BAB 5 NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL BAB 5 NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL I. PENDAHULUAN Dalam pelaksanaan pembangunan yang berlandaskan Trilogi Pembangunan, kebijaksanaan neraca pembayaran mempunyai peranan penting dalam pemantapan stabilitas di bidang ekonomi yang diarahkan guna mendorong pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Di samping itu, melalui kebijaksanaan neraca pembayaran juga diusahakan tercapainya perubahan fundamental dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri sehingga dapat meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap tantangan-tantangan di dalam negeri dan keguncangan-keguncangan ekonomi dunia, seperti yang digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan kebijaksanaan neraca pembayaran yang serasi dan terpadu dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan lainnya, diharapkan Indonesia mampu menghadapi berbagai tantangan yang timbul sebagai akibat ketidakpastian perkembangan ekonomi dunia beserta dampaknya terhadap perdagangan luar negeri, arus dana luar nege ri serta beban dan kemampuan pelunasan hutang-hutang luar negeri. Perekonomian dunia dewasa ini masih terus ditandai oleh fluktuasi yang tajam dan ketidakpastian dalam pasaran minyak 265 bumi dan pasaran komoditi primer lainnya, di samping menguatnya tindakan proteksionisme terhadap barang-barang ekspor negara-negara berkembang di pasaran negara-negara industri serta ketidakpastian dalam perkembangan nilai paritas antar valuta utama. Laju pertumbuhan produksi dunia selama periode 1980 - 1987 hanya mencapai rata-rata 2,6% setiap tahunnya, dibandingkan dengan 4,1% selama dasawarsa tujuhpuluhan. Da- lam masa 1980 - 1987 tersebut produksi riil di negara-negara industri, negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi dan negara-negara pengekspor minyak bumi mengalami pertumbuhan per tahun sebesar masing-masing 2,4%, 4,2%, dan 0,1% dibandingkan dengan 3,3%, 5,1% dan 7,1% selama dasawarsa tujuhpuluhan. Laju pertumbuhan yang menurun tersebut diikuti juga oleh laju pertumbuhan perdagangan internasional yang sangat lam- ban. Apabila dalam periode 1970 - 1979 pertumbuhan perdagangan dunia mencapai rata-rata 6,2% per tahunnya, maka selama masa 1980 - 1987 laju pertumbuhan tersebut hanyalah sebesar 2,9%. Volume ekspor negara-negara industri dan negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi dalam periode 1980 1987 mengalami kenaikan sebesar masing-masing 3,7% dan 7,2% per tahun, sedangkan volume ekspor negara-negara pengekspor minyak bumi menurun dengan rata-rata 5,5% per tahun. Selama periode yang sama volume impor negara-negara industri dan negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi menunjukkan kenaikan sebesar masing-masing 4,0% dan 2,8% per tahun. Sebaliknya impor negara-negara pengekspor minyak bumi rata- rata menurun dengan 4,5% per tahun. Dibandingkan dengan dasawarsa tujuhpuluhan, nilai tukar perdagangan bagi negara-negara berkembang merosot dengan penurunan sebesar rata-rata 1,7% per tahun untuk negara-negara 266 bukan pengekspor minyak bumi dan 2,2% per tahun bagi negaranegara pengekspor dasawarsa gangan minyak bumi delapanpuluhan. untuk selama Sementara negara-negara industri delapan itu tahun nilai dalam pertama tukar periode perda- yang sama naik sebesar 0,6% per tahun. Perkembangan nilai tukar perdagangan seperti tersebut di atas merupakan pencerminan perbedaan perkembangan perubahan harga produk-produk manufaktur, komoditi primer dan minyak bumi yang dalam masa 1980 - 1987 masing-masing mengalami kenaikan sebesar rata-rata 3,4% dan penurunan sebesar 2,5% dan 1,2% setiap tahunnya. Kelesuan dalam kegiatan perekonomian dunia yang disertai dengan tingkat pengangguran yang cukup tinggi di negara-negara industri dalam kurun waktu 1980 - 1987 juga ditandai oleh membesarnya perbedaan negara-negara dalam tersebut. perkembangan Hal ini telah neraca pembayaran menyebabkan timbulnya gejolak di pasar valuta asing, khususnya berupa apresiasi Yen terhadap Dollar Amerika Serikat, dan di pasar modal serta pasar uang internasional. Ketidakseimbangan neraca pembayaran di negara-negara industri antara lain disebabkan oleh kelambanan pelaksanaan tersebut serta penyesuaian kurangnya struktural koordinasi di negara-negara kebijaksanaan makro di antara mereka. Perkembangan berdampak secara luas tuntas perekonomian terhadap dan dunia masalah terhadap tahun-tahun penyelesaian kelanjutan proses terakhir krisis ini hutang pembangunan di negara-negara berkembang. Beban hutang,' yang dalam tahun 1987 mencapai jumlah sebesar US $ 1,2 trilyun, bagi banyak negara berkembang yang menjadi kurang terhambatnya amat berat menguntungkan pertumbuhan karena terjadi ekspor beberapa hampir mereka, perkembangan bersamaan, yaitu meningkatnya nilai tukar valuta beberapa negara utama pemberi pinjaman, naiknya 267 tingkat bunga riil di pasar uang dan tersendatnya arus dana pembangunan, baik bersyarat lunak maupun kurang lunak. Meskipun berbagai negara berkembang telah menempuh kebijaksanaan penyesuaian di bidang moneter, fiskal dan perdagangan, kelangsungan proses pembangunan mereka terancam karena rendahnya laju pertumbuhan ekonomi selama tahun-tahun terakhir ini. Sementara itu usaha-usaha untuk mengatasi masalah-masalah keuangan negara-negara berkembang terus dilakukan di forum internasional. Langkah-langkah tersebut meliputi, antara lain, perluasan fasilitas penyesuaian struktural dan fasilitas pinjaman IMF lainnya yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan defisit neraca pembayaran, peningkatan pe- nyaluran dana-dana pembangunan bersyarat lunak oleh Bank Dunia, serta pembentukan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) guna mendorong penanaman modal dari negara maju ke negara berkembang. Dalam rangka Putaran Uruguay Persetujuan Umum tentang Bea Masuk dan Perdagangan (GATT), dewasa ini sedang berjalan serangkaian negosiasi yang bertujuan untuk lebih membebaskan dan memperluas perdagangan internasional. Sesuai dengan kesepakatan, prioritas diberikan pada pelaksanaan komitmen untuk tidak menaikkan, dan bahkan mengurangi, hambatan-hambatan perdagangan serta pelonggaran perdagangan produk tropis dan pertanian, hasil-hasil olahan sumber alam dan produk-produk tekstil. Masalah-masalah dana pembangunan, hutang-hutang negara- negara berkembang, stabilisasi pasaran komoditi primer termasuk Program Komoditi Terpadu dan Dana Bersama, perdagangan internasional dan pembangunan negara-negara paling terbela- kang juga dibahas secara intensif di forum Konperensi tentang Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD). Dengan dipenuhinya 268 persyaratan keanggotaan serta kontribusi modal, Dana Bersama yang akan membiayai pengolahan dan dana pemasaran penyangga dalam serta rangka kegiatan Perjanjian riset, Komoditi, sekarang berada pada tahap persiapan operasi. Sementara itu, selama masa Repelita IV terus dilanjutkan kegiatan kerja sama ekonomi dan teknik antara negara-negara berkembang, baik di forum UNCTAD maupun dalam kerangka Gerakan Non Blok dan Organisasi Konperensi Islam. Untuk meningkatkan perdagangan antar sesama negara berkembang telah dimulai putaran negosiasi dari Sistem Preferensi Perdagangan Global (GSTP). Semakin meningkatnya kerja sama ekonomi antara negara anggota ASEAN tercermin dalam kesepakatan yang dicapai dalam Konperensi akhir tahun perdagangan (PTA), Tingkat 1987. Tinggi Kesepakatan berdasar perluasan ke III tersebut Perjanjian kerja sama yang diselenggarakan meliputi Perdagangan industri melalui pada peningkatan Preferensial proyek ASEAN (AIP), proyek patungan (AIJV) dan proyek komplementasi industri (AIC), serta peningkatan kerja sama di bidang komoditi, pangan dan pertanian, energi, perhubungan dan komunikasi, keuangan dan perbankan dan pariwisata. Dalam tahun 1988/89 berbagai indikasi memberikan harapan bahwa kegiatan perekonomian dunia mulai bangkit kembali. Akan tetapi adanya ketidakpastian untuk jangka waktu lebih panjang menghendaki agar setiap perkembangan dan gejolak