MODUL PERKULIAHAN PENDIDIKAN PANCASILA BAB 10 - PANCASILA DALAM PARADIGMA KEHIDUPAN Off Line Fakultas Program Studi /Kuliah 12 A Abstract Kode MK Disusun Oleh 90037 Rina Kurniawati, SHI, MH Kompetensi Anda akan mempelajari mengenai Agar mahasiswa dapat memahami Pancasila sebagai paradigma pengertian kehidupan bermasyarakat berbangsa sebagai paradigma pembangunan dan bernegara. dalam berbagai kehidupan tentang Pancasila BAB 11 PANCASILA DALAM PARADIGMA KEHIDUPAN Kompetensi (Kemampuan Akhir Yang Diharapkan) Setelah mempelajari Bab ini mahasiswa dapat memahami Pancasila sebagai paradigma kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Deskripsi Dalam Bab ini Anda akan mempelajari pengertian tentang Pancasila sebagai paradigma pembangunan dalam berbagai kehidupan 1. PENDAHULUAN Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka pikir untuk melihat suatu permasalahan. Pengertian paradigma berkembang dari definisi paradigma pengetahuan yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam rangka menjelaskan cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam. Paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk ‘masyarakat ilmiah’ dalam disiplin tertentu. Robert Winslow menambahkan pengertian paradigma ilmiah sebagai gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subyek kajian. Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan normal (normal science) yang mendasari pembentukan kerangka teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah. George Ritzer memberikan pengertian paradigma sebagai gambaran fundamental mengenai subyek ilmu pengetahuan. Paradigma memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh. Paradigma ialah unit konsensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai untuk melakukan pemilahan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat) yang satu dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Paradigma membantu para ilmuwan dan teoritisi intelektual untuk memandu, mengintegrasikan dan menafsirkan karya mereka agar terhindar dari penciptaan informasi yang acak dan tidak beraturan. 2015 2 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Menurut Kuhn, tidak ada sejarah kehidupan yang dapat diinterpretasikan tanpa sekurangkurangnya beberapa bentuk teori dan keyakinan metodologik implisit yang berkaitan satu sama lain yang memungkinkan untuk melakukan seleksi, evaluasi dan bersikap kritis. Meskipun terlihat terlalu bernuansa akademis, sebenarnya paradigma tidak menjadi bahan kaji atau dominasi para kaum intelektual untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, paradigma juga mungkin diterapkan pada ranah-ranah kehidupan sosial yang lain. Sebenarnya Kuhn mendapatkan gagasannya mengenai paradigma tersebut dari dunia sejarah dan sastra yang kemudian diterapkannya ke dalam domain ilmu-ilmu alam yang pada waktu itu dianggap sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah. Sedangkan cabang ilmu pengetahuan yang sekarang telah dianggap sebagai ilmu, dulunya hanya dianggap sebagai seni saja misalnya sejarah, sastra, dan politik. 2. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN Untuk mencapai tujuan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, Indonesia melaksanakan pembangunan nasional. Hal ini sebagai perwujudan praksis dalam meningkatkan harkat dan martabatnya. Secara filosofis hakekat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakekat nilai-nilai pada sila-sila Pancasila. Hal ini sesuai dengan kenyataan obyektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila Pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan. Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakekat manusia. Hakekat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain: a) susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga b) sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial c) kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan. Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas. Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik,ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. 2015 3 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 3. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN POLITIK Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subyek atau pelaku politik bukan sekadar obyek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subyek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai Pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila keempat Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada Pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral. Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik : Penerapan budaya, dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari; Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan; Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan; Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab. Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi ke dalam perwujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah : 1) Nilai toleransi; 2) Nilai transparansi hukum dan kelembagaan; 3) Nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata); 2015 4 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 4) Bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3) Dapat disimpulkan bahwa pengembangan politik negara terutama dalam proses reformasi dewasa ini harus mendasarkan pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila, sehingga praktek-praktek yang menghalalkan segala cara dengan memfitnah, memprovokasi, menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadu domba harus segera diakhiri. 