Jakarta, 25 Mei 2015 Memahami Kebijakan Bank Indonesia Rabu pekan lalu, bersama sejumlah ekonom senior, saya menghadiri undangan BI untuk berdiskusi seputar perkembangan dan prospek ekonomi Indonesia. Kami mendapat penjelasan latar belakang keputusan mempertahankan BI rate dan melonggarkan sejumlah macroprudential variable (tightening but relaxing). Independen and Prudence Gubernur BI yang langsung memimpin diskusi menepis pemberitaan bahwa kebijakan BI selama ini mendapat tekanan dari pemerintah, termasuk ketika BI menurunkan bunga pada pertengahan Februari 2015. Sesuai amanah Undang-undang yang menjamin independensi BI, Gubernur dan jajaran pimpinan BI kini fokus mencapai mandat price stability. Meski demikian, dalam pelaksanaan kebijakannya BI terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah. Peraga dibawah ini meringkas sistematika BI memandang tantangan yang sedang dihadapi perekonomian Indonesia yang sekaligus melandasi respon ramuan kebijakan. BI mengakui perlambatan ekonomi 1Q15 lebih rendah dibanding batas bawah proyeksi mereka sehingga membutuhkan respon stimulatif. Namun dilain sisi, ada ketidakpastian eksternal global terutama terkait dengan keputusan the Fed menaikkan suku bunga. Sementara itu, keputusan pemerintah menaikkan sejumlah administered good yang melandasi inflasi pada bulan April telah memicu risiko internal tekanan inflasi yang mengharuskan BI tetap berhati-hati (prudence). BI ingin menghindari kekeliruan kebijakan moneter agresif yang dilakukan oleh Turki pada saat tekanan inflasi masih tinggi sementara lingkungan eksternal diwarnai kekuatiran Fed tapering-off. Kebijakan bank sentral Turki tersebut akhirnya memicu pelemahan drastis Lira (TRY, series berwarna biru laut pada peraga) yang pada akhirnya harus diredakan dengan menaikkan policy rate yang sangat besar (warna biru berbintik) pada awal Januari 2014. Memasuki tahun 2015, TRY terus melemah sejalan penurunan policy rate yang lebih rendah ketimbang inflasi (warna merah). Berdasarkan presentasi yang disampaikan oleh Deputi Senior BI, berikut ini kami sampaikan daftar fokus kebijakan BI saat ini: Mencapai target inflasi pada rentang 4.0±1% untuk 2015 dan 2016 Menurunkan CAD menuju tingkat yang lebih sustainable sekitar 2.5%-3.0%GDP Mengawasi dan mengendalikan utang luar negeri dengan peraturan hedging Melonggarkan beragam kebijakan macro-prudential (Loan to Funding Ratio, RR LDR, LTV) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Memperkuat dan memperdalam pasar keuangan dalam negeri serta memperluas instrumen pasar valutas asing termasuk untuk hedging. Mendorong transaksi elektronik dan memperkuat infrastruktur sistem pembayaran (Non Cash Payment system) Menegakkan aturan untuk penggunaan rupiah dalam pembayaran barang dan jasa di wilayah Indonesia. Memasuki sesi tanya jawab, para ekonom secara keseluruhan mengingatkan risiko perlambatan ekonomi terus berlangsung hingga triwulan kedua tahun ini. Akibatnya realisasi pertumbuhan ekonomi dapat jauh dibawah proyeksi pemerintah melalui APBN 2015 (5,7%). Malahan, tanpa stimulus fiskal dan moneter yang pesat dan cepat dikuatirkan terjadi penurunan potential economic growth yang secara sistemik berisiko menjebak Indonesia dalam middle-income trap. Walau menghargai independensi dan sikap berhati-hati BI, saya menyarankan BI untuk menemukan terobosan pada waktu yang tepat untuk lebih stimulatif dengan tetap menjaga kestabilan ekonomi. Saya sampaikan bahwa walau IHSG mengalami peningkatan sejak BI melonggarkan macroprudential, namun arus keluar investor asing terus terjadi yang dilandasi oleh kekuatiran