BAB III PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL A. Bipartit Sebagai Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga mengutamakan bipartit sebagai penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti yang disebutkan pada Pasal 136 : (1) Penyelesaian perselisishan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang. Kemudian didalam Pasal 151 ayat (2) dan (3) disebutkan : (2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Universitas Sumatera Utara Dari Pasal 136 dan 151 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sangat jelas dinyatakan mengutamakan bipartit dalam penyelesaian perselisihan. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, penyelesaian perselisihan hubungan industrial menganut prinsip-prinsip dalam menyelesaikan perselisihan yaitu sebagai berikut 60: 1. Musyawarah untuk mufakat Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat secara bipartit adalah wajib sebelum menempuh penyelesaian lebih lanjut. Dan begitu pula dalam penyelesaian melalui mekanisme diluar pengadilan adalah mengutamakan musyawarah untuk mufakat. 2. Bebas memilih lembaga penyelesaian perselisihan Para pihak untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang mereka hadapi berdasarkan kesepakatan bebas memilih penyelesaian melalui lembaga arbitrase, konsiliasi ataupun mediasi untuk menyelesaikan perselisihan yang mereka hadapi sebelum melakukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. 3. Cepat adil dan murah 60 Muzni Tambusai, Kepastian Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2005), hlm. 14. Universitas Sumatera Utara Penyelesaian perselisihan melalui lembaga Pengadilan Hubungan Industrial menganut prinsip cepat, adil dan murah. Hal tersebut dapat dilihat dari segi waktu penyelesaian yaitu : bipartit 30 hari, bila memilih salah satu dari lembaga arbitrase, konsiliasi atau mediasi dimana melalui lembaga tersebut waktu penyelesaiannya 30 hari kerja. Apabila kedua belah pihak ataupun salah satu tidak dapat menerima anjuran konsiliasi atau mediasi dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Waktu penyelesaian pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah 50 hari kerja dimana untuk perselisihan kepentingan dan antar serikat pekerja/serikat buruh putusan Pengadilan Hubungan Industrial adalah final. Sementara perselisihan hak dan PHK para pihak atau salah satu pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung apabila tidak dapat menerima putusan Pengadilan Hubungan Industrial. Mahkamah Agung mengambil keputusannya paling lama 30 hari kerja. Disamping dari segi waktu, undang-undang memberikan kesempatan kepada para pihak untuk meminta putusan sela dan pemeriksaan acara cepat agar pemeriksaan sengketa dipercepat. Prinsip adil tercermin dari penyelesaian yang dilakukan melalui musyawarah dan serta bila dilihat dari segi putusan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung yang diputus oleh Hakim majelis terdiri dari Hakim karir dan Hakim Ad-Hoc diharapkan dapat mengambil keputusan mencerminkan rasa keadilan. Prinsip murah, bahwa beracara di Pengadilan Hubungan Industrial pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya perkara hingga pada pelaksanaan eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp.150.000.000,- tidak adanya upaya banding kepada Universitas Sumatera Utara pengadilan tinggi serta pembatasan perselisihan hubungan industrial yang dapat dilakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi 4 jenis Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana disebut pada Pasal 1 angka 1sampai angka 5 sebagai berikut : 1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, perjanjian perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. 5. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juga mengutamakan penyelesaian bipartit yang berpedoman kepada musyawarah dan mufakat antara pekerja/buruh dengan pengusaha sebagaimana disebut pada Pasal 3 sebagai berikut : 1. Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Universitas Sumatera Utara 2. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. 3. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. Penyelesaiaan perselisihan hubungan industrial menganut penyelesaian di luar pengadilan dan melalui pengadilan. Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menganut penyelesaian di luar pengadilan dan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Adapun pengaturan tersebut dimaksudkan adalah untuk mencegah terjadinya pelimpahan perselisihan kepada pengadilan. Oleh karena penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengutamakan penyelesaian win-win solution yaitu melalui musyawarah untuk mufakat. Dengan harapan timbulnya perselisihan hubungan industrial tidak akan mengganggu proses produksi barang maupun jasa di perusahaan. 1. Penyelesaian Diluar Pengadilan Perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Indutrial, penggugat harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Oleh karena apabila gugatan tidak dilampiri risalah tersebut, hakim wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat. Dari ketentuan tersebut diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial diluar pengadilan sifatnya adalah wajib. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan dilakukan melalui lembaga ataupun mekanisme : Universitas Sumatera Utara a. Bipartit; b. Mediasi; c. Konsiliasi; d Arbitrase. a. Penyelesaian Melalui Mekanisme Bipartit Penyelesaian melalui perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian melalui perundingan bipartit adalah wajib, oleh karenanya apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, tanpa melampirkan bukti bahwa upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan akan mengembalikan berkasnya untuk dilengkapi. Berbeda dengan Lembaga Kerjasama Bipartit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dimana Lembaga Kerjasama Bipartit adalah sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat pada institusi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. Kerjasama bipartit adalah suatu bentuk kerjasama antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang telah dilembagakan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 106 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang dikenal dengan Universitas Sumatera Utara istilah Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit. Kerjasama bipartit ini tidak dapat diartikan secara fisik tetapi lebih banyak dalam bidang konsepsi dan pemikiran serta persamaan persepsi. Penyelesaian secara bipartit maupun LKS Bipartit memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menyelesaiakan persoalan yang timbul antara pekerja/buruh dengan pengusaha. LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi yang juga bertujuan untuk mengantisipasi perbedaan pendapat antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dengan kata lain bahwa LKS Bipartit sebagai upaya preventif dalam mencegah timbulnya perselisihan hubungan industrial. Keberadaan LKS Bipartirt sebagai upaya preventif terhadap timbulnya perselisihan hubungan industrial akan mendukung jalannya bipartit. Artinya LKS Bipartit maupun mekanisme bipartit sama-sama perlu dibudayakan. LKS Bipartit sebagai pencegah dan bipartit sebagai mekanismenya. Pada saat terjadi perselisihan hubungan industrial di suatu perusahaan maka kedua belah pihak (pengusaha dan pekerja/buruh) dapat langsung menyelesaikannya dengan cara bipartit (mekanisme) karena sudah terbentuk LKS Bipartit. Maka dengan demikian tujuan akhirnya dari mekanisme bipartit dan LKS Bipartit adalah menciptakan hubungan industrial yang harmonis di perusahaan. Pada dasarnya pekerja/buruh dengan pengusaha memiliki tujuan yang sama yaitu peningkatan produktivitas dan kesejahteraan pekerja. Untuk mencapai tujuan ini masalah bipartit perlu dilembagakan supaya kedua belah pihak memperoleh manfaat atas keberadaan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit. Dengan adanya Lembaga Universitas Sumatera Utara Kerjasama (LKS) Bipartit ini maka mekanisme bipartit akan semakin mudah untuk dijalankan. Perundingan bipartit, diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan dan setiap perundingan harus dibuat risalah perundingan, sekurang-kurangnya memuat61 : (a) Nama lengkap dan alamat para pihak; (b) Tanggal dan tempat perundingan; (c) Pokok masalah atau alasan perselisihan; (d) Pendapat para pihak; (e) Kesimpulan atau hasil perundingan; dan (f) Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan. Penyelesaian melalui perundingan sebagaimana dimaksud diatas, apabila mencapai kesepakatan, dibuat perjanjian bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dimana sifatnya adalah mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak62. Untuk keperluan pelaksanaannya, para pihak wajib didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama dan Pengadilan Hubungan Industrial memberikan “Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama” dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjan Bersama63. Melalui Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama tersebut, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada 61 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 62 Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 63 Pasal 7 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi64. b. Penyelesaian Melalui Mediasi Mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator disini adalah pegawai institusi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Mediator berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota yang harus memenuhi syarat sebagai berikut65 : (a) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Warga Negara Indonesia; (c) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; (d) Mengetahui peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; (e) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak bercela; (f) Berpendidikan sekurang-kurangnya lulusan strata 1 (S1); dan (g) Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. 