1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesejahteraan merupakan tujuan utama yang ingin dicapai oleh setiap manusia
dalam hidupnya. Segala pilihan, harapan, serta aktivitas manusia mengarahkan mereka
untuk mencapai keadaan yang sejahtera. Kriteria kesejahteraan yang dirasakan oleh setiap
individu tentu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Keadaan tersebut merujuk pada
suatu penilaian yang dilakukan setiap individu terhadap hidupnya, yang dikenal dengan
istilah kesejahteraan subjektif. Menurut Diener, Oishi, & Lucas (2009) kesejahteraan
subjektif merupakan penilaian atau evaluasi kognitif serta afektif seseorang terhadap
keseluruhan hidupnya. Penilaian tersebut mencakup kepuasan hidup serta penilaian afek
positif dan negatif yang dirasakan oleh seorang individu.
Kesejahteraan subjektif menjadi hal yang cukup penting bagi kehidupan manusia
karena secara tidak langsung menentukan kebahagiaan hidup seseorang. Memiliki
kesejahteraan subjektif yang tinggi dapat membantu seseorang melewati masa-masa dalam
kehidupannya tanpa masalah yang berarti, dan berkembang menjadi pribadi yang bahagia.
Menurut Argyle (2001) individu yang memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi adalah
individu yang kreatif, optimis, bekerja keras, tidak mudah putus asa, dan tersenyum lebih
banyak daripada individu yang menyebut dirinya tidak bahagia. Individu tersebut akan
mampu mengontrol emosi mereka terhadap segala peristiwa dalam hidupnya, dan mampu
mengevaluasinya secara positif. Ketika individu merasa puas akan hidupnya, dirinya
mampu menjalani kehidupannya dengan lebih baik, lebih produktif, dan lebih kreatif
(Keyes & Magyar-Moe, 2003).
1
2
Rendahnya kesejahteraan subjektif dapat berdampak negatif pada seseorang.
Individu dengan tingkat kesejahteraan subjektif yang rendah, akan memandang rendah
hidupnya dan menganggap segala peristiwa yang terjadi merupakan hal yang tidak
menyenangkan, sehingga timbul emosi negatif seperti kecemasan, depresi serta kemarahan
(Myers & Diener, 1995). Di samping itu, dikatakan bahwa rendahnya kesejahteraan
subjektif yang dimiliki oleh seseorang dapat menyebabkan rendahnya kualitas kesehatan
dan longevity individu di kemudian hari (Diener & Chan, 2011), serta menimbulkan
depresi, gangguan kejiwaan, keterbatasan aktivitas sehari-hari, bahkan kematian (Keyes &
Magyar-Moe, 2003).
Timbulnya masalah karena rendahnya kesejahteraan subjektif dapat berdampak besar
pada diri seseorang, tidak terkecuali pada mahasiswa. Mahasiswa yang berada pada masa
transisi antara remaja akhir dan dewasa awal tentunya menghadapi tekanan, baik akademis
maupun non-akademis. Ketika seorang remaja, khususnya mahasiswa, tidak mampu
mengatasi tekanan-tekanan dalam hidupnya dengan baik, maka akan muncul masalah dan
perilaku tidak sehat. Seperti yang dimuat dalam data tahun 2010 dari Badan Pusat Statistik
(BPS), Bappenas dan UNFPA, sebagian dari 63 juta jiwa remaja yang berusia 10 sampai
24 tahun di Indonesia rentan berperilaku tidak sehat (beritasore.com, 2010). Perilaku
tersebut dapat muncul pada mahasiswa berupa kasus-kasus seperti drop out,
penyalahgunaan narkoba, penyalahgunaan minuman keras, kekerasan, bahkan depresi yang
memicu timbulnya kasus bunuh diri.
