BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan Nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Pembangunan yang terpusat dan tidak merata yang dilaksanakan selama ini ternyata hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi serta tidak diimbangi kehidupan sosial, politik, ekonomi yang demokratis dan berkeadilan. Fundamental pembangunan cenderung korup serta tidak demokratis, telah menyebabkan krisis yang mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Karena itu reformasi disegala bidang dilakukan untuk bangkit kembali dan memperteguh kepercayaan diri atas paradigma baru Indonesia masa depan. Di bidang ekonomi, pembangunan yang terjadi yakni barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dengan negara lain semakin mudah melewati batas-batas negara. Adanya keterbatasan dan kelangkaan sumber daya juga menjadi pendorong dilakukannya aktivitas perdagangan melewati batas-batas wilayah tertentu yang dikenal dengan kegiatan ekspor dan impor. Pada saat negara tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan, maka negara tersebut akan mengimpor dari negara lain. Sedangkan negara yang 1 memasok komoditas tertentu atas negara lain yang membutuhkan cenderung melakukan kegiatan ekspor. Kegiatan ekspor menjadi hal penting pada negara ini.Pertumbuhan ekonomi tidak lepas dari dorongan variabel-variabel makro seperti pertumbuhan Konsumsi, Investasi, Pengeluran pemerintah serta net Ekspor. Peningkatan ekspor dalam negeri tidak lepas dari pengaruh Inflasi ,Suku Bunga dan Nilai Tukar. Suku Bunga Mempengaruhi Kegiatan Ekspor dari sisi produksi. Produktivitas eksportir juga ditentukan oleh kemampuannya mengolah modal yang dapat berasal dari modal pribadi maupun bank. Stabilitas modal memastikan stabilitas produktivitas perusahaan dalam memproduksi barang. Khusus pada pengambilan modal di bank, besar kecilnya tergantung pada tingkat bunga kredit. Tingkat bunga kredit yang semakin tinggi menyebabkan pengusaha atau eksportir akan mengurangi jumlah pinjamannya, sehingga berdampak pada jumlah penawaran yang mampu diciptakan eksportir. Disamping itu ,perlu dilihat perkembangan kurs mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing, khususnya Dollar Amerika, karena Dollar Amerika merupakan mata uang Internasional atau mata uang cadangan sejalan dengan menanjaknya posisi Amerika didalam perekonomian dunia, terutama setelah perang dunia I. Dollar Amerika diterima oleh siapapun sebagai pembayaran bagi transaksinya (Boediono, 1994:97). Kenaikan Nilai Dollar Mendorong Kenaikan nilai ekspor akibat para eksportir akan cendrung membidik pasar Internasional akibat ekspektasi keuntungan lebih besar apabila menjual ke pasar internasional akibat 2 kenaikan dollar. Begitupun pada kenaikan inflasi yang cendrung mendorong turunnya investasi sehingga mendorong turunnya produktivitas untuk menghasilkan output, yang selanjutnya dapat menurunkan kinerja ekspor.Penelitian ini menjadi menarik dimana kenaikan pertumbuhan nilai ekspor Indonesia tidak terlalu di dukung oleh kebijakan suku bunga yang masih relatif tinggi serta nilai inflasi yang tinggi cendrung kurang mendukung Industri dalam negeri. Tabel 1.1 PERKEMBANGAN EKSPOR Nilai FOB (Juta US$) TAHUN 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 EKSPOR MIGAS NONMIGAS 11,721.80 38,093.00 11,622.50 41,821.10 7,872.10 40,975.50 9,792.20 38,873.20 14,366.60 47,757.40 12,636.30 43,684.60 12,112.70 45,046.10 13,651.40 47,406.80 15,645.30 55,939.30 19,231.60 66,428.40 21,209.50 79,589.10 22,088.60 92,012.30 28,958.30 107,803.40 TOTAL EKSPOR 49,814.80 53,443.60 48,847.60 48,665.40 62,124.00 56,320.90 57,158.80 61,058.20 71,584.60 85,660.00 100,798.60 114,100.90 136,761.70 Sumber : BPS "Statistical Yearbook of Indonesia 2008 Total ekspor Indonesia pada Tahun 1998 mengalami penurunan menjadi $ 48,847.60 juta dan terus mengalami penurunan menjadi $ 48,665.40 3 juta pada tahun 1999. Pada tahun 2000 total ekspor Indonesia mengalami kenaikan sebesar $ 62,124.00 juta. Namun pada tahun 2001 total ekspor Indonesia mengalami penurunan sebesar $ 56,320.90 juta. Pada tahun 2004 sampai pada tahun 2008 total ekspor Indonesia mengalami kenaikan sebesar $ 71,584.60 juta. Beberapa penelitiaan sebelumnya mencoba melihat pengaruh inflasi dan suku bunga terhadap ekspor yang ternyata cendrung tidak signifikan malah terdapat paradoks seperti kenaikan suku bunga malah mendorong kenaikan Ekspor sehingga penelitian ini menjadi menarik untuk diangkat oleh penulis sehingga ,kami mengangkat judul yaitu ’’Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar (Kurs) dan Suku Bunga Terhadap Ekspor non-migas di Indonesia (Periode 1998 - 2009 )”. 1.2 Rumusan Masalah Pokok Penelitian Bertolak dari latar belakang yang dikemukakan diatas, maka yang menjadi masalah pokok penelitian ini adalah : Seberapa besar pengaruh inflasi, Nilai Tukar (kurs) dan Suku Bunga terhadap ekspor non migas di Indonesia periode 1997-2009. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan penelitian ini adalah : 4 Untuk menganalisis dan mengukur seberapa besar pengaruh inflasi, suku bunga , dan nilai tukar terhadap ekspor non-migas di Indonesia 1.4 Manfaat Penelitian Dengan harapan tujuan penelitian tercapai, maka selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai besarnya pengaruh inflasi ,suku bunga ,nilai tukar terhadap ekspor non-migas. Disamping itu dapat memberikan gambaran mengenai variabel yang paling dominan mempengaruhi ekspor . Manfaat terakhir adalah kiranya kajian ini dapat menjadi tambahan referensi untuk melengkapi referensi yang sudah ada agar nantinya dapat memberikan masukan bagi penulis/peneliti yang akan menambah perbendaharaan lebih lanjut. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inflasi Inflasi adalah kecendrungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Diartikan juga sebagai naiknya terus menerus tingkat harga pada suatu perekonomian akibat kenaikan permintaan agregat/penurunan penawaran agregat. Inflasi terjadi karena disebabkan oleh tarikan permintaan (Demand Pull Inflation) dan desakan biaya (Cost Push Inflation). Demand full inflation terjadi karena ada peningkatan permintaan agregat dan juga bertambahnya jumlah uang beredar. Sedangkan cost push inflation terjadi karena adanya peningkatan biaya produksi sehingga perusahaan mengurangi jumlah barang yang diproduksi. Menurut Samuelson dan Nordhaus (1997 : 306), Tingkat harga dalam definisi inflasi, secara konseptual adalah tingkat harga rata-rata tertimbang dari barang-barang dan jasa-jasa dalam perekonomian dimana tingkat harga tersebut diukur dengan indeks harga, baik indeks harga konsumen (IHK) maupun indek harga produsen (IHP). Indeks harga konsumen adalah ukuran tingkat harga sebagai indikator inflasi. IHK dihitung setiap bulan berdasar perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga seluruh ibu kota propinsi di Indonesia (D.Soebagiyo&E.H.Prasetyawati,2002). Hal tersebut senada dengan 6 pendapat Nopirin yang mendefinisikan inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus-menerus atau proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus-menerus. Menurut Boediono (1994 : 155) definisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi. Syarat adanya kecenderungan menaik yang terus menerus juga perlu digaris-bawahi. Kenaikan harga-harga karena, misalnya, musiman, menjelang hari raya, bencana, dan sebagainya, yang sifatnya hanya sementara tidak disebut inflasi. Sebelum kebijakan pemerintah dilakukan untuk mengatasi inflasi maka perlu diketahui faktor-faktor penyebab terjadinya atau timbulnya inflasi di suatu negara. Menurut teori kuantitas sebab utama penyebab timbulnya inflasi adalah kelebihan permintaan yang disebabkan oleh penambahan jumlah uang beredar yang dikendalikan oleh bank sentral. Maka inflasi dapat dibedakan menurut penyebabnya menjadi dua yaitu demand-pull inflation dan cosh-push inflation (Nopirin, 1992). Kenaikan harga tersebut diukur dengan beberapa cara antara lain dengan : a. Indeks biaya hidup (consumer price index) b. Indeks harga perdagangan besar (whole sale price index). c. GNP Deflator. 