64 Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 65 Pasal 9 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara Penyelesaian perselisihan melalui mediasi, mengutamakan penyelesaian musyawarah untuk mufakat, dan apabila dalam perundingan tersebut dicapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh Mediator dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Penyelesaian melalui mediasi, bila tidak tercapai kesepakatan proses penyelesaiaan selanjutnya adalah66 : (a) Mediator mengeluarkan anjuran secara tertulis sebagai pendapat atau saran yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka. (b) Anjuran tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak. (c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah menerima anjuran. (d) Pihak yang tidak memberikan jawaban dianggap menolak anjuran. (e) Namun apabila para pihak menyetujui anjuran, maka dalam waktu selambatlambatnya 3 hari kerja sejak anjuran disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial guna mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Waktu penyelesaian pada mediator adalah dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan. Pada dasarnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi adalah wajib, dalam hal ketika instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menawarkan kepada para pihak yang berselisih tidak memilih lembaga konsiliasi atau arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan yang dihadapi para pihak. 66 Pasal 13ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara c. Penyelesaian Melalui Konsiliasi Konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator disini adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Konsiliator dapat memberikan konsiliasi apabila telah terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Syarat menjadi konsiliator adalah67 : (a) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Warga Negara Indonesia; (c) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun; (d) Pendidikan minimal lulusan strata satu (S1); (e) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; (f) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; (g) Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun; (h) Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan (i) Syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh menteri. Penyelesaian melalui konsiliasi, dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih yang dibuat secara tertulis untuk diselesaikan oleh konsiliator. 67 Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Konsiliator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial pada dasarnya adalah melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam perundingan yang mencapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator, untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial guna mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Sebaliknya bila tidak dicapai kesepakatan, maka 68: (a) Konsiliator menggunakan anjuran tertulis; (b) Dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama, anjuran tertulis harus sudah disampaikan kepada para pihak; (c) Para pihak harus sudah memberikan jawaban tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau melakukan anjuran dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari sejak menerima anjuran; (d) Pihak yang tidak memberikan jawaban atau pendapatnya dianggap sebagai menolak anjuran; (e) Terhadap anjuran konsiliator apabila para pihak menyetujui, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. (f) Sehingga penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui lembaga konsiliasi dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan. d. Penyelesaian Melalui Arbitrase \ Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat 68 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Arbiter yang dimaksud disini adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk memberikan keputusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Dengan demikian syarat untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter adalah 69: (a) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Cakap melakukan tindakan hukum; (c) Warga Negara Indonesia; (d) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun; (e) Pendidikan minimal lulusan strata satu (S1); (f) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; (g) Menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase; (h) Memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 tahun. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih. Kesepakatan tersebut dibuat dalam bentuk Surat Perjanjian Arbitrase, rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak 69 Pasal 31ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. Adapaun Surat Perjanjian Arbitrase yang dibuat sekurang-kurangnya memuat70 : (a) Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih; (b) Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan; (c) Jumlah arbiter yang disepakati; (d) Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; (e) Tanggal dan tempat pembuatan surat perjanjian, tanda tangan para pihak yang berselisih. Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter tunggal atau beberapa arbiter sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Untuk penunjukan arbiter tunggal, para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja, tentang nama arbiter dimaksud. Namun apabila penunjukan beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sementara untuk arbiter ketiga sebagai Ketua Majelis Arbitrase ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk selambatlambatnya 7 hari kerja sejak ditunjuk oleh para pihak. Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud diatas dilakukan secara tertulis dalam bentuk Perjanjian Penunjukan Arbiter dengan para pihak yang berselisih. Perjanjian Penunjukan Arbiter sekurang-kurangnya memuat hal sebagai berikut 71: (a) Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih dan arbiter; 70 Pasal 32ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 71 Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara (b) Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan; (c) Biaya arbitrase dan honorarium arbiter; (d) Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; (e) Tanggal dan tempat pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih dan arbiter; (f) Pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan (g) Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih. Para pihak yang berselisih ada kalanya tidak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal maupun beberapa arbiter, maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh mentri. Arbiter yang menerima penunjukan sebagai arbiter, harus memberitahukan secara tertulis mengenai penerimaan penunjukannya kepada para pihak yang berselisih. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase, arbiter harus mengupayakan untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Apabila upaya perdamaian dicapai kesepakatan arbiter atau majelis arbiter wajib membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter. Akta perdamaian dimaksud didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana wilayah arbiter mengadakan perdamaian untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran, yang akan dapat digunakan sebagai dasar permohonan eksekusi, apabila Akta Perdamaian yang telah dicapai tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta Perdamaian. Universitas Sumatera Utara Upaya mencapai perdamaian adakalanya tidak mencapai kesepakatan (gagal), maka arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase yang dilakukan secara tertutup, kecuali pihak yang berselisih menghendaki lain dimana setiap kegiatan pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter. Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter, apabila telah dianggap cukup, arbiter atau majelis arbiter mengambil putusan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan, dan kepentingan umum. Adapun putusan arbitrase memuat 72: (a) Kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (b) Nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter; (c) Nama lengkap dan alamat para pihak; (d) Hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih; (e) Ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut dari para pihak yang berselisih; (f) Pertimbangan yang menjadi dasar putusan; (g) Pokok Putusan; (h) Tempat dan tanggal putusan; (i) Mulai berlakunya putusan; dan (j) Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Putusan tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. Terhadap putusan arbitrase yang tidak 72 Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara dilaksanakan, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan para pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan. Pengadilan Negeri, dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja harus sudah menyelesaikan perintah pelaksanaan eksekusi terhitung setelah permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Putusan arbitrase, oleh salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkan putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur sebagai berikut73 : (a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui atau dinyatakan palsu; (b) Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menetukan yang disembunyikan oleh pihak lain; (c) Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan; (d) Putusan melampaui kekuasaan arbitrase hubungan industrial; atau (e) Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima permohonan, memutuskan permohonan pembatalan dan menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan dalam waktu selambat73 Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara lambatnya 30 hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter dan atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka waktu penyelesaian 1(satu) kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 hari kerja. Suatu perselisihan yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. 2. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja yang sekarang ada di ibukota propinsi. Pengajuan gugatan dimaksud harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pihak penggugat apabila gugatan penggugat tidak melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Penggugat dapat sewaktu waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban, apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan akan dikabulkan pengadilan apabila disetujui tergugat. Tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial adalah memeriksa dan memutus 74: a. tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; 74 Pasal 56 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara c. tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Majelis hakim dalam mengambil putusannya mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum, dimana putusan pengadilan harus memuat : a. Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa”; b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih; c. Ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban termohon/tergugat yang jelas; d. Pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan, hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; e. Aturan hukum yang menjadi dasar putusan; f. Amar putusan tentang sengketa; g. Hari, tanggal putusan, nama hakim, Hakim Ad hoc yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak. Majelis hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan dalam waktu selambat-lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang pertama. Putusan dimaksud dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari setelah putusan dibacakan, panitera pengganti harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dan selambat-lambatnya 14 hari kerja setelah putusan ditandatangani Universitas Sumatera Utara panitera muda harus sudah menerbitkan salinan putusan serta dalam waktu selambatlambatnya 7 hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak. Apabila perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja maka pengadilan wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan. 3. Penyelesaian Perselisihan Melalui Mahkamah Agung Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambatlambatnya 14 hari kerja terhitung : a. Bagi pihak yang hadir, sejak putusan dibacakan oleh sidang majelis hakim; b. Bagi pihak yang tidak hadir, sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan. Permohonan kasasi harus disampaikan secara tertulis melalui sub. kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri setempat, dan dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah disampaikan oleh sub kepaniteraan pengadilan kepada ketua Mahkamah Agung. Di dalam Pasal 115 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan bahwa penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat- Universitas Sumatera Utara lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi. Sanksi administrasi diberlakukan kepada mediator dan panitera muda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 116 yaitu sebagai berikut: (1) Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku bagi pegawai negeri sipil. (2). Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan panitera yang tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi adminstratif juga diberikan kepada konsiliator dan arbiter yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 117 sampai dengan Pasal 121 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai berikut : (1) Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para pihak membuat perjanjian bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimkasud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator. (3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya. (4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. Universitas Sumatera Utara Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai konsiliator dalam hal :75 (a) konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali; (b) terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; (c) menyalahgunakan jabatan; dan atau (d) membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) Pasal 119 : (1) arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis (2) arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter. (3) sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya. (4) sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. Pasal 120 : (1) arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter dalam hal : a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase perselisihan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut; b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; c. menyalahgunakan jabatan; 75 Pasal 118 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara d. arbiter telah dijatuhi sanksi adminstratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali. (2) sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya. Pasal 121 : (1) sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 dijatuhkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri. Sanksi pidana diberlakukan kepada : a. barang siapa yang diminta keterangan oleh mediator, tidak memberikan keterangan termasuk membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan; b. barang siapa yang diminta keterangan oleh konsiliator, tidak memberikan keterangan termasuk membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan; c. barang siapa yang diminta keterangan oleh arbiter tidak memberikannya, termasuk membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan; d. konsiliator yang tidak manjaga kerahasiaan; e. arbiter yang tidak merahasiakan semua keterangan yang diminta; f. setiap orang yang tidak bersedia menjadi saksi atau saksi ahli untuk memenuhi panggilan untuk memberikan kesaksian yang dipanggil majelis hakim; g. barang siapa yang tidak bersedia memberikan keterangan temasuk membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. Universitas Sumatera Utara Sanksi pidana tersebut diatur pada pasal yang berbunyi sebagai berikut 76: (1) barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90 ayat (2), kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran B. Bipartit Sebagai Mekanisme Ditinjau dari Segi Filsafat Indonesia Berdasarkan Musyawarah Mufakat dan Keadilan Hukum Didalam sila ke 4 Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, telah menggambarkan bahwa sebelum diambil suatu keputusan yang menyangkut kepentingan bersama maka haruslah didahulukan musyawarah mufakat. Dengan sila kerakyatan yang dimpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dalam menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, maka pada dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain. Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat. Musyawarah untuk 76 Pasal 122 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus menerimanya dan melaksanakannya dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab. Di sini kepentingan bersamalah yang diutamakan diatas kepentingan pribadi dan golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawbakan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama. Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan diberikan kepada wakilwakil yang dipercayainya.77Secara institusional dalam bidang kehidupan berbangsa , Pancasila telah diwujudkan dengan kesediaan beberapa ratus suku menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia, dengan derajat yang sama bagi tiap-tiap suku. Persatuan suku-suku menjadi satu bangsa itu dibuktikan dengan nyata dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di atas bahasa yang dimiliki oleh tiap-tiap suku. Disamping itu dapat disebut juga pengakuan bendera merah putih sebagai bendera kebangsaan serta lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. 