4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Tulang Belakang Tulang punggung adalah sekumpulan tulang yang tersusun dalam columna vertebralis. Garis berat tubuh manusia di kepala berawal pada vertex, diteruskan melalui columna vertebralis ke tulang panggul yang selanjutnya akan meneruskannya kembali ke tungkai melalui acetabulum. Dalam menjalankan fungsinya menahan berat badan, tulang-tulang ini diperkuat oleh ligamen dan otot-otot yang sekaligus juga mengatur keseimbangan dan gerakannya. Tulang punggung ( columna vertebralis) dibentuk oleh serangkaian tulang vertebra yang terdiri dari tujuh buah vertebrae cervicales, dua belas buah vertebrae thoracicae, lima vertebrae lumbales, os sacrum, dan os coccygis. Os sacrum merupakan penyatuan (fusi) dari lima buah vertebrae sacrales, dan os coccygis ( tulang ekor) biasa terdiri dari empat vertebrae coccygeae (Wibowo dan Paryana, 2009). 2.1.1. Ciri-ciri khas masing-masing tulang vertebra Vertebrae cervicales pada umumnya mempunyai corpus yang berbentuk segi-empat, dengan processus transversus yang terbelah dua, dengan tuberculum anterior dan tuberculum posterior di depan dan belakangnya. Pada processus transversus dijumpai foramen transversarium. Processus articularis-nya mempunyai permukaan yang hampir horizontal, miring membentuk sudut ke depan. Foramen transversarium dari vertebrae cervicalis pertama sampai keenam merupakan tempat lalu arteria vertebralis yang menuju kepala (lewat foramen magnum); sedangkan pada vertebrae cervicalis ketujuh lubang ini diisi oleh vena. Vertebra cervicalis pertama dinamakan atlas. Tulang ini berartikulasi dengan os occipital (pada condylus occipitalis). Atlas tidak mempunyai corpus vertebrae tetapi mempunyai massa lateralis atlantis di kiri dan kanan. Kedua massa lateralis dihubungkan oleh arcus anterior atlantis dan arcus posterior 5 atlantis. Di pertengahan arcus anterior terdapat tuberculum anterior dan di belakang terdapat tuberculum posterior. Pada atlas, processus transversus tidak menunjukkan penonjolan yang dominan. Di bagian belakang tuberculum anterior terdapat fovea dentis. Rongga yang biasa ditempati corpus akan ditempati oleh dens axis dari vertebra cervicalis II, dan dens axis ini mempunyai permukaan yang berhubungan dengan fovea dentis. Vertebra cervicalis kedua atau axis mempunyai corpus yang menonjol keatas membentuk dens axis. Processus transversus-nya relatif kecil dan mempunyai tonjolan diujungnya. Vertebra cervicalis keenam hanya mempunyai ciri berupa tuberculum anterior yang menonjol dinamakan tuberculum caroticum. Vertebra cervicalis ketujuh dinamakan juga vertebra prominens, berbeda dengan yang lain karena mempunyai processus spinosus yang panjang menyerupai vertebra thoracica sehingga mudah diraba dari luar. Selain itu, tuberculum anterior-nya juga kadang-kadang panjang menyerupai costa. Vertebra thoracica mempunyai corpus yang menyerupai bentuk jantung kartu. Processus spinosus-nya panjang dan runcing menghadap ke bawah sehingga menyulitkan gerakan antar vertebra. Processus articularis tersusun miring hampir vertikal. Pada bagian atas dan bawah corpus bagian lateral kiri-kanan terdapat lekukan, fovea costalis (superior dan inferior), tempat lekat tulang iga (costa). Lekukan serupa juga didapatkan pada processus transversus. Pada vertebra thoracica kesepuluh sampai kedua belas hanya didapatkan satu buah fovea costalis di kiri-kanan corpus dengan posisi lebih di tengah. Vertebra thoracica ke dua belas sering menunjukkan processus spinosus yang mirip vertebra lumbalis. Vertebra lumbalis mempunyai corpus yang bentuknya mirip ginjal. Pediculus dan lamina lebih tebal dan kokoh, processus spinosus berbentuk segiempat yang relatif besar dan kokoh. Processus transversus tidak menonjol, tetapi 6 pada processus transversus ini dapat dijumpai processus mammilaris dan processus accessorius. Corpus vertebra lumbalis mempunyai tinggi sekitar dua puluh lima milimeter, dengan discus intervertebralis sekitar sepuluh sampai dua belas