7 2.1.1 Jenis Inflasi Berdasarkan besarnya laju inflasi, kategori inflasi dapat digolongkan menjadi tiga yaitu : a. Inflasi Merayap (Creeping Inflation) Biasanya ditandai dengan laju inflasi yang rendah, yaitu kurang dari 10 % per tahun. b. Inflasi Menengah (Galloping Inflation) Ditandai dengan meningkatnya harga yang cukup besar dan kondisi tersebut berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi, artinya harga pada bulan / minggu berikutnya selalu lebih tinggi dari waktu sebelumnya dan seterusnya. c. Inflasi Tinggi (Hyperinflation) Adalah inflasi yang sangat mengkhawatirkan, karena hargaharga barang meningkat sampai dengan lima atau enam kali, sehingga nilai uang turun secara tajam (Nopirin : 2001). Inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang terlalu panas (over heated), artinya kondisi ekonomi mengalami permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga hargaharga cenderung mengalami kenaikan. Kondisi ekonomi yang over heated tersebut juga akan menurunkan daya beli uang (purchasing power of money) dan mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari investasinya (Tandelilin : 2001). 8 Inflasi meningkatkan pendapatan dan biaya perusahaan. Jika peningkatan biaya produksi lebih tinggi dari peningkatan harga yang dapat dinikmati oleh perusahaan maka profitabilitas perusahaan akan turun. 2.1.2 Teori Inflasi 1. Teori Kuantitas Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari jumlah uang yang beredar dan psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan hargaharga (expectation). Inti dari teori ini adalah : a. Inflasi hanya biasa terjadi jika ada penambahan volume uang beredar. b. Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan hargaharga dimasa mendatang. Inflasi dapat digolongkan ke dalam tiga macam penggolongan. Berdasarkan asal-usulnya inflasi dapat dibedakan menjadi inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) dan inflasi yang berasal dari luar negeri (Imported inflation), inflasi yang berasal dari dalam negeri adalah inflasi yang sumber penyebabnya berasal dari keadaan perekonomian dalam negeri sendiri. Timbulnya inflasi ini karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan percetakan uang yang baru, panen yang gagal dan sebagainya. Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga di luar negeri, sehingga akan mempengaruhi 9 barang-barang yang di impor maupun yang di ekspor, dimana kenaikan barang impor akan mempengaruhi : a. Secara langsung kenaikan indeks-indeks biaya hidup karena barangbarang yang tercakup didalamnya berasal dari barang impor. b. Secara tidak langsung kenaikan indeks harga melalui kenaikan biaya produksi dari berbagai barang yang menggunakanan bahan mentah atau mesin-mesin yang di impor (cost inflation). c. Secara tidak langsung kenaikan harga didalam negeri karena kemungkinan kenaikan pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan impor tersebut (demand inflation). Inflasi berdasarkan intensitas/sifatnya Laju inflasi antara negara satu dengan negara lainnya atau dalam satu negara untuk kurun waktu yang berbeda terdapat laju inflasi yang berbedabeda pula, sesuai dengan laju atau tingkat dan lamanya penularan hargaharga barang dan jasa yang dominan pada negara tersebut. Sebutan yang berbeda-beda dipakai bersama-sama dengan kata inflasi untuk menunjukkan sifatnya, untuk membedakan berapa perkembangannya atas dasar besarnya laju inflasi, dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu (Nopirin, 1987) : Ada berbagai cara untuk menggolongkan macam inflasi, penggolongan pertama didasarkan “parah” tidaknya inflasi, disini kita bedakan beberapa macam inflasi (Boediono,1985:161-172). a. Inflasi ringan (dibawah 10% setahun) b. Inflasi sedang (antara 10-30% setahun) 10 c. Inflasi sedang (antara 30-100% setahun) d. Hiperinflasi ( diatas 100% setahun) Inflasi berdasarkan sebab awalnya Sebelum kebijaksanaan untuk mengatasi inflasi diambil, terlebih dahulu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan inflasi. Menurut teori kuntitas, sebab utama timbulnya inflasi adalah adanya kelebihan permintaan. Penggolongan kedua adalah atas dasar sebab musabab awal dari inflasi. Atas dasar ini kita bedakan 2 macam inflasi : 1. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat. Sehingga antara jumlah barang dengan jumlah permintaan berjalan tidak seimbang, akibatnya harga barang menjadi lebih tinggi atau naik inflasi semacan ini disebut demand inflation. 2. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Sehingga membawa dampak bagi produsen dimana akan mengurangi keinginan mereka untuk menjual hasil produksinya pada tingkat harga yang berlaku sebelumnya. Berkurangnya penawaran yang tidak diikuti dengan pengurangan permintaan yang sama besarnya akan menyebabkan kenaikan harga. Ini disebut cost inflation. 2. Teori Keynes Menurut Keynes, inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan perekonomiannya yaitu suatu keadaan di mana 11 permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barangbarang yang tersedia sehingga timbul apa yang disebut dengan inflationary gap (celah inflasi). Inflationary gap ini timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil menerjemahkan keinginan mereka menjadi permintaan efektif akan barang-barang. Dengan kata lain, mereka berhasil memperoleh dana untuk mengubah keinginannya menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan masyarakat ini, mungkin adalah pemerintah sendiri yang menginginkan bagian yang lebih besar dari output masyarakat dengan jalan melakukan defisit anggaran belanja yang ditutup dengan mencetak uang baru. Golongan ini mungkin juga pihak swasta yang ingin melakukan investasi baru dan memperoleh dana pembiayaannya dari kredit bank. Golongan ini bisa juga dari serikat buruh yang berusaha memperoleh kenaikan gaji para anggotanya melebihi kenaikan produktivitas kerja buruh. Apabila permintaan efektif dari golongan-golongan masyarakat tersebut, pada harga-harga yang berlaku, melebihi jumlah maksimum barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap akan timbul. Akibatnya, akan terjadi kenaikan harga-harga barang. Dengan adanya kenaikan harga, sebagian dari rencana pembelian barang dari golongangolongan tadi tentu tidak bisa terpenuhi. Pada periode berikutnya, golongangolongan yang tidak bisa memenuhi rencana pembelian barang tadi, akan berusaha memperoleh dana lagi (baik dari pencetakan uang baru, kredit 12 bank, atau kenaikan gaji). Tentunya tidak semua golongan tersebut berhasil memperoleh tambahan dana yang diinginkan. Golongan yang berhasil memperoleh tambahan dana lebih besar bisa memperoleh bagian dari output yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa memperoleh tambahan dana akan memperoleh bagian output yang lebih sedikit. Golongan yang kalah dalam perebutan ini adalah golongan yang berpenghasilan tetap atau yang penghasilannya tidak naik secepat kenaikan laju inflasi (pensiunan, PNS, petani, karyawan perusahaan yang tidak mempunyai serikat buruh). Inflasi akan terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan berhenti jika permintaan efektif total tidak melebihi jumlah output yang tersedia. 