bab ii tinjauan pustaka

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Makrozoobentos
Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di
dalam atau di permukaan substrat dasar perairan (Odum, 1994). Organisme ini
terdiri atas kelompok hewan (zoobentos) dan tumbuhan (fitobentos). Berdasarkan
ukurannya, Levinton (1982) mengelompokkan hewan bentos atas tiga golongan
yaitu:
a. Makrofauna atau makrozoobentos yang merupakan kelompok hewan bentos
berukuran ≥ 0,5 mm.
b. Mesofauna atau mesozoobentos yang merupakan kelompok hewan bentos
berukuran 0,5 – 0,1 mm.
c. Mikrofauna atau mikrozoobentos yang merupakan kelompok hewan bentos
berukuran < 0,1 mm.
Mann (1980), Lalli dan Parsons (1993) menyatakan hewan bentos yang
hidup di substrat dasar perairan dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan
sesuai dengan ukurannya yaitu:
a. Makrobentos yang berukuran > 1 mm, merupakan kelompok terbesar dan
terdiri dari makrofitobentos dan makrozoobentos.
b. Meiobentos atau mesobentos yang berukuran 0.1 mm sampai 1 mm,
merupakan kelompok hewan kecil yang banyak ditemukan di pasir atau
lumpur. Termasuk didalamnya moluska kecil, cacing kecil dan kerustasea
kecil.
c. Mikrobentos yang berukuran < 0.1 mm, termasuk dalam kelompok ini adalah
protozoa, khususnya ciliata.
Berdasarkan cara makannya, hewan bentos dapat dibagi atas dua bagian
yaitu hewan bentos tipe pemakan deposit (deposit feeder) pada butiran-butiran
yang halus dan tipe pemakan suspensi (suspension feeder) pada butiran-butiran
Universitas Sumatera Utara
agak kasar yang kandungan bahan organiknya sedikit (Nybakken, 1992). Pemakan
deposit makan dengan cara meliangi substrat, menelan dan mencernakan bahan
organik serta bakteri yang terdapat di dalam substrat yang akhirnya dikeluarkan
melalui anus, termasuk di dalamnya polychaeta dan bivalvia. Pemakan suspensi
disebut sebagai pemakan bahan-bahan tersaring yang makan dengan cara
menggerakkan cilianya, sehingga air beserta partikel-partikel makanan melewati
suatu alat penyaring, termasuk di dalamnya beberapa jenis kerang. Tipe pemakan
ini dominan pada sedimen berpasir yang pergerakan airnya kuat untuk mengaduk
partikel-partikel mineral yang halus. Webber dan Thurman (1991) menyatakan
sumber makanan makrozoobentos umumnya berasal dari bahan organik yang
terlarut dalam air, zooplankton, fitoplankton maupun diatom yang terdapat di
permukaan sedimen.
2.2. Habitat dan Distribusi Makrozoobentos
Makrozoobentos merupakan organisme yang banyak ditemukan di
perairan
laut,
estuari,
maupun
perairan
tawar.
Menurut
habitatnya
makrozoobentos dapat dikelompokkan menjadi infauna dan epifauna. Infauna
adalah makrozoobentos yang hidupnya terpendam di dalam substrat perairan
dengan cara menggali lubang, Sebagian hewan tersebut bersifat sesil. Epifauna
adalah makrozoobentos yang hidup di permukaan dasar perairan, gerakannya
lambat di atas permukaan substrat yang lunak atau menempel dengan kuat pada
substrat padat yang terdapat di dasar (Levinton, 1982).
Menurut Lalli dan Parson (1993 kelompok infauna sering mendominasi
komunitas substrat yang lunak dan melimpah di daerah subtidal, sedangkan
kelompok epifauna dapat ditemukan pada semua jenis substrat tetapi lebih
berkembang pada substrat yang keras dan melimpah di daerah intertidal.
Selanjutnya Sumich (1992) menyatakan makrozoobentos dari kelompok epifauna
lebih sensitip dari kelompok infauna.
Mann dan Barnes (1991) menyatakan kondisi lingkungan seperti substrat
dasar dan kedalaman dapat menggambarkan variasi yang amat besar bagi
keberadaan makrozoobentos, sehingga sering dijumpai perbedaan jenis pada
Universitas Sumatera Utara
daerah yang berbeda. Adaptasi makrozoobentos pada substrat yang keras berbeda
dengan makrozoobentos yang hidup pada substrat yang lunak. Perbedaan ini dapat
dilihat dari bentuk morfologi, cara makan, adaptasi terhadap faktor fisik, seperti
perubahan temperatur, salinitas dan terhadap faktor-faktor kimia. Perbedaan ini
menyebabkan makrozoobentos menempati substrat yang berbeda. Pada substrat
yang keras, makrozoobentos harus menempel. Substrat keras ini dapat berupa
batuan maupun kayu. Makrozoobentos yang bersifat mobil memiliki organ
pergerakan yang memungkinkannya bergerak di sepanjang permukaan dan harus
tahan terhadap gelombang.
