BAB IV Hasil dan pembahasan 4.1 GAMBARAN UMUM 4.1.1 Perekonomian Indonesia Sewaktu Indonesia merilis jalan untuk terus berkembang, gejolak ekonomi muncul pada tahun 1997-1998 dengan adanya krisis moneter. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah membawa perekonomian Indonesia pada kondisi yang sangat sulit karena beberapa indikator ekonomi mengalami gejolak yang tajam. Gejolak ekonomi tersebut membuat perekonomian Indonesia menjadi tidak stabil. Inflasi naik sangat tajam dari 11,05 % pada tahun 1997 menjadi 77,63 % pada akhir tahun 1998 atau naik 602,53 %. Belum lagi ilai tukar rupiah terhadap US$ yang melemah dari Rp 4.650,00 menjadi Rp 8. 025,00 di akhir tahun 1998. Sedangkan pendapatan nasional yang didasarkan dengan PDB riil Indonesia juga mengalami penurunan dari 343409.4 Milyar Rupiah menjadi 343409,4. Setelah mengalami kontraksi yang besar pada tahun 1998, sejak tahun 1999 perekonomian Indonesia mengalami peningkatan tiap tahun. Pada tahun 1999 ekonomi bertumbuh sekitar 0,79%, tahun 2000 sekitar 4,92%, tahun 2001 3,4%, dan 2002 sebesar 3,66%. Peningkatan pertumbuhan ini memberikan harapan bagi bangsa Indonesia untuk segerakeluar dari krisis ekonomi, walaupun pertumbuhan masih di bawah target yang diinginkan yaitu sebesar 4%. Hal ini memperlihatkan pemulihan perekonomian telah berjalan ke arah yang lebih baik. 42 Setelah terjadinya krisis ekonomi Indonesia tahun 1998, gejolak ekonomi kembali menghampiri Indonesia pada tahun 2008. Perekonomian global mengalami krisis financial yang disebabkan oleh krisis yang dialami Amerika Serikat yang secara tidak langsung juga berdampak kepada perekonomian Indonesia. Sepanjang tahun 2008, terutama sampai triwulan ke III, ekonomi Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan yang baik, sehingga ketika pada tiga bulan terakhir tahun 2008 pertumbuhan ekonomi mulai melambat, maka secara keseluruan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 masih mencapai 6,1 %. Keadaan ini lebih baik dibandingkan negara tetangga seperti Singapura yang diperkirakan hanya tumbuh 2,2%. Pada awalnya krisis finansial global mulai merebak, sector keuangan di Indonesia belum terkena dampak yang berarti, karena tidak ada perbankan Indonesia yang secara langsung terkena dampak dari krisis subprime mortgages di Amerika Serikat yang telah merugikan banyak lembaga keuangan raksasa di dunia. Selama tahun 2008, masyarakat masih bisa menikmati bunga rendah, ketika BI menurunkan BI rate sampai 8%. Baru setelah harga minyak bumi terus melesat BI rate naik, dan sektor konsumsi mulai melambat pertumbuhannya. Pertumbuhan ekonomi mengalami titik balik, ketika harga berbagai komoditas ekspor menurun menyusul anjloknya harga minyak dunia. Ketakutan masyarakat dunia akan terjadinya resesi telah menyebabkan menurunya permintaan terhadap berbagai produk tersebut sehingga harga terus menurun. 43 Akibatnya Indonesia yang semula mengandalkan ekspor sebagai ujung tombak pertumbuhan ekonomi mulai memasuki masa sulit. Berbagai industri manufaktur terutama yang berorientasi ekspor seperti tekstil, sepatu dan elektronik, mulai mengurangi kegiatannya termasuk mengurangi tenaga kerja karena permintaan pasar ekspor yang menurun. Memasuki tahun 2009, ekonomi Indonesia akan menghadapi tantangan yang berat. Selama tahun 2008 ekonomi Indonesia relatif baik apabila melihat berbagai indikator ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tahun 2008 mecapai 6.1%, inflasi bisa ditekan menjadi 11,4%. Hal ini dikarenakan deflasi dalam dua bulan terakhir di kuartal akhir 2008. Sedangkan pada tahun 2009 sendiri, pertumbuhan ekonomi masih posotif dan tingkat inflasi sebesar 2,8 % atau terendah selama 10 tahun terkhir. Secara keseluruhan hasil-hasil pembangunan, tercermin pada tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB), baik yang dihitung atas dasar harga berlaku, maupun atas dasar harga konstan. Untuk melihat perkembangan PDB dalam penulisan ini dihitung berdasar atas dasar harga konstan 2000. Pada tahun 2008, meskipun ekonomi dunia dilanda krisis financial global, pada kenyataannya pendapatan nasional Indonesia masih cukup stabil bahkan pertumbuhannya masih tinggi. Hal ini karena tingkat konsumsi masyarakat juga sangat besar sehingga mendorong PDB untuk terus naik. PDB tertinggi masih 44 dihasilkan oleh sektor industri pengolahan yaitu sebesar 27.87% dari total PDB tahun 2008. Sedangkan PDB terendah dihasilkan oleh sektor listrik, gas, dan air bersih yaitu hanya sebesar 0.82% dari total PDB (www.bps.go.id). 45 Tabel 4.1.5.1 Perkembangan Produk Domesti Bruto (PDB) Tahun 1992 – 2009 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Milyar Rp) Tahun PDB Pertumbuhan (%) 1992 984.115.9 5,91 1993 1.156.448,61 6,56 1994 1.242.833,09 7,47 1995 1.344.994,06 8,22 1996 1.450.148,22 7,82 1997 1.518.303,78 4,70 1998 1.318.999,90 -13,13 1999 1.329.434,86 0,79 2000 1.394.843,95 4,92 2001 1.442.984,00 3,45 2002 1.505.216,40 4,31 2003 1.577.171,30 4,78 2004 1.656.516,80 5,03 2005 1.750.815,20 5,69 2006 1.847.292,90 5,51 2007 1.963.974,30 6,32 2008 2.082.456,10 6,01 2009 2.177.741,70 4,58 Sumber : Badan Pusat Statistik 46 Pada tabel 4.1.5.1, terlihat pertumbuhan PDB mengalami peningkatan dari tahun ke tahun selama periode 1992– 2009. Pada tahun 1992 perkembangan PDB menjadi sebesar Rp 984.115.9 milyar . Pada tahun 1993 perkembangan PDB menjadi sebesar Rp 1.156.448,61 milyar dan pada tahun 1994 sebesar Rp 1.242.833,09 milyar, hal ini berarti terjadi kenaikan 7,47%. Disamping