milimeter. Os sacrum atau vertebrae sacrales masih menunjukkan sisa lima tulang yang menyatu. Di bagian belakang pada garis tengah terdapat crista sacralis mediana yang merupakan fusi processus spinosus, disertai crista sacralis lateralis bekas processus transversus dan crista sacralis medialis hasil fusi processus articularis. Di ujung caudal crista sacralis mediana terdapat ujung canalis sacralis atau hiatus sacralis dan cornu sacrale yang berhubungan dengan os coccygis. Hiatus ini dapat digunakan untuk penyuntikan anaesthesi pada caudal anaesthesia. Di kiri kanan pada pars lateralis terdapat facies auricularis yang merupakan tempat artikulasi dengan tulang panggul, dalam hal ini dengan os ilium. Di bagian depan dan belakang terdapat empat pasang foramina sacralia (anterior dan posterior) tempat lalu saraf spinalis rami anterior dan rami posterior. Di bagian depan (facies pelvica) os sacrum masing-masing lubang kiri kanan dihubungkan oleh lineae transersae bekas discus intervertebralis. Os sacrum melengkung ke arah depan dan ke lateral. Pada laki-laki lengkungan ini lebih nyata dibanding dengan wanita. Bentuk fascies pelvica yang relatif lebih kurus menguntungkan pada wanita yang akan melahirkan. Ujung atas bagian depan os sacrum lebih menonjol dan dinamakan promontorium dengan ala ossis sacri di kiri-kanan nya. Bagian ini penting karena dipergunakan untuk mengukur diameter panggul. Os sacrum membentuk sudut 60 derajat dengan bidang vertikal. Os coccygis (coccyx) adalah beberapa tulang (ekor) sangat kecil di ujung caudal os sacrum. Jumlahnya biasanya empat buah, kadang-kadang tiga buah, 7 yang paling atas mempunyai cornu coccygeum yang berhubungan dengan cornu ossis sacri (Wibowo dan Paryana, 2009). Gambar 2.1. Tulang Belakang 2.1.2. Sendi pada Columna Vertebralis Sendi antara vertebrae di punggung Persendian pada columna vertebralis terutama terdapat antara masingmasing vertebra melalui suatu ‘plane-joint’ pada processus articularis superior dan processus articularis inferior masing-masing. Sebagai suatu articulatio plana (plane-joint), sendi ini termasuk sendi synovial. 8 Sendi synovial antar vertebra berbeda pada masing-masing kelompok cervical, thoracica, dan lumbal. Pada vertebrae cervicales hubungan ini miring, pada vertebrae thoracicae hubungan ini hampir vertikal pada bidang sagital, sedangkan pada vertebrae lumbales sendi ini tegak menghadap ke lateral. Sendi atlanto-occipitalis Selain itu terdapat juga persendian antara tulang atlas dengan condyles accipitalis, yaitu articulation atlantooccipitalis. Pada sendi ini terutama terjadi gerak ante-flexio dan dorso-flexio kepala terhadap leher. Disamping persendian pada processus articularisnya, antara atlas dan epistropheus juga terdapat sendi trochoida yaitu pada hubungan dens axis (dens episthropheus) dengan fovea dentis. Sendi ini, yang dibagian posterior diperkuat oleh ligamentum transversum atlantis, memungkinkan gerak latero-flexio kepala terhadap leher. Sendi costovertebralis Articulatio costovertebralis terdapat pada vertebra thoracica yang berhubungan dengan costa. Sendi ini juga meruakan suatu ‘plant-joint’, terdapat antara costa dengan fovea costalis yang terdapat pada corpus dan pada processus transversus. Sendi lumbosacral dan sacro-iliaca Di bagian caudal terdapat articulatio lumbosacralis dan articulatio sacroiliaca antara facies articularis ossis sacri dan os illium. Sendi terakhir ini, suatu plane-joint, merupakan jalur yang meneruskan gaya berat yang ditopang oleh columna vertebralis ke tulang panggul untuk selanjutnya diteruskan ke tulang tungkai. Fungsi ini dipermudah oleh permukaan facies articularis yang berbenjolbenjol tidak rata, diperkuat oleh ligamentum sacroiliacum anterior dan ligamentum sacroiliacum posterior. Disamping itu, vertebra lumbalis pada articulatio lumbosacralis diikat juga dengan os ilium oleh ligamentum iliolumbale. 