Levinton (1982) menyatakan makrozoobentos di perairan memiliki
beberapa adaptasi untuk mempertahankan diri dari arus dan gelombang antara
lain:
- Bertahan secara permanen pada substrat yang kokoh seperti batu dan batang
pohon
- Melekat dengan alat pelekat
- Memiliki bentuk tubuh yang lentur untuk meminimalkan tekanan air terhadap
permukaan tubuh
- Berlindung di celah bebatuan
2.3 Peranan Makrozoobentos
Makrozoobentos memegang peranan penting di dalam ekosistem perairan,
terutama dalam proses mineralisasi dan pendaur ulang bahan organik, baik yang
berasal dari perairan maupun daratan. Kebanyakan makrozoobentos bersifat
sebagai pengurai dan di dalam jaring makanan mkrozoobentos mempunyai
peranan penting dalam mengubah bahan organik yang berenergi rendah menjadi
makanan berkualitas tinggi bagi tingkatan tropik yang lebih tinggi seperti ikan dan
udang (Goldman dan Home, 1983).
Menurut Odum (1994) makrozoobentos memegang peranan penting dalam
ekosistem perairan dan menduduki beberapa tingkatan tropik pada rantai makanan
yaitu:
Universitas Sumatera Utara
- Graser, merupakan hewan pemakan tumbuhan air dan perifiton.
- Sereder, merupakan hewan pemakan partikel organik kasar.
- Kolektor, merupakan hewan pemakan partikel organik halus.
- Predator, merupakan hewan pemangsa bagi hewan lainnya.
Menurut Rosenberg dan Vincent (1993) makrozoobentos bukan saja
berperan sebagai penyusun komunitas, namun juga dapat digunakan dalam studi
kuantitatif untuk mengetahui kualitas perairan. Makrozoobentos pada umumnya
sangat peka terhadap perubahan lingkungan perairan yang ditempatinya, sehingga
sering digunakan sebagai bioindikator kualitas suatu perairan dengan beberapa
pertimbangan, antara lain:
- Pergerakannya sangat terbatas sehingga memudahkan untuk pengambilan
sampel.
- Ukuran tubuh relatif besar sehingga memudahkan dalam identifikasi.
- Hidup di dasar perairan, relative diam, sehingga secara terus menerus terdedah
oleh air di sekitarnya.
- Pendedahan yang terus menerus menyebabkan makrozoobentos di pengaruhi
oleh kondisi lingkungan.
Menurut Hawkes (1979) dalam Sastrawijaya (1991) dengan mempelajari
komposisi jenis makrozoobentos di suatu perairan dapat diketahui apakah perairan
tersebut sudah tercemar atau belum. Perairan yang masih baik dapat menunjang
keragaman jenis makrozoobentos yang hidup pada perairan tersebut. Sebaliknya
perairan dengan kualitas yang tidak baik keragaman makrozoobentosnya akan
menurun atau sedikit. Patrick (1949) dalam Odum (1994) menyatakan suatu
perairan yang baik akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari semua
jenis makrozoobentos yang ada, sebaliknya suatu perairan yang tercemar jumlah
individu tidak sama dan ada kecenderungan satu jenis makrozoobentos yang
mendominasi.
2.4. Deskripsi Perairan Estuari
Perairan estuari adalah suatu perairan semi tertutup yang terdapat di hilir
sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya
Universitas Sumatera Utara
percampuran air laut dan air tawar dari sungai atau drainase yang berasal dari
muara sungai, teluk, rawa pasang surut. Estuari merupakan tempat bersatunya
sungai dengan laut. Estuari sering dibatasi oleh lempengan lumpur intertidal yang
luas atau rawa garam. Salinitas air berubah secara bertahap mulai dari daerah air
tawar ke laut. Salinitas ini juga dipengaruhi oleh siklus harian dengan pasang
surut airnya (Dahuri, 1996).
Wilayah estuari meliputi muara sungai dan delta-delta besar, hutan
mangrove dekat estuari, hamparan lumpur dan pasir yang luas. Wilayah estuari
dapat dikatakan sebagai wilayah yang sangat dinamis, karena selalu terjadi proses
dan perubahan baik lingkungan fisik maupun biologis. Menurut Edwarsyah
(2010) dinamika di perairan estuari dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
- Pasokan air tawar
- Beban sedimen dari daratan
- Vegetasi pesisir seperti mangrove
- Proses di pesisir, termasuk pasang surut
- Gelombang dan pola arus
- Perubahan di daratan dan permukaan air laut
Perbedaan salinitas di perairan estuari mengakibatkan terjadinya proses
pergerakan masa air. Air asin yang memiliki masa jenis lebih besar dari air tawar,
menyebabkan air asin di muara yang berada di lapisan dasar mendorong air tawar
menuju laut. Proses pergerakan antara masa air laut dan air tawar menurut Gross
(1987)
menyebabkan
terjadinya
stratifikasi
yang
kemudian
mendasari
terbentuknya tipe-tipe estuari, yaitu :
a. Estuari berstratifikasi sempurna atau estuari baji garam (salt wedge estuary),
jika aliran sungai lebih besar dari pasang surut sehingga mendominasi sirkulasi
estuari.
