Atribusi Sosial - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Psikologi Sosial 1
Atribusi Sosial
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
07
Kode MK
Disusun Oleh
61017
Filino Firmansyah, M.Psi
Abstract
Kompetensi
Materi tentang Teori Atribusi Heider,
Mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali mengenai Teori
Teori Atribusi dari Kelley, Dimensi
Lain dari Atribusi Kausal.
Atribusi Heider, Teori Atribusi dari
Kelley, Dimensi Lain dari Atribusi
Kausal.
Atribusi Sosial
Atribusi Sosial bertujuan untuk dapat memahami sebab-sebab dari tingkah laku orang lain
Teori Atribusi dari Heider
(http://2.bp.blogspot.com/-VSERD4aNpT8/TqLx1KupS9I/AAAAAAAAADM/khILHFfwVMk/s1600/178.gif)
Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh Heider pada tahun 1925.
Dalam tradisi fenomenologi, pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana kita melakukan
kontak dengan dunia nyata jika pikiran kita hanya memiliki data indrawi (kesan dan
pengalaman). Psikologi gestalt mencoba untuk mengenali prinsip-prinsip yang mengatur
bagaimana pikiran membuat penyimpulan tentang dunia dari data indrawi (membuat data
indrawi jadi bermakna). Heider bertanya, bagaimana kita “mengatribusi data indrawi, kepada
objek-objek tertentu di dunia .“ Atribusi merupakan tindakan penafsiran; apa yang “terberi”
(kesan dari data indrawi) dihubungkan kembali kepada sumber asalnya. Contoh, ketika saya
mendapat kesan warna merah dari sebuah benda, maka saya menyimpulkan bahwa benda
itu berwarna merah. Artinya, saya mengatribusikan kesan warna merah itu pada benda yang
memberi saya kesan warna merah. Contoh lain dari atribusi, ketika saya bertemu dengan
seseorang yang menampilkan ekspresi wajah tidak ramah dan posisi duduk yang terkesan
berjarak dari orang lain, maka saya menyimpulkan bahwa orang itu tidak ramah. Dari sini,
‘13
2
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kita dapat mengatakan bahwa atribusi merupakan analisis kausal, yaitu penafsiran terhadap
sebab-sebab dari mengapa sebuah fenomena menampilkan gejala-gejala tertentu.
Heider, yang dikenal sebagai bapak dari teori atribusi, percaya bahwa orang
seperti ilmuwan amatir, berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan
mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada
sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang bertingkah laku tertentu.
Dalam buku The psychology of Interpersonal Relations, Heider (dalam
Sarwono dan Mainarno, 2009) menggambarkan apa yang disebutnya “naive theory of
action”, yaitu kerangka kerja konseptual yang digunakan orang untuk menafsiran,
menjelaskan dan meramalkan tingkah laku orang lain. Dalam kerangka kerja ini, konsep
intensional (seperti keyakinan, hasrat, niat, keinginan untuk mencoba dan tujuan)
memainkan peranan penting. Akan tetapi. Heider juga mengodopsi teori Lewin yang
membuat perbedaan antara penyebab pribadi dan situasi, serta menyatakan bahwa orang
menggunakan perbedaan ini dalam menjelaskan tingkah laku. Di satu sisi, pertentangan
mengenai konsep intensional dan perbedaan pribadi situasi di sisi lain, belum terselesaikan
hingga saat ini. Heider tidak memperjelas hubungan keduannya dan ia lebih fokus kepada
perbedaan pribadi situasi pada studi lanjutannya.
Menurut Heider, ada dua sumber atribusi terhadap tingkah laku :
(1) Atribusi internal atau disposisonal
(2) Atruibusi eksternal atau lingkungan.
Pada atribusi internal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang
disebabkan oleh sifat-sifat atau disposisi (unsur psikologis yang mendahului tingkah laku).
Pada atribusi eksternal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh
situasi tempat orang itu berada.
Analisis tentang bagaimana orang menyimpulkan disposisi dari tingkah laku
dilakukan oleh Jones dan Davis (dalam Sarwono dan Mainarno, 2009). Mereka melihat
putusan-putusan dari intensi sebagai syarat dari putusan-putusan tentang disposisi. Akan
tetapi, studi lebih diarahkan kepada faktor-faktor disposisional pada kajian selanjutnya.
