8 BAB II PENDEKATAN BELAJAR TUNTAS (MASTERY LEARNING) TERHADAP PENGUASAAN KONSEP EKOSISTEM A. BELAJAR TUNTAS (MASTERY LEARNING) 1. Konsep Belajar Tuntas (Mastery Learning) Tujuan proses belajar mengajar adalah agar materi yang disampaikan guru dapat dikuasai penuh oleh siswa. Menurut Bloom (Hernawan, 2008) “pembelajaran tuntas merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang difokuskan pada penguasaan siswa dalam sesuatu hal yang dipelajari”.Kunandar (2008) menyatakan bahwa” Belajar Tuntas (Mastery Learning) adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan semua siswa menguasai secara tuntas seluruh Standar Kompetensi (SK) maupun Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran”.Suryosubroto (Tony, 2009) mengatakan juga, bahwa“Belajar Tuntas adalah pencapaian setiap unit bahan pelajaran baik secara perseorangan maupun kelompok atau dengan kata lain penguasaan penuh”. “Pembelajaran tuntas merupakan suatu pendekatan pembelajaran untuk memastikan bahwa semua siswa menguasai hasil pembelajaran yang diharapkan dalam suatu unit pembelajaran sebelum berpindah ke unit pembelajaran berikutnya” (Hernawan, 2008). Asumsi yang digunakan dalam pembelajaran tuntas ini yaitu jika setiap siswa diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan dan jika siswa tersebut menghabiskan 8 9 waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan siswa akan mencapai tingkat penguasaan itu. Maksud utama dari belajar tuntas adalah memungkinkan untuk setiap topik atau pokok bahasan, siswa harus mencapai taraf penguasaan yang ditetapkan, yaitu minimal 75%.Untuk topik atau pokok bahasan dan kegiatan kokurikuler dalam satu semester, harus diperoleh taraf penguasaan minimal 60%.“Besarnya taraf tersebut, dapat diketahui dari penelitian formatif, sub sumatif, sumatif dan kokurikuler” (Suryosubroto, 2002). Apabila hasil penilaian formatif lebih besar atau sama dengan 75% atau rata-rata hasil penilaian sub sumatif, sumatif, dan kokurikuler lebih besar atau sama dengan 69%, dikatakan bahwa siswa telah tuntas di dalam belajarnya. Keberhasilan belajar banyak ditentukan oleh seberapa jauh siswa berusaha untuk mencapai keberhasilan tersebut. Menurut Brown dan Saks (Hernawan, 2008), “usaha belajar siswa itu mempunyai dua dimensi, yakni (1) jumlah waktu yang dihabiskan siswa dalam suatu kegiatan belajar, dan (2) intensitas keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar tersebut. Usaha belajar dan waktu merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan untuk mencapai keberhasilan mengajar”. Carroll (Block dan Burns, 2006), membuat sebuah model yang menyatakan bahwa tingkat penguasaan belajar (degree of learning) ditentukan oleh fungsi atau perbandingan antara jumlah waktu yang sebenarnya digunakan (time actually spent) dalam belajar, dengan waktu yang diperlukan untuk belajar (time needed). Hal tersebut dinyatakan dengan simbol berikut: 9 10 time actually lly spent Degree of learning = f time needed “Dalam Dalam kondisi belajar tertentu, waktu yang digunakan untuk belajar dan waktu yang dibutuhkan untuk menguasai bahan pelajaran tidak saja dipengaruhi oleh sifat individu tetapi juga dari karakteristik pengajaran” pengajaran (Block Block dan Burns, 2006). Dalam pembelajaran konvensional, bakat (aptitude) peserta didik tersebar secara normal. Jika kepada mereka diberikan pembelajaran yang sama dalam jumlah pembelajaran dan waktu yang tersedia untuk belajar, maka hasil belajar yang dicapai akan tersebar secara secar normal pula. Gambar 2.1 Hasil Pembelajaran yang Seragam Sebaliknya, apabila bakat peserta didik tersebar