ASET DAN KAPITAL OPERASIONAL Perusahaan yang berbeda seringkali memiliki perbedaan pada stuktur keuangan, pajak, dan jumlah nonoperating asset seperti surat berharga. Perbedaan-perbedaan ini tentu saja menyebabkan perbedaan pada ukuran-ukuran akuntansi tradisional seperti return on equity (ROI) serta rasio-rasio lain sehingga dua perusahaan dengan tingkat operasi yang mirip menampakkan efisiensi operasi yang berbeda. Rasio-rasio tersebut biasanya digunakan sebagai ukuran dalam penilaian kinerja manajer. Sewajarnya seorang manajer dinilai kinerjanya berdasar operating income (EBIT) yang dihasilkan dari operating asset atau asset operasional. Penilaian dengan rasio yang lain relative kurang tepat karena rasio-rasio tersebut dihitung dari ukuran yang bukan berada dibawah pengendalian manajer. Sementara dengan dasar operating asset yang sama, kinerja manajer dapat dibandingkan satu sama lainnya. Langkah pertama untuk memodifikasi data akuntansi adalah dengan membagi total asset menjadi dua bagian yaitu Operating asset dan nonoperating asset. Operating asset terdiri kas, piutang dagang, persediaan, dan asset tetap yang diperlukan untuk menjalankan usaha. Sementara nonoperating asset terdiri dari surat berharga atau marketable securities, investasi pada subsidiary, tanah. Operating asset kemudian dapat dibagi menjadi dua macam yaitu modal kerja atau working capital dan asset tetap atau fixed asset. Kita mengetahui bahwa sumber modal utama bagi perusahaan adalah investor. Namun tidak semua modal diperoleh dari investor karena dana bisa didapat dari supplier – utang dagang, dan dana uatang gaji serta utang pajak. Pengeluaran itu biasanya sudah diakui saat ini namun belum dilakukan pembayaran secara kas. Jadi perusahaan memperoleh dana pinjaman jangka pendek dari pemasok, karyawan dan perpajakan. Secara umum utang dagang utang gaji dan utang pajak bersifat bebas dalam arti tidak ada biaya/fee atas pemakaiannya. Oleh karena itu perusahaan yang memiliki asset lancar sebesar Rp. 100.000.000,- dengan utang dagang sebesar Rp. 10.000.000,- serta utang gaji dan pajak sebesar Rp. 10.000.000,- maka nilai investor – supplied working capital akan sebesar Rp. 80.000.000,Semua asset saat ini yang digunakan dalam menjalankan operasi perusahaan dinamakan modal kerja operasional. Jika operating working capital dikurangi utang dagang dan utang gaji/pajak maka akan didapat modal kerja operasi bersih atau net operating working capital. Modal kerja operasional bersih adalah sama dengan semua asset lancar yang tidak memberi bunga – semua utang lancar yang tidak mensyaratkan bunga. Sebagai contoh PT Rifki memiliki laporan keuangan seperti pada table 2.1. Dengan menggunakan rumus dimuka maka nilai net operating working capital dan total operating capital untuk tahun 1999 akan menjadi : Modal kerja operasi bersih = (kas + piutang dagang + persedian) – (utang dagang + akrual) = (Rp. 10 + Rp. 375 + Rp. 615) – (Rp. 60 + Rp. 140) = Rp. 800 juta Tabel 5.1 Neraca PT. Rifki 31 Desember 1999 (Dalam Jutaan Rupiah) ASET 1999 1998 Kas Investasi jangka pendek Piutang dagang Persediaan Total asset lancar Pabrik dan peralatan 10 0 375 615 1.000 1.000 15 65 315 415 810 870 Total asset 2.000 1.680 UTANG DAN KEWAJIABAN 1999 1998 2.000 1.680 Utang dagang Utang wesel Akrual Total kewajiban lancar Obligasi Total utang Saham preferen (4.000.000 L) Saham biasa (50 juta lembar) Laba ditahan Total utang dan modal Total Passiva Total modal operasi PT. Rifki = Modal kerja operasi bersih + Aset tetap bersih = Rp. 800 + Rp. 1.000 = Rp. 1.800 juta Sedangkan pada akhir 199, PT