3. Teori Struturalis Teori strukturalis adalah teori inflasi yang didasarkan atas pengalaman di negara-negara Amerika Latin. Teori ini menekankan pada ketegaran (infleksibilitas) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian (faktor-faktor ini hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang), maka teori ini bisa disebut teori inflasi “ jangka panjang”. Dengan kata lain yang dicari disini adalah : faktor-faktor jangka panjang manakah yang bisa mengakibatkan inflasi 13 Menurut teori ini ada dua ketegaran dalam perekonomian Negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi, yaitu : 1. Ketegaran yang pertama berupa “ketidakelastisan” dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Kelambanan ini disebabkan oleh : a. Harga di pasar dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut makin tidak menguntungkan (dibanding dengan harga-harga barang impor yang harus dibayar) b. Suplai atau produksi barang-barang ekspor tidak responsif terhadap kenaikan harga (tidak elastis). Kelambanan pertumbuhan ekspor berarti pula kelambanan kemampuan untuk impor barang-barang yang dibutuhkan Akibatnya negara (baik barang yang konsumsi bersangkutan maupun investasi). mengambil kebijakan pembangunan yang menekankan pada pengembangan produksi dalam negeri untuk barang-barang yang sebelumnya diimpor (importsubstitution strategy) walaupun harus sering dengan biaya produksi yang lebih tinggi dan kualitan yang lebih rendah. Biaya yang lebih tinggi menyebabkan harga produk menjadi lebih tinggi. Dengan demikian inflasi akan terjadi. 2. Ketegaran kedua berkaitan dengan “ ketidakelastisan” dari suplai atau produksi bahan makanan. Pertumbuhan bahan makanan tidak secepat 14 pertumbuhan penduduk dan penghasilan per kapita, sehingga harga bahan makanan di dalam negeri cenderung naik melebihi kenaikan harga barang-barang lain. Akibatnya timbulnya tuntutan dari para karyawan di sektor industri untuk memperoleh kenaikan gaji/upah. Kenaikan upah berarti kenaikan biaya produksi, yang berarti kenaikan harga barang-barang produksi. Kenaikan barang-barang, mengakibatkan tuntutan kenaikan upah lagi. Kenaikan upah akan diikuti oleh kenaikan harga produk. Dan seterusnya. Proses ini akan berhenti dengan sendirinya apabila harga bahan makanan tidak terus naik. Dalam praktek, proses inflasi yang timbul karena dua ketegaran tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri. Kedua proses tersebut saling berkaitan dan bahkan saling memperkuat satu sama lain. 2.1.3 Akibat-Akibat/Efek Dari Inflasi Akibat atau efek dari terjadinya inflasi bagi ekonomi adalah (Nopirin, 1987:32) : 1. Efek terhadap pendapatan (Equity Effect) Efek inflasi terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya inflasi : a. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap. b. Seseorang yang menumpukkan kekayaan dalam bentuk uang kas. 15 c. Seseorang yang memberikan pinjaman uang dengan bunga lebih rendah dari laju inflasi. 2. Efek terhadap output (Output Effect) Inflasi yang mengakibatkan perubahan pada alokasi faktor produksi melalui : a. Kenaikan output Dengan alasan bahwa dengan adanya inflasi dalam tingkat yang rendah, maka permintaan akan barang cenderung naik sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksinya, dan akibatnya harga barang tidak melonjak tinggi. b. Penurunan output Apabila inflasi mengalami kanaikan dan cenderung kearah hiper inflasi maka kondisi perekonomian akan mengalami kelesuhan karena harga barang cenderung naik sehingga terjadi penurunan permintaan yang pada akhinya membawa dampak bagi produsen dalam pengurangan jumlah produksinya. 3. Efek terhadap efisiensi (Efficiency Effect) Inflasi dapat membawa efek bagi perubahan alokasi faktorfaktor produksi. Perubahan dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan adanya inflasi dapat mengakibatkan alokasi faktor produksi menjadi tidak efisien. Secara 16 garis besar inflasi adalah perubahan dalam pola distribusi kekayaan dan pendapatan. Ada efek inflasi yang kurang nyata yaitu bahwa umumnya orang-orang yang memegang asset liquid seperti uang tunai dan deposito akan rugi karena penurunan daya beli asset tersebut. Sedangkan orang yang mempunyai asset fisik seperti tanah akan menerima manfaat. Dari sudut produksi, terdapat perbedaan yang penting antara efek inflasi kecil dan efek inflasi besar. Umumnya kaum ekonomi sependapat bahwa kecil lebih baik daripada deflasi. Kesimpulan ini diperoleh dari beberapa faktor. Pertama, untuk mencapai laju inflasi sama dengan nol atau negatif, permintaan agregat harus dikurangi sampai sistemnya mengalami pengangguran, atau untuk mencapai tingkat kegiatan ekonomi yang sesuai dengan pekerjaan penuh (full employment). Kita mengalami inflasi karena sumber-sumber yang harus dipakai dengan tenaga kerja, akan cenderung lebih sedikit. 2.2 Nilai Tukar (kurs) Kurs (nilai tukar) memegang peranan penting dalam perdagangan internasional, karena dengan adanya kurs dapat membandingkan harga barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai negara. Apabila suatu barang ditukar dengan barang lain, tentu di dalamnya terdapat perbandingan nilai tukar antar keduanya. Nilai tukar ini sebenarnya merupakan semacam “harga” di dalam pertukaran tersebut. Demikian pula pertukaran antara dua 17 mata uang yang berbeda, maka akan terdapat perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut. Oleh karena itu untuk memperlancar perdagangan internasional diperlukan adanya standar mata uang internasional yaitu dolar Amerika. Adanya perbedaan nilai mata uang untuk masing-masing negara terhadap AS dolar maka perlu diterapkan nilai valuta asing atau kurs. Nilai tukar (kurs) valuta asing dapat diartikan sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Nilai tukar (kurs) mengukur nilai suatu valuta dari perspektif valuta lain. Sejalan dengan berubahnya kondisi ekonomi, nilai tukar juga bisa berubah secara substansial. Penurunan nilai valuta dinamakan dengan depresiasi (depreciation). Peningkatan nilai valuta dinamakan dengan apresiasi (apreciation). Yang dimaksud dengan valuta asing (foreign exchange) adalah mata uang negara lain (foreign currency) dari suatu perekonomian. Untuk dapat digunakan dalam kegiatan ekonomi, maka mata uang yang dipergunakan mempunyai harga tertentu dalam mata uang negara lain. Harga tersebut menggambarkan berapa banyak suatu mata uang harus dipertukarkan untuk memperoleh satu unit mata uang lain. Istilah lain dari rasio pertukaran tersebut adalah nilai tukar (exchange rate). Financial Accounting Standar Board (FASB) mendefinisikan nilai tukar sebagai rasio antara satu unit mata uang dan jumlah mata uang lainnya yang dapat ditukar pada suatu waktu tertentu. 18 2.2.1 Sistem Nilai Tukar Sistem nilai tukar dapat diklasifikasikan menurut seberapa jauh nilai tukar dikendalikan oleh pemerintah. Sistem nilai tukar biasanya masuk ke dalam salah satu kategori berikut: 2.2.2 Sistem nilai tukar tetap Dalam sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate system), nilai tukar dibuat konstan atau hanya dibiarkan berfluktuasi dalam batas-batas yang sangat sempit. Jika nilai tukar mulai bergerak terlalu tajam, pemerintah dapat melakukan intervensi untuk mempertahankannya dalam batas-batas yang dimaksud. Namun demikian, tetap ada resiko bahwa pemerintah akan mengubah nilai dari suatu valuta tertentu. Devaluasi valuta dapat meningkatkan ekspor suatu negara, produktivitas serta lapangan kerja, karena devaluasi mendorong konsumen dan perusahaan luar negeri untuk membeli lebih banyak barang yang didenominasi dalam valuta yang didevaluasi. Revaluasi (peningkatan nilai), suatu valuta dapat meningkatkan persaingan yang diterima perusahaanperusahaan lokal dari perusahaan-perusahaan asing, karena valuta asing sekarang dapat dibeli dengan harga lebih murah. Revaluasi merupakan strategi yang dipakai oleh berbagai pemerintah untuk menahan laju inflasi, karena dapat mencegah perusahaan-perusahaan lokal menaikkan harga produk mereka dalam tingkat yang signifikan. Tentu saja, tidak semua valuta dapat didevaluasi atau direvaluasi secara simultan. Jika AS dolar, misalnya 19 didevaluasi terhadap valuta lain, ini mengimplikasikan bahwa valuta lain menguat terhadap AS dolar. 