Giliran Advokat Minta Transportasi Berbasis Aplikasi Dilegalkan

advertisement
Giliran Advokat Minta Transportasi Berbasis Aplikasi Dilegalkan
Polemik transportasi berbasis aplikasi online akhirnya mampir ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah
sebelumnya ada demonstrasi sopir taksi menolak keberadaan moda transportasi daring, kini terjadi
sebaliknya. Dua orang warga negara yang berprofesi advokat menggugat Pasal 138 ayat (3) UU No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) lewat judicial review ke MK. Kedua advokat
ingin MK bisa mengakhiri polemik legalitas transportasi berbasis aplikasi yang selama ini terjadi.
Mereka adalah M. Ridwan Thalib dan R. Artha Wicaksana yang merasa dirugikan atas berlakunya pasal
itu. Selaku konsumen pengguna jasa angkutan umum, Thalib dan Wicaksana merasa tidak mendapatkan
kepastian hukum terkait legalitas angkutan umum yang digunakan sehari-hari terutama transportasi
berbasis aplikasi online.
“Rumusan Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ telah menyebabkan ketidakpastian hukum yang bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terkait angkutan umum orang dan/atau barang’,” ujar Ridwan
Thalib usai mendaftarkan permohonan uji materi UU LLAJ di MK, Selasa (29/3).
Selengkapnya, Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ menyebutkan “Angkutan umum orang dan/atau barang hanya
dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.”
Dia menilaiPasal 138 ayat (3) UULLAJ telah memberi pengertian sempit terhadap pengangkutan umum
orang dan/atau barang. Sebab, angkutan umum orang dan/atau barang tersebut dibatasi dengan
“Kendaraan Bermotor Umum”. Padahal, Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ menyebut Kendaraan Bermotor
Umum hanya mencakup mobil penumpang, mobil bus,dan mobil barang. Sedangkan sepeda motor dan
kendaraan khusus tidak termasuk sebagai Kendaraan Bermotor Umum.
Pasal 1 angka 10 UU LLAJ menyebut Kendaraan Bermotor Umum didefinisikan sebagai setiap kendaraan
yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. Ini menunjukkan
adanya inkonsistensi norma ketika kendaraan bermotor tidak masuk dalam jasa angkutan umum, tetapi
masyarakat justru menggunakan jasa tersebut, seperti ojek online, delman, becak dan ojek pangkalan.
“Faktanya, sepeda motor justru sering digunakan sebagai angkutan umum orang dengan dipungut
bayaran. Kita tidak bedakan transportasi online atau tidak online. Itu semua sebenarnya masuk definisi
kendaraan bermotor umumkan,” lanjutnya.
Menurutnya, munculnya teknologi berbasis aplikasi online tersebut secara nyata memberi pilihan salah
satu jenis angkutan umum dengan biaya lebih terjangkau, di samping faktor kenyamanan, keamanan
dan kemudahan. Namun, eksistensi angkutan-angkutan berbasis aplikasi online saat ini justru membawa
polemik terkait keabsahan/legalitasnya yang diikuti sejumlah tindakan Pemerintahyang berpotensi
mengancam keberlangsungan usahanya.
Padahal, aplikasi transportasi online bisa dikategorikan sebagai bentuk pemanfataan teknologi yang
dijamin Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. “Kalau Gojek, Uber, Grab dilarang, saya tidak ada masalah mereka
dilarang tapi jangan sampai merugikan hak-hak konstitusional saya untuk memanfaatkan teknologinya.
Kalau melarang operasional di jalan larang saja, itu haknya Kementerian Perhubungan. Tetapi, jangan
larang penggunaan teknologi aplikasinya,” tegasnya.
Dalam permohonannya, mereka mempersoalkan istilah “angkutan umum orang dan/atau barang” dan
makna dari “kendaraan bermotor umum” dari Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ ini. Dia menilai tidak ada
ukuran yang pasti mengenai dua istilah tersebut karena konsep transportasi online atau ojek pangkalan
sama halnya seperti rental mobil biasa.
“Istilah ‘angkutan umum orang dan/atau barang’ dan makna ‘kendaraan bermotor umum’ tidak jelas.
UU LLAJ sendiri tidak memberi definisi angkutan umum orang dan atau barang secara jelas,” kata dia.
Karena itu, Pemohon meminta MK memaknai kata ‘hanya’ menjadi kata “dapat” dalam Pasal 138 ayat
(3) UU LLAJ. Dengan begitu, angkutan umum orang dan atau barang tidak harus kendaraan bermotor
umum, sehingga memungkinkan kendaraan perseorangan, kendaraan tidak bermotor (delman, becak)
boleh menjadi angkutan umum termasuk menggunakan aplikasi online.
“Menyatakan Pasal 138 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Angkutan umum orang dan/atau barang dapat
dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum’,” sebutnya dalam petitum permohonannya.
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56fb5eac9681c/giliran-advokat-mintatransportasi-berbasis-aplikasi-dilegalkan
Download