ekonomi internasional terus diikuti secara seksama agar dapat diketahui sedini mungkin hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan menghambat pelaksanaan pembangunan. untuk segera dapat diambil langkah-langkah pengamanannya. Selanjutnya perkembangan dunia yang mengandung peluang yang dapat menunjang 269 serta mempercepat pelaksanaan pembangunan, perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan nasional. I I . KEADAAN DAN PERMASALAHAN SELAMA REPELITA IV Perkembangan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri selama Repelita IV sangat dipengaruhi perkembangan yang kurang menguntungkan dari perekonomian dunia yang ditandai oleh kelesuan perekonomian dan perdagangan dunia, kemerosotan dalam pasaran minyak bumi dan komoditi ekspor lainnya dan oleh gejolak di pasar valuta internasional. Pasaran minyak bumi internasional sejak tahun 1980 diwarnai oleh berbagai keguncangan yang diakibatkan oleh adanya kelesuan dalam kegiatan ekonomi negara-negara industri, adanya kelebihan penawaran minyak di pasaran dan oleh terjadinya perubahan dalam pola konsumsi energi. Dengan keputusan untuk mengurangi batas maksimum produksi OPEC dari 17,5 menjadi 16,0 juta barrel per hari, maka kuota Indonesia pun dalam bulan Oktober 1984 diturunkan dari 1,3 juta barrel menjadi 1,189 juta barrel per hari. Selanjutnya harga patokan minyak bumi mentah jenis ALCO diturunkan dari US $ 34,0 menjadi US $ 29,0 per barrel dalam bulan Maret 1983. Harga patokan ekspor minyak bumi mentah Indonesia ikut merosot dari US $ 34,53 menjadi US $ 29,53 per barrel. Dalam bulan Pebruari 1985 harga ekspor minyak bumi tersebut jatuh menjadi US $ 28,53 per barrel untuk kemudian terus merosot menjadi US $ 14,45 dalam bulan Maret 1986 dan US $ 9,83 per barrel dalam bulan Agustus 1986. Setelah keputusan OPEC untuk kembali ke sistem harga yang terikat, mulai Pebruari 1987 ditetapkan harga minyak patokan Indonesia (SLC) sebesar US $ 17,56 per barrel. Dengan 270 TABEL 5 - 1 RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN 1984/85 - 1988/89 (dalam juta US dollar) 1) 1988/89 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 19.816 5.367 14.449 19.901 5.907 13.994 18.612 6.175 12.437 13.697 6.731 6.966 18.343 9.502 8.841 18.703 11.225 7.478 -16.304 -12.815 -3.489 -14.427 -11.630 -2.797 -12.552 -10.078 -2.474 -11.451 -9.356 -2.095 -12.952 -10.597 -2.355 -13.799 -7.663 -4.074 -3.589 -7.442 -4.061 -3.381 -7.892 -4.052 -3.840 -6.297 -4.010 -2.287 -7.098 -4.372 -2.726 -6.845 -4.652 -2.193 -4.151 -11.522 7.371 -1.968 -9.784 7.816 -1.832 -7.955 6.123 -4.051 -6.635 2.584 -1.707 -1.941 -5.467 3.760 -5.082 3.141 B. PINJAMAN PEMERINTAH 5.793 3.519 3.432 5.472 4.575 5.091 1. Bantuan Program 2. Bantuan Proyek dan Pinjaman Lain C. PELUNASAN PINJAMAN PEMERINTAH 2) 84 5.709 52 3.467 38 3.394 48 5.424 858 3.717 2.225 2.866 -1.010 -1.292 -1.644 -2.129 -3.049 -3.909 1.191 193 998 499 245 254 572 299 273 1.232 252 980 1.709 544 1.165 1.056 -2.070 -667 -30 738 -1.585 176 247 -91 -498 -1.262 57 -473 A. BARANG DAN JASA 1. Ekspor (f.o.b.) bukan minyak dan gas bumi minyak dan gas bumi 2. Impor (f.o.b.) bukan minyak dan gas bumi minyak dan gas bumi 3. Jasa-jasa bukan minyak dan gas bumi minyak dan gas bumi 4. Transaksi Berjalan bukan minyak dan gas bumi minyak dan gas bumi D. PEMASUKAN MODAL LAIN 1. Investasi Langsung (netto) 2. Modal Lainnya It. S.D.R -11.655 -2.144 641 415 F. LALU LINTAS MONETER G. SELISIH YANG TIDAK DIPERHITUNGKAN 1) Perkiraan 2) Pokok Pinjaman 271 demikian harga rata-rata ekspor minyak bumi selama masa 1984/ 85 - 1986/87 menurun sebesar 24,6% per tahun dari US $ 29,15 per barrel dalam tahun 1983/84 menjadi US $ 12,50 per barrel dalam tahun 1986/87 untuk kemudian kembali naik mencapai US $ 17,56 per barrel dalam tahun 1987/88. Harga efektif ekspor minyak bumi Indonesia sejak permulaan tahun 1988 mulai merosot lagi. Hal ini karena pangsa pasar yang dikuasai oleh OPEC relatif yang dikuasai negara-negara lebih oleh kecil dibandingkan negara-negara konsumen besar non seperti dengan OPEC. pangsa Di Amerika minyak samping Serikat itu telah berhasil menimbun, cadangan minyak dalam jumlah yang besar. Dalam bulan membatasi Nopember produksi 1988 semua OPEC mencapai kesepakatan negara anggota sehingga untuk mulai 1 Januari 1989 berlaku kuota sebesar 18,5 juta barrel per hari. Usaha. tersebut berkaitan dengan kesepakatan mengenai penetapan harga referensi sebesar US $ 18,0 per barrel. Berhasilnya usaha pemulihan akan ditentukan stabilitas oleh sikap pasar dan minyak rasa bumi tanggung internasional jawab semua produsen, baik di dalam maupun di luar OPEC. Berdasar kesepakatan tersebut, maka kuota Indonesia mulai 1 Januari 1989 naik menjadi 1,240 juta barrel per hari. 1. Perkembangan di Bidang Ekspor Dampak perkembangan faktor-faktor ekstern yang tidak menguntungkan tersebut semakin terasa karena masih adanya kelemahan struktural dalam neraca perdagangan Indonesia. Pada tahun 1983/84 72,9% dari seluruh nilai ekspor bersumber pada minyak dan gas bumi, sedang dari nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi 66,5% berasal dari komoditi primer, hasil pertanian dan hasil tambang. Selama tiga tahun pertama Repelita IV nilai ekspor seluruhnya telah merosot dengan rata-rata 11,6% 272 setiap tahunnya. Nilai ekspor minyak dan gas bumi mengalami kemunduran sebesar 21,6% per tahun, sedangkan nilai ekspor hasil-hasil pertanian hanya nail( sebesar rata-rata 0,7% per tahun dan hasil-hasil tambang bahkan menurun dengan 3,2% per tahun. Perkembangan neraca perdagangan sedikit tertolong oleh perkembangan ekspor hasil-hasil industri. Dalam kurun waktu yang sama nilai ekspor hasil-hasil industri menunjukkan kenaikan sebesar rata-rata sekitar 20% per tahun dengan kenaikan ekspor kayu lapis dan produk-produk tekstil sebagai penyumbang utamanya (Tabel 5-2). Guna menghadapi kemerosotan dalam nilai dan peranan ekspor minyak dan gas bumi, dan dalam rangka meningkatkan peranan ekspor di luar minyak dan gas bumi sebagai tumpuan sumber penghasil devisa serta sebagai penggerak laju pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja, selama masa Repelita IV telah ditempuh serangkaian langkah-langkah penyesuaian dan kebijaksanaan yang bersifat mendasar. Kebijaksanaan yang tertuang dalam Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1985 menyangkut langkah-langkah di bidang tata laksana ekspor dan impor, pelayaran antar pulau, biaya angkutan laut, pengurusan barang dan dokumen, keagenan umum perusahaan pelayaran dan tata laksana operasional pelabuhan dan ditujukan pada peningkatan efisiensi dalam produksi maupun lalu lintas barang, khususnya barang-barang ekspor dan impor di luar minyak dan gas bumi. Dengan adanya Inpres tersebut pada prinsipnya tidak lagi dilakukan pemeriksaan pabean terhadap barang-barang ekspor dan barang-barang impor kecuali yang nilainya kurang dari US $ 5.000 dan beberapa golongan impor tertentu. Pemasukan barang impor yang tidak terkena pemeriksaan pabean ke wilayah pabean Indonesia harus dilengkapi 273 TABEL 5 - 2 NILAI EKSPOR, 1984/85 - 1988/89 (dalam juta US dollar) A. MINYAK DAN GAS B1MI (BRUTO) 1. Minyak mentah dan hasilhasil minyak bumi 2. Gas alam cair (LNG) 3. Gas minyak bums cair (LPG) B. DI L1)AR MINYAK DAN GAS B1MI 1. Kayu bulat 2. Karat 3. Kopi 4. Teh 5. Coklat 6. Tembakau 7. Minyak sawit dan biji kelapa sawit 8. Bungkil kopra 9. Lade 10. Rempah-rempah lain 11. Tapioka dan bahan makanan lain 12. Wang dan hasil hewan lainnya 13. Rotan 14. Kulit 15. Lain-lain hasil pertanian 16. Timah 17. Tembaga 18. Aluminium 19. Nikel pekatan dan biji nikel 20. Emas 21. Granit, bauksit 9 lain-lain hasil tambang 22. Kayu lapis 23. Kayu gergajian dan olahan 24. Hasil-hasil besi dan baja 25. Bahan kimia 26. Kertas 27. Tekstil: benang tenun dan produk lain 28. Pakaian jadi 29. Pupuk Urea 30. Lain-lain hasil industri C. JUMLAH NILAI EKSPOR 1) Perkiraan 274 1) Laju Pertumbuhan Rata-rata (4) 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 14.449 13.994 12.437 6.966 8.841 7.478 -12,3 12.050 2.399 10.625 3.369 8.816 3.621 