2.2.3 Sistem nilai tukar mengambang bebas Dalam nilai tukar mengambang bebas (freely floating exchange rate system), nilai tukar valuta akan ditentukan oleh kekuatan pasar tanpa intervensi dari pemerintah. Dalam sistem ini, perusahaan–perusahaan multinasional perlu mencurahkan sumber daya yang substansial untuk mengukur dan mengelola resiko valuta asing. Keunggulan dari sistem nilai tukar mengambang bebas adalah bahwa bank sentral tidak diwajibkan untuk mempertahankan nilai tukar dalam batasbatas tertentu. Karenanya, bank sentral tidak dipaksa untuk menerapkan suatu kebijakan intervensi yang mungkin memiliki dampak yang tidak menguntungkan bagi ekonomi hanya untuk mengendalikan nilai tukar. Di samping itu, pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakankebjakan tertentu tanpa harus mengkhawatirkan pengaruhnya atas pergerakan nilai tukar. Jika nilai tukar tidak dibiarkan mengambang, para investor akan menginvestasikan di negara-negara yang memiliki suku bunga paling tinggi. Hal ini akan mengharuskan pemerintah dari negara-negara yang memiliki tingkat suku bunga rendah untuk membatasi pelarian dana ke luar negeri. Jadi, akan muncul restriksi atas arus modal, dan efisiensi pasar modal akan menurun. 20 2.2.4 Sistem nilai tukar mengambang tekendali Sistem nilai tukar sejumlah valuta yang ada sekarang berada di antara sistem nilai tukar tetap dan sistem nilai tukar mengambang bebas. Sistem tersebut menyerupai sistem mengambang bebas karena nilai tukar dibiarkan berfluktuasi setiap hari dan tidak ada batasan resmi. Tetapi menyerupai sistem nilai tukar tetap dalam hal pemerintah dapat dan kadang-kadang melakukan intervensi untuk mencegah valuta mereka berfluktuasi terlalu tajam ke satu arah. Tipe sistem ini dikenal dengan nama sistem mengambang terkendali (managed float), atau mengambang “kotor” (bedakan dengan mengambang “bersih” di mana nilai tukar mengambang bebas tanpa intervensi pemerintah). Kritik atas sistem mengambang terkendali adalah di mana sejumlah pihak mengecam bahwa sistem mengambang terkendali memungkinkan sebuah pemerintah untuk memanipulasi nilai tukar agar menguntungkan negaranya sendiri dan merugikan negara lain. Sebagai contoh, sebuah pemerintah mungkin berupaya memperlemah valutanya untuk merangsang ekonomi yang sedang stagnan. Meningkatnya permintaan agregat atas produk-produk dalam negeri yang diakibatkan oleh kebijakan semacam itu mungkin mencerminkan menurunnya permintaan atas produk-produk di negara lain, Karena valuta yang melemah mempengaruhi permintaan luar negeri. 21 2.2.5 Sistem nilai tukar terpatok Sejumlah negara menggunakan sistem nilai tukar terpatok (pegged exchange rate), di mana valuta mereka dipatokkan (dikaitkan) ke suatu valuta lain, atau ke suatu unit perhitungan. Walaupun nilai valuta lokal tetap dalam hubungannya dengan valuta asing (atau unit perhitungan) yang menjadi patokan, valuta tersebut bergerak mengikuti valuta tersebut relatif terhadap valuta-valuta lain. 2.2.6 Keseimbangan Nilai Tukar Pada umumnya, keseimbangan kurs valuta asing ditentukan oleh perpotongan kurs valuta asing tersebut. Permintaan untuk valuta asing timbul terutama bila kita mengimpor barang-barang dan jasa-jasa dari luar negeri atau melakukan bantuan dan pinjaman luar negeri. Sedangkan penawaran valuta asing timbul bila kita mengekspor barang-barang dan jasa-jasa atau menerima bantuan dan pinjaman luar negeri. Setiap saat, nilai valuta akan mencerminkan harga yang mempertemukan jumlah permintaan dengan jumlah penawaran valuta. Inilah yang dinamakan dengan nilai tukar ekuilibrium. Tentu saja,kondisi yang terus berubah, membuat permintaan dan penawaran juga berubah dan akhirnya akan menyebabkan perubahan harga valuta. Apabila nilai tukar terlalu tinggi, maka akan terjadi surplus sedangkan apabila nilai tukar terlalu rendah, maka akan terjadi kekurangan. Surplus valas menyebabkan nilai tukar luar negeri mengalami depresiasi (nilai tukar 22 dalam negeri mengalami apresiasi), sedangkan kekurangan foreign exchange akan menyebabkan foreign currency appreciation (domestic currency depresiasi). Apabila permintaan dan penawaran nilai tukar berubah maka keseimbangan nilai tukar juga akan berubah. Berikut hal yang terjadi ketika terjadi perubahan pada permintaan dan penawaran tersebut : 1. Peningkatan permintaan nilai tukar Apabila terjadi kenaikan impor, maka permintaan terhadap foreign exchange akan meningkat, sehingga kurva demand bergeser ke kanan. Peningkatan pemintaan atas impor menyebabkan depresiasi atas domestic exchange. 2. Peningkatan penawaran nilai tukar Apabila terjadi kenaikan ekspor, penawaran foreign exchange meningkat dan menggeser kurva penawaran ke kanan. Mata uang dalam negeri akan mengalami apresiasi terhadap foreign exchange. 2.2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Laju Inflasi Relatif Perubahan perdagangan dalam laju internasional, inflasi karena dapat mempengaruhi mempengaruhi aktivitas permintaan dan penawaran valuta, dan dengan demikian mempengaruhi nilai tukar. Dengan mengasumsikan ada dua negara, jika inflasi negara A naik, maka negara A 23 akan meningkatkan permintaan terhadap mata uang B di mana tingkat inflasi B tetap. Selain itu, lonjakan inflasi di negara A akan mengurangi keinginan konsumen negara B terhadap produk-produk negara A sehingga mengurangi penawaran mata uang B dalam pasar. Suku Bunga Relatif Perubahan dalam suku bunga relatif mempengaruhi investasi dalam sekuritas-sekuritas asing, yang selanjutnya akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing dan nilai tukar. Dengan mengasumsikan suku bunga di negara A meningkat sedangkan suku bunga di negara B tetap (konstan). Dalam hal ini perusahaan-perusahaan di negara A besar kemungkinan akan mengurangi permintaan mereka terhadap mata uang negara B karena suku bunga di negara A sekarang lebih menarik ketimbang suku bunga di negara B.Perusahaan-perusahaan di negara A akan menarik deposito mereka di negara B dan menempatkannya di bank-bank negara A. Tingkat Pendapatan Relatif Faktor ketiga yang mempengaruhi nilai tukar adalah tingkat pendapatan nasional relatif. Pada saat tingkat pendapatan nasional naik maka kemampuan untuk mengimpor suatu negara akan naik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya fluktuasi nilai tukar. 24 Kontrol Pemerintah Faktor keempat yang mempengaruhi nilai tukar adalah kontrol pemerintah. Pemerintah negara-negara asing dapat mempengaruhi nilai tukar ekuilibrium dengan berbagai cara, di antaranya melalui hambatan jual beli valuta asing, hambatan perdagangan, intervensi (pembelian dan penjualan valuta) dalam pasar valas (valuta asing), dan tingkat pendapatan nasional. Ekspektasi Faktor kelima yang mempengaruhi nilai tukar valuta asing adalah ekspektasi akan nilai tukar di masa depan. Sama seperti pasar keuangan yang lain, pasar valas bereaksi cepat terhadap setiap berita yang memiliki dampak ke depan. 2.3 Tingkat Bunga Menurut Samuelson (1996), “Tingkat Bunga adalah bunga atau sewa yang dibayarkan per unit waktu”. Dengan kata lain masyarakat harus membayar peluang untuk meminjam uang. Pada bagian lain kaum klasik mendefenisikan “Tingkat Bunga sebagai harga dari penggunaan dan yang tersedia untuk dipinjamkan Suku bunga merupakan persentase pendapatan yang diterima oleh para penabung dari tabungan uang yang disisakannya. Ia merupakan pula 25 persentasi pendapatan yang harus dibayar oleh para peminjam dana (Sukirno, 2004). Suku bunga adalah bunga atau sewa yang dibayarkan per unit waktu. Dengan kata lain masyarakat harus membayar peluang untuk meminjam uang. Pada bagian lain kaum klasik mendefenisikan “Suku bunga sebagai harga dari penggunaan dan yang tersedia untuk dipinjamkan”. (Samuelson dan Nordhaus, 1997). Suku bunga merupakan harga yang disepakati dari penggunaan uang tersebut dalam jangka waktu yang telah ditentukan bersama. Harga ini biasanya dinyatakan dalam % per satuan tahun (misalnya perbulan atau per tahun, sesuai dengan ketentuan yang berlaku) dan dinamakan tingkat biaya. Maka pengertian tingkat bunga adalah ”harga” atas penggunaan uang dalam jangka waktu tertentu (Boediono, 1992). Tingkat bunga nominal mempunyai peran penting dalam pembangunan keuangan karena tingkat nominal menentukan tingginya tingkat bunga riil. Tingkat bunga riil adalah tingkat bunga nominal yang disesuaikan dengan laju inflasi (tepatnya laju inflasi yang diharapkan oleh masyarakat). Jika tidak ada penetapan pagu tingkat bunga nominal oleh pemerintah, tingkat bunga nominal akan cenderung menyesuaikan diri dengan gerak inflasi. Tetapi dengan adanya pagu tingkat bunga nominal, tingkat bunga nominal bisa lebih kecil dari inflasi, sehingga terciptalah tingkat bunga riil yang negatif yang sekali lagi akan mengurangi jumlah deposito dalam perekonomian. 