secara normal, norma dan kepada mereka diberi kesempatan belajar yang sama untuk setiap peserta didik, tetapi diberikan perlakuan yang berbeda dalam kualitas pembelajarannya, maka besar kemungkinan bahwa peserta didik yang dapat mencapai penguasaan penguasaan akan bertambah banyak (Sudrajat, (Su 2009). Gambar 2.2 Hasil Pembelajaran yang Optimal 10 11 2. Variabel Strategi Belajar Tuntas Menurut Carroll (Hernawan, 2008) belajar tuntas dipengaruhi beberapa variabel, yaitu: a)bakat(Aptitude): Yaitu jumlah waktu ideal yang dimiliki siswa untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. b) ketekunan(Perseverance): Yaitu jumlah waktu yang benar-benar dipakai siswa untuk belajar. c) kesempatan untuk belajar (Opportunity to learn): Yaitu jumlah waktu yang dialokasikan untuk disediakan. d) kemampuan untuk memahami pembelajaran (Ability to understand instruction). e) kualitas pembelajaran (Quality of instruction). 3. Ciri-Ciri Belajar dengan Prinsip Belajar Tuntas Menurut Suryosubroto (2002) ada enam ciri-ciri belajar dengan prinsip belajar tuntas, sebagai berikut: a. Pengajaran didasarkan atas tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan terlebih dahulu; Hal ini berarti tujuan dan strategi belajar mengajar adalah agar hampir semua siswa dapat mencapai tingkat penguasaan tujuan pendidikan. Jadi, baik cara belajar mengajar maupun alat evaluasi yang digunakan untuk mengatur keberhasilan siswa harus berhubungan erat dengan tujuan-tujuan pendidikan yang akan dicapai. b. Menggunakan satuan pelajaran yang kecil; Dengan prinsip belajar tuntas menuntut pembagian materi pelajaran menjadi unit yang kecil-kecil, untuk memperoleh umpan balik secepat mungkin. Dengan demikian, guru dapat melakukan perbaikan sedini mungkin. c. Menggunakan prinsip siswa belajar aktif: Dengan belajar aktif, memungkinkan siswa dapat mendapat pengetahuan berdasarkan kegiatan yang dilakukan sendiri.Serta mendorong siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan kognitif dan kreativitasnya. 11 12 d. Memperhatikan perbedaan individu dan kebutuhan individu: Maksudnya adalah perbedaan siswa dalam hal bakat, ketekunan, kemampuan, dan lainlain. Sedangkan kebutuhan individu adalah hal-hal yang menyangkut penguasaan materi. e. Evaluasi dilakukan secara kontinu: Evaluasi dilakukan secara kontinu ini agar guru dapat menerima umpan balik dengan cepat. f. Menggunakan program perbaikan dan program pengayaan: Program perbaikan dan program pengayaan adalah sebagai akibat dari penggunakan evalusi yang kontinu. Program perbaikan diberikan kepada siswa yang belum menguasai tujuan pembelajaran khusus (siswa yang belum tuntas). 4. Manfaat Pendekatan Belajar Tuntas (Mastery Learning) Manfaat pendekatan Mastery Learning yang lain dikemukakan oleh Guskey dan Gates (Titikusuma, 2008), “pertama, Mastery Learning memotivasi siswa karena akan membangun rasa percaya diri mereka bahwa semua dari siswa dapat menguasai tujuan pendidikan secara pasti. Lebih lanjut, Mastery Learning menuntut bahwa komunikasi adalah faktor esensi dari tujuan tersebut.Mastery menjadi lebih dari hanya sekedar sesuatu yang biasanya hanya dapat dicapai oleh sedikitsiswa.Kedua, ketika direncanakan dengan baik, mastery membuat belajar dan pembelajaran menjadi lebih efisien.Siswa menjadi tahu bahwa mereka perlu belajar, dan guru tahu bahwa mereka perlu untuk memberi bantuan sesuai dengan yang siswa perlukan. Dengan demikian siswa yang paling lamban pun bisa tetap terangkum dalam bimbingan untuk mengejar yang lain sampai mencapai ketuntasan”. 