PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE BARU (1966-1998) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh : Olyvie Bintang Haritajaya NIM: 121314020 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Sebagai ungkapan kasih, skripsi ini saya persembahkan kepada: 1. Kepada orangtua tercinta, kedua saudara saya, Fernandus Lucky dan Bastianus Zaevie dan motivasi saya Vinsen dan Fabian. 2. Teman-teman angkatan 2012 yang telah berjuang bersama selama kuliah di Sanata Dharma. 3. Teman-teman asrama putri II Pemda Kutai Barat. 4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI MOTTO Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh. (Confusius) Learn from yesterday Life for today Hope for tomorrow (Albert Einstein) Ada resiko dan harga yang dibayar untuk bertindak tapi semuanya jauh lebih sedikit dibanding resiko jangka panjang jika hanya berdiam. (Jhon F. Kennedy) v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRAK PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE BARU (1966-1998) Oleh: Olyvie Bintang Haritajaya Universitas Sanata Dharma 2017 Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok, yaitu: (1) latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru, (2) bentuk dan alasan pembredelan pers di masa Orde Baru, (3) dampak pembredelan pers di masa Orde Baru. Penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan multidimensional yaitu politik, sosial dan ekonomi dengan model penulisan deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) lahirnya Orde Baru memberikan perubahan sikap pemerintah terhadap kehidupan pers, dan munculnya berbagai kebijakan terhadap pers (2) kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pers sekaligus bentuk alat pemerintah untuk membredel pers dengan alasan demi menjaga kestabilan politik dan keamanan nasional (3) dampak dari pembredelan pers memberikan berbagai pengaruh dalam perkembangan pers Indonesia seperti bidang industri pers, profesi wartawan, tenaga kerja pers, pers mahasiswa, dan euforia kebebasan pers. viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRACT THE PROHIBITION OF PRESS DURING NEW ORDER (1966-1998) By: Olyvie Bintang Haritajaya Sanata Dharma University 2017 The purposes of this research are to describe and to analyze three main problems, such as: (1) The background of the prohibition of press during New Order; (2) The form and reason of the prohibition of press during New Order; (3) The impact of the prohibition of press during New Order. This research was organized based on historically factual research method using the following steps: selection of a topic, gathering resources, verification, interpretation and historiography. The approach used in the research is a multidimensional approach which is politic, social and economic with descriptive analytic writing model. The research‟s results show that (1) The inception of New Order changes the government attitude toward press life, and shows many policies for the press. (2) The government‟s policies toward press is a tool for the government to prohibit press with a reason to protect the stability of politic and national security. (3) The impact of the prohibition of press has given many influences to Indonesia press development such as in press Industry sector, journalist profession, labor press, student press, and euphoria of press freedom. ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KATA PENGANTAR Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pembredelan Pers di Masa Orde Baru (1966-1998)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Bapak Rohandi, Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Bapak Ignatius Bondan Suratno, S.Pd.,M.Si. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma. 3. Dra. Theresia Sumini, M.Pd. Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Drs. Sutarjo Adisusilo J.R.,S.Th., M.Pd selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan skripsi ini. x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... iv HALAMAN MOTTO .................................................................................... v LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...................................... vi LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ..................................... vii ABSTRAK ...................................................................................................... viii ABSTRACT ..................................................................................................... ix KATA PENGANTAR .................................................................................... x DAFTAR ISI ................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 9 C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 9 D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9 E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 10 F. Landasan Teori................................................................................... 13 G. Metodologi Penelitian ........................................................................ 41 H. Sistematika Penulisan ........................................................................ 45 BAB II LATAR BELAKANG PEMBREDELAN PERS ........................... 46 A. Lahirnya Orde Baru ........................................................................... 46 B. Sikap Pemerintah Orde Baru terhadap Pers ....................................... 48 C. Kebijakan Pemerintah terhadap Pers ................................................. 55 BAB III BENTUK DAN ALASAN PEMBREDELAN PERS ................... 65 A. Bentuk Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.11/1966 ... 65 B. Alasan Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.11/1966.... 67 C. Cara Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.21/1982 ....... 76 D. Alasan Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.21/1982.... 77 xii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB IV DAMPAK PEMBREDELAN PERS .............................................. 86 A. Industri Pers ....................................................................................... 86 B. Profesi Wartawan ............................................................................... 89 C. Tenaga Kerja Pers .............................................................................. 95 D. Kehidupan Pers Mahasiswa ............................................................... 97 E. Euforia Kebebasan Pers ..................................................................... 101 BAB V KESIMPULAN ................................................................................. 106 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 109 LAMPIRAN .................................................................................................... 112 xiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah press (Inggris) atau pers (Belanda) yang sebenarnya berarti menekan (pressing) karena mesin cetak menekan kertas untuk memunculkan tulisan. Secara harafiah pers berarti mencetak dan penyiaran yang tercetak atau publikasi yang dicetak (printed publication). Berdasarkan penjelasan di atas, pers memiliki dua pengertian yakni pers dalam arti luas dan pers dalam arti sempit. Pers dalam arti luas meliputi segala penerbitan, sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada media massa cetak yaitu, surat kabar, majalah, tabloid dan buletin.1 Berkaitan dengan pengertian di atas, maka yang dimaksud pers dalam penelitian ini adalah pers dalam arti sempit, yaitu menyangkut produk penerbitan berupa surat kabar, majalah, tabloid dan buletin. Awal sejarah pers di Indonesia memiliki ciri-ciri khusus terkait dengan kehidupan sosial masyarakat, kebudayaan, dan politik. Hal tersebut berpengaruh dalam perkembangan pers di Indonesia sehingga muncul pers Belanda, pers Melayu-Tionghoa, pers masa kependudukan Jepang, dan pers setelah kemerdekaan Indonesia. Seiring munculnya jenis-jenis pers yang berkembang maka bahasa pers yang digunakan juga berbeda sesuai dengan kebutuhan. Secara garis besar perkembangan pers dimulai dari zaman penjajahan Belanda. Sebagai daerah jajahan, pers hanya diperuntukan bagi orang-orang Belanda. Usaha pertama untuk memulai mencetak surat kabar resmi dimulai 1 Indah Suryati, 2014, Jurnalistik Suatu Pengantar, Bogor, Ghalia Indonesia, hlm. 25. 1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2 masa Gubernur Jenderal Van Imhoff, yang pada tahun 1744 menerbitkan Bataviache Nouvelles yang hanya bertahan kurang lebih selama dua tahun.2 Hal ini dikarenakan para direktur Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di negeri Belanda mendengar tentang surat kabar itu dan langsung menulis kepada gubernur jenderal isi surat tersebut “Karena kami telah menemukan akibat-akibat yang membahayakan di negeri ini dalam mencetak dan menerbitkan surat kabar di Batavia yang mulia pada saat menerima surat ini akan segera melarang percetakan dan penerbitan surat kabar yang terkait”.3 Perkembangan pers Belanda dalam bidang penerbitan surat kabar resmi dan penyebarannya masih sangat terbatas dibeberapa daerah besar seperti Batavia, Yogyakarta, Semarang, Sumatera, dan Kalimantan, yang hanya penting bagi administrasi ataupun sebagai pusat perdagangan perusahaan-perusahaan Belanda. Isi dari pers Belanda sudah tentu berorientasi pada pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial tidak peduli dengan keadaan masyarakat Indonesia kerena dianggap tidak memberikan keuntungan, bahkan untuk mengetahui tentang surat kabar yang ditulis rakyat pribumi dirasa tidak perlu.4 Oleh sebab itu, pemerintah kolonial hanya mementingkan perkembangan surat kabar Belanda karena berguna dalam memonopoli berita perdagangan untuk mendapatkan keuntungan. Bahasa yang digunakan pers Belanda yaitu bahasa Belanda sehingga pembaca surat kabar tersebut sangat terbatas hanya kalangan tertentu saja yang bisa membaca surat kabar berbahasa Belanda, seperti keturunan Indo-Belanda. 2 Abdurrachman Surjomihardjo, 2002, Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, Jakarta, Kompas Media Nusantara, hlm. 25. 3 Smith Edward Cecil,1986,Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia,Jakarta,Grafiti Pers, hlm.1. 4 Abdurrachman Surjomiharjo, op.cit,hlm.6. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3 Peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda tahun 1856 dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie, yang diperbaharui tahun 1906, disesuaikan dengan tuntutan keadaan, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Pers (Drukpersreglement) tahun 1856 lebih bersifat preventif, sedangkan ketentuan perundang-undangan tahun 1906 mengenai pers bersifat pengawasan represif.5 Peraturan itu, antara lain disebutkan bahwa sebelum diterbitkan, satu eksemplar dari semua karya cetak harus dikirimkan terlebih dahulu kepada kepala pemerintah setempat, pejabat justisi dan Aglemeene Sectretarie.6 Bila ketentuan ini tidak dipatuhi karya cetak bisa disita, bahkan disertai dengan penyegelan percetakan atau tempat peyimpanan cetakan tersebut. Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai Persbreidel Ordonnantie, dan disebutkan bahwa Gubernur Jenderal diberi hak untuk melarang terbitan tertentu yang dinilai bisa “mengganggu ketertiban umum”. Pasal 2 peraturan ini menegaskan bahwa Gubernur Jenderal berhak melarang percetakan, penerbitan dan penyebaran surat kabar, paling lama delapan hari. Namun, jika sesudah diperbolehkan terbit kembali surat kabar yang bersangkutan dinilai mengganggu ketertiban umum, larangan terbit bisa lebih lama, walaupun tidak lebih dari 30 hari berturut-turut.7 Selain Persbreidel Ordonnantie, pada zaman pemerintahan Belanda juga dikenal tindakan terhadap pers yang disebut Haatzai Artikalen, yaitu pasal-pasal yang mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan rasa 5 Ibid, hlm. 172. Aglemene Secretarie adalah sebutan untuk sekretaris Jenderal. 7 Idem. 6 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4 permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia Belanda, yang diatur dalam pasal 154-157 dari Wetboek van Strafrecht.8 Perkembangan pers Melayu-Tionghoa yang muncul di Indonesia mula-mula dalam bahasa Melayu-Tionghoa karena perantauan Tionghoa yang menetap di Jawa secara turun-menurun, kebanyakan tidak bisa berbahasa Tionghoa lagi, bahkan kebiasaan mereka pun berbeda dengan totok Tionghoa. Bahasa sehari-hari yang mereka gunakan ialah Bahasa Indonesia setempat. Oleh karena itu bahasa yang digunakan dalam surat kabar ialah bahasa yang mereka kenal, yaitu sejenis bahasa Melayu yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Hokkian, kemudian dikenal sebagai bahasa Melayu-Tionghoa. Surat kabar peranakan Tionghoa menggunakan bahasa Melayu seiring bangkitnya nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda.9 Pers Melayu-Tionghoa memenuhi fungsi untuk berkomunikasi di antara kaum peranakan Tionghoa dan masyarakat pribumi yang menggunakan Bahasa Indonesia pada umumnya. Bebarapa surat kabar Melayu-Tionghoa muncul setelah bangkitnya Nasionalisme, seperti: di pulau Jawa, Li Po (1901), Pewarta Soerabaja (1902) dan Perniagaan (1903), Sin Po (1910), Keng po (1923).10 Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, pers Belanda dan pers Tionghoa diambil alih Jepang. Beberapa penerbitan pers Indonesia masih tetap bisa terbit, tetapi di bawah pengawasan militer Jepang. Edward Cecil Smith mengutip dari Indonesian Historiography tentang beberapa surat kabar selama kependudukan Jepang seperti berikut: “Indonesia terbagi dalam dua bagian: Jawa dan Sumatera dikuasai Angkatan Darat Jepang, sementara Kalimantan, Sulawesi, 8 Ibid. hlm. 173. Ibid. hlm. 73. 10 Ibid. hlm. 49. 9 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5 dan daerah sebelah timurnya dikuasai Angkatan Laut. Sebagai media komunikasi di daerah-daerah tersebut, ada lima surat kabar yang diterbitkan di bawah pengawasan pemerintahan militer. Surat kabar itu adalah Jawa Shinbun (Jawa), Sumatera Shinbun (Sumatera), Ceram Shinbun (pulau Seram), Borneo Shinbun (Kalimantan), dan Celebes Shinbun (Sulawesi).11 Surat kabar berbahasa Indonesia yang diterbitkan pemerintah Jepang untuk pulau Jawa : Asia Raya (Batavia), Pembangoenan, Pemandangan, Kung Yung Pao, Tjahja (Bandung), Sinar Matahari (Yogyakarta), Sinar Baroe (Semarang), Pewarta Perniagaan ( Surabaya). Selain surat kabar berbahasa Indonesia, beberapa surat kabar Belanda masih diperbolehkan terbit, yaitu: Soeabajaasch Hendelsblad dan Soeara Asia.12 Peraturan mengenai pers zaman pendudukan Jepang untuk mengatur sarana publikasi dan komunikasi tertuang dalam Osamu Sereirei (Undang-undang No.16, tahun 1942). Dengan terbitnya peraturan ini, dikatakan bahwa setiap artikel, termasuk iklan-iklan yang akan diterbitkan terlebih dahulu harus mendapat cap dari badan sensor meskipun beritanya berasal dari kantor berita Jepang (Domei).13 Dalam Undang-Undang No.16, terdapat dua segi yang menarik perhatian yaitu, berlakunya sistem izin terbit dan sensor preventif. Pasal (1) menyatakan bahwa semua jenis barang cetakan harus memiliki publikasi atau izin terbit. Pasal (2) melarang semua penerbitan yang sebelumnya memusuhi Jepang, untuk meneruskan penerbitanya. Penerbitan yang dilarang itu meliputi semua surat 11 Edward Cecil Smith. op.cit. hlm. 71. Abdurrachman Sosromiharjo. op.cit. hlm. 101. 13 Uka Tjandrasasmita,2010,Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 274. 12 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6 kabar Belanda, Indonesia yang anti Jepang, dan juga surat kabar berbahasa Cina yang menyerang agresi Jepang terhadap Tiongkok. Di bawah kekuasaan Jepang, aturan hidup sangat keras, namun rakyat Indonesia memperoleh pengalaman yang tak ternilai harganya. Mereka bekerja sebagai pemimpin pemerintahan dan teknisi yang tadinya dipegang Belanda. Rakyat Indonesia dijadikan satuan-satuan tempur dan diberi latihan militer, persiapan yang tidak disengaja untuk revolusi menuju kemerdekaan Indonesia. Pers setelah kemerdekaan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang dipercaya menjadi Presiden pertama Republik Indonesia, pers mulai mengalami perubahan seiring dengan perkembangan politik. Pers nasional ikut dalam arus politik sehingga mempengaruhi watak pers nasional dari pers perjuangan menjadi pers partisan sebagai sarana partai politik. Pergolakan politik terus terjadi selama era demokrasi Liberal. Pergantian kabinet silih berganti masa Demokrasi Liberal mengakibatkan kondisi politik negara tidak stabil sehingga Presiden Soekarno mengubah sistem politik yang berlaku, pada 28 Oktober 1956 dari sistem pemerintahan demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin. Ketika itu situasi politik tidak stabil, karena pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah menentang kabinet baru yang dipilih oleh Presiden Soekarno yaitu kabinet Djuanda Kartawidjaja. Selama masa jabatan kabinet Djuanda, Presiden Soekarno memperkokoh kekuasaannya dengan ungkapan-ungkapan kharismatik yang sangat populer ialah: Manifesto politik, Nasakom, Ganefo, Nefo dan Oldefo.14 Situasi krisis politik yang terjadi karena aksi pemberontakan yang 14 Edward C. Smith. op.cit, hlm.146. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 gagal mencapai kesepakatan perdamaian semakin membuat situasi semakin tidak terkendali. Karena melihat situasi semakin rumit Presiden Soekarno memberlakukan keadaan darurat perang (SOB).15 Dalam keadaan tersebut penguasa mengeluarkan berbagai peraturan untuk mengontrol pers dan upaya Presiden Soekarno untuk mengkonsolidasi kekuasaannya melalui ungkapan revolusi belum selesai. Pada tanggal 12 Oktober 1960, sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Presiden Soekarno mengeluarkan peraturan bahwa setiap penerbitan harus mendaftarkan diri untuk mendapat surat izin terbit (SIT). Agar izin terbit diperoleh, pers harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, seperti setia kepada manifesto politik, serta turut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, liberalisme, federalisme, dan separatisme16 Penguasa Demokrasi Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini publik. Pers dianggap sebagai alat revolusi yang besar pengaruhnya untuk menggerakan atau meradikalisasi massa untuk menyelesaikan sebuah revolusi. Oleh karena itu, rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu menguasai pers, yang dalam praktik bukannya untuk memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat tetapi untuk alat revolusi kekuasaan rezim Orde Lama.17 Dalam sejarah pers Indonesia, salah satu masalah yang menarik adalah pelarangan terbit atau pembredelan terhadap surat kabar. Ada surat kabar yang dilarang terbit untuk sementara dan selamanya. Pelarangan terbit itu sering disertai pula penahanan 15 Idem. Peraturan Panglima Perang Tertinggi, No. 10 diterbitkan tahun 1960. 17 Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi, Jakarta, Obor Indonesia, hlm.117. 16 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 terhadap pimpinan surat kabar yang bersangkutan dan juga penahanan tanpa pengadilan terhadap wartawan terkait pembredelan. Periode pembredelan dalam penelitian ini difokuskan pada 1966-1998, dengan analisis berdasarkan Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966 dan Undang-Undang Pokok Pers No. 21 tahun 1982. Setelah peristiwa G 30 S tahun 1965, Jenderal Soeharto melakukan pembredelan terhadap semua surat kabar PKI dan yang diduga terkait dengan ormas tersebut. Namun sikap kritis pers terhadap pemerintahan telah tumbuh mulai dari tahun 1966 dan semakin meningkat ketika pemerintahan di dominasi oleh Angkatan Darat, serta isu-isu korupsi mulai merajalela, tetapi pemerintah masih memberikan toleransi terhadap kritik pers, dan menahan diri untuk melakukan tindakan pemberdelan. Hal ini terlihat dari data pembredelan menunjukan pemerintah baru melakukan pembredelan tahun 1971, namun Ini artinya pemerintah mulai meletakkan tali kekang untuk mengendalikan pers. Dapat ditemukan juga pemerintah lebih represif pasca Malari 1974, surat kabar yang di larang terbit (harian dan mingguan) serta majalah, yaitu harian Nusantara, Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, harian KAMI, The Jakarta Times, mingguan Wenang, Pemuda Indonesia dan Ekspres, Mingguan Mahasiswa Indoesia yang (Bandung), Suluh Berita yang terbit di Surabaya, serta Pos Indonesia yang (Ujung Pandang),18 dan Sinar Harapan.19 18 Ahmad Zaini Abar, 1995, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, Yogyakarta,Lkis, hlm. 1. Yuli Andanwati.Pembredelan Sinar Harapan Tahun 1986. Avatara E-journal Pendidikan Sejarah..Vol I . No.3.2013. hlm. 580. 19 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai berikut. 1. Apa latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru? 2. Bentuk dan alasan pembredelan pers yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru? 3. Apa dampak dari pembredelan pers bagi perkembangan kehidupan pers? C. Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan latar belakang pembredelan pers pada masa Orde Baru. 2. Menjelaskan bentuk dan alasan pembredelan pers yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. 3. Menjelaskan dampak dari pembredelan pers bagi perkembangan pers pasca Orde Baru. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Universitas Sanata Dharma Untuk melaksanakan salah satu Tridharma perguruan tinggi khususnya bidang penelitian yaitu untuk ilmu pengetahuan sosial. Penulisan ini juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber referensi bagi rekan-rekan mahasiswa. Selain itu, juga dapat dimanfaatkan untuk contoh dalam penulisan skripsi bagi mahasiswa selanjutnya. 2. Bagi Dunia Keguruan dan Ilmu Pendidikan Untuk menambah wawasan dan pengetahuan sejarah Indonesia pada era Orde Baru, khususnya tentang pembredelan pers 1966-1998. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10 3. Bagi Masyarakat Luas Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pembredelan pers di masa Orde Baru dan menjadi bahan refleksi tentang kebebasan pers di masa Orde Baru. E. Tinjauan Pustaka Penelitian ini disusun dengan menggunakan sumber primer berupa Undangundang Pokok Pers, surat kabar, dan sumber sekunder berupa buku, jurnal ilmiah dalam penulisan skripsi ini banyak menggunakan sumber sekunder berupa bukubuku pokok yang menunjang penulisan skripsi ini. Beberapa buku yang digunakan antara lain: Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, karya Abdurrachman Surjomihardjo, et.al. Buku ini memberikan gambaran tentang sejarah pers di Indonesia, yang memiliki ciri-ciri khusus yang berhubungan dengan keadaan masyarakat, kebudayaan dan politik. Buku ini juga menguraikan jenis-jenis pers yang berkembang di Indonesia yaitu pers Belanda, pers Melayu-Tionghoa, pers Indonesia dan pers daerah.20 Selain memaparkan tentang beberapa jenis-jenis pers yang berkembang pra dan pasca kemerdekaan Indonesia, ditegaskan pula bahwa kontrol terhadap pers yang tertuang dalam peraturan berupa Undang-undang pers sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda di nusantara. Oleh sebab itu, semakin memberikan pemahaman tentang sejarah pers Indonesia hingga saat ini. Pembredelan Pers di Indonesia tulisan Edward Cecil Smith, semakin memperlengkap tentang dinamika Pers Indonesia. Meskipun banyak cobaan yang 20 Abdurrachman Surjomihardjo,op.cit, hlm. 6. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11 dihadapi pada awal sejarahnya, justru karena cobaan itulah, pers dapat bertahan sebagai sistem komunikasi. Pers Belanda, pers Tionghoa dan pers Indonesia, yang saling beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan satu sama lain, meskipun terdapat sensor dan undang-undang yang melarang mengkritik pemerintah, namun pers masih tetap dapat bertahan terus di pasaran yang masih terbatas karena besarnya jumlah penduduk yang buta huruf dan masih sangat kecil mendapat penghasilan ketika Indonesia baru merdeka.21 Kisah Pers 1966-1974, ditulis Ahmad Zaini Abar 22 yang bermula dari kajian untuk skripsi, tugas akhir pada jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ahmad Zaini Abar telah memadukan antara kegemaran dengan disiplin keilmuan formalnya, sehingga melahirkan karya ini. Buku ini berpretensi mengenali fenomena sosiopolitik dengan difokuskan kepada kekuasaan Orde Baru. Buku karya Ahmad Zaini Abar memaparkan tentang faktor-faktor politik yang menyebabkan daya kritis dan kebebasan pers tumbuh dan berkembang, lalu kemudian kehilangan maknanya, perubahan sikap kritis pers serta sikap pemerintah terhadap pers, dapat dilihat dari Peristiwa Malari 1974 sebagai tolok ukur. Pers pra-Malari adalah pers idealis, pers yang menyuarakan hati nurani dan aspirasi rakyat, berani dan kritis melakukan kontrol sosial. Singkatnya pers praMalari adalah pers yang bebas, merdeka serta akumulatif. Sebaliknya, pers PostMalari pers menjadi kurang idealis, cenderung mewakili kepentingan penguasa, 21 22 Edward.C.Smith, op.cit, hlm. 3. Ahmad Zaini Abar, op.cit, hlm. 4. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12 pemerintah atau negara serta tidak lagi pernah melakukan kontrol sosial secara kritis. Pers post-Malari adalah pers yang tidak bebas. David T.Hill dengan bukunya yang berjudul Pers di Masa Orde Baru23 memperlengkap tentang perkembangan pers setelah merdeka khususnya masa pemerintahan Orde Baru. Orde Baru membangun relasi saling terkait yang pelik antara kendali keamanan dan undang-undang tangan besi yang mengendalikan pers. Pers di bawah pemerintahan Presiden Soeharto yang berusaha untuk menghilangkan organ-organ partai dan surat kabar-surat kabat yang kritis, menjinakkan pers pembuat kegaduhan, dan memastikan bahwa para pekerja dan pihak manajemen pers bertanggung jawab secara mutlak pada pemerintah. 