Jakarta, 11 Januari 2010

advertisement
Jakarta, 25 Mei 2015
Memahami Kebijakan Bank Indonesia
Rabu pekan lalu, bersama sejumlah ekonom senior, saya menghadiri undangan BI untuk berdiskusi seputar
perkembangan dan prospek ekonomi Indonesia. Kami mendapat penjelasan latar belakang keputusan
mempertahankan BI rate dan melonggarkan sejumlah macroprudential variable (tightening but relaxing).
Independen and Prudence
Gubernur BI yang langsung memimpin diskusi menepis pemberitaan bahwa kebijakan BI selama ini
mendapat tekanan dari pemerintah, termasuk ketika BI menurunkan bunga pada pertengahan Februari
2015. Sesuai amanah Undang-undang yang menjamin independensi BI, Gubernur dan jajaran pimpinan BI
kini fokus mencapai mandat price stability. Meski demikian, dalam pelaksanaan kebijakannya BI terus
memperkuat koordinasi dengan pemerintah.
Peraga dibawah ini meringkas sistematika BI memandang tantangan yang sedang dihadapi perekonomian
Indonesia yang sekaligus melandasi respon ramuan kebijakan. BI mengakui perlambatan ekonomi 1Q15 lebih
rendah dibanding batas bawah proyeksi mereka sehingga membutuhkan respon stimulatif. Namun dilain sisi,
ada ketidakpastian eksternal global terutama terkait dengan keputusan the Fed menaikkan suku bunga.
Sementara itu, keputusan pemerintah menaikkan sejumlah administered good yang melandasi inflasi pada
bulan April telah memicu risiko internal tekanan inflasi yang mengharuskan BI tetap berhati-hati (prudence).
BI ingin menghindari kekeliruan kebijakan moneter agresif yang dilakukan oleh Turki pada saat tekanan
inflasi masih tinggi sementara lingkungan eksternal diwarnai kekuatiran Fed tapering-off. Kebijakan bank
sentral Turki tersebut akhirnya memicu pelemahan drastis Lira (TRY, series berwarna biru laut pada peraga)
yang pada akhirnya harus diredakan dengan menaikkan policy rate yang sangat besar (warna biru berbintik)
pada awal Januari 2014. Memasuki tahun 2015, TRY terus melemah sejalan penurunan policy rate yang lebih
rendah ketimbang inflasi (warna merah).
Berdasarkan presentasi yang disampaikan oleh Deputi Senior BI, berikut ini kami sampaikan daftar fokus
kebijakan BI saat ini:
 Mencapai target inflasi pada rentang 4.0±1% untuk 2015 dan 2016
 Menurunkan CAD menuju tingkat yang lebih sustainable sekitar 2.5%-3.0%GDP
 Mengawasi dan mengendalikan utang luar negeri dengan peraturan hedging
 Melonggarkan beragam kebijakan macro-prudential (Loan to Funding Ratio, RR LDR, LTV) untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi
 Memperkuat dan memperdalam pasar keuangan dalam negeri serta memperluas instrumen pasar
valutas asing termasuk untuk hedging.
 Mendorong transaksi elektronik dan memperkuat infrastruktur sistem pembayaran (Non Cash Payment
system)
 Menegakkan aturan untuk penggunaan rupiah dalam pembayaran barang dan jasa di wilayah Indonesia.
Memasuki sesi tanya jawab, para ekonom secara keseluruhan mengingatkan risiko perlambatan ekonomi
terus berlangsung hingga triwulan kedua tahun ini. Akibatnya realisasi pertumbuhan ekonomi dapat jauh
dibawah proyeksi pemerintah melalui APBN 2015 (5,7%). Malahan, tanpa stimulus fiskal dan moneter yang
pesat dan cepat dikuatirkan terjadi penurunan potential economic growth yang secara sistemik berisiko
menjebak Indonesia dalam middle-income trap.
Walau menghargai independensi dan sikap
berhati-hati BI, saya menyarankan BI
untuk menemukan terobosan pada waktu
yang tepat untuk lebih stimulatif dengan
tetap menjaga kestabilan ekonomi. Saya
sampaikan bahwa walau IHSG mengalami
peningkatan sejak BI melonggarkan
macroprudential, namun arus keluar investor asing terus terjadi yang dilandasi oleh kekuatiran perlambatan
ekonomi. Seperti terlihat pada tabel, sepanjang pekan lalu arus penjualan bersih investor asing mencapai
$89,2 juta sehingga menyebabkan sepanjang bulan berjalan mencapai $230 juta.
