Uploaded by User116607

elvira

advertisement
Proses penyidikan terhadap pelaku pelanggaran uu keimigrasian oleh
ppns keimigrasian (studi kasus di direktorat jenderal imigrasi
departemen hukum dan ham ri)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh :
Elvira Hapsari
NIM. E.1103063
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2007
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PROSES PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU PELANGGARAN UU
KEIMIGRASIAN OLEH PPNS KEIMIGRASIAN (STUDI KASUS DI
DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI DEPARTEMEN HUKUM
DAN HAM RI)
Disusun Oleh :
ELVIRA HAPSARI
NIM. E. 1103063
Disetujui untuk dipertahankan
Dosen Pembimbing II
Dosen Pembimbing I
Waluyo, S.H.M.si
NIP. 132092854
Kristiyadi, S.H.M.Hum
NIP. 131569273
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
PROSES PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU PELANGGARAN UU
KEIMIGRASIAN OLEH PPNS KEIMIGRASIAN (STUDI KASUS DI
DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI DEPARTEMEN HUKUM DAN
HAM RI)
Disusun Oleh :
ELVIRA HAPSARI
NIM. E. 1103063
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari
: ………………….
Tanggal
: ………………….
TIM PENGUJI
1.
: …………………………………….
Ketua
2.
: …………………………………….
Sekretaris
3.
: …………………………………….
Anggota
MENGETAHUI
Dekan,
Moh. Jamin, S.H.M.Hum
NIP. 131 570 154
iii
ABSTRAK
ELVIRA. E. 1103063. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan
Hukum 2007. PROSES PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU PELANGGARAN
UU KEIMIGRASIAN OLEH PPNS KEIMIGRASIAN (STUDI KASUS DI
DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM
RI). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum 2007
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui proses penyidikan terhadap pelaku
pelanggaran Undang–Undang Keimigrasian oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Keimigrasian Di Derektorat Jendaral Imigrasi.dan kendala-kendala yang dialami oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian dalam melaksanakan tugas penegakan
hukum terhadap pelanggaran di bidang keimigrasian dan bagaimana penyelesaiannya.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif (descriptive research) dengan pendekatan kualitatif.
Penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi di Direktorat Jenderal Imigrasi
Departemen Hukum dan HAM.. Sumber data meliputi data primer dan sekunder. Alat
pengumpulan data terdiri : wawancara dan studi dokumen atau bahan pustaka. Analisis
data dilakukan secara kualitatif dengan model interaktif.
Berdasarkan hasil penelitian
dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa proses penyidikan terhadap pelaku
pelanggaran UU Keimigrasian bernama Mohamad Robiul Iman alias Mohamad Robiul
Islam oleh PPNS Imigrasi, meliputi serangkaian kegiatan yang meliputi : Pembuatan
Surat Perintah Penyidikan, pembuatan Surat Perintah Tugas, pembuatan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Kejaksaan, melakukan pemanggilan
terhadap tersangka dan saksi-saksi, melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dan
saksi-saksi, melakukan tindakan penyitaan terhadap barang-barang milik tersangka,
berupa dokumentasi kependudukan, menyusun sampul berkas perkara, menyerahkan
berkas perkara kepada Kejaksaan Tinggi DKI, melalui Kabid Korwas PPNS Polda Metro
Jaya. Proses penyidikan terhadap pelaku pelanggaran UU Keimigrasian dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam KUHAP sebagai lex generalis dan UU Keimigrasian
sebagai lex specialis. Hambatan dalam pelaksanaan penyidikan oleh PPNS Imigrasi
meliputi hambatan yang bersifat internal dan eksternal.
Kata Kunci : Penyidikan, PPNS, Imigrasi.
iv
MOTTO
Tidak seseorang pun bisa mengubah masa lalu, namun kita bisa mengubah masa depan apabila
kita melakukan tindakan positif
(Penulis)
Setiap kitra membuka buku kita akan menguak sepetak cakrawala. jika kita membacanya kita
akan lebih tahu dibanding sebelumnya
semua yang kita baca akan membuat diri kita menjadi lebih luas
(Anonim)
Kebahagiaan tidak diukur dari berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang bisa
kita nikmati dari yang kita miliki
(Anonim)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya tulis ini penulis persembahkan
kepada :
-
Papa dan Mama Tercinta
-
Kakakku (Ronny, Irma, Denny,
Thea, dan Adikku Rio)
-
vi
Untuk Almamaterku
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur hanya bagi Tuhan Yesus Kristus atas anugerah keselamatan
dan setiap bentuk penyertaanNya yang telah memberikan hikmat dan kekuatan sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.
Penyusunan penulisan hukum ini penulis tujukan terutama untuk melengkapi
salah satu syarat dalam mencapai derajat sarjana (S1) dalam bidang Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam memberi dukungan baik material maupun immaterial
sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan dengan lancar. Ucapan terima kasih ini
terutama penulis tujukan kepada :
1. Bapak Moh Yamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah
memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Edi Herdiyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Kristiyadi, SH.M.Hum selaku Pembimbing Skripsi yang telah menyediakan
waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan.
4. Bapak Waluyo, SH.M.Si selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan
waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan
5. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum yang telah memberikan bantuan dan
dukungan serta masukannya sehingga skripsi ini dapat selesai.
6. Bapak Kristiyadi., M.Hum. selaku pembimbing akademis, atas nasehat yang berguna
bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi
ini.
8. Papa dan Mama tercinta yang telah mendukung penulis secara materiil maupun
immateril, terima kasih banyak..
9. Kakak – kakakku dan adikku Rio terima kasih atas dukungan dan kritiknya.
vii
Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat
kepada kita semua, terutama untuk penulisan, akademisi, praktisi serta masyarakat
umum.
Surakarta, Desember 2007
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
iii
ABSTRAK...................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR .................................................................................
v
DAFTAR ISI................................................................................................
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.........................................................
1
B. Perumusan Masalah................................................................
6
C. Tujuan Penelitian....................................................................
7
D. Manfaat Penelitian..................................................................
7
E. Metode Penelitian...................................................................
8
F. Sistematika Penulisan Hukum................................................
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori.......................................................................
13
1. Tinjauan Umum Tentang Keimigrasian…………………
13
2. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Imigrasi.... ........
19
3. Tinjauan Umum tentang Penyidikan...............................
22
B. Kerangka Pemikiran ...............................................................
32
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penyidikan Terhadap Pelaku Pelanggaran Undang–
Undang Keimigrasian Oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil
Keimigrasian ……………………………………………………..34
B. Kendala-Kendala Yang Dialami Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Keimigrasian Dalam Melaksanakan Tugas Penegakan Hukum
Terhadap Pelanggaran UU Keimigrasian Dan
ix
Cara Penyelesaiannya...................................................................
69
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................
72
B. Saran .......................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... `
74
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari perairan dengan
ribuan pulau di dalamnya. Letaknya yang strategis diantara dua benua dan dua
samudera, dapat menjadikan negara Indonesia menjadi tumpuan kunjungan orang
asing. Letak geografisnya yang merupakan jalan silang bagi lalu lintas
perdagangan internasional. Ditambah pula dengan kekayaan alamnya yang
melimpah ruah menjadikan Indonesia perhatian negara-negara lain di bidang
politik, sosial ekonomi dan keamanan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi
di bidang transportasi. Posisi silang itu telah memberikan pada Indonesia suatu
peranan vital dalam kancah antar negara yang tentunya memiliki dua visi yang
harus dicermati (Eddy Sudrajat, 1998: 9).
Kedua visi itu adalah yang bersifat menguntungkan dan yang bersifat
merugikan, sebab begitu terbuka dan begitu mudahnya negara Indonesia dalam
berhubungan dengan pihak luar di segala penjuru dunia. Kondisi yang demikian
menjadi suatu tantangan bangsa Indonesia dalam rangka menjamin kelangsungan,
ketentraman dan kesejahteraan hidupnya. Berbicara mengenai kepentingan
nasional berarti memperhatikan segala hal yang telah tercantum di dalam alinea
ke empat Pembukaaan UUD 1945.
x
Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi akibat ditemukannya
alat-alat komunikasi modern, alat transportasi dan informasi canggih, issue
modernisasi menjadi mendunia dan memunculkan fenomena baru berupa
globalisasi yang menuntut perubahan sistem hukum (legal system) yang sering
sama sekali baru. Tanpa perubahan ini, secara nasional akan memunculkan
tuduhan-tuduhan baru, seperti penguasa tidak menjamin kepastian hukum, kurang
adanya perlindungan terhadap bahaya
bagi ketenteraman hidup (peaceful life)
1
dalam berbagai kehidupan sosial, penegakan hukum aktual akan jauh berbeda dari
penegakan hukum ideal, hukum dianggap hanya melindungi yang kuat,
pelanggaran HAM dan sebagainya. Perubahan sosial akibat modernisasi dan
globalisasi tidak merupakan sesuatu yang bersifat fakultatif (change is not option)
dan tak dapat dihindari. Keduanya merupakan sesuatu yang alamiah yang timbul
serta merta akibat kompleksitas dan heterogenitas hubungan antar manusia
sebagai makhluk sosial, akibat penemuan alat-alat teknologi modern.
Globalisasi menimbulkan perubahan drastis dalam hal potensi ancaman
yang akan membawa ekses pada menguatnya berbagai kejahatan lintas negara
secara terorganisir, seperti pembajakan, penyelundupan, pencurian kekayaan
alam, penjualan pasir, pencurian hak paten, pencemaran laut, pencucian uang
(money laundering), pencurian ikan, kejahatan maya (cyber crime), pemalsuan
dokumen dan perdagangan narkoba. Penanganan berbagai ancaman di atas
membutuhkan kemampuan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk mengatasi
kejahatan
seperti
kejahatan
korporasi,
kejahatan
terorganisir,
kejahatan
perbankan, kejhatan pasar modal, kejahatan internet, kejahatan transportasi,
kejahatan konsumen dan persaingan curang, kejahatan kartu kredit dan pemalsuan
cek, kejahatan bidang asuransi, kejahatan di bidang kepailitan, kejahatan
pencucian uang, kejahatan penggelapan pajak, kejahatan ekspor fiktif, kejahatan
penimbunan barang kebutuhan rakyat dan kejahatan malpraktek profesi.
Perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas
penduduk dunia yang menimbulkan berbagai dampak baik yang menguntungkan
maupun yang merugikan kepentingan dan kehidupan bangsa dan negara Republik
Indonesia sehingga diperlukan pengaturan peraturan perundang-undangan yang
xi
menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, perlindungan,
dan pemajuan hak asasi manusia
Dampak dari globalisasi telah mempengaruhi sistem perekonomian negara
Republik Indonesia dan untuk mengantisipasinya diperlukan perubahan peraturan
perundangan baik di bidang ekonomi, industri, perdagangan, transportasi,
ketenagakerjaan maupun peraturan di bidang lalu lintas orang dan barang.
Perubahan tersebut diperlukan guna lebih dapat meningkatkan imtensitas
hubungan negara Republik Indonesia dengan dunia internasional yang
mempunyai dampak sangat besar terhadap pelaksanaan fungsi dan tugas
keimigrasian.
Salah satu sektor yang memiliki peran penting dalam menjaga berbagai
kepentingan bangsa dan negara Indonesia di dalam hal ini ialah keamanan dan
kesejahteraan terutama yang berhubungan dengan pihak asing.
Dengan
terdapatnya badan pemerintahan didukung instrumen peraturan hukum yang
selektif dan efisien di bidang keimigrasian sebagai salah satu saringan atau
gerbang utama Indonesia dalam berhubungan dengan pihak luar dalam hal ini
orang asing secara fisik.
Keimigrasian pada hakekatnya adalah hal ihwal lalu lintas orang masuk
atau keluar dari dan ke wilayah statu negara dan pengawasan orang asing di
wilayah negara yang bersangkutan. Pihak negara berperan besar dalam bidang
Keimigrasian terutama dalam menentukan kebijakan mengatur lalu lintas oarang
yang diantara kebijakan itu berhubungan dengan pembedaan antara warga
negaranya dan orang asing. (Koerniatmo Soetopawiro, 1996: 74)
Saat ini dunia internasional menyadari bahwa peningkatan arus lalu lintas
orang keluar-masuk suatu negara selain akan menimbulkan dampak positif yaitu
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, juga dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap pola kehidupan dan tatanan sosial budaya yang diyakini
akan mempengaruhi ketahanan nasional suatu negara antara lain:
1. Dominasi perekonomian nasional oleh perusahaan transnasional yang
bergabung dengan perusahaan Indonesia (melalui Penanaman Modal Asing
xii
dan/atau Penanaman Modal Dalam Negeri, pembelian saham atau kontrak
lisensi).
2. Munculnya
(Transnational
Organized
Crimes)
(TOC),
mulai
dari
perdagangan wanita dan anak-anak, pencucian uang, narkotika dan obat
terlarang, imigran illegal, sampai ke perbuatan terorisme internasional
Untuk meminimalisasikan dampak negatif yang timbul akibat dinamika
mobilitas manusia, baik warga negara Indonesia maupun orang asing, yang
keluar, masuk dan tinggal di wilayah Indonesia, keimigrasian mempunyai peranan
yang besar. Hal ini dapat dilakukan melalui penetapan politik hukum
keimigrasian yang bersifat selektif (selective policy). Membuat institusi imigrasi
Indonesia memiliki landasan operasional dalam menolak atau mengijinkan orang
asing, baik dari segi masuknya, keberadaannya, maupun kegiatannya di
Indonesia. Berdasarkan politik hukum keimigrasian yang bersifat selektif,
ditetapkan bahwa hanya orang asing yang:
1. Memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan Negara Republik
Indonesia;
2. Tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum, serta
3. Tidak bermusuhan dengan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia,
Dengan demikian, peran penting
aspek keimigrasian dalam tatanan
kehidupan kenegaraan akan dapat terlihat dalam pengaturan keluar-masuk orang
dari dan ke dalam wilayah Indonesia dan pemberian ijin tinggal serta pengawasan
terhadap orang asing selama berada di wilayah Indonesia.
Penegakan hukum Keimigrasian memerlukan tindak lanjut melalui suatu
penindakan jika terdapat suatu penyimpangan. Penindakan yang dimaksud di
bidang Keimigrasian adlah penindakan justisia yaitu melalui proses peradilan (
pro justisia ) dan penidakan non justitia tanpa melalui proses peradilan berupa
tindakan Keimigrasian.
