3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Budidaya Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Kacang panjang dalam taksonomi tumbuhan termasuk kingdom Plantae, subkingdom Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh), super divisi Spermatophyta (menghasilkan biji), divisi Magnoliophyta (tumbuhan berbunga), kelas Magnoliopsida (berkeping dua atau dikotil), sub kelas Rosidae, ordo Fabales, famili Fabaceae (suku polong-polongan), genus Vigna, spesies Vigna sinensis (L). ex Hassk (Wikipedia 2012). Tanaman kacang panjang merupakan tanaman semak, menjalar, semusim dengan tinggi kurang lebih 2,5 m. Batang tanaman ini tegak, silindris, lunak, berwarna hijau dengan permukaan licin. Daunnya majemuk, lonjong, berseling, panjang 6-8 cm, lebar 3-4,5 cm, tepi rata, pangkal membulat, ujung lancip, pertulangan menyirip, tangkai silindris, panjang kurang lebih 4 cm, dan berwarna hijau. Bunga tanaman ini terdapat pada ketiak daun, majemuk, tangkai silindris, panjang kurang lebih 12 cm, berwarna hijau keputih-putihan, mahkota berbentuk kupu-kupu, berwarna putih keunguan, benang sari bertangkai, panjang kurang lebih 2 cm, berwarna putih, kepala sari kuning, putik bertangkai, berwarna kuning, panjang kurang lebih 1 cm, dan berwarna ungu. Buah tanaman ini berbentuk polong, berwarna hijau, dan panjang 15-25 cm. Bijinya lonjong, pipih, berwarna coklat muda. Akarnya tunggang berwarna coklat muda (Hutapea 1994). Tanaman kacang panjang tumbuh baik di dataran rendah sampai menengah hingga ketinggian 700 mdpl. Pada ketinggian di atas 700 mdpl tanaman kacang panjang pertumbuhannya akan terhambat. Tanaman tumbuh baik pada tanah Latosol, subur, gembur, banyak mengandung bahan organik dan drainasenya baik, pH sekitar 5,5-6,5. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan kacang panjang adalah 25-35 οC pada siang hari dan pada malam hari sekitar 15 οC (PROSEA 1996). 4 Bean common mosaic virus (BCMV) BCMV termasuk ke dalam famili Potyviridae, genus Potyvirus. Potyvirus merupakan kelompok virus tumbuhan terbesar yang diketahui saat ini (Agrios 2005). Partikel BCMV mempunyai panjang 720 – 770 nm dan lebar 12 – 15 nm. Partikel virusnya terdiri dari 95% protein dan 5% RNA utas tunggal. Kestabilan virus dalam sap tanaman tergantung dari strain virus dan waktu infeksinya. Virus ini mempunyai titik panas inaktivasi 50 – 60 οC, titik batas pengenceran 10-3-10-4 dan ketahanan in vitro virus 1-4 hari pada suhu ruang (CABI 2005). BCMV dapat ditularkan secara mekanis melalui beberapa spesies kutudaun secara nonpersisten dan melalui benih. Adapun beberapa spesies kutudaun yang dapat menjadi vektor BCMV antara lain Aphis gossypii, A. craccivora, A. medicanigis, A. rumicis, Hyalopterus atriplicis, Macrosiphum ambrosiae, M. pisi dan M. solanifolii. Infeksi BCMV pada benih terjadi sebelum fase inisiasi bunga. Fenomena ini tampaknya terkait dengan transmisi serbuk sari ketika virus masuk ke dalam sel telur pada saat pembuahan (Sutic et al. 1999). BCMV mengalami perkembangan di dalam ovul dan kotiledon, tetapi tidak pada kulit benih. BCMV mampu mempertahankan infektivitas dalam biji selama 30 tahun (Morales & Bos 1988). Tanaman yang terinfeksi secara sistemik, khususnya dari infeksi benih menunjukkan gejala daun dengan pola mosaik, daun menggulung dan mengerut sepanjang tulang daun. Gejala pada tanaman terinfeksi menunjukkan gejala daun belang, mosaik, jaringan tulang daun klorosis dan malformasi daun pada daundaun muda. Secara umum tanaman yang diinokulasi dengan virus biasanya gejala akan muncul pada 7-10 hari setelah inokulasi (Djikstra & De Jager 1998). Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) merupakan uji serologi yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi 5 antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor (Lequin 2005). Menurut Djikstra & De Jager (1998) Beberapa keunggulan ELISA sebagai tes serologi untuk virus tumbuhan adalah : • Konsentrasi virus yang digunakan sangat sedikit (1-10 ng/ml) dapat terdeteksi. • Antibodi yang digunakan sangat sedikit. • Metode ini dapat digunakan untuk deteksi sampel virus skala besar. • Uji ini dapat digunakan menggunakan panduan standar yang sudah ditentukan. • Hasil deteksi ELISA dapat diukur secara kuantitatif. Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis yaitu, standard (direct) double antibody sandwich (DAS)-ELISA dan indirect ELISA (I-ELISA). Metode DAS-ELISA diperkenalkan pertama kali oleh Clark dan Adams pada tahun 1977 untuk deteksi virus tumbuhan dan uji ini pertama kali dilakukan pada plat 96 sumur berbahan polystyrene. Tahapan DAS-ELISA, pertama sumuran plat dicoating dengan menggunakan antibodi primer. Setelah plat dicuci, sampel virus dimasukkan ke dalam sumuran. Setelah dicuci kembali dengan Phosphat buffer saline tween (PBST), enzyme konjugat (antibodi kedua) diisikan ke dalam sumuran. Setelah dicuci kembali, enzyme substrat PNP (P-nitrophenylphosphate) dimasukkan ke dalam sumuran untuk pewarnaan (Djikstra & De Jager 1998). Berbeda dengan DAS-ELISA, pada metode I-ELISA sampel virus (antigen) dimasukkan terlebih dahulu, setelah itu baru dimasukkan antibodi primer ke dalam sumuran dan selanjutnya tahapan prosedur sama dengan DASELISA (Djikstra & De Jager 1998). DAS-ELISA sangat dianjurkan untuk deteksi virus skala besar, tetapi untuk deteksi virus yang membutuhkan spesifikasi yang tinggi DAS-ELISA terkadang bermasalah dalam mendeteksi. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan I-ELISA, karena hubungan serologi antar virus lebih stabil (Djikstra & De Jager 1998). Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi virus dengan jumlah virus yang sangat kecil pada satu benih (individu) atau serangga vektor. Hal ini untuk membuktikan sensitivitas metode ELISA (Djikstra & De Jager 1998). 6 Tissue blot immunosorbent assay (TBIA) TBIA merupakan uji serologi menggunakan membran Nitropure nitrocellulose (NPN) yang sangat efektif mendeteksi dan mendiagnosa virus tanaman. Teknik ini menggunakan bahan tanaman segar dan diblot pada kertas membran (Lin et al. 1990). Teknik TBIA merupakan kombinasi teknik ELISA dan Dot immunobinding assay (DIBA) serta mempunyai tingkat sensitivitas yang sama, prosedur yang digunakan sangat sederhana dan dapat digunakan untuk deteksi rutin dengan jumlah sampel yang banyak (Djikstra & De Jager 1998). Pendekatan berbasis asam nukleat dipakai secara ekstensif untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus pada tanaman. Flinders Technology Associates (FTA) Cards membantu untuk mengoleksi dan menyimpan DNA dari tanaman untuk digunakan secara langsung maupun tidak langsung pada uji Polymerase chain reaction (PCR). Teknik FTA cards efektif untuk mendeteksi RNA virus (Ndurungu et al. 2005). FTA cards dan membran NPN keduanya terbuat dari bahan yang sama, sehingga membran NPN pada metode TBIA juga dapat digunakan untuk uji Reverse transcription-PCR (RT-PCR). TBIA dilakukan pada kertas membran yang ukurannya dapat disesuaikan dengan jumlah sampel yang ada. Sampel yang akan dispot digulung dan diiris ujungnya menggunakan pengiris, lalu dispot pada kertas membran dan ditunggu minimal dua jam dengan suhu ruang (Karle et al. 2004). Dalam pengerjaannya, teknik TBIA sangat mudah dan cepat dalam mendeteksi virus, serta spot yang positif terdeteksi virus dapat langsung digunakan untuk identifikasi lebih lanjut dengan RT-PCR tanpa harus menyimpan sampel yang akan diuji. Selain itu sampel yang sudah dispot pada kertas membran dapat disimpan dalam jangka waktu panjang (Chang et al. 2010).