Perbedaan Lingkungan 2013 dan 2015
Saya juga menyampaikan pandangan bahwa kondisi Mei 2013 ketika Bernanke mengindikasikan rencana
tapering-off berbeda dengan kondisi sekarang ketika Yellen diduga akan mulai menaikkan bunga. Seperti
yang kerap saya tulis, penguatan dollar yang terlalu pesat dan cepat mengakibatkan berbagai indikator bisnis
dan survei di Amerika Serikat membutuk. Selanjutnya silakan cermati peraga dibawah ini.
Kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 2013 ditandai dengan semakin memburuknya defisit neraca berjalan
(series batang warna coklat) akibat kebijakan populis mempertahankan subsidi BBM. Sementara itu, pasar
saham dan obligasi ditandai gejala optimisme berlebihan (crowded, overbought). Turut dipacu oleh kenaikan
S&P500, pada bulan Maret 2013 IHSG (series garis warna hitam) mencetak potensi kenaikan tahunan sebesar
32%. Demikian juga yield SUN bertenor 10 tahun (level kedua, warna merah berbintik) menurun mendekati
5% yang dipicu oleh penurunan tajam yield T-bond. Boleh dibilang obligasi negara saat itu overpriced karena
lebih rendah ketimbang proyeksi inflasi masing-masing baik di Indonesia dan Amerika Serikat. Khusus untuk
Indonesia, risiko inflasi dipicu oleh penyesuaian harga BBM terkait tingginya harga minyak mentah (level
ketiga, garis warna hijau berbintik).
[Type a quote from the document or the
Kondisi sekarang relatif berbeda. Walaupun
bergerak naik
secara
summary nampak
of an interesting
point.
Youperlahan, kejatuhan harga minyak
mentah dan penerapan sistem subsidi
berpotensi
inflasi
can tetap
position
the textmenurunkan
box anywhere
in yang tidak jauh dari proyeksi BI.
Penurunan harga komoditas primerthe
seperti
CPO
(level
ketiga,
garis
warna
document. Use the Drawing Toolsmagenta) turut menurunkan daya
beli (pertumbuhan M1) yang pada akhirnya
memperlambat
pertumbuhan
tab to change
the formatting
of the pullekonomi.
quote text box.]
Secara eksternal, Yield T-bond saat ini boleh dibilang tidak overvalued karena lebih tinggi dibanding
ekspektasi inflasi untuk 10 tahun mendatang. Sementara yield SUN yang berkisar 8 persenan, lebih tinggi
dibanding inflasi baik secara historikal jangka panjang (10 tahun terakhir sekitar 6,8%) dan proyeksi kedepan
(proyeksi kami 2015 sekitar 4,8%). Semestinya SUN ini menarik untuk investor domestik. Namun terganjal
masih tingginya suku bunga deposito untuk deposan besar seperti dana pensiun. Alangkah baiknya bila BI
dan OJK serta LPS mengadopsi semacam aturan yang memungkinkan bunga deposito dan bunga kredit dapat
diturunkan.
Perluasan Macroprudential
Saya juga menyoroti pentingnya bagi BI untuk memperluas cakupan macroprudential untuk memacu
kepemilikan investor lokal atas SUN. Sejauh ini BI memperbolehkan perbankan memasukkan SUN sebagai
komponen giro wajib minimum. Saya memperingatkan BI ada risiko macro vulnerability akibat pergeseran
diversifikasi kepemilikan investor asing atas SUN sekira mata uang China berhasil dimasukkan dalam satuan
mata uang global SDR (special drawing right) IMF. Untuk seperti itu, kami dengar, China harus meliberalisasi
capital account yang memungkinkan investor asing memiliki obligasi negara China. Risiko pergeseran
portfolio obligasi negara berkembang tidak dapat dihindari mengingat obligasi negara China akan menjadi
high-quality asset sebab didukung oleh cadangan devisa yang sangat besar.