Untuk melakukan penegakan hukum Keimigrasaian keberadaan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Imigrasi sebetulnya telah dikenal jauh
xiii
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Pada jaman Kolonial Belanda sudah ada peraturan
perundang-undangan yang memuat Undang-undang Pegawai pada instansi
tertentu yang diberi wewenang penyidik.
Sebagai contoh adalah sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Bandar
Tahun 1925, Loodwit Ordonantie Tahun 1931 Nomor 509, BRO Tahun 1934
Nomor 34, Ordonansi Pemeriksaaan Bahan-Bahan Farmasi Staatsblaad Tahun
1936 Nomor 660.
Pada jaman RIS terdapat dalam Undang-Undang tentang
Bahan Berbahaya, Staatsblaad Tahun 1949 Nomor 377 dan Undang-Undang Obat
Keras, Stasblaad Tahun 1949 Nomor 419. Pada jaman berlakunya UUDS tahun
1950, dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1954 tentang diatur mengenai
penyidik dari pegawai yang ditunjuk dengan Peraturan Menteri Sosial.
Selanjutnya pada jaman Orde Baru dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1981
tentang Metrologi Legal, ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (1) bahwa “Pegawai
Instansi Pemerintah yang ditugasi dalam pembinaan metrologi legal yang
melakukan pengawasan dan pengamatan diwajibkan menyidik tindak pidana yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini”. Selanjutnya di dalam ayat (3) Pasal
tersebut ditegaskan bahwa pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak
melakukan penyegelan dan atau penyitaan barang yang dianggap sebagai barang
bukti.
Walaupun diakui oleh UU No 9 tahun l992, akan tetapi dalam
implementasi Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ) ternyata kurang nampak
keberadaannya. Hal demikian disebabkan oleh terlalu dominannya peran pejabat
penyidik Polri dalam penanganan suatu perkara tindak pidana keimigrasian.
Walaupun secara tehnis keimigrasian, penyidik pegawai negeri sipil dianggap
lebih menguasai permasalahan, akan tetapi kewenangan memutuskan suatu
permasalahan keimigrasian tetap di tangan penyidik Polri. Kewenangan yang
bersifat setengah-setengah ini menyebabkan rasa kikuk bagi penyidik pegawai
negeri sipil dalam melakukan tugasnya di bidang penyidikan tindak pidana
keimigrasian.
xiv
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka penulis berpendapat
bahwa sangat menarik untuk melakukan penelitian terhadap “PROSES
PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU PELANGGRAN UNDANG – UNDANG
KEIMIGRASAIAN
OLEH
PENYIDIK
PEGAWAI
NEGARI
SIPIL
KEIMIGRASIAN ( STUDI KASUS DI DEREKTORAT JENDRAL IMIGRASI
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI ) “.
B.
Perumusan Masalah
Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang peneliti
ajukan untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka perumusan masalah yang
peneliti ajukan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Proses Penyidikan Terhadap Pelaku Pelanggaran Undang –
Undang Keimigrasian Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian Di
Derektorat Jendaral Imigrasi.
2. Kendala-kendala apakah yang dialami oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Keimigrasian dalam melaksanakan tugas penegakan hukum terhadap
pelanggaran di bidang keimigrasian dan bagaimana penyelesaiannya.
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui proses penyidikan terhadap pelaku pelanggaran Undang
– Undang keimigrasian oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat
Jendral Imigrasi
b. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dialami oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Keimigrasian dalam melaksanakan tugas penegakan hukum
terhadap pelanggaran di bidang keimigrasian dan mengetahui cara
penyelesaiannya.
2. Tujuan Subjektif
xv
a. Untuk memenuhi tugas menyusun penulisan hukum sebagai salah satu
syarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk memperluas dan mengembangkan wawasan berfikir, menambah
kemampuan menulis khususnya Hukum Acara Pidana.
D.
Manfaat Penelitian
Selain memiliki tujuan yang jelas, setiap penelitian juga tidak terlepas dari
manfaat apa yang akan diperoleh dari suatu penelitian dan diharapkan dapat
bermanfaat bagi penulis pada khusunya dan pembaca pada umumnya, antara :
1. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu
hukum pada umumnya serta Hukum Acara Pidana dan Hukum Administrasi
Negara pada khususnya terkait permasalahan yang berhubungan dengan
Tindak Pidana Keimigrasian.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan informasi tentang Proses Penyidikan Terhadap
Pelanggaran Undang – undang Keimigrasaia yang dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil.
b. Dapat mengetahui kendala-kendala apa saja yang dialami oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil pada saat melakukan penyidikan.
E.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang bersifat
deskriptif. Yang mana arti dari penelitian empiris yaitu penelitian yang
dilakukan secara langsung kelapangan dengan cara melakukan wawancara
langsung kepada pejabat imigrasi. Menurut Soerjo Soekanto, penelitian yang
bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan
xvi
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejalanya.
Maksudnya adalah mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu
didalam memperkuat teori-teori lama atau didalam kerangka menyusun teoriteori baru (Soerjono Soekanto. 1986: 10).
2. Lokasi Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis memilih lokasi penelitian di
Direktorat Jendral Imigrasi Departemen Hukum da HAM Republik Indonesia.
3. Jenis Data
a) Data Primer
Penelitian ini menggunakan data primer sebagai data utama. Data primer
merupakan data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian
lapangan yang memberikan informasi secara langsung mengenai segala
hal yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data primer ini berupa
penjelasan maupun keterangan dari wawancara dengan Pejabat Imigrasi
yang menangani penyidikan tindak pidana keimigrasian.
b) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang menunjang data primer yang
diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa literatur, peraturan
perundangan yang berlaku, berita acara pemeriksaan dan putusan perkara
pidana yang berkaitan dengan masalah keimigrasian.
4. Sumber Data
Sumber data adalah tempat ditemukan data. Sumber data terdiri dari :
a. Sumber Data Primer
Sumber data yang terkait langsung dengan permasalahan yang diteliti,
dalam hal ini PPNS Keimigrasian di Lingkungan Direktorat Jenderal
Imigrasi.
b. Sumber Data Sekunder, meliputi :
xvii
1) Bahan Hukum Primer, yaitu berupa :
(a) Undang–Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian
(b) Undang–Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana
b) Bahan Hukum Sekunder
Yaitu hasil karya kalangan hukum yang berupa, hasil penelitian, artikel
koran dan internet serta bahan lain yang berkaitan dengan pokok bahasan.
5. Teknik Pengumpulan Data
Penulis
dalam
melaksanakan
penelitian
ini
mempergunakan
teknik
pengumpulan data sebagai berikut :
a) Wawancara
Wawancara merupakan cara pengumpulan data dengan mengadakan
tanya jawab secara lisan dan langsung, sehingga memberikan kemungkinan
kepada penulis untuk mengadakan komunikasi secara langsung dengan
pihak-pihak yang secara professional memadai dan benar-benar menguasai
permasalahan yang akan diteliti yaitu dengan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Direktorat Jendral Imigrasi.
b) Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data dengan cara
mempelajari buku-buku literaratur yang berhubungan dengan bidang
keimigrasian.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data
dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Maleong,
2002:103). Penulis menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of
analisis), yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu
mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan.
xviii
Dalam model ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap,
sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan
benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian (HB. Sutopo,
2002 :35). Tiga tahap tersebut adalah :
a) Reduksi Data
Kegiatan ini merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian yang
bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang
hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan pengumpulan data.
Proses ini berlangsung terus-terus menerus sampai laporan akhir penelitian
selesai.
b) Penyajian Data
Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat
dilaksanakan.
c) Menarik Kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal
yang
ditemui
dengan
melakukan
pencatatan-pencatatan
peraturan,
pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab
akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan (HB. Sutopo, 2002:37).
Untuk lebih jelas dapat digambarkan pada bagan di bawah ini
mengenai tiga hal yang utama secara siklus dan interaktif yang bergerak
bolak-balik diantara kegiatan tersebut. (H.B. Soetopo, 1999:8)
Pengumpulan data
Reduksi data
Penyajian data
Penarikan
(Gambar 1 : Bagan
alur kesimpulan
analisa model interaktif)
xix
Setelah data terkumpul kemudian direduksi, setelah itu kita sajikan
kemudian kita ambil kesimpulan. Tahapan ini harus dilakukan secara berurutan,
seperti misalnya kita memperoleh data tanpa kita reduksi data itu sudah lengkap
langsung kita sajikan. Dan misalnya kita sudah sampai tahap penyajian data maka
kita kesulitan untuk mengambil kesimpulan, karena data masih kurang lengkap
dan kita dapat kembali ke tahap pengumpulan data lagi atau ke tahap yang
lainnya. Jadi antara tahap satu dengan lainnya saling berhubungan membentuk
suatu siklus.
F. Sistematika Penulisan Hukum/Skripsi
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori
dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan
menguraikan tinjauan umum tentang Keimigrasian, Tinjauan umum
tentang tentang Tindak Pidana Keimigrasian, Tinjauan Umum tentang
Penyidikan. Sedangkan dalam kerangka pemikiran penulis akan
menampilkan bagan kerangka pemikiran.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini memuat hasil penelitian, yaitu : Proses Penyidikan Tindak
Pidana Keimigrasian Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat
Jendral Imigrasi dan Hambatan yang timbul dari Proses Penyidikan
Tindak Pidana Keimigrasian dan solusinya.
BAB IV
: PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian beserta saran–saran yang
ingin penulis sampaikan.
xx
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.Kerangka Teori
a. Tinjauan Umum tentang Keimigrasian
1) Pengertian dan Sejarah Keimigrasian Di Indonesia
Istilah imigrasi adalah terjemahan dari bahasa latin migratio yang
artiya perpindahan orang dari suatu tempat atau negara menuju ketempat
negara lain. Ada istilah emigratio yang mempunyai arti berbeda, yaitu
perpindahan penduduk dari suatu wilayah negara ke luar menuju wilayah
atau negara lain. Sebaliknya istilah immigratio dalam bahasa latin
mempunyai arti perpindahan penduduk dari suatu negara untuk masuk ke
dalam negara lain. Pada hakikatnya emigrasi dan imigrasi itu menyangkut
hal yang sama yaitu perpindahan penduduk antar negara tetapi yang
berbeda adalah cara memandangnya. Ketika seseorang pindah ke negara
lain peristiwa ini dipandang sebagai peristiwa emigrasi namun bagi negara
yang didatangi orang tersebut peristiwa itu disebut sebagai peristiwa
imigrasi (Santoso Imam.M, 2004;15).
Biasanya perpindahan penduduk itu terjadi secara sukarela dan atas
ijin pemerintah negara yang didatangi dengan syarat–syarat tertentu yang
harus dipenuhi sebelumnya. Istilah imigrasi secara umum dartikan sebagai
xxi
gerak manusia dari satu tempat ke tempat lain untuk membentuk dan
membangun suatu peradaban ditempat tersebut.
Keimigrasian di Indonesia sudah ada sejak jaman kolonial
Belanda, akan tetapi secara historis pada tanggal 26 Januari 1950 untuk
pertama kalinya diatur langsung oleh Pemerintah Indonesia dan diangkat
Mr. Yusuf Adiwinata sebagai Kepala Jawatan Imigrasi berdasarkan Surat
13
Penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat No. JZ/30/16
tanggal 28 Januari 1950 yang berlaku surut sejak tanggal 26 Januari 1950.
Momentum tersebut hingga saat ini diperingati sebagai Hari Ulang Tahun
Imigrasi oleh setiap jajaran Imigrasi Indonesia.
Istilah Hukum Keimigrasian secara resmi digunakan oleh
pemerintah tanggal 3l Maret l992, tanggal diundangkan dan tanggal mulai
berlakunya undang-Undang Nomor 9 tahun l992 tentang Keimigrasian,
dimuat dalam Lembaran Negara tahun l992 Nomor 33. Penggunaan istilah
Hukum Keimigrasian dapat ditemukan pada bagian umum dari penjelasan
atas Undang-undang Keimigrasian dalam tambahan Lembaran Negara
Nomor 3474. Baik dalam Undang-Undang Keimigrasian maupun dalam
penjelasannya tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan Hukum
Keimigrasian. Dalam Pasal l angka l UU No. 9 tahun l992 hanya diberikan
batasan perkataan keimigrasian, yaitu hal ihwal lalu lintas orang yang
masuk atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia dan pengawasan
orang asing di wilayah negara Republik Indonesia.
Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa :
a) Lapangan (objek) hukum dari Hukum Keimigrasian adalah lalu lintas
dan pengawasan keimigrasian.
b) Subjek hukum dari Hukum Keimigrasian adalah orang yang masuk
atau keluar wilayah negara Republik Indonesia dan orang asing yang
berada di wilayah negara Indonesia.
xxii
Menurut Abdulah Sjahriful (1992, 58), hukum keimigrasian adalah
himpunan petunjuk yang mengatur tata tertib orang-orang yang berlalu
litas di dalam wilayah Indonesia dan pengawasan terhadap orang-orang
asing yang berada di wilayah . Hukum Keimigrasian masuk dalam hukum
publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan
negara (pemerintah).
Organisasi imigrasi sebagai lembaga dalam struktur kenegaraan
merupakan organisasi vital
sesuai dengan sasanti Bhumi Pura Yaksa
Purna Wibawa, yang artinya penjaga pintu gerbang negara yang
berwibawa. Sejak ditetapkannya Penetapan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia, maka sejak saat itu tugas dan fungsi keimigrasian di Indonesia
dijalankan oleh Jawatan Imigrasi
atau sekarang Direktorat Jenderal
Imigrasi dan berada langsung di bawah Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Imigrasi semula
hanya memiliki 4 (empat) buah Direktorat, yaitu Direktorat Lalu Lintas
Keimigrasian,
Direktorat
Ijin
Tinggal
Orang
Asing,
Direktorat
Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian dan Direktorat Informasi
Keimigrasian.
Seiring dengan perkembangan jaman dan pengaruh globalisasi saat
ini dengan berbagai kepentingan kerjasama internasional antar negara,
serta berbagai kepentingan pelaksanaan tugas-tugas keimigrasian, maka
dibentuklah Direktorat yang bernama Direktorat Kerjasama Luar Negeri.
Saat ini Direktorat Jenderal Imigrasi terdiri dari : Sekretariat Direktorat
Jenderal, Direktorat Lalu Lintas Keimigrasian, Direktorat Ijin tinggal
Orang Asing dan Status Kewarganegaraan, Direktorat Pengawasan dan
Penindakan Keimgrasian,
Direktorat.Informasi Keimigrasian dan
Direktorat Kerjasama Luar Negeri.