77 Darji Darmodiharjo, C.S.T. Kansil dan Kasmiran Wuryo, Menjadi Warga Negara Pancasila, (Jakarta : P.N. Balai Pustaka, 1979), hlm. 29-30. Universitas Sumatera Utara Di dalam bidang kehidupan bernegara telah pula melembaga unsur-unsur Pancasila yang dijabarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia sebagai wadah Pancasila telah membentuk dan mengoperasikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jabatan presiden, wakil presiden dan menteri, Badan Pemeriksa Keuangan dan lembagalembaga negara lainnya. Lagipula daerah Republik Indonesia telah dibagi-bagi menjadi daerah propinsi dan kabupaten sebagai daerah otonom, sedang puluhan ribu desa telah dikukukan dengan pemerintahan yang diberi wewenang menyelenggarakan pemerintahan langsung bagi masyarakat desa. Dalam kaitannya dengan hukum yang berlaku bagi bangsa dan negara Indonesia, Pancasila telah dinyatakan kedudukannya oleh para pendiri negara ini sebagaimana terlihat dalam UUD 1945 dalam penjelasan umum. Di sana ditegaskan, bahwa Pancasila adalah cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum dasar yang tertulis maupun hukum dasar yang tidak tertulis. Hukum ketenagakerjaan adalah salah satu hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur masalah hubungan industrial. Dalam Pasal 102 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan : 1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Universitas Sumatera Utara 2. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. 3. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan. Hubungan industrial (industrial relation) di Indonesia merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dalam proses produksi di perusahaan pihakpihak yang terlibat secara langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan pemerintah termasuk sebagai para pihak dalam hubungan industrial karena berkepentingan untuk terwujudnya hubungan kerja yang harmonis sebagai syarat keberhasilan suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat yang pada akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Peran pemerintah dalam hubungan indsutrial ini diwujudkan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, peraturan perundang-undangan yang harus ditaati Universitas Sumatera Utara oleh para pihak, serta mengawasi atau menegakkan peraturan tersebut sehingga dapat berjalan secara efektif, serta membantu dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dengan demikian, kepentingan pemerintah dalam hubungan industrial adalah menjamin keberlangsungan proses produksi secara lebih luas.78 Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dalam melaksanakan hubungan industrial berfungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasinya secara demokratis, mengembangkan ketrampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Pengusaha/organisasi pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu hubungan industrial tidak hanya dilihat dari konteks hubungan antara pekerja dan pengusaha semata, peraturan-peraturan ketenagakerjaan, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial, ekonomi dan politik karena di dalamnya mencakup pola konsep keadilan, kekuasaan, hak dan tanggung jawab. Pada akhirnya tujuan hubungan industrial adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja dan pengusaha, tujuan ini saling berkaitan dan terkait satu dengan yang lainnya yang berarti bahwa pengurangan terhadap yang satu akan mempengaruhi yang lain. Tingkat produktivitas 78 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & di Luar Pengadilan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 18. Universitas Sumatera Utara perusahaan misalnya sangat ditentukan oleh tingkat produktivitas pekerja, produktivitas yang tinggi hanya dimungkinkan jika perusahaan tersebut memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya. Peningkatan kesejahteraan pekerja hanya layak jika produktivitas perusahan meningkat. Semua pihak yang terlibat dalam proses produksi terutama pengusaha, perlu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif melalui bipartit untuk mencapai produktivitas yang diinginkan. Melalui bipartit dapat dibangun kemitraan antara pengusaha dengan pekerja/buruh sehingga tercipta damai di tempat kerja. Hubungan kemitraan antara pekerja/buruh dan pengusaha akan terganggu jika salah satu pihak memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lain, sehingga pemenuhan kebutuhan atau kepentingan salah satu pihak dirugikan. Untuk mengarahkan dan mengembalikan hubungan kerja sama antara pekerja dan pengusaha dalam kegiatan tersebut, hukum ketenagakerjaan sebagai pedoman dalam hubungan industrial mempunyai kedudukan dan peranan yang penting. Melalui perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang aspiratif diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kedua belah pihak. Kemitraan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan konsep yang harus dikembangkan dalam hubungan industrial, jika pihak pekerja/buruh dan pengusaha menginginkan perusahaannya maju dan berkembang serta dapat bersaing dalam tataran nasional dan internasional. Dengan demikian, hubungan kemitraan antara pekerja/buruh dan pengusaha ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemajuan Universitas Sumatera Utara perusahaan. Untuk itu masing-masing pihak harus konsisten melaksanakan kewajibannya masing-masing. Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha didasari adanya kesepakatan kedua belah pihak tentu tidak selamanya harmonis adakalanya terjadi perselisihan dan bahkan terjadi pemutusan hubungan kerja. Betapapun harmonisnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh tetap ada perselisihan, yang perlu menjadi perhatian pengusaha dan pekerja/buruh adalah bahwa penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih dengan musyawarah mufakat (bipartit) yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian musyawarah mufakat (bipartit) ini tidak ada kalah menang tetapi samasama menang. Ditinjau dari beberapa perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang pernah berlaku dan yang sedang berlaku di Indonesia tetap mendahulukan sistem bipartit. Seperti yang pernah berlaku antara lain : 1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan : bila terjadi perselisihan perburuhan, maka serikat buruh dan majikan mencari penyelesaian perselisihan itu secara damai dengan jalan perundingan. Dalam memori penjelasan UndangUndang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan : “perlu ditegaskan bahwa yang menjadi pokok pikiran dari UndangUndang ini ialah bahwa adalah tingkat pertama pihak-pihak yang berselisih harus sendiri menyelesaikan kesukaran-kesukaran mereka dalam lapangan perburuhan Universitas Sumatera Utara dengan jalan perundingan yang langsung antara kedua belah pihak”. Bila perundingan antara kedua belah pihak itu menghasilkan persetujuan-persetujuan itu disusun menjadi suatu perjanjian perburuhan. Dalam memori penjelasan Undang-Undang No 22 Tahun 1957 Tentang Perselisihan Perburuhan sangat jelas memakai sistem bipartit dalam meyelesaikan persoalan perselisihan hubungan industrial. 2. Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta pada Pasal 2 menyatakan : “ bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh”. Dari pasal ini sangat jelas menyatakan bahwa yang diutamakan dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah dengan cara musyawarah mufakat (bipartit). Pada penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta di dalam pokok-pokok pikiran yang diwujudkan dalam Undang-Undang ini dalam garis besarnya antara lain adalah sebagai berikut : 1. Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya upaya bahkan dalam beberapa hal dilarang. Universitas Sumatera Utara 2. Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan antara pihak-pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterima oleh yang bersangkutan daripada penyelesaian yang dipaksakan oleh pemerintah, maka dalam sistem undangundang ini, penempuhan jalan perundingan ini merupakan kewajiban, setelah daya dan upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil. Baik pada Pasal 2 maupun dalam pokok-pokok yang terkandung pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta menginginkan penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara bipartit yaitu musyawarah mufakat. Walaupun undang-undang tersebut tidak berlaku lagi semenjak berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, akan tetapi undang-undang tersebut tetap mengutamakan sitem bipartit. 