BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Melihat keadaan dunia sekarang ini, di mana peradaban manusia sudah sangat maju dan adanya kemajuan teknologi yang sangat canggih, seringkali disebutkan bahwa kita sekarang ini sedang hidup di jaman modern. Jaman di mana semua hal serba modern, efisien, dan up to date. Jika dilihat lebih jauh ke belakang, dunia saat ini merupakan hasil dari adanya berbagai macam proses perubahan, yang salah satunya adalah modernisasi. Modernisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu proses yang terjadi dalam masyarakat, mengubah masyarakat yang dahulu bersifat tradisional, terbelakang, menjadi sebuah masyarakat yang lebih maju dan bersifat modern. Masyarakat modern adalah masyarakat yang lebih kuat secara finansial, power, dan memiliki kebebasan untuk menikmati standar hidup yang lebih nyaman. Diyakini bahwa dengan seiring berjalannya waktu, modernisasi merupakan suatu hal yang pasti terjadi dan sulit untuk ditolak. Bahwa semua negara yang mengalami perkembangan dan mulai membangun industrinya, mau tidak mau akan merangkul modernisasi masuk ke dalam masyarakatnya. Dengan adanya modernisasi ini, sejumlah nilai – nilai dan norma sosial yang ada di dalam suatu masyarakat akan mulai bergeser, masyarakat akan lebih menjadi menghormati dan menghargai kebebasan suatu individu, dan mulai melihat berbagai hal dari berbagai sudut pandang, sehingga banyak tersedia alternatif pilihan dalam hidup mereka. Dalam menyangkut efek perubahannya pada masyarakat, modernisasi terutama sangat menjunjung tinggi kebebasan hak suatu individu, sehingga sistem – sistem tradisi yang dianggap mengekang kebebasan hak suatu individu akan dianggap kuno, dan para pemuda lebih mendambakan kehidupan yang lebih bebas tersebut. Selain mempengaruhi tatanan sosial dalam masyarakat, modernisasi juga sangat berpengaruh pada perubahan perkembangan politik, ekonomi, dan kebijakan yang dimiliki suatu pemerintahan. Dalam sejarah, pengaruh modernisasi lebih banyak dibawa oleh negara – negara barat kepada negara – negara di bagian timur. Hal ini disebabkan industrialisasi lebih dulu terjadi di Eropa, terutama di negara Inggris. Ada beberapa negara timur yang mempunyai sejarah modernisasi yang sangat signifikan, di antaranya adalah 1 2 Tiongkok, Jepang, dan negara – negara di wilayah Asia Tenggara. Di dalam skripsi ini, penulis akan membahas lebih lanjut mengenai pengaruh modernisasi yang terjadi di negara Jepang. Jepang merupakan negara dengan efek modernisasi paling unik yang ada di dunia. Jika sebagian besar negara yang mengalami modernisasi akan menelan bulat – bulat pengaruh modern dan dunia barat yang masuk, kemudian kehilangan nilai – nilai tradisionalnya, hal demikian tidak terjadi pada Jepang. Jepang berhasil membuat modernisasi dan nilai – nilai budaya negara mereka berjalan secara berdampingan dan harmonis. Hal ini berarti, meskipun masyarakat Jepang sangat modern dari berbagai sisi, mereka masih tetap memegang nilai – nilai tradisional yang ada dalam budaya mereka, tidak semua budaya tradisional mereka seratus persen tergantikan dengan budaya yang lebih modern. Menurut sejarah, Jepang mengalami sedikitnya tiga gelombang besar modernisasi yang masuk ke dalam negara mereka. Pertama adalah orientalisasi oleh Tiongkok, eropanisasi oleh negara eropa barat, dan amerikanisasi oleh Amerika Serikat. Saat ini, pengaruh modernisasi yang diakibatkan oleh negara Amerika Serikat lebih banyak terlihat dalam masyarakat Jepang sehari – hari. Jepang kini merupakan salah satu negara anggota perkumpulan elit ekonomi dunia G-7 dan merupakan negara dengan kekuatan ekonomi nomor tiga terbesar saat ini di dunia, setelah Amerika Serikat dan