Ditulis oleh Muhammad Niam Salah satu isu besar yang

advertisement
Bid'ah Secara Etimologis dan
Terminologis
Ditulis oleh Muhammad Niam
Salah satu isu besar yang mengancam persatuan umat Islam adalah isu bid'ah. Akhir-akhir ini,
kata itu makin sering kita dengar, makin sering kita ucapkan dan makin sering pula kita
gunakan untuk memberi label kepada saudara-saudara kita seiman. Bukan labelnya yang
dimasalahkan, tapi implikasi dari label tersebut yang patut kita cermati, yaitu anggapan
sebagian kita bahwa mereka yang melakukan bid'ah adalah aliran sesat. Karena itu aliran sesat,
maka harus dicari jalan untuk memberantasnya atau bahkan menyingkirkannya. Kita merasa
sedih sekarang ini, makin banyak umat Islam yang menganggap saudaranya sesat karena isu
bid'ah dan sebaliknya kita makin prihatin sering mendengar umat Islam yang mengeluh atau
menyatakan sakit hati dan bahkan marah-marah karena dirinya dianggap sesat oleh saudaranya
seiman. Yang paling mudah kita baca dari kasus tersebut adalah adanya trend makin maraknya
umat Islam saling bermusuhan dan saling mencurigai sesama mereka dengan menggunakan isu
bid'ah. Mari kita renungkan, apakah kondisi seperti itu harus terjadi terus menerus di kalangan
umat Islam? Di beberapa negara Muslim, seperti di Pakistan, isu itu telah menyulut perang
saudara berdarah antar umat Islam hingga saat ini. Sudah tak terhitung nyawa yang melayang
karena pertikian seperti itu.
Mari kita simak sejenak fatwa Syeh Azhar Atiyah Muhammad Saqr yang dikeluarkan pada
tahun 1997. Bahwa sebenarnya isu bid'ah yang berkembang di masyarakat Muslim saat ini
disebabkan oleh perbedaan memaknai bi'dah apakah secara etimologis (bahasa) atau
terminologis (istilah). Syeh Atiyah menjelaskan lebih jauh:
Dalam kitab "Al-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Athar" karangan Ibnu Atsir dalam pembahasan
"ba da 'a" (asal derivatif kata bid'ah) dan dalam pembahasan hadist Umar r.a. masalah
menghidupkan malam Ramadhan ": ‫ "هذه ةعدبلا تمعن‬Inilah sebaik-baik bid'ah", dikatakan
bahwa bid'ah terbagi menjadi dua, ada 1) bid'ah huda (bid'ah benar sesuai petunjuk) dan ada 2)
bid'ah sesat. Bid'ah yang betentangan dengan perintah Allah dan Rasulnya s.a.w. maka itulah
bid'ah yang dilarang dan sesat. Dan bid'ah yang masuk dalam generalitas perintah Allah dan
Rasulnya s.a.w. maka itu termasuk bid'ah yang terpuji dan sesuai petunjuk agama. Apa yang
tidak pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. tapi sesuai dengan perintah agama, termasuk pekerjaan
yang terpuji secara agama seperti bentuk-bentuk santunan sosial yang baru. Ini juga bid'ah
namun masuk dalam ketentuan hadist Nabi s.a.w. diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah oleh
Imam Muslim:
‫ا ب عده ك تب ل ه م ثل أجر من عمل ب ها وال ي ن قص من أجورهم من سن ف ي اإل س الم س نة ح س نة ف عمل ب ه‬
‫شيء ومن سن ف ي اإل س الم س نة س ي ئة ف عمل ب ها ب عده ك تب ع ل يه م ثل وزر من عمل ب ها وال ي ن قص من‬
‫أوزارهم شيء‬
"Barang siapa merintis dalam Islam pekerjaaan yang baik kemudian dilakukan oleh generasi
setelahnya, maka ia mendapatkan sama dengan orang melakukannya tanpa dikurangi
sedikitpun. Dan barangsiapa merintis dalam Islam pekerjaan yang tercela, kemudian dilakukan
oleh generasi setelahnya, maka ia mendapatkan dosa orang yang melakukannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun" (H.R. Muslim).
Stateman Umar bin Khattab r.a. "Inilah bid'ah terbaik" masuk kategori bid'ah yang terpuji.
Umar melihat bahwa sholat tarawih di masjid merupakan bid'ah yang baik, karena Rasulullah
s.a.w. tidak pernah melakukannya, tapi Rasulullah s.a.w. melakukan sholat berjamaah di malam
hari Ramadhan beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak melakukannya secara kontinyu,
apalagi memerintahkan umat islam untuk berjamaah di masjid seperti sekarang ini. Demikian
juga pada zaman Abu Bakar r.a. sholat Tarawih belum dilaksanakan secara berjamaah. Umar
r.a. lah yang memulai menganjurkan umat Islam sholat tarawih berjamaah di masjid.