24 Dalam buku ini juga dipaparkan tentang periode-periode pemerintah melakukan tindakan anti pers atau lebih sering dikatakan sebagai pembredelan terhadap pers, kebebasan pers yang pernah dijanjikan oleh pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde Baru-nya hanya sebagai kebebasan semu. Ini terbukti dari adanya pembredelan terhadap surat kabar maupun majalah karena dianggap memuat berita yang dapat mengganggu kestabilan politik. Humanisme dan Kebebasan Pers, editor buku St.Sularto25, memberikan gambaran tentang kebebasan pers yang ada di Indonesia serta peraturan-peraturan pasca Indonesia merdeka menjadi semakin mempersempit kebebasan pers yang sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28. Pada masa Orde Baru dikenal adanya keharusan mendapatkan izin untuk menerbitkan surat kabar, namun proses untuk mendapatkan izin cukup sulit, 23 David.T.Hill, 2011, Pers di Masa Orde Baru, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Ibid,hlm. 7. 25 St.Sularto,2001, Humanisme dan Kebebasan Pers,Jakarta,Kompas Media Nusantara. 24 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13 ditambah kebabasan pers hampir dikatakan tidak ada ketika dalam UndangUndang Pers 1982 mencantumkan pasal keharusan mendapatkan Surat Izin Usaha Percetakan Pers (SIUPP), meskipun Surat Izin Terbit dihapus, dengan munculnya SIUPP sebagai alat kontrol terhadap pers oleh pemerintah. Peraturan ini lebih berat dirasakan oleh industri pers karena ketika surat kabar dan majalah dianggap memberitakan isu-isu yang dapat menganggu kestabilan keamanan dan politik serta kehidupan Presiden Soeharto, maka Menteri Penerangan dapat membatalkan SIUPP yang diberikan. Tindakan tersebut memberikan dampak yang sangat merugikan bagi industri pers karena surat kabar dan majalah dibredel dan tidak ada sumber rezeki dari industri pers yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi para karyawan. F. Landasan Teori Penelitian ini menggunakan beberapa konsep sebagai dasar landasan teori. Konsep-konsep tersebut antara lain adalah sistem pemerintahan otoriter, teori totaliter, pers, sistem pers, kebebasan pers, pembredelan dan bahasa dalam pers. 1. Sistem Pemerintahan Otoriter/Fasis Fasisme berasal dari bahasa Latin Fasces yang berarti „ikatan‟. Pada masa Roma kuno, petugas hukum mengenakan tanda berupa seikat sambuk dan kapak sebagai simbol, wewenang dan keadilan. Di tahun 1920 Mussolini mengadopsi simbol ini dengan memberi nama yang mirip, „Fasci’ untuk kelompok bersenjata yang dia harapkan dapat membawanya kepada kekuasaan.26 26 Hugh Purcell, 2004, Fasisme, Yogyakarta, Resist Book, hlm. 4. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14 Mussolini ditiru seorang Jerman bernama Adolf Hitler. Pengikut -pengikut Hitler yang revolusioner merupakan anggota Partai Buruh Sosialis Jerman (National Socialist German Worker’s Party/NSDAP). Dari nama partai inilah istilah Nazi Jerman dan Fasis Italia cukup memiliki kesamaan antar keduanya, hingga kata „fasis‟ patut dilekatkan bagi kedua gerakan revolusioner itu. Slogan Ein Reich, Ein Volk, Ein Fuehrer, dapat digunakan untuk menympulkan apa arti sebenarnya Fasisme.27 Ein Reich (Negara Totaliter). Menurut doktrin fasis, negar harus totaliter. Ini berarti negara harus memiliki kekuasaan total atas seluruh aspek kehidupan rakyatnya. Di negara totaliter rakyat ada untuk kepentingan negara. Hanya ada satu partai politik dimana setiap orang memberikan suaranya, dan partai ini adalah pemerintah. Pemerintah mengontrol semuanya: pendidikan dan media massa, industri dan perdagangan, rekreasi dan agama, bahkan kehidupan berkeluarga. Ein Volk ( Rasialisme dan Nasionalisme). Kaum fasis percaya bahwa manusia adalah predator, tetapi hal ini bukan satu-satunya pembenaran mereka mendukung negara kuat. Secara sederhana, seorang rasialis percaya bahwa rasnya, entah berasal dari Inggris, Jerman, Cina atau manusia keturunan manapun, adalah superior atas ras lainnya. Rasialisme berkaitan erat dengan nasionalisme. Seorang nasionalis adalah seorang yang memiliki kebanggaan atas bangsanya, hingga terkadang sampai pada taraf memujanya. Yang dimaksud dengan „bangsa‟ di sini adalah istilah kolektif yang mencakup negara (sebuah sistem pemerintahan), 27 Ibid, hlm. 5. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15 masyarakat (sebuah kelompok ras yang disatukan oleh ikatan darah), serta budaya dan tradisi yang telah berkembang berabad-abad.28 Ein Fuehrer (Prinsip Kepemimpinan). Jika fasisme adalah agama maka pemimpinnya (Fuehrer) adalah Tuhannya atau God Given ( keturunan Tuhan). Pada tahun 1920-1945, pemimpin kaum fasis adalah para diktator. Dua dari mereka Hitler dan Mussolini yang memiliki kekuasan total, menggunakan alatalat demokratik pemilihan umum dan tawar-menawar politik mendapat kekuasaan. Namun sekali mereka mengambil alih pemerintahan, mereka menggengam seluruh kekuasaan di tangan mereka. Kata-kata mereka adalah hukum. Mereka menjadi diktator tidak hanya berkat mereka. Seorang fasis kualitas kepemimpinan mendukung negara totaliter yang dipimpin seorang diktator yang populer. Ia selalu yakin dengan superioritas rasnya dan kebesaran bangsanya. 29 Untuk semakin menjelaskan ciri pemerintahan yang otoriter/fasis teori totaliterisme yang telah berkembang dapat memberikan gambaran ringkas sebagai berikut:Rezim totaliter dimanapun bermaksud mengarahkan masa rakyat untuk membangun suatu masyarakat baru, suatu sistem nilai baru dengan cara-cara yang revolusioner dengan prinsip tujuan menghalalkan segala cara, di samping mengontrol semua kekuasaan sosial. Menurut Zbigniew Brzezinki (di samping Hannah Arendt, Karl Popper, Raymond Aron,dll.) Masyarakat totaliter mempunyai unsur pokok, yaitu:30 28 Ibid, hlm. 7. Ibid, hlm. 14-15. 30 Sutarjo Adisusilo.J.R, 2016, Revolusi Eropa Menjadi Modern, Yogyakarta, Sanata Dharma University Press, hlm.197. 29 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16 1) Suatu ideologi yang menjelaskan dunia, masyarakat manusia dan sejarah, merupakan ideologi yang harus ditaati, dipropagandakan dan diterima oleh semua warga negara. 2) Pemusatan kekuasaan sosial dan politik di tangan satu partai (biasanya didominasi oleh satu orang pemimpin) 3) Intimidasi atas rakyat melalui ketidakpastian hukum teror politis yang sewenang-wenang. 4) Monopoli negara atas sarana-sarana informasi dan komunikasi 5) Perekonomian yang terpusat dan serba terencana. Dengan unsur-unsur yang dimilikinya, maka rezim totaliter ternyata mengandung unsur paradoksial di dalam dirinya, tidak efisien dan kontra produktif. Hal ini dapat dicermati dari: 1) Ideologi Memberlakukan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi negara, berarti setiap warga negara harus menerimanya, membuat tidak ada kemajemukan/pluralisme dalam berbagai hal termasuk pendapat, ide, gagasan, pikiran, dll. Semua harus seragam. Berbeda berarti menentang, dan mati. Kendati diindoktinisasikan, ideologi seperti itu tidak akan meresap dalam hati dan dihayati warga masyarakat. Jika dipelajari maka hal itu hanya lahiriah sifatnya, tetapi ideologi itu akan dibenci di dalam hati sanubari, kemunafikan merajalela. Memaksakan ideologi yang hanya dilegitimasikan kekuasaan justru kontra produktif. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17 2) Sistem partai tunggal Jika dalam suatu negara hanya ada satu atau non multi partai, tetapi satu partai memonopoli semua kekuasaan negara, maka konsekuensi logisnya adalah partai dan birokrasi negara tumbuh menjadi sesuatu yang berukuran raksasa dan tidak dapat tidak menjadi tidak becus dan korupsi, nepotisme maupun kolusi akan berkembang subur. Sistem partai tunggal menjadi buta kritik, saran dan penyegaran. Keangkuhan, kesombongan dalam segala hal mengantar partai secara pelan tapi pasti masuk dalam kehancuran. 3) Teror Ciri lain pemerintahan totaliter adalah menindas kelompok minoritas (agama, ras, budaya, sosial, dll) secara sistematis. Di samping itu tidak ada kepastian hukum sebab hukum untuk mengabdi penguasa dan situasi ini akan berdampak struktur masyarakat lambat laun akan lumpuh. Ketakutan yang ditimbulkan oleh penguasa (polisi, tentara, jaksa, hakim, dll), lambat laun akan berubah menjadi rasa jijik dan benci yang meluas di kalangan rakyat terhadap penguasa. 4) Kontrol informasi Radio, TV, Surat Kabar, internet dan alat-alat komunikasi modern amat membantu propaganda pemerintah. Di pihak lain alat-alat tersebut kendati dibungkam dibredel, akan tetap menjadi alat komunikasi bagi setiap orang untuk melawan pemerintah. Dengan kata lain pemerintah totaliter pada dasarnya tidak akan dapat membungkam rakyatnya dengan memanipulir informasi atau membatasi informasi. Pemerintah manapun akan gagal mengontrol dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18 memblokir informasi, pembredelan surat kabar, internet dll. Justru mendorong rakyat mencari dan mempercayai informasi dari luar dan membenci informasi pemerintahnya. 5) Perekonomian berencana yang terpusat. Perekonomian berencana yang terpusat terus menerus lambat laun tidak efisien sebab melenyapkan prinsip-prinsip persaingan sehat. Akibat motivasi untuk bertindak secara ekonomis hilang. Produktivitas dan kreativitas lenyap demi mengutamakan loyalitas, komitmen pada partai dan ideologi. Dalam keadaan seperti ini ekonomi tidak saja stagnan tetapi mundur dan akhirnya runtuh. Dengan melihat struktur paradoksal totalitarianisme maka hasil akhirnya adalah kekacauan ekonomi dan hilangnya kredibilitas rakyat terhadap penguasa sebab ideologi yang dipaksakan demi legitimasi penguasa akan berguna. Penulis memaparkan teori tentang fasisme dan totalitarisme sebagai suatu gambaran sejarah ketika negara dipimpin oleh seorang otoriter,gambaran inilah yang di masa Orde Baru dapat kita lihat, bagaimana seorang pemimpin secara penuh menggunakan kekuasaanya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Ashadi Siregar31 rezim Orde Baru digerakan oleh budaya negara berdasarkan norma militerisme dan/ atau fasisme dengan menjalankan prinsip monopoli mulai dari pengendalian secara fisik, sampai penguasaan alam pikiran warga. Pengendalian fisik dilakukan antara lain dengan tindakan-tindakan, sementara penguasaan alam pikiran dilakukan dengan monopoli wacana melalui penguasaan alat-alat komunikasi dalam masyarakat. 31 Ashadi Siregar. Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni. Jurnal Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik. Vol 4. No.2. 2000. hlm. 176. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19 Militerisme dan fasisme dapat berjalan bersamaan, tetapi dapat juga berjalan terpisah. Militerisme pada dasarnya secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan dengan menggunakan metode militer dalam kehidupan sipil. Metode militer yang digerakkan dengan norma fasisme dapat menjadi sangat eksesif jika budaya negara ini digerakan oleh pimpinan negara yang memiliki kecendrungan psikopatologis. Kehidupan era Hitler di Jerman dapat menjadi studi mengenai pola fasisme. Struktur negara Orde Baru tidak memberi tempat kepada struktur alternatif atau oposisi karena digerakakkan oleh budaya negara dengan norma militerisme dan fasisme. Dengan norma semacam ini, biasanya terbentuk pula struktur gelap atau bayangan (hidden Structure) yang berasal dari dalam struktur resmi negera. Struktur gelap ini di gunakan untuk menjalankan tindakan secara fisik dan metode lainnya di luar hukum oleh penguasa negara untuk mematikan setiap tindakan yang dianggap sebagai oposisi. Teror terhadap warga, penculikan dan penahanan tanpa prosedur hukum, bahkan sampai penembakan misterius (petrus) yang disebut tindakan shock theraphy dapat menjadi contoh tindakan dari struktur gelap rezim Orde Baru.32 Demikialah era Orde Baru ditandai oleh struktur sosial dengan kekuasaan negara bersifat hegemonik dan korporatis ala fasisme. Selain adanya tindakantindakan yang berlangsung melalui struktur negara (resmi dan gelap), penguasaan alam pikiran warga masyarakat dilakukan dengan mengendalikan media massa. Media massa dijadikan oleh penguasa negara sebagai sarana pengendalian masyarakat. Dalam norma otoritarianisme umumnya dan fasisme khususnya 32 Ibid, hlm, 178. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20 media massa pada dasarnya hanya menjadi alat bagi kekuasaan, bukan sebagai sarana masyarakat untuk mendapat fakta dan mengekspresikan dirinya. Lebih jauh, pengendalian masyarakat adalah kata kunci dalam struktur negara fasis dan militeristis yang bersifat totalitarian.33 2. Pers Setelah berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno dengan Orde Lamanya dan digantikan dengan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto salah satu perubahan yang dilakukan pemerintah yaitu dengan memperbaharui UndangUndang tentang pers yang beberapa kali mengalami perubahan seperti: UndangUndang tentang perubahan atas Undang-Undang No.11 1966 tentang Ketentuanketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.4 1967. Pasal 1 a. Pengertian tentang pers diubah sebagai berikut alat revolusi diubah menjadi alat perjuangan. Setelah mengalami perubahan kata dalam pengertian pers, menurut Undang-undang No.21 1982 tentang perubahan atas Undang-Undang No.11 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang No. 4 1967 yang dimaksud dengan pers adalah lembaga kemasyarakatan dan alat perjuangan nasional yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, dilengkapi dengan alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya.34 33 Ibid, hlm, 179. Undang-Undang Ketentuan Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982. 34 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21 Perumusan pers menurut Undang-Undang tersebut di atas sangat sesuai dengan perumusan yang dikemukakan oleh Oemar Seno Adji, tentang pers dalam arti sempit yaitu “Pers yang menjelma dalam surat-surat kabar, majalah-majalah, buku-buku dan lain-lain”.35 Kalau kita telaah lebih dalam kedua perumusan di atas, maka yang dimaksudkan dengan pers adalah semua alat komunikasi yang bersifat umum dan terbit secara teratur berupa majalah-majalah, surat kabar, buku-buku, dan lain sebagainya yang berfungsi sebagai penyebar luas informasi dan sarana perjuangan untuk mencapai cita-cita pembangunan nasional. 3. Sistem Pers Pers umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku di mana sistem itu hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk kepada sistem politik pemerintahan yang ada. Bersama dengan lembaga kemasyarakatan lainnya, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara. Oleh karenanya, pers dipengaruhi bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara di mana pers itu berada. Singkat kata, perkembangan dan perkembangan dan pertumbuhan sistem politik di mana pers itu berada, dan merupakan subsistem politik yang ada. Menurut Fred S. Siebert, dkk dalam buku yang berjudul Four Theories of the Press, terdapat empat teori pers yang mendukung sistem pers di dunia:36 Pertama Teori Pers Otoriter. Ciri utama dari sistem pers otoriter adalah fungsi pers sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Melalui penerapan hak khusus, lisensi, sensor langsung dan peraturan organisasi media, individu dijauhkan dari kemungkinan mengkritik 35 Oemar Seno Adji, 1977, Pers Aspek-aspek Hukum, cet.2, Jakarta, Erlangga, hlm.79. Inge Hutagalung.”Dinamika Sistem Pers di Indonesia” Jurnal Interaksi.Volume II No.2. Juli 2013, hlm.54. 36 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22 pemerintah yang berkuasa. Dalam sistem otoriter, pers dapat dimiliki baik secara publik ataupun perorangan, namun tetap menggunakan pers sebagai alat untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Teori pers otoriter muncul pada zaman Renaissance (pencerahan) abad 17 setelah ditemukannya mesin cetak. Teori ini berkembang dari filsafat kekuasaan monarki absolut dan kekuasaan pemerintah absolut. Di beberapa negara di dunia, teori pers otoriter masih di praktikan sampai sekarang. Teori ini muncul dari filsafat kekuasaan monarki absolut.37 Kedua Teori Pers Liberal. Sistem pers ini merupakan suatu bentuk perlawanan dari pandangan otoriter. Ciri teori pers Liberal Pers membantu menemukan kebenaranan dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan. Penguasa tidak punya hak untuk mengatur isi berita media. Penguasa dalam sistem ini juga tidak berhak menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh menerbitkan media. Pada sistem ini, siapapun sebenarnya punya hak untuk menerbitkan media asalkan mempuyai kemampuan ekonomis. Tidak ada izin atau lisensi khusus untuk menerbitkan media. Apa yang baik dan tidak ditentukan oleh penguasa, tetapi ditentukan oleh khalayak. Dalam sistem ini, penguasa tidak mempunyai hak untuk menutup (bredel) media. Teori ini muncul dari filsafat umum tentang rasionalisme dan hak asasi manusia, teori liberal semula berkembang di Inggris dan digunakan setelah tahun 1688. 37 Haris Sumadiria, 2014, Sosiologi Komunikasi Massa, Bandung, Remaja Rosdakarya, hlm.69. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23 Ketiga,Teori Pers Tanggung Jawab Sosial. Ciri teori ini yaitu media selain bertujuan untuk memberikan informasi, menghibur, mencari keuntungan, juga harus dapat memberikan individu hak untuk mengemukakan masalahnya di dalam forum media, dan jika media tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus memaksanya. Teori ini, media dikontrol oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik profesional, dan penyiaran, dikontrol oleh badan pengatur penyiaran. Pengembangan dari teori liberal menghasilkan teori tanggung jawab sosial, yang dikembangkan pada abad ke 20 di Amerika Serikat. Keempat, Teori Pers Totaliter-Soviet. Ciri teori ini yaitu kebebasan pers yang sebenarnya akan ada dalam masyarakat tanpa kelas kebebasan pada sistem ini adalah bebas dari kapitalisme, individualisme, burjuasi dan bukan bebas untuk menyatakan pendapat. Media dikontrol oleh tindakan ekonomi dan politik dari pemerintah dan badan pengawas, dan hanya anggota partai yang loyal dan anggota partai ortodoks saja yang dapat menggunakan media secara reguler. Media dalam sistem Soviet dimiliki dan dikontrol oleh negara dan hanya sebagai kepanjangan tangan negara. Tujuan teori ini adalah membantu keberhasilan dan klan kelangsungan sistem Soviet. Teori ini dikembangkan berdasarkan ideologi Marxis dan nilai kebersamaan antar kelas maupun antar partai/golongan, yaitu selama kelas kapitalis mengawasi fasilitas fisik media, kelas buruh tidak mempunyai akses pada saluran komunikasi. Menurut penulis masa Orde Baru menganut Teori Pers Otoriter. Hal ini dapat dilihat dari UU PP No.11 1966 terdapat peraturan mengenai surat izin terbit, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24 ketika diperbaharui menjadi UU PP No.21 1982 digantikan dengan surat izin usaha penerbitan pers, mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan pers dikendalikan oleh pemerintah, suatu bentuk pengabdosian terhadap teori pers otoriter. Pada masa Orde Baru, pers dinyatakan sebagai salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan. Bentuk isi pers Indonesia perlu mencerminkan pembangunan. Hingga timbul istilah pers pembangunan, dari kenyataan ini terlihat bahwa pers Indonesia tidak mempunyai kebebasan karena pers harus mendukung program pemerintah Orde Baru.38 Pers Indonesia masa Orde Baru selain menganut teori pers otoriter juga menganut teori pers tanggung jawab sosial, hal ini digambarkan dari sebutan pers nasional adalah pers bebas dan bertanggung jawab, pers diberikan kebebasan dalam memberitakan isu-isu terkini namun pers harus tetap bertanggung jawab atas berita yang ditulis. Pertanggung jawaban pers di jabarkan dalam UndangUndang Pokok Pers, Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Kode Etik Jurnalistik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sesuai dengan ciri khas teori pers tanggung jawab sosial ialah media bisa dimiliki oleh perorangan tetapi tidak berarti perorangan begitu saja mendiktekan keinginannya melalui media.39 Fungsi dan peranan pers berangkat dari beberapa teori pers yang sudah dikembangkan sejak lama, fungsi pers akhirnya dikaitkan dengan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Dalam pembangunan, Schramm menyebutkan, fungsi media massa minimal tiga bentuk; meliputi memberitahu rakyat tentang pembangunan nasional, memusatkan perhatian masyarakat supaya berubah, 38 39 Inge Hutagalung, op.cit, hlm. 56. Haris Sumadiria, op.cit, hlm. 75. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25 kesempatan menimbulkan perubahan, metode/ cara menimbulkan perubahan, jika mungkin memunculkan aspirasi. Kusumaningrat mengemukakan, fungsi pers tersebut meliputi : 40 a. Fungsi informatif merupakan fungsi memberi informasi melalui berita secara teratur kepada khalayak. Pers menghimpun berita yang dianggap berguna dan penting bagi orang banyak dan kemudian menulisnya. pers juga memperingatkan khalayak tentang berbagai peristiwa diduga akan terjadi, seperti perubahan cuaca dan bencana alam. b. Fungsi kontrol pers yang bertanggung jawab tentu akan masuk ke balik “ panggung” kejadian, menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perusahaan. Pers harus memberitakan perkembangan yang berjalan baik dan tidak berjalan dengan baik. Fungsi kontrol ini harus dilakukan pers dengan lebih aktif daripada kelompok masyarakat lainnya. Pers dengan kelebihannya yang mampu menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang yang baik dan tidak baik, supaya segera mendapat perhatian dan penanganan sebagaimana perlunya. c. Fungsi interpretatif pers memberikan bimbingan bagi masyarakat. Pers harus menjelaskan kepada masyarakat tentang arti suatu kejadian. Ini dapat dilakukan pers melalui tulisan pada tajuk rencana (editorial) atau tulisan-tulisan latar belakang. d. Fungsi menghibur, para wartawan atau reporter menulis atau menuturkan kisah-kisah dunia dengan hidup dan menarik. Mereka menyajikan humor, 40 Mondry, 2008, Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik, Bogor, Ghalia Indonesia, hlm.72. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26 drama dan musik. Mereka menceritakan kisah lucu untuk diketahui, meskipun kisah itu tidak terlalu penting. e. Fungsi regeneratif, pers berfungsi menceritakan bagaimana sesuatu dilakukan di masa lampau, bagaimana dunia ini dijalankan sekarang, bagaimana sesuatu diselesaikan dan apa yang dianggap dunia itu benar dan salah. Jadi pers menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru supaya terjadi regenerasi. 4. Kebebasan Pers Konsep kemerdekaan pers di sini adalah sebagai terjemahan dari the freedom of the press, yang secara sederhana dapat dianalogikan dengan arti free from the dom, atau bebas dari penguasa. Dalam perspektif sejarah, pengakuan dan perlindungan hak untuk merdeka dari pengaruh atau tekanan penguasa sudah di mulai sejak deklarasi Magna Charta tahun 1215. Khusus dalam bidang pers, secara eksplisit ditetapkan di dalam pasal 12 Virginia Bill of Right pada 15 Mei 1776 tentang kemerdekaan persurat kabaran.41 Piagam Virginia ini kemudian dimasukan ke dalam Konstitusi Amerika Serikat 1787, pada tahun 1789, piagam itu diadopsi pula oleh Prancis menjadi Declaration de droits de I’homme et du citoyen, atau naskah pernyataan Hak Asasi Manusia (HAM) dan warga negara. Di Indonesia masalah kemerdekaan/ kebebasan pers adalah apakah sudah sesuai dengan konstitusi serta undangundang yang berkaitan dengan fungsi dan peranan pers dalam kehidupan demokrasi. Hal ini sangat penting dirumuskan, mengingat pengalaman selama ini, 41 Satrio Saptohadi.2011.”Pasang Surut Kebebasan Pers di Indonesia”. Jurnal Dinamika Hukum. Volume. 11.No.1.Januari.hlm.131. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27 hampir setiap sistem politik menyebut dirinya demokratis dan menjamin adanya kebebasan pers, tetapi dalam praktiknya otoriter dan membelenggu pers.42 Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila, dengan demikian semua perilaku warga negara Indonesia diatur, dan dibatasi oleh hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Menurut ketentuan pasal pasal 28 Undang-undang dasar 1945, kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Dari ketentuan ini nyatalah bahwa kebebasan pers diakui dan dijunjung tinggi. Bahkan jika dilihat dari Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966, tentang ketentuan dari UU pokok pers sebagaimana telah diubah dengan UU No.4 tahun 1967 dan diubah lagi menjadi UU No.21 Tahun 1982, kebebasan pers dijamin sesuai dengan hak asasi warga negara Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam pasal 5 dari undang-undang berbunyi: (1.) kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. (2). Kebebasan pers ini didasarkan atas dasar tanggung jawab nasional dan pelaksanaan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini.43 Kebebasan ini di dalam prakteknya memang sangat diperlukan, terutama dalam pelakasanaan fungsi pers sebagai barometer, kritik dan koreksi terhadap kebijaksanaan pemerintah. karena tanpa adanya kebebasan, akan sangat sulit untuk pers untuk memberitakan kejadian yang sesungguhnya yang terjadi di 42 43 Ibid, hlm.132. Hamzah,et.al, 1987, Delik-delik pers di Indonesia,Jakarta, Media Sarana Press, hlm.13-14. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28 masyarakat.Menurut Oemar Seno Adji, berdasarkan asas demokrasi Pancasila maka dapat digambarkan kebebasan pers di Indonesia adalah sebagai berikut44: (1). Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan sebagai kemerdekaan untuk memperoleh alat-alat dari expression seperti dikemukakan oleh negara-negara sosialis. (2). Ia tidak mengundang lembaga sensor preventif. (3). Kebebasan ini bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan bukanlah tidak bersyarat sifatnya. (4). Ia merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas-batas tertentu, dengan syaratsyarat limitatif dan demokrasi, seperti oleh hukum nasional, hukum internasional dan ilmu hukum. (5). Kemerdekaan pers ini dibimbing oleh rasa tanggung jawab, dan membawa kewajiban-kewajiban untuk pers sendiri. (6). Ia merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah negatif dalam karakternya juga positif sifatnya. (7). Aspek positif diatas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu konklusi, bahwa posisinya adalah subordinate, tehadap penguasa. (8). Kebebasan adalah suatu kenyataan, bahwa aspek positif ini jarang ditentukan oleh kaum libertarian sebagai suatu unsur esensial dalam persoalan mass-communication. (9). Pernyataan bahwa pers itu tidak subordinated kepada penguasa politik berarti, bahwa konsep autoritarian adalah tidak acceptable bagi pers Indonesia. (10). Kekebasan pers dalam lingkungan batas limitatif dan demokratis, dengan menolak tindakan preventif adalah lazim dalam negara Demokrasi dan karena itu tidak bertentangan dengan ide pers merdeka. 44 Idem. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29 Demikian garis-garis besar di dalam Demokrasi Pancasila yang dikemukakan Oemar Seno Adji Jelaslah bahwa kemerdekaan pers di Negara Indonesia mempunyai batas-batas tertentu, dalam arti terbatas oleh pandangan hidup bangsa Indonesia serta tujuan yang ingin dicapai pembangunan nasional yang sedang kita laksanakan. Ketentuan yang sesuai dengan ini dapat kita lihat dalam Ketetapan MPR Nomor : II/MPR/1983, bagian penerangan dan media massa yang berbunyi: “Dalam rangka meningkatkan peranan pers dalam pembangunan perlu ditingkatkan usaha pengembangan pers yang sehat, pers bebas dan bertanggung jawab, yaitu pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat”.45 Menurut Harmoko, prinsip kebebasan pers di Indonesia adalah bekerja bahu membahu bersama apa saja yang disepakati masyarakat dengan penuh rasa tanggung jawab. Pers Indonesia mengabdi kepada kepentingan nasional seperti yang telah ditetapkan sendiri oleh rakyat. Soemono Mustofa mengatakan sesungguhnya tidak ada kebebasan pers yang mutlak di dunia ini. Kebebasan pers pun tunduk pada hukum lingkungan. Tak ada kebebasan pers yang berlaku sembarang waktu dan di semua negeri, hanya ada ialah kebebasan pers untuk 45 Ibid, hlm.16. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30 suatu masyarakat pada suatu masa tertentu dan kebebasan pers di Indonesia ialah kebebasan yang memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.46 Beberapa konsep kebebasan pers yang berlaku di Indonesia memberikan kesimpulan bahwa kebebasan pers yang bertanggung jawab, dalam artian pers diberikan kebebasan dalam memberitakan kejadian-kejadian yang terjadi namun tetap harus diingat bahwa kebebasan yang diberikan terikat oleh beberapa aturan, oleh sebab itu dikatakan tidak ada kebebasan mutlak. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak ada kebebasan yang mutlak sifatnya. Kebebasan seorang berhenti apabila melanggar kebebasan orang lain ataupun melanggar kepentingan umum seperti pada masa Orde Baru pers dianggap sebagai suatu ancaman jika memuat berita-berita yang dapat menganggu stabilitas nasional. 5. Pembredelan Pers. a. Pembredelan. Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966 dan diperbaharui dengan UU PP No.21 tahun 1982, penjelasan mengenai istilah pembredelan tidak ada, setelah berakhirnya Orde Baru dan UU PP No.21 tahun 1982 diperbaharui dengan UU PP No.40 tahun 1999, dijelaskan dalam BAB I tentang ketentuan umum, pasal 1 ayat (9) berbunyi: pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. 46 T.Atmadi, 1985, Bunga Rampai Sistem Pers Indonesia, Jakarta, Pantja Simpati, hlm. 136. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31 Namun selama Orde Baru tindakan pembredelan sering terjadi bahkan ketika larangan sensor dan pembredelan tercantum dalam UU PP No.11 Tahun 1966, bab II tentang fungsi, kewajiban dan hak pers, pasal 4 berbunyi: terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Serta perturan mengenai izin terbit yang memiliki makna ganda dalam UU PP No.11 Tahun 1966, Bab IV tentang hak penerbitan dan fasilitas pers, pasal 8 ayat (1) berbunyi: setiap warga mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakekatnya Demokrasi Pancasila dan Pasal 8 ayat (2) berbunyi: untuk ini tidak diperlukan Surat Izin Terbit (SIT). Namun ketentuan ini di kaburkan dengan Bab IX tentang peralihan pasal 20 ayat (1) a. Dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat Izin Terbit masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh Pemerintah atau DPR(GR). Pasal 20 (1) b. Ketentuan-ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam masa peralihan diatur oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers. selama berlakunya UU PP No.11 Tahun 1966, selain peraturan mengenai SIT peraturan lain yang digunakan untuk membredel pers adalah Surat Izin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Ketentuan mengenai SIT dalam masa peralihan di atur dalam, peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.03/PER/MENPEN/1969 tentang Lembaga Surat Izin Terbit dalam masa peralihan bagi penerbitan pers yang bersifat umum. Bab III tentang pencabutan surat izin terbit.47 Pasal 7 berbunyi: 47 Abdurrachman Surjomiharjo, op.cit, hlm. 384. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32 Surat Izin Terbit dicabut akibat dari larangan terbit terhadap penerbitan pers sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 UU PP No.11 Tahun 1966 yang dikenakan kepada: (a). Penerbitan pers yang bertolak dari ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme. (b). Penerbitan pers yang cenderung kepada pornografi. (c). Penerbitan pers yang cenderung kepada sadisme dan lain-lain. (d). Penerbitan pers yang bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial yang menyangkut tanggung jawab moral terhadap keselamatan generasi muda bangsa. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Pers 1966 dan Undang-Undang PP No.21 tahun 1982 maka bentuk atau larangan penerbitan dapat dirinci sebagai berikut: a) Pencabutan Surat Izin Cetak. Bentuk pembredelan dengan bantuk pencabutan SIC terhadap surat kabar seperti harian Indonesia Raya. Dapat kita lihat dari surat Pelaksana Khusus Panglima Komando dan Ketertiban Daerah Keamanan dan Ketertiban Daerah Jakarta Raya dan Sekitarnya, SK No:KEP-007-PK/1/1974 tentang pencabutan izin cetak surat kabar harian Indonesia Raya.48 dengan pertimbangan. Bahwa dipandang perlu untuk mengambil tindakan terhadap surat kabar harian Indonesia Raya dengan pencabutan SIC No.KEP.063.PK/1C/VIII/1973 tanggal 1 Agustus 1973 yang diberikan kepada PT.Badan penerbit “Indonesia Raya” Jln.Veteran I No.28 Jakarta. Tindakan pencabutan Surat Izin Cetak tersebut atas pertimbangan- 48 Ibid, hlm. 396. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33 pertimbangan sebagai beritkut: (a). Surat kabar harian Indonesia Raya telah melanggar semangat dan jiwa dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam TAP.MPR.No.IV/MPR/1973 dan UU No.11 tahun 1966. (b). Surat kabar harian Indonesia Raya telah memuat tulisan yang dapat merusak kewibawaan & kepercayaan kepemimpina nasional. b) Pencabutan Surat Izin Terbit. Pembredelan selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966 dilakukan dengan pencabutan SIC, setelah itu dilanjutkan dengan pencabutan SIT. Harian Indonesia Raya setelah dicabut SICnya oleh Pangkopkamtibda, harian Indonesia Raya SITnya dicabut oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia, surat keputusan Menteri Penerangan RI No.20/SK/DIRJEN-PG/K/1974 tentang pencabutan Surat Izin Terbit (SIT) surat kabar harian Indonesia Raya. Bahwa tindakan pencabutan SIT tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 49 (i). Surat kabar harian Indonesia Raya telah melanggar semangat dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 dan Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966,di mana dijelaskan bahwa mass media umumnya dan sarana pers khususnya harus menjadi sarana pembinaan partisipasi rakyat dalam pembangunan dan sebagai saluran pendapat rakyat yang konstruktif. (ii). Surat kabar harian Indonesia Raya telah memuat tulisan-tulisan: 49 Ibid, hlm. 399. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34 1. Pada hakekatnya menjurus ke arah usaha-usaha untuk melemahkan sendisendi kehidupan negara dan/atau ketahanan nasional. Dengan jalan mengobarkan isu-isu seperti modal asing,korupsi, dwifungsi, kebobrokan-kebobrokan aparat pemerintah, masalah asisten pribadi (Aspri), Kopkamtib. 2. Merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan nasional. 3. Mendengungkan kepekaankepekaan tanpa memberikan pemecahan yang tepat dan positif, yang dapat diartikan menghasut rakyat untuk bangkit bergerak untuk mengambil tindakantindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan negara. 4. Menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus kepada perbuatan makar. Bahwa perbuatan harian Indonesia Raya bertentangan dan merupakan pelanggaran terhadap fungsi dan tanggung jawab pers sebagai mana dimaksud dalam TAP MPR No.IV/MPR/1973, UU PP No.11 Tahun 1966, Kode Etik Jurnalistik dan Peraturan Menteri Penerangan RI No.03/1963. Bab III pasal (7d). Bahwa tindakan pencabutan surat izin terbit terhadap penerbitan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan kebebasan pers, melainkan justru menegakan kebebasan pers dalam arti sebenarnya dalam rangka tertib demokrasi Pancasila, dimana pers yang sehat dicita-citakan oleh rakyat Indonesia telah dirumuskan dalam konsensus nasional, TAP MPR No.IV/MPR/73, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab. Bentuk pembredelan selama berlakunya UU PP No.11 Tahun 1966 seperti surat izin cetak maupun surat izin terbit merupakan kontrol terhadap pers oleh pemerintah, bahwa Menteri Penerangan memiliki wewenang yang lebih kuat, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35 dimana sebuah surat izin cetak serta izin terbit dapat dicabut hanya dengan peraturan yang tingkatannya lebih rendah dari Undang-Undang Pokok Pers yang lebih tinggi kedudukannya menjadi tidak berarti, seperti pasal 4 sudah jelas mengatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan, pasal tersebut menjadi tidak bermakna, karena masih saja terjadi pelarangan terbit dalam bentuk pencabutan surat izin cetak dan surat izin terbit. c) Pencabutan SIUPP. Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1966 tentang perubahan atas Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Pokok Pers No.4 Tahun 1967. Peraturan mengenai izin terbit di hapus seperti yang tercantum dalam UU PP No.21 tahun 1982 pasal 8 ayat (2) dihapus diganti dengan keterangan cukup jelas. Dan pasal 20 ayat (1) dihapus. Kedua ayat yang dihapus dalam UU PP No.21 tahun 1982 peraturan mengenai surat izin terbit yang digunakan selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966. Peraturan mengenai surat izin terbit dihapus dan digantikan dengan peraturan baru yang ditambahkan dalam Bab V tentang perusahaan pers, pasal 13 ditambah ayat (5): setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan pers.50 Peraturan mengenai SIUPP juga dikeluarkan oleh Menteri Penerangan RI No.01/PER/MENPEN/1984. Tentang surat izin usaha penerbitan pers. Bab I 50 Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36 tentang ketentuan umum pasal 1 ayat (a) Surat izin usaha penerbitan pers selanjutnya disingkat SIUPP adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri Penerangan kepada perusahaan/penerbit pers untuk menyelenggarakan penerbitan pers. Bab II tentang persyaratan umum pemberian SIUPP pasal 2 berbunyi: setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan/ penerbitan pers harus memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh Menteri Penerangan. Bab VII tentang Sanksi, pasal 13 berbunyi SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaan/penerbit pers dapat dibatalkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengar Dewan Pers apabila: (a). Perusahaan/penerbitan pers melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut dalam bab IV tentang permodalan dan pemilikan persuahaan/penerbitan pers. (b). Perusahaan pers melakukan tindakan-tindakan yang tanpa persetujuan Menteri Penerangan menyalahi ketentuan-ketentuan adsministratif sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Penerangan. Pembredelan yang dilakukan oleh Menteri Penerangan dapat diambil contoh dari pencabutan SIUPP majalah mingguan Tempo (Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No.123/KEP/MENPEN/1994,Tgl.21 Juni 1994). Adapun salah satu yang menjadi pertimbangan pencabutan majalah Tempo ialah seperti yang tercantum dalam bagian (f) bahwa penilaian terhadap isi penerbitan Tempo selama ini ada beberapa kasus pemberitaan Tempo yang menunjukan itikad tidak sejalan dengan pengarahan Dewan harian Dewan Pers tgl.13 Mei 1982 yang telah diketahui dan ditandatangani oleh Direktur Utama PT.Grafiti Pers dan Pemimpin Redaksi Tempo. (g). Berdasarkan kenyataan sebagaimana tersebut di atas, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37 pemuatan isi beberapa penerbitan Tempo tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab, sehingga sesuai dengan pasal 33 huruf (h) Peraturan Menteri Penerangan No.01/PER/MENPEN/1984 dapat dikenakan sanksi pembatalan SIUPP. Pasal 33 huruf (h) berbunyi: menurut penilaian dimana Dewan Pers sebagaimana dimaksud, perusahaan/penerbitan pers dan penerbitan pers yang bersangkutan dalam penyelenggarakan penerbitannya tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab. Inilah pasal yang digunakan oleh Menteri Penerangan dalam mencabut SIUPP, seperti yang dijelaskan bahwa SIUPP merupakan bentuk lain dari pembredelan setelah dihapuskannya SIT dalam UU PP No.21 tahun 1982. Digantikannya SIT dengan SIUPP merupakan peraturan yang penuh dengan keritik, sebab SIUPP tidak dapat digunakan untuk membredel pers, sebab fungsi antara SIT dan SIUPP sangat berbeda. Memperjelas kedudukan antara izin terbit dan izin usaha penerbitan pers Oemar Seno Adji mengatakan, SIT dalam sistematika dan kategori hukum pers, termasuk Code of Publication. sedangkan SIUPP, masuk dalam kategori Code of Enterprise. Artinya, SIT mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pernyataan pendapat, melalui pers. SIUPP banyak mengatur faktor ekonomis, yang tidak boleh berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat melalui pers. SIUPP lebih merupakan perizinan berdirinya sebuah perusahaan pers. SIUPP banyak berkaitan dengan hukum dagang, perdata, perpajakan, dan perburuha. Jadi ia tidak langsung berhubungan dengan hal-hal yang fundamental, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38 seperti kebebasan berekspresi melalui pers, yang digolongkan dalam Code of Publication. 51 SIUPP digunakan untuk membredel pers merupakan hal yang rancu, sebab SIUPP mengatur masalah bagaimana perusahan pers itu supaya berdiri. Jika syarat-syarat berdirinya perusahaan pers belum terpenuhi, misalnya modal, maka SIUPP dapat dibatalkan untuk diberikan. Bukan dibatalkan karena masalah isi beritanya. Ini menunjukan kekacauan setelah SIT dihapus dan diganti dengan SIUPP diperkuat dengan peraturan Menteri Penerangan. Ketika kita melihat ketentuan yang tercantum dalam UU PP No.21 tahun 1982 dengan Peraturan Menteri Penerangan, yang lebih digunakan untuk alasan dalam membredel pers ialah peraturan Menteri Penerangan. Fakta yang terdapat dalam surat keputusan pencabutan majalah Tempo karena pertimbangan isi majalah tersebut dianggap dapat menganggu kestabilan nasional. Serta yang melakukan pembredelan adalah Menteri Penerangan, padahal yang berwenang mencabut SIUPP adalah pemerintah sebab pemerintahlah yang mengeluarkan SIUPP seperti yang tercantum dalam pasal 13 ayat 5. 6. Bahasa Jurnalistik Indonesia Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa. Bahasa Jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan 51 Tempo, 11 April 1987. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39 menarik. Akan tetapi, jangan dilupakan, bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa Indonesia baku.52 Wojowarsito menjelaskan : bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran intelek yang minimal. Sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Menurut Yus Badudu: bahasa surat kabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lungas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh pemakaian bahasa dalam surat kabar mengingat bahwa surat kabar dibaca oleh lapisanlapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya.53 Karya Latihan Wartawan (IKLW) XVII PWI pusat yang diselenggarakan atas kerja sama dengan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YLTKI) dan Friedrich Stiftung (FES) di Jakarta tanggal 6-10 November 1975 bertema “ Bahasa Jurnalistik dan Pewartaan” menyetujui sebuah pedoman pemakaian bahasa Indonesia dalam pers. Pedoman pemakaian bahasa Indonesia dalam pers sebagai berikut: 54 1. Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Hal ini juga harus diperhatikan oleh para korektor oleh karena kesalahan paling menonjol dalam penerbitan pers sekarang. Ini ialah kesalahan ejaan. 52 Rosihan Anwar, 2004, Bahasa Jurnalistik dan Komposisi, Yogyakarta, Media Abadi, hlm. 3. Ibid, hlm. 4. 54 Ibid, hlm. 140. 53 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40 2. Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim. Kalaupun harus menulis akronim, maka satu kali dia harus menjelaskan dalam dalam tanda kurung kepanjangan akronim tersebut supaya tulisannya dapat dipahami oleh khalayak ramai. 3. Wartawan hendaknya jangan menghilangkan imbuhan, bentuk awalan atau prefix. Pemenggalan kata awal m-e dapat dilakukan dalam kepala berita mengingat keterbatasan ruangan. Akan tetapi pemenggalan jangan sampai disamaratakan sehingga mempengaruhi pula dalam isi berita. 4. Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek pengutaraan pikirannya harus logis, teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan dan kata tujuan (subyek, predikat, obyek).Menulis dengan induk kalimat dan anak kalimat yang mengandung banyak kata mudah membuat kalimat tidak dipahami. Lagipula prinsip yang harus dipegang ialah “satu gagasan atau satu ide dalam satu kalimat.” 5. Wartawan hendaknya menjatuhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata “sementara itu”, “dapat ditambahkan”, “perlu diketahui”, “dalam rangka”, “selanjutnya”. Dengan demikian dia menghilangkan monotomi (keadaan atau bunyi yang selalu sama saja), dan sekaligus dia menerapkan ekonomi kata atau penghematan dalam bahasa. 6. Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti: adalah, telah, untuk, dari, bahwa dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41 7. Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan campur-aduk dalam satu kalimat bentuk pasif (di) dengan bentuk aktif (me). Sebab kalimat aktif terasa lebih hidup dan kuat dari kalimat pasif. 8. Wartawan hendaknya menghindari kata-kata asing dan istilah-istilah yang terlalu teknis ilmiah dalam berita. Kalaupun terpaksa menggunakannya, maka satu kali harus dijelaskan pengertian atau maksud. 9. Wartawan hendaknya sedapat mungkin mentaati kaidah tata bahasa. 10. Wartawan hendaknya ingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dari tiga aspek yaitu: isi, bahasa dan teknik persembahan. G. Metodologi Penelitian Penelitian sejarah pada dasarnya memiliki tahapan yaitu: (1) Pemilihan Topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi, (4) interpretasi, (5) penulisan.55 1. Pemilihan Topik Pemilihan topik merupakan langkah pertama dalam penelitian sejarah. Topik penelitian ini adalah “Pembredelan Pers Masa Orde Baru (1966-1998). Sikap pemerintah terhadap kebebasan pers di masa Orde Baru menarik untuk dibahas. Sikap pemerintah semakin berubah ketika pers semakin kritis dalam 55 Kuntowijoyo, 2005, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta, Bentang Pustaka, hlm. 69. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42 menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak adil terhadap masyarakat. Topik yang telah dipilih ini memberikan daya tarik tentang kehidupan pers masa Orde Baru yang semula menjanjikan kebebasan pers, tetapi nyatanya pers hanya sebagai alat pemerintah untuk memperkuat konsolidasi kekuasaan Orde Baru, setelah pemerintahan Orde Baru sudah cukup kuat, pemerintah mulai melakukan tindakan represi terhadap pers. Kebebasan pers masa Orde Baru semakin sulit, namun setelah berakhirnya Orde Baru kebebasan pers mulai tumbuh kembali di era reformasi. 2. Pengumpulan Sumber Setelah pemilihan topik dilakukan, tahap berikutnya adalah pengumpulan sumber (heuristik). Pengumpulan sumber harus relevan dan sesuai berdasarkan dengan topik yang akan ditulis. Ada beragam jenis sumber yaitu sumber tertulis, sumber lisan, benda tinggalan dan sumber kuantitatif56. Pada penelitian ini penulis menggunakan sumber yang berupa buku, jurnal, surat kabar dan majalah. Karena sumber yang dicari sangat terbatas di perpustakaan Sanata Dharma, penulis juga mencari sumber-sumber primer di perpustakaan dan museum lain yang terkait. Namun penulis sangat mengalami kesulitan dalam mendapatkan sumber primer berupa surat kabar dan majalah yang terkait dengan topik. Oleh sebab itu sumber primer berupa surat kabar hanya beberapa saja yang menjadi bahan penulisan skripsi ini. Lebih banyak menggunakan sumber sekunder berupa buku untuk lebih memperlengkap sumber primer yang sangat terbatas jumlahnya. 56 Suhartono W. Pranoto, 2010, Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta, Graha Ilmu,hlm. 30. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43 3. Kritik Sumber (Verifikasi) Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah untuk mendapatkan objektivitas suatu kejadian.57 Umumnya kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini meliputi verifikasi sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu kritik eksternal (otentisitas dan integritas) dan kritik internal. Kritik eksternal adalah kritik yang dilakukan untuk mengetahui keaslian sumber, kritik eksternal bertujuan untuk mengetahui ontetik tidaknya sumber yang kita miliki, serta harus menggunakan analisa sumber untuk mengetahui apakah suatu sumber itu asli ataukah turunan. Sumber asli sudah barang tentu lebih tinggi mutunya dari pada sumber turunan. Kritik ekstern digunakan untuk mengetahui utuh tidaknya sumber-sumber, harus diatasi dengan kritik isi sumber. Kecuali untuk mengetahui perubahan-perubahan apa yang dibuat di dalam teks dalam usahanya menyalinnya, kritik teks juga bertugas mengetahui bagaimana sesungguhnya isi sumber asli. Asli dalam arti kata yang sesungguhnya dari tangan pengarang dokumen.58 Kritik Internal mulai bekerja setelah kritik ekstern selesai menentukan, bahwa dokumen yang kita hadapi memang dokumen yang kita cari. Kritik intern harus membuktikan, bahwa kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber itu memang dapat dipercaya. Pertama, buktinya diperoleh dengan penilaian intrinsik, dimulai dengan menentukan sifat dari sumber-sumber itu. 57 Ibid, hlm. 35. Nugroho Notosusanto, 1978, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta, Yayasan Indayu, hlm. 38. 58 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44 Kedua, menilai sesuatu sumber secara intrinsik, adalah dengan jalan menyoroti pengarang dari sumber itu. Ketiga, membanding-bandingkan kesaksian berbagai sumber dan dilakukan dengan menjejerkan kesaksian, dari saksi-saksi yang tidak berhubungan satu sama lain.59 4. Interpretasi Interpretasi data juga sering disebut penafsiran data. Data yang telah diperoleh dari sumber kemudian diinterpretasi. Interpretasi data harus berdasarkan argumen yang memiliki landasan data yang relevan. Terdapat dua macam interpretasi yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan). Fakta-fakta yang telah diperoleh melalui sumber kemudian diinterpretasi menjadi rangkaian peristiwa yang dapat diuji kebenarannya. Dengan demikian interpretasi data tersebut menjadi kuat karena berdasarkan data yang relevan. Pendekatan politik, ekonomi dan sosial dipakai dalam memahami Pembredelan Pers di Masa Orde Baru. Pendekatan politik dipilih karena tujuan pemerintah mengendalikan pers adalah untuk menjaga kestabilan politik, pengendalian terhadap pers dengan tindakan pembredelan memberikan dampak kerugian ekonomi dalam industri pers, serta dampak dalam kehidupan sosial masyarakat jika pemberitaan pers tidak lagi sebagai peyambung lidah rakyat lalu bagaimana cara masyarakat menyampaikan aspirasinya terhadap penguasa. 5. Penulisan sejarah (Historiografi) Penulisan sejarah memiliki tiga bagian penting yang harus diperhatikan yaitu pengantar, hasil penelitian dan kesimpulan. Dalam pengantar menjelaskan 59 Ibid, hlm. 39. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45 latar belakang topik yang diteliti, kemudian dalam hasil penelitian akan di jelaskan hasil penelitian yang diperoleh penulis dan kesimpulan yaitu melakukan generalisasi dari bab-bab sebelumnya. H. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi yang berjudul “Pembredelan Pers di Masa Orde Baru (1966-1998)” mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut. Bab I Berupa pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian dan pendekatan, serta sistematika penulisan. Bab II Bab ini menyajikan uraian tentang latar belakang pembredelan pers di Masa Orde Baru Bab III Bab ini menyajikan uraian tentang bentuk dan alasan pembredelan pers dilakukan oleh pemerintah Orde Baru Bab IV Bab ini menyajikan uraian tentang dampak dari pembredelan pers bagi perkembangan pers di Indonesia pasca Orde Baru. Bab V Bab ini menyajikan kesimpulan yang berisi tentang jawaban-jawaban permasalahan yang ada dalam Bab II, III, dan IV PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB II LATAR BELAKANG PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE BARU A. Lahirnya Orde Baru Pasca peristiwa September 1965, situasi politik menjadi tidak stabil sehingga kekuatan pemerintah Orde Lama semakin melemah. Keadaan politik tersebut mengakibatkan perpecahan antara Presiden Soekarno dan Angkatan Darat. Situasi ketidakstabilan politik dikarenakan perubahan keanggotaan kabinet yang diumumkan Presiden Soekarno untuk mempertahankan kembali kekuasaanya di Indonesia. Tindakan Presiden Soekarno yang mengakibatkan hubungannya dengan kalangan tentara khususnya Angkatan Darat menjadi berubah karena memberhentikan Nasution dan beberapa menteri yang pro Angkatan Darat.60 Sikap Presiden Soekarno mengubah kabinet barunya mendapat kritik dari pihak Angkatan Darat, karena dianggap menteri-menteri yang dipilih hanya orangorang pro-Soekarno, seperti Soebandrio karena Presiden Soekarno menolak namanama yang diusulkan oleh Jenderal Soeharto untuk dikeluarkan dari kabinet.61 Setelah di tolak usulan Jenderal Soeharto, Angkatan Darat menggunakan strategi dukungan terhadap aksi demonstrasi mahasiswa yang terjadi pasca diumumkan perubahan kabinet baru Presiden Soekarno. Demonstrasi yang sering terjadi di Ibukota Jakarta dipelopori oleh beberapa organisasi mahasiswa seperti KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia dan 60 61 Harold Crouch, 1999, Militer & Politik di Indonesia, Jakarta, Surya Usaha Ningtias, hlm. 200. Ibid, hlm. 206. 46 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47 KAPPI (kesatuan aksi mahasiswa dan pemuda Indonesia). KAMI mulai melakukan demonstrasi kembali pada saat pelantikan kabinet yang dirombak tanggal 24 Februari 1966. Aksi demonstrasi mahasiswa mengakibatkan Presiden Soekarno melantik kabinet barunya dalam keadaan marah, karena slogan KAMI menuduh Presiden Soekarno mengangkat kabinet Gestapu atau kabinet komunis.62 Aksi demonstrasi mahasiswa kembali berlanjut ketika sidang kabinet pada tanggal 11 Maret 1966, keadaan di luar istana sangat mencekam oleh beberapa pasukan yang tidak dikenal yang mengakibatkan Presiden Soekarno langsung meninggalkan sidang kabinet. Melihat situasi politik yang semakin tidak stabil dan aksi demonstrasi semakin meningkat, Presiden Soekarno memutuskan untuk menandatangani “Surat Perintah 11 Maret”, berisikan Presiden “memerintahkan” Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggapnya perlu demi menjamin keamaan, ketenangan, stabilitas pemerintahan dan revolusi, serta juga menjamin keselamatan pribadi serta kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi kesatuan Republik Indonesia dan untuk meneruskan segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi”. Mayor Jenderal Soeharto tidak menyia-nyiakan waktu untuk menggunakan kekuasaan yang baru diterimanya. Pada tanggal 12 Maret 1966 Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah harian ditujukan kepada seluruh jajaran angkatan bersenjata dan rakyat Indonesia. Ia mengumumkan bahwa perintah Presiden Soekarno kepadanya kemarin telah menunjukan bahwa “suara hati nurani rakyat sungguh-sungguh telah dilihat, didengar oleh Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Soekarno yang amat kita cintai, 62 Ibid, hlm. 203. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48 juga membuktikan kecintaan Pemimpin Besar Revolusi kepada kita sekalian.63 Pada hari yang sama Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah pertama sebagai “pemegang Surat Perintah 11 Maret”, atas nama Presiden Soekarno, ia memerintahkan pembubaran PKI dengan segala organisasinya di seluruh tanah air, dan tetap harus berpegang teguh kepada Panca Azimat Revolusi Indonesia. Jenderal Soeharto dan Angkatan Darat mulai memegang kendali pemerintahan secara perlahan. Selama bebarapa bulan sesudah 11 Maret suasana politik di Jakarta mengalami perubahan derastis. Pemerintahan yang didominasi oleh Angkatan Darat itu melakukan kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan-kebijakan pokok Presiden Soekarno dalam bidang ekonomi dan politik luar negeri, seiring meningkatnya kegiatan yang penuh semangat dari para pemuda yang bergabung dalam kesatuan-kesatuan aksi yang telah bangkit melawan Presiden Soekarno, dan menyatakan lahirnya Orde Baru dengan di keluarkannya surat perintah 11 Maret 1966 untuk menggantikan Orde Lama. B. Sikap Pemerintah Orde Baru terhadap Pers Pada periode awal Orde Baru, persepsi sikap dan perlakuan penguasa terhadap pers, terutama pers non/anti komunis, telah berubah secara berarti. Pemerintah Orde Baru memandang dan memperlakukan pers non/komunis sebagai Partner of power-nya untuk “mengganyang” PKI dan simpatisan-simpatisan, serta sebagai alat konsolidasi kekuasaan Presiden Soekarno. Pers menjadi alat konsolidasi untuk membangun pemerintahan Orde Baru secara penuh, setelah 63 Ibid, hlm. 212. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49 runtuhnya rezim Orde Lama setelah pemerintahan Orde Baru berdiri secara kokoh, maka sikap pemerintah terhadap pers mulai berubah secara perlahan, karena sikap kritis pers semakin tumbuh dan pemerintah merasa pemberitaan surat kabar mulai dapat mengancam keamanan dan kestabilan politik. Awal Orde Baru pers khususnya surat kabar, sempat menghirup angin segar dengan terbitnya. Beberapa surat kabar yang pernah dibredel pada masa Orde Lama dan diperbolehkan terbit kembali seperti harian Nusantara (Maret 1967), Indonesia Raya (Oktober 1968), Pedoman (Novomber 1968) dan Abadi (Desember 1968). Sejak pertengahan 1966 peta ideologi pers berada dalam keadaan seimbang (balance), artinya tidak ada kelompok pers khususnya surat kabar yang mendominasi penciptaan opini publik dan politik. Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang peta ideologi politik dikutip dari sebuah pemetaan yang dilakukan Agasi sebagai berikut: 64 1. Pers Militer, yaitu harian Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Ampera, Api Pancasila, Pelopor Baru dan Warta Harian. Empat surat kabar ini adalah surat kabar yang punya hubungan khusus dengan militer, namun satu sama lain tidak selalu satu pendapat tentang hal-hal tertentu dan tidak jarang saling bertentangan. Hal ini merupakan refleksi dari belum terintegrasinya pandangan dan sikap militer dalam menghadapi beberapa peristiwa politik tertentu. 2. Pers Nasionalis (pers PNI), yaitu Suluh Marhaen dan El-Bahar. Pers ini bukan pers yang beraliansi dengan PNI tetapi lebih kepada hubungan baik dengan kelompok pers kiri partai tersebut, serta selalu mendukung dan mengekspresikan pandangan-pandangan Soekarno, walaupun terbit di zaman Orde Baru. 3. Pers kelompok intelektual, yaitu harian KAMI,Mahasiswa Indonesia Nusantara, Indonesia Raya dan Pedoman. 4. Pers kelompok Muslim, yaitu Duta Masyarakat, Angkatan Baru, Suara Islam, Mercusuar dan Abadi. 5. Pers kelompok Kristiani, yaitu harian Kompas (Katolik) dan Sinar Harapan (Kristen Protestan). 64 Akhmad Zaini Abar, op.cit, hlm. 56. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50 6. Pers kelompok Independen, yaitu harian Merdeka, Jakarta Times serta Revolusioner. Peta di atas berdasarkan dengan ekspresi kultural (nilai-nilai, aliran atau ideologi) yang ditampilkan dalam pemberitaan dan editorialnya. Seperti pers militer adalah pers yang mengekspresikan pandangan ideologis kelompok militer, yang walaupun tidak selalu sama, namun sejumlah persoalan politik krusial selalu terdapat kesamaan pandangan, seperti dalam soal stabilitas, ketertiban politik nasional, ideologi negara, kepentingan nasional, dan lain-lain. Sedangkan pers nasionalis adalah pers yang mengekspresikan pandangan ideologi kaum radikal dan Soekarnois. Pers kelompok intelektual biasanya di hubungkan dengan ekspresi ideologis kaum intelektual di dalam dan luar kampus yang menginginkan perubahan atau pembaharuan politik nasional. Pers Muslim adalah pers yang mengekspresikan pandangan ideologi kaum muslimin pada umumnya. Pers kelompok Kristiani adalah pers yang mengekspresikan pandangan ideologis umat baik Katolik maupun Kristen Protestan. Sedangkan pers kelompok independen adalah pers yang tidak mengekspresikan pandangan ideologis manapun dalam masyarakat. Kebebasan pers pada awal Orde Baru sempat dirasakan insan pers, khususnya surat kabar, hal ini terlihat dari pemerintah yang memberikan ruang bagi pers untuk bekerjasama dalam membangun pemerintahan Orde Baru secara penuh. Surat kabar berperan penting dalam konsolidasi kekuasaan Orde Baru, hal ini terlihat dari surat kabar yang menyuarakan anti PKI setelah peristiwa September 1965 dan usaha tersebut mendapat dukungan dari pemerintah, oleh sebab itu sering dikatakan bahwa pers adalah unsur penting lahirnya Orde Baru. Kebebasan pers pada masa Orde Baru tidak berlangsung lama, setelah Orde Baru mendapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51 dukungan secara penuh dengan Jendral Soeharto diangkat sebagai Presiden secara resmi bulan Maret 1968, ketika Sidang Umum MPRS V mengangkatnya sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua. 65 Semboyan pemerintah terhadap pers dimasa Orde Lama adalah pers terpimpin, maka semboyan pemerintah bagi pers dimasa Orde Baru ialah “pers bebas dan bertanggung jawab”. Era Orde Baru pers boleh bebas membemberitakan isu-isu terkini, tetapi harus bertanggung jawab. Bebas dalam pengertian ini bukanlah makna yang sebenarnya, ini terlihat dari sikap pemerintah terhadap pers yang mulai kritis, bayang-bayang bredel di masa Orde Baru semakin menghantui mereka setiap saat ketika mereka memberitakan isu-isu terkini, apakah hal tersebut bisa dikatakan kebebasan pers. Seperti yang dikatakan Mochtar Lubis bahwa hubungan baik pemerintah terhadap pers bulan madu yang singkat66. “Media massa memperlihatkan kesegaran bersikap dan berpikir, serta keberanian untuk berterus terang. Kemunafikan yang selama ini amat menonjol di bawah rezim Soekarno seakan telah dihilangkan. Alangkah segarnya membaca kembali media massa Indonesia selama beberapa tahun pertama Orde Baru. Akan tetapi “bulan madu” hanya berlangsung beberapa tahun saja, penguasa bertambah peka terhadap kritik-kritik dalam pemberitaan media massa. Dikalangan penguasa semakin banyak diperlihatkan sikap kurang senang dengan terus terangnya kritik-kritik yang diberitakan media massa khususnya surat kabar dan majalah.” Setelah PKI dan rezim Demokrasi Terpimpin berakhir, sikap dan perlakuan penguasa Orde Baru terhadap pers mulai berubah. Hal ini terutama disebabkan kekuasaan Orde Baru semakin bertambah kuat dan besar setelah rezim Presiden Soekarno tumbang, tidak ada lagi penghalang atau pun lawan politik Angkatan Darat atau ABRI pada umumnya untuk memperkuat kekuasaanya. Sejak tahun 65 Harold Crouch, op.cit, hlm. 244. Mochtar Lubis, 1978, Etos Pers Indonesia” Prisma, No.11, LP3ES, hlm. 35. 66 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52 1966, pers Indonesia mulai lebih kritis terhadap kekuasaan Orde Baru, terutama ditujukan pada fenomena korupsi dalam birokrasi negara Orde Baru.67 Sorotan surat kabar terhadap korupsi semakin sering mewarnai isi berita dalam surat kabar harian yang sangat dikenal kritis terhadap perkembangan isu terkini pemerintahan. Sikap pemerintah yang mulai berubah mengakibatkan pemerintah semakin berhati-hati terhadap pers dan mulai melakukan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan anti pers, seperti imbauan atau peringatan agar pers lebih bertenggang rasa dalam melakukan kritiknya terhadap penguasa. Selain itu juga penguasa melakukan intropeksi diri sebagai reaksi positif dari kritik yang dilontarkan terhadap dirinya.68 Sementara itu pemerintah yang menghadapi suasana pers yang kritis terus berkembang tampak merisaukan pemerintah, karena pers sempat diberikan kebebasan dalam memberitakan isu-isu politik, tetapi sikap pers yang kritis tidak lagi bisa dibiarkan oleh pemerintah, kebebasan atau keterbukaan ruang bagi pers dalam memberitakan isu-isu politik, membuat pemerintah menjadi khawatir dapat membahayakan kestabilan politik yang masih diperlukan untuk melaksanakan pembangunan Orde Baru.69 Sikap pemerintah yang memperlakukan pers terkadang sangat sulit untuk mencari perubahan secara fundamental, tetapi perubahan sikap pemerintah dalam memperlakukan pers dapat kita lihat seiring dengan dinamika politik yang sedang berkembang. 67 Akhmad Zaini Abar, op.cit, hal. 69. Ibid, hlm.68. 69 Alfian, 1991, Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 65. 68 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53 Menghadapi sikap pers yang kritis mulai bangkit kembali, pemerintah tidak langsung melakukan tindakan anti pers, hal ini masih ditanggapi secara toleransi oleh pemerintah masih bermanfaat untuk mengintropeksi diri sesuai dengan harapan masyarakat70. Pada periode awal pemerintahan Orde Baru tindakan anti pers yang dilakukan oleh pemerintah masih dianggap dalam batas-batas yang bisa ditoleransi. Misalnya saja, sebagian besar beberapa surat kabar yang dibredel dimasa Orde Baru adalah dengan alasan pornografi. Begitu pula, beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan pers telah diselsaikan lewat jalur hukum dan pengadilan bukan diselesaikan secara politis lewat pembredelan. Sebagai contoh, harian Nusantara yang dituduh “menghina pemerintah Republik Indonesia dan Presiden Soeharto”, kemudian penanggung jawab redaksionalnya diajukan ke pengadilan, sedangkan hariannya tetap boleh terbit. Pada periode tersebut penguasa Orde Baru cenderung menahan diri untuk melakukan tindakan anti pers. Bahkan pemerintah masih tetap memberikan suasana kondusif bagai kebebasan pers. Pada mulanya pers dianggap pemerintah Orde Baru sebagai partner dan masih memberikan ruang yang bebas tapi pemerintah tidak lagi bisa menahan diri untuk melakukan tindakan anti pers yang lebih keras terhadap surat kabar yang sangat kritis terhadap segala isu-isu terkait dengan rezim Orde Baru, pers yang begitu bebas menurut pemerintah dapat mengakibatkan terganggunya kestabilan politik. Sikap kritis pers inilah yang dianggap pemerintah harus dibatasi agar tidak menggangu kestabilan politik akibat pemberitaan yang kritis. 70 Akhmad Zaini Abar, op.cit, hlm. 70. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54 Peristiwa 15 Januari 1974 menjadi titik tolak rezim orde baru melakukan politik represif terhadap pers seperti yang dikatakan oleh Rizal Mallarangeng dalam program Melawan Lupa Metrotv71 : “Pada tanggal 15 Januari 1974 pemerintah Orde Baru dikejutkan dengan demonstrasi mahasiswa berujung kerusuhan massa. Para mahasiswa menganggap kebijakan pemerintah telah menyimpang, kebijakan pemerintah tidak ditujukan untuk mensejahterakan rakyat. Peristiwa 15 Januari atau lebih dikenal sebagai peristiwa MALARI menjadi titik tolak politik represif rezim Orde Baru.” Sikap pemerintah yang mulai melakukan sikap represif terhadap pers semakin dirasakan oleh insan pers, seperti yang juga dikatakan oleh Asvi Warman Adam dalam program Melawan Lupa bahwa peristiwa Malari menjadi tonggak perubahan sikap pemerintah Orde Baru terhadap pers:72 “ Pasca Peristiwa tersebut beberapa surat kabar dibredel oleh pemerintah, kondisi keamanan menurut hemat saya mulai berubah dalam arti Presiden Soeharto benar-benar sangat waspada, didalam memilih para pembantunya atau yang sering disebut dengan Asisten Pribadi (ASPRI) & melakukan represi yang sangat keras terhadap mereka yang bersifat kritis terhadap pemerintah. Rezim Presiden Soeharto juga mulai bertindak represif terhadap setiap bentuk demonstrasi dan gerakan sipil serta terhadap para tokoh yang bersikap kritis terhadap pemerintah, politik keluarga, aktivitas bisnis dan krabat Presiden Soeharto. Rezim Orde Baru yang nyaris tanpa kontrol dan anti kritik ini dalam perkembangannya juga menyebabkan timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme akibatnya dalam bidang ekonomi pembangunan nasional tidak merata dan gagal mensejahterakan rakyat. Gerakangerakan yang sifatnya kritis dihadapi dengan sangat keras oleh pemerintah pasca peristiwa Malari 1974 sejak tahun tersebut, peristiwa Malari bukan hanya sekedar kerusuhan tapi merupakan tonggak Pemerintahan Presiden Soeharto bersikap lebih represif.” 71 Melawan Lupa, 16 Januari 2016. Melawan lupa adalah sebuah program acara documenter di Metro Tv yang akan mengulas berbagai peristiwa bersejarah yang turut membentuk mengenai sebuah entitas yang hari ini dikenal sebagai Indonesia. Tayangan ini, seperti judulnya, sedikit banyak berupaya menjadi narasi tanding atas apa yang selama ini mendifinisikan diri sebagai sejarah nasional Indonesia dengan menyajikan narasinarasi kecil di balik peristiwa-peristiwa besar yang terjadi, melawan lupa ditunjukan bagi siapa saja yang menolak lupa atas segala hal yang pernah terjadi dalam riwayat Indonesia. 72 Idem. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55 C. Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Pers Upaya memahami pola dan gaya pers dan kebijakan pemerintah terhadap pers pada suatu negara, banyak dilatari falsafah dan ideologi negara tersebut. langkah ini dilaksanakan bertolak dari anggapan bahwa falsafah mengejawantah dalam berbagai produk perundang-undangan yang mengatur sistem sosial politik dan kebijaksanaan informasi negara. Selanjutnya ketentuan dalam undang-undang tersebut dijabarkan dalam peraturan-peraturan pelaksanaan secara langsung mengatur dan mempengaruhi budaya politik dan kehidupan pers. Demikian juga prinsip-prinsip yang terdapat dalam undang-undang tersebut, tidak selalu mengejawantah dalam peraturanperaturan pelaksanaanya secara menyeluruh. Acapkali terjadi, ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan undangundang, hanya menjadi bagian tertentu saja. Sedangkan bagian lain yang mungkin kurang menguntungkan bagi pemegang otoritas kekuasaan, tetap dibiarkan hanya bersifat formal dan tidak mempunyai kaitan dengan praktik kehidupan pers itu sendiri.73 Tidak sedikit negara menyatakan diri sebagai negara demokratis, tetapi dalam kenyataannya mempraktikkan cara berbangsa dan bermasyarakat yang justru bertentangan dengan asas-asas demokrasi. Banyak negara mempunyai konstitusi dan undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, tetapi dalam praktik pemerintahannya menerapkan tindakan otoriter, 73 St.Sularto, Humanisme dan Kebebasan Pers. op.cit, hlm. 91. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56 melakukan pengekangan terhadap kebebasan berpendapat, bahkan pembrangusan pers yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemegang otoritas kekuasaan.74 Keadaan semacam itulah yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru atau kurun waktu tahun 1966-1998. Konstitusi memberikan perlindungan dan jaminan kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan pers, tetapi dalam kenyataan, kebebasan pers yang terwujud hanya terbatas pada hal-hal yang tidak mendasar. Terlihat dari kebijakan pemerintah yang represif terhadap pers, semakin membuat ruang gerak pers menjadi terbatas dan kebijakan pers tersebut menggambarkan bahwa pers yang diterapkan oleh penguasa adalah tindakan otoritarian. Kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pers masa Orde Baru dapat diuraikan sebagai berikut yang terdapat dalam UU PP No.11 tahun 1966, UU PP No.4 tahun 1967 penambahan UU No. 1 tahun 1966, UU PP No.21 tahun 1982 perubahan atas UU PP No.11 tahun 1966, adapun beberapa kebijakan terhadap pers yang terdapat dalam Undang-Undang pokok pers yang beberapa kali mengalami perubahan pada masa Orde Baru tersebut dapat diuraikan di bawah ini: 1. Surat Izin Terbit (SIT) UU Pokok Pers No.11 tahun 1966, Pasal 20 (1) a. dalam masa peralihan keharusan mendapat Surat Izin Terbit masih berlaku sampai keputusan pencabutannya oleh pemerintah atau DPR (GR).75 Ketentuan mengenai SIT dalam UU Pokok Pers diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Penerangan No.03/Per/Menpen/1969.76 Didalam peraturan ini dikemukakan secara terperinci syarat-syarat untuk mendapatkan SIT beserta cara-caranya. Juga mengenai soal 74 Ibid, hlm. 92. T. Atmadi, Sistem Pers Indonesia, Jakarta, Gunung Agung, hlm. 131. 76 Abdurrachman Surjomihardjo, op.cit, hlm. 186. 75 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57 pencabutannya antara lain ditegaskan bahwa permohonan SIT harus disertai “pernyataan bahwa penerbitan pers tersebut mengutamakan idiil dengan menguraikan mission-nya dalam bentuk usaha pengabdiannya terhadap negara dan bangsa”. Kesanggupan yang perlu di tanda tangani sebelum mendapatkan izin tertuang dalam sembilan belas yang perlu disetujui oleh penerbit surat kabar di tahun 1960 sebagai beriktu: 1. Kami sanggup mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan/ atau akan dikeluarkan/diberikan oleh penguasa perang Tertinggi dan lain-lain instansi pemerintah yang berwenang mengenai penerbitan. 2. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Manifesto Politik Republik Indonesia secara keseluruhan. 3. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela program pemerintah. 4. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 5. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela UUD 1945. 6. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Pancasila. 7. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Sosialisme Indonesia. 8. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Demokrasi Terpimpin. 9. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela ekonomi terpimpin. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58 10. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela kepribadian nasional indonesia 11. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela martabat negara Republik Indonesia. 12. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung alat untuk memberantas imperialisme dan kolonialisme, liberalisme, federalisme dan sparatisme. 13. Penerbitan kami wajib menjadi pembela/ pendukung dan alat pelaksana dari politik bebas dan aktif negara Republik Indonesia serta tidak menjadi pembela/pendukung dan alat dari pada perang Dingin antara blok negara asing. 14. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap Pancasila. 15. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap manifesto politik Republik Indonesia. 16. Penerbitan kami wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban dan keamanan umum serta ketenangan politik. 17. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-gambar yang bersifat sensasional dan merugikan akhlak. 18. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-gambara yang mengandung penghinaan terhadap kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara asing yang bersahabat dengan Republik Indonesia. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 59 19. Penerbitan kami akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambargambar yang mengandung pembelaan terhadap organisasi yang dibubarkan atau dilarang berdasarkan penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 dan Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960. Juga harus disertai dalam permohonan itu, susunan pengasuh penerbitan pers yaitu: pimpinan umum, pimpinan perusahaan dan pimpinan redaksi, dilengkapi dengan riwayat hidup masing-masing dan riwayat hidup ini harus telah disahkan oleh Komando Daerah Angkatan Kepolisian bagian Intel, beserta clearance dari pihak berwenang, yang menyatakan “tidak berindikasi tersangkut Gestapu/PKI atau aksi-aksi kontra revolusi lainnya dan tidak melakukan tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman tambahan sebagaimana tersebut dalam pasal 33 KUHP”. Beberapa ketentuan lain yang juga harus dipenuhi yaitu: mendapat rekomendasi tertulis dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) baik daerah maupun pusat mengenai bidang kewartawanannya, rekomendasi tertulis dari Serikat Penerbitan Surat kabar (SPS) daerah dan pusat mengenai bidang perusahaannya, pernyataan tertulis dari percetakan tentang kesanggupannya mencetak surat kabar harian atau penerbitan berkala yang bersangkutan, dengan mengemukakan kapasitas cetaknya.77 Mengenai SIT dalam UU Pokok Pers No.11 tahun 1966 ada ketentuan yang semu yaitu ketentuan pasal (8) untuk ini tidak diperlukan izin terbit, ketentuan tersebut dikaburkan dengan pasal 20 (1) a. seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pada masa peralihan SIT diperlukan. Sampai masa Orde Baru hampir 77 Ibid, hlm. 187. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60 berakhir keputusan pencabutan pasa 20 UU Pokok Pers itu belum pernah dilakukan. Berarti pemerintah masih mengkategorikan masa Orde Baru membutuhkan masa transisi yang cukup lama sebagai masa peralihan. Menanggapi suara-suara dari kalangan pers agar SIT dicabut, Menteri Sekretaris Negara saat itu Sudharmono, yang juga merangkap sebagai Menteri Penerangan, hanya mengatakan (8 November 1977) bahwa soal SIT sudah diatur dalam undang-undang . Menpen Sudarmono berkata: 78 “Mengubah undang-undang itu tidak mudah, dan pemerintah tetap bermaksud menjalankan undang-undang yang ada dengan sebaik-baiknya.sikap pemerintah adalah akan mendengar dan menampung suara atau usul mengenai SIT.” Lembaga SIT masih tetap dipertahankan “dalam masa peralihan” (pasal 20 UU Pokok Pers 1966) dan ada kemungkinan mencabut izin itu, lagi pula dalam praktiknya juga terjadi persbredel dan izin terbit dimungkinkan berlakukanya dalam keadaan yang dianggap darurat. SIT adalah sebagai kebijakan pemerintah terhadap pers sebagai alat kontrol politik dan besar wewenang penguasa untuk membredel pers yang dianggap salah satu ciri khas yang menonjol, dan dasar dari wewenang itu selalu untuk menjaga ketertiban umum. 2. Surat Izin Cetak (SIC) Pasca peritiwa September 1965 berlaku pula Surat Izin Cetak (SIC), yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Namun SIC ditiadakan sejak 3 Mei 1977. Peniadaan SIC ini dengan pertimbangan, keterangan pers Kepala Staf 78 Akhmad Zaini Abar, op.cit, hlm. 56. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61 Kopkamtib Laksamana Sudomo, 4 Mei 1977).: “karena telah semakin mantapnya stabilitas keamanan nasional, semakin meningkatkannya sikap tanggung jawab dan kesadaran nasional pers Indonesia. Lagi pula secara fungsional pers nasional dibina oleh Menteri Penerangan”.79 Dengan adanya SIC itu, Laksusda berhak penuh melakukan pemanggilan kepada wartawan yang dinilai melakukan kesalahan atau yang dianggap perlu dimintai keterangan. Nomor izin cetak harus dicantumkan pada setiap penerbitan pers, seperti halnya nomor izin terbit yang dikeluarkan oleh Menteri penerangan. Ketika SIC masih berlaku, penindakan terhadap pers pada tahap pertama dilakukan dengan mencabut SIC. Tahap berikutnya, baru SIT-nya dicabut. Lembaga surat izin ini memberi penyelenggara kekuasaan negara memiliki posisi yang kuat sekali dalam mengatur kebijakan pemberitaan pers, sehingga praktis pers betul-betul kehilangan banyak kemerdekaannya. Pers Indonesia dikondisikan menjadi anak baik dari sebuah keluarga dan tidak boleh menggangu harmoni keamaan dan ketertiban keluarga. Disinilah muncul larangan kepada pers untuk memberitakan hal-hal terkait dengan “Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA). Disinilah sisi tanggung jawab pers lebih ditonjolkan. Karenanya, terhadap pers yang secara gegabah membuat berita menyangkut SARA dapatlah dikategorikan sebagai pers yang tidak bertanggung jawab, dan karenanya pers tersebut harus dicabut SIT dan SIC-nya. Setelah SIC dihapuskan pada pada tahun 1977, kebijakan tentang SIT juga dihapuskan setelah diberlakukannya Undang-undang pokok pers tahun 1982. SIC 79 Ibid, hlm. 186. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62 dan SIT sebagai alat kontrol pemerintah terhadap pers, yang membuat pers menjadi lemah karena kebijakan pemerintah yang represif. Kita melihat sejarah pembredelan pers semakin melembaga, menerusi sejarah pembredelan pers pada zaman kolonial, kependudukan Jepang dan zaman Orde Lama.80 3. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers Sejak tahun 1966, ketentuan tentang penyelenggara pers di Indonesia dituangkan dalam UU PP No.11 tahun 1966. Undang-undang ini diperbaharui dengan UU PP No.4 tahun 1967 dan terakhir diperbaharui dengan UU PP No.21 tahun 1982.81 Kebijakan pers yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Pers yang sudah tiga kali mengalami perubahan sampai dengan adanya Undang-undang pokok pers tahun 1982, beberapa perubahan-perubahan dalam pasal-pasal yang tertuang tidaklah bersifat fundamental, hanya ada beberapa penambahan kebijakan baru terhadap pers yang secara langsung berlaku terhadap pers Indonesia secara menyeluruh, yaitu seperti pasal 13 ditambah ayat (5) yang berbunyi sebagai berikut: “setiap penerbitan pers yang diselengarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikelurakan oleh Pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan pers.82 Keterangan lebih lanjut tentang SIUPP juga dikeluarkan oleh peraturan Menteri Penerangan No. 01/per/Menpen/1984, yang derajatnya lebih rendah dari Undang-undang, khusunya pasal 33 butir (h). Pasal yang berbunyi: 80 Hotman M. Siahaan.et.al, 1983, Tajuk-tajuk dalam Terik Matahari: Empat Puluh Tahun Surabaya Post, Jakarta, Gramedia, hlm. 470. 81 Sularto, Humanisme, op.cit, hlm. 92. 82 T. Atmadi, Sistem Pers Indonesia, op.cit, hlm. 117. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63 “ Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang telah diberikan kepada perusahaan/penerbitan pers dapat dibatalkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengar Dewan pers, apabila menurut penilaian Dewan pers perusahaan/penerbit pers dan penerbitan pers yang bersangkutan dalam penerbitaanya tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab.” Kebijakan mengenai SIUPP yang tercantum dalam UU PP tahun 1982, merupakan kebijakan terhadap pers yang kontroversial dikalangan mayarakat karena bertentangan dengan asas kebebasan pers di alam demokrasi. Seperti yang ditulis oleh Goenawan Mohammad tentang SIUPP ialah: 83 “Pers bukan lembaga suci. Ia bisa bikin kesalahan. Dan penerbit serta wartawan bukan manusia yang sepi ing pamri. Dalam hal itu, pers tidak berbeda sebenarnya dengan lembaga lain; termasuk pemerintah. Yang kemudian jadi soal ialah ketika pers dianggap punya daya pengaruh yang sangat besar, pemerintah sebenarnya juga demikian. Tapi bila hak pemerintah untuk “kuat” tak pernah dipermasalahkan, hak pers untuk berpengaruh cenderung dianggap berbahaya .sebab itulah dianggap perlu adanya kontrol terhadap pers, baik dengan aturan, anjuran, maupun juga kekuasaan yang efektif, misalnya larangan terbit. SIUPP adalah salah satu bentuk kontrol. Tentu kita harus ingat, bukan Cuma Departemen Penerangan yang menghendaki adanya SIUPP. Surat izin ini lahir dari keinginan beberapa penerbit sendiri: mereka ingin agar kompetisi (khususnya dalam segi komersial penerbitan) diatur, hingga tak terjadi persaingan bebas.” Masyarakat memandang kebijakan mengenai pembatalan SIUPP Surat kabar dan majalah, merupakan aturan yang bertentangan UU PP No.21 tahun 1982 pasal 4 berbunyi: terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Tetapi pemerintah tidak menganggap demikian. Tindakan pembatalan SIUPP dipandang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Pers. Pandangan pemerintah itu tampaknya diperkuat oleh Mahkamah Agung, seperti diketahui, gugatan pengasuh majalah Tempo terhadap pembatalan SIUPP majalah dan surat kabar berdasarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 01 tahun 1984, ternyata ditolak dengan 83 Goenawan Mohamad, SIUPP, Tempo, 22 Juli 1991. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64 perkataan lain pembatalan SIUPP tidak melanggar UU Pokok Pers No.21 Tahun 1982. Keputusan Makhamah Agung ini tentu makin memperkuat posisi ketentuan Peraturan Menteri Penerangan dalam pengaturan corak dan pola kegiatan pers. Akibat lebih lanjut, setiap prinsip kebebasan pers yang diatur dalam konstitusi dan Undang-undang pokok pers mengalami pemasungan terstruktur dan tersistem.84 Ketentuan lisensi terbit atau biasa disebut sebagai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pada hakikatnya merupakan instrument politik pemerintah untuk mengendalikan media pers setelah dihapuskannya SIT dalam Undang-Undang Pokok Pers No.21 tahun 1982, SIUPP merupakan wujud lain dari SIT yang dihapus tersebut. Sementara dalam pelaksanaannya pemerintah tidak mengeluarkan SIUPP baru dengan alasan pasar penanaman modal penuh karena negara ikut memberi keputusan dalam pasar media.85 Dihalanginya pendatang baru masuk ke usaha pers, diterima bahkan didukung karena menguntungkan bagi perusahan pers. Sedangkan pers yang masih terbit boleh bersenang hati karena lowongan pasar. Pengusaha yang ingin berinvestasi di bidang pers hanya dimungkinkan dengan “membeli” SIUPP yang sudah ada. Kebijakan pemerintah yang represif mengakibatkan pemasungan terhadap prinsipprinsip universal kebebasan pers ini membawa pengaruh yang cukup mendasar terhadap penyajian berita, obyektivitas dan kesahihan berita, pola kepemilikan pers, serta personalia penyelenggara penerbitan pers. 84 85 Sularto, op.cit, hlm. 95. Ibid, hlm. 160. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB III BENTUK DAN ALASAN PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE BARU A. Bentuk Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.11 Tahun 1966. Kebebasan berserikat dan berkumpul, megeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang, UUD 1945 pasal 28, inilah pasal yang melindungi kebebasan pers nasional, selain pasal 28 dalam UUD 1945, ketentuan-ketentuan mengenai kehidupan pers, diatur dalam UU PP No.11 tahun 1966. Prinsip-prinsip dasar pers menyatakan bahwa “pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan.” (bab 2, pasal 4) dan kebebasan pers sesuai dengan hak azasi warga negara dijamin. (pasal 5 ayat 1), serta “penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun (bab 4, pasal 8 ayat 2). Pada kenyataannya semua tentang kebebasan pers yang telah tercantum hanya semu dan hanya sebatas peraturan yang tidak sampai kepada realisasi dalam kehidupan pers selama Orde Baru. Pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Pokok Pers No. 11 tahun 1966, ada unsur kekaburan dalam makna yang sebenarnya, seperti tentang masa peralihan yang tidak jelas sampai kapan (bab 9, pasal 20, ayat 1 a) berbunyi “ dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat Izin Terbit masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh pemerintah atau DPR (GR), dan para penerbit surat kabar wajib memiliki dua izin tersebut yaitu Surat Izin Cetak (SIC) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Terbit (SIT) dari lembaga keamanan Militer Kopkamtib, tanpa kedua izin tersebut,secara hukum sebuah pers niscaya tak 65 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66 mungkin terbit. Apabila salah satu kedua lembaga tersebut mencabut izin tersebut, secara efektif surat kabar dan majalah itu dibredel.86 Bentuk pembredelan pers masa berlakunya UU Pokok Pers No.11 Tahun 1966 dikelompokan sebagai berikut : 1. Pencabutan Surat Izin Cetak. Surat Izin Cetak pers dapat dicabut atau dibatalkan oleh Pelaksana Khusus Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Laksus Pangkopkamtibda) jika telah menyiarkan tulisan-tulisan yang tidak berdasarkan pada kebenaran yang dapat menghasut rakyat.87 2. Pancabutan Surat Izin Terbit. Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966 pasal 8 ayat 1 berbunyi: setiap warga negara mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakikatnya Demokrasi Pancasila. Pasal 2 berbunyi: untuk ini tidak diperlukan Surat Izin Terbit (SIT). Pasal terkait SIT dalam UU PP No.11 tahun 1966 memberikan unsur ketidakjelasan tentang ketentuan SIT. Pasal 20 ayat (1a). Berbunyi: dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat Izin Terbit masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh pemerintah dan DPR (GR). Ayat (1b) berbunyi: ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam masa peralihan diatur pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers. Kejelasan tentang siapa yang berwenang dalam mencabut SIT sebuah surat kabar dalam UU PP No.11 tahun 1966 tidak dicantumkan sehingga, dalam pembredelan dalam bentuk pencabutan SIT bisa dilakukan Presiden Soeharto dan 86 David T.Hill, op.cit, hlm. 35. Abdurrachman Surjomihardjo,op.cit, hlm. 290. 87 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67 para pejabatnya yang menganggap pemberitaan surat kabar dapat menganggu kestabilan nasional. Hal ini digambarkan ketika tahun 1973 yang dianggap tahun panas dengan suhu politik yang sangat tinggi, pada tanggal 2 Januari 1973, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro mencabut SIT harian Sinar Harapan. 88 Pembredelan dengan cara pencabutan SIT oleh Presiden Soeharto dan pejabat lainnya mesipun tanpa pertimbangan Dewan Pers dianggap sah, oleh sebab itu pers pun tidak berdaya dan bahkan tidak dapat terbit untuk selamanya ketika pencabutan SIT sudah terjadi. B. Alasan pembredelan pers selama berlakunya UU Pokok Pers No.11 Tahun 1966 dikelompokan sebagai berikut: 1) Politik Alasan politik yang dimaksud dalam skripsi ini dirinci terkait: a. Kekuasaan, Pemerintahan. Ketika rezim Orde Baru sedang membangun pondasi sebagai era baru sebagai pengganti Orde Lama, yang masih membutuhkan banyak dukungan dari berbagai pihak yang dapat membantu memperkuat konsolidasi kekuasaan Presiden Soeharto, oleh sebab itu berita-berita yang disampaikan pers tidak boleh menimbulkan kekacauan yang dapat mengoyahkan kekuatan pemerintahan Orde Baru. seperti pembredelan menjelang Pemilu pertama yang diselenggarakan pada tahun 1971 dengan alasan telah melanggar ketentuan pemilu. Pemilu yang berlangsung pada bulan Juli itu adalah pemilu yang pertama kali diselenggarakan pemerintah Orde Baru. karena itu pemilu ini sangat penting artinya 88 Akhmad Zaini Abar. op.cit.hlm. 72. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68 bagi pemerintah Orde Baru untuk mencari dukungan rakyat serta untuk mendapatkan maupun memperkuat legitimasi politik dari kekuasaanya.89 Oleh seba itu pemberitaan pers terkait pemilu dapat membahayakan ambisi penguasa Orde Baru dalam memenangkan pemilu pertama pada tahun 1971. b. Ideologi. Pers indonesia adalah pers pancasila yang bebas dan bertanggung jawab, kehidupan pers harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila, oleh sebab itu pers tidak diperkenankan untuk menulis berita yang tidak berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang mengakibatkan pers yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab. Peraturan mengenai pers Pancasila tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), bagian pers dan penerangan. 2) Ekonomi, sosial-politik. a. korupsi pada masa Orde Baru menjadi sorotan kritis pers, karena dampak dari korupsi yang merajalela dikalangan para pejabat negara telah menimbulkan ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal inilah yang diperjuangkan pers melalui surat kabar agar pemerintah memperhatikan kehidupan masyarakat jangan hanya memperkaya diri sebagai pejabat pemerintah. b. Alasan pembredelan karena telah membocorkan rahasia negara yang di kenakan terhadap harian sore Sinar Harapan, hanya sebagai pelampiasan pemerintah atas situasi ekonomi yang sedang mengalami inflasi, karena semakin terungkap pemberitaan mengenai kebijakan ekonomi pemerintah 89 Akhmad Zaini Abar, op.cit, hlm. 126. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69 dan lambatnya pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan harga kebutuhan sehari-hari meningkat untuk mengatasi defisit keuangan negara. Serta jika pemberitaan terkait isu ekonomi dianggap dapat menimbulkan kekhawatiran dikalangan masyarakat. 3) Keamanan dan Pertahanan. Menjaga stabilitas nasional merupakan alasan yang paling mendasar pemerintah dalam membredel pers, karena ketika pers terlalu bebas menyampaikan kejadian-kejadian terbaru, dan tanggapan dari masyarakat terhadap pemberitaan tersebut dapat melahirkan konflik serta demonstrasi massa yang dapat membahayakan keamanan nasional serta elit penguasa, maka pemerintah dengan senantiasa membredel surat kabar yang dianggap menganggu keamanan demi terciptanya masyarakat yang tentram Pemberitaan mengenai dwi fungsi ABRI adalah pemberitaan yang dilarang selain keluarga Presiden, hal inilah yang terjadi ketika harian Kompas ketika di bredel tahun 1982, karena memberitakan persoalan dwi fungsi ABRI dan demonstrasi mahasiswa yang dikhawatirkan akan memperuncing konflik. Kompas dapat terbit kembali setelah menyanggupi persyaratan dari pemerintah salah satu isi dari persyaratan tersebut ialah, tidak akan mempersoalkan dwifungsi ABRI.90 4) Suku, Agama, Ras dan Aliran (SARA) Pemberitaan mengenai pertikaian antar agama, pemberontakan atau perlawanan terhadap pemerintah pusat oleh kelompok sparatis seperti di Timor 90 St.Sularto, Syukur Tiada Akhir, op.cit, hlm. 23. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70 Timur, Aceh dan Papua Barat. Tidak dapat diberitakan dengan bebas karena di bawah pengawasan pemerintah.91 5) Hak Asasi Manusia Pemberitaan terkait HAM pada masa Orde Baru, hanya beberapa surat kabar yang berani memberitakan, dengan konsekuensi surat kabarnya ditutup. Karena pemberitaan mengenai HAM dianggap pemerintah mencorengkan hukum Indonesia, meskipun hukum berlaku namun ketidakadilan masih terjadi dan diketahui oleh masyarakat luas, hal tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan tindakan anarkis dari masyarakat. Seperti ketika Tempo mengulas kasus Marsinah seorang buruh dalam laporan utama Tempo selama bulan Maret 1994, pada tahun tersebut juga Menpen mencabut SIUPP Tempo, selain alasan pemerintah membredel Tempo karena memuat kontroversi pembelian 39 kapal bekas Jerman Timur, dibalik pemberitaan tersebut kasus Marsinah merupakan berita yang tidak diketahui oleh masyarakat jika tidak ada surat kabar yang berani memberitakan selain Tempo. Marsinah adalah seorang buruh di PT.Catur Putra Surya, yang ditemukan meninggal setelah melakukan berbagai aksi untuk menuntut perbaikan nasib bagi buruh PT.CPS, kasus pengusutan pembunuhan Marsinah berakhir penuh dengan kerahasiaan, hukum tidak berpihak pada Marsinah.92 Data terkait pembredelan selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966 akan ditunjukan dalam tabel 1 di bawah ini. 91 92 David.T.Hill, op.cit, hlm. 49. Tempo, 19 Maret 1994. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71 Tabel.1 Pembredelan masa Orde Baru selama dibelakukan UU Pokok Pers No.11 tahun 1966 UU Pokok Pers Surat kabar Tgl/bln/t Cara Alasan No.11 Tahun 1966 & Majalah hn pembredelan pembredelan Bab II Pembredelan terkait isu-isu politik dan keamanan Fungsi,kewajiban Duta 27/Juni/ Pencabutan SIT Melanggar dan hak pers. Masyarakat 1971 ketentuan pemilu Pasal 4: Terhiadap yang ditetapkan 27/Juni/ Pencabutan SIT pers nasional tidak Harian KAMI pemerintah 1971 dikenakan sensor Telah dan pembredelan membocorkan Harian Sinar Des/ Pencabutan SIT rahasia negara Harapan 1972 oleh Kopkamtib (memberitakan RAPBN 19731974) Pembredelan terkait isu-isu sosial ekonomi dan keamanan Harian Nusantara Suluh Berita 16/Jan/ 1974 Pencabutan SIT&SIC 19/Jan/ 1974 Pencabutan SIC Mahasiswa Indonesia 20/Jan/1 974 Harian KAMI Harian Indonesia Raya Abadi 21/Jan/1 974 21/Jan/1 974 Pencabutan SIT 21/Jan/1 974 21/Jan/1 974 21/Jan/1 974 21/Jan/1 974 21/Jan/1 974 24/Jan/1 974 Pencabutan SIT The Jakarta Times Mingguan Wenang Pemuda Indonesia Pedoman Majalah Ekspress Pencabutan SIT Memberitakan berita terkait MALARI Memberitakan berita berjudul demonstrasi belum perlu” Melakukan pengasutanpenghasutan yang menganggu keamanan & ketertiban umum Pencabutan SIT Pencabutan SIT Pencabutan SIT Pencabutan SIT Pencabutan SIT Pencabutan SIT Telah memuat tulisan-tulisan yang dapat merusak kewibawaan & kepercayaan kepemimpinan nasonal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72 Indonesia 2/Feb/ Pencabutan SIT Pos 1974 Pembredelan terkait isu-isu politik dan keamanan Pemberitaan yang luas dan kritis Harian 20/Jan/ Via Telepon dan tentang Kompas 1978 pencabutan SIT demonstrasi mahasiswa pada akhir 1977-1978 Memberitakan tentang “dialog terbuka dewan 20/Jan/ mahasiswa&senet Harian Pelita Pencabutan SIT 1978 mahasiswa UI dengan seluruh mahasiswa kampus Salemba Pemberitaan yang luas dan kritis Harian 20/Jan/ tentang Pencabutan SIT Merdeka 1978 demonstrasi mahasiswa pada akhir 1977-1978 Pemberitaan yang luas dan kritis Harian Sinar 20/Jan/1 tentang Pencabutan SIT Harapan 978 demonstrasi mahasiswa pada akhir 1977-1978 Pemberitaan yang luas dan kritis The 20/Jan/1 tentang Indonesia Pencabutan SIT 978 demonstrasi Times mahasiswa pada akhir 1977-1978 Pemberitaan yang luas dan kritis 20/Jan/1 tentang Sinar Pagi Pencabutan SIT 978 demonstrasi mahasiswa pada akhir 1977-1978 Pemberitaan yang luas dan kritis Pembredelan 20/Jan/1 tentang Pos Sore dilakuakan 978 demonstrasi Kopkamtib mahasiswa pada akhir 1977-1978 Pembredelan terkait isu-isu politik Januari/ Pencabutan SIT Demonstrasi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73 Salemba Feb 1978 Tridharma Kampus Integritas Berita ITB Muhibah Aspirasi Jumlah pencabutan surat izin cetak mahasiswa Anti Soeharto Jumlah pencabutan surat izin terbit 28 2 Sumber: David.T.Hill.2011. Pers di Masa Orde Baru. St.Sularto. Humanisme dan Kebebasan Pers. Bredel 1994, Tempo. Tabel di atas menjelaskan beberapa hal terkait pembredelan yang dilakukan pemerintah terhadap pers, dalam tabel telah dipaparkan sejumlah surat kabar, majalah dan tabloid yang pernah dibredel oleh pemerintah, tetapi tidak semua isi berita terkait dapat di paparkan karena hanya sebagian kecil sumber primer berupa surat kabar yang dapat dipaparkan penulis terkait isi tabel di atas. 1) Isi berita surat kabar terkait peristiwa Malari : Harian Indonesia Raya. Tajuk Rencana harian Indonesia Raya menjelang kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka, diwarnai dengan kritik terhadap pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan kembali hubungan kerjasama Indonesia dan Jepang. Hal ini terlihat dari isi tajuk rencana pada tanggal 14 Januari 1974 mengatakan “ kita berharap, setelah berbicara dengan berbagai pemimpin pemerintah di Indonesia, maka Tanaka akan mengambil prakarsa untuk meletakan saluran-saluran hubungan Jepang dan Indonesia ke tingkat yang wajar dan patut tidak lagi campur aduk dengan kepentingan Jakarta lobby dan Jepang lobby.93 93 Atmakusumah (ed). 1997. Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya. Jakarta: YOI.hlm. 416. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74 Tajuk-tajuk rencana harian Indonesia Raya menjelang kedatangan Perdana Menteri Jepang ke Indonesia, telah dianggap pemerintah dapat menggoyahkan kerjasama yang hendak dilakukan pemerintah Indonesia dengan Jepang serta kestabilan politik nasional. Pasca peristiwa Malari 1974 pemerintah membredel harian Indonesia Raya yang sejak zaman Orde Lama dikenal harian yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah hingga pemerintahan Orde Baru harian ini masih tetap kritis terhadap fenomena-fenomena korupsi yang terjadi dikalangan pejabat Indonesia. Pencabutan SIT Harian Indonesia Raya dengan alasan politik dan keamanan dianggap melanggar peraturan Kode Etik Jurnalistik pasal 2 ayat 2a dan b: Wartawan Indonesia tidak menyiarkan (a). Hal-hal yang bersifat destruktif dan dapat merugikan Negara dan Bangsa. (b).hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan. 2) Pembredelan Menjelang Sidang Umum MPR Tahun 1978 a. Isi Tajuk Rencana Kompas 1978 berjudul “ Aspirasi Mahasiswa”: 94 pernyataan ABRI yang berkaitan dngan peringatan Tiga Tuntutan Rakyat (TRITURA) berisikan komentar bahwa ABRI meminta dan memperingatkan bukanlah isi, persoalan dan aspirasi mahasiswa tetapi caranya. Pembredelan berdasarkan alasan keamanan. Melanggar peraturan Kode Etik Jurnalistik pasal 2 ayat 2c. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila, agama, kepercayaan atau keyakinan seseorang atau suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang. 94 St.Sularto.op.cit.hlm. 12. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75 b. Isi harian Pelita berjudul “Dialog terbuka DM/SM-UI dengan seluruh mahasiswa kampus Salemba”95. Dalam dialog terbuka tersebut mengatakan bahwa aksi yang dilakukan mahasiwa DM/SM UI akhir-akhir ini sebagai gerakan moral mahasiswa, atas keresahan yang melanda masyarakat terkait 4K (ketakutan,kemiskinan, kebodohan dan korupsi). Pemberitaan surat kabar terkait aksi mahasiswa telah meresahkan pemerintah, mejelang Sidang Umum MPR 1978 yang akan membahas tentang dicalonkannya kembali Presiden Soeharto dalam pemilu, Pencalonan Presiden Soeharto untuk periode selanjutnya banyak mendapat kritik, karena ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat semakin meningkat, fenomena korupsi semakin merajalela dikalangan pejabat. Pemberitaan terkait demonstrasi mahasiswa dapat menimbulkan konflik yang dapat menganggu kestabilan nasional, oleh sebab itu perlunya pers yang sehat dan bertanggung jawab dalam menyampaikan berita. Oleh sebab itu, pemerintah melakukan tindakan pembredelan dengan mencabut SIT dengan alasan politik dan keamanan. Pembredelan terhadap tujuh surat kabar dianggap telah melanggar peraturan GBHN bab IV D dan angka 4, tentang penerangan dan Pers (d) berbunyi: dalam rangka meningkatkan peranan pers dalam pembangunan perlu ditingkatkan usaha pengembangan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab, yaitu pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif, 95 Pelita, 20 Januari 1978. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76 melakukan komunikasi dan partisipasi masyarakat.dalam hal ini maka perlu dikembangkan interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat. C. Bentuk Pembredelan Pers Selama Berlakunya UU Pokok Pers No.21 Tahun 1982. Pembatalan SIUPP. Undang-Undang Pers No.21 tahun 1982 ketentuan mengenai SIT pasal 20 ayat 1 dihapus, ketika UU PP ini berlaku larangan terbit terhadap pers tidak lagi melalui pencabutan SIT, karena peraturan tersebut telah dihapus dalam UU PP No.21 tahun 1982 yang baru. Namun bukan berarti tidak ada lagi larangan terbit pers ketika berlakunya UU PP No.21 tahun 1982, serangkaian pembredelan pers masih terjadi tidak lagi dengan cara pencabutan SIT, namun melalui pencabutan SIUPP. Peraturan mengenai SIUPP ditambahkan pada pasal 13 ayat 5 berbunyi: setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Ketentuanketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers. Serta peraturan Menpen No.01/PER/MENPEN/1984 tentang SIUPP. Peraturan mengenai SIT dihapus dan digantikan dangan SIUPP, adalah bentuk lain dari cara pemerintah untuk tetap mengontrol pers dan sewaktu-waktu dapat membredel pers melalui pembatalan SIUPP yang telah diberikan, yang memiliki wewenang dalam pembatalan SIUPP ialah Menteri Penerangan. Meskipun dikatakan bahwa pemerintah mempertimbangkan setelah mendengarkan Dewan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77 Pers namun tidak pernah pencabutan SIUPP oleh Menpen dilakukan setelah berdiskusi dengan Dewan Pers sesuai peraturan yang tercantum dalam UU PP No.21 tahun 1982. D. Alasan pembredelan Pers Selama Berlakunya Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982. 1. Politik, Ideologi, pemerintahan. Dalam persiapan pemilu, seperti kampanye-kampanye partai politik yang menjadi basis kekuatan, menjadi bahan berita yang dianggap sensitif terhadap pemerintah, karena jika ada hal-hal yang tidak diinginkan diberitakan akan sangat mempengaruhi berjalannya pemilu dan kesempatan untuk menang bagi partai politik. Oleh sebab itu, pemerintah membredel pers yang dianggap menganggu dan dapat menimbulkan kekacauan dalam persiapan pemilu. 2. Ekonomi, Sosial dan Politik. Alasan ekomomi dalam membredel pers seperti ketika pers memuat berita seputar kebijakan ekonomi dan situasi ekonomi Indonesia pada saat itu, keadaan perekomomian yang tumbuh secara lambat, menjadi beban tersendiri yang dirasakan masyarakat, karena harga kebutuhan sehari-hari semakin tinggi, serta penghasilan kerja kurang dapat memenuhi kebutuhan hidup karena krisis ekomomi yang terjadi. Oleh sebab itu mengapa pemerintah melarang pers memberitakan tentang kebijakan ekonomi, dapat menciptakan suasana risau, bingung dikalangan masyarakat semua menjadi serba tidak menentu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78 3. Kemananan dan Pertahanan Alasan keamanan dalam membredel pers tidak berbeda jauh dengan alasan keamanan ketika berlakunya UU PP No.11 tahun 1966. Karena pemerintah tidak ingin pers dapat memobilisasi masyarakat dengan informasi yang disampaikan, oleh sebab itu pers tidak diberikan kebebasan dalam menyampaikan berita yang dapat melemahkan kekuatan pemerintah. Presiden Soeharto sebagai penguasa tunggal tidak sedikitpun memberikan ruang bagi pers untuk memberitakan berita-berita aktual yang dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam keamanan dan politik bangsa. Agar perpecahan yang terjadi dimasa lalu tidak terjadi lagi pada masa Orde Baru. 4. Suku, Agama, Ras dan Aliran (SARA). Pertikaian antar agama, pemberontakan atau perlawanan terhadap pemerintah pusat oleh kelompok sparatis hanya bisa dilaporkan dalam batas tertentu, karena dikhawatirkan akan menimbulkan konflik berunsur SARA. Beberapa majalah dan surat kabar demi meningkatkan jumlah oplah, menulis berita sensasional yang didalamnya terdapat nama pejabat pemerintah dan Nabi Muhammad seperti dimuat oleh tabloid Monitor dengan angket popularitasnya, telah menimbulkan aksi protes dari penganut agama Islam dianggap telah mencemarkan dan menghina agama Islam. Semenjak serangkaian pembredelan massal selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966 yaitu tahun 1974 setelah peristiwa Malari dan tahun 1978 terkait peristiwa demonstrasi mahasiswa anti Soeharto dan serangkaian pembredelan lainnya. Namun tindakan anti pers tidak berhenti ketika UU Pokok Pers telah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79 diperbahpemerintah tampak sangat bersungguh-sungguh dalam menerapkan konsep kebebasan yang bertanggung jawab dalam dunia pers. Karena ketentuan pasal 4 yang tidak pernah dirubah meskipun UU pokok pers mengalami perubahan pada tahun 1967 dan disempurnakan dengan dikeluarkanya UU Pokok Pers No.21 tahun 1982, pasal 4 menyatakan bahwa pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan, serta dihapuskannya SIT seperti yang tercantum pada pasal 20 ayat 1, maka pemerintah memerlukan landasan hukum kalau suatu ketika seperti dalam suasana krisis yang menjurus kepada kemelut politik yang amat membahayakan, merasa perlu untuk melakukan tindakan preventif terhadap pers.96 Melalui peraturan Menteri Penerangan RI No.01/Pen/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), berdasarkan ketentuan yang terkandung dalam pasal 13 ayat 5 UU PP No.21 tahun 1982, landasan hukum untuk melakukan tindakan preventif itu dicantumkan, dalam pasal 33 peraturan tersebut, dimuat ketentuan bahwa Menteri Penerangan setelah mendengar Dewan Pers dapat membatalkan SIUPP, yang telah diberikan apabila perusahaan/penerbit pers tersebut melakukan salah satu delapan hal yang tercantum dalam pasal itu.97 96 97 T.Atmadi. dalam sistem pers Indonesia. op.cit.hlm. 121. Ibid,hlm. 80. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80 Tabel.2 Pembredelan Pers selama diberlakukan UU Pokok Pers No.21 Tahun 1982. UU Pokok Pers No.11 Tahun 1966 Bab II Fungsi,kewajiban dan hak pers. Pasal 4: Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelanh, Surat kabar Cara Alasan Tgl/bln/thn & Majalah pembredelan pembredelan Pembredelan terkait isu-isu politik dan keamanan Memuat berita “Buntut Banteng jadi panjang”. Majalah 3/April/ Pembatalan Kerusuhan Tempo 1982 SIUPP kampanye pemilu di lapangan Banteng Kritik terhadap sejumlah tokoh sipil kunci dari tubuh pemerintahan, yang ditujukan terhadap Tabloid 21/Juni/ Pembatalan kalangan Detik 1994 SIUPP militer dan menurunkan spekulasi seputar calon pengganti Presiden Soeharto. Pemberitaan tentang putera Presiden, dalam kasus bank Majalah 21/Juni/ Pembatalan pembangunan Editor 1994 SIUPP pemerintah Bapindo, yang banyak diwarnai campur tangan pejabat. Memuat artikel Majalah Januari/ Pembatalan tentang “100 Expo 1983 SIUPP Milioner Indonesia Majalah Ekuin April/1983 Pembatalan SIUPP Mengungkap kan soal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81 harga dasar minyak pemerintah. Pembredelan terkait isu-isu sosial dan ekonomi Memuat laporan Majalah Pembatalan berupa daftar Mei/1984 Fokus SIUPP “200 orang kaya Indonesia” Memuat berita tentang Harian analisa Pembatalan Sinar 9/Okt/1986 seputar SIUPP Harapan kebijakan ekonomi pemerintah Pembredelan terkait isu-isu politik,ideologi Berita dianggap bertentangan 29/Juni/ Pembatalan Prioritas dengan nilai1987 SIUPP nilai sistem pers Pancasila Pembredelan terkait isu-isu SARA Terkait isu SARA, “angket popularitas” Majalah 15/Okt/ Pembatalan yang Monitor 1990 SIUPP mengakibatka n kericuhan dari kalangan umat Islam Memuat “ilustrasi Nabi Muhammad” yang Majalah 02/Nov/ Pembatalan berpotensi Senang 1990 SIUPP menimbulkan konflik SARA. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82 Jumlah Pencabutan SIUPP 11 Tabel 2 di atas mencoba menjelaskan tindakan anti pers yang dilakukan pemerintah dengan cara pembatalan SIUPP, peraturan mengenai SIUPP terdapat dalam UU PP No.21 tahun 1982 pasal 13 ayat 5 berbunyi: setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.98 Meskipun peraturan mengenai SIT telah dihapus dalam UU PP No.21 tahun 1982, namun sejatinya pembatalan SIUPP terhadap surat kabar merupakan cara pembredelan dalam bentuk lain yang dilakukan oleh pemerintah, agar pers tetap patuh. Tabel di atas telah memaparkan pelarangan terbit terhadap surat kabar, tabloid dan majalah selama berlakukanya UU PP No.21 tahun 1982, pembredelan dilakukan pemerintah terkait isi berita yang dimuat oleh surat kabar dan majalah yang dianggap dapat menganggu kestabilan nasional dengan berbagai alasan seperti dijelaskan di bawah ini: a. Berita majalah Tempo berjudul “Buntut Benteng Jadi Panjang”.99 Peristiwa kerusuhan di lapangan Banteng merupakan suatu rencana yang telah disiapkan sebelumnya. Tujuan pengacauan: selain menggagalkan kampanye Golkar di lapangan Banteng Jakarta dan demoralisasi Golkar, juga untuk mencapai sasaran 98 99 T.Atmadi.op.cit.hlm. 120. Tempo. 3 April 1982. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83 yang bersifat strategis politis-subversif. Sasaran tersebut antara lain: sebagai bunga api yang diharapkan dapat meledakan kekacauan yang sama di seluruh Indonesia dengan tujuan menggagalkan pemilu 1982. Kedua menggoyahkan pemerintahan dan mendiskreditkan pemerintah, sehingga tercipta kondisi dimana rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah makin meningkat untuk selanjutnya menggulingkan dan mengganti pemerintah. Kerusuhan terjadi antara dua kubu partai Golkar dan PPP. Isi berita terkait peristiwa kerusuhan di lapangan Banteng Jakarta, mengakibatkan pembatalan SIUPP oleh Menteri Penerangan dengan alasan politik dan keamanan, dan telah melanggar peraturan Kode Etik Jurnalistik pasal 2 ayat (2a) berbunyi: wartawan Indonesia tidak menyiarkan hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan. b. Majalah Monitor, angket kagum 5 juta. Isi dari angket tersebut ialah: Presiden Soeharto menduduki urutan pertama, baru menyusul B.J. Habibie dan Bung Karno. Menteri Penerangan Harmoko berada diurutan nomor kesembilan, Arswendo Atmowiloto di urutan ke sepuluh dan Nabi Muhammad SAW berada diranking ke sebelas. Dan dibawah Nabi terdapat nama bintang film Christine Hakim yang menduduki urutan ke dua belas. Pembatalan SIUPP Monitor dapat terkena pasal 156 dan 157 KUHP tentang penghinaan terhadap agama dengan ancaman hukuman selama 2 tahun enam bulan dan penjara selama 10 tahun. Pembredelan dengan cara membatalkan SIUPP setelah di hapuskannya SIT dalam UU PP No.21 tahun 1982, kasus pembredelan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84 Monitor karena memang tingkat valid atau tidaknya sumber berita tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh penulis. Penulisan berita hanya sesuai dengan keinginan penulis belaka tidak mempertimbangkan bagaimana reaksi para pembaca ketika angket tersebut di muat dalam majalah Monitor, sehingga menimbulkan berbagai aksi protes dari penganut agama Islam. Alasan pembredelan majalah Monitor adalah terkait SARA, selain dikenakan pasal KUHP juga melanggar peraturan Kode Etik Jurnalistik pasal 3 ayat 2 berbunyi: Wartawan Indonesia meneliti kebenaran sesuatu berita atau keterangan sebelum menyiarkannya, dengan juga memperhatikan kredibilitas sumber berita yang bersangkutan. Serta pasal ayat 3: di dalam menyusun suatu berita, wartawan Indonesia membedakan antara kejadian (Fakta) dan pendapat (opini), sehingga tidak mencampur-baurkan fakta dan opini.100 c. Pembredelan majalah Tempo tahun 1994. Majalah Tempo, memuat laporan utama tentang “pembelian 39 kapal eks Jerman Timur. Laporan utama Tempo pada tanggal 11 Juni, mengulas tentang pro dan kontra pembelian kapal bekas dari Jerman Timur. KRI Teluk Lampung yang nyaris tenggelam mengakibatkan segala hal tentang kapal tersebut di ulas, dari harga kapal, biaya perbaikan serta penyebab hampir tenggelamnya kapal itu. Tempo juga mengulas kontroversi pembelian 39 kapal eks Jerman Timur tersebut, antara Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J Habibie dengan Menteri Keuangan Mar‟ie Muhammad, harga 39 kapal itu dianggap terlalu mahal oleh 100 Oemar Seno Adji,1990, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia.Jakarta: Erlangga.hlm.154. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85 Menteri Keuangan, sehingga 3 kali pengajuan anggaran pembelian oleh tim pembelian B.J Habibie ditolak.101 pembredelan Tempo dengan alasan kemanan menyangkut substansi berita, Tempo di tutup dengan Surat Keputusan Nomor 123/KEP/MENPEN/1994 tidak menyelenggarakan kehidupan pers Pancasila yang sehat dan bertanggung Jawab sehingga menganggu stabilitas nasional. 102 Peraturan tersebut tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tentang penerangan dan pers bagian (d). Dalam rangka meningkatkan peranan pers dalam pembangunan perlu ditingkatkan usaha pengembangan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab, yaitu pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini maka perlu dikembangkan interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat. 101 Tempo.11 Juni 1994. Didi Prambadi,et.al,1994,Buku Putih Tempo: Pembredelan itu,Jakarta:Alumni Majalah Tempo,hlm. 2. 102 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86 BAB IV DAMPAK PEMBREDELAN PERS MASA ORDE BARU A. Industri Pers Kebijakan pemerintah terhadap pers masa Orde Baru mengakibatkan pers tidak merasakan kebebasan pers yang telah tercantum dalam UUD 1945 pasa 28, kuatnya kebijakan terhadap pers yang represif melemahkan posisi pers dan mengharuskan industri pers melakukan sikap kompromi terhadap Presiden Soeharto dan Menteri Penerangan yang memiliki kekuasaan mutlak dalam pengendalian ruang gerak pers. Pada masa Orde Baru dikenal pers bebas dan bertanggung jawab, kebebasan harus disertai dengan tanggung jawab sehingga terdapat suatu keseimbangan. Akan tetapi dalam praktiknya di Indonesia, konsepsi pers bebas dan bertanggung jawab ini tidak pernah mempunyai kejelasan, khususnya mengenai batasan kebebasan dan tanggung jawab. Akibat tidak adanya kejelasan batas-batas dan pengertian pers bebas dan bertanggung jawab, beberapa penerbitan acapkali tersandung dan dipandang pemerintah melakukan pemberitaan yang bertentangan dengan konsepsi pers bebas dan bertanggung jawab. Dalam praktik, tidak sedikit sanksi yang diberikan oleh pemerintah dengan mencabut izin terbit dan pembatalan SIUPP dan ini dialami surat kabar Sinar Harapan dan Proritas, tabloid Monitor, majalah Tempo, Editor dan Detik 1994103 Pers bebas dan bertanggung jawab yang tidak memiliki acuan bagi pers dan hanya slogan dari pemerintah bahwa pers bebas. Namun harus penuh tanggung 103 Sularto,op.cit, hlm. 95. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87 jawab ketika pers melakukan pelanggaran sebagai pers yang bebas dan konsepsi seperti itu dapat merugikan bagi industri pers pada umumnya. Kerancuan antara pers bebas menurut pemerintah dan menurut insan pers pun acapkali terjadi, menimbulkan keragu-raguan, bahkan ketakutan pers dalam menentukan pola, corak dan isi pemberitaan. Perbedaan penafsiran mengenai kesesuaian suatu berita dengan konsepsi pers bebas dan bertanggung jawab, pihak pers pasti berada dalam posisi yang semakin lemah dengan kebijakan pemerintah tentang bagaimana pers bebas dan bertanggung jawab masa kepemimpinan Orde Baru dengan bayang-bayang pembredelan ketika pers mulai dirasa dapat menganggu kestabilan politik. Menghadapi keadaan semacam ini, kebanyakan penerbitan pers memilih menerapkan jurnalisme petunjuk yang mengutamakan berita-berita yang berasal dari pemegang otoritas kekuasaan. Berita-berita yang berasal dari pemegang otoritas kekuasaan ini pada umumnya memperlihatkan keberhasilan dan kebaikan pemerintah serta menyiratkan imbauan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam program yang dilaksanakan. Disamping itu, pers juga terpaksa melakukan sensor diri terhadap bahan berita yang berhasil dikumpulkan. Bahan berita yang factual dan menarik namun diperkirakan dapat menyinggung kepentingan pemegang otoritas kekuasaan dan berpotensi menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial politik, tidak akan disiarkan. Dengan bersikap demikian pers akan terhindar dari kemungkinan pembredelan dengan cara pencabutan izin terbit maupun SIUPP yang menjadi landasan kebijakan terhadap pers.104 104 Ibid, hlm. 96. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88 Pasca peristiwa Malari 1974 pemerintah semakin mengekang tali kontrol terhadap pers, karena pers dapat menggoyahkan kestabilan politik yang sejak awal sudah dengan susah payah dibangun oleh Presiden Soeharto agar tidak ada lagi kekuatan-kekuatan selain pemerintah yang dapat menyerang penguasa. Sikap kritis pers dan mahasiswa telah menjadi ancaman menurut penguasa Orde Baru, banyak kejadian-kejadian yang menghangatkan tajuk-tajuk dalam surat kabar, sejak periode awal Orde Baru seperti isu-isu tentang korupsi dikalangan pejabat, serta keluarga Presiden yang ikut memegang proyek yang cukup benyak menyerap dana Ny.Tien Soeharto dengan proyek TMII, bulog dan fakta-fakta lain tentang penyelewengan kekuasaan oleh para pejabat. Jika penguasa dengan represif berupa pembredelan itu merupakan birokrasi untuk melenyapkan suara sumbang yang dinilai membahayakan stabilitas politik, dan menimbulkan kerawanan sosial, maka sebagai bentuk lain untuk mempersempit kebebasan pers yaitu dengan mengadakan seleksi ketat terhadap permohonan SIUPP yang akan menjadi penerbit dan menjalankan profesi sebagai wartawan.105 Kebijakan pemerintah tentang SIUPP yang terdapat dalam Undang-undang pokok pers No.21 tahun 1982 bentuk lain dari SIC dan SIT yang telah dihapus dari Undang-undang pokok pers sebelum tahun 1982, adanya SIUPP semakin memperluas industri pers bukan hanya pemilik modal dari kalangan industri pers melainkan juga dari non-pers menumbuhkan sistem kapitalis muda, bahwa dengan SIUPP sebagai alat kontrol pemerintah juga dapat memberikan keuntungan dengan berkompetisi agar mendapat SIUPP yang sudah ada. Pada gilirannya dengan 105 Hotman,M. Siahaan, op.cit.hlm. 445. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 89 membuka industri pers kepada pendatang dari sektor bisnis murni non-pers, maka justru kekuatan pers professional bisa terdesak, sementara pers lemah akan semakin tersisih dari jajaran pers nasional kita yang semakin mundur dan mengalami degenerasi.106 B. Profesi Wartawan Umumnya bahwa kedudukan pers dimata hukum itu sama hal ini yang berlaku pers Liberal ala barat, seperti pers di Amerika, dan di semua negara yang disebut Barat, tunduk dan sering diseret ke meja hijau oleh pemerintah, birokrat ataupun oleh dunia bisnis dan masyarakat dengan tuntutan pidana maupun perdata, karena dianggap merugikan kepentingan pihak yang terkena pemberitaan negatif pers. Di depan hakim, hukum dan pengadilan pers itu sama saja derajatnya dan bukan diistimewakan. Yang membedakan dengan negara berkembang, seperti Indonesia di negara yang bercorak manunggal, kekuasaan kehakiman dan yudikatif maupun cabang legislatif masih sangat resesi posisinya terhadap kuasa eksekutif yang dominan. Karena itu eksekutif merasa perlu mengambil jalan pintas, pencabutan SIUPP dan membredel pers, padahal antara 1966-1974, lembaga eksekutif Indonesia juga sudah pernah berani menghormati kekuasaan yudikatif dan peradilan, yaitu ketika pemimpin redaksi surat kabar harian Nusantara, Mr. T.D Hafas, dihadapkan ke meja hijau atas pelanggaran pasal yang terkenal sebagai haatzai artikelen. 106 Ibid, hlm. 452. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90 Pembredalan merupakan mimpi buruk bagi pers Indonesia masa Orde Baru, kehidupan para wartawan pun harus selalu bersikap kompromistis agar surat kabar tidak dibredel, sehingga kompromi menjadi hal yang biasa masa Orde Baru agar pers tetap bertahan. Kehidupan para wartawan demi memperjuangkan kebebasan pers masa Orde Baru bukanlah hal yang mudah dan berjalan begitu saja, semuanya penuh dengan tekanan dan bayang-bayang pembredelan, yang bahkan bisa menyebabkan mereka dipenjara dan kehilangan pekerjaan.107 Sebagian dari mereka, yang pendirian bebasnya bertentangan dengan kebijakan pemerintah dan organisasi wartawan tunggal, harus diungsikan oleh pimpinannya. Mereka harus digeser dari kedudukan semula di bidang redaksi ke bidang yang mungkin sama sekali tidak pernah menjadi cita-cita seumur hidup, seperti perpustakaa, penelitian dan pengembangan atau tata usaha. Beberapa orang masih boleh mengerjakan karya-karya jurnalistik, tetapi tidak boleh mencantumkan namanya. Mereka seolah-olah hanyalah sejumlah angka di tengah seonggojan manusia. Ada pula yang harus bersembunyi “di bawah tanah” untuk menghindari kejaran polisi yang akan menangkapnya, walaupun pimpinan redaksinya berusaha membujuk wartawan itu supaya menyerahkan diri.108 Sejumlah wartawan ditangkap, kemudian diintrogasi oleh kepolisian dan diperiksa oleh kejaksaan, mereka harus divonis pengadilan seolah-olah selalu harus di penjarakan. Mereka dihukum karena menerbitkan majalah tanpa mendapat surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dari Departemen Penerangan atau karena memuat tulisan yang tidak menyenangkan para pejabat pemerintah dalam terbitan 107 Mochtar Lubis,2008, Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,Hlm. 15. 108 Sularto,op.cit hlm. 110. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 91 bawah tanah mereka. Akibat psikologis lain terhadap para wartawan, antara lain timbul rasa ketidakpastian dalam profesi. Juga dalam melakukan tugas sehari-hari sebagai wartawan, selalu mengalami kesulitan dalam menentukan berita mana yang boleh dan tidaknya, sumber-sumber berita pun ikut tidak pasti karena takut memberikan informasi. Kerugian material sudah jelas, dengan tidak terbitnya surat kabar sampai waktu yang tidak ditentukan. Karena mengambangnya berita-berita akibat ketidakpastian para wartawan menyebabkan isi surat kabar tidak menarik, sehingga para langganan kehilangan minat untuk membaca surat kabar, maka turunlah tiras surat kabar setelah terjadinya pembredelan.109 Pencabutan SIUPP Tempo, Editor, Detik pada tanggal 21 Juni 1994, memberikan pukulan berat bagi pemimpin redaksi dan para wartawan yang hidup dibawah naungan majalah yang telah dicabut SIUPPnya, reaksi solidaritas sesama wartawan membanjiri demonstrasi untuk membantalkan pencabutan SIUPP terhadap tiga majalah tersebut. Namun apalah arti kebebasan pers bagi penguasa yang ada hanyalah alasan kenapa SIUPP ketiga majalah tersebut dicabut salah satunya karena sudah berani mengangkat perkembangan politik, serta sosial dan pelanggaran HAM. Dengan alasan-alasan pencabutan SIUPP yang sebenarnya sama dengan pembredelan hanya itu pembredelan secara legal agar bisa berlindung di bawah peraturan Menpen ttng SIUPP. Wartawan yang mencoba berjuang membela harkat pers kini makin mengalami berbagai represi. Hal ini telah ditunjukan secara berlebihan oleh aparat berseragam loreng. Terutama saat membungkam “aksi 27 109 Abdurrachman Surjomihardjo, op.cit.hlm. 202. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 92 Juni” para wartawan dihadapi dengan tindak kekerasan. Beberapa wartawan menjadi korban pemukulan. Sikap saling pengertian antara wartawan dengan aparat keamanan yang terjadi selama ini, pupus sudah. Tekanan terhadap para wartawan saat ini memang besar. Di tingkat intern, para wartawan yang terlibat aksi mendapat berbagai tekanan dari pimpinannya.110 Jadi bisa dimaklumi bila tidak ada pemimpin redaksi yang berani menghadapi desingan “peluru”. Pemimpin redaksi kini lebih banyak yang bersembunyi dalam berbagai pembelaan dan siasat untuk terus berjuang dengan cara moderat, dari pada “sesekali berani mati”. Mereka bisa menindas diri sendiri lewat self sensorship yang merusak jiwa, semangat dan hati nurani wartawan.111 Pencabutan SIUPP yang memiliki kekuatan di bawah peraturan Menpen yang mulanya menjadi suatu peristiwa yang bisa dipahami bagi kalangan konglomerat, bagi para wartawan yang memperjuangakan kebebasan pers dan idealisme sebagai seorang wartawan sesuai dengan kode etik jurnalistik, pemberdelan dibalik pencabutan SIT, SIC dan setelah diberlakukannya UU PP No.11 tahun 1982, dengan di tambahkannya pasal tentang wajib memiliki SIUPP, pencabutan izin terbit yang telah berubah-ubah hanya menjadi topeng dibalik pembredelan, izin terbit yang harus dimiliki oleh Pers hanya sebagai alat untuk melegalkan pembungkaman pembritaan pers yang dapat menggangu kestabilan politik dan keamanan. Tindakan pemerintah terhadap pencabutan ataupun pembatalan izin terbit sudah cukup dipahami oleh pers, namun pembatalan SIUPP Tempo, Detik, Editor 110 Ayu Utami ,et al,1994, Bredel 1994:Kumpulan tulisan tentang pembredelan Tempo, Detik, Editor,Jakarta:Aliansi Jurnalis Independen.hlm. 17. 111 Ibid. Hlm. 19. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 93 sudah tidak lagi dapat memaksakan para wartawan untuk hidup selalu penuh dengan kompromi di bawah pemerintahan otoriter. Kehidupan pers yang serba kompromi dengan penguasa mengakibatkan terjadinya perpecahan dikalangan pemerintah, ada wartawan yang masih berjuang demi kebebasan pers meskipun penuh dengan akibat yang membahayakan, dan adapula wartawan yang lebih memilih kehidupan aman dan mengabaikan kebebasan serta solidaritas sesama wartawan dengan hidup diantara para pejabat pemerintah. Wartawan-wartawan yang sudah tidak lagi bisa memahami pemberdelan ditengah isu perpecahan ditubuh intern wartawan, sejumlah wartawan dari berbagai kota di Jawa berkumpul, dan kemudian memproklamirkan “Deklarasi Sirnagalih pada 7 Agustus 1994 yang berisikan sebagai berikut: 112 “Bahwa seungguhnya kemerdekaan berpendapat, memperoleh informasi, dan kebebasan berserikat adalah hak asasi setiap warga negara. Bahwa sejarah pers Indonesia berangkat dari pers perjuangan yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta melawan kesewenang-wenangan. Dalam melaksanakan misi perjuangannya, pers Indonesia menempatkan kepentingan dan keutuhan bangsa di atas kepentingan pribadi maupun golongan. Indonesia adalah negara hukum, karena itu pers Indonesia melandaskan perjuangannya pada prinsip-prinsip hukum yang adil dan bukan pada kekuasaan. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka kami menyatakan: menolak segala bentuk campur tangan, intimidasi, sensor dan pembredelan yang mengingkari kebebasan berpendapat dan ak warga negara memperoleh informasi. Menolak segala upaya mengaburkan semangat pers Indonesia sebagai pers perjuangan. Menolak pemaksaan informasi sepihak untuk kepentingan pribadi dan golongan, yang mengatasnamakan kepentingan bangsa. Menolak penyelewengan hukum dan produk-produk hukum yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Menolak wadah tunggal profesi kewartawanan. Memproklamirkan pendirian Aliansi Jurnalis Independen sebagai salah satu wadah perjuangan pers Indonesia. Deklarasi yang dikeluarkan 7 Agustus 1994 itu, mencoba merevitalisasi peranan pers sebagai kekuatan pembangun, kekuatan pengontrol, yang bukan 112 Ibid, hlm. 122. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94 sekedar menjadi alat politik pemerintah. Melalui deklarasi tersebut, para wartawan juga memproklamirkan sebuah organisasi baru yang disebut Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Kehadiran AJI akan menguji dan mempertanyakan kembali keberadaan PWI sebagai satu-satunya organisasi profesi resmi wartawan. Jelas dalam kasus pembredelan, PWI lebih meyuarakan kepentingan birokrat Departeman Penerangan dari pada anggotnya. Rasanya aneh, bila ada ratusan wartawan kehilangan pekerjaan akibat medianya dibredel tanpa proses peradilan, PWI hanya berkata bisa memaklumi, sikap PWI yang lebih memihak para pemegang kekuasaan dari pada solidaritas terhadap sesama wartawan, membuat seroang Mochtar Lubis keluar dari keanggotaan PWI karena ketika ia di penjara tidak ada tindakan yang dilakukan oleh PWI. Sikap berani PWI inilah yang memberikan suatu kesadaran bagi para wartawan yang masih memperjuangkan kebebasan pers meskipun di bawah tekanan pemerintah, bergabung dalam AJI yang memberikan mereka ruang baru untuk memperjuangkan kebebasan pers. Setelah G 30 S, Orde Baru menggunakan PWI sebagai alat untuk membersihkan pers nasional dari anasir-anasir Orde Lama. PWI ganti memecati para wartawan yang dituduh terlibat gerakan makar itu atau dekat dengan PKI. Pada tahun-tahun pemantapan kekuasaan Orde Baru. PWI sudah tak berdaya lagi sebagai organisasi independen. PWI tak bisa lagi membela anggotanya ketika pemerintah membreidel puluhan surat kabar terkait dengan peristiwa Malari 1974. PWI digunakan juga sebagai alat konsolidasi politik, yaitu dengan meresmikannya sebagai organisasi wartawan satu-satunya di Indonesia, tepatnya pada 20 Mei 1975. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 95 Peresmian itu memudahkan pemerintah untuk melakukan “Golkarisasi” di tubuh PWI, terutama ketika PWI diketuai Harmoko. Harmoko sendiri memang tercatat sebagai ironi dalam sejarah pers nasional. Pada masa-masa awal Orde Baru, ia adalah wartawan yang paling sengit menolak keinginan pemerintah untuk menjadikan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. PWI semakin “jinak” setelah pemerintah berhasil mendudukan Harmoko sebagai ketua PWI dan Menteri Penerangan. Sehingga PWI dapat memaklumi ketika menyikapi pembredelan tiga media pada tahun 1994. Kooptasi negara Orde Baru ke dalam tubuh PWI sedemikian parah sehingga pemerintah membuatnya menjadi alat adu domba antar wartawan. Tercatat, PWI terlibat konflik permanen dangan AJI. Konflik bahkan sampai pada tingkat pengingkaran, di mana PWI tak mengakui kewartawanan yang menjadi anggota AJI. 113 Tidak banyak wartawan yang ikut bergerak menentang pembredelan. Di bagian redaksi, wartawan justru mendapat himbauan untuk tidak ikut bergerak, yang nekad harus menanggung resiko dan beberapa konsekuensi. Tampaknya era pers industri yang lebih mementingkan tiras dari pada idealisme berhasil mempolarisasi wartawan dalam kotak-kotak kepentingan bisnis perorangan yang bertopeng di balik kepentingan lembaga. Erosi tak hanya memudarkan etos pers Indonesia, tapi juga memudarkan solidaritas wartawan Indonesia. C. Tenaga Kerja Pers. Ketidakpastian lamanya waktu pembredelan, telah memberikan dampak terhadap tenaga kerja pers, ada yang beralih kepenerbitan lain, di PHK, dan tetap 113 Taufik Rahzen, et.al, 2007,Tanah air bahasa: seratus jejak pers Indonesia,Jakarta: I:BOEKOE,hlm. 193. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96 bekerja dengan resiko penurunan gaji, hal inilah yang dirasakan karyawan pers, penulis mengambil dua contoh penerbitan pers yang sudah cukup mapan ketika dibredel seperti harian Kompas dan majalah Tempo. Selanjutnya penulis mencoba memberikan gambaran dampak pembredelan terhadap tenaga kerja Kompas namun dalam pemaparan data penulis tidak dapat memberikan data secara rinci karena data tentang karyawan Kompas tidak diarsipkan oleh penerbit Kompas ketika pembredelan tahun 1978, penulis memaparkan data sesuai hasil wawancara dengan pihak Kompas terkait pembredelan tahun 1978.114 Serta perkiraan jumlah karyawan Kompas 2.500 termasuk wartawan yang dipaparkan Jakob Oetama. Tabel. 3 Tenaga kerja Kompas Oplah 275.000 setiap terbit Pemimpin Umum P.K Ojong Pemimpin Redaksi Jakob Oetama Wakil Pemimpin Redaksi P.Swantoro Sumber: St. Sularto. 2007. Kompas menulis dari dalam. Jakarta: Kompas Media Nusantara.hlm. 135. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa ketika pada tahun 1978 harian Kompas sudah memiliki jumlah oplah dan karyawan yang tidak sedikit jumlahnya, oleh sebab itu pembredelan yang dilakukan oleh pemerintah akan sangat menyedihkan bagi kelangsungan nasib karyawan yang bernaung di bawah harian Kompas pada saat itu, sehingga pemimpin redaksi harus memilih jalur berkompromi dengan Presiden Soeharto agar bisa terbit kembali, karena mempertimbangkan faktor kemanusiaan oleh sebab itu pihak Kompas tidak dapat menerima begitu saja pembredelan yang terjadi. 114 Hasil wawancara dengan Ibu Laurensia Fransiska Humas Kompas Gramedia Jakarta, 12 Januari 2017. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97 Selain pemaparan tentang tenaga kerja Kompas penulis juga memaparkan penjelasan mengenai jumlah karyawan Tempo penulis mengambil dari halaman redaksi edisi juni 1994 adapun daftar karyawan Tempo pada saat diberedel dipaparkan dalam tabel.4 di bawah ini: Tabel.4 Tenaga kerja Tempo Oplah 180.000 setiap terbit Pemimpin Umum Eric Samola,S.H. Wakil Pemimpin Umum Harjoko Trisnadi Pemimpin Perusahaan Harjoko Trisnadi Pemimpin Redaksi Goenawan Mohamad Wakil Pemimpin Redaksi Fikri Jufri Sumber: Tempo 11 Maret 1994 Tabel.4 di atas mencoba memberikan sedikit gambaran tentang jumlah tenaga kerja pada Juni 1994 menjelang pembredelan. Dalam buku putih Tempo dibagian pengantar Goenawan Mohamad mengatakan bahwa hanya sepucuk surat keputusan Menteri Penerangan, tiba-tiba lebih dari satu juta pembaca Tempo kehilangan hak untuk mendapatkan informasi pilihan mereka. Sebanyak 300 orang lebih putus dari pekerjaan. Sekitar 300 agen dan 6.000 pengecer tak punya lagi barang dagangan. Kira-kira 50 biro iklan luput dari pendapatan. Tabel tenaga kerja Tempo di atas merupakan gambaran dari sebagain kecil karyawan yang pada saat dibredel mengalami nasib yang tidak pasti. D. Kehidupan Pers Mahasiswa Pada tahun 1966, ketika dirasakan bahwa kelompok mahasiswa itu berguna bagi kalangan militer di sekitar Mayor Jenderal Soeharto untuk menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekrano, maka kelompok tersebut dipakai untuk kepentingang itu. Namun ketika mahasiswa mulai bersikap kritis terhadap pemerintahan Orde Baru, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98 tak segan-segan kakitangan Soeharto bertindak dan menggunakan kekerasan. Pada Februari 1970 tentara menduduki kampus ITB, karena adanya rangkaian melawan pemerintah sejak bulan sebelumnya.115 Aksi kritis mahasiswa terkait kinerja pemerintah yang tidak sesuai dengan asas keadilan serta demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat melalui mahasiswa, telah memberikan ketidaknyamanan dikalangan para pejabat, dan aksi-aksi mahasiswa tersebut dalam menganggu kestabilan politik jika terus dibiarkan. Setelah saling bekerjasama ikut membangun Orde Baru, aksi mahasiswa mulai dianggap sebagai ancaman hal ini semakin memperkokoh keinginan pemerintah untuk membatasi pers mahasiswa setelah peristiwa Malari 1974 aksi demonstrasi mahasiswa terkait modal asing, asisten pribadi, dan Undang-undang perkawinan. Setelah peristiwa Malari dan pembredelan terhadap pers nasional dan beberapa pers mahasiswa, masih terus melakukan kritik terhadap pemerintah atas fenomena-fenomena ketidakadilan yang dirasakan masyarakat. Menjelang sidang umum MPR tahun 1978, pemerintah melakukan tindakan pembredelan terkait pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa anti Soeharto dicalonkan kembali menjadi Presiden. Pemerintah memberlakukan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) merupakan kebijakan yang sangat fenomenal. kebijakan yang dikeluarkan tahun 1978 tersebut tidak hanya berhasil 115 Asvi Warman Adam,et.all. 2006. Soeharto Sehat. Yogyakarta:Galangpress, hlm. 29. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99 membungkam dan mematikan kegiatan kemahasiswaan saat itu, tetapi dampaknya juga terasa hingga saat ini.116 NKK telah berhasil membalikan aktivitas kemahasiswaan yang semula peduli terhadap persoalan-persoalan kebangsaan menjadi mahasiswa yang lebih asik dengan duniannya sendiri. Mahasiswa yang semula merasa dekat dan mau mendengar keluh kesah masyarakat kini menjadi mahasiwa yang terkurung dalam aktivitas akademik kampus. Kalaupun ada mahasiswa yang perduli pada persoalanpersoalan politik dan kebangsaan, hal itu lebih pada aktivitas sporadis, seperti unjuk rasa sebagian kecil mahasiswa. Itupun menjadi terasa aneh bagi lingkungan sekitarnya. Kebijakan NKK tidak muncul tiba-tiba. Kebijakan ini melalui rangkaian peristiwa yang sangat panjang dan penuh dinamika. Bisa dikatakan tahun 1966 ketika mahasiswa membantu militer berhasil menumbangkan Orde Lama menjadi momentumnya. Setelah peristiwa, mahasiswa seperti mempunyai kekuatan moral untuk terus mengontrol pemerintahan. Tak heran ketika pemerintah melakukan penyimpangan, terutama korupsi di tahun 1970-an, beberapa organisasi dan pers mahasiswa mulai mengkritik pemerintah melalui berbagai demonstrasi. Pemerintah pun menanggapi kritik tersebut masih dengan halus. Begitu juga ketika sebagian mahasiswa mengampayekan golongan putih atau golput karena mereka menilai pemilu tahun 1971 tidak jujur dan tidak adil, pemerintah menanggapinya dengan sikap yang tidak terlalu represif.117 116 Bambang Sigap Sumantri, et.al. 2015. 50 Tahun Kompas Memberi Makna. Jakarta:PT.Kompas Media Nusantara.hlm. 71. 117 Bambang Singap Sumantri.et.al.op.cit.hlm. 72. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100 Namun ketika aksi-aksi mahasiswa semakin meluas,terutama saat pemerintah akan membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di tahun 1973, reaksi pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto mulai bertindak keras. Sejumlah tokoh mahasiswa ditangkap dan sejumlah pers nasional dan pers mahasiswa dibredel. Reaksi semakin keras ketika di tahun 1974 mahasiswa mulai memprotes kesenjangan ekonomi dan dominasi modal asing di Indonesia. Puncaknya terjadi saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Jakarta pada 15 Januari 1974 dan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi serta massa ada yang membakar mobil-mobil Jepang, pemerintah tidak bisa lagi berdiam diri. Pemerintah bersikap sangat represif. Ratusan tokoh mahasiswa ditangkap dan pers dituding sebagai pengahasut. Tak cukup itu setelah peristiwa yang disebut “Malapetaka 15 Januari “ (MALARI), pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 028 tahun 1974 yang isinya sangat tegas, melarang kegiatan politik di kampus. Upaya membungkam suara kritis mahasiswa tersebut sangat nyata, dampaknya pun terasa, karena sejak 1974 tidak ada lagi aksi-aksi mahasiswa yang bersifat massal. Mahasiswapun tiarap menghadapi rezim penguasa yangs semakin kuat dengan dukungan militer. Sekilas pemerintah berhasil meredam suara kritis mahasiswa. Padahal, kekecewaan dan ketidakpercayaan mahasiswa terhadap pemerintah semakin meluas. Pada awal tahun 1978 mulai muncul berbagai bentuk unjuk rasa yang mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Apalagi partai Golkar yang dikendalikan oleh Presiden Soeharto berhasil meraih kemenangan mutlak dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101 pemilu 1977. Puncak menjelang sidang umum MPR 1978, gejolak mahasiswa tak bisa lagi ditahan, berbagai aksi demonstrasi dilakukan mahasiswa di hampir semua perguruan tinggi dengan substansi yang sama”menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden periode 1978-1983. Berbeda dengan tahun 1966 ketika mahasiswa mendapat dukungan militer, dalam aksi 1978 mahasiswa seperti berjalan sendiri tak ada kekuatan politik yang membantu mahasiswa karena sudah dilumpuhkan terlebih dahulu. Pembredelan terhadap beberapa surat kabar nasional dan surat kabar mahasiswa dilakukan kembali oleh pemerintah. Upaya melumpuhkan gerakan mahasiswa semakin efektif ketika pemerintah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Melalui kebijakan tersebut kampus steril dari kegiatan politik. Mahasiswa tidak boleh lagi melakukan kegiatan apapun yang bernuansa politik. E. Euforia Kebebasan Pers Pasca Orde Baru Pemerintahan otoriter hanya menyebabkan disintegrasi politik yang pada akhirnya menyebabkan keruntuhan, sekuat apapun kekuasaan itu pernah memimpin sebuah negara, jika dijalankan oleh pemerintah yang otoriter pasti tidak bertahan selamanya. Terbatasnya ruang masyarakat untuk berkembang serta hidup di bawah tekanan pemerintah dan hanya memfokuskan hanya di satu bidang kehidupan akan mengakibatkan rakyat menuntut, atas apa yang pernah dijanjikan pemerintah untuk kehidupan yang sejahtera. Tapi kenyataannya tidaklah semudah membuat janji-janji untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat, semua butuh waktu yang cukup PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 102 lama. Masyarakat dan pers sangatlah erat kaitannya, karena pers adalah bentuk dari aspirasi rakyat yang disampaikan terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa. Pemerintahan otoriter penuh dengan tindakan represif, dan pengekangan tehadap kebebasan menyebabkan kemiskinan budaya dan kemampuan masyarakat. Pembredelan pers merupakan pengasingan secara spiritual tehadap para jurnalis tindakan tersebut bagaikan pencorengan muka Orde Baru dan politik pembangunannya. Jika kita dapat belajar dari sejarah, ada beberapa hal yang mencolok: rezim-rezim represif berakhir karena disintegrasi politik negaranya. Contoh dari luar seperti sejarah Shah Reza Pahlevi di Iran, meskipun memiliki tentara yang kuat, intelijen Savak yang terorganisir dan dikenal ganas, dan sumber keuangan berlimpah, toh berhasil digoyahkan oleh gerakan yang dipimpin ulamaulama tua, mahasiswa, buruh dan kaum pedagang. Lebih mengherankan lagi negara-negara bekas Uni Soviet dan negara-negara satelitnya di Eropa Timur, negara-negara yang didirikan melalui revolusi itu, khususnya negara induknya yaitu Uni Soviet sendiri, mempunyai kekuatan militer dalam sekala super power, hasil rezim represif itu adalah disintegrasi sistem politik dan ekonomi.118 Singkatnya tindakan-tindakan represif rezim Orde Baru, baik dalam bentuk berbagai pencabutan izin terbit yang pada akhirnya berbentuk pembatalan SIUPP ataupun perlakuan terhadap para demonstran sangatlah menghawatirkan bagi perkembangan demokrasi negeri ini. Tindakan itu diperlihatkan kepada kita bahwa 118 Ibid,hlm. 46. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 103 suksesi yang kelak pasti akan terjadi nanti, akan lebih disebabkan faktor-faktor alamiah, bukan karena konstitusional. 119 Fakor-faktor alamiah yang akan muncul adalah akibat dari tindakan represif pemerintah hampir dalam segala bidang, tapi pada masa Orde Baru bidang yang hanya menjadi fokusnya adalah pembangunan ekonomi serta kestabilan politik, oleh sebab itu selama Orde Baru demonstrasi yang telah terjadi tidak lain karena isu-isu politik serta gagalnya pemerintah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, seperti Peristiwa Malari 1974 adalah demonstrasi yang cukup besar dan berhasil mengejutkan penguasa bahwa jika, wartawan, cendikiawan dan masyarakat secara umum jika bergabung menentang pemerintah, pemerintahan yang represif tidaklah seberapa kekuatannya. Hanya saja aksi tersebut belumlah matang yang pada akhirnya harus tunduk terhadap pemerintah yang represif kembali. Corak pemerintahan otoriter hampir mewarnai segala bidang, seperti halnya terhadap kehidupan pers dipegang penuh oleh Presiden Soeharto dan Menteri Penerangan, hal ini tercermin dari kebijakan terhadap pers serta lembaga pers hanya sebagai boneka saja untuk mengontrol pers agar tetap menjaga kestabilan politik dan keamanan. Selama rezim Orde Baru pers Indonesia hidup dibawah slogan pers bebas dan bertanggung jawab, dan dibawah bayang-bayang pembredelan. Pada dasarnya pers dapat menentang budaya politik yang tidak sejiwa dengan falsafah dan ideologi yang tercantum dalam konstitusi. Walaupun demikian, corak isi dan pola penyajian berita tetap akan mencerminkan budaya politik yang tumbuh dan berkembang selama rezim Orde Baru. 119 Idem. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 104 Euforia menuju pers bebas mulai dirasakan sejak berlangsungnya demokratisasi kehidupan sosial politik pada awal masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie pertengahan tahun 1998 setelah rezim represif Presiden Soeharto dan Orde Barunya runtuh, pandangan mengenai peranan pers, turut mengalami perubahan. Seiring dengan adanya perubahan tersebut, peraturan Menteri Penerangan No. 01 tahun 1984 dicabut dengan peraturan Menteri Penerangan No.01 tahun 1998, sehingga pers nasional mulai memperoleh kebebasan melakukan pengumpulan berita (news gathering), pengolahan (news editing) dan penyajian bahan berita (news presenting) serta kebebasan dari berbagai tekanan dan ancaman pihak luar sewaktu melaksanakan tugas jurnalistik. Sesuai dengan ketentuan pasal 23 Peraturan Menteri Penerangan No. 01 tahun 1998, kewenangan Menteri Penerangan dibatasi pada pengenaan sanksi administratif, yakni pemberian peringatan tertulis, pembekuan SIUPP untuk waktu tertentu dan penyelesaian melalui pengadilan. Meskipun masih memberikan kewenangan kepada Menteri Penerangan membekukan SIUPP, secara formal, pencabutan sanksi pembatalan SIUPP yang mempunyai akibat yang sama dengan akibat pembredelan, akan mengurangi kesenjangan antara undang-undang yang memuat ketentuan pokok dan peraturan Menteri yang memuat ketentuan pelaksanaan mengenai pers. Pencabutan sanksi pembatalan SIUPP ini dengan sendirinya pula menempatkan pers nasional pada jalur menuju pers yang bebas dan merdeka. Hilangnya sanksi pembatalan SIUPP, langsung disikapi pengelola penerbitan pers dengan melakukan penyesuaian corak dan pola pengumpulan, mengolah berita yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 105 mengandung pro dan kontra, kritik fakta yang tidak sesuai dengan demokrasi, penyimpangan dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan aparatur pemerintah, ketidakadilan di berbagai bidang, pengingkaran dan penindasan hak-hak asasi masyarakat dsb. Berita-berita itu ditulis dalam semangat keterbukaan dan perubahan yang diorientasikan pada upaya menciptakan kehidupan sosial, politik demokratis dan pencepatan pemulihan perekonomian nasional yang sedang mengalami krisis. Perubahan tahun 1998 sungguh-sungguh perubahan besar yang bahkan menyentuh sendi kehidupan masyarakat bangsa dan negara, ikut dirombak ,diubah, direposisikan kembali. Benar-benar euforia demokrasi, partai-partai mulai berdiri kembali, pers bebas tidak lagi memerlukan izin terbit, pemilihan umum yang demokratis diselenggarakan, pemerintah baru, Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh MPR, hasil pemilihan umum.120 120 Jakob Oetama, 2000, Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta, Kompas Media Nusantara, hlm.74. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB V KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dari BAB II sampai BAB IV, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Lahirnya Orde Baru telah memberikan perubahan sikap pemerintah terhadap kehidupan pers Indonesia, pers Indonesia yang semula menjadi pers perjuangan mulai berubah menjadi pers partisan. Pada awal pemerintahan Orde Baru pers bekerjasama untuk membangun kekuasaan Orde Baru secara penuh setelah konsolidasi kekuasaan Orde Baru mulai kuat, pemerintah mulai menunjukan perubahan sikap terhadap pers yang mengkritik kinerja dan kebijakan yang dianggap tidak adil. Agar pemberitaan pers tidak menimbulkan kericuhan serta ketidakstabilan politik, maka pemerintah mengendalikan pers melalui kebijakan-kebijakan yang belaku bagi kehidupan pers nasional seperti, Surat Izin Terbit (SIT), Surat Izin Cetak (SIT), dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982. 2. Selama masa Orde Baru terjadi beberapa kali peristiwa besar telah mengubah sikap Pemerintahan Presiden Soeharto terhadap pers yang semakin menyempitkan kebebasan pers. Seperti pers gencar mengulas fenomena korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah, dan puncaknya ketika surat kabar memberitakan penolakan terhadap modal asing Jepang, serta dilakukan demonstrasi atas kedatangan Perdana Menteri Jepang ke Indonesia. Peristiwa meletusnya demostrasi mahasiswa ini dikenal dengan 106 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 107 Peristiwa Malari 1974, pasca peristiwa Malari Pemerintah membredel 11 Surat kabar dan 1 majalah. Peristiwa Malari menjadi tolok ukur tindakan represif pemerintah terhadap pers Indonesia. Selama masa Orde Baru Pemerintah membredel dalam beberapa bentuk seperti: pencabutan SIC dan SIT pada masa berlakunya Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966, jumlah pencabutan SIC oleh Laksusda Kopkamtibda sebanyak 2 kali, dan pencabutan SIT berjumlah 28 kali terhadap surat kabar, majalah, tabloid. Dihapuskannya SIT dalam Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982 perubahan atas Undang-Undang Pokok Pers tahun 1966 dan 1967, kebijakan SIUPP mengantikan SIT yang telah dihapus, maka pembredelan mulai tahun 1982 dilakukan dengan bentuk pembatalan SIUPP yang dilakukan oleh Menteri Penerangan dan tidak jarang pembredelan yang dilakukan hanya melalui telepon yang dikenal dengan budaya telepon. Jumlah pencabutan SIUPP yang dilakukan oleh Menteri Penerangan 11 kali terhadap surat kabar, majalah dan tabloid. Alasan-alasan pemerintah seperti alasan politik, ekonomi, SARA, dan pronografi dalam mempertimbangkan menjinakan pers melalui tindakan represif dan berakhir dengan pembredelan, adalah untuk menjaga kestabilan keamanan dan politik nasional adalah alasan paling utama pemerintah dalam membredel pers, agar tidak terjadi kericuhan yang dapat menjatuhkan pemerintahan seperti peristiwa September 1965 yang dikenal dengan G 30 S. 3. Berbagai pembredelan yang terjadi di bawah Pemerintahan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru memberikan berbagai dampak terhadap kehidupan pers, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 108 bukan hanya terkait kebebasan pers yang sama sekali dibatasi. Namun lebih luas dari itu dampak yang dirasakan bagi keberlangsungan kehidupan pers nasional, seperti dalam bidang Industri, tenaga kerja pers, profesi wartawan, kehidupan pers mahasiswa, karyawan pers dan euforia kebebasan pers. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR PUSTAKA BUKU Ahmad Zaini Abar. 1995. 1966-1974 Kisah Pers Indonesia. Yogyakarta: Lkis. Alfian, 1991. Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Asvi Warman Adam.et.all. 2006. Soeharto Sehat. Yogyakarta: Galangpress. Atmadi.T. 1985. Sistem Pers Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Atmakusumah.1981.Kebebasan Pers dan Arus Informasi.Jakarta:Lembaga Studi Pembangunan. ____________.1997. Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya. Jakarta: YOI. Ayu Utami. et.al. 1994. Bredel 1994: Kumpulan tulisan tentang pembredelan Tempo, Detik, Editor. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen. Bambang Sigap Sumantri, et.al. 2015. 50 Tahun Kompas Memberi Makna. Jakarta:PT.Kompas Media Nusantara. Crouch Harold. 1999. Militer & Politik di Indonesia. Jakarta:Surya Usaha Ningtias. Didi Prambadi. et.al. 1994. Buku Putih TEMPO:Pembredelan Itu. Jakarta: Alumni Majalah Tempo. Hugh Purcell.2004. Fasisme. Yogyakarta;Resist Book. Haris Sumadiria. 2014. Sosiologi Komunikasi Massa. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hamzah.et.al. 1987. Delik-delik pers di Indonesia.Jakarta: Media Sarana Press. Hotman, M. Siahaan.et.al. Tajuk-tajuk dalam Terik Matahari: Empat Puluh Tahun Surabaya Post. Surabaya:Yayasan Keluarga Bakti. Hill, David.T. 2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta:Obor Indonesia. Indah Suryati. 2014. Jurnalistik Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia. Jakob Oetama. 2000.Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Mansyur Semma. 2008. Negara dan Korupsi. Jakarta: Obor Indonesia. 109 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 110 Mochtar Lubis. 2008. Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mondry.2008. Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik. Bogor: Ghalia Indonesia. Nugroho Notosusanto. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta:Yayasan Indayu. Oemar Seno Adji. 1977. Pers, Aspek-aspek Hukum.cet.2.Jakarta:Erlangga. ______________.1990. Perkembangan Delik Pers Di Indonesia. Jakarta: Erlangga. Rosihan Anwar. 2004. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Yogyakarta:Media Abadi. _____________.1992. Indonesia 1966-1983:dari Koresponden Kami di Jakarta, Jakarta:Pusataka Utama. Uka Tjandrasasmita. 2010. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Smith. Edward.C. 1986. Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia; penerjemah: Atmakusumah, et.al. Jakarta: Pustaka Utama GrafitiPers. Subagyo,et.al. 1987. Rekaman Peristiwa ’86. Jakarta: PT.Sinar Agape Press. Suhartono W. Pranoto. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Surjomihardjo Abdurrachman. 2002. Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta:Kompas Media Nusantara. Sularto. 2001. Humanisme dan Kebebasan Pers. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Sutarjo Adisusilo.J.R. 2016. Revolusi Eropa Menjadi Modern. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press. ________ 2015. Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama.Jakarta: .Kompas Media Nusantara. _______ 2007. Kompas menulis dari dalam. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Taufik Rahzen, et. al., 2007. Tanah air bahasa: seratus jejak pers Indonesia. Jakarta: I:BOEKOE. Jurnal Ashadi Siregar. 2000. Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni. Jurnal Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik. Volume 4. No.2. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 111 Efendi Gazali. 2004. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.Volume 8.No.1. Inge Hutagalung. 2013.Dinamika Sistem Pers di Indonesia” Jurnal Interaksi. Volume II No. 2. Mochtar Lubis. 1978. Etos Pers Indonesia” Prisma, No.11, LP3ES. Susilastuti. 2000.Kebebasan Pers Pasca Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume.4.No.2. Yuli Andanwati. 2013. Pembredelan Sinar Harapan Tahun 1986. Avatara E-journal Pendidikan Sejarah..Vol I . No.3. Sumber Koran Goenawan Mohamad, SIUPP, Tempo. 22 Juli 1991. Pelita. 20 Januari 1978 Tempo.21 Februari 1979. Tempo. 11 April 1987. Tempo.19 Maret 1994. Tempo,11 Juni 1994. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LAMPIRAN PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lampiran 1a PELAKSANA KHUSUS PANGLIMA KOMANDO OPERASI PEMULIHAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN DAERAH JAKARTA RAYA DAN SEKITARNYA SURAT KEPUTUSAN Nomor: KEP-007-PK/1/1974 TENTANG PENCABUTAN IZIN CETAK SURAT KABAR HARIAN “INDONESIA RAYA” PELAKSANAAN KHUSUS PANGLIMA KOMANDO OPERASI PEMULIHAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN DAERAH JAKARTA RAYA DAN SEKITARNYA Menimbang: 1. Bahwa dipandang perlu untuk mengambil tindakan terhadap surat kabar “INDONESIA RAYA” dengan pencabuan Surat Izin Cetak No. KEP.063.PK/1C/VIII/1973 tanggal 1 Agustus 1973 yang diberikan kepada PT.BADAN PENERBIT “INDONESIA RAYA” Jln.Veteran I No.28 Jakarta. 