karena adanya peningkatan produksi secara fisik, juga karena dipengaruhi oleh kenaikan tingkat harga / inflasi. Pada pertengahan tahun 1997, indonesia seperti negaranegara lainnya di kawasan asia tenggara yang di hantam oleh krisis ekonomi yang sangat parah, sehingga pada tahun 1998 terjadi penurunan menjadi 1.318.999,90 milliar, perkembangan ekonomi seperti penurunan PDB sebesar dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 1999, dampak krisis ekonomi tersebut mulai bisa dikendalikan dan PDB ada tahun tersebut tumbuh sebesar 0,79 %. Tahun 2000, pertumbuhan ekonomi terus membaik sehingga mencapai 4,92 %. Selama tahun 2001 sampai 2004, pertumbuhan ekonomi tumbuh rata – rata sebesar 4, 39 %. Krisis yang terjadi di Indonesia tidak saja telah memaksa rupiah terdepresiasi sangat tajam tetapi juga menimbulkan kontraksi ekonomi yang sangat dalam. Penurunan nilai tukar rupiah yang tajam disertai dengan terputusnya akses ke sumber dana luar negeri menyebabkan turunnya kegiatan produksi secara drastis dan berkurangnya kesempatan kerja sebagai akibat tingginya ketergantungan produsen domestik pada barang dan jasa impor. Pada 47 saat yang sama, kenaikan laju inflasi yang tinggi dan penurunan penghasilan masyarakat telah mengakibatkan merosotnya daya beli sehingga kesejahteraan masyarakat menurun drastis dan kantong-kantong kemiskinan domestik semakin meluas. Selama tahun 2000 perekonomian Indonesia menunjukkan pemulihan ekonomi yang semakin kuat dengan pola pertumbuhan ekonomi yang semakin seimbang. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahun 2000 mencapai 4,92%, lebih tinggi dari prakiraan awal tahun Bank Indonesia sebesar 3,0%– 4,0%. Sejumlah kemajuan juga dicapai dalam proses penyelesaian utang luar negeri pemerintah, telah selesainya program rekapitalisasi perbankan, serta telah dicapainya kesepakatan dalam penyelesaian masalah BLBI antara Pemerintah dan Bank Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus membaik hingga mencapai 6,32%. Akselerasi pertumbuhan ekonom, terutama berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi yang mencatat pertumbuhan tinggi. Sementara dari sisi penawaran, penyumbang utama pertumbuhan ekonomi adalah sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor pertanian. Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai dengan membaiknya indicator kesejahteraan masyarakat. Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun menjadi 16,6% hingga pada tahun 2007. Selain meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan stabilnya inflasi, membaiknya indikator kemiskinan juga terkait dengan berbagai 48 program sosial yang diluncurkan untuk membantu masyarakat miskin, termasuk bantuan yang terkait dengan bencana alam. Pada tahun 2008 pertumbuhan mencapai 6,01% dengan PDB sebesar 2.082.456,10 miliar. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi mencapai 4,58 dengan PDB sebesar 2.177.741,70 miliar. Tabel 4.1.5.2 Perkembangan Produk Domesti Bruto (PDB) Tahun 1992 – 2009 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Milyar Rp) TAHUN PDB Industri 1992 75419.7 1993 82558.6 1994 82649 1995 91637.1 1996 102259.7 1997 107629.7 1998 95320.6 1999 99058.5 2000 104986.9 2001 398323.9 2002 419387.8 2003 441754.9 2004 469952.4 2005 491561.4 2006 514100.3 2007 538084.6 2008 557764.4 2009 569550.8 Sumber : Badan Pusat Statistik 49 Berdasarkan table di atas dapat kita lihat bahwa PDB sector industri sejak tahun 1992 hingga 1997 terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 1998 PDB sektor industri mengalami penurunan yang disebabkan oleh krisis ekonomi pada saat itu, namun pada tahun 1999 kembali meningkat secara terus menerus hingga 2009. 4.1.2 Perkembangan Impor Indonesia Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka impor memiliki peranan yang sangat penting terutama dalam rangka pengembangan sector industri. Walaupun perkembangan impor berfluktuasi, Namur impor tetap mengalami pertumbuhan. Fluktuasi impor tidak terlepas dari berbagai peristiwa resesi ekonomi, krisis ekonomi, serta beberapa kebijakan di bidang impor. Impor dalam hal ini terdiri atas impor barang konsumsi, bahan baku dan barang-barang penolong serta barang modal yang pada umumnya berasal dari negara maju, di samping karena negara-negara berkembang masih kekurangan modal, juga untuk mempercepat proses alih teknologi dari negara maju sehingga negara-negara berkembang akan mampu memacu pertumbuhan ekonominya Impor Indonesia meningkat sejalan dengan peningkatan pembangunan. pengembangan kapasitas produksi dalam negeri memerlukan impor barangbarang modal yang belum dapat diproduksi di dalam negeri perlu diimpor. Di samping itu pembangunan proyek-proyek prasarana yang di perlukan untuk 50 mendukung kapasitas produksi dalam negeri yang semakin berkembang juga memerlukan impor. Impor Indonesia sejak 1988 berasal dari 55 negara di seluruh dunia. Secara ratarata ada delapan negara asal impor yang memilliki kontribusi (ratarata) impor yang paling besar yaitu Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Korea Selatan, Australia, Cina, Taiwan. Namun demikian, kontribusi mereka tidaklah stabil. Telah terjadi perubahan struktur yang cukup signifikan sejak lima tahun terakhir. Perubahan paling radikal adalah kontribusi Cina yang berubah drastis sejak 1998 yaitu dari 7,19% menjadi 28,91 di tahun 2003. Perubahan lainnya adalah kontribusi negara Singapura dari 20,17% di tahun 1998 menjadi 44,98% di tahun 2003. Akibatnya urutan contributor terbesar menjadi berubah di tahun 2003 yaitu Jepang, Singapura, Cina, Amerika Serikat, Australia, Korea Selatan, Jerman, dan Taiwan. (Eko Atmaji dalam jurnal Analisa Impor Indonesia, 2004). Impor berdasarkan golongan barang terdiri dari barang modal, barang konsumsi, dan bahan baku/penolong. Impor yang khususnya bahan modal, barang konsumsi, dan bahan baku akan mendorong peningkatan ekspor non migas Indonesia. Beberapa produk ekspor masih memiliki kandungan impor yang cukup tinggi. Perkembangan impor mencerminkan struktur produksi dalam negeri yang berkembang pesat. 