Hal tersebut tidak berhenti sampai disitu saja, bahkan dengan
semakin meningkatnya kejahatan internasional atau yang dikenal dengan
istilah Transnational Organized Crime (TOC) akhir-akhir ini seperti
xxiii
terorisme, penyelundupan manusia (people smuggling), perdagangan
manusia (human trading) dan sebagainya.
Direktorat Jenderal Imigrasi
memandang perlu untuk membentuk Direktorat yang ruang lingkup tugas
dan
fungsinya
untuk
mengantisipasi
terjadinya
kegiatan-kegiatan
kejahatan tersebut. Sedianya telah direncanakan Direktorat baru tersebut
dengan nama Direktorat Intelijen Keimigrasian, dimana Direktorat ini
dirasakan cukup penting dalam menunjang tugas-tugas keimigrasian dan
sekaligus mengantisipasi segala bentuk kejahatan internasional tersebut.
Akan tetapi hal tersebut masih dalam proses perencanaan pada Direktorat
Jenderal Imigrasi.
Dengan pengembangan organisasi yang demikian itu, maka
Direktorat Jenderal Imigrasi saat ini secara jelas telah menentukan
kerangka tugasnya yang tercermin dalam tri fungsi imigrasi, yaitu sebagai
aparatur pelayanan masyarakat, pengamanan Negara dan penegakan
hukum keimigrasian , serta sebagai
fasilitator ekonomi nasional.
Direktorat Jenderal Imigrasi menyadari sepenuhnya bahwa untuk
melaksanakan tugas dan fungsi tersebut sangat membutuhkan dukungan
dari setiap personil yang ada di dalamnya. Oleh karena itu Direktorat
jenderal Imigrasi senantiasa berupaya untuk menjaga dan meningkatkan
profesionalisme, kualitas dan kehandalan sumber daya manusia secara
berkelanjutan.
2) Fungsi dan Peran Imigrasi
Pada dasarnya fungsi dan peranan keimigrasian bersifat universal,
yaitu melaksanakan pengaturan lalu lintas orang masuk atau ke luar
wilayah suatu negara. Lazimnya dilaksanakan berdasarkan suatu politik
imigrasi, yaitu kebijakan negara yang telah ditetapkan atau digariskan oleh
pemerintahnya sesuai dengan ketentuan hukum, peraturan perundangundangan yang berlaku. Secara operasional, peran keimigarsian di
Indonesia selalu mengandung tiga fungsi, yaitu :
a) Fungsi Pelayanan Masyarakat :
xxiv
Yaitu Perumus kebijaksanaan tehnis, pemberian bimbingan
dan pembinaan serta pemberian perizinan dibidang keimigrasian
sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri dan
berdasarkan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
Pelayanan bagi WNI :
(1) Pemberian paspor / Surat Perjalanan Laksana Paspor ( SPLP) /
Pas Lintas Batas ( PLB ).
(2) Pemberian tanda bertolak / masuk.
Pelayanan bagi WNA :
(1) Pemberian dokumen Keimigrasian yang berupa : Kartu Izin
Tinggal Terbatas ( KITAS ), Kartu Izin Tinggal Tetap ( KITAP
),KemudahanKhusus Keimigrasaian ( DAHSUSKIM ).
(2) Perpanjangan ijin tinggal yang meliputi : Visa Kunjungan
Wisata ( VKW ), Visa Kunjungan Usaha ( VKU ).
(3) Perpanjangan
DOKIM
meliputi
:
KITAS,
KITAP,
DAHSUSKIM.
(4) Pemberian Izin Masuk Kembali, Izin Bertolak dan,
(5) Pemberian Tanda Bertolak Masuk.
b) Fungsi Pengaman Masyarakat
Yaitu pelaksanaan keimigrasian sesuai dengan tugas
pokok Direktorat Jendral sebagai aparatur sekuriti dan penagak
hukum dengan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pelaksanaan keamanan untuk WNI dijabarkan
melalui tindakan pencegahan keluar negeri bagi WNI atas
permintaan Menteri Keuangan dan Kejaksaan Agung. Khusus
untuk WNI tidaka dapat dilakukan pencegahan karena alasan
keimigrasian belaka. Pelaksanaan fungsi keamanan yang
dilakukan pada WNA adalah :
xxv
(1) Melakukan seleksi tehadap setiap maksud kedatangan orang
asing melalui pemeriksaan permohonan visa.
(2) Melakukan kerjasama dengan apratur keamanan negara
lainnya khususnya didalam memberikan supervisi perihal
penegakan hukum keimigrasian.
(3) Melakukan operasi intelijen keimigrasian bagi kepentingan
keamanan negara.
(4) Melaksanakan pencegahan dan penangkalan.
c) Fungsi Penegakan Hukum
Dalam pelaksanaan tugas keimigrasaian, keseluruhan
aturan hukum keimigrasaiaan itu ditegakkan kepada setiap orang
erhadap yang berada di dalam wilyah hukum negara RI baik itu
WNI atau WNA. Penegakan hukum keimigrasian terhadap WNI,
ditujukan pada permasalahan :
(1) Pemalsuan Identitas.
(2) Pertanggungjawaban Sponsor.
(3) Kepemilikan Paspor Ganda.
(4) Ketertiban Dalam Pelanggaran Aturan Keimigrasian
Sedangkan penegakan hukum terhadap WNA :
(1)
Pemalsuan Identitas.
(2)
Pendaftaran orang asing dan pemberian buku pengawasan
orang asing.
(3)
Penyalahgunaan izin tinggal Pemantauan / razia.
(4)
Kerawanan keimigrasian secara geografis dalam pelintasan.
Di dalam perkembangan Trifungsi Imigrasi dapat dikatakan
mengalami suatu pergeseran bahwa pengertian fungsi keamanan dan
penegakan hukum merupakan satu bagian yang tak terpisahkan
xxvi
karena penerapan penegakan hukum dibidang keimigrasian berarti
keamanan atau identik dengan menciptakan kondisi keamanan yang
kondusif atau sebaliknya. ( Santoso Imam M,2004: 24 ).
b. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Keimigrasian
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah terjemahan dari bahasa Belanda
Strafbaar feit yang menurut Pompe perkataan Strafbaar feit itu secara
teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma ( gangguan
terhadap tertib hukum ) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman
terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum
dan terjaminnya kepentingan hukum (P.A.F. Lamintang, 1997:181 ).
M.H Tirtaamidjaya dalam Lamintang menerjemahkan dengan
pelanggaran pidana. Sedangkan Moeljatno menggunakan istilah perbuatan
pidana., sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
barangsiapa melanggar larangan tersebut. (P.A.F. Lamintang, 1997:181 ).
2. Pengertian Tindak Pidana Keimigrasian
Arti dari keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang
masuk atau keluar wilayah negara Republik Indonesia dan pengawasan
orang asing di wilayah Negara republik Indonesia. Dengan telah
diketahuinya arti tindak pidana dan arti keimigrasian, maka arti lengkap
dari tindak pidana keimigrasian adalah tindakan yang dilarang oleh hukum
keimigrasian dan barang siapa yang melanggarnya diancam dengan sanksi
pidana yang diatur dalam peraturan sendiri (Abdullah Sjahriful,
1992:112).
Di dalam Undang-Undang No.9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian tindak pidana Keimigrasian diatur dalam Bab VIII tentang
Ketentuan Pidana, yaitu dari Pasal 48 sampai dengan Pasal 61. Dari pasalpasal tersebut yang berjumlah 14 pasal terdapat sebelas pasal tergolong
xxvii
kejahatan ,yaitu Pasal 48 sampai dengan 50, dan pasal 52 sampai dengan
59 serta tiga pasal tergolong pelanggaran (overtreding), yaitu pasal 51, 60,
dan 61. Menurut Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU No. 9 tahun l992,
Tindak Pidana Keimigrasian merupakan tindak pidana umum, karena
tindak pidana keimigrasian tidak mempunyai kedudukan tersendiri dalam
hukum pidana, sehingga tindak pidana keimigrasian bukan merupakan
tindak pidana khusus.
Tindakan terhadap pelanggaran dibidang Keimigrasian dibagi atas 2 ( dua
) bentuk yaitu:
a)
Tindakan hukum pidana, melalui serangkaian tindakan
penyidikan dalam proses sistem peradilan pidana, kemudian
setelah selesai menjalani pidana, diikuti tindakan deportasi ke
negara asal dan penangkalan tidak diijinkan masuk ke wilayah
Indonesia dalam batas waktu yang ditentukan oleh UndangUndang.
b)
Tindakan hukum administrasi, terhadap pelanggaran hukum
tersebut tidak dilakukan tindakan penyidikan, melainkan
langsung
dikenakan
tindakan
administrasi
di
bidang
keimigrasian, yang disebut tindakan keimigrasian berupa
pengkarantinaan, deportasi dan penangkalan.
Adapun ketentuan tindak pidana keimigrasian dalam Undang –
Undang Keimigrasian secara garis besar dapat dikategorikan menjadi 5
( lima ) perbuatan yang dilarang, yaitu :
a)
Masuk atau keluar wilayah Indonesia secara tidak sah atau
illegal.
Ketentuan pidana ini diatur dalam Pasal 48 dan 53 Undang Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.
b)
Pemalsuan
atau
penyalahgunaan
keimigrasian.
xxviii
data
serta
dokumen
Ketentuan pidana ini diatur dalam Pasal 49–50 dan Pasal 55–
59 Undang–Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.
c)
Sengaja tidak memenuhi kewajian Keimigrasian tertentu dan
tidak memenuhi kewajiban membayar biaya keimigrasian yang
telah ditentukan.
Ketentuan pidana ini diatur dalam Pasal 51 dan 61 UndangUndang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.
d)
Lampau waktu berada di dalam wilayah Indonesia ( over stay ).
Ketentuan pidana ini diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang
No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.
e)
Memberikan fasilitas terutama akomodasi dan pekerjaan bagi
orang asing tanpa izin pejabat yang berwenang.
Ketentuan pidana ini diatur dalam Pasal 54 dan 60 UndangUndang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.
c. Tinjauan Umum Tentang Penyidikan
1. Pengertian dan Proses Penyidikan
Dalam Pasal 1 butir (2) Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa :
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya”.
Dengan demikian penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh penyidik
apabila telah terjadi suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut
dapat dilakukan penyidikan menurut yang diatur dalam KUHAP. Penyidik
adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang
untuk melakukan penyidikan (Pasal 109 butir (1) KUHAP). Untuk dapat
xxix
menentukan suatu peristiwa yang terjadi adalah termasuk suatu tindak
pidana, menurut kemampuan penyidik untuk mengidentifikasi suatu
peristiwa sebagai tindak pidana dengan berdasarkan pada pengetahuan
hukum pidana.
Menurut R. Soesilo (1980, 13), dalam bidang reserse kriminil,
penyidikan itu biasa dibedakan sebagai berikut:
a) Penyidikan dalam arti kata luas, yaitu meliputi penyidikan,
pengusutan dan pemeriksaan, yang sekaligus rangkaian dari
tindakan-tindakan dari terus-menerus, tidak ada pangkal permulaan
dan penyelesaiannya,
b) Penyidikan dalam arti kata sempit, yaitu semua tindakan-tindakan
yang merupakan suatu bentuk represif dari reserse kriminil Polri
yang merupakan permulaan dari pemeriksaan perkara pidana.
Penyidikan dimulai sesudah terjadinya suatu tindak pidana,
sehingga tindakan tersebut merupakan penyelenggaraan hukum (pidana)
yang bersifat represif.
mencari keterangan
Tindakan tersebut dilakukan adalah untuk
dari siapa saja yang diharapkan dapat memberi
tahu tentang apa yang telah terjadi dan dapat mengungkapkan siapa yang
meakukan atau yang disangka
melakukan tindak pidana tersebut.
Tindakan-tindakan pertama tersebut diikuti oleh tindakan-tindakan lain
yang dianggap perlu, yang pada pokoknya untuk menjamin agar orang
yang benar-benar terbukti telah melakukan suatu tindak pidana bisa
diajukan ke pengadilan untuk dijatuhi pidana dan selanjutnya benarbenar menjalani pidana yang dijatuhkan itu.
Menurut Hamrat Hamid dan Harun Husein, secara formal
prosedural, suatu proses penyidikan dikatakan telah mulai dilaksanakan
sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang di instansi penyidik, Setelah pihak Kepolisian
menerima laporan atau informasi tentang adanya suatu peristiwa tindak
pidana, ataupun mengetahui sendiri peristiwa yang diduga merupakan
xxx
suatu tindak pidana. Hal ini selain untuk menjaga agar tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang dari pihak Kepolisian, dengan adanya Surat
Perintah
Penyidikan
tersebut
adalah sebagai jaminan terhadap
perlindungan hak-hak yang dimiliki oleh pihak tersangka (Hamrad
Hamid, 1991, 23).
Berdasarkan pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP, maka seorang
penyidik yang telah memulai melaksanakan penyidikan terhadap
peristiwa tindak pidana, penyidik harus sesegera mungkin untuk
memberitahukan telah mulai penyidikan kepada Penuntut Umum. Untuk
mencegah
penyidikan
yang
berlarut-larut
tanpa
adanya
suatu
penyelesaian, seorang penyidik kepada Penuntut Umum, sementara di
pihak Penuntut Umum berwenang minta penjelasan kepada penyidik
mengenai perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Dalam hal penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik wajib
mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan) yang mana tembusan
surat tersebut dismpaikan kepada Penuntut Umum, tersangka dan
keluarganya (Pasal 109 ayat (2) KUHAP). Sedangkan setelah selesai
melakukan penyidikan, maka penyidik wajib segera menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum, yang mana jika Penuntut Umum
berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap
maka berkas perkara akan dikembalikan disertai dengan petunjuk untuk
dilengkapi oleh penyidik, dan setelah berkas perkara diterima kembali
oleh penyidik, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan
sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum (Pasal 110 KUHAP).
2) Aparat Penyidik
Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
(POLRI) atau Pejabat Pegawai Negeri Sipi
(PPNS) tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan
xxxi
(Pasal 1 ayat (1) KUHAP). Dalam proses penyidikan, yang berhak
melakukan penyidikan adalah Pejabat Penyidik. Seorang penyidik
melakukan penyidikan adalah dalam usaha menemukan alat bukti dan
barang bukti, guna kepentingan penyidikan dalam rangka membuat suatu
perkara menjadi jelas/terang dan untuk mengungkap atau menemukan
tersangka kejahatan.