4.798 2.168 6.159 2.628 54 5.012 2.403 63 -16,1 0,0 5.367 5.907 6.175 6.731 9.502 11.225 15,9 250 135 2 3 3 984 856 714 752 1.041 1.161 3,4 506 156 43 50 568 211 60 44 659 134 65 55 752 106 58 78 491 115 70 56 541 131 88 62 1,4 -3,5 15,5 4,5 96 34 58 47 135 276 87 26 21 309 88 165 162 100 19 66 44 129 219 96 40 44 252 132 208 121 - 174 35 82 53 164 272 80 37 40 248 133 223 140 - 114 34 152 79 141 380 99 45 38 156 144 201 112 61 213 40 155 91 192 461 160 59 99 143 186 245 146 286 268 47 177 109 203 537 231 158 122 174 214 266 170 293 22,7 7,0 25,1 18,5 8,6 14,2 21,7 43,8 42,4 -10,9 19,5 10,0 1,0 76 579 332 4 22 9 62 697 336 14 53 22 63 845 367 49 60 21 51 1.156 433 81 49 42 51 1.832 623 211 69 115 56 2.104 697 319 94 137 -5,9 29,4 16,0 140,1 34,2 72,8 151 191 50 460 209 315 31 824 302 428 109 621 269 469 97 579 535 648 100 1.066 666 817 161 1.222 34,5 33,8 26,3 21,6 19.816 19.901 18.612 13.697 18.343 18.703 -1,1 dengan Laporan Kebenaran Pemeriksaan (LKP) yang dikeluarkan oleh Societe Generale de Surveillance (SGS). Melalui Paket Kebijaksanaan 6 Mei 1986 ditempuh langkahlangkah penunjang ekspor berupa fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk atas barang dan bahan baku impor yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor. Kemudahan tersebut diberikan kepada produsen eksportir, produsen bukan eksportir, pengusaha yang melaksanakan proyek yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri Pemerintah dan pengusaha dalam rangka PMA dan PMDN. Menurunnya harga minyak bumi ekspor dengan 52,5% dalam tahun 1986/87 dibandingkan dengan tahun sebelumnya mendorong dilakukannya devaluasi Rupiah sebesar 31,0% dalam bulan September 1986. Tindakan tersebut ditujukan untuk mempertahankan cadangan devisa dan memperkuat neraca pembayaran melalui peningkatan daya saing barang-barang produksi dalam negeri baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran luar negeri. Paket Kebijaksanaan 25 Oktober 1986 yang disusul dengan Paket Kebijaksanaan 15 Januari 1987 merupakan langkah lanjut ke arah deregulasi dan debirokratisasi perekonomian dan merupakan kebijaksanaan yang bersifat struktural. Berdasarkan kebijaksanaan tersebut dimulai pergeseran dari cara pemberian perlindungan untuk barang-barang produksi dalam negeri melalui pengaturan tata niaga impor atau pembatasan kuantitatif ke penggunaan bea masuk. Melalui kedua kebijaksanaan deregulasi terhadap 268 jenis barang atas dasar klasifikasi CCCN diberlakukan pembebasan dari restriksi tata niaga atau pembatasan kuantitatif. Selanjutnya, berdasar kedua kebijaksanaan tersebut terhadap 221 jenis barang diadakan pelonggaran dari pengaturan tata niaga impor, 208 jenis barang dikenakan pembebasan atau keringanan bea masuk sehingga rentang tingkat 275 bea masuk berkisar antara 0% - 40%, sedang 186 jenis barang dikenakan bea masuk atau bea masuk tambahan. Paket kebijaksanaan selanjutnya yang diumumkan pada tanggal 24 Desember 1987 bersifat lebih menyeluruh dan meliputi bidang perdagangan luar negeri, industri, perhubungan, penanaman modal serta pariwisata dan menyangkut struktur bea masuk, tata niaga, perizinan, permodalan, perpajakan dan perkreditan. Pembebasan dari pengaturan tata niaga dikenakan terhadap 106 jenis barang, terdiri dari 28 jenis bahan makanan, minuman dan buah-buahan, 7 jenis produk industri listrik dan elektronika, 10 jenis alat-alat besar dan suku cadang, 4 jenis produk kimia, 1 jenis produk mesin-mesin perlengkapan dan suku cadang, serta 56 jenis produk industri logam. Di samping itu untuk 48 jenis produk industri alat-alat besar dan 22 jenis produk industri kendaraan bermotor diterapkan pelonggaran dari ketentuan tata niaga impor. Selanjutnya juga diadakan penciutan pola keagenan tunggal, khususnya di bidang industri alat-alat elektronika dan alat-alat listrik untuk rumah tangga, kendaraan bermotor dan alat-alat besar. Pada bulan Nopember 1988 dikeluarkan lagi kebijaksanaan deregulasi baru di bidang perdagangan, perindustrian, pertanian dan perhubungan laut. Melalui kebijaksanaan tersebut telah ditiadakan tata niaga impor bagi 301 jenis barang, terdiri dari 50 jenis produk industri makanan dan minuman, 46 jenis produk pertanian, 80 jenis produk kimia, farmasi dan kosmetika, termasuk 33 jenis plastik, 15 jenis produk industri logam, dan 110 jenis produk industri tekstil. Untuk barangbarang yang dilakukan tambahan. 276 tadinya melalui dikenakan penetapan larangan bea masuk impor, dan perlindungan atau bea masuk Berkat kebijaksanaan devaluasi dan rangkaian langkah- langkah deregulasi, nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi meningkat dengan 41,2% dalam tahun 1987/88 dan diperkirakan naik sebesar 18,1% dalam tahun 1988/89. Selama masa Repelita IV telah diperluas kebijaksanaan peningkatan nilai tambah produk-produk ekspor guna meningkatkan penghasilan devisa dan kesempatan kerja. Dalam tahun 1986/87 ditetapkan larangan ekspor rotan dalam bentuk mentah, sedang pelaksanaan larangan ekspor rotan dalam bentuk setengah jadi dipercepat dari bulan Januari 1989 menjadi 1 Juli 1988. Larangan ekspor kayu gergajian jenis ramin, meranti putih dan agathis yang tidak berbentuk papan lebar yang diterapkan pada tahun 1986 disusul dengan larangan ekspor kayu bahan chips dan kayu gergajian bernilai rendah mulai bulan September 1988. Di bidang tata niaga ekspor kayu gergajian dan kayu olahan ditetapkan bahwa ekspor 'semua jenis kayu dan hasil ikutannya wajib diperiksa oleh surveyor sebelum pengapalan, sedang ekspor hanya dapat dilaksanakan oleh Eksportir Terdaftar, yaitu perusahaan yang memproduksi atau mengekspor kayu gergajian dan olahan yang bahan bakunya berasal dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan mendapat pengakuan dari instansi yang berwenang. Larangan ekspor juga dilakukan untuk jangat dan kulit dalam bentuk mentah. Dalam di pasaran rangka peningkatan internasional daya telah saing hasil-hasil dilanjutkan ekspor usaha-usaha pe- nyempurnaan mutu melalui penerapan dan pengawasan mutu yang dilakukan oleh jaringan laboratorium baik di pusat maupun di daerah-daerah. Begitu pula diteruskan kegiatan promosi guna menerobos dan memperluas pasar khususnya untuk produk-produk ekspor baru ke pasar non tradisional, antara lain Timur Tengah dan Eropa Timur. 277 2. Perkembangan Impor dan Jasa-jasa Selama periode 1984/85 - 1986/87 nilai impor (f.o.b.) mengalami penurunan sebesar rata-rata 11,1% per tahun. Dalam periode tersebut nilai impor sektor minyak dan gas bumi menurun dengan rata-rata sebesar 15,6% per tahun, sedangkan nilai impor di luar sektor minyak dan gas bumi merosot dengan rata-rata sebesar 10,0% per tahun. Perkembangan ini disebabkan terutama oleh adanya kelesuan dalam kegiatan ekonomi. Diberlakukannya pembatasan impor melalui tarif dan pengaturan tata niaga, termasuk penetapan importir tunggal atau kuota untuk beberapa jenis komoditi, juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan tersebut. Peningkatan penggunaan cara pengaturan tata niaga impor guna melindungi industri di dalam negeri telah menimbulkan masalah distorsi pasaran dan ketidakefisienan dalam penggunaan sumber-sumber produksi serta turut mendorong gejala ekonomi biaya tinggi. Perluasan pengaturan tata niaga impor telah juga menyebabkan berkurangnya peranan tarif sebagai cara kebijaksanaan proteksi, sedangkan tingkat proteksi efektif semakin ditentukan oleh hambatan non tarif dan makin sulit untuk dipantau dan dievaluasi. Di bidang impor langkah pertama ke arah deregulasi ditempuh dalam bulan Maret 1985 berupa rasionalisasi struktur bea masuk. Berdasar Surat Keputusan Menteri Keuangan telah dilakukan penyesuaian bea masuk secara menyeluruh guna menurunkan tingkat proteksi dan mengurangi penyelundupan. Tingkat tarif maksimum diturunkan dari 225% menjadi 60%, sedang jumlah golongan tarif diturunkan dari 26 menjadi 16. Paket Kebijaksanaan 25 Oktober 1986, 15 Januari 1987, 24 Desember 1987 dan 21 Nopember 1988 menyebabkan adanya perubahan pada daftar tarif yang berlaku dengan adanya jenis-jenis barang yang dikenakan 278 