perlambatan ekonomi. Seperti terlihat pada tabel, sepanjang pekan lalu arus penjualan bersih investor asing mencapai $89,2 juta sehingga menyebabkan sepanjang bulan berjalan mencapai $230 juta. Perbedaan Lingkungan 2013 dan 2015 Saya juga menyampaikan pandangan bahwa kondisi Mei 2013 ketika Bernanke mengindikasikan rencana tapering-off berbeda dengan kondisi sekarang ketika Yellen diduga akan mulai menaikkan bunga. Seperti yang kerap saya tulis, penguatan dollar yang terlalu pesat dan cepat mengakibatkan berbagai indikator bisnis dan survei di Amerika Serikat membutuk. Selanjutnya silakan cermati peraga dibawah ini. Kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 2013 ditandai dengan semakin memburuknya defisit neraca berjalan (series batang warna coklat) akibat kebijakan populis mempertahankan subsidi BBM. Sementara itu, pasar saham dan obligasi ditandai gejala optimisme berlebihan (crowded, overbought). Turut dipacu oleh kenaikan S&P500, pada bulan Maret 2013 IHSG (series garis warna hitam) mencetak potensi kenaikan tahunan sebesar 32%. Demikian juga yield SUN bertenor 10 tahun (level kedua, warna merah berbintik) menurun mendekati 5% yang dipicu oleh penurunan tajam yield T-bond. Boleh dibilang obligasi negara saat itu overpriced karena lebih rendah ketimbang proyeksi inflasi masing-masing baik di Indonesia dan Amerika Serikat. Khusus untuk Indonesia, risiko inflasi dipicu oleh penyesuaian harga BBM terkait tingginya harga minyak mentah (level ketiga, garis warna hijau berbintik). [Type a quote from the document or the Kondisi sekarang relatif berbeda. Walaupun bergerak naik secara summary nampak of an interesting point. Youperlahan, kejatuhan harga minyak mentah dan penerapan sistem subsidi berpotensi inflasi can tetap position the textmenurunkan box anywhere in yang tidak jauh dari proyeksi BI. Penurunan harga komoditas primerthe seperti CPO (level ketiga, garis warna document. Use the Drawing Toolsmagenta) turut menurunkan daya beli (pertumbuhan M1) yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan tab to change the formatting of the pullekonomi. quote text box.] Secara eksternal, Yield T-bond saat ini boleh dibilang tidak overvalued karena lebih tinggi dibanding ekspektasi inflasi untuk 10 tahun mendatang. Sementara yield SUN yang berkisar 8 persenan, lebih tinggi dibanding inflasi baik secara historikal jangka panjang (10 tahun terakhir sekitar 6,8%) dan proyeksi kedepan (proyeksi kami 2015 sekitar 4,8%). Semestinya SUN ini menarik untuk investor domestik. Namun terganjal masih tingginya suku bunga deposito untuk deposan besar seperti dana pensiun. Alangkah baiknya bila BI dan OJK serta LPS mengadopsi semacam aturan yang memungkinkan bunga deposito dan bunga kredit dapat diturunkan. Perluasan Macroprudential Saya juga menyoroti pentingnya bagi BI untuk memperluas cakupan macroprudential untuk memacu kepemilikan investor lokal atas SUN. Sejauh ini BI memperbolehkan perbankan memasukkan SUN sebagai komponen giro wajib minimum. Saya memperingatkan BI ada risiko macro vulnerability akibat pergeseran diversifikasi kepemilikan investor asing atas SUN sekira mata uang China berhasil dimasukkan dalam satuan mata uang global SDR (special drawing right) IMF. Untuk seperti itu, kami dengar, China harus meliberalisasi capital account yang memungkinkan investor asing memiliki obligasi negara China. Risiko pergeseran portfolio obligasi negara berkembang tidak dapat dihindari mengingat obligasi negara China akan menjadi high-quality asset sebab didukung oleh cadangan devisa yang sangat besar. Dilain sisi, dengan kinerja yang kurang