26 Penurunan tingkat bunga akan mendorong kenaikan investasi (dan dengan demikian juga pengeluaran total). Akibat selanjutnya pendapatan naik. Jumlah barang-barang modal yang diminta bergantung pada tingkat bunga yang mengukur biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi. Agar proyek investasi menguntungkan, hasilnya (penerimaan dari kenaikan produksi barang dan jasa masa depan) harus melebihi biayanya (pembayaran untuk dana pinjaman). Jika suku bunga meningkat, lebih sedikit proyek investasi yang menguntungkan, dan jumlah barang-barang investasi yang diminta akan turun. Fungsi investasi mengaitkan jumlah investasi atau pada tingkat bunga riil investasi bergantung pada tingkat bunga riil karena tingkat bunga adalah biaya pinjaman. Fungsi investasi miring ke bawah: ketika tingkat bunga naik, semakin sedikit proyek investasi yang menguntungkan (N. Gregory Mankiw, 2003: 52-53). 27 r Tingkat Bunga Riil Fungsi Investasi I (r) I Investasi Gambar 2.2 Fungsi Investasi Menurut Teori Klasik dalam hal ini teori Fisher mengenai Loanable Funds Theory bunga adalah “harga” dari (penggunan) loanable funds (dana investasi), karena menurut klasik bunga adalah “harga” yang terjadi di “pasar” dana investasi. Dalam teori klasik, produktivitas dana ini menganut hukum yang berlaku umum bagi proses produksi, yaitu the Law of Diminishing Returns. Menurut hukum ini produktivitas marginal atau marginal product dari suatu input (dalam hal ini dana atau kapital) akan semakin menurun, apabila input-input lain tetap. Menurut teori klasik kurva permintaan akan dana investasi mempunyai lereng (slope) yang negatif. 28 r Lm Tingkat Bunga E is I Gambar 2.3 Tingkat Bunga Keseimbangan di Pasar Investasi Penawaran akan dana investasi (S) bertemu dengan permintaan akan dana investasi (I) di pasar dana investasi (loanable funds) dan Tingkat bunga disitu tercipta tingkat bunga keseimbangan (di mana S = I). Faktor penentu utama dari bentuk kurva S adalah adalah rate of time preference para penabung, dan faktor penentu utama dari kurva I adalah marginal product dari kapital. Tingkat bunga berubah apabila kedua faktor penentu utama berubah, yang satu karena perubahan penilaian subyektif para pelaku ekonomi, yang lain karena perubahan teknologi. Menurut klasik, investor akan membayar bunga untuk dana yang ia pakai karena dana tersebut digunakan untuk kegiatan yang nantinya diharapkan bisa menghasilkan penerimaan yang lebih besar daripada jumlah 29 yang diinvestasikan. Kelebihan penerimaan di atas pengeluaran (keuntungan) inilah yang merupakan daya tarik bagi investor untuk melakukan investasi dan sekaligus sebagai sumber untuk membayar bunga. Dengan kata lain, bunga dibayar karena dana tersebut produktif. 2..4 Ekspor Ekspor merupakan kegiatan transaksi barang dan jasa antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain yang meliputi ekspor barang, jasa angkutan, jasa asuransi, jasa komunikasi dan jasa lainnya. Termasuk juga dalam ekspor adalah pembelian langsung atas barang dan jasa di wilayah domestik oleh penduduk negara lain. Ekspor dapat terjadi karena adanya kelebihan penawaran domestik pada tingkat harga dunia. Dengan melakukan perdagangan, suatu negara diharapkan akan mampu untuk memperoleh gains from trade dan mencapai skala produksinya sehingga akan mengakibatkan pengurangan cost of production, sehingga suatu negara akan mampu memanfaatkan peluang pasar dengan keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimilikinya. Dengan meningkatnya ekspor berarti akan menambah cadangan devisa negara, menambah pemasukan, mengurangi pengangguran dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan nasional (Zou dan Cavusgil, 1994). Perekonomian Indonesia adalah perekonomian yang menganut sistem ekonomi terbuka. Di dalam sistem ini lalu lintas ekonomi internasional mengambil peranan yang penting di dalam perekonomian dan pembangunan 30 suatu negara. Dengan dibukanya hubungan ekonomi luar negeri, yaitu: melalui perdagangan, output akan lebih besar daripada output perekonomian tertutup dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Perdagangan internasional telah memainkan peranan yang sangat penting, meskipun hal itu tidak bisa berdiri sendiri di hampir sepanjang sejarah pembangunan di negara-negara berkembang. Di semua kawasan negara-negara dunia ketiga, baik itu Afrika, Asia, Timur Tengah maupun Amerika Latin, ekspor produk-produk primer secara tradisional merupakan bagian yang cukup besar dan penting dari total produk domestik bruto di masing-masing negara. Pentingnya peranan perdagangan internasional dalam pembangunan ekonomi secara teoritis telah dijelaskan oleh para ahli ekonomi klasik maupun neoklasik. Dengan dibukanya hubungan ekonomi luar negeri, yaitu: melalui perdagangan, output akan lebih besar daripada output perekonomian tertutup dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Peranan positif perdagangan luar negeri terhadap perekonomian dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: manfaat langsung (direct effect) dan manfaat tidak langsung (indirect effect). Pengaruh langsung adalah pendapatan yang diperoleh oleh produsen dan eksportir serta kesempatan kerja. Pengaruh tidak langsung adalah kenaikan investasi. Kenaikan ekspor berarti pendapatan devisa meningkat dan selanjutnya kemampuan mengimpor juga bertambah dan akhirnya investasi meningkat (Agus Widarjono, 1996 ). 31 Perkembangan ekspor dari suatu negara tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor keunggulan komparatif tetapi juga oleh faktor-faktor keunggulan kompetitif. Inti daripada paradigma keunggulan kompetitif adalah keunggulan suatu negara di dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif (teori-teori klasik dan H-O) yang dimilikinya dan juga karena adanya proteksi atau bantuan fasilitas dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Keunggulan kompetitif tidak hanya dimiliki oleh suatu negara, tetapi juga dimiliki oleh perusahaan-perusahaan di negara tersebut secara individu atau kelompok. Perbedaan lainnya dengan keunggulan komparatif adalah, bahwa keunggulan kompetitif sifatnya lebih dinamis dengan perubahanperubahan, misalnya teknologi dan sumber daya manusia (Tambunan, 2001 ). Menurut Sukirno (2000), faktor-faktor yang menentukan ekspor adalah sebagai berikut : 1. Daya saing dan keadaan ekonomi negara lain Dalam suatu sistem perdagangan internasional yang bebas, kemampuan suatu negara menjual barang ke luar negeri tergantung pada kemampuannya menyaingi barang-barang yang sejenis di pasar internasional. Besarnya pasaran barang di luar negeri sangat ditentukan oleh pendapatan penduduk di negara lain. Kemajuan yang pesat di berbagai negara akan meningkatkan ekspor suatu negara. 32 2. Proteksi di negara-negara lain Proteksi di negara-negara lain akan mengurangi tingkat ekspor suatu negara. Proteksi yang lazim digunakan yaitu penetapan tarif yaiutu dengan menambah biaya bagi barang impor dan kuota pada barang impor yaitu dengan membatasi jumlah barang impor .Dengan tarif dan kuota ,harga barang impor cendrung lebih tinggi serta kuantitasnya lebih sedikit dibandingkan barang domestik sehingga dapat mendorong daya saing industi dalam negeri, namun bagi negara pengekspor hal tersebut akan menurunkan nilai ekspor .(Nopirin) 3. Kurs Valuta Asing Peningkatan kurs mata uang negara pengimpor terhadap mata uang negara pengekspor dapat meningkatkan daya beli negara pengimpor yang mengakibatkan nilai ekspor negara pengekspor meningkat. Ekspor adalah penting dalam hal utama, yaitu bersama-sama dengan impor menghasilkan neraca pembayaran dari suatu negara (suatu negara harus mengekspor untuk dapat membiayai impornya yang dibayar dengan mata uang asing) dan ekspor menggambarkan suntikan dana dalam aliran sirkulasi pendapatan nasional. 