51 Tabel 4.1.2.1 Perkembangan Impor Indonesia Tahun 1993 – 2007 Volume Nilai (Ribu Ton) (Juta US $) 2000 67.388,9 33.514,8 2001 65.566,8 30.962,1 2002 72.741,2 31.288,9 2003 69.705,1 32.550,7 2004 81.320,6 46.524,5 2005 83.664,5 57.700,9 2006 83.808,9 61.065,5 2007 89.935,6 74.473,4 2008 129.197,3 98.664,3 2009 91.354,4 96.829,2 Tahun Sumber : Badan Pusat Statistik Dalam tabel 4.2 terlihat bahwa nilai impor Indonesia pada tahun 1992 sebesar 27.279,6 Juta US $ dan impor Indonesia pada tahun 1993 meningkat menjadi sebesar 28.327,80 Juta US $. Pada tahun 1994 nilai impor sebesar 31.983,50 Juta US $ kemudian pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1995 nilai impor Indonesia meningkat menjadi 40.628,70 Juta US $ dengan volume sebesar 55.360,2 ribu ton, dari data tersebut terlihat terjadi peningkatan sebesar 20,01% pada volume impor dan 27,3% pada nilai impor. Peningkatan dalam hal impor 52 terus terjadi seiring dengan semakn besarnya kebutuhan barang-barang impor itu sendiri guna terjadinya peningkatan di bidang produksi. Hingga pada tahun 1996 nilai impor sebesar 42.928,5 Juta US $ dengan volume sebesar 58.819,4 ribu ton mengalami penurunan nilai pada tahun 1997 sebesar 2,91% menjadi 41.679,8 juta US $ dengan volume tetap meningkat sebesar 0,56% menjadi 59.148,4 ribu ton. Hal ini dipengaruhi oleh terjadinya krisis nilai tukar yang dialami oleh banyak negara. Dimana menyebabkan harga barang-barang impor meningkat dan hal ini terus berlanjut dimana pada tahun 1998, sehingga volume impor menurun drastis menjadi 51.261,2 ribu ton dengan nilai sebesar 27.336,9 juta US $. Pada tahun 1999 nilai impor terus menurun menjadi 24.003,32 juta US $ dengan peningkatan volume impor sebesar 21,42% menjadi 62.240,8 ribu ton. Volume impor yang meningkat ini dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan impor terhadap barang konsumsi khususnya beras. Pada tahun 2000, nilai impor Indonesia mencapai 33.514,80 juta US $ atau meningkat sekitar 39,10%. Namun pada tahun 2001 nilai impor Indonesia turun menjadi 30.962,1 juta US $ dengan volume sebesar 65.566,8 ribu ton, dari data tersebut terlihat terjadi penurunan sebesar 2,70% pada volume impor dan 7,62% pada nilai impor. Selanjutnya pada tahun 2002 volume impor Indonesia terus meningkat menjadi 72.741,2 ribu ton dengan nilai impor sebesar 31.288,9 juta US $. Tahun 2003 – 2006 impor Indonesia terus mengalami peningkatan. Tahun 2007 nilai impor Indonesia menjadi 74.473,4 juta US $ atau meningkat 53 sebesar 7,31% dan volumenya menjadi 89.935,6 ribu ton atau meningkat sebesar 21,96%. Pada tahun 2008 nilai impor meningkat menjadi 98.664,3 US$ dan volume impor meningkat menjadi 129.197,3 sedangkan pada tahun 2008 ke 2009 mengalami penurunan dari sisi nilai maupun volume impor, pada tahun 2009 nilai impor menurun menjadi 96.829,2 dan volume impor menurun menjadi 91.354,4. Dari tabel 4.1.2.2 (dilampirkan) tersebut dapat dilihat bahwa nilai impor barang konsumsi pada tahun 1992 sebesar 1.212,8 juta US $ dengan volume impor barang konsumsi sebesar 1.255,2 ribu ton.Nilai impor barang konsumsi pada tahun 1993 mengalami peningkatan menjadi sebesar 1.146,1 juta US $., tetapi volume impor barang konsumsi menurun menjadi sebesar 799,5 ribu ton.Pada tahun 1994 volume impor barang konsumsi mengalami peningkatan menjadi 1.899,8 ribu ton dengan nilai impor sebesar 1.430,2 juta US $ dan peningkatan ini berlanjut hingga tahun 1996. Pada tahun 1997 volume impor barang konsumsi mengalami penurunan yang cukup drastis, dimana pada tahun sebelumnya volume impor barang konsumsi sebesar 4.322 ribu ton turun menjadi 2.338,3 ribu ton dan nilai impor barang konsumsi yang pada tahun sebelumnya 2.805,9 juta US $ turun menjadi 2.166,3 juta US $. Penurunan pada nilai impor barang konsumsi ini terus terjadi hingga 1998 meskipun dilain pihak volume impor barang konsumsi meningkat menjadi 4.158,6 ribu ton. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan produksi yang negatif yang terjadi pada tahun 1997. Padi yang merupakan komponen 54 utama dalam sub sektor tanaman pangan mencatat pertumbuhan yang negatif sebesar 3,9% sebagai akibat dari musim kering dan menurunnya luas areal panen. Berlanjutnya musim kering hingga pertengahan tahun 1998 dikhawatirkan dapat mengganggu program swasembada beras. Guna mengantisipasi permintaan yang masih kuat serta berbagai upaya untuk cadangan pangan nasional maka pemerintah pun mengimpor beras dalam jumlah yang cukup tinggi. Pada tahun 1999 terjadi peningkatan, baik dari segi volume maupun nilainya. Nilai impor barang konsumsi pada tahun tersebut meningkat 28,72 % dengan nilai sebesar 2.468,3 juta US $ dengan peningkatan volume sebesar 76,13% dengan jumlah volume sebesar 7.324,5 ribu ton. Pada tahun 2000 terjadi penurunan pada volume barang konsumsi menjadi sebesar 5.241,2 ribu ton walaupun pada nilai impornya meningkat menjadi sebesar 2.718,7 juta US $. Pada tahun 2001 