4. PANCASILA SEBAGAI PEMBANGUNAN EKONOMI Sesuai dengan paradigma Pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada Pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila kesatu Pancasila) dan kemanusiaan ( sila kedua Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dan humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakekat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk Tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar Pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subyek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar Pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilainilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian sub judul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila. Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesar-besarnya kemakmuran/kesejahteraan rakyat yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan 2015 5 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum. 5. PANCASILA SEBAGAI PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA Dalam pembangunan pengembangan aspek sosial budaya hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Pancasila juga merupakan sumber normatif bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya. Pancasila pada hakekatnya bersifat humanistik karena memang Pancasila bertolak dari hakekat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusiamanusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasarkan sila Persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam 2015 6 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan pemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga). Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncakpuncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di daerah: (1) Sila Pertama, menunjukkan tidak satupun suku bangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warga negara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya; (3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat; (4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan; (5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 6. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN HUKUM Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung 2015 7 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu: (1) Adanya perlindungan terhadap HAM, (2) Adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan (3) Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar. Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukkan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Hukum tertulis seperti UUD termasuk perubahannya, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila - sila Pancasila dasar negara). Dalam kaitannya dengan “Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum”, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 2015 8 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat). Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasan yang bernuansa agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merepresentasikan umat muslim. Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut : 1) Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas; 2) Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip : (a) Bertetangga yang baik; (b) Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; (c) Membela mereka yang teraniaya; (d) Saling menasehati; (e) Menghormati kebebasan beragama. Lima prinsip tersebut mengisyaratkan : 1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama; 2) Pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama. 2015 9 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kestabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi. Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerukunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat. Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horisontal dan dialog vertikal. Dialog horisontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen. Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berakal budi, yang kreatif, yang berbudaya. 7. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN IPTEK Pembangunan nasional adalah upaya bangsa untuk mencapai tujuan nasionalnya sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Pada hakekatnya Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung arti bahwa segala aspek pembangunan harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Pembangunan nasional adalah untuk manusia Indonesia, di mana manusia secara kodratnya memiliki kedudukan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia tidak hanya mengejar kepentingan pribadi, tetapi juga memperhatikan kepentingan masyarakat. Manusia tidak hanya mengutamakan tercapainya kebutuhan material, tetapi juga kebahagiaan spritual. Manusia memiliki fungsi monodualistis tidak hanya mengejar kepentingan dunia, tetapi mendapatkan kebahagiaan di akherat kelak. Oleh karena itu, pembangunan nasional hendaklah mewujudkan tujuan tersebut. Keberhasilan manusia mencapai tujuan dan hakekat hidupnya untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, maka manusia menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sebagai usaha kreativitas manusia melalui proses akal dan pikirannya. Berdasarkan kreativitas akal dan pikiran manusia dalam mengembangkan Iptek manusia mampu mengolah kekayaan alam yang disediakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kepentingan kesejahteraan manusia. Fungsi Iptek hanyalah sebagai pengolah kekayaan 2015 10 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id yang merupakan milik Tuhan Yang Maha Kuasa itu untuk kepentingan kesejahteraan manusia, maka oleh karena itu usaha-usaha Iptek harus mengikuti nilai-nilai dan moral Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pancasila merupakan satu kesatuan dari sila-silanya harus merupakan sumber nilai, kerangka berpikir serta moralitas bagi pembangunan Iptek. Apabila kita melihat sila-sila demi sila menunjukkan sistem etika dalam pembanguan Iptek (Kaelan 2000), yaitu sebagai berikut. 