Rifki memiliki net operating working capital sebesar : Modal kerja operasi bersih = (Rp. 15 + Rp. 315 + Rp. 415) – (Rp. 30 + Rp. 130) = Rp. 585 juta Penambahan Rp. 870 juta pada fixed asset, akan menaikkan total operating capital tahun 1997 menjadi : Total modal operasi = Rp. 585 + Rp. 870 = Rp. 1.455 juta Oleh karena itu, PT Rifki mengalami kenaikan operating capital sebesar Rp. 345 juta yaitu dari Rp. 1.455 menjadi Rp. 1.800 juta. Lebih jauh, peningkatan ini tampak sekali berdampak pada working capital, yaitu naik dari Rp. 585 juta menjadi Rp. 800 juta atau naik sekitar Rp. 215 juta LABA OPERASI BERSIH SEDUDAH PAJAK Jika dua perusahaan memiliki utang yang berbeda, dan juga perbedaan jumlah pembayaran bunga, perusahaan tersebut memiliki kinerja operasi yang sama tetapi berbeda pada penghasilan bersih atau net income, maka perusahaan dengan lebih banyak utang akan memiliki net income yang lebih kecil. Tampak bahwa walaupun angka net income merupakan indicator keuangan yang penting namun angka tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kinerja sesungguhnya dari operasi perusahaan atau efektivitas kerja manajer dan karyawannya. Untuk dapat melakukan evaluasi kinerja manajer secara lebih baik maka dimunculkan suatu formula yaitu laba operasi bersih sesudah pajak atau net operating profit after taxes (NOPAT) yang merupakan sejumlah laba perusahaan yang akan dihasilkan jika perusahaan tersebut tidak memiliki utang dan tidak memiliki asset financial. NOPAT didefinisikan sebagai : NOPAT = EBIT (1-tarif pajak) Menggunakan data dari laporan keuangan table 5.2, maka NOPAT dari PT Rifki akan sebesar : NOPAT = Rp 283.8(1-0.4) =Rp 283.8(0,6) =Rp 170.3 juta Pada tahun 1999 PT Rifki mampu menghasilkan after-tax operating profit sebesar Rp 170.3 juta, yang lebih besar sebanding NOPAT tahun 1998 yaitu 1998 yaitu Rp 263(0,6) = Rp 157.8 juta. Laporan keuangan yang terlihat pada table 5.2 memperlihatkan penurunan laba per lembar saham (EPS) dari tahun 1998 ke 1999. Penurunan pada EPS ini disebabkan kenaikan pada pembayaran bunga dan bukan karena penurunan operating profit. Tabel 5.1 menunjukan adanya kenaikan utang dari 1998 ke 1999. Kenaikan ini akibat kenaikan investasi pada operating capital yang sebagian besar didanai utang. ALIRAN KAS BEBAS (FREE CASH FLOW) Aliran kas bersih atau net cash flow merupakan penjumlahan dari net income ditambah non-cash adjustment. Perlu dicacat bahwa aliran kas tidak dapat dipertahankan terus-menerus terkecuali fixed asset yang telah didepresiasikan diganti. Sehingga manajemen perusahaan tidak sepenuhnya bebas menggunakan aliran kas yang ada. Aliran kas bebas atau free cash flow-FCF) adalah cash flow yang tersedia untuk dibagikan kepada para investor setelah perusahaan melakukan investasi pada fixed asset dan orking capital yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dengan kata lain aliran kas bebas adalah kas yang tersedia di atas kebutuhan investasi yang profitable. Free cash flow ini sebenarnya merupakan hak pemegang saham. Ketika kita mempelajari laporan rugi/laba maka penekanan akan diletakan pada laba akuntansi – accounting profit. Namun demikian nilai operasi perusahaan ditentukan oleh aliran kas yang akan dihasilkan sekarang dan dimasa datang. Secara khusus nilai dari operasi perusahaan bergantung pada aliran kas bebas yang diharapkan terjadi atau expected free cash flow. Nilai ini merupakan laba operasi sesudah pajak atau after-tax ating profit dikurangi nilai investasi fixed asset dan working capital yang diperlukan untuk mempertahankan operasi perusahaan. Jadi free cash