terjadi penurunan impor barang konsumsi baik dari segi nilai maupun dari segi volumenya. Pada tahun tersebut nilai impor barang konsumsi turun menjadi 2.251,2 juta US $ dengan jumlah volume menjadi sebesar 4.071,2 ribu ton. Pada tahun 2002 nilai impor barang konsumsi terjadi peningkatan sebesar 17,74% dengan nilai sebesar 2.650,5 juta US $ dan peningkatan volume sebesar 38,62% dengan jumlah volume sebesar 5.643,4 ribu ton. Pada tahun 2003 volume impor barang konsumsi mengalami penurunan menjadi 4.903,4 ribu ton walaupun dilain pihak nilai impor barang konsumsi tetap mengalami peningkatan sebesar 8,01% menjadi 2.862,8 juta US $. Sama halnya 55 tahun 2003, pada tahun 2004 terjadi penurunan pada volume impor barang konsumsi menjadi 4.749,9 ribu ton yang diikuti dengan peningkatan pada nilai impor barang konsumsi menjadi 3.786,5 juta US $. Tahun 2005 terjadi peningkatan baik dari volume impor barang konsumsi sebesar 5.562,1 ribu ton maupun pada nilai impor barang konsumsi menjadi 4.620,5 juta US $. Tahun 2006 terjadi penurunan pada volume impor barang konsumsi sebesar 15,38% dengan jumlah volume sebesar 4.706,6 ribu ton walaupun pada nilainya terjadi peningkatan sebesar 2,55% dengan nilai sebesar 4.738,2 juta US $. Pada tahun 2007 volume impor barang konsumsi meningkat menjadi 6.714,4 ribu ton begitu pula dengan nilai impor barang konsumsi menjadi sebesar 6.539,1 juta US $. Pada tahun 2008 impor konsumsi menjadi 8.303,7 juta US $, namun volumenya menurun menjadi 5368,1 ribu ton. Pada tahun 2009 sembilan impor konsumsi menurun menjadi 6.752,6 dengan volume seberat 4056,6 ribu ton. Meskipun peningkatan impor barang konsumsi terus terjadi namun tetap diharapkan kecenderungan untuk mengimpor barang konsumsi akan turun seperti yang mulai terlihat pada tahun 2008-2009, guna mengurangi ketergantungan impor serta melindungi industri dalam negeri sehingga sektor produksi dalam negeri dapat berkembang. Sementara itu impor bahan baku/penolong cenderung mengalami peningkatan baik dari segi nilai, volume maupun peranannya terhadap total impor. Pada tabel 4.2.2 jelas terlihat pada periode 1992 – 2009 impor bahan 56 baku/penolong merupakan bagian yang terbesar dibanding jenis-jenis impor lainnya yitu dengan rata-rata share impor sebesar 74,70%. Impor bahan baku terdiri atas makanan & minuman untuk industri, bahan baku untuk industri, bahan bakar & pelumas serta suku cadang & perlengkapan. Seperti yang terlihat pada tabel impor bahan baku/ penolong memiliki bagian yang terbesar dibanding jenisjenis impor lainnya walaupun dilain pihak laju pertumbuhannya itu sendiri cukup berfluktuasi bahkan pada tahun-tahun tertentu laju pertumbuhannya bernilai minus. Untuk barang modaal cukup berkontribusi terhadap impor dengan ratarata share impor sebesar 18,27%. Impor brang modl cukup berfluktutif di bandingkan bahan baku. Pada tahun 1992 volume impor sebsar 797,0 ribu ton dengn nilai sebsar 7.366,8 juta US $. Pada tahun 1993 volume impor mengalami penurunan , volume impor menjadi sebsar 723,3 ribu ton dengn nilai sebsar 7.146,9 juta US $. Dari tahun 1994-1997 baik nilai maupun volume impor bahan baku terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1998 mengalami penurunan, volume impor menjadi sebsar 646,9 ribu ton dengn nilai sebsar 5.807,5 juta US $. Pada tahun 1999 penurunan masih terjadi pada sisi nilai menjadi 3.060,0 juta US $, sedangkan pada sisi volume impor meningkat menjadi sebsar 740,9 ribu ton. Pada tahun 2000 volume impor meningkat menjadi 1.070,9 ribu ton dan nilai impor meningkat menjadi 4.777,4 juta US $. Pada tahun 2001 volume impor meningkat menjadi 1.250,5 ribu ton dan nilai impor meningkat menjadi 4.831,5 57 juta US $. Pada tahun 2002 mengalami penurunan, volume impor menjadi sebsar 1.108,5 ribu ton dengn nilai sebsar 4.410,9 juta US $. Pada tahun 2003 mengalami penurunan, volume impor menjadi sebsar 849,0 ribu ton dengn nilai sebsar 4.191,69 juta US $. Pada tahun 2004 volume impor meningkat menjadi 1.213,2 ribu ton dan nilai impor meningkat menjadi 6.533,8 juta US $. Pada tahun 2005 volume impor meningkat menjadi 1.519,5 ribu ton dan nilai impor meningkat menjadi 8.288,4 juta US $. Pada tahun 2006 volume impor meningkat menjadi 1.748,6 ribu ton dan nilai impor meningkat menjadi 9.155,9 juta US $. Pada tahun 2007 penurunan terjadi pada sisi volume impor bahan baku menjadi 1.480,2 ribu ton, sedangkan pada sisi nilai impor meningkat menjadi sebsar 11.449,6 US $. Pada tahun 2008 volume impor meningkat cukup signifikan menjadi 2.610,0 ribu ton dan nilai impor meningkat menjadi 21.400,9 juta US $. Pada tahun 2009 kembali penurunan terjadi pada sisi volume impor bahan baku menjadi 2.577,8 ribu ton, sedangkan pada sisi nilai impor penurunan menjadi sebsar 20.438,5 juta US $. 58 juga mengalami Tabel 4.1.2.3 Persentase Kontribusi Impor Golongan Bahan baku/ bahan Tahun penolong (%) 2000 8.11 77.63 2001 7.27 77.12 2002 8.47 77.43 2003 8.79 78.33 2004 8.14 77.82 2005 8.01 77.63 2006 7.76 77.25 2007 8.78 75.85 2008 6.43 77.01 2009 6.97 71.92 Rata-rata share 7,03 74,70 Sumber : Badan Pusat Statistik (data diolah) Barang konsumsi (%) Barang modal (%) 14.25 15.60 14.10 12.88 14.04 14.36 14.99 15.37 16.56 21.11 18,27 Dari tabel dia atas dapat kita lihat bahwa ipor bahan baku sangat dominan terhadap impor indonesia menurut golongan dengan share sebesar 74,70%, yang mana ini menunjukkan bahwa kegiatan produksi dalam negeri masih banyak bergantung dari luar nnegeri, di urutan berikutnya adalan impor barang modal dengan share sebsar 18,27%, sedangkan urutan berikutnya adalah impor barang konsumsi sebesar 7,03%, tren dari impor barang konsumsi cukup baik dengan melihat tren yang semakin menurun, namun walaupun demikian kita harus tetap menekan laju impor barang konsumsi untuk melindungi barang dalam negeri. 