pembebasan, keringanan atau kenaikan bea masuk dan jenis barang yang dikenakan bea masuk tambahan. Kenaikan bea masuk dan pengenaan bea masuk tambahan tersebut sebagai kompensasi penghapusan hambatan dimaksudkan non tarif untuk ba- rang-barang yang masih memerlukan perlindungan. Meskipun devaluasi bulan September 1986 telah menyebabkan kenaikan dalam harga satuan impor dinyatakan dalam rupiah, peningkatan ekspor non migas yang tajam setelah itu menaikkan pula impor bahan baku, bahan penolong dan barang modal bagi produksi ekspor tersebut. Perkembangan ekspor tersebut, bersama-sama dengan serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang diambil selama periode 1986 - 1988 telah mendorong meningkatnya impor di luar sektor minyak dan gas bumi dengan rata-rata 11,6% per tahun selama periode 1987/88 - 1988/89. Dalam periode yang sama nilai impor barang-barang modal dan bahan baku dan penolong masing-masing mengalami kenaikan sebesar rata-rata 16,1% dan 12,2% per tahun sedangkan impor barang-barang konsumsi mengalami kenaikan rata-rata sebesar 3,0% per tahun (label 5-3 dan label 5-4). Kebijaksanaan di bidang jasa-jasa ditujukan untuk me- ningkatkan penerimaan devisa dan menghemat serta mengarahkan penggunaan devisa untuk keperluan yang produktif. Pengembangan sektor pariwisata sebagai salah satu sumber penghasilan devisa utama dilakukan melalui peningkatan pelayanan termasuk peraturan visa, promosi, perluasan jaringan penerbangan internasional dan pembangunan industri wisata. Melalui Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 telah dilakukan pula penyederhanaan proses perizinan sehingga izin untuk membangun sarana wisata dibatasi hingga dua jenis, yaitu izin sementara dan izin tetap. Sehubungan dengan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, kebijaksanaan yang ditempuh masih terbatas pada pemberian perlindungan dan peningkatan keterampilan tenaga 279 280 GRAFIK 5 - 1 NILAI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI MENURUT GOLONGAN EKONOMI 1984/85 - 1988/89 281 TABEL 5 - 4 KOMPOSISI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI 1984/85 - 1988/89 (dalam persentase dari jumlah) 1988/891) 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 Barang Konsumsi 19,6 19,0 18,2 22,3 20,4 19,0 Bahan Baku/Penolong 46,3 47,6 46,9 43,5 43,8 44,0 Barang Modal 34,1 33,4 34,9 34,2 35,8 37,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Jumlah 1) Perkiraan 282 GRAFIK 5 – 2 KOMPOSISI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI 1984/1985 - 1988/89 283 kerja. Langkah-langkah untuk menghemat penggunaan devisa antara lain berupa mendorong penggunaan jasa perusahaan penerbangan dalam negeri dan menaikkan biaya Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri dari Rp 150.000 menjadi Rp 250.000 bagi setiap orang yang bepergian ke luar negeri(Tabel 5-5). 3. Penanaman Modal dan Pinjaman Luar Negeri Selama periode 1984/85 - 1986/87 penanaman modal asing hanya menunjukkan kenaikan sebesar rata-rata 4,6% per tahun. Perkembangan ini disebabkan karena kelesuan perekonomian dunia dan karena iklim investasi di dalam negeri. Dalam rangka menggiatkan kembali penanaman modal oleh sektor swasta, baik melalui modal dalam negeri maupun modal asing, sejak pertengahan tahun 1986 telah diambil serangkaian kebijaksanaan penyederhanaan prosedur perizinan, penyempurnaan Daftar Skala Prioritas, perlakuan yang lebih seimbang terhadap perusahaan PMA dengan perusahaan PMDN, pemilikan saham peserta nasional dalam perusahaan PMA, jumlah investasi minimum bagi perusahaan PMA, dan jangka waktu izin PMA. Dalam hal pemilikan saham Perusahaan PMA bare dan yang melakukan perluasan, sejak diberlakukannya Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 jangka waktu pengalihan mayoritas pemilikan saham asing menjadi 15 tahun. Selain itu, perusahaan PMA yang berlokasi di kawasan berikat dan yang mengekspor seluruh produksinya dapat didirikan dengan penyertaan modal nasional minimal 5% dari nilai saham tanpa keharusan peningkatan saham nasional untuk masa selanjutnya. Perusahaan PMA yang nilai investasinya minimal US $ 10 juta, atau berlokasi di daerah tertentu, atau minimal 65% dari produksinya diekspor, dapat didirikan dengan penyertaan nasional sebesar 5% dari nilai saham untuk selanjutnya menjadi minimal 20% dalam waktu 10 284 TABEL 5 - 5 JASA-JASA DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI, 1984/85 - 1988/89 (dalam Juta US dollar) 283 tahun dan 51% dalam jangka waktu 15 tahun. Selanjutnya perusahaan PMA diberikan perlakuan sama seperti perusahaan PMDN dalam hal kesempatan memperoleh kredit modal kerja dari bank umum Pemerintah apabila minimal 51% sahamnya dimiliki oleh peserta nasional. Perlakuan sama tersebut juga diberikan dalam hal saham yang dimiliki oleh peserta nasional hanya 45% tetapi dengan syarat 20% melalui pasar modal. Untuk pengolahan, perusahaan PMA dari jumlah mendorong di seluruh ekspor samping saham dijual hasil industri mengekspor produksi sendiri juga dapat mengekspor hasil produksi perusahaan lain di dalam negeri. Dalam ketentuan baru ini juga dimungkinkan untuk mendirikan perusahaan PMA yang khusus melakukan perdagangan ekspor hasil industri pengolahan. Dalam suasana penerimaan negara yang ketat selama masa Repelita IV, pinjaman dari luar negeri masih tetap dimanfaatkan untuk pembiayaan pembangunan. Dana tersebut berfungsi sebagai pelengkap nuhi persyaratan pembiayaan bahwa pembangunan penggunaannya dan senantiasa sesuai dengan meme- rencana dan program pembangunan, terlepas dari ikatan politik, mencegah ketergantungan pada luar negeri, sedang pelunasannya tidak memberatkan neraca pembayaran di masa mendatang. Salah satu masalah yang perlu diatasi selama periode Repelita IV adalah meningkatnya beban hutang. Peningkatan pelunasan angsuran dan pembayaran atas hutang-hutang luar negeri Pemerintah terutama bersumber dari peningkatan yang tajam dari nilai mata uang Yen terhadap Dollar Amerika Serikat. Seperti diketahui sekitar sepertiga dari keseluruhan hutang Indonesia adalah dalam Yen. Di lain pihak, masa tersebut juga mencatat terjadinya penurunan penerimaan ekspor, khususnya ekspor minyak dan gas bumi, sebagai akibat dari kemerosotan harga minyak bumi di pasar dunia. Nilai ekspor minyak dan gas 286 bumi dalam masa Repelita IV rata-rata menurun dengan 12,3% per tahun. Untuk meningkatkan pengendalian atas pinjaman luar negeri, sejak tahun 1984 telah ditempuh berbagai langkah. Langkah-langkah tersebut antara lain berupa penyesuaian jumlah pinjaman dengan kebutuhan yang mendesak, penjadwalan kembali pelaksanaan proyek-proyek besar, pembatasan penggunaan kredit ekspor dan mengutamakan pinjaman bersyarat lunak serta percepatan pelaksanaan penggunaan dana luar negeri untuk proyekproyek pembangunan. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan pemanfaatan bantuan luar negeri, sejak tahun 1987/88 Indonesia telah berhasil untuk kembali memperoleh pinjaman dalam bentuk bantuan program dan bantuan pembiayaan lokal yang kesemuanya bersifat lunak dan dapat dirupiahkan serta segera dapat ditarik pembangunan dan yang digunakan untuk diprioritaskan. pembiayaan Bantuan proyek-proyek program tersebut digunakan untuk melengkapi kebutuhan rupiah anggaran pembangunan, untuk untuk menunjang menunjang pengembangan kebijaksanaan sektor penyesuaian tertentu struktural dan dalam rangka peningkatan ekspor di luar minyak dan gas bumi. 4. Perkembangan Neraca Pembayaran Secara umum perkembangan neraca pembayaran selama masa Repelita IV menunjukkan dua perkembangan yang berbeda, yaitu perkembangan yang memprihatinkan untuk tiga tahun pertama dan kemajuan yang pesat selama dua tahun terakhir. Selama Repelita IV, nilai ekspor seluruhnya mengalami penurunan sebesar rata-rata 1,1% per tahun, terutama disebabkan oleh merosotnya penerimaan ekspor migas. Selama periode tersebut ekspor minyak bumi merosot sebesar 16,1% per tahun 287 dan gas alam cair meningkat dengan 0,6% per tahun. Di lain pihak ekspor di luar minyak dan gas bumi mengalami peningkatan yang sangat pesat yaitu