Gereja Lintas Agama
167
benar-benar ada. Dialog antar-umat beragama
tanpa pertobatan dalam arti demikian, hanya
akan membuatnya tetap sebagai arena latihan
akademis yang tidak akan memperkaya dan
memperkembangkan serta memperdalam visi
masyarakat spiritual.
Jadi, bagi Song pertobatan itu bukan
pemutusan
hubungan
dengan
persekutuanpersekutuan religius dan kebudayaan masa lampau.
Karena percaya bahwa di kedalaman hidup agamaagama dan kebudayaan manusia ada keterhubungan
yang kuat dengan hakekat universal dari kebenaran
dan kasih Allah, maka tugas misi Kristen adalah untuk
memperhadapmukakan manusia dari agama-agama
lain tadi dengan Yesus Kristus. Dalam pertemuan
dengan Yesus Kristus itu diharapkan bahwa perubahan
terjadi, artinya manusia menjadi sadar akan
kekurangan-kekurangan kepercayaan dan agama yang
lampau.54
Agama Kristen di antara Agama-Agama Dunia
Perjalanan gereja ke ruang hidup agama-agama
lain bukan untuk mentobatkan umat beragama lain
dalam arti mengubah iman kepercayaan mereka tetapi
mengkokohkan iman mereka sebagaimana yang
A.A. Yewangoe. “Kecenderungan-Kecenderungan Dalam.
hlm. 15.
54
168
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
dihayati dalam agamanya itu sehingga iman itu bukan
sesuatu yang dangkal, di permukaan, verbalisme,
sekedar teori dan hanya sebagai hiasan melainkan
iman itu menjadi kebenaran hati. Karena ini
masalahnya maka menjadi jelas bahwa dalam
pandangan Song bahwa agama-agama non-kristen
tidak berada di luar kuasa karya keselamatan Allah di
dalam Kristus.
Agama Kristen bukan agama yang unggul,
agama anak mas Allah, yang diberi hak monopoli
terhadap keselamatan. Agama Kristen berdiri dalam
satu ordo dengan agama-agama dunia lainnya. Song
karena itu dengan terang-terangan menolak pendapat
Karl Barth, raksasa teologi abad ke-20 yang menyebut
agama Budha sebagai ketidakpercayaan; menurut Song
ini sebuah pernyataan yang terlampau gegabah.55
Menempatkan agama Kristen dalam satu ordo
dengan agama-agama manusia lain tidak berarti bahwa
Song menyamakan begitu saja agama-agama manusia.
Tidak! Agama Kristen adalah agama yang unik, unik
dalam caranya memandang keselamatan, unik juga
dalam
caranya menyambut dan
merayakan
keselamatan. Tetapi agama-agama lain juga unik.
Mereka juga memiliki pandangan tentang keselamatan
yang satu dan sama tetapi dari sudut pandang yang
berbeda dari sudut pandang agama Kristen. Song
menulis begini (Sebutkanlah Nama-Nama: 164):
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
180.
55
Gereja Lintas Agama
169
Orang-orang Kristen bukanlah satu-satunya yang
mulai memandang dunia di luar kamar duduknya
sendiri. Hal yang sama dilakukan pula oleh
orang-orang Budhis, Hindu, Yahudi, Muslim dan
Kong Hu Cu. Dan sebagaimana halnya orangorang Kristen, mereka juga cenderung menduga,
berpikir, berspekulasi dan berkesimpulan seperti
Alice. Mengapa tidak?
Semua agama adalah unik. Masing-masing
agama memiliki bahasa dan pemaknaan yang berbeda
terhadap keselamatan. Dengan kata lain agama-agama
adalah alat atau jalan berbeda, tetapi menuju arah yang
sama. Song menegaskan itu saat mengatakan bahwa
Kristus bukan titik tolak agama-agama, tetapi titik
fokus agama-agama.56
Kepelbagaian
sudut
pandang
terhadap
kebenaran yang menghasilkan pemahaman masingmasing agama yang unik terhadap kebenaran bukan
sesuatu yang anomali dan tanda dari penyelewengan
dari jalan Allah yang benar. Tidak! Allah sendiri kata
Song, menghendaki kepelbagaian itu. Song menulis:
“Allah menciptakan kita tidak dengan warna kulit
yang sama, atau bahasa yang sama, atau pikiran yang
sama. Allah bukanlah Allah yang membosankan, yang
menciptakan dunia yang membosankan, dan
56
Choan-seng Song. Dalam: Douglas Elwood. Teologi
Kristen Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm 188.