3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-undang ini dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial selalu mengutamakan sistem bipartit. Dalam Pasal 136 yang berbunyi : (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang. Universitas Sumatera Utara Pasal 151 yang berbunyi : (1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. (2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buurh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buurh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 152 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. (2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan indsutrial apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2). (3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Dari Pasal 136, Pasal 151 dan Pasal 152 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sangatlah jelas bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dimulai melalui bipartit, apabila gagal bipartit baru kemudian ditempuh melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ini bipartit merupakan langkah pertama yang wajib dilaksanakan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti pada : a. Pasal 3 (a) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. (b) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. (c) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagimana dimaksud dalam ayat (3) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. Setelah perundingan gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan tersebut ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut : b. Pasal 4 (1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. (2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. (3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsilisasi atau melalui arbitrase. Universitas Sumatera Utara (4) Dalam hal upaya para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. (5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. (6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Baik Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial semua undang-undang tersebut mengutamakan musywarah untuk mufakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. C. Keberhasilan Penyelesaian Perselisihan Secara Bipartit di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang 1. Data 3 (tiga) Tahun Terakhir yang Sudah Selesai dan Tidak Selesai Dalam Bipartit. Dari hasil penelitian di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang diperoleh data seperti pada tabel 3 di bawah ini : Universitas Sumatera Utara Tabel 4. Jumlah Kasus Perselisihan Hubungan Industrial pada Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang tahun 2012 s/d tahun 2014 Jenis Perselisihan No 1 2 3 Keterangan Selesai Anjuran PHK Hak Kepentingan PHK % Hak % Kepentingan % PHK Hak Kepentingan 2012 66 15 3 28 42,4 10 66,6 2 66.6 40 3 1 2013 81 25 2 38 46,9 16 64 1 50 43 9 1 2014 104 26 4 56 53,8 21 80,8 2 50 44 9 2 Thn Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014 Dari tabel diatas maka dapat dilihat bahwa pada tahun 2012 jumlah kasus yang masuk ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang adalah 84 kasus. Kasus yang selesai sebanyak 40 kasus dengan jenis sebagai berikut : 1. Pemutusan hubungan kerja sebanyak 28 kasus yang persentasenya 42,42% 2. Perselisihan hak sebanyak 10 kasus yang persentasenya 66,6% 3. Perselisihan kepentingan sebanyak 2 kasus yang persentasenya 66,66% Jumlah kasus yang tidak selesai adalah 44 kasus. Untuk tahun 2013 jumlah kasus yang masuk ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang adalah 108 kasus dan kasus yang selesai sebanyak 55 kasus dengan jenis sebagai berikut : 1. Pemutusan hubungan kerja sebanyak 38 kasus yang persentasenya 46,91% 2. Perselisihan hak sebanyak 16 kasus yang persentasenya 64% 3. Perselisihan kepentingan sebanyak 1 kasus yang persentasenya 50% Jumlah kasus yang tidak selesai pada tahun 2013 adalah 53 kasus. Kemudian untuk tahun 2014 jumlah kasus yang masuk ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan Universitas Sumatera Utara Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang adalah : 134 kasus dan yang selesai sebanyak 79 kasus dengan jenis sebagai berikut : 1. Pemutusan hubungan kerja sebanyak 56 kasus yang persentasenya 53,8% 2. Perselisihan hak sebanyak 21 kasus yang persentasenya 80,8% 3. Perselisihan kepentingan sebanyak 2 kasus yang persentasenya 50% Jumlah kasus yang tidak selesai pada tahun 2014 adalah 55 kasus. Dari data tahun 2012 yang tidak selesai secara bipartit adalah 44 kasus. Tahun 2013 sebanyak 53 kasus dan tahun 2014 sebanyak 55 kasus. Terhadap semua kasuskasus yang tidak selesai secara musyawarah ini , maka mediator mengeluarkan anjuran kepada kedua belah pihak yaitu pekerja/buruh dan pengusaha sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai berikut :79 Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi maka : a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis; b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam waktu selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak: c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambatlambatnya10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis; d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud dalam huruf c dianggap menolak anjuran tertulis; e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Negeri di wilayah 79 Pasal 13 ayat 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Apabila kedua belah pihak atau salah satu pihak tidak dapat menerima isi anjuran dari mediator tersebut maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan ke pengadilan hubungan industrial sebagaimana disebut dalam UndangUndang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai berikut:80 (1) Dalam hal anjuran tertulis sebagimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu phak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. (2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Pengadilan hubungan industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/organisasi buruh serta dibantu oleh panitera muda dan panitera pengganti81. 2. Penyebab Kegagalan Bipartit Walaupun pesan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa setiap persoalan perselisihan harus lebih 80 Pasal 14 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 81 Pasal 60, pasal 63 ayat 2,pasal 88 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Universitas Sumatera Utara dahulu diselesaikan melalui bipartit, tetapi penyelesaian melalui bipartit tidak semua dapat selesai. Tidak selesainya perselisihan tersebut melalui bipartit dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut 82 : a. Pihak pekerja/buruh Setelah pekerja/buruh dipecat oleh pengusaha maka pekerja/buruh tidak mau lagi datang ke perusahaan untuk merundingkannya dengan pengusaha ataupun melapor kepada serikat pekerja/serikat buruh yang ada pada perusahaan tersebut tetapi yang dilakukan pekerja/buruh adalah melapor kepada Dinas Tenaga Kerja atau meminta bantuan kepada pengacara. Ketika ditanya mengapa tidak dirundingkan dengan pengusaha, maka pekerja/buruh menjawab pada saat diberhentikan pengusaha, pekerja/buruh yang telah diberhentikan tersebut tidak diperbolehkan oleh pengusaha untuk memasuki lokasi perusahaan dan diusir oleh satpam (security). Ada pula Pekerja yang mengatakan telah benci melihat pengusaha dan biarlah berjumpa di Dinas Tenaga Kerja saja. b. Pihak pengusaha Akibat kesalahan pekerja/buruh yang dilakukannya seperti pencurian, penggelapan, penghasutan kepada teman sekerja, maka pengusaha merasa sangat keberatan apabila pekerja/buruh tersebut masuk ke lokasi perusahaan karena akan dicontoh oleh pekerja-pekerja lain. Pengusaha berpendapat bahwa lebih baik bertemu dengan pekerja tersebut di kantor Dinas Tenaga Kerja. 82 Wawancara dengan Bapak Mustamar SH, M.H.,Kepala Bidang Perselisihan Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang pada tanggal 14 September 2015 di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang. Universitas Sumatera Utara c. Faktor Lain Faktor lain dalam hal ini adalah adanya pihak lain yang ingin campur tangan agar kasus tersebut berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial. Hal ini dapat terjadi apabila perselisihan yang timbul maka pihak pekerja/buruh secara langsung memberikan kuasa kepada orang lain dan orang lain tersebut tidak ingin kasus itu selesai, kalau boleh sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial bahkan ke Mahkamah Agung. d. Kurangnya peran serikat pekerja/serikat buruh Seharusnya bila sudah ada serikat pekerja/serikat buruh berdiri di perusahaan maka sudah dapat membantu pekerja/buruh tersebut apabila terjadi perselisihan. Pekerja/buruh tersebut dapat meminta bantuan serikat pekerja/serikat buruh untuk mrngurus perselisihan atau membela pekerja/buruh. Kenyataannya banyak pekerja/buruh tidak mau meminta bantuan kepada serikat pekerja/serikat buruh dengan alasan bahwa serikat pekerja/serikat buruh tersebut telah main mata dengan pengusaha padahal tuduhan tersebut tidak benar. Selain itu bahwa di perusahaan tersebut belum ada terbentuk serikat pekerja/serikat buruh. Keempat faktor ini yang menjadikan pengusaha enggan melakukan bipartit dengan pekerja/buruh ditempat kerja atau di lingkungan perusahaan. Pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja baik di kabupaten/kota maupun di tingkat propinsi bahkan pada tingkat Kementrian Tenaga Kerja selalu mengadakan penyuluhan tentang pentingnya dilakukan bipartit antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Universitas Sumatera Utara 3. Persoalan Hukum yang dihadapi perusahaan dalam mengunakan mekanisme bipartit dalam penyelesaian perselisihan Konsultasi bipartit sebenarnya tidak hanya untuk mencegah atau mengantisipasi timbulnya masalah. Banyak aspek