Dapat dikatakan bahwa mahasiswa sering mengalami gangguan atau masalah
dikarenakan idealisme yang berlebihan bahwa mereka harus segera melepaskan kehidupan
bebasnya saat mencapai usia dewasa (Hurlock, 2002). Peralihan dari masa penuh
kebebasan ke masa penuh tekanan mengharuskan mahasiswa mampu secara mandiri
menentukan masa depan mereka, termasuk dalam pencapaian pendidikan. Masalah ini
3
menjadi hal yang penting bagi seorang mahasiswa, khususnya di daerah Yogyakarta yang
menjadi salah satu kota yang banyak diminati oleh calon mahasiswa.
Pada tahun pelajaran 2013/2014, terdapat 22.504 mahasiswa yang tersebar di
berbagai universitas negeri dan swasta di Yogyakarta (bps.go.id, 2015). Universitas Gadjah
Mada (selanjutnya disebut UGM) sebagai salah satu universitas negeri yang banyak
diminati oleh calon mahasiswa, tentunya memiliki peminat yang berasal dari berbagai
daerah di Indonesia. Peminat dari luar daerah Yogyakarta menjadi mayoritas di berbagai
fakultas. Sebagai contoh di Fakultas Psikologi UGM, sebanyak 151 dari 214 (70,56%)
mahasiswa baru pada semester gasal tahun pelajaran 2015/2016 berasal dari luar daerah
Yogyakarta.
Sebagaimana mahasiswa lain, mahasiswa luar daerah diharuskan untuk mampu
menghadapi tuntutan akademis yang ada seperti banyaknya tugas, jadwal perkuliahan yang
padat, perubahan sistem belajar, dan lain-lain. Di samping tuntutan akademis, mahasiswa
yang berasal dari luar daerah juga dituntut untuk mampu menghadapi perubahan yang
muncul pada kehidupan sosialnya. Menurut Lee, Koeske, & Sales (2004) para pelajar yang
berasal dari luar daerah harus beradaptasi dengan kebudayaan, pendidikan, dan lingkungan
sosial yang baru.
Adanya tuntutan maupun permasalahan yang muncul dapat menimbulkan risiko
timbulnya stres pada mahasiswa luar daerah. Seperti hasil wawancara singkat yang
dilakukan peneliti pada tiga orang mahasiswa yang berasal dari luar daerah. Ketiga
mahasiswa tersebut mengatakan bahwa terjadi perubahan ketika dirinya pindah ke daerah
yang jauh dari keluarga dan orang tua mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka hanya
dapat bercerita tentang masalah kepada orang tua atau saudara-saudaranya melalui telepon
maupun pesan singkat. Selain itu, ketiganya merasa harus mampu menentukan keputusan
sendiri terkait pilihan-pilihan yang ada agar tidak merepotkan orang tau mereka di daerah
4
asal. Perubahan tersebut dirasa cukup berat ketika mereka mendapatkan tuntutan tugas
perkuliahan, khususnya pada tahun pertama. Ketika seorang mahasiswa yang berasal dari
luar daerah memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi, maka dirinya dapat terhindar dari
stress yang muncul akibat tekanan-tekanan tersebut. Tingginya tingkat kesejahteraan
subjektif seorang mahasiswa dapat menentukan keberhasilan mereka dalam menjalani
kehidupan akademis. Seperti yang dikatakan oleh Wong & Csikszentmihalyi (1991) bahwa
mahasiswa yang termotivasi dalam belajar dan berprestasi secara akademik menunjukkan
tingkat kesejahteraan subjektif yang tinggi.
Kesejahteraan subjektif yang dimiliki masing-masing individu tentunya berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: harga diri, kepribadian, optimisme, dukungan sosial, pengaruh masyarakat dan
budaya, proses kognitif, jenis kelamin, usia, status pernikahan, dan pendapatan. Beberapa
faktor dikatakan tidak cukup kuat mempengaruhi kesejahteraan subjektif, namun beberapa
faktor lainnya dikatakan menjadi prediktor yang konsisten, salah satunya kepribadian
(Diener & Lucas, 1999).