China. Untuk menjadi negara maju dengan kekuatan ekonomi besar seperti sekarang ini, Jepang menjalani hal yang tidak mudah. Dimulai dengan berusaha bangkit dari keterpurukan setelah kalah dalam Perang Dunia Kedua, Jepang mulai mengejar ketertinggalannya dibantu oleh hubungan khusus yang dijalin dengan Amerika Serikat. Oleh karena adanya hubungan khusus ini, Jepang dibantu dan diberikan dukungan oleh pihak Amerika Serikat, sehingga Jepang saat itu sangat terpengaruh oleh modernisasi yang datang dari negara Amerika Serikat tersebut, dan akhirnya dapat merevitalisasi pembangunan negaranya. Hal ini dibuktikan selama periode 1950 -1973, Jepang bukan hanya berhasil mencapai kembali pertumbuhan pendapatan negaranya ke angka sebelum masa keikutsertaannya dalam Perang Dunia Kedua, tetapi Jepang juga berhasil menjaga rata-rata pertumbuhan ekonominya tetap stabil di kisaran angka lebih dari 10% selama periode tersebut. Angka tersebut hampir tiga kali lebih tinggi daripada angka pertumbuhan ekonomi rata-rata negara Amerika Serikat di periode waktu yang sama (Pyle, 1996). Oleh karena kisaran angka pertumbuhan 3 ekonomi yang tinggi tersebut pula, periode 1950 – 1973 sering juga disebut sebagai periode pertumbuhan tertinggi negara Jepang. Selama periode pertumbuhan ekonomi yang tinggi inilah, arus modernisasi semakin masif melanda Jepang dan bidang teknologi berkembang dengan sangat pesat. Kedua hal tersebut membawa pengaruh yang sangat penting pada kondisi masyarakat, karena dengan semakin berkembangnya teknologi, media pun semakin berkembang, dan memungkinkan masyarakat Jepang untuk lebih banyak menerima berita dari luar negeri, serta perkembangan dunia terkini. Acuan pada negara – negara Barat yang selama ini dianggap lebih maju juga ikut sedikit demi sedikit mengikis dan mengubah tatanan norma sosial dan budaya tradisional yang selama ini sudah mengakar di dalam masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang, khususnya para pemuda – pemudi menjadi mendambakan kebebasan yang selama ini sudah menjadi budaya di negara Barat. Dengan kebebasan yang semakin luas tersebut, para pemuda – pemudi ini dapat lebih mengekspresikan diri mereka, baik secara pribadi, maupun di peranan dalam masyarakat. Contohnya, para pemuda kini menjadi lebih terbuka terhadap suatu hal yang baru, yang biasanya tidak lazim terjadi di dalam kehidupan masyarakat mereka. Para pemuda lalu mulai tertarik mencoba hal – hal baru tersebut dan lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan dan norma sosial baru yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat kini juga menjadi lebih konsumtif, terutama adanya pengaruh fashion dan gaya hidup baru yang kini mereka adopsi dari negara – negara barat. Tetapi, modernisasi tidak hanya mengakibatkan terjadinya perubahan pada sistem sosial di dalam masyarakat, kebijakan pemerintah pun ikut berubah mengikuti jaman, dan semakin mendukung adanya kesetaraan akses akan kebijakan pemerintah ini di tingkat masyarakat. Salah satu kebijakan yang paling banyak berkembang adalah sistem pendidikan. Semenjak masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini, sistem pendidikan di Jepang mengalami perkembangan yang intensif dan menjadi salah satu fokus utama pemerintah untuk digunakan merevitalisasi kembali dasar pembangunan bangsa dan negara Jepang semasa setelah perang. Diikuti oleh karena adanya persamaan hak yang merata bagi seluruh masyarakat Jepang untuk memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya yang diberikan pemerintah pada periode itu, melalui sarana pendidikan ini pulalah para masyarakat kelas menengah Jepang menggantungkan nasibnya agar bisa mencapai taraf hidup yang lebih baik. Dengan memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, 4 para pemuda Jepang dapat mendapatkan posisi pekerjaan yang bagus dengan gaji pendapatan yang tinggi, selain mereka dan keluarganya juga mendapatkan status sosial yang terpandang di kalangan masyarakat. Adanya persamaan hak kepada semua masyarakat untuk dapat mengakses pendidikan tersebut, termasuk juga kepada para wanita, mengakibatkan para wanita Jepang dapat dengan bebas bersekolah sampai jenjang tertinggi. Ditambah dengan semakin setaranya persamaan derajat antara pria dan wanita, menyebabkan para wanita juga mulai semakin banyak yang bekerja, untuk mengejar karir dan ikut andil menyokong perekonomian keluarga. Di sisi lain, ternyata hal semakin tingginya tingkat pendidikan yang dapat diperoleh para wanita Jepang ini memunculkan fenomena sosial baru yang saat ini berkembang di Jepang. Fenomena sosial tersebut adalah maraknya penundaan pernikahan yang dilakukan oleh para wanita Jepang. Hal ini disebabkan antara lain oleh perubahan sikap perilaku dan pandangan masyarakat, khususnya wanita, terhadap institusi pernikahan. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan seorang wanita Jepang, mereka semakin dapat merencanakan masa depannya secara matang. Ada beberapa alasan yang akhirnya menyebabkan para wanita ini menunda keputusan mereka untuk menikah. Yang pertama adalah, berbekal tingkat pendidikan yang tinggi dan skill yang mencukupi, para wanita Jepang kini sanggup untuk meniti karir dan memperoleh pendapatan yang tidak sedikit, dengan memperhitungkan juga bahwa wanita ini masih belum menikah dan tinggal di rumah kedua orang tuanya. Para wanita kini dapat hidup lebih mandiri dan mengejar standar kehidupan yang tinggi, seperti misalnya membeli barang-barang tersier dan menjalani gaya hidup yang mewah. Menyadari bahwa semua kenyamanan, kebebasan, dan gaya hidup tersebut dapat berkurang atau bahkan hilang sama sekali, ketika mereka memutuskan untuk menjalani kehidupan pernikahan, maka pada akhirnya banyak dari para wanita ini menunda keputusan mereka untuk menikah dan ingin terlebih dulu menjalani kehidupan single mereka. Selain alasan tersebut di atas, penyebab lainnya adalah, para wanita ini menyadari bahwa biaya hidup di Jepang, khususnya di daerah perkotaan, sangat tinggi, dan akan terus meningkat, terutama harga tanah dan biaya pendidikan. Hal ini dibuktikan dari sebuah survey tahun 2009 yang menyebutkan, bahwa dua dari kota besar di Jepang, yaitu Tokyo dan Osaka, masuk dalam daftar peringkat lima besar kota dunia yang memiliki biaya hidup paling tinggi di dunia, masing – masing kota 5 menempati urutan pertama dan kedua (Forbes, 2009). Menghadapi fakta tersebut dengan penghasilan rata-rata para pemuda-pemudi Jepang, yang sebagian besar adalah karyawan perusahaan biasa, para wanita ini menganggap bahwa penghasilan mereka (suami mereka) nanti jika menikah, belum mencukupi standar hidup yang ideal untuk dapat berkeluarga. Standar hidup yang ideal di sini terutama adalah mampu mencukupi biaya kehidupan berkeluarga sehari-hari nanti di tengah kehidupan perkotaan yang semuanya serba mahal dan biaya pendidikan sang calon anak kelak yang relatif tinggi. Terlepas dari semua alasan para wanita Jepang tersebut untuk menunda keputusan mereka untuk menikah, para wanita ini sebenarnya tetap berkeinginan untuk menikah jika mereka sudah menemukan pasangan hidup yang tepat (Tachibanaki, 2010). Yang disebut pasangan hidup yang tepat di sini adalah pria yang mempunyai kecocokan dengan mereka, baik dalam hal hubungan emosional maupun dalam hal keadaan finansial yang stabil untuk berkeluarga nantinya. Di lain pihak, celakanya, kini pada setiap tahunnya rata-rata para pria Jepang