sebesar rata-rata 15,9% per tahun, dan bahkan selama dua tahun terakhir, yaitu periode 1987/88 1988/89, meningkat dengan 29,1% per tahun. Sementara itu peranan ekspor non migas dalam nilai seluruh ekspor meningkat dari 27,1% dalam tahun 1983/84 menjadi 60,0% pada tahun 1988/ 89 (Tabel 5-1). Nilai impor secara keseluruhan rata-rata menurun dengan 3,3% per tahun. Penurunan tersebut bersumber dari penurunan sebesar masing-masing 9,7% per tahun untuk sektor minyak bumi, 3,9% per tahun untuk sektor gas bumi cair serta 1,9% per tahun untuk sektor di luar minyak dan gas bumi. Akan tetapi selama dua tahun terakhir Repelita IV, sejalan dengan kenaikan ekspor non migas, nilai impor mengalami kenaikan sebesar ratarata 9,8% per tahun. Selama masa ini impor sektor minyak dan gas bumi meningkat dengan rata-rata 1,2% per tahun dan impor di luar sektor minyak dan gas bumi dengan 11,6% per tahun. Secara netto pengeluaran devisa untuk jasa-jasa rata-rata menurun dengan rata-rata 2,2% per tahun. Perincian lebih lanjut dari perkembangan ini adalah sebagai berikut: jasa-jasa sektor minyak dan gas bumi menurun sebesar 9,4% per tahun, jasa-jasa sektor di luar minyak dan gas bumi naik sebesar rata-rata 2,7% per tahun, penerimaan devisa dari sektor pariwisata meningkat dengan sangat pesat sebesar rata-rata 26,9% setiap tahunnya dan 40,9% selama periode 1987/88 - 1988/89, pembayaran bunga dan transfer keuntungan PMA/bank-bank asing meningkat dengan 14,5% per tahun. Penerimaan dari pariwisata mencapai US $ 1.371 juta pada akhir Repelita IV dibandingkan dengan US $ 417 juta pada akhir Repelita III. 288 Terutama 11,5% dan karena 13,0% menurunnya dalam tahun impor 1984/85 dengan dan berturut-turut 1985/86, defisit transaksi berjalan dapat ditekan dari US $ 4.151 juta pada tahun 1983/84 menjadi US $ 1.968 juta dalam tahun 1984/85 dan US $ 1.832 juta dalam tahun 1985/86. Namun dalam tahun berikutnya, yaitu tahun 1986/87, kemerosotan tajam dari harga ekspor minyak bumi telah menurunkan nilai ekspor minyak dan gas bumi sebesar 44,0% dan selanjutnya menyebabkan lonjakan dalam defisit transaksi berjalan menjadi US $ 4.051 juta. Dalam perkembangan selanjutnya situasi transaksi berjalan terus membaik berkat peningkatan yang mengesankan dari ekspor di luar minyak dan gas bumi sebagai hasil dari kebijaksanaan devaluasi dan deregulasi di bidang perdagangan luar negeri. Defisit transaksi berjalan menurun menjadi US $ 1.707 juta pada tahun 1987/88 dan US $ 1.941 juta pada tahun 1988/89. Dalam pada itu, pemasukan modal pemerintah atau pemanfaatan bantuan luar negeri oleh pemerintah menurun dari US $ 5.793 juta pada akhir Repelita III menjadi US $ 3.432 juta dalam tahun 1985/86. Dalam tahun 1986/87 pemasukan modal ini meningkat dengan 59,4% dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan mencapai US $ 5.472 juta, sedangkan dalam tahun terakhir Repelita IV diperkirakan mencapai US $ 5.091 juta. Pemasukan modal lain selama periode Repelita IV meng- alami penurunan sebesar rata-rata 2,4%. Penurunan itu disebabkan oleh kenaikan dalam investasi langsung netto, yaitu penanaman modal asing bruto dikurangi dengan pelunasan pokok pinjaman, sebesar rata-rata 27,1% dan penurunan dalam modal lainnya modal sebesar asing rata-rata bruto 16,1% menunjukkan setiap kenaikan tahunnya. Penanaman sebesar rata-rata 15,7% per tahun selama 5 tahun Repelita IV dan 34,5% per tahun selama periode 1987/88 - 1988/89. 289 III. ARAH KEBIJAKSANAAN NERACA PEMBAYARAN REPELITA V Sebagai bagian dari kebijaksanaan pembangunan keseluruhan, kebijaksanaan neraca pembayaran dalam Repelita V tetap berlandaskan Trilogi Pembangunan dengan tekanan pada pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Kebijaksanaan neraca pembayaran juga diarahkan guna menunjang perwujudan struktur ekonomi dan perdagangan luar negeri yang seimbang antara sektor industri dan sektor pertanian baik dari segi penciptaan nilai tambah maupun kesempatan stabilitas ngunan 'kerja. ekonomi dan kebijaksanaan Selain itu, untuk neraca dalam mempercepat pembayaran rangka pemantapan pelaksanaan harus pemba- senantiasa me- mantau dengan penuh perhitungan perkembangan dan gejolak ekonomi dunia agar pada waktunya dapat diambil langkah-langkah penyesuaian yang yang tepat, ditimbulkannya baik maupun dalam dalam arti mengatasi memanfaatkan masalah peluang yang terbuka. Kebijaksanaan perdagangan luar negeri dalam Repelita V ditujukan untuk menunjang tercapainya sasaran laju pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 5,0% per tahun, khususnya laju pertumbuhan sektor di luar minyak dan gas bumi sebesar paling tidak rata-rata 6,0% per tahun. Di samping itu kebijaksanaan juga diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, dan mening'katkan penerimaan serta menghemat penggunaan devisa. Sementara itu guna meningkatkan daya saing hasil produksi dalam negeri di pasaran internasional serta meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumber dan daya produksi baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, kebijaksanaan deregulasi 290 dan debirokratisasi akan dilanjutkan dan disempurnakan. 1. Kebijaksanaan di Bidang Ekspor Upaya peningkatan penghasilan devisa dari ekspor barang dan jasa, termasuk pariwisata, merupakan unsur pokok kebijaksanaan pembangunan dalam Repelita V. Selain berperan sebagai penggerak pertumbuhan produksi, ekspor merupakan sumber devisa utama bagi pembiayaan impor bahan baku, bahan penolong dan barang-barang modal yang dibutuhkan untuk proses produksi dan investasi. Begitu pula peningkatan penerimaan devisa diperlukan untuk memperkuat kemampuan pembayaran angsuran dan bunga atas hutang-hutang luar negeri. Di bidang minyak dan gas bumi akan dilakukan usaha-usaha ke arah perluasan jenis dan diversifikasi pasaran hasil-hasil minyak bumi, gas alam cair dan gas minyak bumi cair di luar negeri. Namun karena perkembangan harga yang tidak pasti di pasaran minyak bumi internasional, prospek ekspor nampak tidak terlalu cerah di masa mendatang, sehingga peranannya dalam keseluruhan nilai ekspor diperkirakan menurun dari 40,0% dalam tahun 1988/89 menjadi 27,2% pada tahun terakhir Repelita V. Oleh karena itu, tercapainya sasaran pokok pembangunan akan sangat ditentukan oleh keberhasilan upaya pengembangan ekspor di luar minyak dan gas bumi. Peranan strategis dari ekspor di luar minyak dan gas bumi mengharuskan digunakannya sumber dan daya secara optimal dalam kerangka prioritas yang jelas. Kebijaksanaan ekspor di luar minyak dan gas bumi meliputi antara lain usaha-usaha diversifikasi, peningkatan nilai tambah, peningkatan daya saing serta perluasan pasaran di luar negeri. Penganekaragaman jenis komoditi dan peningkatan tahap pengolahan dan nilai tambah diharapkan akan dapat memperkokoh landasan ekspor Indonesia dan mengubah struktur ekspornya sehingga peranan hasil- 291 hasil industri akan bertambah besar sedangkan peranan ekspor hasil-hasil pertanian dan pertambangan secara relatif menu- run. Dalam Repelita V nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi diperkirakan untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 15,6% per tahun, sedangkan peranannya dalam seluruh nilai ekspor yang diperkirakan akan naik dari 60,0% pada tahun 1988/89 menjadi 72,8% pada tahun 1993/94. Langkah-langkah penganekaragaman dan perluasan ekspor antara lain berupa kegiatan promosi, pengiriman misi penjualan, penyebarluasan dalam pameran informasi dagang di luar perdagangan negeri. dan keikutsertaan Kebijaksanaan pening- katan nilai tambah komoditi ekspor dilaksanakan searah dengan mengurangi tata niaga impor dalam bentuk pembatasan kuantitatif serta sejauh mungkin menghindari pengenaan larangan atas ekspor. Kebijaksanaan peningkatan nilai tambah akan mengutamakan pemberian dorongan pada ekspor barang-barang jadi melalui pengenaan pajak atas ekspor untuk bahan mentah dan setengah jadi, perbaikan iklim usaha serta insentif fiskal dan moneter lain untuk ekspor barang jadi. Selanjutnya usaha-usaha untuk mendorong peningkatan nilai tambah komoditi ekspor tersebut akan dilakukan