Konsep CSR - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Bisnis dan
Masyarakat
Konsep CSR dan Triple Bottom
Line
Fakultas
Program Studi
Program
Pascasarjana
Magister
Akuntansi
Tatap Muka
Kode MK
Disusun Oleh
01
A11531EL
Dr. Hermiyetti
Abstrak
(T-201)
Kompetensi
Memahami Triple Bottom Line
sebuah perusahaan ingin
mempertahankan kelangsungan
hidupnya, maka perusahaan tersebut
harus memperhatikan “3P
Konsep CSR
Konsep CSR
KDewasa ini, isu mengenai pertanggungjawaban sosial sebuah perusahaan atau lebih dikenal dengan
istilah CSR telah marak diperbincangkan di kalangan publik serta bisnis. Penggalakan CSR oleh
perusahaan dipandang sebagai sebuah indikator kematangan dan kinerja yang baik dari perusahaan
yang menyelenggarakannya.
Namun, layaknya sebuah cahaya yang menerangi sebuah tempat, CSR tetap menimbulkan
bayangan gelap yang menyelimuti tempat-tempat tersebut sebagai dampak negatif dari
keberadaan trend penggalakan CSR oleh banyak perusahaan. Lalu, apakah sebenarnya
fondasi dasar dari pelaksanaan CSR di kalangan perusahaan? Kenapa kegiatan CSR
dipandang perlu dilakukan? Kita akan bahas secara singkat di bawah ini ;
Tanggung jawab sosial (TJSL) perusahaan (Corporate Social Responsibility-CSR) adalah
suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan
tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana
perusahaan itu berada. CSR atau TJSL sebagai suatu konsep, berkembang pesat sejak 1980 an
hingga 1990 an sebagai reaksi dan suara keprihatinan dari organisasi-organisasi masyarakat
sipil dan jaringan tingkat global untuk meningkatkan perilaku etis, fairness dan
responsibilitas korporasi yang tidak hanya terbatas pada korporasi, tetapi juga pada
para stakeholder dan komunitas atau masyarakat sekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR
harus melibatkan seluruh stakeholder secara aktif dalam kegiatan CSR. Bahwa harus ada
keseimbangan antara kegiatan bisnis dan nilai-nilai bisnis dan harus beyond filantrophy.
CSR bukan untuk menolong pihak yang lebih lemah tetapi merupakan strategi bisnis
perusahaan. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan
yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era
dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting
daripada sekedar profitability. Kalangan bisnis telah menyuarakan penolakan dimasukkannya
pasal tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam undang-undang PT yang baru.
Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) dipopulerkan oleh Jhon Elkington,
(1997)melalui bukunya “Cannibal with Forks, the Tripple Bottom Line of Twentieth Century
Business”. Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line dalam istilah economic
prosperity, environmental quality dan social justice. Definisi dari CSR, pertama dalam
Pemerintah Inggris, dikatakan ”Voluntary action that bussines can take over and above
compliance with minimum requirement,”.Inti dari CSR adalah dijalankan beyond compliance
2016
2
Bisnis dan masyarakat
Dr. Hermiyetti
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
to law (melampui kepatuhan terhadap hukum). Melalui buku tersebut, Elkington memberi
pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan, haruslah memperhatikan “3P”.
Selain mengejar profit, perusahaan juga mesti memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan
kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkonstribusi aktif dalam menjaga kelestarian
lingkungan (planet).
Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi diharapkan pada tanggung jawab yang
berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam
kondisi financial-nya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya.
Perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak hanya pada single
bottle lines yaitu, nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi
keuangannya (financial) saja, tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple
bottom lines, yaitu berupa: finansial, sosial dan lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak
cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (sustainable
development). Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila korporasi juga turut
memperhatikan demensi sosial dan lingkungan hidup. Konsep CSR tampaknya dapat
memberikan suatu perubahan yang baru dalam dunia bisnis, namun tidak sedikit pendapat
yang meragukannya. Banyak orang berpendapat bahwa sebuah perusahaan yang kini telah
meninggalkan konsep one line reporting dan mulai menggunakan tripple line reposrtingharus
diwaspadai dengan ketat karena CSR pada saat itu merupakan suatu trend yang mungkin saja
diikuti perusahaan hanya untuk meningkatkan daya saingnya. CSR dipandang hanyalah dalih
perusahaan untuk menunjukkan citra baik ke publik sehingga beberapa tindakan kotor dalam
perusahaan dapat tertutupi oleh kegiatan CSR. Namun, terlepas dari upaya pencitraan melalui
CSR, perusahaan memang seharusnya tetap giat menyelenggarakan kegiatan CSR sebagai
langkah pastinya dalam bertanggungjawab atas keuntungan yang ia dapatkan dari lingkungan
sosialnya. Pelaksanaan CSR yang baik dan tulus dari perusahaan akan tentunya dapat
menciptakan suatu perkembangan yang terus-menerus bagi perusahaan dan tentunya tidak
merugikan pihak sosial di sekitar perusahaan tersebut.
Skema pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi, yang menjadikan sektor
pertanian (pedesaan) menjadi penopang industrialisasi ternyata tidak bisa diharapkan dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada satu sisi masyarakat desa harus
menerima kenyataan dimana laju perkembangan industri berlangsung melalui pengorbanan
sektor pertanian dan di sisi lain sumber-sumber agraria telah mengalami pengurasan besarbesaran dan mengalami penurunan kapasitas untuk melakukan pemulihan.
2016
3
Bisnis dan masyarakat
Dr. Hermiyetti
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kehidupan rakyat pedesaan tidak menjadi baik bahkan sebaliknya, kemiskinan dan
kesenjangan sosial serta keterbelakangan telah menjadi bagian dari hidup rakyat desa.
Terhadap situasi yang demikian, banyak penduduk desa yang akhirnya pergi ke luar desa,
mengadu nasib dan sekaligus menyediakan tenaga murah bagi percepatan industrialisasi.
Marjinalisasi desa dapat dilihat sebagai bagian dari skenario untuk menopang industri, yang
berbasis tenaga kerja murah dan bahan baku yang berlimpah (serta murah).
Timur Mahardika (2001) menilai kehancuran lingkungan dan penurunan kapasitas sumber
daya alam merupakan kenyataan dari proses pengurasan kekayaan alam untuk keperluan
menggerakkan roda pembangunan. Hutan, tambang dan lain-lain telah dengan sangat luar
biasa dikuras dan tidak dipikirkan peruntukkannya bagi generasi yang akan datang. Di
berbagai daerah, terkesan kuat bahwa kekayaan alam telah dijual. Sementara massa rakyat
harus memikul akibatnya berupa lingkungan yang rusak, sungai tercemar, hutan gundul dan
kekayaan alam yang menipis.
Memahami CSR sebagai kebertanggungjawaban entitas laba atas dampak operasionalnya
maka seharusnya praktik CSR juga melingkupi sektor industri lain. Bahkan di banyak negara,
komitmen keseimbangan triple bottom line juga melingkupi industri keuangan, properti,
apparel, media, komunikasi, teknologi, dan lainnya-termasuk juga dalam ranah perangkat
pemerintahannya dan di kalangan masyarakat sipil.
Dalam hal ini, jika sebelumnya pijakan tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada sisi
finansial saja (single bottom line), kini dikenal konsep triple bottom line, yaitu bahwa
tanggung jawab perusahaan berpijak pada 3P (profit, people, planet). Menurut Holy K. M.
Kalangit dengan semakin berkembangnya konsep CSR ini, maka banyak teori yang muncul
yang diungkapkan berbagai pihak mengenai CSR ini.
Salah satu yang terkenal adalah teori Triple Bottom Line yang dikemukakan oleh John
Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line
of Twentieth Century Bussiness”. Elkington mengembangkan konsep triple bottom line degan
istilah economoic prosperity, environmental quality dan social justice. Elkington memberi
pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya,
maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit),
perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan
2016
4
Bisnis dan masyarakat
Dr. Hermiyetti
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan
(planet).