Dari pengertian tersebut di atas, dapat ditarik dua unsur penyidik,
seperti tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, yaitu :
a)
Penyidik adalah :
(1) Pejabat Polisi Negara Indonesia;
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang.
b) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Di dalam Pasal 6 KUHAP tersebut di atas telah ditentukan
mengenai instansi atau kepangkatan seorang pejabat penyidik adalah :
a) Pejabat Peyidik Polisi
Untuk melakukan penyidikan, pejabat penyidik polisi
harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana diatur dalam
Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Mengenai kedudukan dan kepangkatan
pejabat penyidik kepolisian diatur dalam peraturan pemerintah
yaitu PP No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP.
Penyidik POLRI adalah pejabat POLRI tertentu paling
rendah Pembantu Letnan Dua ( Pelda = Ajun Inspektur Polisi II
/AIPDA ) yang ditunjuk oleh KAPOLRI.
b) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Penyidik Pegawai
Negeri Sipil tertentu paling rendah berpangkat golongn II/b yang
xxxii
diangkat oleh menteri Kehakiman atas usul dari Departemen
yang membawahi PPNS yang bersangkutan yang mempunyai
fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya
wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan pidana
khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang
penyidikan pada salah satu pasalnya. Sehingga hanya terbatas
sepanjang menyangkut tindak pidana yang diatur dalam undangundang khusus tersebut.
c) Penyidik Pembantu
Penyidik pembantu adalah pejabat tertentu paling rendah
berpangkat Sersan Dua ( Brigadir II ) dan PPNS tertentu di
lingkungan POLRI paling rendah berpangkat golongan II/a yang
berpangkat selaku selaku Penyidik Pembantu oleh KAPOLRI.
Syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidik tersebut
diatas diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 Bab II pasal 2 dan 3 jo
Keputusan MENKEH No.M.08 UM.01.06 Tahun 1983 tanggal 16
Desember 1983 Tentang Pelimpahan Wewenang Pengangkatan
Penyidik PPNS.
Untuk menunjang tugas utama penyidik agar berjalan
dengan
lancar,
maka
penyidik
diberi
kewenangan
untuk
melaksanakan kewajibannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 7
ayat (1), yang berbunyi:
“Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
karena kewajibannya mempunyai wewenang :
(1)
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana.
(2)
Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadiaan.
(3)
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal tersangka
xxxiii
(4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggledahan, dan
penyitaaan
(5)
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
(6)
Menganbil sidik jari dan memotret seseorang
(7)
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka ataupun saksi
(8)
Mendatangkan
seorang
ahli
yang
diperlukan
dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara
(9)
Mengadakan penghentian penyidikan
(10) Melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung
jawab.
Kewenangan penyidik keimigrasian juga dapat diatur
secara khusus sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 47 ayat (2)
Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian yaitu :
(1) Menerima laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian.
(2) Memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, menahan
seseorang
yang
disangka
melakukan
tindak
pidana
keimigrasian.
(3) Memeriksa dan / atau menyita surat-surat, dokumen-dokumen,
surat perjalanan, atau benda-benda yang ada hubungannya
dengan tindak pidana keimigrasian .
(4) Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi.
(5) Melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tertentu yang diduga
terdapat surat-surat, dokumen-dokumen, surat perjalanan, atau
benda-benda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana
keimigrasian.
(6) Mengambil sidik jari dan memotret tersangka.
xxxiv
Berdasarkan UU No. 9 tahun 1992, penyidikan keimigrasian
meliputi tiga ketentuan, yaitu:
a)
Kewenangan penyidik
Ketentuan Pasal 47 UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
dan penjelasannya, merupakan dasar bagi penyidik imigrasi dalam
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana keimigrasian yang
merupakan tindak pidana umum.
b)
Proses penyidikan meliputi:
(1)
Penyelidikan keimigrasian
Melakukan serangkaian kegiatan mencari tersangka,
saksi, petunjuk dan surat yang merupakan alat bukti
sebagai kelanjutan dari adanya laporan keimgrasian atau
kejadian
yang
merupakan laporan
masyarakat
atau
diketahui langsung oleh penyidik imigrasi bahwa telah
terjadi tindak pidana keimigrasian.
(2)
Penindakan
Meliputi
serangkaian
kegiatan
pemanggilan,
perintah membawa tersangka, penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pemotretan dan pengambilan
sidik jari dengan dilengkapi surat perintah penyidikan, surat
perintah tugas dan dibuatkan berita acara.
(3)
Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara
Apabila penyidik telah selesai maka penyidik wajib
segera
menyerahkan berkas perkara tersebut keada
penuntut umum yang merupakan penyerahan tahap pertama
yaitu hanya berkas perkaranya saja.
c) Ketentuan pidana, meliputi 2 (dua) bagian, yaitu:
xxxv
a) Kejahatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 48 samapai
dengan 50, dan pasal 52 pasal 59.
b) Pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 51, 60 dan pasal 61.
Meliputi kegiatan penyelesaian dan penyerahan berkas
pekara tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum melalui
Penyidik polri sebagai korwas PPNS dengan dibuatkan surat tanda
penerimaan dan berita acara
Tindakan keimigrasian, meliputi empat aspek kegiatan, yaitu:
(1)
Pengolahan hasil pengawasan dan atau penyidikan
Temuan
adanya
perbuatan
melanggar
hukum hasil
pengawasan dan bukti penyidikan, dilakukan pengolahan
dan pemilahan sesuai sifat dan jenis pelanggaran, untuk
menentukan tindakan keimigrasian yang tepat dikenakan
terhadap si pelanggar hukum.
(2)
Pemeriksaan
Melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, saksi dan
barang bukti hasil pengawasan dengan dibuatkan berita
acara. Sedangkan hasil penyidikan dan perkara yang sudah
mendapatkan putusan serta berkuatan hukum tetap, tidak
perlu lagi pemeriksaan, hanya diperlukan identifikasi
terhadap bekas terpidana dengan merujuk surat perjalanan.
Surat atau dokumen lain serta putusan hakim, sehingga
tidak keliru dalam pelaksanaan tindakan keimgrasian.
(3)
Penindakan
Melakukan suatu tindakan hukum administrasi terhadap
orang yang tidak mentaati peraturan dan atau melakukan
kegiatan yang berbahaya bagi keamanan dan ketertiban
umum, terdiri dari:
xxxvi
(i)
Warga Negara Indonesia, berupa: cekal, penolakan
keluar wilayah Indonesia, pencabutan dan hal lain
yang berkenaan dengan surat perjalanan Republik
Indonesia;
(ii)
Orang asing, berupa: cekal, penolakan keluar dan
masuk wilayah Indonesia, biaya beban, deportasi,
pengkarantinaan,
pembatasan/pembatalan/perubahan ijin keberadaan,
larangan berada di suatu atau beberapa tempat,
keharusan bertempat tinggal di tempat tertentu;
(iii)
Penanggung jawab alat angkut, berupa: biaya
beban, membawa kembali orang asing yang tidak
diberi ijin masuk, orang asing yang tidak diberi ijin
masuk untuk tetap tinggal atau diisolasi di alat
angkut.
Di dalam KUHAP ditegaskan hubungan koordinasi antar aparat
penegak hukum, khususnya hubungan penyidik Polri dengan penyidik
Pegawai Negeri Sipil tertentu, yaitu:
1.
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam pelaksanaan tugasnya
berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri (Pasal
7 ayat (2))
2.
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik memberikan petunjuk
kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan
bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1)).
3.
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu melaporkan adanya tindak
pidana yang sedang disidik kepada penyidik Polri (Pasal 107 ayat
(2).
xxxvii
4.
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu menyerahkan hasil
penyidikan yang telah selesai kepada penuntut umum melalui
penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3).
5.
Dalam hal penyidik pegawai negeri sipil tertentu menghentikan
penyidikan, segera memberitahukan kepada penyidik Polri dan
penuntut umum (Pasal 109 ayat (3).
b. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang No. 9
Tahun 1992 tentang
Keimigrasian
Tindak Pidana
Keimigrasian
Penyidikan
Penyidik Kepolisian
Republik Indonesia
Penyidik Pegawai
Negeri Sipil
Wewenang
Hambatan
xxxviii
(Gambar 2 : Bagan Kerangka Pemikiran)
Undang – Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian mengatur lalu lintas
orang yang masuk ke wilayah Negara Republik Indonesia, Pencegahan dan
Penangkalan, Pengawasan Orang Asing Termasuk Tindakan Keimigrasian untuk
mengatasi Tindak Pidana Keimigrasian. Apabila diduga telah terjadi tindak pidana
keimigrasian, maka salah satu langkah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
adalah melakukan tindakan penyidikan. Pelaksanaan penyidikan terhadap suatu
kejahatan menurut ketentuan KUHAP dilakukan oleh seorang pejabat penyidik.
Dalam Pasal 6 ayat (l) huruf b KUHAP disebutkan adanya Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pegawai
negeri sipil tersebut mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada
dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang
pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan
pada salah satu pasalnya. Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bawah koordinasi atau pengawasan Penyidik
Kepolisian. Dalam pelaksanaan penyidikan PPNS memiliki 5 ( lima ) wewenang
antara lain: menerima laporan, memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap
dan menahan seseorang.
Dalam melaksanakan tugasnya PPNS Kemigrasian
mengalami berbagai macam hambatan baik bersifat internal maupun eksternal.
xxxix
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Proses
Penyidikan
Terhadap
Pelaku
Pelanggaran
Undang–Undang
Keimigrasian Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian
1. Gambaran/Deskripsi Lokasi Penelitian
a. Fungsi Direktorat Jenderal Imigrasi
Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM
Republik Indonesia mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan
kebijakan
dan
standarisasi
teknis
di
bidang
Imigrasi.
Dalam
menyelenggarakan tugas Direktorat Jenderal Imigrasi mempunyai fungsi:
1) Penyiapan rumusan kebijakan Departemen di bidang keimigrasian;
2) Pelaksanaan kebijakan di bidang keimigrasian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,;
3) Perumusan standar, norma, pedoman, criteria dan prosedur dibidang
keimigrasian;
4) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi;
5) Pelaksanaan urusan administrasi Direktorat Jenderal;
6) Perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengamanan teknis
operasional di bidang keimigrasian;
7) Pengawasan teknis atas pelaksanaan tugas di bidang keimigrasian;
xl
34
8) Pembinaan dan pengelolaan sumber daya manusia, keuangan,
perlengkapan, sistem dan metode di bidang keimigrasian dan
pelayanan teknis di bidang keimigrasian.
Dari delapan fungsi di atas, dapat dirumuskan dalam tri fungsi
imigrasi, yaitu sebagai aparatur pelayanan masyarakat dan pengamanan
negara, penegakan hukum keimigrasian.
b. Struktur Organisasi
Untuk mendukung operasional tugas dan wewenang Direktorat
Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM RI, didukung oleh satuan
organisasi sebagai berikut :
DIREKTORAT
JENDERAL IMIGRASI
SEKRETARIAT
DIREKTORAT
JENDERAL
DIREKTORAT
DOKUMEN
PERJALANAN,
VISA DAN
FASILITAS
KEIMIGRASIAN
DIREKTORAT IZIN
TINGGAL DAN
STATUS
KEIMIGRASIAN
DIREKTORAT
INTELIJEN
KEIMIGRASIAN
DIREKTORAT
PENYIDIKAN DAN
PENINDAKAN
KEIMIGRASIAN
DIREKTORAT
LINTAS BATAS
DAN KERJA SAMA
LUAR NEGERI
KEIMIGRASIAN
DIREKTORAT SISTEM
INFORMASI
KEIMIGRASIAN
(Gambar 3 : Struktur Organisasi Dirjen Imigrasi)
Sumber : Lucky Agung Binarto, 2007, 67
Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM RI
memiliki Kantor Unit Pelaksana Tehnis (UPT), dalam hal ini Kantor Imigrasi
sebanyak 103 (seratus tiga) buah. Adapun status Kantor Imigrasi adalah :
(1) Kantor Imigrasi Kelas I sebanyak 41 buah
(2) Kantor Imigrasi Kelas II sebanyak 55 buah
(3) Kantor Imigrasi Kelas III sebanyak 7 buah
xli
Dampak kemajuan di bidang teknologi dan perkembangan masyarakat
dunia perlu diantisipasi dengan sarana organisasi yang memadai untuk
mengatasi permasalahan yang timbul. Bagi Direktorat Jenderal Imigrasi, suatu
organisasi atau kelembagaan memiliki arti strategis di dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya. Sebagai pelaksanaan fungsi ke dua imigrasi, yaitu
melaksanakan penegakan hukum keimigrasian, maka dibentuk Direktorat
Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian.
c. Kedudukan, Tanggung Jawab dan Wewenang, Subdit Penyidikan;
Dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia No. M.04.PR.07.10 Tanggal 7 Desember Tahun 2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, tergambar bahwa Subdit Penyidikan berada
di bawah Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian yang berada
dalam lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi. Subdit penyidikan sendiri
membawahi tiga seksi, yaitu: 1. Seksi Penyelidikan Wilayah I, 2. Seksi
Penyidikan Wilayah II, dan 3. Seksi Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Imigrasi. Subdit Penyidikan dipimpin oleh seorang Kepala, yang
setingkat dengan eselon III (III/a), dan untuk seksi-seksinya dipimpin oleh
Kepala yang setingkat dengan Eselon IV (IV/a). Dalam pelaksanaan tugas
kepala-kepala seksi bertanggung jawab kepada kepala Subdit Penyidikan
Keimigrasian. Sedangkan Kepala Subdit Penyidikan bertanggung jawab
langsung kepada Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian yang
memimpin Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian dimana
kedudukannya setingkat dengan eselon II (II/a).
Sedangkan kewenangan Subdit Penyidikan Keimigrasian adalah
berkaitan dengan penyiapan bahan penyusunan rancangan kebijakan,
melakukan pembinaan dan bimbingan teknis di bidang penyidikan tindak
pidana keimigrasian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil keimigrasian,
serta
melakukan
penyidikan.
Mengenai
syarat
kepangkatan
dan
pengangkatan PPNS, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
xlii
1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Pasal 2 ayat 1 huruf b Peraturan
Pemerintah tersebut menentukan penyidik adalah : “PPNS tertentu yang
sekurang–kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b)
atau yang disamakan dengan itu”. Pada ayat (5) ditentukan ditentukan
bahwa PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM atas usul dari
departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut.
Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu
mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Keplisian Republik Indonesia.
Wewenang pengangkatan tersebut dapat dilimpahkan kepada pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI
Nomor M.2528-KP.04.11 Tahun 1989 tentang Pemberian Kuasa untuk
Atas
Nama
Menteri
Kehakiman
menandatangani
Keputusan
pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PPNS, ditentukan bahwa
terhitung sejak tanggal 27 November 1989 Direktur Jenderal Hukum dan
Perundang – Undangan sekarang Direktur Jenderal Administrasi Hukum
Umum, diberi kuasa untuk atas nama Menteri Kehakiman sekarang
Menteri Hukum dan HAM menandatangani Keputusan Pengangkatan,
Pemindahan dan Pemberhentian PPNS.