1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengimplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta, perimbangan antara rasional, antara akal rasa, dan kehendak. Berdasarkan sila pertama ini Iptek tidak memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan, dan diciptakan, tetapi juga mempertimbangkan maksud dan akibatnya kepada kerugian dan keuntungan manusia dan sekitarnya. Pengolahan diimbangi dengan pelestarian. Sila pertama menempatkan manusia di alam semesta bukan sebagai sentral melainkan sebagai bagian yang sistematika dari alam yang diolahnya. 2) Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan Iptek haruslah secara beradab. Iptek adalah bagian dari proses budaya manusia yang beradab dan bermoral. Oleh karena itu, pembangunan Iptek harus berdasarkan kepada usaha-usaha mencapai kesejahteraan umat manusia. Iptek harus dapat diabadikan untk peningkatan harkat dan martabat manusia, bukan menjadikan manusia sebagai makhluk yang angkuh dan sombong akibat dari penggunaan Iptek. 3) Sila Persatuan Indonesia, memberikan kesadaran kepada bangsa Indonesia bahwa rasa nasionalisme bangsa Indonesia akibat dari sumbangan Iptek, dengan Iptek persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud dan terpelihara, persaudaraan dan persahabatan antar daerah di berbagai daerah terjalin karena tidak lepas dari faktor kemajuan Iptek. Oleh karena itu, Iptek harus dikembangkan untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan selanjutnya dapat dikembangkan dalam hubungan manusia Indonesia dengan masyarakat internasional. 4) Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan , prinsip demokrasi sebagai jiwa sila keempat ini dapat mendasari pemikiran manusia secara bebas untuk mengkaji dan mengembangkan Iptek. Seorang ilmuwan harus pula memiliki sikap menghormati terhadap hasil pemikiran orang lain dan terbuka, dikritik dan dikaji ulang hasil dari pemikirannya. Penemuan Iptek yang telah teruji kebenarannya harus dapat dipersembahkan kepada kepentingan rakyat banyak. 5) Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kemajuan Iptek harus dapat menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan, yaitu keseimbangan hubungan 2015 11 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id antara manusia dengan sesamanya, hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya, hubungan manusia dengan lingkungan di mana mereka berada. 8. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PENGEMBANGAN HANKAM Ketahanan nasional, pembangunan nasional tak terlepas dari ketahanan nasional, yaitu perwujudan cita-cita bangsa dalam tingkat ketahanan nasional yang terjabar sebagai berikut: 1) Nilai-nilai fundamental yang menyangkut pribadi waga negara, yaitu pengembangan pribadi dalam matra horisontal dan vertikal, pertumbuhan sosial ekonomi, keanekaragaman, dan persamaan derajat; 2) Nilai-nilai fundamental yang menyangkut sistem/struktur kehidupan masyarakat, yaitu pemerataan kesejahteraan, solidaritas masyarakat kemandirian, dan partisipasi seluruh masyarakat; 3) Nilai-nilai fundamental yang menyangkut interaksi antara pribadi-pribadi warga negara dan sistem/struktur kehidupan masyarakat, yaitu keadilan sosial, keamanan/stabilitas, dan keseimbangan lingkungan. Kondisi keamanan yang stabil sangat mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, dan sebaliknya keberhasilan pembangunan nasional juga harus dapat menunjang terciptanya kondisi keamanan yang stabil. Hasil pembangunan yang tidak adil dan merata dapat menimbulkan kesenjangan yang akhirnya akan berpengaruh terhadap stabilitas pertahanan keamanan negara. Oleh karena itu, sangat diharapkan keseimbangan dan keserasian dalam kehidupan nasional. 2015 12 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sehingga menghasilkan Daftar Pustaka Hamidy R. 2011. Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer, AMIKOM. Iriyanto, Ws, 2009, Bahan Kuliah Filsafat Ilmu, Pasca Sarjana, Semarang Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna (Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan dan Keamanan, :http://www.harypr.com/PSP UGM dan Yayasan TIFA, Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Soekarno tentang Pancasila, Edisi ke 1, Cetakan ke 1, Aditya Media bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila (PSP), Yogyakarta dan Yayasan TIFA Jakarta Syarbaini, Syahrial, 2012, Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa) di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia, Bogor. Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi 2015 13 Pancasila Rina Kurniawati, SHI, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id