Gunawan Widjaya & Yeremi Ardi Prtama (2008) menekankan dalam gagasan tersebut,
perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada single bottom line,
yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi keuangan saja, namun juga harus
memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya. Uraian yang diberikan di atas menunjukkan
bahwa keuntungan ekonomis tidak dapat dipisahkan dalam kerangka pelaksanaan CSR, oleh
karena tujuan dari pelaksanaan CSR itu sendiri sustainability bagi perusahaan. Melaksanakan
CSR bukan berarti mengurangi kesejahteraan stakeholders, oleh karena itu maka aspek
ekonomis juga harus menjadi pertimbangan bagi perusahaan yang melaksanakan CSR.
CSR (Program Corporate Social Reponsibility) merupakan salah satu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-undang Perseroan Terbatas
(UUPT) yang baru. Undang-undang ini disyahkan dalam sidang paripurna DPR. Dengan
adanya Undang-undang ini, industri atau korporasi-korporasi wajib untuk melaksanakannya,
tetapi kewajiban ini bukan merupakan suatu beban yang memberatkan. Perlu diingat
pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan industri saja, tetapi
setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pengelolaan
kualitas hidup masyarakat. Industri dan korporasi berperan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia
usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom
line), melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut (Triple
bottom line) sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan
berkelanjutan. Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah dikenal sejak awal 1970, yang
secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan
stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan,
serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan
(Corporate Social Reponsibility) CSR tidak hanya merupakan kegiatan kreatif perusahaan
dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata. Masih banyak perusahaan
tidak mau menjalankan program-program CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai
pengeluaran biaya (Cost Center).
2016
5
Bisnis dan masyarakat
Dr. Hermiyetti
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
CSR tidak memberikan hasil secara keuangan dalam jangka pndek. Namun CSR akan
memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa
mendatang. Investor juga ingin investasinya dan kepercayaan masyarakat terhadap
perusahaannya memiliki citra yang baik di mata masyarakat umum. Dengan demikian,
apabila perusahaan melakukan programprogram CSR diharapkan keberlanjutan, sehingga
perusahaan akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, program CSR lebih tepat apabila
digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan. Istilah
CSR pertama kali menyeruak dalam tulisan Social Responsibility of the Businessman tahun
1953. konsep yang digagas Howard Rothmann Browen ini menjawab keresahan dunia bisnis.
Belakangan CSR segera diadopsi, karena bisa jadi penawar kesan buruk perusahaan yang
terlanjur dalam pikiran masyarakat dan lebih dari itu pengusaha di cap sebagai pemburu uang
yang tidak peduli pada dampak kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kendati sederhana,
istilah CSR amat marketable melalu CSR pengusaha tidak perlu diganggu perasaan bersalah.
Dalam proses perjalanan CSR banyak masalah yang dihadapinya, di antaranya adalah :
1. Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat
2. Masih terjadi perbedaan pandangan antara departemen hukum dan HAM dengan
departemen perindustrian mengenai CSR dikalangan perusahaan dan Industri
3. Belum adanya aturan yang jelas dalam pelaksanaan CSR dikalangan perusahaan.
Bila dianalisis permasalahan di atas yang menyangkut belum tersosialisasikannya dengan
baik program CSR di kalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan program CSR belum
bergulir sebagai mana mestinya, mengingat masyarakat umum belum mengerti apa itu
program CSR. Apa saja yang dapat dilakukannya? Bagaimana dapat berkolaborasi dengan
prosedur perusahaan. Untuk menjawap pertanyaan masyarakat umum, perlu dijelaskan
keberhasilan program CSR baik di media cetak, atau media elektronika dan memberikan
contoh keberhasilan program CSR yang telah dijalankan. Di samping itu peranan perguruan
tinggi perlu ambil bagian dalam proses sosialisasi ini, mengingat perguruan tinggi dapat
sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Kerjasama ini dapat berupa penelitian, seminar,
dan pemberdayaan masyarakat.