2.5 Hubungan Antarvariabel Dari penjelasan variabel diats dapat disimpulkan bahwa variabel bebas (inlfasi ,suku bunga ,serta nilai tukar) memiliki pengaruh kepada variabel terikat (ekspor) yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 33 2.5.1 Hubungan Inflasi dengan Ekspor Inflasi adalah kecenderungan kenaikan harga secara umum dan terus menerus. Jika inflasi meningkat maka harga barang di dalam negeri terus mengalami kenaikan. Naiknya inflasi menyebabkan biaya produksi barang ekpor akan semakin tinggi. Hal ini tentunya akan menyebabkan eksportir tidak mampu berproduksi maksimal sehingga menyebabkan ekpor menjadi turun karena untuk memproduksi barang komoditi ekspor diperlukan biaya yang tinggi. Jadi terdapat hubungan yang negatif antara inflasi dan ekspor. 2.5.2 Hubungan Tingkat suku Bunga Dengan Ekspor Adanya kredit tidak terlepas dari adanya tingkat bunga yang merupakan aspek biaya yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan produksi. Peningkatan bunga kredit mempunyai 2 akibat yaitu: 1. Kenaikan bunga kredit menyebabkan modal kerja menjadi lebih sedikit, karena adanya penambahan biaya pengembalian hutang, sehingga eksportir enggan untuk mendapatkan dana lebih besar, Ini menyebabkan produksi, yaitu modal berkurang yang selanjutnya berdampak pada nilai pengeluaran ekspor yang semakin berkurang pula, sehingga antara tingkat suku bunga kredit dengan ekspor terdapat hubungan negatif. 34 2. Kenaikan bunga kredit juga menyebabkan kenaikan suku bunga tabungan yang menyebabkan banyaknya masyarakat menanamkan modalya di Bank meningkatkan DPK sehingga jumlah sehingga tabungan meningkatkan meningkat dan kemampuan bak menyalurkan kredit ke sektor riil sehingga mendorong ekspor. 2.5.3 Hubungan Kurs dengan Ekspor Dalam sistem kurs mengambang, depresiasi atau apresiasi nilai mata uang akan mengakibatkan perubahan ke atas ekspor maupun impor. Jika kurs mengalami depresiasi, yaitu nilai mata uang dalam negeri menurun dan berarti nilai mata uang asing bertambah tinggi kursnya (harganya) akan menyebabkan ekspor meningkat dan impor cenderung menurun. Jadi kurs valuta asing mempunyai hubungan yang searah dengan volume ekspor. Apabila nilai kurs dollar meningkat, maka volume ekspor juga akan meningkat (Sukirno, 2000). 2.6 Tinjauan Empiris Ada beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti tentang perkembangan ekspor serta faktor –faktor yang mempengaruhinya seperti penelitian yang dilakukan oleh I Nyoman Rindra Hanjaswara (2006) di Bali dalam penelitianya yang berjudul ’’Analisis Pengaruh Suku bunga kredit, Kurs dollar Amerika dan Inflasi Terhadap Volume Ekspor Kerajinan Anyaman 35 Provinsi Bali (periode 1992-2005) ’’ dengan menggunakan metode regresi linier berganda serta program SPSS dimana suku bunga berpengaruh positif dan tidak signifikan dan inflasi berpengaruh negatif serta tidak signifikan terhadap volume ekspor kerajinan anyaman di Bali .Hanya kurs dollar yang berpengaruh positif serta signifikan terhadap Volume Ekspor Kerajinan anyaman di Bali. Nirdukita Ratnawati dan Rulli Rizki (2006) dalam penelitiannya yang berjudul’’ Analisis Pengaruh Variabel Indikator Ekonomi Makro Terhadap Perekonomian Indonesia:Pendekatan Pasar Barang Dan Pasar Uang (Periode 1996-2005) di Indonesia juga menyinggung faktor- faktor yang mendorong kenaikan Ekspor di Indonesia dimana variabel Kurs Dollar dan Inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap total volume Ekspor Indonesia ke Luar Negeri. Wayrohi Meilvidiri (2009) dalam peneilitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar Terhadap Ekspor Indonesia (Periode 19972008)”. Hasil penelitiannya menunjukkan nilai tukar memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap ekspor, Inflasi memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap ekspor, dan krisis ekonomi sebagai variabel dummy memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap ekspor dengan metode regresi linear berganda. Dalam sebuah studi literatur yang komprehensif tentang pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap aliran perdagangan, McKenzie (1999) menyimpulkan bahwa studi empiris akhir-akhir ini memperoleh hubungan 36 yang signifikan secara statistik antara volatilitas nilai tukar dan perdagangan. Calvo dan Reinhart (2000) dalam Siregar dan Rajan (2002) melakukan tinjauan ulang terhadap beberapa studi dan memperoleh kesimpulan yang sama. Di sisi lain sejumlah besar studi empiris menunjukkan adanya dampak negatif dari volatilitas nilai tukar terhadap total perdagangan, ekspor dan impor, sementara yang lain dilaporkan positif dan memiliki dampak tidak signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Rahutami dan Kusumastuti (2006) mengenai dampak dari volatilitas nilai tukar pada arus-arus perdagangan dari Indonesia kepada lima mitra perdagangan utama untuk periode 1975-2005. Pada penelitian ini penyimpangan patokan perubahan persentase di dalam nilai tukar riil dimasukkan untuk mengukur volatilitas nilai tukar. Dengan menggunaan model ARDL dan Error Corection Model digunakan untuk memperoleh perkiraan-perkiraan dari hubungan-hubungan co-integrating dan dinamika jangka pendek. Hasil penelitian ini secara keseluruhan, menyediakan bukti bahwa volatilitas nilai tukar mempunyai suatu pengaruh negatif yang penting pada barang ekspor (untuk sementara waktu) dan suatu pengaruh positif yang penting di impor (di dalam jangka pendek dan jangka panjang). 2.7 Kerangka Pikir Dengan memperhatikan uraian yang telah dipaparkan terdahulu, maka pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal yang dijadikan penulis sebagai 37 landasan berpikir untuk kedepannya. Landasan yang dimaksud akan lebih mengarahkan penulis untuk menemukan data dan informasi dalam penelitian ini guna memecahkan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Untuk itu maka penulis menguraikan landasan berpikir pada gambar di bawah ini yang dijadikan pegangan. INFLASI KURS SUKU BUNGA EKSPOR NONMIGAS Gambar 2.4 Kerangka Pikir 2.8 Hipotesis Berdasarkan latar belakang, permasalahan yang ada diarahkan untuk merujuk pada dugaan sementara yaitu: Diduga Nilai Tukar berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan Inflasi serta Suku Bunga Kredit Investasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Ekspor Non- Migas di Indonesia pada periode 1998-2009” 38 BAB III METODE PENELITIAN Bab ini bertujuan untuk menguraikan tentang semua hal yang berkaitan dengan operasional (cara) dan peralatan análisis yang digunakan serta konsep dan gambaran awal tentang pelaksanaan penelitian. Untuk itu, Bab ini membahas tentang teknik pengumpulan data, metode analisis data, dan definisi operasional. 3.1 Teknik Pengumpulan Data : Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat kuantitatif yang meliputi data time series dari tahun 1998-2009 tentang Ekspor ,Inflasi, Suku Bunga , Nilai Tukar dari Bank Indonesia dan BPS. Sedangkan data kualitatif meliputi beberapa hasil studi kepustakaan dan artikel yang berguna bagi penelitian ini yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), laporan Bank Indonesia, artikel-artikel dan tulisan-tulisan yang diperoleh dengan fasilitas internet yang berguna bagi penelitian ini. 3.2 Metode Analisis Model yang digunakan adalah model regresi linier berganda. Secara singkat dapat dilihat model fungsi berikut : Ekspor = f (Inflasi, Suku Bunga dan NilaiTukar)……………… (3.1) 39 Secara explisit dapat dinyatakan sebagai berikut: Ln X = β0 + β1X1 + β2 lnX2 + β3 X3 + μ………...………….(3.2) dimana : X = Ekspor X1 = Inflasi X2 = Kurs X3 = Suku Bunga μ = Error term Selanjutnya untuk menguji tingkat signifikansi atau keeratan hubungan variabel bebas terhadap variabel terikat maka digunakan berbagai uji statistik diantaranya : 1. Uji Statistik t Untuk menguji tingkat signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat, maka digunakan tingkat signifikansi tertentu. Dikatakan signifikansi jika nilai t hitung lebih besar dari t tabel. 2. Uji Statistik F Untuk mengetahui signifikansi hubungan variabel bebas secara menyeluruh terhadap variabel terikat pada tingkat signifikansi tertentu. Dikatakan signifikansi jika nilai F hitung sama atau lebih besar dari nilai F tabel. 