2. Tindakan pencabutan Surat Izin Cetak tersebut atas pertimbanganpertimbangan sebagai berikut: a. Surat kabar harian INDONESIA RAYA telah melanggar semangat dan jiwa dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam TAP.MPR.NO.IV/MPR/1973 dan UU No.11 tahun 1966. b. Surat kabar harian INDONESIA RAYA telah memuat tulisan yang dapat merusak kewibawaan & kepercayaan kepemimpinan nasional. c. Surat kabar harian INDONESIA RAYA dengan tulisan-tulisannya dianggap menghasut rakyat, sehingga membuka peluang yang dapat mematangkan/memperuncing situasi ke arah terjadinya kekacauan- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kekacauan seperti pada tanggal 15 dan 16 Januari 1974 dan yang dapat mengadu domba antara pimpinan yang satu dengan yang lain. Mengingat : 1. Keputusan Presiden RI No. 19 tahun 1969; 2. Kpts.PANGKOPKAMTIB No.KEP-42/KOPKAM/7/1967. 3. Kpts.LAKSUS PANGKOPKAMTIB/JAYA No.KEP.008.PC/11/1967 tanggal 11 November 1967. 4. Kpts. LAKSUS PANGKOPKAMTIB/JAYA No.KEP.063- PK/IC/VIII/1973 tanggal 1 Agustus 1973. MEMUTUSKAN MENETAPKAN PERTAMA : Mencabut Surat Keputusan LAKSUS PANGKOPKAMTIB/JAYA No. KEP.063-PK/IC/VIII/1973 tanggal 1 Agustus 1973, perihal Izin Cetak surat kabar harian INDONESIA RAYA yang diberikan kepada PT.BADAN PENERBIT INDONESIA RAYA (Jl.Veteran I No.28-Jakarta) yang dicetak pada percetakan PT.Surya Prabha Jln.Asemka 29-39 Jakarta. KEDUA : Surat Keputusan ini berlaku mulai saat ditetapkan. KETIGA : Surat Keputusan ini disampaikan kepada PT.BADAN PENERBIT INDONESIA RAYA Jln. Veteran I No. 28 Jakarta, untuk diketahui dan diindahkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 21 Januari 1974 AN.PELAKSANA KHUSUS PANGLIMA KOMANDO OPERASI PEMULIHAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN DAERAH JAKARTA RAYA DAN SEKITARNYA Sekretaris ttd(dan cap) L.S.M PANGGABEAN S.H KOLONEL CKH.NRP.12151 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lampiran 1b MENTERI PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA SURAT KEPUTUSAN MENTERI PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA No.20/SK/DIRJEN-PG/K/1974 TENTANG PENCABUTAN SURAT IZIN TERBIT (SIT) SURAT KABAR HARIAN “INDONESIA RAYA” MENTERI PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa dipandang perlu untuk mengambil tindakan terhadap surat kabar harian “Indonesia Raya” dengan pencabutan Surat Izin Terbit (SIT) No.0632/SK/Dir.PDLN/SIT/1968, tanggal 24 Juli 1968- 0632/Per/SK/DirPP/SIT/1971, tanggal 18 Juni 1971, yang diberikan kepada PT.Badan Penerbit” INDONESIA RAYA” alamat Jl.Bonang 17 Jakarta. b. Bahwa tindakan pencabutan Surat Izin Terbit (SIT) tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : (i) Surat kabar harian “INDONESIA RAYA” telah melanggar semangat dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketetapan MPR (TAPMPR) No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Undang-Undang No.11 Tahun 1966, tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, di mana dijelaskan bahwa mass media umumnya dan sarana pers khususnya harus menjadi sarana pembinaan partisipasi rakyat dalam pembangunan dan sebagai saluran pendapat rakyat yang konstruktif. (ii) Surat kabar harian “INDONESIA RAYA” telah memuat tulisan-tulisan yang: 1. Pada hakekatnya menjurus ke arah usaha-usaha untuk melemahkan sendi-sendi kehidupan bernegara dan/atau ketahanan nasional. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Dengan jalan mengorbankan isu-isu seperti modal asing, korupsi,dwifungsi, kebobrokan-kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi, masalah Aspri-Kopkamtib. 2. Merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional 3. Mendengungkan kepekaan-kepekaan tanpa memberika pemecahan yang tepat dan positif, yang dapat diartikan menghasut rakyat untuk bangkit bergerak untuk mengambil tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan negara. 4. Menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus kepada perbuatan makar. (iii) Sekalipun telah diberikan peringatan-peringatan yang tegas dan keras berkali-kali sejak peristiwa 5 Agustus di Bandung oleh Kopkamtib terhadap semua media khususnya pers untuk tidak mempertajam dan memperuncing kontras-kontras sosial yang dapat menggoncangkan serta merusak stabilitas nasional yang menjadi syarat mutlak pembangunan, namun ulasan-ulasan, penyajianpenyajian berita maupun tulisn dari surat kabar yang bersangkutan ternyata tidak menghiraukan peringatan-peringatan tersebut. (iv) Surat Izin Cetak dari surat kabar harian yang bersangkutan telah dicabut oleh Laksus Pangkopkamtibda Jaya pada tanggal 21 Januari 1974. c. Bahwa pencabutan surat kabar harian “INDONESIA RAYA” itu bertentangan dengan dan merupakan pelanggaran terhadap fungsi dan tanggung jawab pers, sebagai mana dimaksud dalam TAP MPR No.IV/MPR/1973,Undang-undang No.11 tahun 1966 tentang ketentuanketentuan pokok pers, Kode Etik Jurnalistik dan Peraturan Menteri Penerangan R.I No.03/1969.BAB III Pasal 7d. d. Bahwa tindakan pencabutan Surat Izin Terbit (SIT) terhadap penerbitan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan kebebasan pers, melainkan justru menegakkan kebebasan dalam arti sebenarnya dalam rangka tertib PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI demokrasi Pancasila, di mana pers yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia telah dirumuskan dalam konsensus nasional, TAP MPR No. IV/MPR/73, yaitu “pers yang bebas dan bertanggung jawab”. Mengingat: 1. TAP MPR No.IV/MPR/1973 2. Undang-Undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, Khususnya BAB VI, ayat (1) sub c dan d. 3. Peraturan Menteri Penerangan RI No.03/1969, khususnya BAB III Pasal 7d. 4. Pernyataan Pers Pemerinta-tanggal 17 Januari 1974 Memperhatikan:Pernyataan Pengurus PWI- Pusat di Jakarta tanggal 19 Januari 1974 MEMUTUSKAN MENETAPKAN: PERTAMA : Mencabut Surat Izin Terbit (SIT) surat kabar harian “INDONESIA RAYA”, yakni Surat Izin Terbit No.0632/SK/Dir.PDLN/SIT/1968, tanggal 24 Juli 19680632/Per/SK/Dir.PP/SIT/1971, tanggal 18 Juni 1971, dan karenanya mengenakan larangan terbit bagi surat kabar harian yang bersangkutan. KEDUA : Larangan terbit sebagai dimaksud diktum PERTAMA meliputi larangan menerbitkan, larangan mencetak dan larangan mengedarkan. KETIGA : Sejak tanggal mulai berlakunya keputusan ini, segala fasilitas penerbitan yang bersumber pada Surat Izin Terbit (SIT) surat kabar harian “INDONESIA RAYA” di Jakarta dicabut. KEEMPAT : Surat Keputusan ini mulai berlaku tanggal ditetapkan dengan ketentuan bahwa apabila ternyata dikemudian hari terjadi kesalahan akan diadakan pembetulan/perbaikan seperlunya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Dikeluarkan di : Jakarta Pada tanggal: 22 Januari 1974 MENTERI PENERANGAN RI u.b DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN PERS DAN GRAFIKA ttd. (dan cap) SOEKARNO,S.H. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lampiran 1c PEMBATALAN SURAT IZIN USAHA PENERBITAN PERS (SIUPP) MAJALAH MINGGUAN TEMPO (Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No. 123/KEP/MENPEN/1994,tgl.21 Juni 1994) MENTERI PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa perlu diambil langkah penertiban terhadap majalah berita mingguan TEMPO, selanjutnya disebut TEMPO, alamat Gedung Tempo jln.H.R Rusuna Said Kav.C-17 Kuningan, Jakarta yang diterbitkan oleh PT. Grafiti Pers dengan menggunakan SIUPP No.025/SK/MENPEN/SIUPP/C.1/1985 tgl.24 Desember 1985. b. Bahwa TEMPO telah pernah dibekukan sementara SIT-nya pada tgl 12 April 1982 karena penerbitannya dinilai telah melanggar dan membahayakan stabilitas nasional. c. Bahwa dalam proses pencairan SIT TEMPO yang telah dibekukan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan No.76/KEP/MENPEN/1982 tgl. 12 April 1982, TEMPO telah menerima pengarahan Dewan Harian Dewan Pers dan secara tulus ikhlas TEMPO menyanggupi untuk melaksanakan arahan tgl.13 Mei 1982 tsb. Yakni antara lain: 1). TEMPO menyanggupi untuk turut bertanggung jawab menjaga stabilitas nasional, keamanan, ketertiban dan kepentingan umum, tidak akan memperuncing keadaan dan bahkan akan meredakan ketegangan jika terjadi dalam masyarakat. 2). TEMPO mengutamakan menyanggupi kepentingan akan menahan masyarakat dan diri dan negara selalu di atas kepentingan pribadi dan majalah TEMPO. 3). TEMPO selalu akan menjaga nama baik dan kewibawaan Pemerintah serta pimpinan nasional. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4). TEMPO akan mengindahkan dan memenuhi serta menjalankan ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan, Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik dan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka pembinaan pers yang bebas dan bertanggung jawab. 5). TEMPO akan selalu mengadakan intropeksi, koreksi dan perbaikan-perbaikan kedalam, dalam rangka memantapkan perkembangan pers yang bebas dan bertanggung jawab. d. TEMPO telah berkali-kali diberikan keringanan dalam rangka pembinaan, setidak-tidaknya 6 kali dalam bentuk peringatan tertulis, bahkan di antaranya 3 kali surat peringatan keras dan 33 kali dalam bentuk peringatan lisan. e. Bahwa setiap diselenggarakan pertemuan dengan para Pemimpin Redaksi yang diselenggarakan oleh Dep.Penerangan yang dihadiri juga oleh TEMPO, senantiasa diperingatan agar penerbitan pers mematuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. f. Bahwa penilaian terhadap isi penerbitan TEMPO selama ini ada beberapa kasus pemberitaan TEMPO yang menunjukan itikad tidak sejalan dengan pengarahan Dewan Harian Dewan Pers tgl 13 Mei 1982 yang telah diketahui dan ditanda tangani oleh Direktur Utama PT.Grafiti Pers dan Pemimpin Redaksi TEMPO. g. Berdasarkan kenyataan sebagaimana tsb di atas, pemuatan isi beberapa penerbitan TEMPO tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat dan bertanggung jawab, sehingga sesuai dengan pasal 33 huruf (h) Peraturan Menteri Penerangan No.01/PER/MENPEN/1984 dapat dikenakan sanksi pembatalan SIUPP . h. Bahwa langkah penerbitan ini terpaksa diambil dalam rangka pembinaan dan pengembangan pers nasional yang sehat, bebas dan bertanggung jawab, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan demi kepentingan terbinanya stabilitas nasional di negara Republik Indonesia. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Mengingat : 1. Undang-Undnag No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.4 tahun 1967 dan Undang-Undang No.21 tahun 1982 2. Keputusan Presiden No.96/M Tahun 1993 3. Peraturan Menteri Penerangan RI No.01/PER/MENPEN/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers Memperhatikan : 1. Saran dan pertimbangan pelaksanaan harian Dewan Pers dalam sidangnya tgl.21 Juni 1994. 2. Saran Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika. MEMUTUSKAN Menetapkan : SURAT KEPUTUSAN MENTERI PENERANGAN R.I TENTANG PEMBATALAN SURAT IZIN USAHA PENERBITAN PERS (SIUPP) MAJALAH MINGGUAN TEMPO JAKARTA, sebagai berikut: Pertama : Membatalkan Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No. 025/SK/MENPEN/SIUPP/C.1/1985 tgl. 24 Des. 1985 tentang pemberian SIUPP kepada PT.Grafiti Pers untuk menerbitkan majalah mingguan TEMPO. Kedua: Dengan dibatalkannya SIUPP, maka PT.Grafiti Pers tidak dibenarkan untuk menerbitkan, mencetak dan mengedarkan majalah mingguan TEMPO sejak ditetapkannya surat keputusan ini. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ketiga : Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diadakan pembetulan seperlunya. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Juni 1994 A.N MENTERI PENERANGAN RI DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN PERS DAN GRAFIKA Ttd., Drs. Subrata NIP.0500;7572 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lampiran 1d SILABUS Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia Kelas : XII Kopetensi Inti : 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. 2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. 3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin taunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat minatnya untuk memecahkan masalah. 4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan. Kompetensi Dasar Materi Pokok Pembelajaran Penilaian Alokasi Waktu Sumber Belajar 3.5 Mengevaluasi kehidupan Politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa Orde Baru. Kehidupan Bangsa Indonesia di Masa Orde Baru dan Reformasi Latar belakang Mengamati : Membaca buku teks, browsing internet dan berdiskusi dengan teman di samping tentang pembredelan pers di masa Orde Baru Observasi: Mengamati kegiatan peserta didik dalam proses mengumpulkan I Wayan Badrika.2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XII Program Ilmu Pengetahuan Alam, Jilid,2.Jakarta: Erlangga. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pembredelan pers (1966-1998) data, dan di masa Orde pembuatan Menanya : Baru laporan tentang Tanya jawab, Bentuk dan Pembredelan pers berdiskusi, dan alasan di masa Orde memberi komentar pembredelan pers Baru (1966-1998) tentang materi di masa Orde Portofolio: pembredelan pers di Baru masa Orde Baru (1966- Menilai laporan Dampak 1998) makalah peserta Pembredelan didik tentang latar Mengeksplorasikan: pers bagi belakang, bentuk Di dalam kelompok, perkembangan alasan dan siswa mengumpulkan pers Indonesia dampak informasi terkait latar pembredelan pers belakang pembredelan di masa Orde pers di masa Orde Baru Baru (1966-1998) melalui bacaan dan Tes tertulis : internet. Menilai Mengasosiasikan : kemampuan Menganalisis peserta didik informasi dan datadalam penguasaan data yang didapat materi dari bacaan maupun pembredelan pers dari sumber-sumbers di masa Orde Baru yang terkait untuk 1966-1998. mendapatkan kesimpulan tentang latar belakang, bentuk, alasan dan dampak pembredelan pers di masa Orde Baru. 2x 45 Menit Abdurrachman Surjomihardjo. 2002. Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Ahmad Zaini Abar. 1995. 1966-1974 Kisah Pers Indonesia. Yogyakarta: Lkis. Crouch Harold. 1999. Militer & Politik di Indonesia. Jakarta: PT.Surya Usaha Ningtias. Hill.T.David.2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta:Obor Indonesia. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Mengkomunikasikan: Hasil analisis kemudian dilaporkan dalam bentuk tulisan berisikan tentang latar belakang, bentuk, alasan dan dampak pembredelan pers di masa Orde Baru Yogyakarta, 06 Februari 2017 Mengetahui, Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran Susanto S.Pd. Olyvie Bintang Haritajaya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Satuan Pendidikan : SMA N 1 KASIHAN Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia Kelas/Semester : XII/1 Materi Pokok : Kehidupan Bangsa Indonesia di Masa Orde Baru Pertemuan :1 Alokasi waktu : 2x45 menit A. Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, dan Indikator Kompetensi Inti 5. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. 6. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif dan menunjukan sikap sebagai bagian dari Kompetensi Dasar a. Menghayati nilai-nilai persatuan dan keinginan bersatu dalam perjuangan pergerakan nasional menuju kemerdekaan bangsa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa terhadap bangsa dan negara Indonesia. 2.1 Meneladani perilaku kerjasama, tanggung jawab, cinta damai para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan dan menunjukannya dalam kehidupan sehari-hari. Indikator 1.1.1 Menunjukan sikap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah dengan belajar tekun. 2.1.1 Menunjukan sikap dan perilaku cinta tanah air dalam kehidupan seharihari. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. 7. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin taunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat minatnya untuk memecahkan 3.1 Menganalisis kehidupan bangsa Indonesia di masa Orde Baru dan Reformasi khususnya pembredelan pers di masa Orde Baru. 3.1.1 Mendeskripsi latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru 1966-1998. 3.1.2Mendeskripsikan bentuk dan alasan pembredelan pers di masa Orde Baru 1966-1998 3.1.3 Menganalisis dampak pembredelan pers di masa Orde Baru 1966-1998 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI masalah. 8. Mengolah, 4.1 Menulis latar belakang menalar, dan sejarah pembredelan pers di menyaji dalam Indonesia. ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan. 4.1.1 Melaporkan hasil tulisan mengenai latar belakang, bentuk, alasan dan dampak pembredelan pers di masa Orde Baru 1966-1998. B. Tujuan Pembelajaran Setelah mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran peserta didik dapat: 1. Bersyukur dengan cara berdoa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran 2. Menanamkan sikap saling menghormati antar sesama. 3. Menganalisis latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru. 4. Mengidentifikasi bentuk dan alasan pembredelan pers di masa Orde Baru. 5. Menjelaskan dampak dari pembredelan pers di masa Orde Baru. 6. Menyajikan laporan latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru. C. Materi Ajar Latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru tahun 1966-1998 1. Latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru. 2. Bentuk dan alasan pembredelan pers di masa Orde Baru. 3. Dampak pembredelan pers terhadap perkembangan pers Indonesia. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI D. Metode Pembelajaran 1. Pendekatan pembelajaran : Scientific Approach 2. Setrategi pembelajaran : Cooperative Learning (Problem Solving) 3. Metode Pembelajaran : Observasi, diskusi, presentasi, tanya jawab, dan tugas. E. Sumber Belajar Sumber buku I Wayan Badrika.2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XII Program Ilmu Pengetahuan Alam, Jilid,2.Jakarta: Erlangga. Abdurrachman Surjomihardjo. 2002. Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Ahmad Zaini Abar. 1995. 1966-1974 Kisah Pers Indonesia. Yogyakarta: Lkis. Crouch Harold. 1999. Militer & Politik di Indonesia. Jakarta: PT.Surya Usaha Ningtias. Hill.T.David.2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta:Obor Indonesia. F. Media Pembelajaran Alat : Laptop, LCD. Bahan : Gambar tokoh perjuangan G. Kegiatan Pembelajaran Kegiatan Deskripsi Guru memberikan salam Guru menanyakan kehadiran siswa Orientasi : guru memusat perhatian siswa pada materi yang akan dipelajari Pendahuluan dengan menampilkan slide. Apersepsi: Guru menanyakan latar belakang kehidupan ekonomi dan politik di masa Orde Baru. Alokasi waktu 15 Menit PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Motivasi: guru menyampaikan dampak kehidupan ekonomi dan politik di masa Orde Baru Guru menyampaikan tujuan dan rencana kegiatan pembelajaran Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5 orang siswa Guru memberikan bahan diskusi pembelajaran Mengamati Siswa membaca teks atau referensi yang disediakan oleh guru tentang pembredelan pers masa Orde Baru Guru menampilkan jenis-jenis suratkabar, majalah dan tabloid dimasa Orde Baru. Menanya Siswa dapat melakukan tanya jawab dalam kegiatan diskusi untuk mendapatkan pendalaman pengertian tentang pembredelan pers di masa Orde Baru Mengumpulkan Informasi Peserta didik dapat mengumpulkan informasi melalui internet, teks yang sudah disediakan atau referensi lain yang relevan tentang pembredelan Kegiatan Inti pers di masa Orde Baru Menalar Peserta didik mendiskusikan tentang pembredelan pers masa Orde Baru teman satu kelompoknya. Dalam kelompok diskusi, peserta didik menganalisis, menghubungkan dan mengasosiasikan informasiinformasi yang ditemukan melalui sumber tertulis atau internet tentang pembredelan pers di masa Orde Baru Mengkomunikasikan Masing-masing kelompok menyajikan secara lisan hasil analisis dan kesimpulan tentang pembredelan di masa Orde Baru Peserta didik yang lain menyimak dan mencatat informasi dari siswa yang 60 Menit PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Penutup mengungkapkan jawabannya di depan kelas Peserta didik melaporkan hasil analisis dan evalusi dalam bentuk tulisan yang berisi tentang pembredelan pers di masa Orde Baru 1966-1998 Guru mengadakan kegiatan refleksi bersama peserta didik dalam menyimpulkan hasil kegiatan pembelajaran. Peserta didik diberikan tugas untuk membuat salah satu dampak dari pembredelan pers di masa Orde Baru Informasi materi pembelajaran yang akan datang. 20 Menit H. PENILAIAN A. Sikap Spiritual a. Teknik Penilaian : Non tes (Pengamatan sikap selama proses pembelajaran) b. Bentuk Instrumen : Lembar penilaian c. Kisi-kisi: No Sikap/Nilai 1. Bersyukur kepada Tuhan 2. Berdoa kepada Tuhan Butir Intrumen 1 2 d. Instrumen: No Nama Peserta Didik 1. Nunung 2. Thomas 3. Dita Bersyukur kepada Tuhan (1-4) Indikator: Berdoa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran (1-4) Nilai Akhir PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kisi-kisi indikator sikap spiritual: bersyukur kepada 1. Bersyukur dengan tidak sungguh-sungguh 2. Kadang-kadang bersyukur dengan sungguh-sungguh 3. Sering bersyukur 4. Selalu bersyukur dengan sungguh Kisi-kisi indikator sikap spiritual: berdoa, sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran 1. Berdoa tidak sungguh-sungguh 2. Kadang-kadang berdoa dengan sungguh 3. Sering berdoa 4. Selalu berdoa dengan sungguh Pedoman penyekoran : Peserta didik memperoleh nilai : A = Baik Sekali B = Baik C =Cukup D = Kurang B. Sikap Sosial : apabila memperoleh skor 8 : apabila memperoleh skor 6 : apabila memperoleh skor 4 : apabila memperoleh skor 2 a. Teknik Penilaian : Non tes (Pengamatan sikap selama proses pembelajaran) b. Bentuk Instrumen : Lembar penilaian skala sikap c. Kisi-kisi: Sikap Menghargai No. 1. 2. 3. 4. Sikap/nilai Sikap saling menghormati Peduli Santun Kerja sama Butir Instrumen 1 2 3 4 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI d. Instrumen Jumlah Skor Indikator No 1. 2. 3. Peserta didik Memiliki Peduli Santun sikap saling (1-4) (1-4) menghormati (1-4) Kerjasama (1-4) Bima Robert Joni Kisi-kisi indikator sikap saling menghormati: Deskriptor Tidak saling menghormati Kurang menghormati Cukup menghormati Saling menhormati Kisi-kisi Indikator sikap peduli : Skor 1 2 3 4 Deskriptor Skor 1 2 3 4 Tidak saling peduli Kurang peduli Cukup peduli Sangat peduli Kisi-kisi indikator sikap santun : Deskriptor Tidak pernah bersikap/berperilaku santun Kurang santun dalam bersikap/berperilaku Cukup santun dalam bersikap/berperilaku Sangat santun dalam bersikap/berperilaku Skor 1 2 3 4 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kisi-kisi indikator sikap kerjasama Deskriptor Tidak saling kerja sama Kuang kerja sama Cukup kerja sama Sangat kerja sama Skor 1 2 3 4 Petunjuk Penyekoran: Peserta didik memperoleh nilai : A = : apabila memperoleh skor 12 B= : apabila memperoleh skor 9 C= : apabila memperoleh skor 6 D = : apabila memperoleh skor 3 C. Penilaian Sikap Diskusi a. Teknik : Non tes (pengamtan sikap selama diskusi) b. Bentuk instrumen : Lembar penilaian c. Kisi-kisi : Sikap selama diskusi No. Butir Instrumen 1 2 3 4 Sikap/Nilai 1. 2. 3. 4. Keakifan Keseriusan Mengemukakan pendapatan Bertanya d. Instrumen : Nilai akhir Indikator No Nama Keaktifan Keseriusan Bertanya 1. Bima 2. Robert 3. Joni 4. Jhon 5. Dina Kisi-kisi indikator penilaian sikap diskusi: Keaktifan, mengemukakan pendapat, bertanya Mengemukan pendapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI a. Skor 1 diperoleh siswa bila tidak terlibat dalam kelompok b. Skor 2 diperoleh siswa beila terlibat dalam kelompok namun tidak memberikan masukan. c. Skor 3 diperoleh siswa terlibat dan memberikan masukan d. Skor 4 diperoleh siswa bila berperan aktif dalam kelompok Keseriusan a. b. c. d. Sekor 1 diperoleh siswa bila siswa tidak serius dalam mengerjakan tugas Skor 2 diperoleh siswa bila siswa cukup serius dalam mengerjakan tugas Skor 3 diperoleh siswa bila siswa serius dalam mengerjakan tugas Skor 4 diperoleh bila siswa sangat serius dalam mengerjakan tugas Petunjukan penyekoran : Peserta didik memperoleh nilai : A = Baik Sekali : apabila memperoleh skor 12 B = Baik : apabila memperoleh skor 9 C = Cukup : apabila memperoleh skor 6 D = Kurang : apabila memperoleh skor 3 D. Pengetahuan (Kognitif) a. Teknik penilaian : tes b. Bentuk instrumen: lembar tugas c. Kisi-kisi tugas terstruktur d. Instrumen : tes essay 1. Bagaimana latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru (19661998)? 2. Apa saja bentuk dan alasan pembredelan pers di masa Orde Baru ? 3. Bagaimana dampak dari pembredelan pers di masa Orde Baru terhadap kehidupan pers Indonesia? Pedoman penskoran No Rambu-rambu skor 1. Jawaban lengkap dengan alasan yang tepat 2. Jawaban berdasarkan referensi yang relevan dengan alasan seadanya 3. Jawaban kurang lengkap 4. Jawaban tidak sesuai dengan soal yang ditanyakan Catatatan: setiap skor maksimal 20 Skor 20 15 6 4 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI E. Psikomotorik a. Teknik penilaian: Tes b. Bentuk Instrumen: Lembar tugas c. Kisi-kisi: Tugas : peserta didik diberi tugas untuk membuat artikel ilmiah. d. Instrumen: Soal : buatlah artikel ilmiah tentang dampak pembredelan pers di masa Orde Baru dalam bentuk narasi. Aspek yang dinilai No Nama peserta didik Nilai akhir Ketepatan Relevansi Kelengkapan Pembahasan waktu (1-4) (1-4) (1-4) (1-4) 1. Bima 2. Robert 3. Joni Petunjuk penyekoran: Peserta didik memperoleh nilai: Baik sekali Baik Cukup Kurang : apabila memperoleh skor 13-16 : apabila memperoleh skor 9-12 : apabila memperoleh skor 5-8 : apabila memperoleh skor 1-4 Yogyakarta 6 Februari 2017 Mengetahui, Kepala SMAN 1 Kasihan Guru Mata Pelajaran Susanto,M.Pd. Olyvie Bintang Haritajaya NIP.,