Para ulama melihat bahwa melestarikan tindakan Umar tesebut, termasuk sunnah karena
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda "Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah
Khulafaurrashiidn setelahku" (H.R. Ibnu Majah dll.) Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda:
"Ikutilah dua orang setelahku, yaitu ABu Bakar dan Umar". (H.R. Tirmidzi dll).
Dengan pengertian seperti itu, maka menafsirkan hadist Rasulullah s.a.w. "‫ "ةعدب ةثدحم لك‬yang
artinya "setiap baru diciptakan dalam agama adalah bid'ah" harus dengan ketentuan bahwa hal
baru tersebut memang bertentangan dengan aturan dasar syariat dan tidak sesuai dengan ajaran
hadist.
Mengkaji masalah bid'ah memerlukan pendefinisian yang berkembang dan muncul di seputar
penggunaan kata bid'ah tersebut. Perbedaan definisi bisa berpengaruh pada perbedaan hukum
yang diterapkan. Tanpa mendefinisikan bid'ah secara benar maka kita hanya akan terjerumus
pada perbedaan hukum, perbedaan pendapat dan bahkan pertikaian. Demikian juga
mendefinisikan bid'ah yang sesat dan masuk neraka, tidaklah mudah.
Dari beberapa literatur Islam yang ada, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Para ulama dalam mendefinisikan bid'ah, terdapat dua pendekatan yaitu kelompok pertama
menggunakan pendekatan etimologis (bahasa) dan kelompok kedua menggunakan pendekatan
terminologis (istilah).
Golongan pertama mencoba mendefinisikan bid'ah dengan mengambil akar derivatif kata bid'ah
yang artinya penciptaan atau inovasi yang sebelumnya belum pernah ada. Maka semua
penciptaan dan inovasi dalam agama yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah s.a.w.
disebut bid'ah, tanpa membedakan antara yang baik dan buruk dan tanpa membedakan antara
ibadah dan lainnya. Argumentasi untuk mengatakan demikian karena banyak sekali ditemukan
penggunakan kata bid'ah untuk baik dan kadang kala juga digunakan untuk hal tercela.
Imam Syafi'i r.a. berkata: "Inovasi dalam agama ada dua. Pertama yang bertentangan dengan
kitab, hadist dan ijma', inilah yang sesat. Kedua inovasi dalam agama yang baik, inilah yang
tidak tercela."
Ulama yang menganut metode pendefinisan bid'ah dengan pendekatan etimologis antara lain
Izzuddin bin Abdussalam, beliau membuat kategori bid'ah ada yang wajib seperti melakukan
inovasi pada ilmu-ilmu bahasa Arab dan metode pengajarannya, kemudian ada yang sunnah
seperti mendirikan madrasah-madrasah Islam, ada yang diharamkan seperti merubah lafadz alQuran sehingga keluar dari bahasa Arab, ada yang makruh seperti mewarna-warni masjid dan
ada yang halal seperti merekayasa makanan.
Golongan kedua mendefinisikan bid'ah adalah semua kegiatan baru di dalam agama, yang
diyakini itu bagian dari agama padahal sama sekali bukan dari agama. Atau semua kegiatan
agama yang diciptakan berdampingan dengan ajaran agama, dan disertai keyakinan bahwa
melaksakan kegiatan tersebut merupakan bagian dari agama. Kegiatan tersebut emncakup
bidang agama dan lainnya. Sebagian ulama dari golongan ini mengatakan bahwa bid'ah hanya
berlaku di bidang ibadah. Dengan definisi seperti ini, semua bid'ah dalam agama dianggap sesat
dan tidak perlu lagi dikategorikan dengan wajib, sunnah, makruh dan mubah. Golongan ini
mengimplementasikan hadist "‫ "ةلالض ةعدب لك‬yang artinya "setiap bid'ah adalah sesat",
terhadap semua bid'ah yang ada sesuai defisi tersebut. Demikian juga statemen imam Malik:
"Barang siapa melakukan inovasi dalam agama Islam dengan sebuah amalan baru dan
menganggapnya itu baik, maka sesungguhnya ia telah menuduh Muhammad s.a.w.
menyembunyikan risalah, karena Allah s.w.t. telah menegaskan dalam surah al-Maidah:3 yang
artinya " Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu", adalah dalam konteks
definisi bid'ah di atas. Adapun pernyataan Umar r.a. dalam masalah sholat Tarawih bahwa "itu
sebaik-baik bid'ah" adalah bid'ah dalam arti bahasa (etimologis).