3. Uji statistik R (koefisien korelasi) Untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial (r) maupun secara total (R) 40 4. Uji statistik R2 (koefisien determinasi) Untuk mengetahui besarnya kontribusi variasi variabel bebas yang ditentukan oleh variabel terikat baik secara parsial (r 2) maupun secara total (R2). 3.3. Batasan Variabel Seperti telah dijelaskan di atas, ada empat variabel penting dari penelitian ini, antara lain : Ekspor yaitu total ekspor non migas Indonesia diukur dalam rupiah selama periode penelitian. Inflasi yaitu Inflasi yang terjadi di Indoneisa yang diukur dalam persen selama periode penelitian. Kurs yaitu Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar yang diukur dalam Rupiah selama periode penelitian. Suku Bunga yaitu Suku Bunga Kredit Investasi pertahun periode penelitian 41 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Dalam perkembanganya ekspor non migas ternyata dipengaruhi oleh varibel – variabel makro seperti inflasi , nilai kurs maupun suku bunga pada bab ini akan diuraikan perkembangan variabel–variabel dependent yaitu ekspor non migas serta varibel ibndependent yaitu inflasi , suku bunga kredit investasi serta nilai kurs selama periode 1997 sampai dengan 2009 4.1.1 Perkembangan Nilai Kurs Tabel 4.1.1 Perkembangan Nilai kurs dollar terhadap Rupiah Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Kurs 4650 8100 7161 8400 10256 9318 8593 8940 9713 9050 9130 10950 9200 Sumber : Laporan Tahunan BI dari tahun 1997 -2009 (diolah) 42 Pada tahun 1998 nilai dolar menembus angka Rp 8100/dollar hal tersebut merupakan efek krisis moneter pada tahun tersebut dimana pada tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1997 nilai dollar hanya berada pada posisi Rp 4650/dollar atau mengalami kenaikan sebesar 74.20%.Namun pada tahun 1999 nilai Rupiah mengalami penguatan terhadap nilai dollar yaitu Rp 7161/dollar. Pada tahun 2000 dan tahun 2001 Nilai kurs dollar mengalami penguatan terhadap nilai Rupiah yaitu sebesar Rp 8400/dollar dan 10256/dollar ,hal tersebut tidak lepas dari kenaikan harga BBM yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga mendorong pelemahan pada perekonomian dalam negeri dan mengakibatkan terpuruknya sebagaian besar industri. Dari tahun 2002 sampai pada tahun 2008 nilai dollar mengalami pergerakan yang tidak terlalu signifikan yaitu pada level Rp9318/dollar pada tahun 2002,Rp 8539/dollar pada tahun 2003, Rp 8940/dollar pada tahun 2004 mengalami kenaikan kembali menjadi Rp 9713/dollar pada tahun 2005 akibat kebijakan pemerintah dalam menaikan harga BBM dan pada Tahun 2008 yang menembus angka Rp 10950/dollar akibat dari krisis keuangan dunia. Pada tahun 2009 Dollar menyentuh angka 9200, atau dalam arti lain Rupiah mengalami nilai yang tidak lepas dari perbakan ekonomi. 43 4.1.2 Perkembangan Nilai Suku Bunga Investasi Tabel 4.1.2 Perkembangan Nilai Suku Bunga kredit Investasi (Suku Bunga kredit Investasi Tahunan) Tahun Suku Bunga Investasi 1997 19,97 1998 26,20 1999 17,90 2000 16,90 2001 17,90 2002 17,82 2003 15,68 2004 14,05 2005 15,66 2006 15,10 2007 13,01 2008 14,40 2009 12,58 Sumber : Laporan Tahunan BI dari tahun 1997 -2009 (diolah) Pada tahun 1998 nilai suku bunga Investasi pada posisi 26.20% mengalami pertumbuhan sebesar 31.19% dari tahun 1997 yang berada pada posisi 19.97% ,keadaan tersebut tidak lepas dari kondisi perekonomian yang mengalami keterpurukan sehingga mempengaruhi besaran nilai suku bunga investasi. Pada tahun 1999, 2000, 2002 suku bunga Investasi mengalami naik turun yang tidak lepas dari keadaan ekonomi makro pada tahun itu yaitu 44 pada posisi 17.90% pada tahun 1999, turun menjadi 16.90% pada tahun 2000, naik kembali pada tahun 2001 yaitu 12.90% dan mengalami penurunan yaitu 0.008% pada tahun 2002 menjadi 17.82%. Pada 2007 nilai suku bunga investasi berada pada posisi 13.01% atau nilai yang paling rendah untuk 10 tahun terakhir namun pada tahun 2008 menglami kenaikan akibat kenaikan suku bunga tabungan (menjaga capital outflow akibat krisis keuangan dunia) yang mendorong kenaikan suku bunga investasi . Pada tahun 2009 suku bunga investasi menalami penurunan pada level 12,58%, atau mengalami penurunan sebesar 14,46%. 4.1.3 Perkembangan Nilai Inflasi di Indonesia Pada tahun 1997 nilai inflasi sebesar 11.05% dan meningkat tajam pada tahun 1998 yaitu sebesar 77.63% atau mengalami kenaikan sebesar 600% lebih merupakan nilai inflasi terburuk pada orde baru sejak inflasi pada tahu 1967. Namun pada tahun 1999 inflasi di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan pada poisisi 2.01%. 45 Tabel 4.1.3 Perkembangan Nilai Inflasi di Indonesia (Inflasi Tahunan) Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Inflasi 11,05 77,63 2,01 9,35 12,55 10,03 5,06 6,40 17,11 6,60 6,59 11,06 5,00 Sumber : Laporan Tahunan BI dari tahun 1997 -2009 (diolah) Inflasi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam menetapkan harga dimana pada tahun 2001 dan tahun 2005 inflasi naik tajam yaitu pada posisi 12.55% tahun 2001 dan tahun 2005 berada pada posisi 17.11% (kebijakan pemerintah pertama pemerintah menaikan harga BBM pada tahun 2001 serta kebijakan menaikan harga BBM lagi pada tahun 2005), sampai pada 2009 inflasi menyentuh posisi 5% atau nilai inflasi sejak pada tahun 2003. 46 4.1.4 Perkembangan Nilai Ekspor Non Migas Tabel 4.1.4 Perkembangan Nilai Ekspor Non Migas Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 ekspor non migas (miliar dollar) 39.3 43 41 50.3 44.8 45.3 47.928 54.482 66.753 80.758 93.142 107.167 93.063 Sumber : Laporan Tahunan BI dari tahun 1997 -2009 (diolah) Ekspor Non migas Indonesia ke luar negeri cendrung mengalami peningkatan pada setiap tahunya khusus pada ekspor bahan baku industry dan pertanian yaitu pada tahun 1997 berada pada posisi 39.3 miliar dollar dan meningkat pada tahun 1998 yaitu menjadi 43 miliar dollar meskipun pada saat itu terjadi krisi ekonomi namun kenaikan nilai dollar memacu kenaiakan ekspor pertanian yang mengalami pelonjakan harga dalam bentuk Rupiah. Dari tahun 2001 sampai pada tahun 2008 nilai ekspor non migas terus menglami pertumbuhan yang signifikan yaitu sebesar 45.3 miliar dollar pada tahun 202 atau bertumbuh sebesar 0.01 % dari 44.8 miliar dollar pada tahun 47 2001sampai pada thaun 2008 pada posisi 107.167 miliar dollar atau dari tahun 2001 sampai tahun 2008 mengalami kenaikan rata – rata sebesar 67.541 miliar dollar. Pada tahun 2005 nilai ekspor non migas menyentuh angka 93,062 miliar dollar atau mengalami penurunan nilai sebesar 14,104 miliar dollar. 4.2. Hasil Olahan Data Untuk menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian, maka digunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk membuktikan hipotesis yang diajukan dengan menggunakan model analisis regresi linear berganda, sedangkan analisis kualitatif digunakan untuk menelaah pembuktian analisis kuantitatif. Dalam analisis regresi berganda ini yang menjadi variabel dependen yakni Ekspor non migas (Y), sedangkan variabel independen adalah pengeluaran kurs, suku bunga investasi, inflasi selam tahun 1997 sampai 2009. Dari hasil olah data dengan menggunakan software eviews 3.1 maka diperoleh hasil sebagai berikut : Variabel Koefisien Regresi t- Statistik Prob. Konstanta 2.804.942 7.774.072 0.0000 Inflasi (X1) Suku bunga Investasi (X2) 0.018372 3.057.793 0.0136 -0.155616 -4.260.690 0.0021 Kurs (X3) 0.899649 2.531.218 0.0322 diolah : Eviews 3 48 Variable Koefisien Regresi t- Statistik Prob. Konstanta 2.804.942 7.774.072 0.0000 Inflasi (X1) 0.018372 3.057.793 0.0136 Suku bunga Investasi (X2) -0.155616 -4.260.690 0.0021 Kurs (X3) 0.899649 2.531.218 0.0322 Tabel 4.2 Hasil Olah Data R-squared 0.894961 Adjusted R-squared 0.859948 F-statistic 2.556.086 Prob (F-statistic) 0.000098 Y = 28.04942 + 0.018372 X1 - 0.155616X2 + 0.899649 X3 Koefesien konstanta 28.04942berarti jika variabel lainya dianggap konstan maka pengaruh pada