Kepribadian dikatakan menjadi salah satu faktor yang cukup kuat dalam
mempengaruhi tingkat kesejahteraan subjektif seseorang (Diener, 2009). Hal ini didukung
oleh Hayes & Joseph (2003) yang mengatakan bahwa seseorang cenderung lebih bahagia
daripada orang lain karena kepribadian yang dibawanya. Penelitian yang dilakukan oleh
Librán (2006) menyatakan hasil bahwa kepribadian merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan kesejahteraan subjektif. Salah satu kepribadian yang erat kaitannya
dengan kesejahteraan subjektif yaitu ekstraversi (Diener & Lucas, 1999).
Ekstraversi adalah kecenderungan kepribadian yang memiliki orientasi yang lebih
objektif (Feist & Feist, 2008). Kecenderungan ini membuat seseorang lebih dipengaruhi
oleh dunia luar dibandingkan dengan diri mereka sendiri. Mereka yang memiliki
5
kecenderungan ekstraversi akan menekan pandangan subjektif, dan cenderung mengikuti
kecenderungan sikap objektif dari dunia luar. Jung (dalam Sharp, 1987) mengatakan
bahwa ciri-ciri seseorang dengan kecenderungan ekstraversi yaitu memiliki minat akan
objek di luar dirinya, memiliki kepribadian yang responsif, ingin berpengaruh, ingin
bergabung dalam suatu kelompok, selalu terlihat menyenangkan, selalu memperhatikan
lingkungan sekitarnya, serta menjaga teman dan orang-orang terdekatnya.
Kecenderungan ekstraversi dapat merefleksikan temperamen seseorang dan
berpengaruh pada afek positif yang dirasakan. Individu dengan kecenderungan ekstraversi
dikatakan lebih bahagia karena memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjalin
relasi sosial, lebih asertif dan kooperatif dibandingkan dengan orang lain (Librán, 2006).
Kecenderungan ekstraversi berkaitan dengan pertemanan dan aktivitas sosial yang
merupakan sumber dari kebahagiaan dan kepuasan diri (Campbell, Converse, & Rodgers,
dalam Librán, 2006). Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asma
Zahratun Nabila (2011) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan
antara tipe kepribadian ekstrovert dengan kesejahteraan subjektif.
Faktor lain yang merupakan prediktor dari kesejahteraan subjektif adalah dukungan
sosial (Diener & Selligman, 2002). Menurut Kwan, Bond, & Singelis (dalam Snyder &
Lopez, 2009) dukungan sosial lebih berhubungan erat dengan kepuasan hidup atau
kesejahteraan subjektif pada budaya kolektif dibandingkan budaya individualistik. Di
negara Indonesia yang menganut budaya kolektif, dukungan sosial tentunya berkaitan erat
dengan kesejahteraan subjektif setiap individu.
Dukungan sosial merupakan kenyamanan, perhatian, penghargaan, serta bantuan
yang diperoleh seseorang dari orang lain, baik perorangan maupun kelompok (Sarafino,
1998). Dukungan sosial yang diterima oleh seorang individu dapat berupa dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif
6
(House, dalam Smet, 1994). Dukungan-dukungan ini dapat bersumber dari orang-orang
terdekat seperti yang dikatakan oleh Gore (dalam Gotlib & Hammen, 1992) bahwa
dukungan sosial lebih sering didapatkan dari relasi terdekat seperti keluarga atau sahabat.
Dukungan sosial yang didapatkan seorang individu akan berpengaruh pada afek
positif yang dirasakan oleh individu tersebut. Sarafino & Timothy (2011) mengungkapkan
bahwa individu yang mendapatkan dukungan sosial merasa bahwa mereka dicintai,
dihargai, serta dianggap sebagai bagian dari jaringan sosial, seperti keluarga atau
organisasi. Di sisi lain, dukungan sosial yang diterima oleh seorang individu dapat
menghindarkan individu tersebut dari tekanan dan stres. Hal ini didukung oleh perspektif
yang dijelaskan oleh Lakey & Cohen (2000) bahwa dukungan yang diterima oleh seorang
individu dapat memajukan kesejahteraannya dengan cara menjaga individu tersebut dari
efek negatif yang disebabkan oleh stres.