5. Umpan balik, Koreksi dan Pengayaan Menurut Bloom (Guskey, 2007) Salah satu konsep esensial dari belajar tuntas adalah adanya umpan balik, koreksi, dan pengayaan. 12 13 a. Umpan balik Guru yang menggunakan pendekatan belajar tuntas, memberikan umpan balik kepada siswanya secara kontinu melalui tes formatif. Umpan balik tersebut memperkuat siswa mengenai apa yang harus mereka pelajari dengan lebih baik (Guskey, 2007). Tes formatif tersebut digunakan untuk megidentifikasi tujuan-tujuan mana yang masih belum dikuasai oleh siswa dan tujuan-tujuan mana yang sudah dikuasai oleh siswa.Selain itu hasilnya dapat menginformasikan bagian-bagian penyajian bahan mana yang lemah dan harus diperbaiki (Suryosubroto, 2002). b. Koreksi Koreksi diberikan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar.Untuk membantu setiap siswa supaya belajar dengan baik, oleh karena itu, guru harus membedakan pembelajaran mereka, antara pembelajaran awal dengan kegiatan perbaikan, hal tersebut dikemukakan oleh Bloom(Guskey, 2007). Koreksi ini merupakan layanan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik untuk memperbaiki prestasi belajarnya sehingga mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan. c. Pengayaan Pengayaan diberikan kepada siswa yang telah menguasai konsep lebih awal, kegiatan pengayaan ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperluas pengalaman belajar. Menurut Kunandar (2007) ada dua model bagi siswa yang memerlukan pembelajaran pengayaan.Pertama, siswa yang berkemampuan belajar lebih cepat diberi kesempatan memberikan tambahan 13 14 kepada siswa yang lambat belajar. Kedua, pembelajaran yang memberikan suatu proyek khusus yang dapat dilakukan dengan kurikulum ekstrakurikuler dan dipresentasikan di depan rekan-rekannya. B. PEMBELAJARAN KONVENSIONAL Pada umumnya proses pendidikan dan pengajaran sekolah dewasa ini masih berjalan secara klasikal, dimana seorang guru di dalam kelas menghadapi sejumlah besar siswa (antara 30-40 orang) dalam waktu yang sama menyampaikan bahan pelajaran yang sama pula. Bahkan metodenya pun satu metode yang sama untuk untuk seluruh siswa tersebut. Dalam pengajaran klasikal seperti itu guru beranggapan bahwa seluruh siswa satu kelas itu mempunyai kemampuan, kesiapan, dan kecepatan belajar yang sama. Pengajaran klasikal yang melihat sejumlah siswa dengan pemberian pengajaran yang sama, tentu saja tidak sejalan dengan asas bahwa siswa tersebut secara individual berbeda-beda dalam kemampuan dasarnya, minat, kecepatan, dan lamban belajarnya. Lebih luas lagi jika ada siswa yang berbeda dalam kondisi jasmani seperti ada siswa yang juling matanya, siswa normal, dan bahkan perbedaan kebiasaan seperti pemakaian bahasa, sikap, dorongan belajar, sebagai akibat lingkungan sosial yang berbeda-beda (Suryosubroto, 2002). Perbedaan individual siswa semacam itu perlu mendapat perhatian guru di kelas, apabila mereka mengharapkan agar setiap siswa dapat berhasil, yaitu dapat mengembangkan potensial secara penuh, yang justru sangat diperlukan untuk mendukung kemajuan ekonomi dan teknologi masyarakatnya. 14 15 Sementara itu, pembelajaran konvensional, sifatnya lebih berpusat pada guru sehingga pelaksanaannya kurang memerhatikan keseluruhan situasi belajar (nonbelajar tuntas). Perbedaan antara pembelajaran tuntas dengan pembelajaran konvensional adalah bahwa pembelajaran tuntas dilakukan melalui asas-asas belajar, sedangkan pembelajaran konvensional pada umumnya kurang memerhatikan ketuntasan belajar, khususnya ketuntasan siswa secara individual. Secara kualitatif perbandingan kedua pola tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Perbandingan Karakteristik