lain, termasuk upaya peningkatan produktivitas dan partisipasi pekerja/buruh dalam perusahaan dapat dibicarakan secara bipartit. Oleh karena itu fungsi konsultasi bipartit dapat mencakup berbagai hal di perusahaan yang lebih luas. Perlu dipahami bahwa adanya Lembaga Kerjasama Bipartit sama sekali tidak mengganti fungsi serikat pekerja/serikat buruh di dalam perundingan. Lembaga Kerjasama Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi bukan merupakan forum musyawarah atau perundingan. Forum musyawarah atau perundingan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan sedangkan forum konsultasi/komunikasi tidak dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan. Dengan fungsi tersebut, maka di perusahaan dapat dibentuk Lembaga Kerjasama Bipartit. Keanggotaannya meliputi wakil dari pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan manajemen. Khusus wakil dari pekerja/buruh dapat dilengkapi dengan pekerja/buruh yang mewakili satuan kerja tertentu di luar serikat pekerja/serikat buruh. Hal ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan masingmasing. Proses mekanisme kerja Lembaga Kerjasama Bipartit juga dapat bervariasi dimana dari satu perusahaan ke lain perusahaan dapat berbeda. Tetapi satu prinsip yang perlu dipegang adalah bahwa Lembaga Kerjasama Bipartit dapat berfungsi Universitas Sumatera Utara dengan optimal apabila didukung dan mendapatkan komitmen dari manajemen puncak. Masalah ketenagakerjaan adalah masalah hukum. Semakin maju suatu industri di suatu negara maka masalah hubungan kerja menjadi masalah sosial dan hukum. Hukum suatu bangsa senantiasa merupakan bagian dari suatu proses sosial yang lebih besar, yang dijalankan oleh bangsa tersebut. Khusus membicarakan perkembangan hukum, sama sekali tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan proses-proses yang berlangung dalam masyarakat itu sendiri. Proses-proses seperti perubahan terjadi oleh karena berbagai bidang atau segi kehidupan masyarakat tengah mengadakan penyesuaian atau mencari bentuknya yang tepat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang baru, baik tuntutan fisik maupun idiil83. Objek ilmu hukum tidak hanya norma hukum, tetapi juga perilaku manusia yang ditentukan oleh norma hukum sebagai syarat atau konsekuensi, dengan kata lain, perilaku yang terkandung dalam norma hukum. Hubungan antar manusia merupakan objek ilmu hukum hanya dalam konteks hubungan hukum, yakni sebagai hubungan yang diatur oleh norma-norma hukum84. Tidak jauh berbeda dengan hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha ada hubungan antara atasan dengan bawahan yang setiap harinya terjadi karena ada pekerjaan kecuali hari libur dan diluar jam kerja. Hubungan antara pekerja/buruh 83 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1997), hlm. 137. 84 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, 2007), hlm. 80-81. Universitas Sumatera Utara dengan pengusaha pada mulanya adalah hubungan yang ditimbulkan karena adanya perjanjian kemudian diawasi ole hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu hukum ketenagakerjaan. Hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah hubungan kerja yang diatur hukum ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah (heteronom). Hukum ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak cukup mengatur seluruh hubungan kerja, syarat kerja dan kondisi kerja. Oleh karena itu pengusaha dengan pekerja/buruh membuat perjanjian kerja, pengusaha membuat peraturan perusahaan, pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh mengadakan perjanjian kerja bersama (otonom). Kebebasan antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan perjanjian atau kesepakatan tetap berpedoman kepada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 52. Dari segi norma hukum, budaya hukum dan masalah sosial/non hukum yang berhubungan dengan masalah perselisihan hubungan industrial dan mekanisme bipartit maka berdasarkan wawancara dengan pengusaha berpendapat bahwa 85: a. Pengusaha selalu beranggapan apabila sesuatu perselisihan diselesaikan melalui bipartit maka akan menjadi contoh kepada pekerja/buruh yang lain bahwa apabila pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh kemudian ditindak oleh pengusaha janganlah diselesaikan melalui bipartit dan pengusaha merasa kurang wibawanya 85 Wawancara dengan Bapak Simon Lumban Tobing selaku APK (Asisten Personalia Kebun) pada tanggal 14 September 2015 di Kantor PTPN III Kebun Sei Putih, Galang. Universitas Sumatera Utara di perusahaan. Apalagi penyelesaian bipartit itu mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar kompensasi kepada pekerja seperti pesangon dan penghargaan masa kerja akan mempermalukan pengusaha. Pengusaha lebih bersedia membayar pesangon dan penghargaan masa kerja di Kantor Dinas Tenaga Kerja dengan sebutan pesangon dan penghargaan masa kerja diganti namanya menjadi uang pisah atau good will atau nama lain dengan tidak menyebut pesangon dan penghargaan masa kerja walaupun besar dan nilainya sama dengan pesangon dan penghargaan masa kerja. b. Pengusaha beranggapan pembayaran dengan cepat melalui bipartit akan membuat pekerja tidak jera dan akan mengulangi lagi perbuatannya tersebut di tempat kerja yang baru. Pengusaha juga beranggapan bahwa hal ini tidak mendidik. c. Pengusaha juga mengatakan bahwa pengusaha menyukai mekanisme bipartit ini karena merupakan sistem yang perlu dibudayakan menjadi suatu budaya hukum dalam hubungan kerja. Akan tetapi dapat berdampak sosial bagi pekerja/buruh lain sehingga kurang takut berbuat tidak disiplin di lingkungan perusahaan. Bila pekerja/buruh tidak disiplin di lingkungan perusahaan akan menurunkan produktivitas kerja. Demikian hasil wawancara dengan perusahaan. Bipartisme dapat dilihat dari dua segi :86 a. Sebagai “lembaga” di mana di dalam perusahaan terdapat lembaga secara fisik yang melaksanakan berbagai fungsi di luar keserikatpekerjaan/keserikatburuhan. 86 Suwarto, ibid., hlm. 26-28. Universitas Sumatera Utara b. Sebagai “mekanisme” di mana di perusahaan tidak terdapat lembaga secara fisik dan apabila timbul berbagai masalah yang memerlukan pembahasan maka konsultasi/pembahasan dilakukan oleh wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan wakil manajemen yang merupakan dua pihak yang berkepentingan. Salah satu contohnya ialah perundingan penyelesaian perselisihan antara pekerja/buruh atau organisasinya dengan manajemen. Keberadaan bipartit baik dari segi lembaga yang dikenal dengan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit maupun dari segi mekanisme atau sistemnya merupakan kedua hal yang sangat penting dibudayakan dalam hubungan industrial dan dalam lingkungan perusahaan khususnya. Bipartit sebagai lembaga yang diwujudkan dalam Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit di perusahaan adalah sebagai forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah bagi pekerja/buruh dengan pengusaha. Sebagaimana fungsi dari LKS Bipartit itu sendiri yakni : 1. Sebagai forum komunikasi, konsultasi untuk musyawarah antara pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh pada tingkat perusahaan. 2. Sebagai forum untuk membahas masalah dan persoalan hubungan industrial di perusahaan guna meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan pekerja/buruh yang menjamin kelangsungan usaha dan kesempatan kerja. 3. Sebagai forum kerjasama dalam hal konsepsi pemikiran dan penyamaan persepsi87. Melihat dari fungsi LKS Bipartit tersebut maka unsur komunikasi dan partisipasi merupakan unsur yang paling hakiki di dalam kerjasama di tempat kerja. 87 Pedoman LKS Bipartit, op. cit., hlm. 10. Universitas Sumatera Utara LKS Bipartit dipakai sebagai wadah dimana pekerja/buruh dan pengusaha satu sama lain dapat menyampaikan masalah atau persoalannya. Kedua belah pihak juga dapat memberikan informasi tentang masalah yang sedang dihadapi atau mungkin yang akan terjadi pada waktu yang akan datang yang berdampak pada satuan kerja maupun perusahaan. LKS Bipartit yang secara rutin mengadakan pertemuan memungkinkan terjadinya pertukaran pendapat secara teratur yang dapat menghasilkan rasa saling pengertian, konsensus, dan penyelesaian masalah untuk kepentingan bersama diantara kedua belah pihak. Dengan demikian LKS Bipartit sebagai forum/wadah komunikasi, konsultasi dan musyawarah antara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah upaya pecegahan/preventif terhadap timbulnya perselisihan hubungan industrial. Bipartit bila dipandang dari segi sistem atau mekanisme adalah merupakan perundingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Mekanisme ini melibatkan 2 (dua) unsur yaitu pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha. Sebagaimana pesan dari Undang-undang Ketenagakerjaan dan UndangUndang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa di dalam penyelesasian perselisihan hubungan industrial mewajibkan penyelesaian secara bipartit. Penyelesaian perselisihan ini membahas, mendiskusikan dan menyelesaikan masalah hubungan industrial termasuk penyelesaian perselisihan berdasarkan musyawarah mufakat. Bipartit dari segi lembaga maupun sistem sangat perlu dibudayakan di perusahaan. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. LKS Bipartit sebagai Universitas Sumatera Utara forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah sedangkan bipartit sebagai sistem adalah prosedur atau cara yang digunakan dalam mendiskusikan, membahas dan menyelesaikan masalah hubungan industrial yang timbul antara kedua belah pihak. Keberadaan LKS Bipartit di suatu perusahaan akan mendukung bipartit itu sendiri. Sebagai upaya preventif terhadap timbulnya perselisihan hubungan industrial maka LKS Bipartit akan mengurangi perbedaan pendapat yang timbul antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Universitas Sumatera Utara BAB IV SANKSI DAN PELAKSANAAN SANKSI PASAL 190 UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP PERUSAHAAN YANG TIDAK MEMBENTUK LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT A. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pasal 190 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Setiap undang-undang ataupun peraturan apabila tidak ada sanksinya dan tidak ada pengawasan dari pemerintah, maka undang-undang atau peraturan itu tidak akan berjalan. Hukum ditaati orang karena hukum itu bersifat memaksa, dalam hal ini dapat ditinjau dari batasan-batasan yang dikemukakan oleh beberapa sarjana hukum seperti 88: a. Menurut P. Borst hukum ialah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau damai dan keadilan. b. Menurut Van Kan hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia didalam masyarakat. c. Disamping unsur verlof, belofte, dan disposisi menurut Paul Scholten ―Recht is bevel‖. Bevel adalah perintah yang berarti bahwa hukum mempunyai sifat memaksa. Sifat hukum ketenagakerjaan adalah merupakan perintah atau larangan dengan menggunakan kata-kata “harus”, “wajib”, dan “tidak boleh” atau “dilarang”. 88 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hlm. 66-67. Universitas Sumatera Utara Sanksi terhadap pelanggaran atas peraturan biasanya ialah tidak sahnya atau batalnya tindakan yang melanggar itu. Bahkan sering kali juga tindakan melanggar itu diancam pula dengan pidana kurungan atau denda. Hukum ketenagakerjaan yang dibuat Belanda di Indonesia pada waktu Indonesia dijajah Belanda telah mengenal sanksi yang dikenal dengan poenale sanksi. Untuk menjamin perusahaan mendapatkan buruh yang tetap melakukan pekerjaannya, maka dalam Algemene Politie Strafreglement ditambahkan ketentuan (stbl 1872 No. 111) yang menetapkan bahwa buruh yang tiada dengan alasan yang dapat diterima, meninggalkan atau menolak melakukan pekerjaannya dapat dipidana dengan denda antara Rp.16 dan Rp. 25 atau dengan kerja paksa selama 7 sampai 12 hari. Baik diluar maupun dalam Stafen General di Nederland atauran poenale sanksi itu yang memberi kedudukan unggul diluar batas kepada pengusaha dan membuka pintu untuk penyalahgunaan, mendapat kecaman cukup pedas, sehingga pada tahun 1879 dicabut kembali89. Setelah Indonesia merdeka dengan keluarnya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 No. 12 yang berlaku di seluruh Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 Tentang Persyaratan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 No. 12 yaitu pada Pasal 8 disebutkan bahwa majikan dan pegawai yang mengawasi tidak memenuhi kewajibannya dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiah dan jika pelanggaran ini terjadi di dalam waktu dua tahun semenjak yang melanggar dikenakan hukuman yang tidak dapat 89 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Djambatan, 1974), hlm. 23. Universitas Sumatera Utara berubah lagi karena pelanggaran yang sama, maka dijatuhi hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah. Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja dalam Pasal 17 juga disebutkan bahwa peraturan perundangan tersebut dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) dan tindak pidana tersebut adalah pelanggaran. Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi setelah keluarnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan dilakukan dengan pengawasan karena peraturan perundang-undangan tersebut adalah bagian dari perlindungan hak asasi manusia bagi pekerja/buruh. Perundang-undangan untuk melindungi buruh hanya akan mempunyai arti bila pelaksanaannya diawasi oleh suatu ahli, yang harus mengunjungi tempat kerja pada waktu-waktu tertentu untuk dapat menjalankan tiga tugas yang pokok yaitu 90: a. Melihat dengan jalan memeriksa dan menyelidiki sendiri apakah ketentuanketentuan dalam perundang-undangan dilaksanakan dan jika tidak demikian halnya mengambil tindakan-tindakan yang wajar untuk menjamin pelaksanaannya itu; b. Membantu baik buruh maupun pimpinan perusahaan dengan jalan memberi penjelasan-penjelasan teknis dan nasihat yang mereka perlukan agar mereka 90 Iman Soepomo, ibid., hlm. 59-60. Universitas Sumatera Utara menyelami apakah yang dimintakan oleh peraturan dan bagaimanakah melaksanakannya; c. Menyelidiki keadaan perburuhan dan mengumpulkan bahan yang diperlukan untuk penyusunan perundang-undangan perburuhan dan penetapan kebijaksanaan pemerintah. Badan pengawasan ini pengawasan kesehatan kerja dan pengawasan keamanan kerja pertama-tama bertanggung jawab atas pelaksanaan peraturan mengenai perlindungan bagi buruh seperti waktu kerja, waktu istirahat, pekerjaan orang muda, dan wanita serta kesehatan dan keamanan kerja. Pengawasan ini sendiri bukanlah alat perlindungan melainkan lebih merupakan cara untuk menjamin pelaksanaan peraturan perlindungan. Pengawasan pada permulaan perkembangannya di bidang industri sebagian besar ditujukan kepada pabrik dimana pertama-tama dirasakan perlunya peraturan perlindungan. Penggunaan cara-cara produksi dengan mesin di pabrik yang mempekerjakan sejumlah buruh termasuk banyak wanita dan anak jelas memerlukan aturan-aturan untuk melindungi buruh terhadap akibat buruk dari kerja lembur dan bahaya khusus terhadap kesehatan dan keselamatan yang timbul dari pekerjaan di pabrik Pengawasan bagi pengusaha akan memberi jalan untuk mendapatkan penjelasan dari pihak pengawas (pemerintah) mengenai kewajiban pengusaha menurut undang-undang ketenagakerjaan. Pelaksanaan peraturan perundangundangan ketenagakerjaan di perusahaan oleh pengawas dari pemerintah dapat Universitas Sumatera Utara mengakibatkan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh semakin harmonis. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengenal 2 (dua) jenis sanksi yaitu sanksi pidana dan sanksi administratif. Sanksi pidana diatur mulai dari Pasal 183 s/d Pasal 189 sedangkan sanksi administratif diatur di dalam Pasal 190 yang berbunyi sebagai berikut 91: (1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal ayat (1) dan ayat (2) undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa : a. teguran; b. peringatan tertulis; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pembatalan persetujuan; f. pembatalan pendaftaran; g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; h. pencabutan ijin. (3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh menteri. Pasal 190 tersebut dikenakan terhadap pelanggaran 12 (dua belas) pasal Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Khusus terhadap Pasal 106 yang disebut dalam ayat (1) dinyatakan bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit. Namun demikian belum ada pelaksanaan sanksi 91 Pasal 190 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Universitas Sumatera Utara administratif tersebut bagi perusahaan yang tidak membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit sampai sekarang92 B. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Tentang Sanksi Administrasi Banyak pasal-pasal didalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang pelaksanaannya harus diatur oleh Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia. Untuk sanksi didalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ada 2 (dua) macam yaitu sanksi pidana dan sanksi administratif. Sanksi administratif terhadap pengusaha yang mempekerjakan 50 (lima puluh) pekerja/buruh atau lebih yang tidak mau membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit sampai saat ini peraturan pelaksanaan penjatuhan sanksi belum ada dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI adalah merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Ketenagakerjaan, apabila pasal-pasal dari undang-undang tersebut memerlukan peraturan menteri dalam pelaksanaannya. Banyaknya pasal-pasal dari undang-undang yang harus dilaksanakan melalui peraturan menteri akan membuat undang-undang itu semakin kurang berpihak kepada masyarakat. Begitu pula dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang pelaksanaan pasal-pasalnya banyak diatur dengan peraturan menteri tenaga kerja RI maka undangundang itu kurang berpihak kepada pekerja/buruh, mungkin saja akan berpihak 92 Wawancara dengan Bapak Mustamar SH, MH. Selaku Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang pada tanggal 16 November 2015 di Kantornya. Universitas Sumatera Utara kepada pengusaha sehingga menteri tenaga kerja mengeluarkan peraturan yang berpihak kepada pengusaha atau tidak mengeluarkan, sehingga undang-undang tersebut tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya, padahal undang-undang itu harus terjamin pelaksanaannya melalui pengawasan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 176 Bab XIV Pengawasan, dinyatakan : “pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan”. Konvensi ILO No. 81 tahun 1947 mengenai pengawasan ketenagakerjaan dalam industri dan perdagangan yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2003 Tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning The Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi ILO No. 