9 Discus intervertebralis dibentuk oleh nucleus pulposus yang dikelilingi dan diikat oleh annulus fibrosus yang merupakan suatu fibro cartilago. Pada anak-anak discus ini berisi materi yang berbentuk gel, tetapi dengan pertambahan usia, massa ini mengeras menjadi mirip jaringan rawan. Nucleus pulposus dengan annulus fibrosus berfungsi sebagai bantalan yang menahan tubuh. Tetapi, bila discus ini mengalami perubahan tekanan yang mendadak, serabut yang membentuk annulus fibrosus dapat sobek sehingga nucleus pulposus menjorok keluar. Keadaan ini dinamakan hernia nucleus pulposus. Bagian nucleus yang keluar akan menekan serabut saraf spinal yang terdapat di sana (Wibowo dan Paryana, 2009). 2.1.3. Ligamenta pada Columna Vertebralis Sepanjang bagian depan columna vertebralis didapati ligamentum longitudinale anterior yang mengikat semua vertebra. Ligamentum ini dimulai dari os occipitale dan berakhir pada os sacrum. Di bagian belakang corpus, di dalam canalis vertebralis, didapati juga ligamentum longitudinale posterior di dinding depan canalis vertebralis. Ligamenta ini mempunyai hubungan yang erat dengan setiap discus intervertebralis, serabut collagen-nya menyatu dengan serabut collagen yang membentuk annulus fibrosus. Di leher terdapat ligamentum nuchae, suatu ligamentum supra-spinale, yang menghubungkan setiap processus spinosus dengan protuberantia occipitalis externa. Ligamentum ini membentuk semacam lembaran yang menghubungkan tempat perlekatannya di garis tengah. Diantara setiap processus spinosus terdapat ligamentum interspinalia, dan diantara setiap processus transversus didapati ligamentum intertransversaria. Lamina setiap vertebra dihubungkan satu sama lain oleh ligamentum flavum yang menyerupai membran (Wibowo dan Paryana, 2009). 10 2.2. Spondilitis Tuberkulosis 2.2.1. Definisi Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang (Zuwanda dan Raka, 2013). Penyakit ini merupakan suatu bentuk penyakit yang progresif dari tuberkulosis (Hefti, 2007; Ravindra dan Dilip, 2011), bersifat tidak berbahaya, dan hanya terbatas pada cakram tulang belakang (Hefti, 2007). 2.2.2. Epidemiologi Tuberkulosis merupakan penyakit masyarakat kurang mampu yang umumnya menginfeksi dewasa muda pada usia mereka yang paling produktif. Resiko terinfeksi tuberkulosis diperkirakan 20-37 kali lebih besar pada orangorang dengan ko-infeksi HIV dibandingkan dengan orang-orang yang tidak terinfeksi HIV. Pada tahun 2009, kira-kira 1,2 juta kasus baru tuberkulosis dilaporkan pada orang-orang yg mengidap HIV; 90% dari kasus-kasus ini berpusat di Afrika dan di Timur Selatan Asia (Ravindra dan Dilip, 2011). Menurut Vitriani (2002), insidensi spondilitis tuberkulosis bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosis merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negaranegara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. 2.2.3. Spondilitis tuberkulosis pada pengidap HIV Tuberkulosis merupakan suatu penyakit yang sangat sering terjadi pada penderita HIV di seluruh dunia. Pada penelitian di Nigeria, tercatat sebanyak 1320 pasien HIV yang tertinjau. Sebanyak 138 pasien (10%) pasien dengan ko-infeksi tuberkulosis. Sebanyak 50 pasien ko-infeksi menderita salah satu tipe dari tuberkulosis ekstra-paru; 15 orang dari pasien ini menderita tuberkulosis paru dan 11 juga tuberkulosis ekstra-paru. Diantara 35 pasien penderita tuberkulosis ekstraparu, 14% menderita spondilitis tuberkulosis. Sebuah penelitian di Afrika Selatan, mengevaluasi 525 rekam medik pada seluruh pasien yang memiliki masalah pada tulang belakang, didapat hasil 104 pasien (20%) menderita spondilitis tuberkulosis. Sebesar 90% pasien dengan spondilitis tuberkulosis berasal dari keturunan Afrika dan 10% berasal dari ras lain (Ravindra dan Dilip, 2011). 2.2.4. Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosis di Afrika Barat), Bovine tubercle baccilus, ataupun Non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV) (Vitriana, 2002). 