Ekspor non migas di Indonesia berdasarkan total Ekspor Non Migas di Indonesia adalah 28.04942 %. Nilai koefesien regresi Inflasi di Indonesia adalah 0.018372 dengan tingkat signifikansi 5 persen (α = 0.05 ).Hal ini berarti bahwa dengan menjaga agar variabel – variabel lainya adalah cateris paribus ,maka peningkatan 1 persen dari jumlah Inflasi di Indonesia akan meningkatkan rata–rata sebesar 0.018372 % Ekspor Non Migas di Indonesia Nilai koefesien regresi Suku Bunga 49 Investasi di Indonesia adalah -0.155616 dengan tingkat signifikansi 5 persen (α = 0.05 ).Hal ini berarti bahwa dengan menjaga agar variabel –variabel lainya adalah cateris paribus, maka peningkatan 1 persen dari jumlah Suku Bunga Investasi 0.155616 % di Indonesia akan menurunkan rata –rata sebesar Ekspor Non Migas di Indonesia sedangkan. Nilai koefesien regresi Kurs Dollar terhadap Rupiah di Indonesia adalah 0.899649 dengan tingkat signifikansi 5 persen (α = 0.05 ). Hal ini berarti bahwa dengan menjaga agar variabel –variabel lainya adalah cateris paribus ,maka peningkatan 1 persen dari jumlah Kurs Dollar terhadap Rupiah di Indonesia akan menigkatkan rata –rata sebesar 0.899649 % Ekspor Non Migas di Indonesia . Kelayakan model dapat diketahui dengan melihat nilai koefisien determinasi (𝑅 2 ). Nilai yang ditemukan adalah 0.894961 hal ini berarti bahwa variasi seluruh variabel bebas/independent (Kurs ,Suku Bunga Investasi, Inflasi) dapat menjelaskan variasi variabel terikat/dependent (Ekspor Non Migas di Indonesia ) sebesar 0.894961 persen. Dengan demikian variasi variabel lain yang menjelaskan variasi perubahan Ekspor Non Migas yang tidak diperhitungkan dalam model adalah sebesar (100% - 89.4961%) 10.508 persen. Jika dilihat dari nilai koefisien korelasi (R) model ini yaitu 0.859948 berarti 85.9948%. Hal ini berarti bahwa derajat keeratan hubungan antara variabel independent (Kurs ,Suku Bunga Investasi , Inflasi ) dengan variabel dependent ( Ekspor Non Migas) adalah cukup kuat. 50 Nilai F-statistik yang diperoleh adalah sebesar 25.56086 dengan Pvaluenya sebesar 0.000098 . Hal ini menunjukkan variabel bebas secara simultan signifikan terhadap variabel terikat dengan taraf signifikansi α = 5%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemilihan variabel dan model mampu menjelaskan fenomena yang diamati. Perubahan variabel independen secara serempak mempengaruhi variabel dependen Uji-t digunakan untuk menguji tingkat signifikansi model secara parsial atau menguji variabel independent (Kurs, Suku Bunga Investasi, Inflasi) terhadap variabel dependent (Ekspor Non Migas) pada taraf α yang digunakan adalah 0,05 (5%). 1) Inflasi Nilai koefesien regresi Inflasi di Indonesia adalah 0.018372 serta berhubungan positif dan signifikan pada posisi nilai probabilitas 0.0136 tingkat signifikansi 5 persen (α = 0.05 ).Hal ini berarti bahwa dengan menjaga agar variabel–variabel lainya adalah cateris paribus ,maka peningkatan 1 persen dari jumlah Inflasi di Indonesia akan meningkatkan rata–rata sebesar 0.018372% Ekspor Non Migas di Indonesia. Tingkat inflasi mempunyai hubungan yang positif dan signifikan secara statistik. Ini berarti apabila tingkat inflasi meningkat maka akan meningkatkan tingkat ekspor Indonesia. Yang diketahui sesuai dengan hukum penawaran, bahwa ketika harga naik maka barang yang ditawarkan 51 akan meningkat. Penelitian serupa pernah dilkukan oleh Nirdukita Ratnawati dan Rulli Rizki (2006) dalam penelitian yang berjudul’’ Analisis Pengaruh Variabel Indikator Ekonomi Makro Terhadap Perekonomian Indonesia:Pendekatan Pasar Barang Dan Pasar Uang (Periode 1996-2005) di Indonesia juga menyinggung faktor- faktor yang mendorong kenaikan Ekspor di Indonesia dimana variabel Kurs Dollar dan Inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap total volume Ekspor Indonesia ke Luar Negeri 2) Suku Bunga Investasi . Nilai koefesien regresi Suku Bunga Investasi di Indonesia adalah 0.155616 serta berhubungan negatif dan signifikan pada posisi nilai probabilitas 0.0021 dengan tingkat signifikansi 5 persen (α = 0.05 ). Hal ini berarti bahwa dengan menjaga agar variabel –variabel lainya adalah cateris paribus ,maka peningkatan 1 persen dari jumlah Suku Bunga Investasi di Indonesia akan menurunkan rata –rata sebesar 0.155616 % Ekspor Non Migas di Indonesia. 3) Kurs Nilai koefesien regresi Kurs Dollar terhadap Rupiah di Indonesia adalah 0.899649 serta berhubungan positif dan signifikan pada posisi nilai probabilitas 0.0322 dengan tingkat signifikansi 5 persen (α = 0.05 ) serta nilai .Hal ini berarti bahwa dengan menjaga agar variabel –variabel lainya adalah cateris paribus ,maka peningkatan 1 persen dari jumlah Kurs Dollar 52 terhadap Rupiah di Indonesia akan menigkatkan rata –rata sebesar 0.899649 % Ekspor Non Migas di Indonesia.Hal tersebut tidak lepas dari kecendrungan para eksportir yang lebih memilih pasar luar negeri dimana dengan melakukan ekspor ,keuntungan dapat diperoleh lebih besar dengan nilai kurs dollar yang tinggi dibandingkan dengan menjual hasil produksi di dalam negeri .Penelitian serupa pernah dilkukan oleh Nirdukita Ratnawati dan Rulli Rizki (2006) dalam penelitian yang berjudul’’ Analisis Pengaruh Variabel Indikator Ekonomi Makro Terhadap Perekonomian Indonesia:Pendekatan Pasar Barang Dan Pasar Uang (Periode 1996-2005) di Indonesia juga menyinggung faktor- faktor yang mendorong kenaikan Ekspor di Indonesia dimana variabel Kurs Dollar dan Inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap total volume Ekspor Indonesia ke Luar Negeri. Wayrohi Meilvidiri (2009) dalam peneilitianya di Indonesia yang berjudul” ”Analisis Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar Terhadap Ekspor Indonesia (Periode 1997-2008) dimana hasil penelitianya nilai tukar memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap ekspor,Inflasi memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap ekspor, dan Variabel duumy (krisis ekonomi) memilik positif dan tidak signifikan terhadap ekspor dengan metode regresi linear berganda serta program e-views3. 53 BAB V PENUTUP V.I KESIMPULAN Dari pembahasan, pengolahan data variable bebas (Inflasi, suku bunga kredit investasi ,kurs) dan varibel terikat (ekspor non migas) dapat diambil beberapa kesimpulan : Variabel Kurs mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap variable ekspor Non Migas . Hal tersebut tidak lepas dari kecendrungan para eksportir yang lebih memilih pasar luar negeri dimana dengan melakukan ekspor ,keuntungan dapat diperoleh lebih besar dengan nilai kurs dollar yang tinggi dibandingkan dengan menjual hasil produksi di dalam negeri. Variabel Suku Bunga Kredit Investasi mempunyai hubungan negatif dan signifikan terhadap variabel ekspor non migas . Kenaikan suku bunga cendrung mendorong turunya investasi dan produksi khususnya sektor industri .Hal tersebut tidak lepas darai kenaikan cost pinjaman akibat kenaikan suku bunga sehingga akan cendrung mendorong turunya ekspor akibat turunya produksi serta investasi akibat kenaikan suku bunga Investasi Variabel Inflasi mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap variable ekspor non migas. Tingkat inflasi mempunyai hubungan yang positif dan signifikan secara statistik. Ini berarti apabila tingkat inflasi 54 meningkat maka akan meningkatkan tingkat ekspor Indonesia. Yang diketahui sesuai dengan hukum penawaran, bahwa ketika harga naik maka barang yang ditawarkan akan meningkat. V.II SARAN Ada beberapa saran yang dapat diberikan penulis dari penelitian yang dilakukan ini diantaranya : Perlunya perhatian pada nilai suku bunga investasi agar tidak melonjak naik agar terjadi rangsangan terhadap industri dalam negeri sehingga mendorong kenaikan ekspor Peningkatan industri pertanian yang merupakan sektor terbesar penyumbang output pada ekspor non migas Perlunya kebijakan untuk memperhatikan juga kebutuhan dalam negeri sehingga kenaikan ekspor non migas tidak berbenturan dengan kebutuhan domestik (kebutuhan domestik lebih diutamakan dari pada kebutuhan pasar internasional). 55