59 4.1.3 Perkembangan Inflasi, suku bunga dan nilai tukar Indonesia Tahun 1992 – 2007 Tabel 4.1.3 Perkembangan Inflasi, suku bunga dan nilai tukar Indonesia Tahun 1990 – 2007 Tahun Tingkat Inflasi (%) nilai tukar nilai tukar Suku Bunga Indonesia 2000 9.35 8421.78 11586.85 14.14 2001 12.55 10260.85 13018.44 17.6 2002 10.03 9311.19 10726.73 12.93 2003 5.06 8577.13 9480.99 8.31 2004 6.4 8938.85 9549.16 7.43 2005 17.11 9704.74 9704.74 12.75 2006 6.6 9159.32 8358.90 9.75 2007 6.59 9141 8070.09 8 2008 11.4 9698.96 8075.91 9.25 2009 2.8 Sumber : berbagai sumber 10389.94 8103.40 6.5 60 PERKEMBANGAN INFLASI, SUKU BUNGA DAN SUKU BUNGA RIIL INDONESIA 40 35 30 25 Suku Bunga Riil 20 Suku Bunga Indonesia 15 Tingkat Inflasi (%) 10 5 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Gambar 4.1 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR RIIL DAN NILAI TUKAR NOMINAL INDONESIA 25000 20000 15000 nilai tukar riil 10000 nilai tukar nominal 5000 0 Gambar 4.2 Dalam ekonomi, inflasi adalah meningkatnya harga- harga secara terus menerus. Tingkat inflasi diukur dengan perubahan dalam indeks harga konsumen. Di Indonesia inflasi yang timbul dikarena kenaikan biaya produksi. Kenaikan 61 biaya produksi akan menyebabkan produksi turun dan penawaran total (aggregate supply) berkurang yang pada akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga. Kenaikan biaya produksi dapat berasal dari kenaikan bahan baku industri, perjuangan serikat buruh yang berhasil menuntut kenaikan upah dan lain-lain. Kenaikan biaya produksi pada gilirannya akan menaikkan harga dan turunnya produksi. Inflasi di Indonesia sendiri juga mengalami fluktuasi. Inflasi tertinggi terjadi pada tahun 1998 karena pada masa itu perekonomian Indonesia sedang mengalami goncangan ekonomi dengan adanya krisis ekonomi. Inflasi tahun 1998 mencapai 77,63 %. Seiring dengan membaiknya kinerja ekonomi nasional, maka tingkat inflasi mulai turun dan pertumbuhan inflasi dapat dikendalikan Dari tabel 4.1.3.1 di atas dapat kita lihat bahwa setelah adanya krisis ekonomi tahun 1998, tingkat inflasi perlahan mulai menurun. Pada tahun 1999 pertumbuhan inflasi bahkan mencapai – 3762,19% dari 77,63% ke 2,01 %. Tingkat inflasi pada tahun- tahun selajtnya relative stabil. Hanya pada tahun 2005 inflasi kembali naik dari 6,4% ke 17,2% pada tahun 2005. Kenaikan inflasi ini dikarenakan naiknya harga minyak mentah dunia yang berdampak ke naiknya harga barang- barang secara umum. Pada tahun 2009, inflasi kembali turun dan bahkan inflasi pada tahun 2009 ini merupakan inflasi terendah selama 10 tahun terakhir. Inflasi pada tahun 2009 sebesar 2,8% atau turun -307,14% dari tahun sebelumnya. Inflasi ini dikarenakan adanya krisis finansial global yang 62 berdampak kepada perekonomian Indonesia yang menyebabkan permintaan dunia menurun. Ini mengakibatkan terjadi penurunan harga komoditas di pasaran internasional. Selain itu faktor lainnya karena pemerintah tidak membuat kebijakan yang menyebabkan pricing shock seperti menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) atau Bahan Bakar Minyak (BBM) sepanjang tahun 2009. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika setelah diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1998 telah membawa dampak dalam perkembangan perekonomian nasional baik dalam sektor moneter maupun sektor riil. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika menjadi sangat besar pada awal penerapan sistem tersebut. Hal ini membuat meningkatnya derajat ketidakpastian pada aktivitas bisnis dan ekonomi di Indonesia. Banyak faktor baik yang bersifat non ekonomi maupun ekonomi, yang dituduh menjadi penyebab dari bergejolaknya nilai tukar tersebut. Faktor non ekonomi lebih sering dianggap sebagai penyebab gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar. Untuk membuktikan, bahkan mengukur seberapa besar pengaruh non ekonomi tersebut akan sangat sulit dilakukan. Keadaan tersebut berbeda dengan keberadaan faktor ekonomi, yang antara lain seperti inflasi, tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, pendapatan nasional, dan posisi neraca pembayaran internasional, yang umumnya relatif dapat lebih terukur. Tahun 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar US meningkat menjadi Rp 10.260,85 per US $. Pningkatanl ini terjadi akibat peningkatan suku bunga AS 63 dan penguatan mata uang $ US terhadap berbagai mata uang dunia. Tahun 2002 – 2003 nilai rupiah kembali menguat masing-masing sebesar 9,6% menjadi Rp 9.311,19 per US $ tahun 2002 dan 7,88% menjadi Rp 8.577,13 per US $ tahun 2003. Tahun 2004 dan 2005 nilai rupiah kembali melemah menjadi Rp 8938,85 per US $ tahun 2004 dan Rp 9704,74 per $ US pada tahun 2005. Tahun 2006 nilai rupiah menguat sebesar 5,62% yaitu 9.159,32 per US $ dan tahun 2007 nilai rupiah kembali menguat menjadi Rp 9.141,00 per $ US. Pada tahun 2008 nilai rupiah kembali melemah menjadi Rp9.898,96 per US $ dan pada tahun 2009 Rp 10.389,94 per US $. Secara umum perkembangan suku bunga SBI, sebelumnya dipengaruhi oleh inflasi di Indonesia. Apabila inflasi naik maka maka pemerintah menaikan suku bunga SBI karena secara otomatis akan mempengaruhi jumlah uang beredar. Pada tahun 2000, suku bunga SBI mencapai 14,14%. Pada perkembangan selanjutnya, suku bunga SBI pada tahun 2001 meningkat menjadi 17,6% dikarenakan adanya peningkatan inflasi. Setelah itu suku bunag SBI relative mengalami penurunan walaupun terjadi peningkatan pada tahun 2005 dan 2008. 