2.2.5. Faktor Resiko Menurut Ravindra dan Dilip (2011), faktor resiko untuk tuberkulosis, yaitu : a. Kemiskinan b. Lingkungan dengan kepadatan yang berlebihan c. Kebutahurufan d. Malnutrisi e. Pengonsumsi alcohol f. Penyalahgunaan obat-obatan g. Penderita Diabetes Mellitus h. Pengobatan dengan immunosupresan i. Infeksi HIV 12 Berikut juga merupakan faktor resiko dari spondilitis tuberkulosis. Di Iran, usia tua, berjenis kelamin laki-laki, mengalami dialisis selaput perut kronik, terkurung, dan pernah mengalami infeksi tuberkulosis diidentifikasi memiliki faktor resiko untuk mengalami spondilitis tuberkulosis (Ravindra dan Dilip, 2011). Kerentanan genetik untuk spondilitis tuberkulosis terbukti akhir-akhir ini. Sekelompok pekerja menyelidiki hubungan antara FokI polimorfisme pada gen reseptor vitamin D dengan spondilitis tuberkulosis pada populasi masyarakat Cina dan ditemukan bahwa gen tersebut terbukti diasosiasikan dengan kerentanan menderita spondilitis tuberkulosis (Ravindra dan Dilip, 2011). 2.2.6. Gejala Klinis Gejala klinis dari spondilitis tuberkulosis adalah nyeri yang terlokalisir, teraba kenyal pada daerah yang terkena, kekakuan, dan kerusakan yang berarti pada tulang belakang. Lama-kelamaan akan muncul ‘cold abscess’ apabila infeksi tuberkulosis menyebar ke ligamen-ligamen terdekat dan jaringan-jaringan lunak terdekat. Karakteristik dari ‘cold abscess’ ini adalah rasa nyeri yang berkurang dari yang dirasakan sebelumnya dan ditemui tanda-tanda inflamasi. Penyakit spondilitis tuberkulosis umumnya lama dan tidak disadari. Lama sakit bervariasi dari beberapa bulan hingga beberapa tahun dengan rata-rata sakit bervariasi dari empat bulan hingga sebelas bulan. Biasanya pasien mencari dokter apabila pasien telah mengalami rasa nyeri yang luar biasa yang ditandai dengan kerusakan tulang belakang atau gejala-gejala neurologis. Nyeri punggung merupakan gejala yang paling sering terjadi pada penyakit ini. Intensitas nyeri bervariasi dari sakit ringan yang menetap hingga kelumpuhan. Nyeri biasanya dirasakan pada daerah yang terkena dan umumnya pada regio torakal. Nyeri dapat dirasakan bila pasien melakukan gerakan yang melibatkan tulang belakang, batuk dan pada saat mengangkat beban berat yang disebabkan oleh instabilitas tulang belakang, kompresi saraf-saraf yang melalui tulang belakang ataupun fraktur. Apabila tidak diobati, gangguan neurologik ringan akan berlanjut menjadi paraplegia ataupun tetraplegia. 13 Pada pasien yang terkena pada regio servikal, gejala paling awal adalah nyeri, lemah dan kesemutan pada ekstremitas atas dan bawah yang kemudian akan berlanjut ke tetraplegia. Pada pasien yang terkena pada regio torakal atau lumbal, fungsi ekstremitas atas masih normal sedangkan pada ekstremitas bawah akan menurun dan akan menjadi paraplegia. Pada pasien dengan kompresi cauda equina dikarenakan kerusakan tulang belakang regio lumbal dan sacral akan mengalami kelemahan, kesemutan dan nyeri disertai penurunan atau hilang sama sekali refleks pada kelompok otot yang disarafi. Pembentukan ‘cold abscess’ disekitar lesi vertebral merupakan karakteristik lainnya pada spondilitis tuberkulosis. Pembentukan abses merupakan kejadian yang sering dan abses dapat tumbuh manjadi ukuran yang sangat besar. Lokasi abses ini tergantung dari regio tulang belakang yang terinfeksi. Pembentukan abses pada region servikal akan terjadi akumulasi pus dibelakang fascia prevertebral dan akan terbentuk abses retrofaringeal. Abses dapat turun ke mediastinum dan masuk ke trakea, esophagus ataupun rongga pleura. Pembentukan abses pada regio torakal biasanya berbentuk fusiform atau bengkak bulbous paravertebral dan akan terbentuk benjolan pada bagian posterior mediastinum. Pembentukan abses pada regio lumbal biasanya tampak pembengkakan di pinggang dan panggul. Abses dapat turun hingga kebawah ligamen inguinal dan muncul pada paha. Kumpulan pus dapat mengikuti arus pembuluh darah sehingga dapat timbul abses pada daerah bokong (Ravindra dan Dilip, 2011). 