Pembelajaran Tuntas dan Pembelajaran Konvensional Langkah A. Persiapan B. Pelaksanaan pembelajaran Aspek Pembeda 1. Tingkat ketuntasan Pembelajaran Tuntas Diukur dari performance siswa dalam setiap unit (satuan kompetensi atau kompetensi dasar). Setiap siswa harus mencapai nilai 75 2. Satuan acara Dibuat untuk satu pembelajaminggu ran pembelajaran dan dipakai sebagai pedoman guru dan diberikan kepada siswa 3. Pandangan Kemampuan hampir terhadap sama, namun tetap siswa saat ada variasi memasuki satuan pembelajaran tertentu 4. Bentuk Dilaksanakan pembelajamelalui pendekatan ran dalam klasikal, kelompok, satu unit dan individual 15 Pembelajaran Konvensional Dilakukan dari performance siswa yang dilakukan secara acak Dibuat untuk satu minggu pembelajaran dan hanya dipakai sebagai pedoman guru Kemampuan dianggap sama Dilaksanakan sepenuhnya melalui pendekatan klasikal 16 Langkah Aspek Pembeda kompetensi atau kompetensi dasar 5. Cara pembelajaran dalam setiap standar kompetensi atau kompetensi dasar 6. Orientasi pembelajaran 7. Peranan guru 8. Fokus kegiatan pembelajaran 9. Penentuan keputusan mengenai satuan pembelajaran C. Umpan balik Pembelajaran Tuntas Pembelajaran dilakukan melalui penjelasan guru, membaca secara mandiri dan terkontrol, berdiskusi, dan belajar secara individual Pada terminal performance siswa (kompetensi dasar) secara individual Sebagai pengelola pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa secara individual Ditujukan kepada masing-masing siswa secara individual Ditentukan oleh siswa dengan bantuan guru 10. Instrument umpan balik Menggunakan berbagai jenis serta bentuk tagihan secara berkelanjutan 11. Cara membantu siswa Menggunakan sistem tutor dalam diskusi kelompok dan tutor yang dilakukan secara individual Pembelajaran Konvensional Dilakukan melalui mendengarkan, Tanya jawab, dan membaca (tidak terkontrol) Pada bahan pelajaran Sebagai pengelola pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan seluruh siswa dalam kelas Ditujukan kepada siswa dengan kemampuan menengah Ditentukan sepenuhnya oleh guru Lebih mengandalkan pada penggunaan tes objektif untuk penggalan waktu tertentu Dilakukan oleh guru dalam bentuk Tanya jawab secara klasikal (Kunandar, 2007) 16 17 C. PENGUASAAN KONSEP Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “penguasaan diartikan sebagai memahami dan mampu sekali dalam bidang ilmu pengetahuan dan sebagainya” (Alwi, 2008).“Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat” (Sudijono, 2008).Berdasarkan pengertian tersebut, kita katakan bahwa penguasaan memiliki makna yang serupa dengan pemahaman. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan katakatanya sendiri. Serupa juga dengan yang dikatakan Purwanto (2006) bahwa penguasaan konsep merupakan tingkat kemampuan yang mengharapkan siswa mampu menguasai/memahami arti atau konsep, situasi dan fakta yang diketahui, serta dapat menjelaskan dengan menggunakan kata-kata sendiri sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya dengan tidak mengubah artinya. Belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan.Konsep-konsep merupakan batu-batu pembangun (building block) berpikir. Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi. Untuk memecahkan masalah, seorang siswa harus mengetahui aturan-aturan relevan, dan aturan-aturan ini di dasarkan pada konsep-konsep yang diperolehnya. Menurut Rosser (Dahar, 1989) “konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama”. Karena konsep 17 18 itu adalah abstraksi-abstraksi yang berdasarkan pengalaman-pengalaman, dan karena tidak ada dua orang yang mempunyai pengalaman yang persis sama, maka konsep yang dibentuk orang mungkin berbeda juga. Menurut kemampuan Dahar siswa (Fitriana, dalam 2010) memahami Penguasaan konsep-konsep konsep setelah merupakan kegiatan pembelajaran. Penguasaan konsep dapat diartikan sebagai kemampuan siswa dalam memahami makna secara ilmiah, baik konsep secara teori maupun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. “Konsep, prinsip, struktur pengetahuan (termasuk taksonomi dan hierarkinya) dan pemecahan masalah merupakan hasil belajar yang penting dalam ranah kognitif” (Rustaman et al, 2003). Dengan demikian penguasaan konsep merupakan bagian dari hasil belajar pada ranah kognitif. Secara garis besar, domain kognitif tersebut meliputi jenjang C1-C6.Taksonomi Bloom yang dipakai saat ini untuk mengukur hasil belajar kognitif telah mengalami revisi. Jumlah dan jenis proses kognitif yang terdapat pada taksonomi lama sama dengan yang terdapat pada taksonomi revisi. Namun pada taksonomi yang baru jenjang C5 dan C6 mengalami perubahan (Widodo, 2006). Kemampuan kognitif taksonomi Bloom yang direvisi adalah sebagai berikut: 1. Menghafal (Remember) Menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memorijangka panjang. Kategori inimencakup dua macam proses kognitif: mengenali (recognizing) dan mengingat (recalling). 18 19 2. Memahami (Understand) Mengkonstruk makna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, mengaitkan informasi yang baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki, atau mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang telah ada dalam pemikiran siswa. Kategori memahami mencakup tujuh proses kognitif: menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining). 3. Mengaplikasikan (Applying) Mencakup penggunaan suatu prosedur guna menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif: menjalankan (executing) dan mengimplementasikan (implementing). 4. Menganalisis (Analyzing) menguraikan suatu permasalahan atau obyek ke unsurunsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar unsur-unsur tersebut dan struktur besarnya. Ada tiga macam proses kognitif yang tercakup dalam menganalisis: membedakan (differentiating), mengorganisir (organizing), dan menemukan pesan tersirat (attributting). 5. Mengevaluasi Membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada. Ada dua macam proses kognitif yang tercakup dalam kategori ini: memeriksa (checking) dan mengkritik (critiquing). 19 20 6. Membuat (create) Menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong dalam kategori ini, yaitu: membuat (generating), merencanakan (planning), dan memproduksi (producing). D. TINGKAT PENCAPAIAN KONSEP Klausmeir (Dahar, 1989) menghipotesiskan, “bahwa ada empat tingkat pencapaian konsep”. Tingkat-tingkat tersebut muncul dalam urutan yang invariant.Keempat tingkat pencapaian konsep tersebut adalah: 1. Tingkat konkret.Kita dapat menyimpulkan, bahwa seseorang telah mencapai pada tingkat konkret, apabila orang itu mengenal suatu benda yang telah dihadapinya sebelumnya. 2. Tingkat identitas. Pada tingkat identitas, seseorang akan mengenal suatu objek (a) sesudah selang suatu waktu, (b) bila orang itu mempunyai orientasi ruang (spatial orientation) yang berbeda terhadap objek itu, atau (c) bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indera (sense modality) yang berbeda. 3. Tingkat klasifikatori (clasificatory). Pada tingkat klasifikatori, siswa mengenal persamaan (equivalence) dari dua contoh yang berbeda dari kelas yang sama. Walaupun siswa itu tidak dapat menentukan kriteria atribut maupun menentukan kata yang dapat mewakili konsep itu, ia dapat mengklasifikasikan contoh-contoh dan noncontoh dari konsep, sekalipun contoh-contoh dan noncontoh itu mempunyai banyak atribut yang mirip. 