Mendapatkan dukungan sosial menjadi hal yang penting bagi mahasiswa, khususnya
bagi mereka yang berasal dari luar daerah. Menurut hasil penelitian Lin dan Yi (dalam Lee,
dkk., 2004) menyatakan bahwa mahasiswa yang berasal dari luar daerah akan mengalami
perubahan sistem dukungan karena berkurangnya kontak dengan orang tua dan temanteman dari daerah asalnya. Dengan diterimanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat,
seperti teman atau sahabat, seorang mahasiswa yang berasal dari luar daerah akan mampu
menghadapi tuntutan akademis maupun perubahan sosial yang ada, meskipun berada jauh
dari orang tua dan keluarga.
Adanya hubungan antara dukungan sosial dan kesejahteraan subjektif didukung oleh
hasil penelitian yang dilakukan Desi Indah Fajarwati (2014) yang menyebutkan bahwa
terdapat hubungan positif antara dukungan sosial dengan kesejahteraan subjektif pada
remaja di salah satu SMP Yogyakarta (Fajarwati, 2014). Lebih khusus lagi, penelitian yang
7
dilakukan oleh Rohmad (2014) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara
dukungan sosial dan kesejahteraan subjektif seorang mahasiswa.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan subjektif
merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh setiap individu manusia. Khususnya pada
mahasiswa, memiliki kesejahteraan subjektif dapat membantu mereka dalam menghadapi
tuntutan akademis supaya terhindar dari masalah dan risiko munculnya perilaku tidak
sehat. Tingkat kesejahteraan subjektif seorang mahasiswa dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor yang erat kaitannya dan menjadi prediktor yang cukup kuat yaitu
kepribadian, khususnya kecenderungan ekstraversi. Kecenderungan ekstraversi dapat
mendorong seorang mahasiswa untuk menjalin pertemanan dan hubungan sosial yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi afek positif yang dirasakan.
Selain itu, kesejahteraan subjektif juga dapat dipengaruhi oleh dukungan sosial yang
diterima oleh seorang mahasiswa luar daerah. Dukungan sosial dapat membuat seseorang
merasa dihargai dan dicintai, dan dapat mempengaruhi afek positif individu tersebut. Dapat
diasumsikan bahwa kedua faktor, kecenderungan ekstraversi dan dukungan sosial, dapat
mempengaruhi kesejahteraan subjektif seorang mahasiswa, khususnya mereka yang
berasal dari luar daerah. Ketika seseorang memiliki kecenderungan ekstraversi dan
dukungan sosial yang tinggi, maka kesejahteraan subjektifnya juga akan semakin tinggi.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti kesejahteraan subjektif pada mahasiswa
luar daerah ditinjau dari kecenderungan ekstraversi dan dukungan sosial.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik kesejahteraan subjektif pada
mahasiswa luar daerah ditinjau dari kecenderungan ekstraversi dan dukungan sosial.
8
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1.
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan untuk menambah
sumbangan atau referensi ilmiah dalam psikologi khususnya terkait peran
kecenderungan ekstraversi dan dukungan sosial terhadap kesejahteraan subjektif
mahasiswa luar daerah.
2.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan sebagai
informasi kepada mahasiswa luar daerah, khususnya di Fakultas Psikologi UGM,
mengenai peran kecenderungan ekstraversi dan dukungan sosial terhadap
kesejahteraan subjektif mahasiswa luar daerah, guna meningkatkan kesejahteraan
subjektif mereka. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
informasi tambahan kepada instansi terkait (Fakultas Psikologi UGM) dan menjadi
data untuk menjaga kesejahteraan subjektif para mahasiswa, khususnya yang berasal
dari luar daerah Yogyakarta.
Download