4.2 Hasil dan pembahasan Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan amos 18, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor di Indonesia, baik 64 analisis terhadap total impor maupun terhadap impor golongan, maka dapat dipaparkan sebagai berikut : 4.2.1 Hasil dan Analisis Pembahasan Terhadap Impor Di Indonesia Pada table 4.2.1 merupakan hasil analisis regresi untuk analisa terhadap impor Indonesia (total impor, impor bahan baku danpenolong dan impor barang modal)dengan menggunakan amos18. 65 HASIL ANALISIS REGRESI -690,149 - IMPOR INDONESIA (Y4) -13,082+ NILAI TUKAR (Y1) 62,787 INFLASI (X1) -3,512 0,060 270,312 -25068,895 -3,437 -101,358 PDB INDONESIA (Y2) -10576,942 -1,656 -47,534,401 + 0,063 -2,854,349 SUKU BUNGA (X2) IMPOR BAHAN BAKU DAN PENOLONG (Y5) PDB SEKTOR INDUSTRI (Y3) -19330,637 0,004 -396,102 -179,826 Gambar 4.3 66 IMPOR BARANG MODAL (Y6) Table 4.2.1 HASIL ANALISIS REGRESI variabel independen inflasi (X1) Variabel dependen Nilai Tukar (Y1) Estimasi S.E C.R P 62,787 27,557 2,278 0,023 PDB (Y2) -25068,895 3,024,467 -8.289 0,000 PDB industri (Y3) -10576,942 2,513,757 -4,208 0,000 -13,082 219,390 -0,060 0,952 270,312 356,816 0,758 0,449 -179,826 75,362 -2,386 0,017 -101,358 50,235 -2,018 0,044 PDB (Y2) -47,534,401 5,513,463 -8,622 0,000 PDB industr (Y3) Nilai total impor (Y4) Impor bahan baku (Y5) Impor barang modal (Y6) -19330,637 -690,149 4,582,462 409,734 -4,218 -1,684 0,000 0,092 -2,854,349 469,316 -6,082 0,000 -396,102 137,352 -2,884 0,004 impor -3,512 0,835 -4,206 0,000 Impor bahan baku (Y5) Impor barang modal (Y6) Total PDB (Y2) Nilai total impor (Y4) PDB sektor industri Impor bahan baku (Y3) (Y5) Impor barang modal (Y6) -3,437 2,058 -1,670 0.095 -1,656 0,434 -3,817 0,000 0,060 0,008 7,827 0,000 0,063 0,018 3,577 0,000 0,004 0,004 1,097 0,273 Nilai total impor (Y4) Impor bahan baku (Y5) Impor barang modal (Y6) suku bunga (X2) nilai tukar (Y1) Nilai Tukar (Y1) Nilai (Y4) total 67 Tabel 4.2.2 Total dari direct dan indirect hubungan variabel independen terhadap impor indonesia (total impor (Y4), impor bahan baku dan penolong (Y5) dan impor barang penolong (Y6)) No. 1 2 3 4 5 Arah Pengaruh Antar Variabel/Hipotesis Penelitian Hipotesis 1 a)x1→Y4 Melalui y1 Melalui Y2 b)X1→ Y1 X1→ Y2 Hipotesis 2 a)x2→ Y4 Melalui Y1 Melalui Y2 b)x2→ Y1 x2→ Y2 Hipotesis 3 a)x1→Y5 Melalui Y1 Melalui Y3 b)x1→Y1 x1→Y3 Hipotesis 4 a)x2→ Y5 Melalui Y1 Melalui Y3 b)x2→ Y1 x2→ Y3 Hipotesis 5 a)x1→Y6 Melalui Y1 Melalui Y3 b)x1→ Y1 X1→ Y3 Simbol Koefisien Estimasi Untuk Pengaruh Variabel Langsung Tidak langsung -13.082 Total pengaruh -1737.723 -220.50794* -1504.1337* 62.787* -25068.895* -690.149 2517.884 355.969 2852.064 -101.358 -47534.401 270.312 -611.834 -215.7989* -666.34735* 62.787* -10576.942* -2854.349* 285238.927* 289311.106* -1217.8301* -101.358 -19330.637 -179.826* -326.109 -103.975 -42.3078 62.787 -10576.942 68 6 Hipotesis 6 a)x2→ Y6 -396,102* Melalui Y1 -158.62527* Melalui Y3 -77.323 b)x2→ Y1 -101,358 x2→ Y3 -19330,637 Sumber : olah data amos(signifikan 5% dan 10%) -623.050 Berikut ini adalah pembahasan dari hasil di atas Pengaruh inflasi (X1) terhadap : 1. Nilai Tukar (Y1) Besarnya pengaruh langsung inflasi atau X1 terhadap nilai tukar atau Y1 adalah sebesar 62.787 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan inlasi sebesar 1%, maka nilai tikar riil meningkat sebesar Rp 62.787 per US $. Tingkat probabilitas sebesar 0.023, yang berarti inflasi berpengaruh nyata terhadap nilai tukar. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang tidak sesuai dengan hipotesis yang mana hubungan inflasi dan nilai tukar adalah negatif dan signifikan. Kondisi ini disebabkan oleh kenaikan tingkat inflasi akan menyebabkan harga barang dalam negeri akan lebih mahal dengan asumsi citeris paribus, maka orang akan lebih memilih membeli barang dari luar negeri sehingga mendorong apresiasi Dollar terhadap Rupiah. 69 2. Produk Domestik Bruto (Y2) Besarnya pengaruh langsung inflasi atau X1 terhadap Produk Domestik Bruto atau Y2 adalah sebesar -25068.895 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan inlasi sebesar 1%, maka Produk Domestik Bruto menurun sebesar Rp 25.068,895 M. Dengan tingkat probabilitas 0,000. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis yaitu inflasi berpengaruh negatif terhadap PDB riil dan signifikan. Hal ini disebabkan karena kenaikan inflasi akan menyebabkan kemampuan daya beli masyarakat menurun. 3. Produk Domestik Bruto sector Industri (Y3) Besarnya pengaruh langsung inflasi atau X1 terhadap Produk Domestik Bruto riil sektor industri atau Y3 adalah sebesar -10576.942 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan inlfasi sebesar 1%, maka Produk Domestik Bruto riil sectir industri menurun sebesar Rp 10576,94 milliar . Probabilitasnya yaitu 0,000 Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan. Hal ini disebabkan karena dengan kenaikan inflasi akan membuat daya beli masyarakat menurun sehingga produsen akan melakukan adjustment dengan pengurangan produksi. 