2.2.7. Patogenesa Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan 14 merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif. Virulensi basil tuberkulosis dan kemampuan mekanisme pertahanan host akan menentukan perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyai progresi yang cepat; demam, retensi urin dan paralisis arefleksi dapat terjadi dalam hitungan hari. Respon seluler dan kandungan protein dalam cairan serebrospinal akan tampak meningkat, tetapi basil tuberkulosis sendiri jarang dapat diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang virulen akan menunjukkan perjalanan penyakit yang lebih lambat progresifitasnya, jarang menimbulkan meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi dan terorganisasi (Vitriana, 2002). Menurut Hefti (2007), patogenesa spondilitis tuberkulosis pada anak-anak dimulai dari ujung tulang belakang ke cakram tulang belakang. Bakteri dapat menginvasi cakram tulang belakang dengan transmisi secara hematogen dari pembuluh darah. Seiring masa pertumbuhan anak-anak pembuluh darah ini akan menghilang sehingga mencegah infeksi lebih lanjut ke cakram tulang belakang. Karena itu, pada remaja dan dewasa infeksi selalu pada tulang disekitar atau dekat cakram tulang belakang sedangkan pada anak-anak terjadi pada cakram tulang belakang. Menurut Agrawal, Patgaonkar dan Nagariya (2010), basil tuberkulosis dapat menyebar dari paru-paru ke tulang belakang melalui pleksus Batson (Batson’s paravertebral venous plexus) ataupun melalui kelenjar getah bening. Menurut Chauhan (2007), spondilitis tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dari fokus utama di paru-paru atau kelenjar getah bening. Jenis yang umum penyebaran melalui pleksus Batson’s sedangkan infeksi paradiskal menyebar melalui arteri. 2.2.8. Diagnosa Diagnosa dari spondilitis tuberkulosis bergantung dari gejala klinis dan hasil foto. Untuk mengkonfirmasi diperlukan pemeriksaan secara mikroskopis ataupun kultur materi yang didapatkan secara biopsi pada lesi. Polymerase chain 15 reaction juga merupakan metode efektif untuk diagnosis bakteriologis pada tuberkulosis. Skrining pada seluruh tulang belakang dapat dilakukan untuk mencari lesi-lesi lainnya. Gambar 2.2. Gambaran Spondilitis Tuberkulosis pada Pemeriksaan MRI Menurut Ravindra dan Dilip (2011), diagnosis Spondilitis tuberkulosis: 1. X-ray, CT atau MRI tulang belakang perlu dilakukan pada seluruh pasien. 2. MRI tulang belakang menentukan asal dari kerusakan tulang sekaligus keikutsertaan jaringan-jaringan lunak (termasuk saraf-saraf pada tulang belakang). 3. Skrining seluruh tulang belakang perlu dilakukan untuk mencari lesi yang tertinggal. 4. Setiap pasien harus dilakukan X-ray dada untuk mendeteksi apakah diikuti tuberkulosis paru. 16 5. Keuntungan dan kerugian biopsi dan aspirasi tulang belakang dijelaskan kepada pasien dengan tujuan untuk mendapatkan materi yang sesuai untuk diagnosis. 6. Materi yang didapat dari biopsi ataupun dari operasi harus dikirim ke bagian mikrobiologi dan histologi. 7. Penatalaksanaan yang tepat harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur. 8. Dokter harus menduga spondilitis tuberkulosis meskipun riwayat dan hasil diagnosa cepat negatif namun gejala klinis sangat mengarah ke spondilitis tuberkulosis. 9. Regimen obat harus terus dilanjutkan meski hasil kultur negatif. 2.2.9. Penatalaksanaan Pada pasien spondilitis tuberkulosis, pengobatan antituberkulosis harus dimulai sedini mungkin. Pengobatan antutuberkulosis sering diberikan terlebih dahulu bahkan sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Di negara-negara yang kurang sumber daya bahkan diagnosa secara etiologi tidak perlu ditegakkan sama sekali. Pasien dengan komplikasi spondilitis tuberkulosis perlu dilakukan operasi. Regimen pengobatan yang direkomendasikan World Health Organization (WHO) merupakan pengobatan berdasarkan kategori tuberkulosis. Ketegori pertama pengobatan antituberkulosis dibagi menjadi dua fase : fase intensif dan fase lanjutan. Pada bulan kedua fase intensif, terapi antituberkulosis termasuk kombinasi dari empat jenis obat-obatan lini pertama: isoniazid, rifampicin, steptomicin dan pirazinamid. Pada