Petunjuk pelaksanaan pengusulan pengangkatan mutasi, dan
pemberhentian PPNS diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia Nomor M.18-PW.07.03 Tahun 1993.
Peraturan
Menteri Kehakiman tersebut merupakan pengganti dari Peraturan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.05-PW.07.03 Tahun 1984
tentang Pelaksanaan Pengusulan Pengangkatan dan Pemberhentian PPNS
yang dianggap sudah tidak memadai lagi untuk meningkatkan kualitas dan
menunjang pelaksanaan tugas PPNS. Syarat PNS untuk dapat diusulkan
menjadi PPNS menurut Pasal 2 Peraturan Menteri adalah sebagai berikut :
(a) berpangkat serendah–rendahnya Pengatur Muda Tk. I (Golongan II/b);
(b) berpendidikan serendah– rendahnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas;
(c) ditugaskan di bidang teknis operasional;
xliii
(d) telah mengikuti pendidikan khusus di bidang penyidikan;
(e) mempunyai nilai baik atas Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan
(DP3) Pegawai Negeri Sipil untuk 2 tahun terakhir berturut – turut;
(f) berbadan sehat dan dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
d. Tugas Pokok dan Fungsi Subdit Penyidikan Keimigrasian
Berdasarkan Pasal 610 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, No. M.03.PR.07.10 Tanggal 7 Desember Tahun
2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, tertulis dengan jelas tugas pokok Sub
Direktorat Penyidikan Keimigrasian. Tugas pokok Sub Direktorat Penyidikan
Keimigrasian itu sendiri adalah:
(1) Melaksanakan penyiapan penyusunan rancangan kebijakan,
(2) Pembinaan dan bimbingan teknis di bidang Penyidikan tindak pidana
keimigrasian
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang keimigrasian,
(4) Pelaksanaan penyidikan tindak pidana keimigrasian.
Dalam pelaksanaan tugas pokok tersebut di atas, Sub Direktorat
Penyidikan Keimigrasian menyelenggarakan fungsi:
a) Pembinaan dan bimbingan teknis di bidang penyidikan tindak pidana
keimigrasian dan PPNS keimigrasian;
b) Penyidikan;
c) Penyiapan bahan pembuatan penyusunan rancangan kebijakan.
2.
Pelaksanaan Penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Kemigrasian dalam Perkara Pelanggaran Undang – Undangan Keimigrasian
dengan Tersangka Mohamad Rabiul Iman alias Mohamad Rabiul Islam
a. Cara Diketahui Adanya Pelanggaran Keimigrasian
xliv
Berdasarkan teori, maka ada beberapa cara Penyidik mengetahui
adanya tindak pidana, yaitu antara lain :
1) Laporan
2) Pengaduan
3) Diketahui Sendiri oleh Penyidik
4) Pemberitaan Media
Dalam perkara pelanggaran Undang–Undang Keimigrasaian dengan
pelaku bernama Mohamad Rabiul Iman alias Mohamad Rabiul Islam,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian mengetahui adanya
pelanggaran Undang–Undang Keimigrasian berdasarkan laporan. Laporan
tersebut dibuat oleh Kasie Penyidikan Kejahatan Keimigrasian dengan
Nomor : 11 / LK / IX / 2005 / DIKKIM tanggal 1 September 2005 yang
berisi :
Pada hari Jumat tanggal 12 Agustus 2005 pukul 14.00 WIB, Direktur
Penindakan dan Rumah Detensi Imigrasi memerintahkan Kasubdit
Penyidikan untuk melakukan Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian
terhadap seorang laki–laki bernama Mohamad Rabiul Islam alias
Mohamad Robiul Iman kebangsaan Bangladesh karena ( diduga kuat ) :
Berada di wilayah Indonesia tanpa memiliki ijin keimigrasian dan surat
perjalanan (paspor) dan tidak dapat memperlihatkan surat perjalanan atau
dokumen keimigrasian yang dimilikinya. Mohamad Rabiul Islam alias
Mohamad Robiul Iman diduga kuat melanggar Peraturan Perundang–
Undangan Keimigrasaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan 51
Undang–Undang No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian, sehingga perlu
dilakukan penyidikan.
b. Uraian Singkat Kasus
Tersangka adalah seorang laki–laki berkewarganegaraan asing
yaitu warga negara Bangladesh, lahir di Jinaidah Bagladesh, 25 Agustus
1973 beragama Islam. Tersangka diketahui sebagai Orang Asing saat
xlv
hendak mengajukan permohonan Paspor RI ke Kantor Imigrasi Jakarta
Barat. Saat mengajukan permohonan Paspor RI di Kantor Imigrasi Jakarta
Barat tersangka mengaku kepada Petugas Imigrasi Jakarta Barat bernama
alias Mohamad Rabiul Islam dengan data pendukung berupa : KTP, KK,
Akta Kelahiran, Buku Nikah yang menggunakan nama Mohamad Rabiul
Iman yang diakui oleh tersangka adalah miliknya ( diduga palsu), namun
usaha tersangka dapat digagalkan oleh Petugas ( belum mendapat Paspor
RI).
Tersangka telah berada atau tinggal di Indonesia sejak tanggal 9
April 2005. Tersangka masuk ke dalam wilayah Indonesia tanpa melalui
Tempat Pemeriksaam Imigarsi di Johor Baru Malaysia pada ( malam hari )
sekitar tanggal 8 April 2005 dengan menggunakan kapal kecil speed boat
laut yang mendarat di Batam. Tersangka telah datang ke Indonesia untuk
menikah dengan seorang wanita bernama Yeni Purnama Dewi dan tinggal
di Indramayu.
Tersangka selama tinggal di Indonesia, tanpa dilengkapi (memiliki
) sama sekali Surat Perjalanan atau Paspor atau dokumen keimigrasian apa
pun, yang sudah menjadi ketentuan bagi setiap orang asing yang berada
atau tinggal di wilayah Indonesia sebagaimana telah ditetapkan oleh
Undang–Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Sejak tersangka
diserahkan ke Direktorat Jenderal Imgrasi tersangka belum dapat
memperlihatkan Surat Perjalanan atau Paspor atau dokumen keimigrasaian
yang diminta oleh Petugas Imigrasi sebagaimana telah diatur oleh Pasal 53
dan 51 Undang–Undang No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.
c. Identitas Tersangka :
Berdasarkan Berkas Perkara Nomor : 10/BP/-TPK/X/2005/DIKKIM
tanggal 31 Oktober 2005 diperoleh identitas tersangka :
Nama
: Mohamad Robiul Iman alias
Mohamad Robiul
xlvi
Islam
Tempat/Tgl lahir
: Jinaidah Bangladesh, 25 Agustus
1973
Kebangsaan / Agama
: Bangladesh / Islam
No. Paspor
:-
Pekerjaan
: Buruh
Alamat di Bangladesh
: Village Burai, Pos Bodor GonzBazar
Distrik Jinaidah Bangladesh
d. Tindakan PPNS Keimigrasian dalam Pelaksanaan Penyidikan :
1) Membuat Surat Perintah Penyidikan
Untuk kepentingan penyidikan tindak pidana keimigrasian, maka
dikeluarkan
Surat
Perintah
Penyidikan
Nomor
:
11/SPP/IX/2005/DIKKIM yang ditandatangani oleh Muhhamad Indra,
SH, MH, selaku Direktur Penindakan Keimigrasian dan Rumah Detensi
Imigrasi. Surat Perintah Penyidikan dibuat berdasarkan :
(a) Pasal 7 sampai dengan 9, Pasal 11 sampai dengan 12, Pasal 106,
Pasal 109 ayat (1) dan Pasal 110 ayat (1) KUHAP
(b) Pasal 47 Undang–Undang No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian
(c) Laporan
Kejadian
No.
11/LK/IX/2005/DIKKIM
tanggal
1
September 2005
Surat Perintah Penyidikan tersebut berisi :
(a) Diperintahkan MZ. Ariffin Somadilaga SH, MH untuk melakukan
penyidikan tindak pidana keimigrasian sampai tuntas terhadap 1
(satu) orang laki–laki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan
Pasal 51 Undang–Undang No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasaian.
(b) Melaporkan hasil pelaksanaan surat perintah ini
(c) Surat perintah ini berlaku sejak tanggal 05 September 2005
2) Membuat Surat Perintah Tugas
xlvii
Untuk kepentingan penyelidikan Tindak Pidana Keimigrasian,
maka oleh Direktur Penindakan Keimigrasian dan Rumah Detensi
Imigrasi, juga dikeluarkan Surat Perintah Tugas dengan Nomor :
11/LK/IX/2005/DIKKIM tanggal 5 September 2005. Surat Perintah
Tugas tersebut ditujukan kepada 6 (orang) Pejabat PPNS di
lingkungan Subdit Penyidikan Dit. Dakim dan Rudenim.
Adapun tugas yang diberikan adalah melaksanakan tindakan
pengusutan, pemeriksaan dan tindakan lainnya dalam rangka
penyidikan terhadap tersangka A.n. Mohamad Robiul Iman alias
Mohamad Robiul
Islam Warga Negara Bangladesh. Batas waktu
penugasan dimulai sejak tanggal 5 September 2005 sampai dengan
selesai.
3) Membuat Surat Pemberitahuan kepada Kejaksaan dimulainya
penyidikan
Berdasarkan ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, setiap
Penyidik memulai penyidikan harus memberitahukan kepada
Kejaksaan. Hal ini sebagai wujud adanya hubungan dan koordinasi
fungsional antara Kepolisian dan Kejaksaan.
Dalam perkara
pelanggaran UU Keimigrasian dengan tersangka Mohamad Robiul
Iman
alias
Mohamad
Robiul,
PPNS
Keimigrasian
telah
memberitahukan dimulai penyidikan kepada Kepala Kejaksaan
Tinggi DKI Jakarta, dengan Nomor 12/SPDP/IX/2005/DIKKIM,
tanggal 30 September 2005. Adapun inti dari Surat Pemberitahuan
tersebut adalah bahwa pada hari Kamis tanggal 1 September 2005
telah dimulai penyidikan keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 dan pasal 51 UU No. 9 tahun 1992 tentang Kemigrasian,
terhadap laki-laki bernama
Robiul.
4) Melakukan Pemanggilan :
a) Terhadap Saksi
xlviii
Mohamad Robiul Iman alias Mohamad
(1) Dengan Surat Panggilan No : 22/SP2/IX/2005/DIKKIM
tanggal
15
September
2005,
telah
dipanggil
BUDI
MULYAWAN, Amd. Im dengan alamat kantor : Jl. Poskota
No. 4 Jakarta Barat.
(2) Dengan Surat Panggilan No. 26/SP2/IX/2005/DIKKIM tanggal
15 September 2005, telah dipanggil H. R
RENUNG
WIDODO, dengan alamat kantor : Jl. Poskota No. 4 Jakarta
Barat.
(3) Dengan Surat Panggilan No. 28/SP2/IX/2005/DIKKIM tanggal
16 September 2005, telah dipanggil ALVIAN BAYU, Amd.
Im dengan alamat kantor : Jl. Rasuanan Said Kav No. 8-9
Jakarta Selatan.
(4) Dengan Surat Panggilan No. 28B/SP2/IX/2005/DIKKIM
tanggal 16 September 2005, telah dipanggil WAHYUDI
dengan alamat kantor : Jl. Rasuanan Said Kav No. 8-9 Jakarta
Selatan.
(5) Dengan Surat Panggilan No. 29/SP2/X/2005/DIKKIM tanggal
16 September 2005, telah dipanggil MARIANTO, SH dengan
alamat kantor : Jl. Rasuanan Said Kav No. 8-9 Jakarta Selatan.
Seluruh Surat Pemanggilan saksi dibuat dan ditanda
tangani oleh MZ. ARIFIN SOMADILAGA, SH. MH selaku
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
5) Melakukan Pemeriksaan
a) Terhadap Tersangka
Terhadap Tersangka dilakukan pemeriksaan pada
tanggal 8 September 2005 oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Keimigrasian yaitu MZ. ARIFIN SOMADILAGA, SH. MH,
dimana tersangka memberikan keterangan sebagai berikut :
xlix
(1)
Tersangka dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, serta
bersedia memberi keterangan yang dapat di pertanggung
jawabkan.
(2)
Tersangka mengerti bahasa Indonesia.
(3)
Tersangka
mengerti
hari
ini
diminta
keterangan
sehubungan dengan izin keimigrasian tersangka.
(4)
Tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukum.
(5)
Tersangka lahir di Burai Distrik Jinaidah Bagladesh 25
Agustus 1973, tinggal di Jinaidah Bangladesh. Ayah
tersangka bernama MOHAMAD SHUKUR ALI dan ibu
bernama SITI SARA, tersangka memiliki 2 ( dua ) orang
saudara kandung , tersangka adalah anak pertama dan
adik tersangka yang ke 1 bernama SUPIA ( perempuan )
dan adik tersangka yang ke2 ( dua ) beranam RASIDAH
juga
( perempuan ). Pendididkan tersangka hanya
sampai Primary School yang ditamatkan di Bador Gonz
Bazar Bangladesh. Tersangka tealh bekerja di Bangladesh
sebagai Buruh Bangunan. Pada tahun 1995 Tersangka
berangkat ke Malaysia dan bekerja di perkebunan kelapa
sawit di daerah Ulu bernan Estad dan pada tahun 2002
Tersangka kembali ke Bangladesh. Akan tetapi setahun
kemudian tahun 2003 tersangka kembali ke Malaysia
dengan dibantu oleh agen perjalanan, tersangka masuk
kewilayah
Malayisa
mengakui
bahwa
melalui
paspor
Thailand,
Kebangsaan
tersangka
Bangladesh
miliknya dipegang oleh agen perjalanan sejak sebelum
memasuki Malaysia. Dan agen perjalanan tersebut tidak
pernah mengembalikan paspor kebangsaan Bangladesh
milik tersangka. Sehingga pada saat berada di Malaysia
tersangka sudah tidak memegang dan memiliki Paspor
l
kebangsaan Bangladesh miliknya lagi. Di Malaysia
tersangka bekerja sebagai Buruh bangunan. Tersangka
juga menerangkan bahwa disana banyak pendatang gelap
yang tidak memiliki paspor tetapi dapat bekerja.