memuaskan, terutama dalam satuan mata uang dollar, IHSG sulit dibilang overvalued. Selama lima tahun terakhir, rupiah telah terdepresiasi sekitar 43% yang menyebabkan kinerja IHSG (JCI) lebih rendah dibanding negara berkembang secara umum dan S&P500. Peraga dibawah ini menunjukkan rata-rata kinerja IHSG dalam dollar selama 5 tahun terakhir (60 bulan) yang relatif lebih rendah. Memang betul, pelonggaran moneter saja tidak cukup mendorong pertumbuhan ekonomi mengingat tantangan yang dihadapi terbilang kompleks. Peraga dibawah ini memuat perbandingan pertumbuhan ekonomi 1Q15 antar wilayah. Yang paling terpukul dengan pertumbuhan minus meliputi Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Papua Barat. Wilayah ini lebih mengandalkan ekspor komoditas primer yang tidak diuntungkan oleh pelemahan rupiah. Percepatan pengeluaran pemerintah dalam bentuk infrastruktur, tidak hanya akan menurunkan biaya logistik, tetapi juga mengoptimalkan upaya hilirisasi dan re-industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah ekspor. Mempercepat pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi batu bara tidak hanya menyerap produksi lokal, tetapi juga meredakan tekanan kepada neraca berjalan. Sementara pada wilayah sentra industri manufaktur seperti Jawa Barat, pemerintah perlu menemukan terobosan yang kondusif bagi dunia usaha terutama terkait dengan penyelesaian upah pekerja, alokasi terbaik bagi semua pihak untuk pelaksanaan mandatory contribution BPJS-Ketenagakerjaan, perpajakan selain kestabilan rupiah. Pemerintah Terpacu Terkait pengeluaran pemerintah, kita mencermati akhir pekan lalu respon Presiden Jokowi untuk membalas keraguan dengan terus menggelar realisasi pengerjaan berbagai proyek infrastuktur khususnya yang memperbaiki connectivity. Harian Kompas dan Bisnis Indonesia hari ini memuat photo pengerjaan proyek tol Cikampek Palimanan sepanjang 116 kilo meter agar siap digunakan pada musim mudik Lebaran tahun ini. Sejak pekan lalu juga muncul berita dukungan pemerintah Jepang untuk pembiayaan dan pengerjaan Quality Infrastructure di Asia yang nampaknya menjadi tandingan inisiatif China membentuk Asia Infrastructure Investment Banking (AIIB). Media Bloomberg melansir ulasan bagaimana pemerintah Indonesia “mengadu” dua negara besar itu untuk memberikan skema pembiayaan infrastuktur terbaik bagi Indonesia. Menteri Keuangan melaporkan pencapaian penerimaan pajak hingga pertengahan Mei 2015 sehingga menurunkan risiko kelangkaan pembiayaan sekira seluruh proyek pemerintah berhasil dipercepat. Akibat peningkatan penerimaan pajak tersebut defisit APBN dapat diturunkan. Kita juga melihat kunjungan petinggi Bank Dunia untuk siaga memberikan pinjaman multilateral bagi Indonesia sehingga risiko oversupply bagi pasar dapat diminimumkan. Pemerintah juga dilaporkan menikmati kelebihan permintaan (oversubscribed) Sukuk Global sebesar 3,4x. Dan akhirnya Standard and Poors meningkatkan outlook Indonesia dari Stable menjadi Positive yang membuka peluang investment upgrade dalam waktu 12 bulan mendatang. Percepatan reformasi struktural memang menjadi kunci agar berbagai inisiatif stabilisasi sejak tahun 2013 tidak mengarahkan ekonomi Indonesia menuju resesi. Sebagai investor sebaiknya kita terus mencermati kemajuan proyek infrastruktur pemerintah ini. Sebab ketika investor asing mengurangi penempatan investasi di Indonesia, baik di dalam saham maupun obligasi, dengan kondisi yield SUN dan kinerja IHSG saat ini, ada peluang bagi investor domestik untuk lebih dulu berinvestasi. Keep investing domestically… Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation