1 bab iv analisis umur dan lingkungan pengendapan berdasarkan

advertisement
BAB IV
ANALISIS UMUR DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN
BERDASARKAN MOLUSKA MIKRO
4.1 Pembagian Filum Moluska
Moluska merupakan suatu filum dari golongan invertebrata. Moluska dikenal dengan
sebutan binatang lunak, yaitu binatang yang berdaging tetapi tidak bertulang. Sebagian
hewan dari filum ini memiliki cangkang yang keras yang melindungi tubuhnya. Bentuk
cangkang bervariasi, yaitu cangkang tunggal (Gastropoda), cangkang ganda (Bivalvia),
berbentuk seperti tanduk atau gading gajah (Scaphopoda), berlapis–lapis (Polyplacophora/
Chiton) dan ada pula yang terletak di dalam tubuhnya, misalnya pada cumi–cumi (Loligo)
dan suntung (Sepia sp.).
Cangkang moluska ini tersusun dari bahan kalsium yang kuat, sehingga apabila organisme
tersebut mati, cangkangnya dapat terawetkan dalam sedimen dan menjadi fosil. Filum
Moluska dapat dibagi menjadi tujuh (7) kelas (Lehmann, 1983), yaitu :
1. Kelas Gastropoda, disebut juga binatang berkaki perut, sebagian hidup di laut dan ada pula
yang dapat hidup di lingkungan darat. Bentuk cangkang berputar trochospiral,
mempunyai kepala dan mata serta umumnya mempunyai radula.
2. Kelas Scaphopoda, memiliki cangkang yang berbentuk seperti tanduk, hidup di laut
dengan cara membenamkan sebagian dari cangkangnya di dalam pasir atau pasir
berlumpur di dasar laut, hanya sebagian kecil atasnya saja yang kelihatan di permukaan.
Tidak mempunyai kepala, mata dan insang, tetapi mempunyai radula. Alat kelaminnya
terpisah.
3. Kelas Bivalvia (Pelecypoda), mempunyai dua kepingan atau belahan yang dihubungkan
oleh engsel elastis yang disebut ligament dan mempunyai satu atau dua buah otot
adductor di dalam cangkangnya yang berfungsi untuk membuka dan menutup kedua
belahan cangkangnya. Tidak mempunyai kepala, mata dan radula. Beberapa ada yang
memiliki banyak mata di tepi mantelnya. Banyak diantaranya yang mempunyai sepasang
insang. Umumnya memiliki alat kelamin terpisah. Beberapa diantaranya dapat hidup di
air tawar.
4. Kelas Cephalopoda, sering disebut binatang berkaki kepala, anggotanya diantaranya
adalah cumi–cumi (Loligo sp.), Suntung (Sepia sp.), gurita (Octopus sp.), Argonauta dan
Nautilus. Hanya Nautilus yang mempunyai cangkang luar. Organisme dari kelas ini
IV - 1
mempunyai mata, radula dan alat kelamin terpisah serta hidup dengan berenang di air
laut.
5. Kelas Polyplacophora, dikenal pula dengan sebutan Chiton, memiliki cangkang yang
tersusun bertumpuk seperti genting. Mempunyai banyak insang dan mempunyai radula.
Hidup di laut menempel pada benda–benda keras.
6. Kelas Monoplacophora, hanya dikenal beberapa spesies saja. Memiliki lima atau enam
pasang insang dan mempunyai radula. Hidup di laut yang sangat dalam dan sangat jarang
dijumpai.
7. Kelas Aplacophora, bentuknya menyerupai cacing, tidak bercangkang dan hidup di dasar
laut dangkal.
Pada penelitian ini, analisis lebih difokuskan pada fosil moluska yang berukuran mikro.
Fosil moluska dianggap sebagai moluska mikro apabila dijumpai dalam ukuran lebih
kecil atau sama dengan 5 mm (Beu dan Maxwell, 1990), sehingga untuk mengamati
bentuk dan struktur cangkangnya harus dilakukan dengan menggunakan mikroskop.
Moluska mikro ini ditemukan bukan sebagai juvenile ataupun moluska kerdil, hal
tersebut dikarenakan bentuk cangkangnya yang cenderung sempurna.
4.2 Preparasi dan Metode Analisis Moluska
4.2.1 Preparasi Moluska
Preparasi moluska bertujuan untuk mengekstrak fosil–fosil cangkang moluska dari
batuannya untuk dianalisis takson–taksonnya dan kemudian dipakai sebagai bahan
dalam penentuan umur dan lingkungan pengendapan, dengan syarat bila moluska
tersebut diendapkan secara insitu.
Preparasi moluska dibagi menjadi tiga (3) tahapan sebagai berikut :
1. Tahap Pencucian dan Penyaringan
Sampel batuan direndam dengan akuades atau larutan peroksida selama ± 1 hari.
Setelah itu sampel batuan disaring pada mesh 100 dan 150 di bawah air mengalir
sambil dibersihkan dengan kuas supaya mempermudah saat melakukan determinasi.
2. Tahap Pengeringan
Sampel yang telah disaring dikeringkan dalam oven bersuhu ± 80°C hingga kering
dan dipisahkan dalam cawan–cawan kaca sesuai dengan nomor sampelnya.
IV - 2
3. Determinasi
Sampel yang telah kering dideterminasi dengan menggunakan mikroskop binokuler
dengan perbesaran 20 kali.
4.2.2 Metode Analisis Moluska
Analisis moluska dilakukan dengan pengamatan terhadap fosil cangkang yang meliputi
jenis cangkang (cangkang tunggal, cangkang ganda, berlapis–lapis atau berbentuk
seperti tanduk), engsel (khususnya pada organisme bercangkang ganda/ bivalve),
bukaan aperturnya, sudut apex (pada organisme bercangkang tunggal), putaran
cangkang dan ornamentasinya.
4.3 Pembagian Lingkungan Pengendapan
Penentuan lingkungan pengendapan dengan menggunakan fosil foraminifera sebelumnya
telah diteliti oleh beberapa peneliti terdahulu. Para peneliti tersebut membuat klasifikasi
kedalaman dasar laut berdasarkan bathymetric-biofasies, yaitu pembagian dasar laut
berdasarkan kedalaman dan asosiasi fauna mikronya. Beberapa peneliti tersebut antara lain
Phleger (1951) op. cit. Pringgoprawiro (1999) yang meneliti tentang foraminifera plangton
resen di Teluk Meksiko yang secara umum terkonsentrasi pada kedalaman 25-50 m dari
permukaan; Grimsdale dan Markhoven (1955) op. cit. Pringgoprawiro (1999) yang
membandingkan antara keterdapatan foraminifera plangton dan bentos di Teluk Meksiko,
dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa terdapat tendensi kedalaman yang bertambah
seiring dengan meningkatnya kandungan foraminifera plangton yang dijumpai; dan
Tipsword, dkk. (1966) op. cit. Pringgoprawiro (1999) yang menggunakan data fosil mikro
dari Teluk Meksiko yang digabungkan dengan data asosiasi litologi, sedimentologi, dan
tektonik untuk penafsiran paleoekologi.
Tipsword, dkk. (1966) op. cit. Pringgoprawiro (1999) membagi lingkungan pengendapan ke
dalam delapan zona, yaitu darat, transisi, neritik dalam, neritik tengah, neritik luar, bathyal
atas, bathyal bawah, dan abyssal (Gambar 4.1).
Kemudian Fairbridge dan Bourgeois
(1978) membagi zona transisi menjadi tiga bagian, yaitu zona supratidal, zona intertidal,
dan zona subtidal (Gambar 4.2).
IV - 3
Gambar 4.1 Pembagian lingkungan laut.
(Tipsword, dkk., 1966 op.cit. Pringgoprawiro, 1999)
Gambar 4.2 Pembagian zona transisi – laut terbuka.
