Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Laut

advertisement
Peran
Indonesia
dalam
Penyelesaian Sengketa Laut
Cina Selatan
UNAIR NEWS – Laut Cina Selatan (LCS) merupakan wilayah
strategis, bila ada konflik dari negara yang bersengketa tentu
dampaknya akan merugikan negara-negara ASEAN. Pandangan
tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Makarim Wibisono dalam
diskusi reboan yang bertajuk “Posisi Indonesia dan Peran ASEAN
dalam Konflik Laut Cina Selatan”
UNAIR, Rabu (1/6).
di Aula Adi Sukadana FISIP
“Wilayah konflik bisa dimanfaatkan kekayaan lautnya, berupa
perikanan maupun kandungan tambangnya oleh pihak-pihak yang
mengklaim. Negara Asia Tenggara umumnya menginginkan LCS tetap
menjadi wilayah perdamaian,” ujar Guru Besar Hubungan
Internasional (HI) UNAIR tersebut.
Prof Makarim juga menyayangkan ketiadaannya kejelasan mengenai
koordinat lokasi yang akurat dari nine dash line (Sembilan
titik lokasi yang menunjukkan klaim China atas wilayah Laut
Cina Selatan). Padahal, menurut hukum internasional setiap
klaim atas suatu wilayah harus ada kejelasan lokasinya.
“Tidak ada kepastian berapa lintang utaranya, berapa bujur
timurnya,”serunya.
Dalam diskusi tersebut, orang Indonesia pertama yang menjabat
sebagai Ketua Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) tersebut mengingatkan konsekuensi konflik
LCS bagi ASEAN. Selain menurunkan minat FDI (Foreign Direct
Invesment) untuk menanamkan modal di kawasan ASEAN, konflik
LCS juga berkonsekuensi menimbulkan persaingan kekuatan
militer, sehingga mengalihkan daya ekonomi serta mengundang
masuknya negara besar untuk saling mencari pengaruh.
“Hal ini akan menjadikan negara-negara yang kurang daya dalam
militer untuk melakukan aliansi dengan negara-negara kuat,”
ujar Duta Besar RI untuk PBB periode 2004-2007 tersebut.
Dalam sengketa LCS, Prof. Makarim mengungkapkan bahwa masingmasing pihak bersengketa menginginkan agar negara-negara ASEAN
berada dipihak negara bersengketa. Prof Makarim mencontohkan
dalam KTT ASEAN, Menteri Luar Negeri (Menlu) Tiongkok, Wang
Yi, bertemu dengan Menlu Laos, Kamboja, dan Myanmar untuk
membicarakan sengketa tersebut, sedangkan Amerika Serikat
melobi ke negara Filipina.
Dampak Konflik dan Peran Indonesia
Prof Makarim menjelaskan, walaupun konflik tersebut masih
dikategorikan sebagai konflik Ide, Indonesia diharapkan tetap
mengusahakan agar konflik tersebut dapat diselesaikan secara
damai oleh pihak terkait. Hal tersebut untuk menciptakan iklim
kondusif dalam mencapai kesepakatan.
Jika hal tersebut gagal, maka akan berakibat fatal. Pertama
akan berdampak pada lalu lintas perdagangan dan ekonomi
Indonesia dengan negara partner, seperti tujuan ekspor maupun
negara asal dari penanaman modal. Kedua, Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, akan menjadi wilayah yang tidak stabil.
Ketiga, Jika LCS sudah berkembang menjadi konflik secara
fisik, maka akan ada campur tangan dari negara-negara besar.
“Karena diwilayah konflik, negara besar itu ingin memiliki
jaminan untuk bebas melewati LCS. Misalnya saja kapal tangker
atau kapal ekspor dari AS gak boleh lewat situ kan berarti dia
harus lewat Afrika, secara ongkos memang lebih mahal, itu akan
membuat mereka untuk mengusahakan agar jangan sampai terjadi
situasi yang menghalangi lalulintas mereka,”tandasnya.
Menurut Prof. Makarim,
bagi ASEAN yang masih
penyelesaian sengketa
mendasarinya, pertama,
Indonesia bisa menjadi pemimpin Ideal
berpotensi untuk mendorong terjadinya
secara damai. Ada tiga alasan yang
Indonesia yang masih memiliki posisi
kondisif bukan merupakan negara Claimant State layaknya negara
Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Kedua, Indonesia
merupakan negara terbesar se-ASEAN.
“Indonesia itu terbesar di ASEAN, baik penduduknya, wilayahnya
bahkan Gross Domestic Product (GDP) Indonesia saja terbesar di
ASEAN,” ujar Profesor kelahiran 8 Mei 1947 tersebut.
Sedangkan Alasan yang ketiga, dalam sejarah di masa lampau,
Indonesia bukan merupakan negara yang dikelompokkan bipolar
sistem zaman dahulu. Menurut Prof. Makarim, Negara Indonesia
hendaknya menghimbau kepada negara yang ikut mengklaim supaya
ikut aktif dalam penyelesaian perumusan Code of Conduct.
“Kalau sudah ada Code of Conduct, maka sudah ada rujukan untuk
mendamaikan, karena code of conduct itu berisi apa yang boleh
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sehingga kita
ada pegangan secara hukum untuk menciptakan perdamaian di
wilayah laut cina selatan,”serunya. (*)
Penulis :
Editor
Dilan Salsabila
: Nuri Hermawan
Download