b. Estuari berstratifikasi sebagian atau parsial (moderately stratified estuary), jika
aliran sungai berkurang dan arus pasang surut lebih dominan, maka akan
terjadi percampuran antara sebagian lapisan masa air.
c. Estuari campuran sempurna atau estuari homogen vertikal (well-mixed
estuary), jika aliran sungai kecil atau tidak ada sama sekali dan arus serta
Universitas Sumatera Utara
pasang surut besar, maka perairan menjadi tercampur hampir keseluruhan dari
atas sampai dasar.
Bentuk estuari bervariasi dan sangat bergantung pada besar kecilnya air
sungai, kisaran pasang surut, dan bentuk garis pantai. Kebanyakan estuari
didominasi subtrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air tawar
maupun air laut. Partikel yang mengendap kebanyakan bersifat organik dimana
subtrat dasar estuari biasanya kaya akan bahan organik. Bahan organik ini
menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuari (Dahuri, 1996). Sutomo
(1999) menyatakan faktor penting yang mempengaruhi produktifitas tinggi di
wilayah estuari selain guguran serasah mangrove yang mengalami dekomposisi,
juga adanya curah hujan yang membawa unsur-unsur hara dari darat ke laut
melalui aliran sungai, adanya pengadukan oleh angin, arus pasang surut dan
gelombang.
2.6. Tipe Estuari
Menurut Bengen (2002) estuari dapat dikelompokkan atas empat tipe,
berdasarkan karakteristik geomorfologinya, sebagai berikut:
1) Estuari daratan pesisir, paling umum dijumpai, dimana pembentukannya terjadi
akibat kenaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai
yang landai.
2) Laguna (Gobah) atau teluk semi tertutup, terbentuk oleh adanya beting pasir
yang terletak sejajar dengan garis pantai sehingga menghalangi interaksi
langsung dan terbuka dengan perairan laut.
3) Fjords, merupakan estuari yang dalam, terbentuk oleh aktivitas glesier yang
mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut.
4) Estuari tektonik, terbentuk akibat aktivitas tektonik (gempa bumi atau letusan
gunung berapi) yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang
kemudian digenangi oleh air laut pada saat pasang.
Universitas Sumatera Utara
2.6.
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi
Makrozoobentos di Perairan Estuari
Keberadaan
Genus
Makrozoobentos sebagai organisme dasar perairan, memiliki habitat yang
relatif tetap. Perubahan kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keragaman dan
distribusi makrozoobentos. Nybakken (1992) menyatakan sifat fisik dan kimia
perairan sangat penting di dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan
pengamatan faktor biotik seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan
pengamatan faktor-faktor lingkungan dalam suatu perairan. Faktor lingkungan
yang mempengaruhi keragaman dan distribusi makrozoobentos antara lain:
a. Suhu Perairan
Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam
mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme termasuk makrozoobentos.
Suhu perairan juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen
dalam suatu perairan. Bila suhu dalam suatu perairan mengalami kenaikan, maka
kelarutan oksigen dalam perairan akan naik dan menyebabkan hadirnya berbagai
organisme perairan termasuk makrozoobentos. Batas toleransi hewan bentos
terhadap suhu perairan tergantung jenisnya. Umumnya temperatur di atas 30°C
dapat menekan pertumbuhan populasi hewan bentos (James dan Evison, 1979).
b. Penetrasi Cahaya
Cahaya matahari yang sampai di permukaan air laut akan di serap dan
diseleksi oleh air laut sehingga cahaya dengan gelombang yang panjang seperti
cahaya merah, ungu dan kuning akan hilang lebih dahulu. Cahaya dengan panjang
gelombang yang pendek mampu menembus permukaan yang lebih dalam.
Banyaknya sinar matahari yang masuk ke kolom air berubah-ubah tergantung
pada intensitas cahaya, banyaknya pemantulan di permukaan, sudut datang cahaya
dan transparansi permukaan air (Wiwoho, 2008). Perubahan intensitas cahaya di
permukaan laut bervariasi berdasarkan musim.Penurunan intensitas cahaya dan
absorbsi akan berkurang karena di pengaruhi oleh kedalaman.
Universitas Sumatera Utara
c. Kecepatan Arus.