fase lanjutan, isoniazid dan rifampicin diberikan selama empat bulan. Karena bahaya yang serius akan kelumpuhan dan mortalitas dan juga karena sulit untuk memantau respon dari pengobatan maka WHO merekomendasikan sembilan bulan pengobatan untuk tuberkulosis tulang ataupun sendi. American Thoracic Society merekomendasikan enam bulan kemoterapi untuk tuberculosis tulang belakang pada dewasa dan dua belas bulan pada anak-anak. British Thoracic Society merekomendasikan enam bulan untuk pengobatan harian dengan rifampicin dan isoniazid, ditambah pirazinamid dan 17 salah satu dari ethambutol atau streptomicin untuk fase awal selama dua bulan pertama (regimen enam-bulan-empat-obat), untuk segala usia. Meskipun pengobatan selama enam bulan cukup, banyak ahli melakukan pengobatan selama dua belas hingga dua puluh empat bulan atau hingga hasil radiologis ataupun hasil patologi menunjukkan penurunan akan perkembangan penyakit. Untuk menghindari perburukan penyakit, lakukan observasi secepatnya dan berikan regimen pengobatan jangka pendek. Pemberian kortikosteroid tidak memiliki makna penting pada tuberkulosis tulang belakang kecuali pada kasus spinal arachnoiditis atau nonosseous spinal tuberculosis (Ravindra dan Dilip, 2011). 2.2.9.1. Pembedahan Terdapat kontroversi mengenai pembedahan pada tuberkulosis tulang belakang. Hodgson dan Stock merekomendasikan pembedahan sedangkan Konstam, dkk merekomendasikan teknik konservatif dibandingkan pembedahan. Kira-kira empat puluh persen kasus tuberkulosis tulang belakang dengan paraplegia menunjukkan kesembuhan dengan pengobatan antituberkulosis, istirahat dan/atau traksi. Medical Research Council of the United Kingdom berdasarkan pada satu studi mengungkapkan bahwa dengan pengobatan antituberkulosis terbukti efektif, diikuti juga dengan perbaikan neurologis dan mencegah penyakit ini berkembang menjadi kifosis. Sebuah penelitian randomized tiral yang diujikan pada pasien pasien yang tidak mengalami kelumpuhan yang dilakukan oleh Medical Research Council Working Party on Tuberculosis of the Spine mendemonstrasikan tidak ada keuntungan tambahan pada pembedahan kombinasi dengan kemoterapi dibandingkan dengan kemoterapi saja. Untuk beberapa kondisi, pembedahan dapat menguntungkan dan di indikasikan. Keuntungan dari pembedahan adalah mengurangi kifosis, rasa lega segera setelah dilakukan pembedahan pada pasien dengan kompresi saraf, rasa lega segera terhadap nyeri, persentasi lebih tinggi untuk penyambungan tulang, penyambungan tulang yang lebih cepat, sedikit yang mengalami kekambuhan, dapat lebih cepat melakukan aktifitas kembali dan sedikit jumlah tulang yang 18 sempat terinfeksi. Pembedahan dapat juga mencegah masalah-masalah neurologis yang disebabkan kifosis karena penyambungan tulang yang terinfeksi tidak terjadi (Ravindra dan Dilip, 2011). 2.2.10. Pencegahan Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial (Vitriani, 2002). 2.2.11. Prognosa Menurut Vitriani (2002), prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosis sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan. a. Mortalitas Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosis mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat). b. Relaps Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%. c. Kifosis Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. d. Defisit neurologis Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosis dapat membaik secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini. 19 e. Usia Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa. f. Fusi Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen spondilitis tuberkulosis. Menurut Ravindra dan Dilip (2011), prognosis pasien dengan spondilitis tuberkulosis meningkat dengan diagnosa dini dan penanganan yang cepat. Spondilitis tuberkulosis menginfeksi orang-orang muda sehingga perlu usaha yang tepat untuk pecegahan yang efektif. Mengendalikan penyebaran dari tuberkulosis merupakan jalan untuk mencegah spondilitis tuberkulosis.