(6)
Tersangka mengaku bahwa orang/agen perjalanan yang
menahan paspor Bangladesh milik Tersangka tersebut
bernama SHALIM. Tersangka mengaku bahwa SHALIM
tidak pernah mengembalikan paspornya lagi sejak
Tersangka masuk ke wilayah Malaysia untuk terakhir kali
tahun 2003.
(7)
Tersangka datang ke Indonesia pertama kali tanggal 8
April 2005 dengan menggunakan Speed Boat ( kapal
kecil ) melalui Johorbaru dan mendarat di suatu
pelabuhan di Batam.
(8)
Tersangka menerangka bahwa di tempat ia mendarat
tidak terdapat petugas Imigrasi. Tersangka tidak pernah
melaporkan pada Petugas Imigrasi sehubungan dengan
masuknya tersangka ke Indonesia.
(9)
Tersangka datang ke Indonesia untuk menikah dengan
seorang WNI bernama YENI PURNAMA DEWI berasal
dari Indramayu yang dikenal di Malaysia.
(10) Tersangka Menerangkan bagaimana dia masuk ke
Indonesia dapat diceritakan sebagai berikut :
Dari Penang tersangka naik bus ke Kuala Lumpur dan
melanjutkan ke Johor Baru, tersangka membayar Agen
Perjalanan sebesar 800 (delapan ratus) ringgit untuk
ongkos kapal ke Batam. Kemudian bersama dengan
orang yang tidak Tersangka kenal tiba di suatu pantai di
Batam malam hari tanggal 8 April 2005. Keesokan
li
paginya Tersangka naik kendaraan ke Batam dan dari
Batam tersangka melanjutkan perjalanan ke Jakarta
dengan
naik Pesawat Jatayu. Sesampainya di Jakarta
Tersangka melanjutkan perjalanan ke Indramayu bersama
YENI
(11) Tersangka mengakui berkewarganegaraan Bangladesh.
(12) Tersangka mengakui bahwa dokumen – dokumen berupa
KTP
No.
32.14.16.2001.073075
An.
MOHAMAD
ROBIUL IMAN, Akte Lahir No. 12.238/DISP/VI/2005
An. MOHAMAD ROBIUL IMAN dan Kartu Keluarga
No. 0019848/16.2001/2005 An. MOHAMAD ROBIUL
IMAN serta buku nikah dengan No. 155/82/VI/2005 An,
MOHAMAD ROBIUL IMAN semuanya adalah benar–
benar milik tersangka sendiri.
(13) Tersangka mengetahui bahwa dokumen–dokumen tersebut
dapat diperoleh atas bantuan keluarga istrinya dan
tersangka
tidak
mengetahui
bagaimana
mengurus
pembuatan dokumen–dokumen tersebut.
(14) Tersangka mengakui bahwa ia masuk ke Indonesia tidak
dilengkapi dengan Paspor dan Visa.
(15) Tersangka mengakui bahwa selama berada di Indonesia
tersangka hanya tinggal di rumah mertuanya di
Indramayu dan tidak pernah bekerja sama sekali.
(16) Tersangka menerangkan bahwa selama berada di
Indonesia
tersagka
tidak
pernah
keluar
atau
meninggalkan wilayah Indonesia.
(17) Tersangka selama berada di Indonesia tidak pernah
melaporkan
ke
Indonesia.
lii
Imigrasi
tentang
keberadaanya
di
(18) Tersangka mengaku ditangkap oleh petugas Imigrasi
Jakarta Barat pada tanggal 1 Juli 2005 pada saat
tersangka akan mengajukan pembuatan Paspor RI.
(19) Tersangka mengakui bahwa pada saat mengajukan
pembuatan Paspor RI di Kantor Imigrasi Jakarta Barat dia
mengaku
bahwa
sesungguhnya
Tersangka
berkewarganagaraan Bangladesh.
(20) Tersangka mengetahui dan mengerti bahwa tersangka
seharusnya memiliki paspor kebangsaan miliknya dan
izin keimigrasiaannya untuk masuk berada di wilayah
Indonesia.
(21) Tersangka menyatakan bahwa keterangan yang ia berikan
adalah benar adanya dan dapat di pertanggung jawabkan
oleh tersangka.
b) Terhadap Saksi-Saksi
Saksi Pertama :
Nama
: Budi Mulyawan, Amd. Im
Pekerjaan
: Staf pada Seksi Wasdakim pada kantor
Imigrasi
Jakarta Barat.
Alamat Kantor: Jl. Poskota No. 4 Jakarta Barat
Saksi diperiksa pada hari Kamis, 15 September 2005,
oleh
MZ. ARIFIN SOMADILAGA, SH. MH pada garis
besarnya menerangkan bahwa :
(1)
Saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
(2)
Saksi mengerti diperiksa sehubungan dengan perkara
tindak pidana keimigrasian yang diduga dilakukan oleh
MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
ROBIUL ISLAM.
liii
MOHAMAD
(3)
Saksi tidak mengenal tersangka MOHAMAD ROBIUL
IMAN alias MOHAMAD ROBIUL ISLAM
(4)
Saksi tidak pernah melihat atau bertemu dengan
MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
MOHAMAD
ROBIUL ISLAM
(5)
Saksi bertemu dengan tersangka MOHAMAD ROBIUL
IMAN alias
MOHAMAD ROBIUL ISLAM diruang
bagian seksi wasdakim sekitar bulan Juli 2005 hari Jumat
pukul 11.30, saksi tidak mengingat tanggalnya.
(6)
Saksi
mengetahui
bahwa
tersangka
MOHAMAD
ROBIUL IMAN alias MOHAMAD ROBIUL ISLAM
datang kekantor Imigrasi Jakarta Barat untuk mengajukan
Paspor RI.
(7)
Saksi mencurigai dan melakukan pemeriksaan terhadap
tersangka
MOHAMAD
ROBIUL
IMAN
alias
MOHAMAD ROBIUL ISLAM.
(8)
Saksi
mengetahui
bahwa
tersangka
MOHAMAD
ROBIUL IMAN alias MOHAMAD ROBIUL ISLAM
mengakui bukan warga negara Indonesia dan mengakui
bahwa tersangka sesungguhnya berkewarganegaraan
Bangladesh.
(9)
Pada saat tertangkap tangan tersangka MOHAMAD
ROBIUL IMAN alias MOHAMAD ROBIUL ISLAM
belum mendapatkan Paspor RI yang diinginkannya.
(10) Saksi mengetahui tersangka datang dari Pulo Pineng
tempat ia bekerja sebagai buruh bangunan kemudian ke
Kuala Lumpur naik bus kemudian ke Johor dan masuk ke
wilayah Indonesia melalui Batam pada malam hari.
liv
(11) Saksi mengetahui bahwa tersangka sengaja membayar
sebesar 800 (delapan ratus Ringgit kepada) agen
perjalanan di Malaysia agar tidak melewati pos Imigrasi
karena tersangka tidak memiliki paspor kebangsaan
Bangladesh miliknya.
(12) Saksi mengetahui bahwa tersangka datang di Indonesia
untuk menikah dengan seorang perempuan bernama
YENI PURNAMA DEWI.
Saksi Kedua :
Nama
: H. A Renung Widodo, SH, CN
Pekerjaan
: Kepala Seksi Wasdakim pada Kantor Imigrasi
Jakarta Barat.
Alamat Kantor : Jl. Poskota No. 4 Jakarta Barat
Saksi menerangkan bahwa :
(1) Saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
(2) Saksi mengerti diperiksa sehubungan dengan perkara
tindak pidana keimigrasian yang diduga dilakukan oleh
MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
MOHAMAD
ROBIUL ISLAM.
(3) Saksi tidak mengenal tersangka MOHAMAD ROBIUL
IMAN alias MOHAMAD ROBIUL ISLAM
(4) Saksi tidak pernah melihat atau bertemu dengan
MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
MOHAMAD
ROBIUL ISLAM
(5) Saksi mengenal atau bertemu dengan tersangka
MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
MOHAMAD
ROBIUL ISLAM tepatnya pada hari Jumat tanggal 12
lv
Juli 2005 pukul 13.00 wib di kantor Imigrasi Jakarta
Barat.
(6) Saksi menerangkan bahwa motivasi tersangka datang
ke kantor Imigrasi Jakarta Barat hanya untuk mendapat
Paspor RI agar memudahkan kembali ke Malaysia.
(7) Saksi
mengetahui
menurut
pengakuan
tersangka
bagaimana tersangka MOHAMAD ROBIUL IMAN
alias
MOHAMAD ROBIUL ISLAM memasuki
wilayah Indonesia yaitu sekitar bulan April 2005
melalui Johor ke Batam dengan kapal Fery terakhir,
pada waktu di Tempat Pemeriksaan Imigrasi ditutup
dan paginya MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
MOHAMAD ROBIUL ISLAM masuk ke wilayah
Indonesia dan melanjutkan perjalanan ke Indramayu.
(8) Saksi mengetahui bahwa MOHAMAD ROBIUL IMAN
alias
MOHAMAD ROBIUL ISLAM masuk ke
wilayah Indonesia tanpa dilengkapi dengan Paspor
kebangsaaan
Bangladesh
berdasarkan
pengakuan
tersangka.
(9) Pada saat tersangka datang ke kantor Imigrasi Jakarta
Barat
tersangka
mengaku
bernama
MOHAMAD
ROBIUL IMAN.
Saksi Ketiga
Nama
: Alvian Bayu Indra Yudha, Amd.Im
Pekerjaan
: Pejabat Imigrasi pada Subdit
Rumah Detensi
Imigrasi Dan Deportasi, Direktorat Penindakan Keimigrasian dan
Rumah Detensi Imigrasi, Direktorat Jendral Imigrasi.
Alamat Kantor : Jl. HR. Rasuna Said Kav 8-9 Jakarta Selatan
lvi
Saksi Menerangkan bahwa :
(1) Saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
(2) Saksi mengerti diperiksa sehubungan dengan perkara
tindak pidana keimigrasian yang diduga dilakukan oleh
MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
MOHAMAD
ROBIUL ISLAM.
(3) Saksi tidak mengenal tersangka MOHAMAD ROBIUL
IMAN alias
MOHAMAD ROBIUL ISLAM, tetapi
pernah bertemu tersangka pada tanggal 12 agustus 2005
di Subdit Rudenim Dan Deportasi Dit. Dakim Dan
Rudenim Ditjen Imigrasi dalam kapasitas sebagai staf
dan
turut
menyaksikan
penyerahan
MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
tersangka
MOHAMAD
ROBIUL ISLAM dari Kanim Jakarta Barat oleh Gung
Sjulaiman
(4) Saksi mengetahui kebangsaan tersangka pada saat
diserahkan adalah Bangladesh
(5) Menurut saksi setiap orang asing wajib memperlihatkan
paspor kebangsaan kepada petugas saat dilakukan
pemeriksaan sesuai Pasal 39 huruf b UU No. 9 tahun
1992 tentang Keimigrasian.
(6) Tersangka telah menyalahi ketentuan dalam Pasal 39
huruf b UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian
Saksi Keempat
Nama
:Wahyudi
Pekerjaan
: Staf ( PNS ) Subdit
Subdit
Rumah
Detensi Imigrasi Dan Deportasi, Direktorat Penindakan
lvii
Keimigrasian dan Rumah Detensi Imigrasi, Direktorat
Jendral Imigrasi.
Alamat Kantor
: Jl. HR. Rasuna Said Kav 8-9 Jakarta
Selatan
Saksi Menerangkan :
(1) Saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
(2) Saksi mengerti diperiksa sehubungan dengan perkara
tindak pidana keimigrasian yang diduga dilakukan oleh
MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
MOHAMAD
ROBIUL ISLAM.
(3) Saksi tidak mengenal tersangka MOHAMAD ROBIUL
IMAN alias
MOHAMAD ROBIUL ISLAM, tetapi
pernah bertemu tersangka pada tanggal 12 agustus 2005
di Subdit Rudenim Dan Deportasi Dit. Dakim Dan
Rudenim Ditjen Imigrasi dalam kapasitas sebagai staf
dan
turut
menyaksikan
penyerahan
MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
tersangka
MOHAMAD
ROBIUL ISLAM dari Kanim Jakarta Barat oleh Gung
Sjulaiman
(4) Saksi mengetahui kebangsaan tersangka pada saat
diserahkan adalah Bangladesh.
(5) Menurut saksi setiap orang asing wajib memperlihatkan
paspor kebangsaan kepada petugas saat dilakukan
pemeriksaan sesuai Pasal 39 huruf b UU No. 9 tahun
1992 tentang Keimigrasian.
(6) Tersangka telah menyalahi ketentuan dalam Pasal 39
huruf b UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Saksi Kelima
lviii
Nama
:Marianto, SH
Pekerjaan
: Kepala Seksi Rumah Detensi Imigrasi pada
Subdit.Rumah Detensi Imigrasi Dan Deportasi, Direktorat
Penindakan Keimigrasian dan Rumah Detensi Imigrasi,
Direktorat Jendral Imigrasi.
Alamat Kantor : Jl. HR. Rasuna Said Kav 8-9 Jakarta
Selatan
Saksi Menerangkan :
(1) Saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
(2) Saksi mengerti diperiksa sehubungan dengan perkara
tindak pidana keimigrasian yang diduga dilakukan oleh
MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
MOHAMAD
ROBIUL ISLAM.
(3) Saksi tidak mengenal tersangka MOHAMAD ROBIUL
IMAN alias
MOHAMAD ROBIUL ISLAM, tetapi
pernah bertemu tersangka pada tanggal 12 agustus
2005 di Subdit Rudenim Dan Deportasi Dit. Dakim
Dan Rudenim Ditjen Imigrasi dalam kapasitas sebagai
staf dan turut menyaksikan penyerahan tersangka
MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
MOHAMAD
ROBIUL ISLAM dari Kanim Jakarta Barat oleh Gung
Sjulaiman
(4) Saksi mengetahui kebangsaan tersangka pada saat
diserahkan adalah Bangladesh.
(5) Menurut
saksi
setiap
orang
asing
wajib
memperlihatkan paspor kebangsaan kepada petugas
saat dilakukan pemeriksaan sesuai Pasal 39 huruf b UU
No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.
lix
(6) Tersangka telah menyalahi ketentuan dalam Pasal 39
huruf b UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.
7) Membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Saksi
Setelah saksi-saksi selesai diperiksa, maka oleh PPNS Imigrasi
dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Saksi. Setelah BAP selesai
dibuat, kemudian oleh pemeriksa dibacakan kembali kepada yang
bersangkutan. Sebagai tanda setuju atas BAP, yang bersangkutan selaku
saksi membubuhkan paraf
di setiap halaman dan kemudian
membubuhkan tanda tangan.
8) Membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Tersangka
Setelah tersangka diperiksa, maka oleh PPNS Imigrasi dibuatkan
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Tersangka. Setelah BAP selesai
dibuat, kemudian oleh pemeriksa dibacakan kembali kepada yang
bersangkutan. Sebagai tanda setuju atas BAP, yang bersangkutan selaku
Tersangka membubuhkan paraf
di setiap halaman dan kemudian
membubuhkan tanda tangan.
9) Melakukan Upaya Paksa
Dalam pelaksanaan penyidikan pelanggaran Undang–Undang
Keimigrasian dengan tersagka MOHAMAD ROBIUL IMAN alias
MOHAMAD ROBIUL ISLAM. Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS)
Keimigrasian melakukan upaya paksa berupa Penyitaan terhadap :
(a) Kartu Tanda Penduduk ( KTP )
Nama
: MOHAMAD ROBIUL IMAN
No
: 32.15.16.2001.073075
Masa Berlaku
: 20 April 2005 s/d 25 Agustus 2008
Kabupaten
: Indramayu
(b) Kartu Keluarga ( KK )
lx
Nama
: MOHAMAD ROBIUL IMAN
No
: 0019848/16.2001/2005
Kabupaten
: Indramayu
(c) Akta Kelahiran
Nama
: MOHAMAD ROBIUL IMAN
No
: 12.238/DISP/VI/2005
Kabupaten
: Indramayu
(d) Buku Nikah Suami
Nama
: MOHAMAD ROBIUL IMAN
No
: 155/82/IV/2005
Langkah–langkah yang dilakukan oleh PPNS Keimigrasaian dalam
melakukan penyitaan adalah sebagai berikut :
(a)
(b)
Membuat Surat Perintah Penyitaan
No.
: 12/SP2B2/X/2005/DIKKIM
tanggal
: 20 Oktober 2005
Dibuat
: Luckman Hakim, Bc. Im
Membuat Permohonan Ijin/Penetapan Penyitaan Barang Bukti
Kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dibuat
berdasarkan
Surat
Perintah
Penyidikan
No.
11/SPP/IX/2005/DIKKIM tanggal 5 September 2005. Yang
telah dilakukan oleh penyidik terhadap seorang : MOHAMAD
ROBIUL IMAN yang diduga telah melakukan Tindak Pidana
Keimigrasian.
Penyitaan tersebut dilakukan karena dikhawatirkan barang
tersebut akan dihilangkan/dimusnahkan oleh tersangka.
(c)
Membuat Berita Acara Penyitaan
lxi
Setelah PPNS Imigrasi melakukan tindakan penyitaan
terhadap barang-barang milik tersangka yang berupa dokumen
kependudukan, maka segera dibuatkan Berita Acara Penyitaan.
Berita Acara Penyitaan tersebut ditandatangani oleh pemilik
barang, petugas yang melakukan penyitaan dan 2 (dua) orang
saksi.
10) Menyusun Sampul Berkas Perkara
Sampul berkas perkara dibuat oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil
(PPNS)
Keimigrasian
dengan
No.:
10/SBP-
TPK/X/2005/DIKKIM, Tanggal 1 September 2005 berisi :
(a) Kejadian Perkara : Tindak Pidana Keimigrasian
(b) Dilaporkan tanggal : 1 September 2007
(c) Uraian perkara Tindak Pidana Keimigrasian : Tindak pidana
keimigrasaian yang dilakukan oleh MOHAMAD ROBIUL IMAN
alias MOHAMAD ROBIUL ISLAM, 1 (satu) orang laki - laki
warga Negara Bangladesh, yang lahir di Jinaidah Bangladesh, 25
Agustus 1973, Agama Islam, dengan cara tinggal
(berada) di
wilayah Indonesia tanpa mempunyai (memiliki) izin (dokumen)
keimigrasian bahkan Surat Perjalanan atau Paspor dan juga tidak
dapat melakukan kewajibannya sebagai Orang Asing untuk
memperlihatkan Paspor kebangsaan. Tersangka telah nyata tidak
menghormati dan mentaati peraturan perundang – undangan yang
berlaku di wilayah Indonesia, diduga kuat telah melanggar Pasal
53 dan Pasal 51 UU No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian
(d) Dilaporkan tanggal : 1 September 2007
(e) Nama dan tanda tangan PPNS serta diketahui oleh pejabat yang
berwenang.
(11) Menyerahkan Berkas Perkara Kepada Kejaksaan
lxii
Menurut Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (
KUHAP ) penyerahan berkas perkara ada 2 ( dua ) tahap, yaitu :
(a) Tahap pertama menyerahkan berkas perkara
(b) Tahap kedua menyerahkan barang bukti dan tersangka
Dalam Dalam perkara pelanggaran UU Keimigrasian dengan
tersangka MOHAMAD ROBIUL IMAN alias MOHAMAD
ROBIUL ISLAM ini berkas perkara dilimpahkan oleh PPNS
Keimigrasian kepada Kejaksaan Tinggi DKI melalui Direktur
Reskrimsus/Kabid Korwas PPNS Polda Metro Jaya DKI, yaitu
dengan surat nomor 10/PBP/XI/2005/DIKKIM. Dengan demikian
Penyidik PPNS tidak menyerahkan berkas perkara langsung kepada
kejaksaan akan tetapi melalui kepolisian. Jadi Kepolisianlah yang
akan menyerahkan berkas kepada Kejaksaan. Hal demikian
memang sesuai dengan ketentuan KUHAP bahwa PPNS di bawah
pengawasan penyidik Kepolisian.
3. Pembahasan
Penyidikan keimgrasian adalah suatu kegiatan keimigrasian yang
merupakan tindakan hukum pidana atau justisial di bidang keimigrasian,
dengan melakukan serangkaian penyidikan tindak pidana keimigrasian
terhadap mereka yang melanggar peraturan sebagaimana tersebut dalam
UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Tindak Pidana
Keimigrasian terdiri dari kejahatan sebagaimana tersebut dalam Pasal
48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58 dan Pasal 59 dan pelanggaran diatur
dalam Pasal 51, 60 dan pasal 61. Menurut penjelasan Pasal 47 ayat (1)
UU No. 9 tahun 1992, bahwa tindak pidana keimigrasian dalam undangundang ini merupakan tindak pidana umum. Oleh karena tindak pidana
keimigrasian bukan tindak pidana khusus, maka Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) Imigrasi dalam melakukan proses penyidikan
sepenuhnya menggunakan hukum acara pidana atau hukum formil,
sebagaimana tersebut dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan
lxiii
berada dalam koordinasi Penyidik Polri,
sebagai Koordinator dan
Pengawas (Korwas) PPNS.
Seiring dengan perkembangan yang pesat di bidang teknologi
informasi, maka akan terjadi perubahan sosial yang cepat pula.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Wahyudin Ukun seperti
dikutip oleh Lucky Agung Binarto (2007, 15) sudah waktunya bagi
jajaran imigrasi untuk mengkaji dan merumuskan paradigma baru
keimigrasian Indonesia, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a) Mengubah
cara
pelayanan
keimigrasian
dengan
lebih
menitikberatkan pada kepuasan masyarakat.
b) Melakukan
keimigrasian
kegiatan
pengawasan
dengan
lebih
dan
penegakan
memperhatikan
hukum
terjaminnya
penghormatan terhadap hak asasi manusia.
c) Melaksanakan keimigrasian dengan lebih mendorong terwujudnya
kondisi daya saing global sektor kehidupan lain.
d) Memberdayakan potensi sumber daya manusia imigrasi kea rah
lebih professional dengan dijiwai akhlak yang baik.
e) Mengubah cara pendekatan hierarki menjadi pendekatan kolaborasi
dalam setiap pengambilan dan pelaksanaan kebijakan keimigrasian.
Keberadaan orang asing di Indonesia, tidak sedikit yang
menyalahgunakan ijin keimigrasian, bahkan bisa saja niat untuk
melakukan pelanggaran tersebut sudah ada sewaktu masih berada di
negaranya dan atau di negara lain. Untuk kepentingan supremasi dan
penegakan hukum serta menjaga kewibawaan Negara, termasuk wibawa
aparat pintu gerbang Negara, maka terhadap orang asing yang
menyalahgunakan ijin keimigrasian dikenakan tindakan hukum berupa:
a) Tindakan hukum pidana, melalui serangkaian tindakan penyidikan
dalam proses sistem peradilan pidana, kemudian setelah selesai
menjalani pidana, diikuti tindakan deportasi ke Negara asal dan
lxiv
penangkalan tidak diijinkan masuk ke wilayah Indonesia dalam
batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
b) Tindakan hukum administrasi, terhadap pelanggaran hukum tersebut
tidak dilakukan tindakan penyidikan, melainkan langsung dikenakan
tindakan administrasi di bidang keimigrasian, yang disebut tindakan
keimigrasian berupa pengkarantinaan, deportasi dan penangkalan.
Apabila diduga telah terjadi tindak pidana keimigrasian, maka salah
satu
langkah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah
melakukan tindakan penyidikan. Pelaksanaan penyidikan terhadap suatu
kejahatan menurut ketentuan KUHAP dilakukan oleh seorang pejabat
penyidik. Dalam Pasal 6 ayat ( l) huruf b KUHAP disebutkan adanya
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang. Pegawai negeri sipil tersebut mempunyai fungsi
dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka
miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus, yang
telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah
satu pasalnya.
Jadi disamping pejabat penyidik Polri, undang-undang pidana
khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil
yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan. Wewenang penyidikan
yang dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas
sepanjang yang menyangkut tindak pidana yang diatur dalam undangundang pidana khusus tadi. Hal demikian sesuai dengan pembatasan
wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP, yang antara
lain ditegaskan bahwa penyidik pegawai negeri sipil mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan
hukumnya masing-masing dan di dalam pelaksanaan tugasnya berada di
bawah
koordinasi
dan
pengawasan
penyidik
keimgrasian, meliputi empat aspek kegiatan, yaitu:
a) Pengolahan hasil pengawasan dan atau penyidikan
lxv
Polri.
Tindakan
Temuan adanya perbuatan melanggar hukum hasil pengawasan dan
bukti penyidikan, dilakukan pengolahan dan pemilahan sesuai sifat
dan jenis pelanggaran, untuk menentukan tindakan keimigrasian
yang tepat dikenakan terhadap si pelanggar hukum.
b) Pemeriksaan
Melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, saksi dan barang bukti
hasil pengawasan dengan dibuatkan berita acara. Sedangkan hasil
penyidikan dan perkara yang sudah mendapatkan putusan serta
berkuatan hukum tetap, tidak perlu lagi pemeriksaan, hanya
diperlukan identifikasi terhadap bekas terpidana dengan merujuk
surat perjalanan. Surat atau dokumen lain serta putusan hakim,
sehingga tidak keliru dalam pelaksanaan tindakan keimgrasian.
c) Penindakan
Melakukan suatu tindakan hukum administrasi terhadap orang yang
tidak mentaati peraturan dan atau melakukan kegiatan yang
berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum, terdiri dari:
(1) Warga Negara Indonesia, berupa: cekal, penolakan keluar
wilayah Indonesia, pencabutan dan hal lain yang berkenaan
dengan surat perjalanan Republik Indonesia;
(2) Orang asing, berupa: cekal, penolakan keluar dan masuk
wilayah Indonesia, biaya beban, deportasi, pengkarantinaan,
pembatasan/pembatalan/perubahan
ijin keberadaan, larangan berada di suatu atau beberapa
tempat, keharusan bertempat tinggal di tempat tertentu;
(3) Penanggung jawab alat angkut, berupa: biaya beban,
membawa kembali orang asing yang tidak diberi ijin masuk,
lxvi
orang asing yang tidak diberi ijin masuk untuk tetap tinggal
atau diisolasi di alat angkut.
d) Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan
akhir dari pada proses penyidikan tindak pidana keimigrasian. Dasar
hukumnya adalah Pasal 8 KUHAP, Pasal 107 ayat (3) KUHAP,
Pasal 109 ayat (2) KUHAP, Pasal 110 KUHAP dan Pasal 138
KUHAP. Sebagai dasar pertimbangan penyelesaian dan penyerahan
berkas perkara adalah hasil pemeriksaan tersangka dan saksi/saksi
ahli serta kelengkapannya sudah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana keimigrasian. Kegiatan penyelesaian berkas perkara terdiri
dari :
a) Pembuatan Resume. Pembuatan resume merupakan kegiatan
PPNS Imigrasi untuk menyusun ikhtisar dan kesimpulan
berdasarikan hasil penyidikan suatu Tindak Pidana Keimigrasian
yang terjadi. Penyusunan isi berkas perkara daftar isi berkas
perkara antara lain :
(1) Sampul Berkas Perkara
(2) Daftar Isi Berkas Perkara
(3) Resume
(4) Laporan Keimigrasian
(5) Berita acara Pemeriksaan di TKP
(6) Surat Perintah Penyidikan
(7) Surat Perintah Tugas Penyidikan
(8) Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan
(9) Surat Panggilan Saksi/Tersangka
(10) Surat Perintah Pembawa
(11) Berita acara Pemeriksaan Saksi
lxvii
(12) Berita acara Pemeriksaan Tersangka
(13) Berita acara Penyumpahan Saksi
(14) Berita acara Konfrontasi
(15) Surat Perintah Penangkapan
(16) Surat Perintah Tugas Penangkapan
(17) Berita acara penangkapan
(18) Surat Perintah Penangkapan
(19) Berita acara Penahanan
(20) Surat perintah penangguhan penahanan
(21) Berita acara penangguhan penahanan
(22) Surat perintah pengalihan jenis penahanan
(23) Berita Acara pengalihan jenis penahanan
(24) Surat Perintah perpanjangan penahanan
(25) Surat permohonan perpanjangan penahanan
(26) Berita Acara perpanjangan penahanan
(27) Surat perintah pengeluaran tahanan
(28) Berita Acara pengeluaran dari tahanan
(29) Surat izin/penggeledahan / penyitaan dari Ketua Pengadilan
Negeri setempat
(30) Berita Acara penggeledahan
(31) Surat Perintah penyitaan
(32) Berita Acara penyitaan barang bukti
(33) Surat tanda penerimaan
(34) Berita Acara penyisihan barang bukti
lxviii
(35) Berita Acara pengembalian barang bukti
(36) Berita Acara pembungkusan dan penyegelan barang bukti
(37) Berita Acara pemeriksaan surat
(38) Berita Acara penyitaan surat
(39) Berita Acara tindak-tindak lain
(40) Dokumen-dokumen bukti
(41) Daftar tersangka
(42) Daftar barang bukti
(43) Petikan surat putusan pemidanaan dari Pengadilan Negeri
setempat.