Dilain sisi, dengan kinerja yang kurang memuaskan, terutama dalam satuan mata uang dollar, IHSG sulit
dibilang overvalued. Selama lima tahun terakhir, rupiah telah terdepresiasi sekitar 43% yang menyebabkan
kinerja IHSG (JCI) lebih rendah dibanding negara berkembang secara umum dan S&P500. Peraga dibawah ini
menunjukkan rata-rata kinerja IHSG dalam dollar selama 5 tahun terakhir (60 bulan) yang relatif lebih
rendah.
Memang betul, pelonggaran moneter saja tidak cukup mendorong pertumbuhan ekonomi mengingat
tantangan yang dihadapi terbilang kompleks. Peraga dibawah ini memuat perbandingan pertumbuhan
ekonomi 1Q15 antar wilayah. Yang paling terpukul dengan pertumbuhan minus meliputi Aceh, Riau,
Kalimantan Timur dan Papua Barat. Wilayah ini lebih mengandalkan ekspor komoditas primer yang tidak
diuntungkan oleh pelemahan rupiah.
Percepatan pengeluaran pemerintah dalam bentuk infrastruktur, tidak hanya akan menurunkan biaya
logistik, tetapi juga mengoptimalkan upaya hilirisasi dan re-industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah
ekspor. Mempercepat pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi batu bara tidak hanya
menyerap produksi lokal, tetapi juga meredakan tekanan kepada neraca berjalan. Sementara pada wilayah
sentra industri manufaktur seperti Jawa Barat, pemerintah perlu menemukan terobosan yang kondusif bagi
dunia usaha terutama terkait dengan penyelesaian upah pekerja, alokasi terbaik bagi semua pihak untuk
pelaksanaan mandatory contribution BPJS-Ketenagakerjaan, perpajakan selain kestabilan rupiah.
Pemerintah Terpacu
Terkait pengeluaran pemerintah, kita mencermati akhir pekan lalu respon Presiden Jokowi untuk membalas
keraguan dengan terus menggelar realisasi pengerjaan berbagai proyek infrastuktur khususnya yang
memperbaiki connectivity. Harian Kompas dan Bisnis Indonesia hari ini memuat photo pengerjaan proyek tol
Cikampek Palimanan sepanjang 116 kilo meter agar siap digunakan pada musim mudik Lebaran tahun ini.
Sejak pekan lalu juga muncul berita dukungan pemerintah Jepang untuk pembiayaan dan pengerjaan Quality
Infrastructure di Asia yang nampaknya menjadi tandingan inisiatif China membentuk Asia Infrastructure
Investment Banking (AIIB). Media Bloomberg melansir ulasan bagaimana pemerintah Indonesia “mengadu”
dua negara besar itu untuk memberikan skema pembiayaan infrastuktur terbaik bagi Indonesia.
Menteri Keuangan melaporkan pencapaian
penerimaan pajak hingga pertengahan Mei
2015
sehingga
menurunkan
risiko
kelangkaan pembiayaan sekira seluruh
proyek pemerintah berhasil dipercepat.
Akibat peningkatan penerimaan pajak
tersebut defisit APBN dapat diturunkan.
Kita juga melihat kunjungan petinggi Bank
Dunia untuk siaga memberikan pinjaman
multilateral bagi Indonesia sehingga risiko
oversupply
bagi
pasar
dapat
diminimumkan.
Pemerintah
juga
dilaporkan
menikmati
kelebihan
permintaan (oversubscribed) Sukuk Global
sebesar 3,4x. Dan akhirnya Standard and
Poors meningkatkan outlook Indonesia
dari Stable menjadi Positive yang
membuka peluang investment upgrade
dalam waktu 12 bulan mendatang.
Percepatan reformasi struktural memang
menjadi kunci agar berbagai inisiatif
stabilisasi sejak tahun 2013 tidak
mengarahkan ekonomi Indonesia menuju
resesi. Sebagai investor sebaiknya kita
terus mencermati kemajuan proyek
infrastruktur pemerintah ini. Sebab ketika
investor asing mengurangi penempatan investasi di Indonesia, baik di dalam saham maupun obligasi, dengan
kondisi yield SUN dan kinerja IHSG saat ini, ada peluang bagi investor domestik untuk lebih dulu berinvestasi.
Keep investing domestically…
Salam
Budi Hikmat
Chief Economist and Director for Investor Relation
Download