yang dianggap oleh para wanita Jepang tidak memenuhi kriteria mereka sebagai pasangan yang tepat untuk dinikahi dan membangun sebuah keluarga bersama-sama mengalami peningkatan. Sama seperti penyebab para wanita menunda keputusannya untuk menikah, ada beberapa alasan yang menjadi penyebab mereka menganggap rata-rata para pria Jepang kini tidak memenuhi kriteria mereka untuk dinikahi. Salah satu alasannya adalah, para pria Jepang, seperti pada halnya dari jaman dahulu, sekarang pun mereka pada umumnya tetap menginginkan pendamping wanita yang menjalankan perannya dengan penuh sebagai ibu rumah tangga, yang menjaga dan mengatur masalah anak dan rumah tangga dengan baik. Padahal, dewasa kini, para wanita tidak sebatas lagi menginginkan hanya berada di rumah dan mengurus rumah tangga, melainkan juga menginginkan kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya secara penuh dengan mengambil peranan di dalam masyarakat. Mereka tetap ingin mandiri dalam menjalankan karirnya dan berbagi peran yang seimbang dengan suami dalam mengatur masalah rumah tangga. Alasan yang lainnya adalah, gaji para pemuda Jepang yang relatif rendah, sebagai dampak dari diberlakukannya sistem gaji berdasarkan senioritas yang diterapkan sebagian besar perusahaan Jepang (Tachibanaki, 2010). Oleh karena gaji yang relatif rendah ini, sedangkan gaji / pendapatan merupakan salah satu faktor vital bagi para wanita untuk menentukan pria pilihan mereka (Tachibanaki, 2010), 6 ditambah dengan adanya tekanan sosial untuk memilih salah satu saja antara mengurus rumah tangga setelah menikah atau tetap melanjutkan pendidikan atau karir, maka para wanita Jepang cenderung tidak tertarik untuk menikah dan membangun rumah tangga dengan para tipikal pemuda pekerja tersebut. Mereka lebih memilih mengaktualisasikan dirinya lewat mengejar pendidikan tinggi, membangun karir mereka sendiri, dan menikmati hidup. Para wanita Jepang saat ini sudah sampai pada titik menyadari bahwa tujuan hidup mereka bukan lagi hanya untuk menikah, tetapi ada tujuan hidup yang lain yang bisa mereka pilih untuk dijalani, dan pada akhirnya semakin menunda keputusan untuk segera menikah. Keadaan para wanita Jepang yang semakin menunda pernikahan mereka tersebut, ditambah dengan berbagai alasan di belakangnya inipun akhirnya mengakibatkan para pria Jepang kini kesulitan untuk menemukan pasangan menikah mereka di antara para wanita Jepang sekarang ini. Ditambah dengan adanya suatu situasi yang disebut dengan marriage squeeze, yaitu suatu keadaan di mana jumlah populasi suatu jender lebih banyak daripada jumlah populasi lawan jendernya. Dalam hal ini, di Jepang, pada sekitar tahun 1970, jumlah populasi pria Jepang lebih banyak daripada jumlah populasi wanita Jepang, dan membuat pria Jepang, secara jumlah, kesulitan menemukan pasangan (Kreiner, 2004). Namun, perubahan dan kesempatan yang lebih luas dalam mencari pasangan dan menjalani tujuan hidup baru tidak terbuka hanya pada wanita Jepang saja, hal serupa pun terjadi pada para pria Jepang. Dengan kini Kokusai Kekkon yang semakin dapat diterima oleh masyarakat, pria Jepang kini tidak hanya dapat memilih pasangan wanita Jepang, tetapi juga dapat memilih pasangan wanita dari luar Jepang, terutama dari negara – negara tetangga di Asia. Ditambah dengan adanya peristiwa penundaan pernikahan oleh para wanita Jepang, dan adanya faktor marriage squeeze, kemudian mengarahkan pada munculnya fenomena sosial baru yang lain, yaitu semakin meningkatnya pernikahan internasional (国際結婚・Kokusai Kekkon) yang terjadi di dalam masyarakat Jepang, terutama pada pihak suami dari Jepang dengan istri dari asing/ luar negeri. Seperti yang dapat dikutip dalam jurnal International