4. Total Impor (Y4) Besarnya pengaruh langsung dari inflasi atau X1 terhadap impor atau Y4 adalah sebesar -13.082 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan inlasi 70 sebesar 1%, maka impor sebesar 13,082 juta US $, dengan probabilitas 0.952. Hasil penelitian ini seharusnya menunjukkan hubungan fungsional yang tidak sesuai dengan hipotesis bahwa inflasi berpengaruh positif secara langsung terhadap impor dan signifikan. Namun dalam analisis ini menunjukkan bahwa untuk jangka panjang inflasi tidak signifikan mempengaruhi impor kita. Ini disebabkan karena walaupun inflasi bergerak di dalm negeri, tidak akan mempengaruhi impor sebab Impor kita lebih di dominasi oleh impor barang modal dan bahan baku untuk sektor industry. 5. Impor bahan baku dan penolong (Y5) Besarnya pengaruh langsung dari inflasi atau X1 terhadap impor bahan baku atau Y5 adalah sebesar 270.312 peningkatan yang berarti bahwa ketika terjadi inlfasi sebesar 1%, maka impor bahan baku dan penolong meningkat sebesar 270.312 juta US $. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang tidak sesuai dengan hipotesis dan tidak signifikan dengan probabilitas sebesar 0,449. Temuan empirik yang menunjukkan bahwa inflasi dalam negeri tidak berpengaruh terhadap impor Indonesia dari luar negeri karena sebagian masih memiliki kadungan ekspor yang berasal dari Indonesia sendiri. Selain itu, impor dari luar negeri sebagian besar adalah bahan penyangga konsumsi dan faktor produksi yang industry dalam negeri tidak mampu menyediakan 71 barang- barang tersebut. Sehingga pada saat inflasi rendah permintaan impor dari luar negeri masih cukup tinggi. 6. Impor barang modal (Y6) Besarnya pengaruh langsung dari inflasi atau X1 terhadap impor barang modal atau Y6 adalah sebesar -179.826 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan inlfasi sebesar 1%, maka impor barang modal menurun sebesar 179.826 juta US $. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang tidak sesuai dengan hipotesis dan signifikan pada 0,017. Hal Ini disebabkan karena kenaikan inflasi, maka pemerintah akan lebih memilih untuk mengimpor barang penyangga konsumsi untuk melakukan adjustmen terhadap harga dalam negeri, dibandingkan untuk membeli barang modal. Pengaruh Suku Bunga (X2) Terhadap : 1. Nilai Tukar (Y1) Besarnya pengaruh langsung suku bunga atau X2 terhadap nilai tukar atau Y1 adalah sebesar -101.358 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan suku bunga sebesar 1%, maka nilai tikar riil menurun sebesar Rp 101,36 per US$. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan. Kondisi ini dikarenakan ketika terjadi kenaikan suku bunga di Indonesia maka capital inflow kita semakin besar sehingga permintaan terhadap Rupiah naik, yang kemudian akan mendorong Rupiah terapresiaai tehadap Dollar(US$). 72 2. Produk Domestik Bruto (Y2) Besarnya pengaruh langsung suku bunga atau X2 terhadap Produk Domestik Bruto riil atau Y2 adalah sebesar -47534.401 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan suku bunga sebesar 1%, maka Produk Domestik Bruto menurun sebesar Rp 47.534,4 Milliar. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan dengan tingkat probabilitas 0,000. Ini dikarenakan ketika suku bunga meningkat maka akan membuat masyarakat melihat opportunity costnya, dengan menabung uangnya di bank, masyarakat akan mendapatkan return yang lebih besar tanpa harus menanggung resiko, dibandingkan harus berinvestasi yang memiliki resiko. 3. Produk Domestik Bruto sector Industri (Y3) Besarnya pengaruh langsung suku bunga atau X2 terhadap Produk Domestik Bruto riil sektor industri atau Y3 adalah sebesar -19330.637 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan suku bunga sebesar 1%, maka Produk Domestik Bruto riil sektor industri menurun sebesar Rp 19330,637 M. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan dengan probabilitas sebesar 0,000. Hal ini dikarenakan ketika suku bunga meningkat maka akan membuat masyarakat melihat opportunity costnya, dengan menabung uangnya di bank, masyarakat akan mendapatkan return yang lebih besar tanpa harus menanggung resiko, dibandingkan harus berinvestasi yang memiliki resiko. 73 4. Total Impor (Y4) Besarnya pengaruh langsung dari suku bunga atau X2 terhadap impor atau Y4 adalah sebesar -690.149 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan suku bunga sebesar 1%, maka impor menurun sebesar 690,149 juta US $ . Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan pada tingkat probabilitas0,092. Hal ini dapat disebabkan dalam dua kondisi. Pertama, dengan kenaikan suku bunga maka importir akan cenderung menyimpan uangnya di bank dibandingkan harus mengimpor. Kedua, importir tidak dapat meminjam uang dari bank karena kenaikan suku bunga sehingga menunda keinginannya untuk mengimpor. 5. Impor bahan baku dan penolong (Y5) Besarnya pengaruh langsung dari suku bunga atau X2 terhadap impor bahan baku atau Y5 adalah sebesar -2854.349 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan suku bunga sebesar 1%, maka impor bahan baku dan penolong menurun sebesar 2854,349 juta US $. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan dengan probabilitas sebesar 0,000. 6. Impor barang modal (Y6) Besarnya pengaruh langsung dari suku bunga atau X2 terhadap impor barang modal atau Y6 adalah sebesar -396.102 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan suku bunga sebesar 1%, maka impor barang modal menurun 74 sebesar 396.102 juta US $. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang tidak sesuai dengan hipotesis dan signifikan dengan probabilitas sebesar 0,004. Kondisi yang terjadi pada impor barang modal dan bahan baku dan penolong, sama pada kondisi nalisis pada total impor yaitu : . Pertama, dengan kenaikan suku bunga maka importir akan cenderung menyimpan uangnya di bank dibandingkan harus mengimpor. Kedua, importir tidak dapat meminjam uang dari bank karena kenaikan suku bunga sehingga menunda keinginannya untuk mengimpor. Pengaruh Nilai tukar (Y1) terhadap : 1. total Impor Indonesia (Y4) Besarnya pengaruh langsung dari nilai tukar atau Y1 terhadap impor atau Y4 adalah sebesar -3.512 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan nilai tukar sebesar Rp 1/US$, maka impor menurun sebesar 3,512 juta US $ . Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan. Hal ini sesuai hipotesa bahwa kurs dan impor memiliki hubungan yang berbalikan (Nopirin, 1997). Semakin tinggi nilai kurs (nilai mata uang sendiri turun relatif terhadap valuta asing) maka menyebabkan harga produk ekspor menjadi semakin murah di mata buyer luar negeri (importir). Dari sisi eksportir, naiknya nilai kurs (nilai 75 mata sendiri turun relatif terhadap valuta asing) akan meningkatkan produksi akibat keuntungan yang semakin meningkat karena rupiah yang diperoleh lebih besar sehingga mendorong peningkatan ekspor. Intinya depresiasi menyebabkan ekspor naik dan impor akan turun dan sebaliknya. 2. Impor bahan baku dan penolong (Y5) Besarnya pengaruh langsung dari nilai tukar atau Y1 terhadap impor bahan baku dan penolong atau Y5 adalah sebesar -3.437 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan nilai tukar sebesar Rp 1, maka impor menurun sebesar 3,437 juta US $ . Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan dengan probabilitas sebesar 0,095. 3. Impor barang modal (Y6) Besarnya pengaruh langsung dari nilai tukar atau Y1 terhadap impor barang modal atau Y6 adalah sebesar -1.656 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan nilai tukar sebesar Rp 1, maka impor menurun sebesar 1,656 juta US $ . Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan dengan probabilitas sebesar 0,000. Kondis yang terjadi pada pengaruh nilai tukar terhadap bahan baku dan penolong serta barang modal disebabkan kerana ketika terjadi apresiasi nilai tukar maka akan menyebabkan penurunan impor sebab harga barang-barang yang akan di impor menjadi lebih mahal. 76 Pengaruh Produk Domestik Bruto (Y2) terhadap total Impor (Y4) yaitu : Besarnya pengaruh langsung dari PDB riil atau Y2 terhadap impor atau Y4 adalah sebesar 0.060 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan PDB riil sebesar Rp 1 milliar, maka impor meningkat sebesar 0.060 juta US$ atau 60.000 US $ . Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan. Pengaruh Produk Domestik Bruto sector Industri (Y3) terhadap : 1. Impor bahan baku dan penolong (Y3) Besarnya pengaruh langsung dari PDB riil sektor industri atau Y3 terhadap impor bahan baku dan penolong atau Y5 adalah sebesar 0.063 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan PDB RIIL sebesar Rp 1 milliar, maka impor meningkat sebesar 63.000 US $ . Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis dan signifikan dengan probabilitas sebesar 0,000. 2. Impor barang modal (Y3) Besarnya pengaruh langsung dari PDB riil sektor industri atau Y3 terhadap impor barang modal atau Y6 adalah sebesar 0.004 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan PDB riil sebesar Rp 1 milliar, maka impor meningkat sebesar 4.000 US $ . Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan fungsional yang sesuai dengan hipotesis tetapi tidak signifikan dengan probabilitas 77 sebesar 0,973.. Walaupun Produk Domestik Bruto sektor industri memiliki pengaruh terhadap peningkatan impor barang modal namun belum cukup besar pengaruhnya terhadap impor barang modal. Kondis yang terjadi pada pengaruh PDB riil sektor industri terhadap bahan baku dan penolong serta barang modal disebabkan karena ketika terjadi ketika PDB sektor Industri meningkat maka untuk menunjangg peningkatan industry tersebut para produsen harus mengimpor barang sebab barang yang kita impor adalah barang-barang yang digunakan sebagai barang penyangga industry baik industry makanan, tekstil, otomotif, minyak,kendaraan-kendaraan berat,dll. Total dari hasil analisis langsung dan tidak langsung, hubungan antara suku bunga terhadap total impor dan impor bahan baku dan penolong adalah signifikan. Hal ini terjadi karena ketika suku bunga naik maka para importir tidak akan melakukan invetasi tetapi akan menyimpan uangnya di bank atau akan menunda pinjaman ke bank karena bunga yang tinggi untuk melakukan impor, begitupun sebaliknya ketika suku bunga turun maka importir akan mengalokasikan uangnya untuk melakukan impor karena dengan suku bunga yang rendah maka ketika menyimpan uang di bank maka return yang diterima tidak begitu besar dibandingkan harus mengimpor atau dengan suku bunga yang turun maka return dari pinjaman yang dilakukan importr tidak begitu besar. Sedangkan total hasil analisis langsung dan tidak langsung hubungan antara suku bunga terhadap impor barang modal adalah tidak signifikan sebab 78 walaupun suku bunga terapresiasi ataupun depresiasi impor barang modal dilakukan sesuai dengan kebutuhan dalam negeri sebab impor barang modal mencakup alat-alat berat,kendaraan seperti BUS,dll. Total dari hasil analisis langsung dan tidak langsung, hubungan antara inflasi terhada total impor, impor bahan baku dan penolong serta im[or barang midal adalah tidak signifikan sebab barang yang kita impor adalah barang penyangga sector industri yang sangat di butuhkan untuk proses industri dalam negeri. 79