Menurut Kementerian Lingkungan hidup (2011) arus mempunyai
pengaruh positif maupun negatif terhadap kehidupan biota perairan. Di perairan
dengan dasar lumpur arus dapat mengaduk endapan lumpur sehingga
mengakibatkan kekeruhan air yang dapat menyebabkan kematian bagi beberapa
biota perairan. Kekeruhan juga dapat mengakibatkan berkurangnya penetrasi sinar
matahari, sehingga mengurangi aktivitas fotosintesis. Manfaat dari arus bagi
banyak biota adalah menyangkut penambahan makanan bagi biota-biota tersebut.
d. Salinitas
Salinitas adalah jumlah total garam-garam terlarut (dinyatakan dalam
gram), yang terkandung dalam 1 kg air laut. Di daerah khatulistiwa, salinitas
mempunyai nilai yang rendah. Salinitas tertinggi terdapat di daerah lintang 20°
LU dan 20° LS, kemudian menurun kembali pada daerah lintang yang lebih
tinggi. Keadaan salinitas yang rendah pada daerah sekitar ekuator disebabkan oleh
tingginya curah hujan (Wiwoho, 2008).
Salinitas merupakan faktor abiotik yang sangat menentukan penyebaran
biota
laut
termasuk
makrozoobentos.
Salinitas
juga
berperan
dalam
mempengaruhi proses osmoregulasi biota perairan termasuk makrozoobentos.
Salinitas pada kedalaman 100 meter pertama, dapat dikatakan konstan, walaupun
terdapat sedikit perbedaan yang tidak mempengaruhi ekologi secara nyata,
sedangkan pada kedalaman 0 m hingga hampir mencapai 1.000 m salinitas
berkisar antara 35,5‰ dan 37‰ (Nybakken, 1992).
e. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam
perairan, terutama dalam proses respirasi sebagian besar organisme air termasuk
makrozoobentos. Menurut Darmono (2001) kehidupan makhluk hidup di dalam
air tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen
minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Oksigen terlarut dapat berasal dari
proses fotosintesis tanaman air, dimana jumlahnya tidak tetap tergantung dari
Universitas Sumatera Utara
jumlah tanamannya dan dari atmosfir (udara) yang masuk kedalam air. Fardiaz
(1992) menyatakan konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan
mengakibatkan biota perairan yang membutuhkan oksigen akan mati.
Kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada temperatur 0ºC adalah
sebesar 14,16 mg/l. Peningkatan temperatur air akan menyebabkan konsentrasi
oksigen dalam perairan akan menurun, demikian pula sebaliknya. Kelarutan
oksigen akan berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga oksigen di laut
ataupun perairan estuari cenderung lebih rendah dari kadar oksigen di perairan
tawar (Effendi, 2003). Kisaran toleransi makrozoobentos terhadap oksigen terlarut
berbeda-beda.
f. Biochemical Oxigen Demand (BOD)
Nilai
BOD
menyatakan
jumlah
oksigen
yang
dibutuhkan
oleh
mikroorganisme aerobik dalam menguraikan senyawa organik yang diukur pada
suhu 20ºC. Sugiharto (1987) menyatakan organisme hidup yang bersifat aerobik
membutuhkan
oksigen
untuk
beberapa
reaksi
biokimia,
yaitu
untuk
mengoksidasikan bahan organik, sintesis sel dan oksidasi sel. Alaerts dan Santika
(1987) menyatakan bahwa pengujian BOD penting dalam aktifitas pengendalian
pencemaran perairan
g. Derajat Keasaman (pH)
Setiap spesies organisme perairan memiliki kisaran toleransi yang berbeda
terhadap pH. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada
umumnya berkisar 7 - 8,5 (KepMen LH, 2004). Wardhana (1995) menyatakan
kondisi perairan yang bersifat sangat asam ataupun basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena dapat menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi. pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas
berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang akan
mengancam kelangsungan hidup organisme perairan, sedangkan pH yang tinggi
akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam perairan
Universitas Sumatera Utara
akan terganggu, dimana kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan
konsentrasi amoniak yang juga bersifat toksik bagi organisme perairan.
a. Substrat Dasar
Susunan substrat dasar perairan penting bagi organisme yang hidup di
zona dasar seperti makrozoobentos (Michael, 1994). Substrat dasar merupakan
salah satu faktor utama yang sangat mempengaruhi kehidupan, perkembangan dan
keragaman makrozoobentos (Hynes, 1976). Substrat dasar berupa bebatuan
merupakan tempat bagi spesies yang melekat sepanjang hidupnya, sedangkan
substrat dasar yang halus seperti pasir dan lumpur menjadi tempat makanan dan
perlindungan bagi organisme yang hidup di dasar perairan (Lalli dan Parsons,
1993).
Universitas Sumatera Utara
Download