(44) Surat kuasa tersangka kepada Penasehat Hukum
(45) Lain-lain yang perlu dilampirkan.
Pemberkasan merupakan kegiatan untuk isi berkas perkara dengan
susunan dan syarat-syarat, penyampulan, pengikatan dan penyegelan
yang ditentukan serta penomorannya.
Penyerahan berkas perkara dalam perkara pelanggaran UndangUndang Keimigrasian, dilakukan oleh PPNS Imigrasi kepada Penuntut
Umum melalui penyidik Polri. Menurut KUHAP memang PPNS tertentu
tidak diperkenankan menyerahkan berkas hasil penyidikannya langsung
kepada Penuntut Umum, melainkan harus melalui Penyidik Polri. Hal
tersebut merupakan bentuk koordinasi antara PPNS dengan penyidik
Polri. Seperti diketahui bahwa PPNS mempunyai dua koordinasi yaitu
kepada POLRI dan Penuntut Umum. Garis koordinasi tersebut adalah
oleh karena PPNS dalam menjalankan tugasnya tidak dapat berdiri
sendiri. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : “bilamana
Penyidik Pegawai Negeri Sipil hendak memulai menyidik terhadap
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, maka wajib melapor
kepada penyidik POLRI, yang kemudian POLRI meneruskan kepada
lxix
penuntut umum, jadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak dengan
sendirinya dapat mengajukan hasil penyidikannya pada penuntut umum,
akan tetapi harus melalui penyidik POLRI”. Hal ini ditegaskan dalam
Fatwa MA April 1990 No. KMA/114/IV/1990, yang menyatakan bahwa
“setiap Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang telah melakukan
penyidikannya, maka hasilnya harus diserahkan kepada penyidik
POLRI, kemudian penyidik POLRI menyerahkannya kepada penuntut
umum dan kemudian penuntut umum melimpahkannya ke pengadilan
untuk disidangkan”.
Ketentuan seperti itu dalam draft RUU Keimigrasian tahun 2002,
diabaikan, yaitu dengan memperkenankan PPNS Imigrasi menyerahkan
berkas perkara langsung kepada Penuntut Umum tanpa melalui Penyidik
Polri. Dalam perkembangannya, yaitu menurut RUU Keimigrasian yang
terakhir, ketentuan yang memperkenankan PPNS Imigrasi menyerahkan
berkas langsung kepada Penuntut Umum, ternyata dihapus.
Hal tersebut bisa dilihat di dalam Pasal Pasal 98 ayat (1) RUU
Keimigrasian yang menegaskan bahwa
Penyidik Keimigrasian yang
telah melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian, berkas
perkaranya diserahkan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia.
Sedangkan
ayat
(2)
menyebutkan bahwa Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia wajib menyerahkan berkas perkara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada penuntut umum paling lama 1 (satu) hari kerja
tanpa mengubah isi berkas perkara.
Penyerahan berkas tersebut meliputi :
Penyidik hanya menyerahkan berkas perkara, artinya: :
(1) Secara nyata dan fisik penyidik menyerahkan berkas perkara
kepada Penuntut Umum.
(2)
UU belum menganggap penyidikan sudah selesai.
lxx
(3) Ada kemungkinan berkas dikembalikan oleh Penuntut Umum
untuk diperbaiki penyidik.
(4) Untuk memperbaiki berkas penyidik dapat melakukan
pemeriksaan tambahan
(5) Jika penyidik merasa sudah maksimal dalam penyidikan
tambahan,
maka
Penuntut
Umum
dapat
melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan.
Tujuan
dari
tindakan
Penuntut
Umum
melakukan
pemeriksaan tambahan adalah agar dapat melengkapi berkas.
B. Kendala-Kendala Yang Dialami Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Keimigrasian Dalam Melaksanakan Tugas Penegakan Hukum Terhadap
Pelanggaran UU Keimigrasian Dan Cara Penyelesaiannya.
Dalam melakukan penyidikan terhadap pelanggaran UU Keimigrasian,
yang dilakukan oleh PPNS Imigrasi tidak selalu berjalan lancar dan kadang
menemui berbagai hambatan. Hambatan-hambatan inilah yang membuat
penyidik kesulitan dalam mengungkap suatu kasus atau membuat jelas suatu
perkara pidana. Hambatan-hambatan itu bisa datang dari dalam (intern)
maupun dari luar (ekstern):
1. Hambatan Intern, yaitu hambatan yang dihadapi oleh penyidik dari dalam
Lembaga Imigrasi itu sendiri.
Adapun hambatan intern ini berupa :
a. Selama ini PPNS Keimigrasian masih merupakan suatu pekerjaan yang
dilekatkan pada bidang atau kegiatan yang ada, sehingga tugas
lxxi
penyidikan yang menjadi tanggung jawab PPNS belum sepenuhnya
dapat ditangani. Pada umumnya PPNS tidak saja mempunyai tugas
penyidikan yang memerlukan konsentrasi tinggi dan sangat spesifik,
namun juga dibebani tugas-tugas administratif, bahkan tugas-tugas lain
yang sama sekali tidak terkait dengan penegakan hukum, sehingga
tugas-tugas penyidikan belum tersentuh dengan baik.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan penentuan skala
prioritas
dalam
pelaksanaan
tugas
penyidikan
oleh
PPNS
Keimigrasian.
b. Terbatasnya personel PPNS Keimigrasian menyebabkan penanganan
pelanggaran UU Keimigrasian seringkali berjalan kurang cepat.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka kepada PPNS Keimigrasian
selalu diberi motivasi untuk bekerja secara optimal dengan segala
keterbatasan yang ada, baik menyangkut jumlah personil atau
anggaran.
c. Hal lain yang berkaitan dengan kondisi PPNS adalah bahwa kualitas
sumber daya PPNS masih belum memadai. Sampai saat ini belum ada
standar tentang pendidikan PPNS, baik menyangkut kurikulum, jangka
waktu pendidikan maupun penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena
itu perlu ada standar pendidikan PPNS yang komprehensif dalam
rangka meningkatkan kualitas, kemampuan dan integritas PPNS.
2.
Hambatan Ekstern, merupakan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh
penyidik dari luar Lembaga Imigrasi.
a. Masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
melaporkan keberadaan orang asing yang mencurigakan di sekitar
lingkungannya.
Untuk mengatasi hambatan ini maka dilakukan sosialisasi tentang
masalah keimigrasian dengan bekerja sama dengan instansi terkait.
lxxii
b. Masih terjadinya miskomunikasi atau perbedaan persepsi antara
kepolisian dan kejaksaan dalam menilai kelengkapan suatu berkas
perkara.
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi hambatan ini adalah dengan
selalu melakukan koordinasi horizontal dengan sesama instansi
penegak hukum.
c. Kurang kehati-hatian atau kecermatan dari instansi yang berwenang
dalam mengeluarkan dokumentasi kependudukan terhadap seseorang
yang patut dicurigai.
d. Permasalahan atau kesulitan yang muncul dalam penanganan kasuskasus limpahan adalah kesulitan yang berkaitan dengan persoalan
locus delicti perkara. Penyidik Imigrasi pada Subdit Penyidikan pernah
menangani perkara-perkara yang locus delictinya ada di wilayah
Kalimantan, Sulawesi Selatan, Cirebon, dan sebagainya. Dalam
penanganan perkara-perkara tersebut, Penyidik Imigrasi pada Subdit
Penyidikan mengalami kesulitan dan pengumpulan bukti-bukti dan
saksi-saksi serta koordinasi. Apalagi jika tidak didukung dengan dana
operasional langsung. Hasilnya bisa dilihat dari proses penyelesaian
penyidikan yang dapat berjalan selama berbulan-bulan.
lxxiii
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam hasil penelitian dan pembahasan,
maka Penulis dapat merumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Proses penyidikan terhadap pelaku pelanggaran UU Keimigrasian yang
bernama MOHAMAD ROBIUL IMAN alias MOHAMAD ROBIUL
ISLAM oleh PPNS Keimigrasian adalah meliputi serangkaian tindakan
berupa :
a. Pembuatan Surat Perintah Penyidikan
b. Pembuatan Surat Perintah Tugas
c.Pembuatan
Surat
Pemberitahuan
Dimulainya
Penyidikan
kepada
Kejaksaan
d. Melakukan pemanggilan terhadap tersangka dan saksi-saksi
e. Melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi-saksi
f. Melakukan tindakan penyitaan terhadap barang-barang milik tersangka,
berupa dokumentasi kependudukan
g. Menyusun sampul berkas perkara
lxxiv
h. Menyerahkan berkas perkara kepada Kejaksaan Tinggi DKI, melalui
Kabid Korwas PPNS Polda Metro Jaya
Proses penyidikan terhadap pelaku pelanggaran UU Keimigrasian dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam KUHAP sebagai lex generalis dan UU
Keimigrasian sebagai lex specialis.
2. Kendala-Kendala Yang Dialami Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
72
Keimigrasian Dalam Melaksanakan
Tugas Penegakan Hukum Terhadap
Pelanggaran UU Keimigrasian Dan Cara Penyelesaiannya adalah sebagai
berikut :
a. Pada umumnya PPNS tidak saja mempunyai tugas penyidikan yang
memerlukan konsentrasi tinggi dan sangat spesifik, namun juga dibebani
tugas-tugas administratif, bahkan tugas-tugas lain yang sama sekali tidak
terkait dengan penegakan hukum, sehingga tugas-tugas penyidikan
belum tersentuh dengan baik.
b. Adanyaperbedaan persepsi antara kepolisian dan kejaksaan dalam
menilai kelengkapan suatu berkas perkara.
c.
Kurangnya
kecermatan
dari
instansi
yang
berwenang
dalam
mengeluarkan dokumentasi kependudukan terhadap seseorang yang
patut dicurigai.
d. Hal lain yang berkaitan dengan kondisi PPNS adalah bahwa kualitas
sumber daya PPNS masih belum memadai.
e. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam melaporkan keberadaan orang
asing di lingkungan sekitarnya.
B. Saran-Saran
1. Kualitas SDM PPNS Keimigrasian harus senantiasa ditingkatkan dengan
memberikan pelatihan secara berkala.
lxxv
2. Untuk memberikan motivasi bekerja, kepada para PPNS Keimigrasian perlu
diberikan jabatan fungsional.
3. Para aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan harus selalu
melakukan koordinasi fungsional yang bersifat horizontal, agar penegakan
hukum terhadap pelanggaran UU Keimigrasian dapat dilakukan secara
optimal, berdaya dan berhasil guna.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwinata, H.J., 1951, Pengertian Imigrasi, Diktat Kursus Pejabat Imigrasi, Jakarta,
Jawatan Imigrasi.
Arif, Moh, 1997, Komentar Undang-Undang Keimigrasian
Beserta Peraturan
Pemerintah, Jakarta, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen
Kehakiman.
-------------, 1997, Keimigrasian Di Indonesia Suatu Pengantar, Jakarta, Pusat Pendidikan
dan Latihan Pegawai Departemen Kehakiman.
Ashshofa, Burhan, 2001. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta.
Binarto, Lucky Agung, 2007, PELAKSANAAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK
PEGAWAI NEGERI SIPIL DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI DALAM
RANGKA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN UNDANGUNDANG KEIMIGRASIAN, Thesis S2 Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang.
Biro Hukum DEPDAGRI, 2006, Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Dalam Rangka Penegakan Peraturan Daerah, Makalah
Diskusi Panel tentang Prospek PPNS Sebagai Pejabat Fungsional Dalam Rangka
Peningkatan Profesionalisme PPNS, Jakarta, 10 Agustus 2006.
Hamdan, M, 1997, Politik Hukum Pidana, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada.
Hamrat Hamid dan Harun Husein, 1991, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses
Pidana, Jakarta, Rineka Cipta.
----------------, 1987, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta:
Ghalia Indonesia
lxxvi
Ghalia
Harahap, M Yahya, 1988, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
Jakarta, Pustaka Kartini.
KUHAP,
Iman Santoso, M, 2002, Peran Keimigrasian dalam Rangka Peningkatan Ekonomi dan
Pemeliharaan Ketahanan Nasional Secara Seimbang, Tesis Hukum Universitas
Krisnadwipayana Jakarta
--------------------, 2004, Perspektif
Imigrasi dalam Pembangunan Ekonomi dan
Ketahanan Nasional, Jakarta, UI-Press.
Kuffal, H.M.A., 2001, Penerapan KUHAP Dalam Praktek, Malang, UMM Press.
74
Mulyanto, R Felix Hadi dan Sugiarto, Endar, 1997, Pabean, Imigrasi, dan Karantina,
Jakarta, PT Gramedia Utama.
Oka Mahendra, AA, 2006, Eksistensi Dan Permasalahan Penyidik Pegawai Negeri Sipil,
Makalah Diskusi Panel tentang Prospek PPNS Sebagai Pejabat Fungsional Dalam
Rangka Peningkatan Profesionalisme PPNS, Jakarta, 10 Agustus 2006.
Poernomo, Bambang, 1988, Orientasi Hukum Acara Pidana, Edisi Revisi. Yogyakarta:
Amarta Buku.
Prints, Darwan, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar , Jakarta: Djambatan.
Prodjohamidjojo, Martiman, 1982, Komentar Atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Jakarta, UD Harico.
R. Soesilo. 1980. Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil. Bogor: Politea
Sabuan, Ansorie, dkk., 1990, Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa.
Salam, Moch Fisal, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta,
Mandar Maju.
Sasongko, Hari, dan Rosita, Lily, 2002, Komentar Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), Jakarta, Mandar Maju.
Seligman, Edwin R.A., dan Johnson, Alvin, 1957, Encyclopedia of the Social Science.
Sjahriful Abdullah, 1993, Memperkenalkan Hukum Keimigrasian, Jakarta:
Indonesia.
Ghalia
Sutopo, H.B., 1988, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press.
Tanpa Pengarang, 1982, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Departemen Kehakiman Republik Indonesia
Tanpa Pengarang, 1987, Himpunan Juklak dan Juknis tentang Proses Penyidikan Tindak
Pidana, Mabes Polri.
lxxvii
Tanpa Pengarang, 1988, Petunjuk Lapangan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Mabes Polri.
Tanpa Pengarang, 1991, Himpunan Juklak dan Juknis tentang Penyidik Pegawai Negeri
Sipil, Mabes Polri.
lxxviii
Download