Marriage in Japan: An Exploration of Intimacy, Family, And Parenthood (Yamamoto, 2010), pada tahun 2009, dari jumlah Kokusai Kekkon yang terdaftar, 78% di antaranya merupakan antara pria Jepang dengan wanita asing. Kokusai Kekkon yang paling banyak dilakukan oleh para pria Jepang adalah dengan pasangan wanita asal Asia, terutama dengan wanita Korea Selatan, China, dan wilayah Asia 7 Tenggara. Jika sebelumnya telah dilihat bahwa adanya perubahan perilaku dan pandangan akan pernikahan pada sisi wanita Jepang dan adanya faktor eksternal, seperti marriage squeeze lebih banyak mendominasi latar belakang faktor terjadinya Kokusai Kekkon, pada skripsi ini, penulis akan mencari tahu faktor lainnya dari sisi pria yang juga berkontribusi pada latar belakang terjadinya fenomena Kokusai Kekkon di Jepang, yang antara lain disebabkan oleh adanya dampak pengaruh modernisasi yang kuat. Oleh karena adanya sisi lain yang menarik di balik fenomena Kokusai Kekkon ini, juga ditambah dengan adanya hubungan yang erat dengan wanita Indonesia, yang lumayan banyak jumlahnya yang menikah dengan pria Jepang, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai fenomena Kokusai Kekkon yang terjadi di antara pria Jepang dan wanita Indonesia tersebut. Penulis kemudian akan meneliti lebih lanjut adanya hubungan antara fenomena Kokusai Kekkon ini dengan adanya dampak pengaruh dari modernisasi yang semakin berkembang di Jepang. 1.2 Masalah Pokok Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, penulis telah menetapkan pokok permasalahan yang sudah teridentifikasi untuk ditulis dalam laporan skripsi ini, yaitu: Analisis pengaruh modernisasi terhadap fenomena Kokusai Kekkon di antara pria Jepang dan wanita Indonesia. 1.3 Formulasi Masalah Formulasi masalah dalam laporan skripsi ini adalah: Analisis pengaruh modernisasi terhadap fenomena Kokusai Kekkon di antara pria Jepang dan wanita Indonesia, dilihat dari sudut pandang pria Jepang. 1.4 Ruang Lingkup Dalam laporan skripsi ini, penulis akan meneliti jawaban dari tiga pria Jepang yang melakukan Kokusai Kekkon dengan wanita Indonesia, hidup pada jaman setelah tahun 1960, dan berdomisili di Jepang. Penulis akan memakai korpus data berupa jawaban yang ditulis informan sebagai hasil dari wawancara dengan penulis untuk dijadikan bahan penelitian. 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 8 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa modernisasi membawa pengaruh terhadap fenomena Kokusai Kekkon yang terjadi di antara pria Jepang dan wanita Indonesia. Kemudian, penulis juga berharap agar hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat agar dapat lebih memahami sisi lain dari fenomena Kokusai Kekkon di Jepang. 1.6 Tinjauan Pustaka Tema mengenai pernikahan internasional yang terjadi di Jepang (Kokusai Kekkon) ini pernah dijadikan bahan penelitian oleh sejumlah akademisi, salah satunya oleh akademisi dari Osaka University, yaitu Viktoriya Kim, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “International Marriage” As A Symbolic Exchange of Capitals: When Women From The Soviet Union Marry Japanese Men, yang diterbitkan pada tahun 2013. Di dalam jurnal ini, Kim meneliti pernikahan internasional yang terjadi pada wanita asal Uni Soviet dan pria asal Jepang merupakan sebuah pertukaran simbolis dari sebuah modal yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Di saat banyak peneliti lain lebih memilih untuk melakukan penelitian mengenai pernikahan internasional dari sudut pandang wanita,yang melakukannya, pada jurnal ilmiah ini, Kim mencoba mengimbangi dengan mengambil juga sudut pandang dari pria yang melakukannya. Hal lain yang melatarbelakangi Kim untuk melakukan penelitian ini juga