secara selektif dengan tetap mempertimbangkan biaya dan manfaat bagi semua kelompok masyarakat yang berkepentingan serta prioritas pembangunan sebagai ukuran untuk menentukan jenis barang yang diberikan prioritas. Peningkatan daya saing barang-barang ekspor dilakukan melalui peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran, pengembangan mutu serta dukungan sarana dan prasarana perdagangan, jasa angkutan, dan jasa perbankan. Daya saing produk-produk industri di pasaran luar negeri diperkuat dengan kebijaksanaan di berbagai bidang, antara lain berupa pengembalian atau pembebasan bea masuk untuk bahan baku dan bahan penolong yang 292 digunakan dalam proses produksi dan yang masih perlu diimpor, pengurangan pengaturan tata niaga impor bahan-bahan tersebut, penyempurnaan jumlah dan syarat kredit ekspor untuk barang jadi serta pemeliharaan kurs valuta asing yang realistis dan mendorong ekspor. Untuk mendorong produksi dan ekspor barangbarang industri, meningkatkan lapangan kerja dan menarik penanam modal juga akan dilanjutkan pengembangan kawasan pengolahan ekspor. Kerja sama perdagangan internasional merupakan jalur lain untuk mendorong perkembangan ekspor. Untuk memperkuat kedudukan Indonesia sebagai negara produsen 'clan eksportir komoditi primer, akan terus ditingkatkan partisipasi aktif dalam forum OPEC untuk minyak bumi dan dalam kerangka asosiasi produsen, seperti ANRPC untuk karet alam, ATPC untuk timah dan gabungan produsen lainnya seperti Masyarakat Kelapa dan Masyarakat Lada. Demikian pula akan terus dikembangkan peranan dalam Perjanjian timah (ITA), Komoditi kopi (ICO), Internasional karet alam yang berlaku untuk (INRA), kayu tropis (ITTO) dan dalam bentuk kerja sama lainnya seperti yang terdapat untuk teh, 'coklat dan tembaga. Semua usaha tersebut bertujuan untuk mengusahakan stabilitas dalam pasaran internasional, dan tingkat pengolahan harga serta yang wajar, pengembangan penyempurnaan riset dan pemasaran teknologi bagi komoditi bersangkutan. Pada tingkat perdagangan global, kerja sama dalam kerangka Persetujuan tentang Bea Masuk dan Perdagangan (GATT) diarahkan guna melonggarkan dan memperluas perdagangan internasional. Dengan memperkokoh peranannya, Indo- nesia dapat meningkatkan daya masuk ke berbagai pasaran dunia untuk hasil-hasil pertanian dan industri yang ada dan yang potensial. Diversifikasi pasaran perlu diusahakan juga dalam 293 rangka kerja sama regional ASEAN melalui Perjanjian Perdagangan Preferensial berkembang (PTA) melalui dan kerja Sistem sama antar Preferensi sesama Perdagangan negara Global (GSTP). 2. Kebijaksanaan di Bidang Impor dan Jasa-jasa Dalam Repelita V kebijaksanaan di bidang impor ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang yang belum cukup diproduksi di dalam negeri, terutama bahan baku, bahan penolong dan barang modal serta kebutuhan akan teknologi yang diperlukan untuk pembangunan di berbagai sektor. Kebijaksanaan tersebut khususnya diarahkan untuk dapat mendorong perkembangan sektor industri yang diperkirakan akan mencapai laju pertumbuhan sebesar rata-rata 8,5% per tahun. Sementara itu usaha swasembada pangan akan dimantapkan dan impor barang-barang mewah, dalam rangka pelaksanaan pola hidup sederhana, tetap dikendalikan. Dalam rangka perubahan struktur produksi dan pertumbuhan ekonomi, kebijaksanaan dilanjutkan dan substitusi disempurnakan. impor di sektor Perlindungan untuk industri barang-ba- rang yang telah dapat dihasilkan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tetap diberikan pada tingkat yang wajar agar tidak terlalu membebani konsumen dalam negeri dan sektor-sektor lain yang berkaitan. Dalam hubungan ini bentuk perlindungan secara bertahap akan dialihkan dari bentuk larangan dan kuota impor ke bentuk perlindungan melalui bea dengan masuk. Kebijaksanaan kebijaksanaan tersebut peningkatan ekspor akan di ditempuh luar serasi minyak dan gas bumi, sehingga baik efisiensi dalam penggunaan sumber dan daya domestik maupun efisiensi dalam produksi dapat terus dikembangkan. 294 Peningkatan efisiensi produksi akan memperkuat daya saing hasil-hasil produksi dalam negeri terhadap barang sejenis di pasaran dalam negeri dan di pasaran luar negeri. Kebijaksanaan proteksi melalui pengenaan bea masuk mengurangi timbulnya distorsi pasaran dan sejalan dengan upaya untuk meningkatkan efisiensi. Penyempurnaan kebijaksanaan proteksi memerlukan perhatian khusus dan menyangkut antara lain usaha-usaha rasionalisasi struktur bea masuk serta mekanisme pemantauan dan evaluasi agar penentuan tingkat, bentuk dan jangka waktu perlindungan didasarkan atas pertimbangan biaya dan manfaat yang adil dan menunjang upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas nasional dalam jangka panjang. Langkah-langkah untuk meningkatkan penerimaan devisa dari jasa-jasa adalah searah dengan kebijaksanaan peningkatan ekspor di luar minyak dan gas bumi. Pemanfaatan potensi sektor pariwisata dilakukan melalui promosi, penyediaan fasilitas untuk menarik wisatawan luar negeri dan pelanjutan kebijaksariaan deregulasi di bidang industri pariwisata, termasuk pengembangan obyek wisata. Potensi penghasilan devisa lainnya bersumber dari transfer pendapatan tenaga kerja Indonesia dan jasa-jasa lain seperti kontrakting untuk pembangunan proyek di luar negeri. Di samping itu penghematan penggunaan devisa akan dapat dicapai dengan makin berkembangnya usaha penerbangan dan pelayaran nasional serta makin berkembangnya jasa-jasa perbankan dan asuransi domestik. 3. Kebijaksanaan di Bidang Penanaman Modal dan Pinjaman Luar Negeri Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan dan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta. 295 pemerataan pembangunan, termasuk perluasan kesempatan berusaha dan lapangan kerja maka penanaman modal, termasuk penanaman modal asing, selama Repelita V akan terus didorong. Penanaman modal asing diutamakan bagi sektor-sektor yang menghasilkan barang dan jasa yang sangat diperlukan, memperluas ekspor serta memerlukan modal investasi yang besar. Sementara itu tetap akan dijaga agar penanaman modal asing tidak membahayakan kepentingan ekonomi dan keamanan nasional. Karena itu penanaman modal asing dilaksanakan dalam bentuk usaha patungan disertai dengan syarat bahwa usaha tersebut dapat menciptakan lapangan kerja, memungkinkan pengalihan keterampilan dan teknologi dalam waktu yang secepatnya dan memelihara keseimbangan mutu dan tata lingkungan. Untuk menarik penanaman modal akan terus dikembangkan iklim investasi yang menggairahkan melalui peningkatan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang ditujukan pada penyederhanaan prosedur, kelancaran pelayanan, serta melalui penyediaan sarana dan prasarana yang memadai dan kepastian berusaha. Melalui bentuk usaha patungan, penanaman modal asing akan memperkuat perkembangan ekonomi nasional dan dunia usaha nasional. Sasaran pertumbuhan ekonomi dan investasi selama Repelita V memerlukan pembiayaan dalam jumlah yang besar, sedang pelaksanaannya harus berlandaskan kemampuan untuk mengerahkan dana-dana yang bersumber pada tabungan masyarakat, tabungan pemerintah serta penghasilan devisa yang berasal dari ekspor barang dan jasa. Dengan upaya peningkatan kemampuan tersebut, pinjaman luar pembangunan. ada ikatan negeri Pinjaman politik, tetap luar merupakan negeri unsur diterima syarat-syaratnya tidak pelengkap sepanjang dana tidak memberatkan dan dalam batas kemampuan negara untuk membayar kembali. Jumlah pinjaman disesuaikan dengan kebutuhan dana pembangunan yang 296 belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri, sedang penggunaannya ditujukan untuk proyek yang diberi prioritas sehingga dapat menunjang tercapainya sasaran-sasaran pembangunan. Di samping itu, langkah-langkah akan diambil untuk terus menyempurnakan pengelolaan pinjaman luar negeri guna meningkatkan daya serap (disbursement) pinjaman. Begitu pula diusahakan penganekaragaman pinjaman luar negeri sumber, agar denominasi dampak valuta negatif dari dan bentuk perkembangan ekonomi dan gejolak nilai