Program CSR ini, masih menyimpan dan banyak polemik di kalangan departemen Hukum
dan HAM yang berusaha mewajibkan CSR bagi perusahaan, sedangkan Departemen
perindustrian tidak mewajibkan perusahaan tidak memiliki program CSR. Hal ini merupakan
2016
6
Bisnis dan masyarakat
Dr. Hermiyetti
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Full Anomali (terbalik-balik). Departemen Hukum dan HAM yang seharusnya mendukung
pengusaha karena azas kebebasan, malah mewajibkan CSR sedangkan Departemen
Perindustrian yang mestinya diwajibkan CSR justru dibebaskan dari tuntutan kewajiban CSR.
Dikalangan perusahaan dan Industri.Dalam serba ketidak pastian ini Forum Ekonomi Dunia
melalui Global Govermance Initiative menggelar World Business Council For Sustainablle
Development di New York pada tahun 2005, salahsatu deklarasi penting disepakati bahwa
CSR jadi wujud komitmen dunia usaha untuk membantu PBB dalam merealisasikan
Millennium Development Goalds (MDGs). Adapun tujuan utama MDGs adalah mengurangi
separuh kemiskinan dan kelaparan ditahun 2015. Pantas untuk dicatat tujuan ini jelas maha
berat, mengingat pertumbuhan dunia bisnis terus meningkat, tetapi kemiskinan toh malah
bertambah. Human Depelopment Report tahun 2005 (HDR) melaporkan, 40% penduduk
dunia atau 2,5 milyar jiwa hidup dengan upah dibawah US$ 2/hari/kapita. Total upah ini
nilainya setara dengan 5% pendapatan dunia , setiap hari 1200 anak-anak mati karena
kelaparan. HDR mensinyalir 10% orang terkaya di dunia menguasai 54% total pendapatan
dunia yang yang 500 orang dari 10% terkaya itu, hartanya lebih besar ketimbang kekayaan
416 juta penduduk termiskin. Untuk mengatasi kemiskinan ini pihak perusahaan perlu
menyisihkan uang dari keuntungan yang diperoleh, tetapi bukan dimasukan kedalam biaya
investasi yang harus ditanggung pemerintah . Bila dilihat masih belum jelasnya aturan dalam
pelaksanaan CSR perusahaan menimbulkan penafsiran sendiri, hal ini dapat dilihat dari
masingmasing perusahaan yang memiliki program CSR. Perlu diketahui program CSR yang
terpenting adalah aturan yang mewajibkan programnya harus berkelanjutan (sustainable).
Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan manfaat
yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri berupa citra perusahaan dan para stake
holder yang terkait. Sebagai contoh nyata dari program CSR yang dapat dilakukan oleh
perusahaan dengan semangat keberlanjutan antara lain pengembangan Bio Energi,
Perkebunan Rakyat, dan pembangkit Listri tenaga air swadaya masysrakat. Program CSR
yang berkelanjutan diharapkan dapat membantu menciptakan kehidupan dimsyarakat yang
lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari
semua pihak secara terus menerus membangun dan menciftakan kesejahteraan dan pada
akhirnya akan tercifta kemandirian dari masyarakat yang terlibat dalam program tersebut,
sesuai dengan kemampuannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kingsley Davis dan Wilbert
Moore, menurut mereka bahwa didalalm masyarakat terdapat Stratifikasi social dimana
stratifikasi social itu dibutuhkan masyarakat demi kelangsungan hidup yang membutuhkan
berbagai jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi social, masyarakat tidak akan terangsang
2016
7
Bisnis dan masyarakat
Dr. Hermiyetti
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau pekerjaan yang membutuhkan proses berlajar
yang lama dan mahal. Agar masyarakat dapat memiliki modal stimulus untuk merubah
stratifikasi, perlu ada pemberdayaan agar masyarakat sadar dan bangkit dari keterpurukan.
Kondisi ini dapat diatasi dengan program yang bersipat holistik sehingga dapat membangun
tingkat kepercayaan dalam diri masyarakat, untuk itu didukung oleh program CSR yang
berkelanjutan (sustainable).
2016
8
Bisnis dan masyarakat
Dr. Hermiyetti
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download