EMI SETYANINGSIH “No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” John Gardner Sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai dasar filsafat Negara, nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup yaitu berupa nilai-nilai adat istiadat kebudayaan serta sebagai kausa materialis Pancasila. Dalam pengertian inilah maka antara Pancasila dengan Bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan sehingga Pancasila sebagai Jati Diri Bangsa. Setelah bangsa Indonesia mendirikan Negara Republik Indonesia maka Pancasila disahkan menjadi dasar Negara. Sebagai suatu bangsa dan Negara, Indonesia memiliki cita-cita yang dianggap paling sesuai dan benar sehingga segala cita-cita, gagasan-gagasan, ide-ide tertuang dalam Pancansila. Maka dalam pengertian inilah Pancasila menjadi ideologi bangsa. Filsafat harus dipahami sebagai proses pemikiran dan sebagai produk pemikiran. Sebagai proses, filsafat adalah kerangka berpikir yang menggunakan sistematika kefilsafatan, dari hasil proses berpikir itulah lalu menjadi produk pemikiran yang seiring dengan zaman menjadi suatu pandangan hidup bagi sebuah komunitas. Munculnya filsafat sebagai pandangan hidup terkait dengan upaya sekelompok orang yang merespon dan menjawab permasalahan pokok kehidupan manusia. Permasalahan itu mencakup (Slamet Sutrisno, 2006: 20): Hakikat hidup manusia Hakikat kerja atau karya Hakikat ruang dan waktu Hakikat hubungan manusia dengan alam Hakikat hubungan manusia dengan manusia lainnya Oleh karena varian atau perbedaan cara hidup bangsa- bangsa tidak hanya berkenaan dengan “bagaimana” menjawab permasalahan pokok-pokok tersebut, tetapi menyangkut persepsi tentang “apa” permasalahannya. Sumber persepsi ‘apa’ itu permasalahan pokok hidup manusia adalah keyakinan dasar, yang memberikan manusia konsep fundamental sekaligus merupakan idealisasi kehidupan, suatu cita-cita bangsa yang bersangkutan. Sumber dan idealisasi tersebut terangkum dalam sistem nilai yang bersifat dasar, yang terekspresikan ke dalam budaya masyarakat bangsa tersebut. Perangkat konseptual keyakinan dasar yang dimiliki manusia, masyarakat, bangsa disadari atau tidak, itulah yang disebut pandangan hidup. Ia merupakan suatu pandangan menyeluruh mengenai hakikat, asal, nilai, tujuan dan arti dunia seisinya, khususnya mengenai manusia dan kehidupannya, suatu pandangan yang mempengaruhi kehidupan seharihari (Slamet Sutrisno, 2006: 20). Pandangan hidup terdiri atas kesatuan rangakaian nilai-nilai luhur, adalah wawasan menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup berfungsi sebagai acuan, baik untuk menata diri pribadi maupun menata hubungan antara manusia, masyarakat dan alam sekitar. Pandangan hidup tersebut merupakan landasan serta dasar untuk membentuk berbagai lembaga yang penting bagi kehidupannya (Slamet Sutrisno, 2006: 21) Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan kenyataan objektif yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam pengertian inilah maka diistilahkan bahwa bangsa Indonesia sebagai kausa materialis dari Pancasila. Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu masyarakat, suatu bangsa senantiasa mempunyai suatu pandangan hidup atau filsafat hidup masing-masing yang berbeda dengan bangsa lain. Di antara pandangan hidup bangsa Indonesia adalah menempatkan Tuhan atau yang adi kodrati sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup manusia Indonesia. Berbagai ragam keyakinan hidup berdampingan dan tidak menjadi hambatan dalam berhubungan dengan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa manusia Indonesia betul-betul menjaga hidup dalam keharmonisan. Pandangan hidup yang menempatkan Tuhan atau yang adi kodrati sebagai kutub yang penting dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia menandakan nilai-nilai ketuhanan menjadi ‘pemandu’ dalam menjalani kehidupan (Kaelan, 2002: 48) Demikian pula pada level kemanusiaan, pengakuan atas sifat kodrat manusia sebagai individu dan sosial telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Zaman Sriwijaya telah mengakui bahwa di dunia terdapat bangsa lain yang sederajat, hal ini dibuktikan dalam kitab Iching, yakni bekerjasama dengan bangsa lain seperti Cina, Birma di Universitas Nalanda. Filsafat hidup bangsa memandang manusia sebagaimana ia manusia, bukan sebagai lainnya. Pandangan filosofis inilah yang bisa menjadi modal dasar untuk bisa berhubungan dengan yang lain, the others, meskipun berbeda dari sisi etnis, budaya bahka agama. Cita-cita dan kesatuan tercermin dalam berbagai ungkapan dalam bahasa-bahasa daerah di seluruh nusantara sebagai budaya bangsa, seperti pengertian-pengertian atau ungkapan-ungkapan ‘tanah air’ sebagai ekspresi pengertian persatuan antara tanah dan air, kesatuan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau, lautan