paritas antar valuta negara-negara pemberi pinjaman dan dampak fluktuasi dalam tingkat bunga di pasar uang dan pasar modal internasional dapat diperkecil. Kebijaksanaan pengendalian hutang-hutang juga teramat penting untuk menjaga agar perbandingan pelunasan angsuran hutang dan pembayaran bunga pinjaman terhadap penghasilan devisa dari ekspor berada pada tingkat yang cukup aman ditinjau dari perkembangan tetap perekonomian diikuti sistem secara keseluruhan. pengelolaan Dalam hutang-hutang Repelita luar V negeri yang mencakup mekanisme pemantauan dan evaluasi yang cermat tentang jumlah, komposisi, denominasi valuta, tingkat bunga dan jatuh waktunya pelunasan agar tetap pada batas-batas keamanan dan agar langkah-langkah penyesuaian pada waktu terjadi perubahan dalam iklim keuangan internasional dapat ditempuh pada waktunya. Sasaran yang hendak dicapai dalam Repelita V ialah agar perbandingan Service pelunasan Ratio) menurun hutang dari terhadap sekitar nilai 35% pada ekspor (Debt akhir Repe- lita IV menjadi di bawah 25% pada akhir Repelita V. Sasaran ini akan dicapai terutama melalui upaya untuk memacu ekspor, khususnya ekspor non migas, dan dengan mengarahkan secara cermat pemanfaatan pinjaman luar negeri ke arah pinjaman-pinjaman yang benar-benar bersyarat lunak. 297 4. Kebijaksanaan Devisa Dalam Repelita V kemantapan perkembangan neraca pembayaran akan terus didukung oleh kebijaksanaan devisa yang mendorong ekspor, mengendalikan impor barang dan jasa, memperlancar lalu lintas modal dengan luar negeri dan mendukung kestabilan pasaran dan kurs valuta asing. Guna menjamin kelangsungan sistem devisa bebas yang terkendali dan untuk menunjang kemampuan memenuhi semua kewajiban pembayaran kepada luar negeri, diusahakan agar cadangan devisa setiap tahun dapat meningkat. Sehubungan dengan itu sasaran yang hendak dicapai adalah terpeliharanya suatu tingkat cadangan yang rata-rata cukup untuk membiayai enam bulan impor di luar minyak dan gas bumi. 5. Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri Di bidang hubungan ekonomi luar negeri akan ditingkatkan kerja sama pada forum bilateral, regional maupun global sesuai dengan kepentingan pembangunan nasional. Khususnya dalam rangka mewujudkan Tata Ekonomi Dunia Baru akan terus dipelihara solidaritas dan kesatuan sikap antara negara-negara berkembang antara lain untuk mengembangkan perjanjian internasional yang untuk komoditi dilakukan primer, oleh melenyapkan negara-negara hambatan industri perdagangan terhadap ekspor negara-negara berkembang, serta meningkatkan kerja sama ekonomi dan teknik antara negara berkembang. Dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional dan memperkuat ketahanan regio- nal, kerja sama antara negara anggota ASEAN baik antar pemerintah maupun antar masyarakat akan terus ditingkatkan. 298 IV. PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN REPELITA V Perkiraan neraca pembayaran untuk masa 1989/90 - 1993/94 sangat terkait dengan sasaran yang ditentukan untuk laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, pola pertumbuhan untuk sektor-sektor perekonomian dan sasaran untuk pertumbuhan investasi. Di samping itu, perkiraan neraca pembayaran juga didasarkan atas asumsi mengenai berbagai indikator perkembangan ekonomi dunia, seperti laju pertumbuhan, tingkat inflasi, tingkat suku bunga serta nilai paritas antara valuta negaranegara industri utama. Perkembangan pasaran dan harga minyak bumi internasional karena ditentukan merupakan oleh faktor yang kejadian-kejadian sulit di diperkirakan luar jangkauan Indonesia sendiri. Demikian pula ekspor di luar minyak dan gas bumi dipengaruhi oleh perkembangan pasaran komoditi dunia dan besar kecilnya kecenderungan proteksionisme di berbagai negara yang merupakan kendala bagi akses pasaran. Selama Repelita V nilai ekspor secara keseluruhan diperkirakan meningkat dengan rata-rata 11,2% per tahun, dari US $ 18.703 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US $ 31.852 juta dalam tahun 1993/94. Nilai ekspor minyak bumi naik dengan ratarata 1,9% per tahun, sedang nilai ekspor gas alam cair (LNG) dan gas minyak bumi cair (LPG) diperkirakan masing-masing naik dengan 3,5% dan 36,5% setiap tahunnya (Tabel 5-6). Seperti disebutkan di atas nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi selama masa Repelita V diharapkan meningkat cukup tinggi, yaitu dengan rata-rata 15,6% setiap tahunnya. Di dalam kelompok ekspor ini laju pertumbuhan ekspor hasil-hasil pertanian dan hasil-hasil tambang non migas diperkirakan di bawah laju pertumbuhan rata-rata tersebut karena prospek permintaan dunia akan hasil-hasil ini yang kurang pasti. 299 TABEL V - 6 PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN 1989/90 - 1993/94 (dalam juta US dollar) 300 Sumber terbesar dari peningkatan ekspor di luar minyak dan gas bumi akan berasal dari hasil-hasil industri. Perkiraan ini sejalan dengan sasaran peningkatan pertumbuhan sektor industri, khususnya subsektor industri non migas, dalam Repelita V dan didasarkan atas prospek pertumbuhan yang pesat dari hasil-hasil industri yang berasal dari pengolahan lebih lanjut hasil-hasil dari sumber alam dalam negeri serta prospek perkembangan produk-produk baru dan barang-barang yang nilai ekspornya sekarang masih kecil. Di samping itu diharapkan bahwa iklim perdagangan dunia yang lebih bebas dari berbagai bentuk hambatan akan mendorong keterbukaan pasaran bagi ekspor hasil-hasil industri. Di antara produk-produk industri yang sangat potensial perkembangannya adalah hasil-hasil besi dan baja dan produkproduk tekstil seperti benang tenun dan pakaian jadi. Hasilhasil industri lainnya yang juga mempunyai prospek pertumbuhan ekspor yang tinggi meliputi hasil-hasil kulit, kertas, bahan kimia dan hasil-hasil rotan. Hasil-hasil ekspor lain yang laju pertumbuhannya diperkirakan cukup tinggi adalah minyak sawit, hasil-hasil coklat, pupuk dan rempah-rempah, seperti kayu manis dan panili. Dalam hal kayu lapis, meskipun nilai ekspornya pada akhir Repelita V masih akan menduduki posisi yang dominan di antara produkproduk ekspor, laju pertumbuhannya diperkirakan akan mencapai di bawah laju pertumbuhan rata-rata ekspor non migas sehingga di tahun-tahun mendatang peranannya secara relatif akan berkurang. Dengan berkembangnya jenis barang yang nilai ekspornya pada akhir Repelita IV masih kecil, dan berkembangnya jenis produk baru serta jenis produk yang berasal dari tahap pengolahan lanjutan komoditi pertanian dan pertambangan, maka 301 GRAFIK 5 - 3 EKSPOR 1983/84, REPELITA IV DAN REPELITA V 302 landasan ekspor dalam masa Repelita V akan menjadi semakin luas dan kuat. Nilai impor di luar sektor minyak dan gas bumi dalam Repelita V diperkirakan akan meningkat dengan rata-rata 13,4% per tahunnya. Laju pertumbuhan yang paling cepat akan terjadi untuk impor barang modal, yaitu sebesar 16,8%, disusul dengan pertumbuhan impor bahan baku dan penolong sebesar 12,4%. Peningkatan impor tersebut diperlukan untuk menunjang pertumbuhan kapasitas produksi sesuai dengan sasaran kenaikan produksi di berbagai sektor. Di samping itu, melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi terus diusahakan kelancaran dalam penyediaan bahan-bahan baku dan barang modal dengan harga yang wajar agar biaya produksi barang jadi terkendalikan dan daya saing dapat ditingkatkan. Sementara itu impor barang-barang konsumsi diperkirakan mengalami kenaikan sebesar ratarata 8,5% per tahun. Laju pertumbuhan yang relatif rendah ini dimungkinkan oleh adanya kebijaksanaan pemantapan swasembada pangan dan oleh adanya peningkatan produksi barang-barang konsumsi buatan dalam negeri. Karena perbedaan laju pertumbuhan kelompok-kelompok barang impor tersebut, komposisi impor akan mengalami perubahan. Peranan barang-barang konsumsi dan peranan bahan baku dan penolong akan menurun dari masing-masing sebesar 19,0% dan 44,0% dalam tahun 1988/89 menjadi 15,2% dan 42,0% pada akhir Repelita V. Sebaliknya peranan impor barang modal dalam periode yang sama akan mengalami kenaikan dari 37,0% menjadi 