4. Tingkat formal. Untuk pencapaian konsep pada tingkat formal, siswa harus dapat menentukan atribut-atribut yang membatasi konsep. Kita dapat 20 21 menyimpulkan bahwa siswa telah mencapai suatu konsep pada tingkat formal, bila siswa itu dapat memberi nama konsep itu, mendefinisikan konsep itu dalam atribut-atribut kriterianya, mendreskriminasi dan memberi nama atribut-atribut yang membatasi, dan mengevaluasi atau memberikan secara verbal contoh-contoh dan noncontoh dari konsep. E. EKOSISTEM Materi ekosistem merupakan salah satu materi biologi yang terdapat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dibuat oleh masing-masing satuan pendidikian.“Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan” (Kunandar, 2008).KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Berdasarkan Standar Isi (SI) konsep ekosistem di SMP mempunyai Standar Kompetensi : “7. Memahami saling ketergantungan dalam ekosistem“. Dan Kompetensi Dasarnya adalah: “7.1 Menentukan ekosistem dan saling hubungan antara komponen ekosistem”. (BNSP:2006) Dari Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) tersebut, siswa dituntut untuk memahami saling ketergantungan dalam ekosistem, dan pada Kompetensi Dasar yang pertama siswa mampu menentukan ekosistem, yang artinya siswa dituntut mampu menentukan komponen-komponen penyususn ekosistem, selain itu juga siswa diharapkan mampu memahami saling hubungan 21 22 antara komponen ekosistem. Hubungan tersebut menunjukan adanya saling interaksi antar makhluk hidup atau antar organisme. Makhluk hidup dengan lingkungan merupakan satu kesatuan fungsional yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem. Ekosistem tersusun dari komponen biotik (berbagai makhluk hidup) dan komponen abiotik (makhluk tak hidup). Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik komponen biotik dan abiotik dalam ekosistem disebut ekologi. Dalam suatu ekosistem, hubungan antakomponen berlangsung sangat erat dan saling mempengaruhi (Wasis, et al, 2008). Pengertian ekosistem adalah kesatuan antara komunitas dengan lingkungan abiotiknya. Berdasarkan cara terjadinya, ada ekosistem alami dan ekosistem buatan. Tingkatan organisme dalam ekosistem adalah individu, populasi, komunitas, ekosistem dan biosfer.Tempat hidup yang paling sesuai dengan kebutuhan hidup organisme adalah habitat. Ekosistem tersusun atas komponen biotik dan abiotik. Berdasarkan peranannya, komponen biotik dapat dibedakan menjadi produsen, konsumen, dan pengurai. Komponen abiotik meliputi cahaya, angin, air, suhu, tanah, dan kelembaban udara, di dalam ekosistem terdapat organisme autotrof dan heterotrof. Organisme autotrof adalah organisme yang mampu membentuk zat organik melalui proses fotosintesis atau kemosintesis, contohnya tumbuhan hijau, ganggang, dan lumut. Organisme heterotrof ialah organisme yang tidak mampu membentuk zat organik dari zat anorganik, sehingga tergantung pada organisme autotrof. Contohnya herbivora, 22 23 karnivora, omnivora, detritivor dan pemakan bangkai (scavenger) (Winarsih et al, 2008). Subkonsep yang akan di bahas adalah mengenai hubungan timbal balik antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya,baik itu antar komponen biotik-abiotik maupun antar komponen biotik-biotik. Hubungan antar komponen biotik-biotik dapat berupa saling ketergangtungan interspesies dan antarspesies. Dimana menurut Campbell et al (2004) interaksi antarspesies yaitu interaksi yang terjadi antara populasi-populasi spesies yang berbeda yang hidup bersama-sama di dalam suatu komunitas. Interaksi tersebut adalah: 1. Predasi (Pemangsa) Interaksi populasi yang paling jelas terlihat adalah melibatkan pemangsaan (predasi), dimana seekor pemangsa (predator) memakan mangsanya. 