METODE PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Sebagai sebuah bangunan

advertisement
METODE PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
Sebagai sebuah bangunan pengetahuan yang mempunyai arah dan orientasi yang jelas,
perkakas metode menjadi sebuah kemestian. Metode merupakan cara bagaimana sesuatu
berproses, proses pertumbuhan ilmu, proses pengukuran, proses verifikasi maupun proses
rasionalisasi.1
Metode dalam Islam disamakan dengan kata manhaj. Manhaj pemikiran Islam selalu
didasarkan kepada kedudukan manusia sebagai khalifah, yang diberikan hak oleh Tuhan untuk
mengatur dan memakmurkan bumi dan seisinya. Metode pemikiran dalam perspektif Islam
juga
melandaskan pada pemanfaatan
akal manusia secara maksimal
dalam kerangka
menjalankan tugas kemakmuran tersebut. Artinya terdapat dua dinamika interaksi landasan,
antara dorongan kepentingan ilahiyah dan akal.2
Dinamika interaksinya, saling memberikan makna baru, akan tetapi juga sampai saling
menafikan makna satu sama lain. Terkadang landasan wahyu yang lebih dominan, dalam
pemaknaan pemikiran, terkadang pula akal lebih dominan dalam pemaknaan wahyu, ataupun
keduanya saling menafikan satu sama lain.
Persoalan metodologis dalam politik Islam tampaknya masih terdapat problem. Hal ini
setidaknya diakui oleh tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dari Ismail Raji al-Faruqi sampai
Abdul Hamid Abu Sulaiman. Kerangka metodologi (manhaj) pemikiran politik Islam lebih
banyak harus belajar dari metodologi pemikiran Barat, mengambil yang selaras dengan Islam,
memperbaiki kekurangan dan memberikan warna dengan Islam.3
Metode Pemikiran politik Barat yang melihat realitas politik yang bebas nilai, di mana
meletakkan sumber kebenaran
adalah
terletak
di
akal,
kemanfaatan, konsistensi,
koherensi.4 Yang seringkali menafikan kebenaran yang berasal dari wahyu, yang mana
difahami tidak bisa diklarifikasi dan diverifikasi lebih jauh. Bagi pemikiran politik Islam,
peranan wahyu sebagai sumber kebenaran sangat signifikan. Bahkan dalam pemikiran Islam
1
Lihat formulas bangunan keilmuan dalam Thomas Kuhn, The Structyre of Scientific Revolution, Chicago,
University of Chicago Press, 1970
2
Lihat dalam Ali Gharisah, Metode Pemikiran Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1996
3
Abdul Hamid Abu Sulaiman, op.cit.,
4
Lihat dalam Abdul Qadir Jailani, Sekitar Pemikiran Politik Islam, Jakarta, Media Dakwah, 1994, hal. 42-48
klasik, dominasi wahyu dalam proses pencarian kebenaran adalah sebagai hal yang mutlak.
Meski juga dalam batas tertentu kebenaran akal juga mendapatkan tempat yang memadai.5
Dalam proses penyusunan struktur keilmuan, pemikiran
politik Islam banyak dipengaruhi oleh qaidah ushul fiqh, yang telah dibuat dan dikembangkan
lebih jauh oleh Imam Syafi'i. Dengan qaidah-qaidah tertentu akan diketemukan kebenarankebenaran, terutama yang masih belum secara transparan diungkapkan sumber utama
kebenaran. Hal ini mendapat perhatian yang sangat luas dalam proses istimbath, baik
dalam tataran qiyas maupun ijtihad. Di mana dalam batasan pemikiran klasik, proses
pengambilan keputusan ini setidaknya memberikan klasifikasi
yang sangat ketat, dalam
upaya menjaga sebuah kebenaran.
Landasan dasar pemikiran Islam dalam pandangan, kelompok Islamisasi Pengetahuan
adalah sebagai berikut:
a. Al-Wihdaniyyah
Akal manusia tidak mempunyai wujud (keberadaan) kecuali ia beriman dengan alwihdaniyah (kesatuan) sebagai aksioma idiologis fitriyyah berdasarkan keimanan mutlak
dan persepsi yang jelas tentang Alloh Yang Maha Besar. Landasan ini mendasarkan akal
manusia diatas hipotesa kesatuan sumber , dan kebenaran (hakikat) merupakan titik-tolak
seluruh
alam
dan
makhluk.
Keberhasilan yang diperoleh
akal Mulsim adalah
berlandaskan pada keteguhan prinsip-prinsip al-wihdaniyyah.
b. Al-Khilafah
Yang dimaksud dengan khilafah adalah khilafah manusia (sebagai pemegang mandat) di
bumi dan alam. Khilafah dalam konsep akal Muslim adalah nikmat dan kehormatan. Dari
landasan al-khilafah ini, akal Muslim diajak untuk mendayagunakan alam dan makhluk
yang dapat memberi manfaat dan keuntungan bagi alam dan makhluk sekitarnya.
c. Pertanggung-jawaban Moral
Dengan hakikat ini diharapkan pandangan akal muslim dapat benar dan berhasil. Dengan
performa khilafah yang baik, akal Muslim akan menjadi mencuat dan berpacu. Dengan
perasaan bertanggungjawab yang jernih dan bersih, akal Muslim akan dapat berdisplin.
5
Lihat dalam pemikiran Mu'tazilah, yang menempatkan kedudukan akal sangat dominan, bahkan bisa menerima
bahkan menolak kebenaran wahyu jika tidak selaras dengan akal. Lihat lebih jauh dalam Abu Zahrah Muhammad,
Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta, LOGOS, 1996
Dengan metode ini diharapkan akal Muslim akan selalu cakap, sungguh-sungguh, positif,
bermoral dan memberi.6
Dari pola ini, tampak sekali kebenaran
sebuah struktur pemikiran hanya akan
diperoleh oleh orang yang mempunyai kafa'ah (kemampuan) yang memadai. Orang
kebanyakan akan sulit terlibat di dalamnya, di mana proses penggalian
kebenaran ada
kecenderungan akan menjadi monologi sekelompok kaum. Metode-metode yang ketat ini
diperkuat dalam bentuk dataran mazhab-mazhab pemikiran, yang satu sama lain seringkali
berbeda secara kualitas penekanannya. Rumitnya metode pemikiran Islam ini, akhirnya
sering menjadikan lambannya pertumbuhan pemikiran politik Islam. Kelambanan ini setidaknya
dengan terjadinya polemik berkepanjangan, baik dalam batasan mengoyang kemapanan
pemikiran yang sebelumnya establish atau menimbulkan kontroversi tertentu, sehingga
tingkat publikasinya menjadi rendah. Akan tetapi inilah ciri khas dari pemikiran politik Islam,
yang ingin menggagas sesuatu dengan cermat, dan matang. Pemikiran politik merupakan
sesuatu yang penting yang menyangkut kemaslakhatan umat. Sekali salah meletakkan sebuah
pemikiran, maka akan memberikan kemadlaratan yang berakibat fatal bagi masyarakat.
6
lihat dalam Abdul Hamid Abu Sulaiman (ed.), Permasalahan Metodologis Dalam Pemikiran Islam, Jakarta,
Media Dakwah, 1994).
Download