Lepas dari kajian bid'ah di atas, sesungguhnya tema bid'ah merupakan tema yang cukup rumit
dan panjang dalam sejarah pemikiran Islam. Pelabelan ahli bid'ah terhadap kelompok Islam
tertentu mulai marak dan muncul, pada saat munculnya polemik dan konflik pemikiran dalam
dunia Islam. Merespon polemik pemikiran Islam tersebut, Abu Hasan Al-Asy'ari (meninggal
tahun 304 H) menulis buku "Alluma' fi al-radd 'ala Ahlil Zaighi wal Bida'" (Catatan Singkat
untuk menentang para pengikut aliran sesat dan bid'ah). Setelah itu muncullah kajian-kajian
yang makin marak dan gencar dalam mengulas masalah bid'ah.
Imam Ghozali dalam Ihya' Ulumuddin (1/248) menegaskan:"Betapa banyak inovasi dalam
agama yang baik, sebagaimana dikatakan oleh banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah,
itu termasuk inovasi agama yang dilakukan oleh Umar r.a.. Adapun bid'ah yang sesat adalah
bid'ah yang bertentangan dengan sunnah atau yang mengantarkan kepada merubah ajaran
agama. Bid'ah yang tercela adalah yang terjadi pada ajaran agama, adapun urusan dunia dan
kehidupan maka manusia lebih tahu urusannya, meskipun diakui betapa sulitnya membedakan
antara urusan agama dan urusan dunia, karena Islam adalah sistem yang komprehensif dan
menyeluruh. Ini yang menyebabkan sebagian ulama mengatakan bahwa bid'ah itu hanya terjadi
dalam masalah ibadah, dan sebagian ulama yang lain mengatakan bid'ah terjadi di semua sendi
kehidupan.
Akhirnya juga bisa disimpulkan bahwa bid'ah terjad dalam masalah aqidah, ibadah, mu'amalah
(perniagaan) dan bahkan akhlaq. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa semua tingkah laku
dan pekerjaan Rasulullah s.a.w. adalah suri tauladan bagi umatnya. Apakah semua pekerjaan
Rasulullah s.a.w. dan tingkah lakunya wajib diikuti 100 persen, ataukah sebagian itu sunnah
untuk diikuti dan sebagian bolah tidak diikuti? Apakah meninggalkan sebagian pekerjaan yang
pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. (yang bukan termasuk ibadah) dosa atau tidak? Contohnya
seperti adzan dua kali waktu sholat Jum'at, menambah tangga mimbar sebanyak tiga tingkat,
melakukan sholat dua rakaat sebelum Jum'at, membaca al-Quran dengan suara keras atau
memutas kaset Qur'an sebelum sholat Jum'at, muadzin membaca sholawat dengan suara keras
setelah adzan, bersalaman setelah sholat, membaca "sayyidina" pada saat tahiyat, mencukur
jenggot. Sebagian ulama menganggap itu semua bid'ah karena tidak pernah dilakukan pada
zaman Rasulullah dan sebagian lain menganggap itu merupakan inovasi beragama yang
diperbolehkan dan baik, dan tidak betentangan dengan ketentuan umum agama Islam. Demikian
juga masalah peringatan maulid nabi dan peringatan Islam lainnya, seperti Nuzulul Qur'an, Isra'
Mi'raj, Tahun Baru Hijriyah, sebagian ulama melihat itu bid'ah dan sebagian lainnya
menganggap itu bukan bid'ah sejauh diisi dengan kegiatan-kegiatan agama yang baik.
Perbedaan para ulama di seputar masalah tersebut terkembali pada perbedaan mereka dalam
mengartikan bid'ah itu sendiri, seperti dijelaskan di atas.
Yang perlu kita garis bawahi lagi, bahwa ajaran agama kita dalam merubah kemungkaran yang
disepakati bahwa itu kemungkaran adalah dengan cara yang ramah dan nasehat yang baik.
Tentu merubah kemungkaran yang masih dipertentangkan kemungkarannya juga harus lebih
hati-hati dan bijaksana. Permasalahan yang masih menjadi khilafiyah (terjadi perbedaan
pendapat) di antara para ulama, tidak seharusnya disikapi dengan bermusuhan dan percekcokan,
apalagi saling menyalahkan dan menganggap sesat. Mereka yang menganggap dirinya paling
benar dan menganggap akidahnya yang paling selamat, dan lainnya adalah sesat dan rusak,
hendaklah ia berhati-hati karena jangan-jangan dirinya telah terancam kerusakan dan telah
dihinggapi oleh teologi permusuhan.
Wallahu a'lam bissowab
Muhammad Niam
Bahan Bacaan:
Sumber: Fatawa Azhariyah, Fatwa Syah Atiyah Muhammad Saqr, tahun 1997.
Pesantren virtual.com
Download