Mendeteksi Munculnya Ayam Kerdil Oleh : Drh. Tarmudji MS Kekerdilan atau Sindroma Kekerdilan (SK) pada ayam sangat merugikan. Kerena, ayam yang kerdil sulit dijula, konversi pakan yang tinggi dan dapat mengakibatkan kematian. Walaupun tingkat kematiannya tidak terlalu tinggi. Bagaimana ciri-cirinya? Akhir-akhir ini, SK muncul lagi pada beberapa peternakan ayam pedaging komersial dan pada Broiler breeding farm. Adanya kasus semacam ini menimbulkan kerugian peternak, karena jumlah ayam kerdil bisa mencapai 10-50 persen dari populasi. Sebenarnya SK ini sudah pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dan mendapat perhatian dari pihak pemerintah maupun pelaku bisnis perunggasan. Merebaknya kembali kasus ini setelah wabah Avian Influenza (AI), menimbulkan tanda tanya. Beberapa kalangan peternak menghubung-hubungkan kasus ini dengan wabah AI. Karena SK pada ayam kali ini terjadi setelah Indonesia terserang wabah AI. Penyakit kekerdilan ini pertama kali dilaporkan di Eropa, yaitu di Belanda pada tahun 1970. Kemudian menyebar ke Inggris (1981), Australia (1980), Amerika Serikat (1981) dan Asia (1985). Di Indonesia, penyakit kekerdilan, pertama kali dilaporkan oleh Dharma pada tahun 1985. Penyakit yang ditandai dengan gejala ayam menjadi kerdil (lambat tumbuh) dan bulu sayap terbalik ini dilaporkan terjadi di Bali dan Jawa Timur. Selanjutnya pada tahun 1998-1999, peneliti Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) melaporkan kejadian kekerdilan pada peternakan ayam di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa, ayam yang berumur 12 - 31 hari hanya memiliki bobot badan sekitar 125-373 gram. Penyakit Helikopter Sindroma Kekerdilan merupakan suatu penyakit, di mana ayam tidak tumbuh dan berkembang seperti layaknya ayam normal. SK adalah Sindroma pada ayam muda, terutama ayam pedaging yang ditandai adanya derajat gangguan pertumbuhan (ringan sampai berat). Sebagai agen spesifik penyebabnya belum diketahui dengan jelas. Namun dari hasil penelitian menyebutkan bahwa, virus merupakan agen yang bertanggungjawab terhadap timbulnya penyakit menular ini. Diduga banyak penyebabnya, antara lain, Reo virus, Rota virus, Parvo virus, Entero virus dan Corona virus. Reovirus, dapat diisolasi dari jaringan ayam sehat pada umur satu sampai dua minggu. Manifestasi penyakit setelah infeksi dengan reovirus tergantung pada umur ayam, strain virus dan rule infeksi. Penularan penyakit dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal. Reovirus dapat diekskresikan dari saluran pencernaan dan pernafasan. Feses merupakan sumber utama penularan secara horizontal. Anak ayam umur satu hari lebih peka terhadap reovirus yang ditularkan melalui saluran pernafasan dibanding penularan secara oral. Banyak nama yang diberikan pada penyakit ini. Yaitu, Infectious Stunting Syndrome, Helicopter disease, Malabsorption Syndrome, Pale bird Syndrome atau Brittle bone Syndrome. Penyakit ini menyerang ayam dan kalkun, baik yang jantan maupun betina. Dilaporkan hewan yang muda lebih sensitif daripada yang dewasa dan semua jenis ayam dapat terse rang penyakit ini. Anak ayam yang terserang virus ini memperlihatkan penurunan laju pertumbuhan yang nyata pada umur 5-7 hari. Dan anak ayam yang lambat tumbuh alias kerdil ini akan terlihat jelas pada umur dua minggu. Pertumbuhan bulu yang terhambat, sampai umur 30 hari bulu di bagian bawah kepala masih berwarna kuning, sehingga disebut dengan “Kepala kuning". Anak ayam ini juga memperlihatkan abdomen yang menggantung dan nafsu makannya yang sangat tinggi. Tangkai bulu sayap primernya nampak patah-patah dan bulunya seperti balingbaling rotor. Oleh karena itu disebut juga penyakit helikopter (Helicopter Disease). Menjelang umur 5 minggu, anak ayam yang sakit bisa mencapai 25%, dengan bobot badan berkisar 250 gram. Dan ukurannya kurang dari separuh ukuran normal dari kawan sekandangnya. Kotorannya berwarna kuning dan lembek dan menunjukkan adanya partikel biji-bijian yang tidak dicerna. Ayam yang sakit terlihat malas berjalan karena adanya sindroma yang mirip rakhitis. Ayam Kerdil Segera Diatkir Para ahli melaporkan bahwa, target organ dari SK adalah usus sehingga menyebabkan gangguan pencernaan berbentuk diare dan lesi pada usus. Anak ayam biasanya mengalami gangguan proses digesti dan absorbsi berbagai nutrien penting dalam pakan, yang mendukung berbagai manifestasi penyakit tersebut. Pada bedah bangkai ayam penderita SK, dijumpai adanya peradangan pada proventrikulus (proventrikulitis) dan usus (enteritis), atropi/pengecilan dari organ pankreas, thymus dan bursa fabricius. Juga terlihat adanya kelainan pada tulang, terutama defect pada tulang paha (femur) sehingga tulang menjadi mudah patah (brittle/ os teoporosis). Secara mikroskopik terlihat pembesaran (hipertropi) dan perbanyakan (hiperplasia) dari epitel mukosa proventrikulus. Pada usus terjadi enteritis kataralis berupa pelebaran/dilatasi krypta usus dan atropi villi usus. Pada pankreas terlihat infiltrasi set-set radang, degenerasi, atropi dan fibroplasi dari jaringan eksokrin. Diagnosis didasarkan pada sejarah induk-induk muda yang menghasilkan anak ayam yang sakit dengan gejala klinis khas, yang muncul pada kisaran umur 7-35 hari. Dan biasanya lebih tepat jika diagnosis dibuat setelah anak ayam berumur lebih dari 14 hari. Pada saat dijumpai adanya sejumlah anak ayam kecil yang mempunyai nafsu makan yang besar, sangat aktif dan menunjukkan pertumbuhan bulu yang abnormal. Secara primer, SK ini disebabkan oleh virus, namun ada beberapa jenis bakteri dan berbagai faktor manajemen yang ikut mendukung terjadinya sindroma tersebut. Tidak ada pengobatan spesifik untuk penyakit kerdil. Anak-anak ayam yang sakit/kerdil hendaknya segera diafkir / dikeluarkan sejak umur 14-28 hari. Pemisahan ayam-ayam yang sakit ini mungkin dapat mengurangi peluang penularan virus secara lateral. Vaksinasi dilaporkan tidak bisa efektif mengontrol penyakit ini. Peningkatan sanitasi, pemberian desinfektan yang tepat dan memperhatikan kepadatan kandang diharapkan dapat mengurangi jumlah ayam yang diafkir. Memperketat kontrol pakan dan menghindari DOC dari bibit yang muda, dilaporkan dapat mengurangi kasus penyakit ini. Drh. Tarmudji MS Penulis adalah Peneliti pada Balitvet Bogor Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 7 Juli 2004