flow mencerminkan sejumlah kas yang secara actual tersedia untuk dibagikan kepada investor. Berdasar uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa cara yang dapat dilakukan manajer untuk meningkatkan nilai perusahaannya adalah dengan menaikkan free cash flow. Jika kita mengambil kasus PT. Rifki tahun 1999 yang memiliki NOPAT sebesar Rp 170,3 juta, maka operating cash flow PT Rifki adalah NOPAT plus penyesuaian noncash. Karena noncash adjustment pada PT Rifki hanya terdiri dari depresiasi maka, Aliran kas operasional = NOPAT + depresiasi = Rp 170.3 + Rp 100 = Rp 270,3 juta Pada tahun 1998 dan 1999 PT Rifki memiliki operating asset atau operating capital sebesar Rp 1.455 juta Rp 1.800 juta. Jadi selama tahun 1999 terdapat net investment in operating capital sebesar : Investasi bersih pada modal operasi = Rp 1.800-Rp 1.455 = Rp 345 juta Nilai asset tetap bersih naik dari Rp 870 ke Rp 1.000 juta atau sebesar Rp 130 juta. Sementara depresiasi yang terjadi adalah Rp 100 juta, sehingga gross investment pada fixed asset Rp 130 + Rp 100 = Rp 230 juta untuk tahun 1999. Kita dapat menentukan investasi bruto pada modal operasi atau gross investment in operating capital yaitu : Investasi bruto = investasi bersih + depresiasi = Rp 345 + Rp 100 = Rp 455 juta Dengan demikian free cash flow PT Rifki untuk 1999 sebesar : Free cash flows = aliran kas operasi – investasi bruto pada modal operasi = Rp 270,3 – Rp 445 = Rp 174,7 juta atau FCF = NOPAT – investasi bersih pada modal operasi = Rp 170,3 –Rp 345 = - Rp 174,7 juta Dua persamaan di atas hasilnya sama karena depresiasi ditambahkan kepada NOPAT dan investasi bersih. Meskipun PT Rifki memiliki NOPAT positif, investasi yang sangat besar pada operating capital menghasilkan free cash flow negatif. Karena free cash flow merupakan bagian yang tersedia bagi investor. Maka pada kasus tersebut tidak satu rupiah pun yang tersedia bagi investor. Bahkan karena adanya investasi baru maka investor harus menyediakan dana tambahan untuk mempertahankan usahanya. Dana tambahan tersebut merupakan utang baru bagi PT Rifki. Apakah posisi FCF negatif berdampak buruk bagi perusahaan? Jawabnya adalah bergantung pada alasan mengapa FCF bisa negatif. Jika FCF negative lebih disebabkan karena NOPAT negative, ini merupakan pertanda buruk karena ada kemungkinan perusahaan mengalami masalah operasi. Namun banyak perusahaan dengan NOPAT positif memiliki free cash flow negative karena adanya investasi yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan perusahaan. MARKET VALUE ADDED (MVA) DAN ECONOMIC VALUE ADDED (EVA) Tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Selain member manfaat bagi pemegang saham, tujuan ini juga menjamin sumber daya perusahaan yang langka dialokasikan secara efisien dan member manfaat ekonomi. Kemakmuran pemegang saham dimaksimalkan dengan memaksimalkan kenaikan nilai pasar dari modal perusahaan diatas nilai modal yang disetor pemegang saham. Kenaikan ini disebut Market Value Added (MVA): MVA = Nilai pasar equity – Modal equity yang di setor pemegang saham = (Jumlah saham beredar) (Harga Saham) – Total nilai equity Sebagai ilustrasi jika PT ABC memiliki market value of equity Rp 150 juta dan nilai modal yang disetor adalah Rp 10 juta. Maka MVA PT ABC adalah : Rp 150 – Rp 10 = Rp 140 juta MVA mengukur dampak tindakan manajerial sejak perusahaan berdiri, sementara Economic Value Added (EVA) menitikberatkan pada efektiitas manajerial pada tahun tertentu. EVA = Laba bersih operasi setelah pajak (NOPAT) – Biaya modal setelah pajak yang diperlukan untuk mendukung operasi = EBIT (1 – pajak perusahaan) – (modal operasi) (Biaya modal setelah pajak) Modal operasi atau operating capital merupakan penjumlahan dari utang, saham preferen, dan saham biasa yang digunakan untuk pengadaan asset operasi bersih atau net operating asset, yaitu modal kerja operasi bersih atau net operating working capital ditambah investasi pabrik dan peralatan bersih. Operating asset sama dengan modal untuk membeli operating asset. EVA mampu menghitung laba ekonomi yang sebenarnya atau true economic profit suatu perusahaan pada tahun tertentu dan sangat berbeda jika dibanding laba akunatnsi. EVA mencerminkan residual income yang tersisa setelah semua biaya modal, termasuk modal saham, telah dikurangkan. Sedangkan laba akuntansi dihitung tanpa mengurangkan biaya modal. Eva memberikan pengukuran yang lebih baik atas nilai tambah yang diberikan perusahaan kepada pemegang saham. Oleh karena itu manajer yang menitikberatkan pada EVA dapat diartikan telah beroperasi pada cara-cara yang konsisten untuk memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Perlu dicatat bahwa EVA juga dapat diterapkan pada tingkat divisi atau subsidiary perusahaan. Dengan demikian EVA merupakan salah satu kriteria yang lebih baik dalam penilaian kebijakan manajerial dan kompensasi. Nilai perusahaan akan meningkat jika perusahaan membiayai investasi dengan net present value yang positif, karena net present value yang positif akan memberikan economic value added kepada pemegang saham. PENILAIAN PERUSAHAAN KESELURUHAN Pada proses penilaian saham perusahaan umumnya investor akan menentukan dengan dividen cash flow model. Model ini mengasumsikan bahwa perusahaan saat ini akan segera membayar dividen. Pembayaran itu diharapkan akan terus-menerus selama perusahaan berdiri. Dalam konteks tersebut akan sangat mudah bagi investor dalam menentukan harga saham perusahaan. Namun demikian banyak kasus terutama pada perusahaan yang baru berdiri belum membayar dividen untuk jangka waktu beberapa tahun. Perusahaan yang baru berdiri atau perusahaan kecil pada tahap pertumbuhan mengalami kenaikan penjualan yang menuntut adanya penambahan asset. Karena pertumbuhan tidak akan terjadi yang diharapkan tanpa kenaikan pada assetnya. MODEL NILAI KORPORASI (CORPORATE VALUE MODEL) Tabel 5.4 dan table 5.5 menunjukan laporan keuangan pada tahun 1998 dan proyeksi untuk tahun 1999 sampai 2002 untuk PT ABC. Selama awal periode tersebut PT ABC berkembang secara pesat tetapi industri kemudian berada pada tahap kedewasaan sehingga pertumbuhan penjualan turun dari 21% pada tahun 1999 ke tingkat stabil yaitu 5% setelah tahun 2002. Profit margin diharapkan naik bersamaan dengan makin efisiennya operasi perusahaan dan menurunnya biaya-biaya pemasaran dan biaya iklan. Semua item pada laporan keuangan tersebut tumbuh stabil pada tingkat 5% mulai tahun 2002. Dividen mulai akan dibayarkan pada awal 2001 sebesar 75% dari laba. Konsep free cash flow model menyatakan bahwa free cash flow adalah kas yang dihasilkan dari operasi yang secara aktual tersedia untuk dibagikan kepada investor, termasuk pemegang saham, pemegang obligasi, dan pemegang saham preferen. Nilai perusahaan merupakan present value dari aliran kas bebas atau free cash flow yang dihasilkan di masa datang. Oleh karena itu nilai PT ABC dapat dihitung sebagai present value dari expected free cash flow, yaitu mendiskontokan pada tingkat biaya modal, kc , ditambah nilai dari nonoperating asset. Rumus nilai perusahaan atau nilai operasi perusahaan dapat dinyatakan sebagai berikut : Nilai Operasi = PV Free Flows yang diharapkan = FCF + FCF (1 + kc)1 (1 + kc)2 = ∑ I=1 +……………….