‘13
3
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
(http://www.integratedsociopsychology.net/wpimages/wp99f4ed80_05_1a.jpg)
Teori Atribusi dari Kelley
Kelley (dalam Sarwono dan Mainarno, 2009) mengajukan model proses
atribusi yang tidak lagi merujuk pada intensi. Menurut Kelley, untuk menjadikan tingkah laku
konsisten, orang membuat atribusi personal ketika konsensus dan kekhususan, orang
membuat atribusi stimulus. Jadi, atribusi dipengaruhi oleh faktor-faktor dan interaksi orang
dengan situasi yang dihadapinya, bukan pada faktor intensional.
1. Konsensus didefinisikan sebagai sejauh mana orang lain bereaksi
terhadap beberapa stimulus atau kejadian dengan cara yang sama
dengan orang yang sedang kita nilai.
2. Kekhususan adalah sejauh mana seseorang seseorang merespons
dengan cara yang sama terhadap stimulus atau kejadian yang berbeda.
3. Konsistensi didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang merespons
stimulus atau situasi dengan cara yang sama dalam berbagai peristiwa
(misalnya, dalam waktu dan tempat yang berbeda cara merespons tetap
sama). Konsistensi juga merupakan faktor penting dalam menentukan
apakah atribusi yang dihasilkan melibatkan faktor personal atau stimulus.
‘13
4
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sebuah contoh, ketika kita diminta menilai mengapa seseorang yang tidak
kita kenal mencela sebuah film yang diperlihatkan kepadanya. Jika kita tahu ada orang lain
yang tidak menilai jelek film itu (consensus rendah) dan kita tahu bahwa di masa lalunya
orang tersebut sering mencela film (keberbedaan rendah), maka kita akan membuat atribusi
personal. Misalnya, dengan mengatakan bahwa orang tersebut punya standar yang tinggi
untuk film atau memang memiliki kecenderungan negativistic. Penilaian kita selalu dikaitkan
dengan karakteristik personal orang tersebut, juga karena kita mempersepsikan adanya
konsistensi yang tinggi pada respons orang yang kita nilai terhadap film yang sedang
dipertunjukkan. Di sisi lain, jika kita tahu bahwa orang-orang lain juga mencela film itu
(consensus tinggi) dan orang-orang yang sedang kita nilai jarang mencela film-film lain
(keberbedaan tinggi), sedangkan untuk film yang sedang dipertunjukkan itu orang itu selalu
mencela, maka kita akan membuat atribusi stimulus. Misalnya, dengan mengatakan bahwa
film yang diperlihatkan itu memang jelek. Di sini, konsistensi yang tinggi juga berperan
dalam dihasilkannya atribusi stimulus
(https://psychohawks.files.wordpress.com/2011/04/screen-shot-2011-04-10-at-16-03-22.png)
‘13
5
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Konsensus
Kekhususan
Konsistensi
Rendah
Rendah
Rendah
Orang lain tidak
mencela film
yang
dipertunjukkan
Orang yang
tidak dikenal
mencela filmfilm lainnya
Orang yang
tidak dikenal
selalu
mencela film
yang
Atribusi
Personal
dipertunjukkan
Orang yang
tidak dikenal
mencela film
‘13
6
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Orang lain
mencela film
yang
dipertunjukkan
Orang yang
tidak dikenal
jarang mencela
film-film lainya
Orang yang
tidak dikenal
selalu mencela
film yang
dipertunjukkan
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Atribusi
Stimulus
Dimensi Lain dari Atribusi Kausal
Selain ingin mengetahui apakah tingkah laku orang lain disebabkan oleh
faktor internal atau eksternal, kita juga biasanya ingin mengetahui :
-
faktor penyebab yang mempengaruhi tingkah laku itu menetap atau hanya
sementara
-
apakah faktor-faktor itu dapat dikendalikan atau tidak (Weiner dalam Sarwono dan
Mainarno, 2009).
Dimensi atribusi kausal ini terlepas dari dimensi inter-eksternal. Ada faktor penyebab internal
yang stabil serta tidak berubah seiring ruang dan waktu., seperti :
-
Faktor internal :
-
o
sifat kepribadian
o
tempramen (Miles, & Carey dalam Sarwono dan Mainarno, 2009).