diakibatkan oleh adanya peningkatan jumlah wanita Uni Soviet yang menikah dengan pria Jepang, namun sampai saat ini belum ada studi lebih lanjut yang meneliti fokus penyebab terjadinya fenomena tersebut secara komprehensif. Oleh karena itu Kim melakukan penelitian ini dengan tujuan agar penelitian ini dapat menutupi kekurangan tersebut dan lebih dapat mengungkap pengalaman pribadi dan ekspektasi yang diharapkan oleh kedua belah pihak pasangan yang diteliti. Kemudian, Kim juga akan membahas lebih lanjut mengenai faktor – faktor mikro yang mempengaruhi wanita dan pria ini dalam memilih pasangan asing dan bagaimana modal – modal simbolis seperti, umur, status sosial, dan stabilitas ekonomi; serta pandangan mengenai negara asal pasangan dan etnis / ras pasangan, sangat mempengaruhi pilihan mereka tersebut. Lalu, metode penelitian yang dipakai oleh Kim adalah metode wawancara yang dilakukan melalui surel, telepon atau media Skype, dan wawancara tatap muka, kepada empat puluh lima orang wanita Uni Soviet yang telah menikah dengan pria Jepang. 9 Kemudian dalam jurnalnya, Kim melanjutkan dengan membahas mengenai asumsi bahwa di dalam penikahan internasional, secara umum ada tiga permasalahan utama yang mendorong terjadinya jenis pernikahan ini, yaitu masalah kemiskinan, norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, dan keterbatasan yang terjadi dalam suatu negara, yang mengakibatkan para pria dan wanitanya mencari pasangan hidup di luar negara domisilinya. Dalam kasus pernikahan antara pria Jepang dan wanita Filipina, ada tiga faktor yang membuat para pria ini menikahi wanita asing. Yang pertama adalah faktor ekonomi, dengan semakin majunya perekonomian Jepang, hal ini menarik arus buruh asing untuk datang ke Jepang sehingga masyarakat Jepang menjadi semakin memiliki kesempatan untuk bertemu dan berhubungan dengan orang asing. Di balik kekuatan ekonomi Jepang, para pria yang tidak bisa menikah dengan wanita dengan kewarganegaraan yang sama karena alasan ekonomi, akan mulai mencari wanita yang berasal dari negara yang perekonomiannya lebih lemah. Faktor kedua adalah keadaan sosioekonomi, reformasi sosial yang terjadi di Jepang telah menyebabkan para wanitanya untuk menunda untuk menikah dan lebih berfokus pada karir, sehingga para pria yang kesulitan menemukan pasangan akan cenderung mendekati para pekerja wanita asing. Faktor terakhir adalah faktor budaya, akan peran wanita Asia yang cenderung submisif, para pria ini menjadi senang dapat mendominasi wanita Filipina yang kebanyakan bekerja di pub, jika dibandingkan dengan wanita Jepang yang tangguh, wanita Filipina dipandang lebih patuh dan submisif. Sementara itu, jika dilihat dalam kasus wanita Uni Soviet yang menikah dengan pria asing, ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan mereka. Yang pertama dan paling penting adalah faktor sosial, dengan menikahi pria yang status sosialnya sederajat atau lebih tinggi, wanita berharap mendapat kehidupan yang aman dan stabil. Faktor kedua, ada faktor demografi yang menyebabkan populasi wanita yang lebih banyak dari pada populasi pria di Uni Soviet, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan demografi. Faktor lainnya adalah, psikologi, yang menyebutkan bahwa wanita tidak ingin bekerja ‘ganda’, bekerja di luar rumah dan bekerja di dalam rumah sebagai ibu rumah tangga, serta mengurus tidak hanya anak – anak, tetapi juga suami yang kekanakkan. Kemudian, faktor terakhir adalah adanya faktor budaya mengenai wanita Rusia yang tidak terpengaruh gerakan feminism, sehingga selalu ada pria yang menginginkan mereka. Pria asing cenderung mencari wanita yang berorientasi pada keluarga dan siap menjadi seorang ibu rumah