(Fairbridge dan Bourgeois, 1978)
IV - 4
4.4 Penentuan Umur dan Lingkungan Pengendapan
Penentuan umur dan lingkungan pengendapan pada umumnya menggunakan fosil
foraminifera plangton sebagai indikator umur dan fosil foraminifera bentos sebagai
indikator lingkungan pengendapan. Organisme yang hidup dengan cara bentonik
digunakan untuk parameter lingkungan pengendapan karena organisme tersebut hidup di
dasar laut, di mana kondisi pada tiap kedalaman berbeda sehingga terdapat organisme
tertentu pada kedalaman tertentu. Sementara organisme dengan cara hidup plangtonik
tidak baik digunakan untuk parameter lingkungan pengendapan karena plangton hidup
mengapung pada permukaan laut, namun demikian plangton dapat digunakan untuk
menentukan umur relatif karena penyebaran plangton dapat menunjukkan waktu yang
sama.
4.5 Moluska pada Daerah Penelitian
Moluska mikro diperkirakan dapat dijadikan fosil penentu umur dan lingkungan
pengendapan sesuai dengan sifat hidupnya (plangtonik dan bentonik), sehingga moluska
mikro dapat digunakan apabila foraminifera yang ada tidak dapat di gunakan sebagai
penunjuk umur dan lingkungan pengendapan. Penyebaran fosil moluska mikro pada
daerah penelitian terdapat pada Satuan Batulempung di Sungai Cigadung dan pada
Satuan Batulempung – Batupasir di Sungai Cimandiri (Gambar 4.3).
IV - 5
Gambar 4.3 Lokasi pengambilan sampel untuk analisis moluska mikro.
Pada Satuan Batulempung – Batupasir di lintasan Sungai Cimandiri, moluska mikro yang
ditemukan antara lain berupa moluska plangton Limacina (Munthea) aff. bulimoides dan
moluska bentos Mormula sp., Turbonilla aff. actopora , Ittibium parcum, Euspira cf.
pila, dan Pitar aff. citrinus pada lokasi pengamatan CMD 002 (Foto 4.1); Paphia
(Neotapes) undulata, dan Spirolaxis rotulacatharinea pada lokasi pengamatan CMD 005
(Foto 4.2).
Pada Satuan Batulempung lintasan Sungai Cigadung (Lampiran E), posisi stratigrafi
pengambilan sampel untuk analisis moluska mikro dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Moluska mikro yang ditemukan antara lain berupa moluska plangton Limacina
(Munthea) aff. trochiformis dan moluska bentos Mimatys aff. fukuokaensis pada lokasi
pengamatan CMG 004 (Foto 4.3 A dan B); moluska bentos Antalis weinkauffi dan
Siphonodentalium aff. okudai pada lokasi pengamatan CMG 04A (Foto 4.4 A dan B);
dan moluska plangton Limacina (Munthea) aff. trochiformis pada lokasi pengamatan
CMG 012 (Foto 4.5).
IV - 6
Limacina (Munthea) aff. bulimoides
Euspira cf. pila
Turbonilla aff. actopora
Mormula sp.
Pitar aff. citrinus
Ittibittium parcum
Foto 4.1 Moluska mikro yang terdapat pada Sungai Cimandiri (Lokasi pengamatan CMD 002).
IV - 7
Paphia (Neotapes) undulata
Spirolaxis rotulacatharinea
Foto 4.2 Moluska mikro yang terdapat pada Sungai Cimandiri (Lokasi pengamatan CMD 005).
IV - 8
Gambar 4.4 Posisi stratigrafi pengambilan sampel analisis moluska
mikro di lintasan Sungai Cigadung
IV - 9
A
Limacina (Munthea) aff. trochiformis
B
Mimatys aff. fukuokaensis
Foto 4.3 Fosil moluska mikro pada Sungai
Cigadung (lokasi pengamatan CMG 004)
A
Antalis weinkauffi
B
Siphonodentalium aff. okudai
Foto 4.4 Fosil moluska mikro pada Sungai
Cigadung (lokasi pengamatan CMG 04A)
IV - 10
Limacina (Munthea) aff. trochiformis
Foto 4.5 Fosil moluska mikro pada Sungai
Cigadung (lokasi pengamatan CMG 012)
4.6 Analisis Umur dan Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Moluska Mikro
Berdasarkan analisis moluska mikro seperti yang telah dijabarkan di atas, maka dapat
ditafsirkan bahwa Limacina (Munthea) aff. bulimoides yang ditemukan pada Sungai
Cimandiri dapat dianggap memiliki umur yang sama dengan kisaran umur dari
foraminifera plangton pada daerah tersebut, yaitu setara dengan N10 berdasarkan zonasi
foraminifera Blow (Miosen Tengah). Sementara Limacina (Munthea) aff. trochiformis
yang ditemukan pada Sungai Cigadung dapat dianggap memiliki umur yang sama
dengan kisaran umur dari foraminifera plangton pada daerah tersebut, yaitu setara
dengan N13-N14 berdasarkan biozonasi foraminifera Blow (Miosen Tengah).