Faktor ekternal :
o
norma sosial
o
kondisi geografis
Di sisi lain, ada faktor penyebab yang berubah-ubah seperti :
-
Faktor internal :
-
‘13
o
motif
o
kesehatan
o
kelelahan
o
suasana hati.
Faktor-faktor penyebab eksternal.
7
o
nasib baik
o
tuntutan orang lain
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
o
Discounting
Kita dapat melakukan atribusi dengan menggunakan beragam penyebab
potensial yang berbeda. Contoh berikut ini dapat menunjukkan kepada kita
tentang hal tersebut. Ketika kita bertemu dengan seseorang teman yang memuji
penampilan kita, kita merasa senang dan menilai usaha kita memilih baju tadi
pagi tidak sia-sia. Kita juga bisa menilai bahwa teman tersebut memiliki selera
yang relative sama dengan kita. Akan tetapi, setelah bercakap-cakap beberapa
saat, teman kita mengajukan permohonan bantuan untuk mengerjakan sebuah
pekerja yang tidak mudah. Pemintaan itu membuat kita mempertanyakan lagi
mengapa ia memuji penampilan kita. Kita bisa aja berpikir, “Jangan-jangan ia
memuji karena mau mengambil hati supaya saya mau membantunya?” Namun,
mungkin juga dia memang sungguh-sungguh ingin memuji penampilan kita,
terlepas dari keinginannya meminta bantuan kita.
Ada dua hal yang mungkin menjadi penyebab dari tingkah laku teman kita
tersebut. Kita bisa saja terlibat dengan apa yang oleh psikolog sosial disebut
discounting, yaitu kita menilai penyebab pertama bahwa ia punya selera yang
relative sama dan berbaik hati memuji kita menjadi kurang penting atau
merupakan efek dari penyebab lain, yaitu meminta bantuan kita.
Banyak penelitian tentang gejala ini menunjukkan bahwa discounting merupakan
hal yang cukup umum terjadi dan memberikan pengaruh yang besar terhadap
atribusi kita dalam berbagai situasi (di antaranya Gilbert & Malone dalam
Sarwono dan Mainarno, 2009; Morris & Larick dalam Sarwono dan Mainarno,
2009; Trope & Liberman dalam Sarwono dan Mainarno, 2009).
‘13
8
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
o
Augmenting
Kita bayangkan kemungkinan kejadian lain. Jika teman kita yang
memberikan pujian itu adalah orang yang setahu kita tidak pernah atau jarang
sekali memuji penampilan orang lain, maka kita bisa jadi menilai tingkah laku
memujinya itu sebagai tindakan yang tulus. Permintaan bantuannya mungkin
memang sudah sejak awal diniatkan untuk disampaikan kepada kita, tetapi itu hal
tersebut disampaikan belakangan karena ia sungguh-sungguh tergugah oleh
penampilan kita.
Psikolog sosial menyebut gejala tersebut sebagai augmenting, yaitu
kecenderungan untuk menambah bobot atau sifat penting terhadap sebuah
faktor yang mungkin menfasilitasi tingkah laku yang ditampilkan ketika faktor ini
dan faktor lainnya yang mungkin menghambat tingkah laku itu muncul
bersamaan. Dengan pertimbangan bahwa tingkah laku itu tetap ditampilkan, kita
menilai bahwa faktor yang menfasilitasi tingkah laku itu tetap ditampilkan, kita
menilai bahwa faktor yang menfasilitasi tingkah laku itu jauh lebih besar
pengaruhnya daripada faktor yang menghambatnya.
Dalam keseharian, gejala discounting dan augmenting banyak kita temukan. Dua gejala ini
menggugah para peneliti di bidang psikologi sosial untuk menguji secara ilmiah
keberadaannya. Hasilnya memperkuat pendapat bahwa gejala discounting dan augmenting
berperan dalam atribusi kausal. Bukti yang menguatkan fenomena atribusi yang melibatkan
discounting dan augmenting ditunjukkan dalam banyak studi (di antaranya McCluer dalam
Sarwono dan Mainarno, 2009).
‘13
9
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
‘13
10
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download