170
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
menakdirkan
kita
57
membosankan.”
menjadi
manusia
yang
Agama Kristen berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah dengan agama-agama manusia lainya di
hadapan Allah. Hanya Allah saja yang mutlak dan
sempurna. Ini sejalan dengan pendapat Paul
Borthwick. Yang sempurna itu Injil bukan agama
Kristen.58 Tiap-tiap agama mengarahkan perhatian dan
hatinya kepada yang mutlak itu. Dalam kiblat itu
agama-agama tadi mengenal dan memahami
kemutlakan itu, tapi belum menggenggam kemutlakan
itu secara penuh. Mereka hanya berhasil menangkap
secercah kebenaran. Karena itu tidaklah sepatutnya
agama-agama saling melindungi kebenaran. Mereka
harus saling membuka diri untuk melihat cercahan
kebenaran di agama yang lain dan masuk dalam dialog
sebab tampaknya, kata Song, kebenaran lebih suka
berada di antara kumpulan orang dari segala segi
kehidupan.59
Singkat kata, paham tentang agama yang
diperjuangkan Song adalah agama yang memiliki sifatibu, yakni yang kena mengena dengan kehidupan dan
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
168.
58
Paul Borthwick. Six Dangerous Questions… hlm. 48.
59
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
63.
57
Gereja Lintas Agama
171
yang habis-habisan membela kehidupan dan bukan
menghabisi kehidupan itu.60
Penutup
Dalam diskursus kristen tentang komunikasi
antar agama dalam rangka pemahaman akan
kebenaran dan kasih yang lebih dalam dan
komprehensif banyak kali orang selalu merujuk
kepada premis-premis teologi yang diajukan oleh Paul
F. Knitter atau Hans Kung. Orang jarang memberi
perhatian pada pemikir-pemikir Asia, seperti
Aloysious Pieris, Kosuke Koyama atau Choan-seng
Song. Hal ini berlaku juga di antara para pemikir di
Asia. Padahal pemikiran Song tentang komunikasi
antara agama tidak kalah segar dan mengejutkan.
Apalagi Song justru tidak berangkat dari konsepkonsep metafisik dan filosofis yang berat sebagaimana
yang dikenal di dunia pertama (Eropa), tetapi ia
bertolak dari kekayaan kultural dan spirtualitas
masyarakat dunia ketiga, yakni Asia dan Afrika.
Apa yang ingin kami katakan adalah bahwa
Choan-seng Song haruslah ikut didaftarkan bersama
deretan nama mereka-mereka yang menjadi pelopor
sekaligus juga pejuang perdamaian dunia dan umat
manusia yang dimulai dengan perdamaian agama-
Choan-seng Song. “Oh, Yesus, Sini Bersama Kami.”
Dalam: R.S. Sugirtharajah. Wajah Yesus di Asia. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 1996. hlm. 212.
60
172
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
agama. Song tanpa ragu menunjukkan kepada kita
bahwa agama-agama manusia, apapun juga namanya,
Kristen dan bukan Kristen mengisyaratkan adanya
pencaharian akan Allah dalam seluruh derap
kehidupan urat nadi agama-agama itu. Mereka dilihat
Song sebagai jalan-jalan yang berbeda, tetapi yang
mengarah kepada tujuan yang sama.
Dialog antar umat beragama yang berlangsung
dalam bentuk dialog kehidupan merupakan suatu
keharusan teologis dan spiritual, bukan sekedar
keharusan religius, sosial, akademis atau intelektual.
Umat dari agama-agama yang berbeda harus selalu
menemukan dirinya berada dalam perjalanan menuju
ke dalam ruang kehidupan dan spiritualitas agama lain,
bukan pertama-tama untuk mentobatkan agama itu
melainkan untuk bertobat, dalam arti melakukan
format ulang terhadap bingkai pemahamannya akan
kehadiran dan karya Allah dalam agama lain itu.
Dari ruang kehidupan dan spiritualitas agama
lain itu umat beragama kembali harus menemukan diri
dalam perjalanan ke ruang terdalam dari
religiositasnya untuk memperluas warisan iman dan
wawasan kebenaran dalam ego-agamanya dengan
amunisi baru yang telah dia peroleh dalam dialog
kehidupan yang telah terjadi. Berada dalam ziarah
bolak-balik tadi menurut Song bukan suatu tanda
bahwa kita menjadi kurang kristiani, tetapi justru
karena kita telah menjadi lebih kristiani.
Gereja Lintas Agama
173
Download