2. Parasitisme Dalam parasitisme, satu organisme parasit mendapatkan makananya dari organisme lain (inangnya) yang tersakiti atau paling tidak kehilangan sebagian energi atau materi dalam proses tersebut. 3. Kompetisi Ketika populasi dua atau lebih spesies dalam suatu komunitas mengandalkan sumber daya alam yang terbatas dan yang sama, mereka bisa rentan terhadap kompetisi (persaingan) antarspesies. 23 24 4. Komensalisme Dalam komensalisme, suatu pihak diuntungkan tanpa mempengaruhi secara signifikan pihak yang lainnya. Komensalisme sesungguhnya hanya menguntungkan salah satu spesies yang terlibat. 5. Mutualisme Dalam mutualisme, kedua belah pihak saling diuntungkan dari hubungan hidup bersama itu. Dalam interaksi antarspesies dalam komunitas. Campbell (2004) menggolongkan parasitisme ke dalam pemangsaan, karena keduanya adalah interaksi +/- dimana suatu organisme umunya memakan organisme lain. Kompetisi antarspesies adalah interaksi -/-, sedangkan komensalisme dan mutualisme secara berturut-turut adalah interaksi +/0 dan +/+, selengkapnya dapat di lihat pada Tabel berikut ini: Tabel 2.2 Interaksi antarspesies INTERAKSI PENGARUH PADA KEPADATAN POPULASI • Predasi/Pemangsaan (+/-) • termasuk parasitisme • Kompetisi (-/-) • Interaksi spesies. • Komensalisme • Satu spesies diuntungkan dari interaksi itu, akan tetapi spesies yang lainnya tidak terpengaruh. • Mutualisme (+/+) • Interaksi itu menguntungkan bagi kedua spesies. Interaksi itu menguntungkan bagi satu spesies dan merugikan bagi spesies yang lain. Sumber: Campbell et al (2004) 24 itu merugikan bagi kedua 25 Kemudian Campbell et al (2004) mendefinisikan simbiosis adalah suatu istilah yang mencangkup interaksi yang beraneka ragam dimana dua spesies, inang dan simbionnya mempertahankan suatu persekutuan yang dekat.Terdapat tiga jenis umum interaksi simbiotik yaitu, parasitisme, komensalisme dan mutualisme. Pada konsep aksi interaksi pemilihan strategi yang tepat adalah dengan menggunakan pendekatanbelajar tuntas. Proses pembelajaran berlangsung alami dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru sehingga hasil belajar berupa aspek kognitif seperti kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sikap dan perilaku diharapkan lebih bermakna bagi siswa karena mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitarnya. Dalam kegiatan pembelajaran pada konsep aksi interaksi dengan prinsip belajar tuntas menuntut untuk menggunakan berbagai sumber belajar seperti lingkungan alam sekitar sekolah ataupun dengan menggunakan media yang disediakan. Untuk itu harus dipilih sumber-sumber belajar yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan isi pengajaran yang telah dituangkan dalam Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), sehingga dapat mempertinggi proses belajar mengajar. F. PENELITIAN YANG RELEVAN Penelitian yang dilakukan terkait dengan pendekatan belajar tuntas, penelitian tersebut menunjukan hasil yang signifikan, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Tony (2009), menunjukan dengan penerapan pembelajaran melalui 25 26 pendekatan belajar tuntas terjadi peningkatan hasil belajar siswa sebagai berikut: (1) keaktifan belajar siswa tinggi 76,92% (2) pemahaman materi ajar sebesar 87,18%, (3) kemandirian belajar siswa mencapai 79,49%. 26