+ FCF (1 + kc)00 FCFt (1 + kc)t Kita akan mengasumsikan biaya modal PT ABC adalah 10,84%. Untuk menghitung nilai perusahaan, digunakan pendekatan seperti nonconstant dividen growth model dengan : 1. Asumsi perusahaan akan mengalami pertumbuhan nonkonstan selama N tahun, setelah itu tumbuh pada tingkat yang sama. 2. Menghitung expected free cash flow untuk tiap tahun selama N tahun dan tentukan PV dari tiap cash flow. 3. Setelah N tahun kita dapat menggunakan constant growth model untuk menemukan nilai perusahaan pada tahun N. Nilai akhir (terminal value) ini adalah jumlah PV untuk tahun N + 1 dan seterusnya yang didiskontokan ke tahun N. Kemudian nilai pada tahun N tersebut didiskontokan kebelakang sehingga didapat PV pada tahun 0. 4. Menjumlahkan semua PV, yaitu dari free cash flow tahunan selama periode pertumbuhan non-konstan ditambah PV dari terminal value, sehingga didapat nilai operasi perusahaan. Nilai ini sering disebut goin concern value dan jika kita tambahkan terhadap nonoperating asset akan didapat total nilai perusahaan. Tabel 5.6 menggambarkan perhitungan free cash flow tiap tahun dengan model yang diuraikan dimuka. Net operating working capital pada baris pertama tabel tersebut dihitung menggunakan data 1998. Net operating working capital yang dibutuhkan = (kas + piutang dagang + persediaan) – (utang dagang + akrual) = (Rp 17 + Rp 85 + 170) – (Rp 17 + 43) Net pabrik dan peralatan merupakan investasi bersih yang ditanamkan pada fixed asset seperti mesin dan fasilitas produksi jangka panjang. Investasi bersih pada pabrik dan peralatan ditambah dengan investasi bersih pada modal kerja – net operating working capital – menghasilkan nilai investasi bersih pada operating asset. Baris kelima adalah net investasi pada operating asset yang memperlihatkan perubahan operating asset dari tahun sebelumnya. Untuk tahun 1999 nilai investasi baru ini sebesar Rp 560 juta – Rp 491 juta = Rp 69 juta. NOPAT atau net operating profit after taxes didapat dari pendapatan sebelum pajak (EBIT) dikalikan (1 – tariff pajak). Pada tabel 2.4 kita memperkirakan EBIT tahun 1999 sebesar Rp 85 juta, sehingga dengan tariff pajak 40% maka NOPAT tahun 1999 adalah Rp 85 juta x (1 – 40%) = Rp 51 juta. Sekarang kita bisa melihat bahwa NOPAT tahun 1999 sebesar Rp 51 juta belum dapat menutupi kebutuhan dana untuk tambahan investasi operating asset selama tahun tersebut yang besarnya Rp 69 juta. Sehingga free cash flow untuk tahun 1999 adalah Rp 51 juta – Rp 69 juta = negative Rp 81 juta. Nilai free cash flow yang negative ini merupakan hal yang lumrah pada perusahaan yang baru berdiri dan memiliki pertumbuhan yang tinggi karena adanya tuntutan tambahan investasi pada operating asset. Aliran kas negative berarti perusahaan harus memperoleh dana baru dari investor sehingga terjadi penambahan utang wesel, obligasi, saham preferen seperti Tabel 5.4 tahun 1998 ke tahun 1999. Pemegang saham PT ABC bahkan tidak menerima pembayaran dividen sampai tahun 2001 karena net income di investasikan lagi ke dalam asset. Salah satu varian dari constan dividend growth model yang dapat digunakan untuk menghitung nilai perusahaan pada tahun N adalah sebagai berikut. Voperasi (pada tahun N) = ∑ FCFt t=N (1 + kc) t-N = FCFN (1 + g) = kc – g FCFN+1 kc – g Jika biaya modal 10.84 %, free cash flow pada tahun 2002 sebesar Rp 49 juta dan tingkat pertumbuhan 5%, maka nilai operasi PT ABC pada 31 Desember 2002 sebesar : Voperasi PT ABC = FCF 31 Januari 2003 / (k-g) = Rp 49 (1 + 0.05) / (0,1084 – 0,05) = Rp 880,99 juta