Dengan membandingkan kisaran lingkungan pengendapan dari moluska mikro dengan
foraminifera bentos, maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan Satuan
Batulempung-Batupasir di Sungai Cimandiri adalah intertidal – neritik luar (Tabel 4.1
dan 4.2) dan lingkungan pengendapan Satuan Batulempung di Sungai Cigadung adalah
neritik tengah – neritik luar (Tabel 4.3 dan Tabel 4.4).
Dari tabel kisaran lingkungan pengendapan moluska mikro, dapat terlihat bahwa
lingkungan dari moluska mikro cenderung lebih ke arah lingkungan transisi, berbeda
dengan foraminifera bentos yang cenderung mengarah ke laut. Berdasarkan interpretasi
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa moluska mikro dapat digunakan untuk
menentukan lingkungan pengendapan yang lebih terperinci pada lingkungan transisi,
untuk kemudian dibandingkan dengan keterdapatan foraminifera bentos pada daerah
penelitian. Keberadaan fosil moluska penciri lingkungan transisi pada daerah ini
IV - 11
diinterpretasikan karena terjadinya transportasi moluska lingkungan transisi tersebut ke
arah laut, ditandai dengan cangkang yang sudah mulai pecah-pecah.
Dilihat dari posisi stratigrafi keterdapatan moluska mikro, maka dapat diinterpretasikan
perubahan kedalaman lingkungan pengendapan untuk tiap satuan batuan. Lingkungan
pengendapan Satuan Batulempung – Batupasir pada Sungai Cimandiri diinterpretasikan
mengalami pendalaman ke atas (dari intertidal – neritik luar menjadi neritik tengah –
neritik luar), sementara lingkungan pengendapan Satuan Batulempung pada Sungai
Cigadung diinterpretasikan mengalami pendangkalan ke atas.
Tabel 4.1 Kisaran lingkungan pengendapan berdasarkan moluska mikro dan foraminifera bentos**.
(Satuan Batulempung-Batupasir, Sungai Cimandiri, lokasi pengamatan CMD 002)
F*: Foraminifera
M*: Moluska mikro
Tabel 4.2 Kisaran lingkungan pengendapan berdasarkan moluska mikro dan foraminifera bentos**.
(Satuan Batulempung-Batupasir, Sungai Cimandiri, Lokasi pengamatan CMD 005)
F*:
Foraminifera
Siaul
lo
M*: Moluska mikro
** Pembagian lingkungan pengendapan merupakan modifikasi Fairbridge dan Bourgeois (1978) dan
Tipsword (1966) op.cit. Pringgoprawiro dan Kapid (1999).
IV - 12
Tabel 4.3 Kisaran lingkungan pengendapan berdasarkan moluska mikro dan foraminifera bentos**.
(Satuan Batulempung, Sungai Cigadung, lokasi pengamatan CMG 004)
F*: Foraminifera
M*: Moluska mikro
Tabel 4.4 Kisaran lingkungan pengendapan berdasarkan moluska mikro dan foraminifera bentos**.
** Pembagian(Satuan
lingkungan
pengendapan merupakan
modifikasi Fairbridge
dan Bourgeois
(1978),
Batulempung,
Sungai Cigadung,
lokasi pengamatan
CMG
04A)
dan Tipsword (1966) op.cit. Pringgoprawiro dan Kapid (1999).
** Pembagian lingkungan pengendapan merupakan modifikasi Fairbridge dan Bourgeois (1978) dan
Tipsword (1966) op.cit. Pringgoprawiro dan Kapid (1999).
IV - 13
Download