42,8% (Tabel 5-7 dan Tabel 5-8). Impor sektor minyak bumi serta sektor gas bumi dalam masa Repelita V diperkirakan naik masing-masing sebesar rata- rata 1,8% dan 4,2% per tahun. Nilai impor tersebut terutama 303 TABEL 5 - 7 PERKIRAAN NILAI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI MENURUT GOLONGAN EKONOMI 1989/90 - 1993/94 (f.o.b. dalam juta US dollar) 1988/89 1989/90 Barang Konsumsi 2.215 Bahan Baku/Penolong Barang Modal J u m l a h 304 Laju Pertumbuhan rata-rata (%) 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 2.450 2.673 2.877 3.108 3.328 8,5 5.128 5.815 6.561 7.356 8.225 9.196 12,4 4.312 4.980 5.780 6.793 7.975 9.371 16,8 11.655 13.245 15.014 17.026 19.308 21.895 13,4 GRAFIK 5 - 4 PERKIRAAN NILAI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUM!, MENURUT GOLONGAN EKONOMI 1988/89 - 1993/94 305 TABEL 5 - 8 PERKIRAAN KOMPOSISI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI 1989/90 - 1993/94 (dalam persentase dari jumlah) 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 Barang Konsumsi 19,0 18,5 17,8 16,9 16,1 15,2 Bahan Baku/Penolong 44,0 43,9 43,7 43,2 42,6 42,0 Barang Modal 37,0 37,6 38,5 39,9 41,3 42,8 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 J u m l a h 306 GRAFIK 5 - 5 PERKIRAAN KOMPOSISI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI 1989/90 - 1993/94 307 dipengaruhi oleh biaya produksi perusahaan-perusahaan asing, biaya investasi dan impor minyak bumi mentah. Penerimaan dan pengeluaran devisa untuk jasa-jasa ikut menentukan perkembangan neraca pembayaran. Secara netto, pengeluaran untuk jasa-jasa mengalami kenaikan sebesar 3,5% setiap tahun dan terdiri dari kenaikan sebesar 5,5% untuk jasajasa sektor minyak bumi, 6,4% untuk jasa-jasa sektor gas bumi dan 2,3% untuk sektor di luar minyak dan gas bumi. Pengeluaran devisa untuk jasa-jasa sektor minyak dan gas bumi terutama ditentukan oleh bagian perusahaan-perusahaan asing dalam seluruh keuntungan dan biaya pengangkutan yang dibayar pada perusahaan pemilik tanker luar negeri. Satu sumber penting penghasilan devisa dari jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi, sekaligus juga dari ekspor seluruh barang dan jasa di luar minyak dan gas bumi, adalah sektor pariwisata. Bila dalam tahun 1988/89 penerimaan dari pariwisata adalah sebesar US $ 1.371 juta, maka pada akhir Repelita V penerimaan tersebut diperkirakan mencapai US $ 2.811 juta sehingga merupakan sumber penghasilan devisa terbesar kedua setelah kayu lapis. Pembayaran bunga atas hutang-hutang luar negeri Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan sektor swasta merupakan unsur pengeluaran devisa untuk jasa-jasa yang besar. Secara netto, setelah diperhitungkan penerimaan bunga atas piutang terhadap luar negeri, kenaikan dalam pengeluaran devisa untuk pembayaran bunga dan transfer keuntungan PMA/bank-bank asing diperkirakan sebesar rata-rata 3,0% per tahun. Pengeluaran jasa-jasa lainnya yang jumlah dan laju pertumbuhannya tinggi adalah biaya pengangkutan dan jasa-jasa lain seperti pembayaran untuk jasa komunikasi, lisensi dan paten dari luar negeri (Tabel 5-9). 308 TABEL 5 - 9 PERKIRAAN JASA-JASA DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI 1989/90 - 1993/94 (dalam Juta US dollar) 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 Laju Pertumbuhan Rata-rata (%) A. JASA-JASA NON FAKTUR (netto) -1.818 -1.845 -1.884 -2.024 -2.050 -2.007 2,0 1. Pengangkutan -1.282 -1.459 -1.616 -1.843 -2.101 -2.395 13,3 2. Perjalanan/Pariwisata a. Penerimaan b. Pengeluaran 746 (1.371) (-625) 907 (1.576) (-669) 1.096 (1.812) (-716) 1.318 (2.084) (-766) 1.577 (2.397) (-820) 1.933 (2.811) (-878) 21,0 (15,4) (7,0) 3. Biaya angkutan lain -230 4. Jasa-jasa lainnya B. PENDAPATAN FAKTOR (netto) 1) 1. Bunga dan transfer keuntungan PMA/bank-bank asing' 2. Transfer tenaga kerja di luar negeri JUMLAH (A dan B) -240 -248 -254 -258 -1.052 -1.053 -1.116 -1.245 -1.268 -1.285 4,1 -2.834 -3.095 -3.213 -3.151 -3.018 -3.201 2,5 -2.944 -3.221 -3.356 -3.308 -3.199 -3.419 3,0 126 143 157 181 -4.940 -5.097 -5.175 -5.068 110 -4.652 -260 218 -5.208 2,5 14,7 2,3 1) Termasuk bunga sektor swasta dan BUMN. 309 Kelebihan pengeluaran devisa untuk barang dan jasa di atas penerimaan devisa dari ekspor barang dan jasa menyebabkan bahwa selama Repelita V transaksi berjalan tetap akan mengalami defisit. Meskipun demikian, defisit tersebut diperkirakan akan terus menurun dari US $ 2.436 juta pada tahun 1989/90 menjadi US $ 536 juta dalam tahun 1993/94. Sasaran ini akan tercapai dengan peningkatan nilai ekspor barang di luar minyak dan gas bumi sebesar 15,6% dan peningkatan penghasilan devisa dari pariwisata sebesar 15,4% setiap tahunnya. Sementara itu, kelanjutan kebijaksanaan deregulasi serta langkah-langkah yang akan ditempuh yang ditujukan untuk meningkatkan penanaman modal diharapkan akan menciptakan iklim investasi yang semakin baik selama pelaksanaan Repelita V. Didukung pula oleh sistem perdagangan dan distribusi yang lebih efisien, maka diperkirakan bahwa realisasi dari investasi modal asing langsung selama Repelita V dapat meningkat minimal sebesar rata-rata 12,0% per tahun. Penggunaan pinjaman pemerintah selama masa Repelita V diperkirakan menurun dari US $ 6.382 juta pada tahun pertama menjadi US $ 5.795 juta pada tahun 1993/94. Jumlah pinjaman tersebut berasal dari komitmen di masa lampau dan komitmen yang diperoleh selama Repelita V. Syarat-syarat pelunasan pinjaman yang bare diusahakan seringan mungkin. Pengelolaan pinjaman dan hutang luar negeri pemerintah akan terus disempurnakan dan diarahkan agar jumlah pembayaran bunga dan angsuran pokok atas pinjaman setiap tahunnya berada pada tingkat yang aman dan relatif stabil. Sementara itu peningkatan penghasilan devisa dari ekspor, terutama ekspor di luar minyak dan gas bumi, akan memberikan prospek penurunan dari perbandingan 310 pelunasan hutang-hutang terhadap nilai ekspor yang mantap. Seperti disebutkan di muka, Debt Service Ratio diperkirakan akan dapat diturunkan dari sekitar 35% pada tahun terakhir Repelita IV menjadi di bawah 25% pada tahun terakhir Repelita V. Dengan perkembangan transaksi berjalan, pinjaman dan investasi modal luar negeri di sektor swasta, serta pinjaman dan pelunasan pokok hutang luar negeri pemerintah tersebut di atas diperkirakan bahwa cadangan devisa dalam masa Repelita V setiap tahunnya akan tetap pada tingkat yang aman, yaitu cukup untuk membi4yai sekitar 6 bulan impor. Seperti disinggung di atas, dalam memperkirakan perkembangan neraca pembayaran untuk Repelita V digunakan berbagai asumsi mengenai prospek perkembangan ekonomi dunia, mengenai perubahan dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri Indonesia, dan mengenai kelanjutan usaha peningkatan efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber produksi. Perkembangan harga komoditi yang lebih baik di pasaran dunia, pengurangan kecenderungan ke arah proteksionisme dan pasaran yang lebih terbuka merupakan faktor-faktor yang turut diperhitungkan dalam perkiraan ekspor di luar minyak dan gas bumi. Ketidakpastian mengenai perkembangan harga minyak bumi tetap merupakan faktor yang paling sulit didugakan dan didasarkan pada perkiraan yang berhati-hati. Kebijaksanaan neraca pembayaran yang ditempuh dalam Repelita V ditujukan untuk menunjang peningkatan ketahanan, ekonomi melalui perubahan dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri, menjaga kelangsungan laju pertumbuhan ekspor barang dan jasa yang cukup tinggi, mengarahkan penggunaan devisa secara optimal, mengendalikan pinjaman dan hutang-hutang luar negeri serta memelihara cadangan devisa yang mantap. 311 Untuk terus meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan devisa yang diperlukan bagi pembiayaan pembangunan, kebijaksanaan neraca pembayaran khususnya diarahkan untuk menunjang peningkatan sekaligus perluasan landasan ekspor di luar minyak dan gas bumi. Tercapainya sasaran-sasaran neraca pembayaran akan ditentukan oleh kesiagaan dalam mengambil langkah-langkah pendukung dan penyesuaian pada waktu yang tepat. 312