tangga. Namun, 10 pada kenyataannya, semuanya tidak berjalan seperti itu, alasan pernikahan kedua pasangan asing cenderung lebih rumit daripada yang bisa dibayangkan. Oleh karena itu, Kim melanjutkan penelitiannya dengan fokus pada tema mengenai pernikahan internasional sebagai pertukaran antar modal simbolis yang dimiliki. Berdasarkan penelitian yang Kim lakukan, ada beberapa bentuk modal yang mempengaruhi harapan suatu individu atas sebuah pernikahan internasional. Beberapa modal yang paling penting, adalah jender, usia, etnis / ras, stabilitas ekonomi, kewarganegaraan, dan kemampuan berbahasa. Sementara itu, dalam persiapan untuk memasuki kehidupan pernikahan dan berkeluarga, wanita dan pria juga menggunakan modal yang mereka miliki sejak lahir atau yang mereka dapatkan selama hidup, yaitu pendidikan, pekerjaan, lingkungan rumah, dan sebagainya. Dalam kasus pernikahan antara wanita Uni Soviet dengan pria Jepang, ada beberapa modal yang mereka saling pertukarkan, dan yang paling penting adalah modal jender dan usia. Untuk hal jender, wanita Uni Soviet, seperti halnya pria Jepang, juga kesulitan mencari pasangan di negara asalnya karena mereka menilai para pria Rusia yang kebanyakan sering keluyuran keluar rumah, pengangguran, pecandu alkohol dan narkoba tidak pantas untuk dijadikan pasangan. Oleh karena itu mereka lebih menyukai para pria Jepang yang mereka anggap lebih serius, bertanggung jawab, dapat diandalkan, dan merupakan ayah dan suami yang baik. Sama halnya dengan modal usia, lebih dari setengah wanita yang berpartisipasi dalam penelitian Kim menikah dengan pria Jepang yang berbeda umur sangat jauh, mulai dari perbedaan usia 10 tahun sampai dengan 34 tahun. Mereka menganggap pria yang lebih tua jauh lebih menarik karena mereka lebih mempunyai ketertarikan dalam membina keluarga dan anak – anak, sedangkan bagi pria Jepang yang sudah tua, sangat sulit untuk mencari pasangan, sehingga mereka berpaling pada istri Uni Soviet mereka. Modal penting lainnya adalah mengenai stabilitas ekonomi dan status sosial. Para wanita Uni Soviet ini tertarik menikahi pria Jepang karena mereka menganggap suaminya tersebut dapat menopang kehidupan keluarga yang aman dan stabil, dan juga dengan menikahi pria yang status sosialnya lebih tinggi, mereka juga dapat ikut menikmati keuntungan. Meskipun mereka juga mengakui, faktor finansial bukan satu – satunya alasan bagi mereka untuk menikahi suami mereka, melainkan juga karena para suami mereka perhatian, bertanggung jawab, dan maskulin di mata para wanita Uni Soviet ini. 11 Pada akhirnya, Kim mengambil kesimpulan bahwa pernikahan internasional yang berlangsung antara wanita Uni Soviet dan pria Jepang ini terjadi bukan hanya untuk menaikkan derajat/ tingkatan status mereka di tengah masyarakat, ataupun dalam sebagai gaya hidup, tetapi juga karena adanya pengalaman pribadi dan tujuan yang dimiliki dalam harapan kehidupan pernikahan. Kedua pihak juga merupakan pengambil keputusan yang aktif dalam hal memilih pasangan, mereka benar – benar mencari pasangan yang sesuai dengan preferensi individu masing – masing. Dan yang terakhir, pernikahan tidak terjadi karena keputusan dari satu pihak saja. Kedua pihak sama – sama saling mempunyai harapan akan satu sama lain dan pernikahan menjadi suatu persetujuan simbolis bagi mereka, yang membawa beberapa modal yang mereka miliki untuk dapat masuk ke dalam kehidupan pernikahan. Secara umum, penelitian ini dimaksudkan untuk dapat memberikan pandangan baru terhadap teori mengenai pernikahan internasional yang cenderung menyebutkan bahwa pernikahan internasional semacam ini hanya dilakukan untuk menaikkan derajat sosial atau gaya hidup di tengah masyakarat semata. 12