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan) dinyatakan : Pasal 1 bagian I Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri : Setiap anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang memberlakukan konvensi ini harus melaksanakan sistem pengawasan ketenagakerjaan di tempat kerja industri. Pasal 2 : (1) Sistem pengawasan ketenagakerjaan di tempat kerja industri harus diterapkan di seluruh tempat kerja dimana ketentuan perundang-undangan mengenai kondisi kerja dan perlindungan pekerja/buruh saat melaksanakan pekerjaannya dapat ditegakkan oleh pengawas ketenagakerjaan. Universitas Sumatera Utara (2) Perundang-undangan atau peraturan nasional dapat mengecualikan pelaksanaan konvensi ini bagi perusahaan pertambangan dan transportasi atau bagian dari kedua jenis perusahaan tersebut. Pengawasan ketenagakerjaan diselenggarakan guna mewujudkan keadilan sosial melalui pembentukan, penerapan dan penegakan hukum ketenagakerjaan dan secara operasional pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan. Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan terhadap objek pengawasan ketenagakerjaan meliputi perusahaan, tempat kerja, pekerja/buruh, mesin, peralatan, pesawat, bahan, instalasi, proses produksi, cara kerja, lingkungan kerja, norma kerja dan syarat kerja. Disamping pengawasan penerapan seluruh peraturan perundangundangan ketenagakerjaan terhadap objek pengawasan, pengawasan ketenagakerjaan juga mempunyai kewajiban untuk mengawasi dan melaporkan pelaksanaan penerapan Konvensi ILO yang telah diratifikasi93. Belum keluarnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja terhadap pelaksanaan sanksi administratif akan berdampak buruk terhadap lestarinya hubungan industrial yang harmonis di perusahaan. Lestarinya hubungan industrial yang harmonis di perusahaan akan meningkatkan produktivitas dan akan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh. 93 M.S.M. Simanihuruk, Reformasi Pengawas Ketenagakerjaan, (Jakarta : DPP Asosiasi Pengawas Ketenagakerjaan Indonesia, 2006), hlm. 3-4. Universitas Sumatera Utara C. Data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang Hasil penelitian di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Deli Serdang bahwa belum ada satu pun perusahaan yang dikenakan sanksi administratif karena pengusaha tidak membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit. Sanksi ini tidak dijatuhkan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi karena belum keluarnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja yang mempengaruhi keinginan pengusaha untuk membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit. Jumlah perusahaan yang terdaftar di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang adalah sebanyak 669 perussahaan. Perusahaan yang telah membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit hanya 15 perusahaan. Berarti persentasenya adalah : 15/669 × 100% = 2,1%. Pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang, menyatakan bahwa mereka tetap mengadakan penyuluhan kepada pengusaha agar membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit di perusahaan walaupun peraturan pelaksana sanksi administratif tersebut belum ada. Penyuluhan kepada pengusaha untuk pembentukan Lembaga Kerjasama Bipartit sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. PER. 32/MEN/XII/2008 Tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit menyatakan :94 (1) Pembinaan LKS Bipartit dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. 94 Pasal 15 PER. 32/MEN/XII/2008 Tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit . Universitas Sumatera Utara (2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dapat mengikutsertakan organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh. (3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. sosialisasi kepada pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh dalam rangka pembentukan LKS Bipartit. b. memberikan bimbingan dalam rangka pembentukan dan pengembangan LKS Bipartit. Pembiayaan LKS Bipartit ditanggung oleh pengusaha dan pelaporan sebagaimana disebut pada Pasal 1695 yaitu : “Segala biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan pelaksanaan kegiatan LKS Bipartit dibebankan pada Perusahaan”. Tujuan pembentukan LKS Bipartit adalah untuk untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan di perusahaan96 sehingga LKS Bipartit ini sangat diperlukan di setiap perusahaan untuk mencegah terjadinya perbedaan pendapat antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang dapat menimbulkan perselisihan. Pengawas Ketenagakerjaan dan mediator seharusnya bisa berperan sebagai pembina dan dapat juga sebagai konsultan bagi pengusaha maupun pekerja/buruh, sehingga permasalahan ketenagakerjaan di tempat kerja sedini mungkin dapat diantisipasi. Namun kenyataannya belum bisa, disebabkan : 1. Kurangnya informasi; 2. Kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan mengingat peraturan tersebut banyak sekali; 95 Pasal 16 PER. 32/MEN/XII/2008 Tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit. 96 Pasal 2 PER. 32/MEN/XII/2008 Tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit. Universitas Sumatera Utara 3. Pegawai teknis fungsional pengawas ketenagakerjaan maupun mediator merangkap menjabat struktural sehingga pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengawasan kurang optimal; 4. Dalam melaksanakan pembinaan, penyuluhan serta pengawasan kurang didukung sarana dan prasarana yang memadai97. Tidak adanya peraturan pelaksana dalam menjalankan sanksi administratif Pasal 190 menjadi kendala bagi pegawai pengawas untuk melakukan penindakan terhadap perusahaan yang tidak membentuk LKS Bipartit. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan kewajiban bagi setiap perusahaan yang memenuhi syarat untuk membentuk LKS Bipartit. Hal ini menjadi suatu dilematis apabila dikaitkan dengan sifat hukum ketenagakerjaan yang normatif yang artinya apabila dilanggar maka akan ada sanksinya. Lemahnya penindakan oleh pegawai pengawas dikarenakan ketiadaan peraturan pelaksana menjadikan hukum yang sifatnya normatif itu berubah menjadi suatu himbauan atau anjuran, oleh karena itu perlu adanya suatu kepastian hukum di dalam pelaksanaannya. 97 http : // www.naker.go.id/news/2015/01/26studi-deteksi-dini-kerawanan-hubunganindustrial diakses pada tanggal 19 November 2015 pukul 10.09 wib. Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian dari Bab II, Bab III dan Bab IV maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Sebanyak 669 perusahaan yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang hanya 15 perusahaan yang memiliki LKS Bipartit. Keberadaan LKS Bipartit di Kabupaten Deli Serdang yang sebesar 2% ini dirasakan manfaatnya dalam mencegah terjadinya perselisihan di perusahaan. 2. LKS Bipartit yang berfungsi sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan adalah sebagai antisipasi terhadap timbulnya perselisihan (upaya preventif) yang berperan dalam mengurangi perselisihan hubungan industrial. Sedangkan dalam hal penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka dipedomanilah Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang didalamya mengatur mekanisme bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan pengadilan hubungan industrial. 3. Sanksi bagi perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh 50 (lima puluh) orang atau lebih adalah sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 190 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu berupa : teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi dan pencabutan ijin. Sanksi administratif Universitas Sumatera Utara tersebut belum dapat dijalankan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Deli Serdang karena sampai saat ini belum keluar peraturan pelaksana Menteri Tenaga Kerja RI tentang sanksi administratif untuk Pasal 190 tersebut. Kewajiban setiap perusahaan yang memenuhi syarat untuk membentuk LKS Bipartit menjadi suatu anjuran atau himbauan yang bersifat tidak mengikat. B. Saran 1.Setiap perusahaan hendaknya membentuk LKS Bipartit supaya komunikasi antara pekerja/buruh dengan pengusaha tidak terhambat. Apabila pengusaha dan pekerja/buruh memanfaatkan sarana LKS Bipartit yang ada di perusahaan maka bila timbul perselisihan dikemudian hari, dapat diselesaikan secara bipartit. 2. Menteri Tenaga Kerja diharapkan segera mengeluarkan peraturan pelaksana sanksi administratif seperti diatur dalam Pasal 190 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sehingga Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat menindak pengusaha yang tidak membentuk LKS Bipartit. 3. Serikat Pekerja/Serikat Buruh diharapkan dapat mendorong pengusaha untuk membentuk LKS Bipartit agar terjalin komunikasi yang lancar diantara kedua belah pihak sehingga tercipta hubungan industrial yang harmonis di perusahaan. Universitas Sumatera Utara