dan udara. bhineka tunggal ika, yang mengungkapkan cita-cita persatuan dan kesatuan ini dalam sejarah bangsa Indonesia juga terungkap bahwa sejarah mencatat adanya kerajaan yang dapat dikelompokkan bersifat nasional, yakni Sriwijaya dan Majapahit Sementara semangat ‘gotong royong’, ‘siadapari’, ‘masohi’, ‘sambatan’, ‘gugur gunung’, dan sebagainya mengungkapkan cita-cita kerakyatan, kebersamaan dan solidaritas social. pengambilan keputusan selalu berdasarkan musyawarah mufakat, seperti yang dilakukan dalam rembug desa, karaptan nagari, kuria, wanua, banua, nua . Berdasarkan semangat gotong royong dan asas kekeluargaan negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar atau bagian yang terkuat dalam masyarakat, baik politik, ekonomis, maupun social kultural Selanjutnya, hubungan antara hak, kewajiban serta kedudukan yang seimbang itu merupakan cita-cita keadilan social. Ide tentang keadilan social ini bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Citacita akan masyarakat yang gemah ripa loh jinawi tata tentrem karta raharja, serta ajaran messianime yang menyatakan bahwa masyarakat adil dan makmur akan terwujud dengan datangnya Ratu Adil, dapat membuktikan adanya cita-cita keadilan social tersebut Istilah ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita’, dan ‘logos’ berarti ilmu. Maka secara etimologis ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide, atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari, ‘idea’ disamakan dengan citacita yang bersifat tetap, yang harus dicapai. Sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus menjadi dasar, pandangan atau paham. Secara umum, ideologi adalah kumpulan gagasangagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan, kepercayaankepercayaan yang menyeluruh dan sistematis yang mengatur tingkah laku sekelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam bidang polik, sosial, kebudayaan bahkan keagamaan Filsafat sebagai pandangan hidup pada hakikatnya merupakan sistem nilai yang secara epistemologis kebenarannya telah diyakini sehingga dijadikan dasar atau pedoman bagi manusia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan Negara, tentang makna hidup serta sebagai dasar dan pedoman bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Filsafat dalam pengertian yang demikian telah menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinankeyakinan yang menyangkut praxis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya. Hal ini berarti filsafat telah beralih dan menjelma menjadi ideologi (Roeslan Abdulgani, 1986 Ideologi dapat pula dikatakan konsep operasional dari suatu pandangan atau filsafat hidup yang merupakan norma ideal yang melandasi ideologi. Terdapat dua tipe ideologi : Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain. Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masingmasing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve. Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter. Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan normanorma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar Pancasila namun mengeksplisitkan wawasannya secara kongkrit, sehingga mempunyai kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah yang baru dan aktual. Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai- nilai yang mendasar yang bersifat tetap dan tidak berubah, dan tidak langsung bersifat operasional, oleh karena itu setiap kali harus dieksplisitikan. Eksplisitasi dilakukan dengan menghadapkannya pada berbagai masalah yang selalu silih berganti melalui refleksi yang rasional akan terungkap makna operasionalnya. Dengan demikian penjabaran ideologi dilaksanakan dengan interpretasi yang kritis dan rasional. Sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka maka Pancasila mempunyai dimensi sebagai berikut : Dimensi realita : nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut secara riil berakar dan hidup dalam masyarakat. Dimensi idealisme: ideologi tersebut memberikan harapan tentang masa depan yang lebih baik. Dimensi fleksibilitas : ideologi tersebut memiliki keluwesan yang memungkinkan pengembangan pemikiran. Berdasarkan tiga hal di atas, maka ideologi Pancasila yang bersifat terbuka itu tidaklah bersifat utopis, artinya Pancasila bukanlahlah idea gagasan semata yang tidak berimplikasi pada level praksis. Ideologi Pancasila juga bukan bersifat dogmatis semata, karena doktrin hanya mengacu pada ketertutupan diri yang bersifat normative. Pancasila juga bukan ideologi yang bersifat pragmatis belaka tanpa idealitas. Maka hakikat keterbukaan ideologi Pancasila adalah nilainilai dasar Pancasila yang bersifat tetap namun pada tingkat penjabaran dan operasionalnya senantisa dieksplesitkan secara terbuka, dinamis dan sesuai dengan zaman. TERIMA KASIH