ISSN 2656-8233 (media online) Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 DOI: - RESEARCH ARTICLE EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOTIK PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA YOGYAKARTA TAHUN 2017 Siwi Padmasari1,*, Sugiyono2 1 Fakultas Kesehatan, Program Studi Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, 2 Jurusan Farmasi, Fakultas Kesehatan, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta ABSTRAK Latar belakang: Skizofrenia adalah sindrom heterogen kronik yang ditandai dengan pikiran yang tidak terkontrol, delusi, halusinasi, perubahan perilaku sosial dan fungsi psikososial yang tidak normal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menyebabkan tahapan yang lebih parah dan kronis, tahapan kekambuhan sering terjadi, dan bertahan lama sehingga pasien perlu perawatan di rumah sakit. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola penggunaan obat antipsikotik dan evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik yang diberikan kepada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta periode 2017. Metode Penelitian: Penelitian merupakan penelitian observasional deskriptif dengan melakukan pendekatan retrospektif pada 97 data rekam medis pasien yang menderita skizofrenia dan menerima terapi antipsikotik, dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia pada periode 2017. Pengambilan sampel data rekam medis pasien skizofrenia dilakukan dengan metode purposive sampling. Hasil: Berdasarkan hasil data penelitian, pola pengobatan dengan obat antipsikotik untuk pasien yang didiagnosis skizofrenia paling banyak adalah obat antipsikotik atipikal dikombinasikan dengan antipsikotik tunggal. Berdasarkan data dari evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik dibandingkan dengan American Psychiatric Association 2010 dan Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit Grhasia, didapatkan hasil adalah 100% tepat indikasi, 100% tepat pasien, 100% tepat obat dan 100% tepat dosis obat. Kesimpulan: Rasionalitas penggunaan obat antipsikotik mencapai 100% berdasarkan kriteria tepat indikasi, tepat pasien, tepat penggunaan obat dan tepat dosis obat. Parameter klinik kembali dalam keadaan tenang dari Rumah Sakit Grhasia sebesar 89%. Detail riwayat artikel Dikirimkan: 2 Maret 2019 Direvisi: 25 Maret 2019 Diterima: 26 Maret 2019 *Penulis korespondensi Siwi Padmasari Alamat/ kontak penulis: Fakultas Kesehatan, Program Studi Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, Jl. Brawijaya Ring Road Barat, Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta. E-mail korespondensi: [email protected] Petunjuk penulisan sitasi/ pustaka: Padmasari S, Sugiyono. Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap rumah sakit jiwa grhasia yogyakarta tahun 2017. Act Holis Pharm. 2019. 1 (1): 25-32. Kata kunci: Skizofrenia, antipsikotik, rasionalitas penggunaan obat PENDAHULUAN Skizofrenia merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sangat kompleks, yang ditandai dengan sindrom heterogen seperti pikiran kacau dan aneh, delusi, halusinasi, afek yang tidak tepat, dan kerusakan fungsi psikososial. Kemungkinan penyebab terjadinya skizofrenia dipengaruhi multifaktor, di antaranya berbagai kelainan patofisiologi mungkin berperan dalam perkembangan skizofrenia yang dapat terjadi di satu atau lebih sistem neurotransmiter yang berbeda (Dipiro et al., 2008). Penanganan skizofrenia salah satunya dengan menggunakan pengobatan antipsikotik. Obat antipsikotik merupakan terapi utama yang efektif mengobati skizofrenia. Antipsikotik dibedakan menjadi dua generasi, yaitu generasi pertama 25 Padmasari dan Sugiyono (tipikal) dan generasii kedua (atipikal). Banyaknya antipsikotik yang tersedia ternyata memberikan masalah tersendiri dalam praktik terutama karena menyangkut bagaimana memilih dan menggunakan obat secara nyata. Pada banyak terapi yang diberikan pada penderita skizofrenia masih banyak pasien yang menggunakan obat generasi pertama, meskipun efek samping yang disebabkan oleh obat antipsikotik generasi pertama lebih besar dibandingkan dengan obat antipsikotik generasi kedua. Obat antipsikotik generasi kedua (atipikal) memiliki risiko lebih kecil dalam penyebab efek samping gejala ekstrapiramidal berupa distonia akut, ataksia, tardif diskinesia dan gejala parkinsonisme (Lally and MacCabe, 2015). Sistem pelayanan kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang saat ini banyak yang menggunakan jaminan pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas, keamanan, maupun cost effectiveness. Salah satu di antaranya adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jaminan kesehatan biasanya hanya obat antipsikotik tertentu yang bisa diberikan secara gratis, yaitu yang telah tercantum dalam Formularium Nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (FORNAS BPJS) dan atau FORNAS JKN, Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit (SPM RS), sedangkan masih banyak obat antipsikotik lain sebenarnya yang berada di luar FORNAS BPJS, JKN, dan SPM RS tersebut. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan tidak tercapainya efek terapi yang diinginkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta Tahun 2017 dan 26 mengetahui rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta Tahun 2017 ditinjau dari aspek tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, dan perbaikan klinis sesuai dengan panduan American Psychiatric Association tahun 2010 dan Standar Pelayanan Medis RSJ Grhasia Yogyakarta. METODE PENELITIAN Desain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan deskriptif menggunakan data rekam medik pasien secara retrospektif. Periode waktu pengambilan data adalah dari bulan Januari hingga Desember 2017. Data rekam medik yang diambil adalah pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi obat antipsikotik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta. Objek penelitian Pengambilan sampel data rekam medis sebanyak 97 pasien dengan menggunakan metode purposive sampling. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah pasien skizofrenia baik laki-laki atau perempuan yang mejalani rawat inap tahun 2017, menggunakan obat antipsikotik, usia lebih dari 18 tahun, dan tidak memiliki riwayat penyakit gangguan fungsi jantung dan ginjal. Jalan penelitian 1. Pembuatan proposal, pengurusan izin, melakukan need assessment Pada tahap awal dilakukan pembuatan proposal, persiapan dengan mengurus perizinan serta observasi. Observasi dilakukan untuk menentukan jumlah sampel dan mencatat nomor rekam medik pasien. 2. Pelaksanaan penelitian di Rumah Sakit Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019) Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia ... Jiwa Grhasia Yogyakarta Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data karakteristik dan pengobatan pasien menggunakan lembar pengumpulan data. 3. Analisa data penelitian Analisa secara dekskriptif untuk mengetahui gambaran pola pengggunaan obat, data demografi, dan ketepatan pengobatan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta periode Januari hingga Desember 2017. Data terapi pengobatan dibandingkan dengan kriteria pada American Psychiatric Association. Data tepat pasien, tepat indikasi, dan perbaikan parameter klinik menggunakan kriteria SPM RSJ Grhasia. Data tepat obat dan tepat dosis obat menggunakan Drug Information Handbook 19th Edition. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik obyek penelitian 1.1 Jenis kelamin Berdasarkan data demografi yang diperoleh dari 97 pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap dan menggunakan obat antipsikotik sebagai terapi pengobatannya didapatkan bahwa penderita berjenis kelamin pria berjumlah lebih besar dibanding dengan penderita berjenis kelamin wanita. Tabel 1. Distribusi jenis kelamin pada pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di RSJ Grhasia tahun 2017 Jenis Kelamin Jumlah Pasien Persentase (%) Pria 64 65,98 Wanita 33 34,02 Total 97 100 Terdapat perbedaan pengaruh jenis kelamin terhadap gejala skizofrenia yang dapat muncul. Ditinjau dari angka kejadian, baik jenis kelamin pria maupun wanita sama -sama memiliki angka insidensi yang sama besar. Potensi terjadinya skizofrenia pada pria dan wanita sama besar, tetapi onset skizofrenia lebih cepat terjadi pada pria. Gejala negatif lebih banyak terjadi pada pria dengan prognosis yang lebih buruk jika dibandingkan wanita, terutama dalam persoalan interaksi sosial serta penyalahgunaan suatu zat berbahaya. (Li et al., 2016). 1.2 Usia Penelitian ini membagi usia pasien skizofrenia dari rentang usia 18 tahun sampai dengan 88 tahun. Kasus skizofrenia umumnya sangat jarang terjadi pada anakanak atau penderita yang berusia kurang dari 18 tahun (Li et al., 2016). Tabel 2. Distribusi usia pada pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017 Usia (Tahun) Jumlah Pasien Persentase (%) 18 - 28 7 7,21 29 - 38 24 24,74 39 - 48 40 41,23 49 - 58 17 17,52 59 - 68 7 7,21 69 - 78 2 2,09 Total 97 100 Pada penelitian ini usia terbanyak terjadinya skizofrenia di RSJ Grhasia Yogyakarta pada tahun 2017 yaitu pada usia 39 hingga 48 tahun. Onset usia terjadinya skizofrenia juga terkait dengan jenis gejala. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan skizofrenia dengan onset lambat mungkin memiliki gejala negatif yang kurang parah dan menampakkan gejala positif yang lebih khas, Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019) 27 Padmasari dan Sugiyono Tabel 3. Distribusi tipe skizofrenia pada pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017 Tipe Skizofrenia ICD-X Jumlah Pasien Persentase (%) Paranoid 20.0 56 57,74 Hebrifenik 20.1 7 7,22 Katatonik 20.2 5 5,15 Tidak Terperinci 20.3 20 20,61 Depresi Paska Skizofrenia 20.4 0 0 Residual 20.5 6 6,19 Simpleks 20.6 3 3,09 Tipe lain 20.8 0 0 97 100 Total khususnya halusinasi sensorik dan delusi (Li et al., 2016). Perbedaan onset usia terjadinya skizofrenia merupakan hasil yang banyak ditemukan pada penelitian tentang perbedaan jenis kelamin yang dihubungkan dengan kejadian skizofrenia. Menurut penelitian ini, onset usia terjadinya skizofrenia pada pria terjadi pada rentang usia 18-25 tahun, sedangkan pada wanita onset usia terjadi pada rentang25-35 tahun. Wanita memiliki usia puncak terjadinya skizofrenia yaitu pada fase pertama menstruasi dan setelah usia lebih dari 40 tahun. Prevalensi onset wanita yang mengalami skizofrenia lebih dari usia 40 tahun karena terkait dengan penurunan kadar estrogen setelah menopose. Beberapa penelitian menyatakan adanya perbedaan onset usia terjadinya skizofrenia antara pria dan wanita dipengaruhi oleh riwayat keluarga (Ochoa et al., 2012). 1.3 Tipe skizofrenia Skizofrenia merupakan salah satu dari kelompok gangguan psikotik yang dikarakteristikkan dengan munculnya gejala positif dan atau gejala negatif dan sering 28 dihubungkan dengan kemunduran penderita dalam menjalankan fungsinya sehari-hari. Dari beberapa tipe skizofrenia diketahui tipe paranoid merupakan tipe skizofrenia yang sering ditemukan. 1.4 Lama rawat inap Lamanya rawat inap pasien skizofrenia dapat dipengaruhi oleh tingkat keparahan pasien. Pada penelitian ini dibedakan dengan rentang interval 10 hari. Lamanya rawat inap yang paling tinggi di RSJ Grhasia adalah 21 hingga 30 hari sebanyak 58 pasien atau sebesar 59,8%. Tabel 4. Lama rawat inap pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017 Lama Rawat Inap (hari) 0 - 10 Jumlah Pasien 2 Persentase (%) 2,06 11 - 20 9 9,28 21 - 30 58 59,8 31 - 40 12 12,37 41 - 50 2 2,06 51 - 60 14 14,43 Total 97 100 Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019) Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia ... Penelitian yang dilakukan oleh Keliat, menguji perbedaan lama rawat inap pasien skizofrenia yang diberikan edukasi dan yang tidak diberikan edukasi untuk mengontrol keparahan penyakitnya. Pada kelompok dengan edukasi lama rawat inap adalah 23 hari dan kelompok tanpa edukasi rata-rata rawat inap adalah 40 hari. Menurut penelitian yang dilakukan, lama rawat inap pasien skizofrenia juga berhubungan dengan usia pasien. Semakin tua usia pasien, maka lama rawat inap akan semakin panjang (Keliat et al., 2009). 2. Pola penggunaan obat antipsikotik Pola penggunaan obat antipsikotik dapat dilihat dalam tabel 5 dan 6. Pada penelitian ini terapi kombinasi obat antipsikotik merupakan regimen antipsikotik terbanyak yaitu sebesar 88,66%. Penelitian RCT menyatakan bahwa antipsikotik kombinasi lebih superior dibandingkan monoterapi terutama dalam mengatasi skizofrenia yang berulang. Pada penelitian ini terapi kombinasi tipikal atipikal yang paling banyak digunakan adalah kombinasi risperidon dan klozapin (Correll et al., 2009). Klozapin merupakan kelompok antipsikotik yang terbukti efektif terutama dalam mengatasi skizofrenia resisten (Treatment Resistant Schizophrenia/TRS). Mekanisme efektivitas klozapin dalam mengatasi TRS tidak disebutkan secara terperinci, tetapi 50-60% pasien yang mengalami kekambuhan skizofrenia memiliki respon yang baik ketika pemberian klozapin (Lally and MacCabe, 2015). Resistensi terhadap terapi antipsikotik dapat diatasi salah satunya dengan pemberian injeksi risperidone dengan durasi kerja panjang. Namun, pemberian injeksi ini terbukti tidak lebih efektif jika dibandingkan pemberian oral disebabkan efek ekstrapiramidal yang besar (Rosenheck et al., 2011). Tabel 5. Regimen penggunaan antipsikotik untuk pasien skizofrenia di RSJ Grhasia tahun 2017 Regimen Antipsikotik Jumlah Pasien Persentase (%) Tunggal 11 11,34 Kombinasi 86 88,66 Total 97 100 3. Evaluasi rasionalitas penggunaan antipsikotik 3.1 Evaluasi tepat indikasi Berdasarkan data penelitian yang diperoleh dari 97 sampel pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi penggunaan obat antipsikotik. Semua pasien 100% tepat indikasi, hal ini sesuai dengan diagnosa yang tercantum dalam rekam medis pasien, dan adanya suatu gejala yang jelas, bahwa gejala tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika. Gejala telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih, dan adanya suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek kehidupan pribadi. Dari kasus yang pasien dibawa ke rumah sakit dengan keadaan yang gelisah, marah-marah, tidak bisa melakukan pekerjaan rumah, tidak bisa merawat diri, memiliki keinginan untuk bunuh diri, dan tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari. Antipsikotik yang diberikan oleh dokter di RSJ Grhasia dalam hal ini sesuai dengan indikasinya yaitu untuk pengobatan skizofrenia. 3.2 Evaluasi tepat obat Dalam penelitian di RSJ Grhasia Yogyakarta penggunaan obat antipsikotik tunggal tidak banyak diresepkan. Penggunaan obat tunggal antipsikotik yang Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019) 29 Padmasari dan Sugiyono Tabel 6. Regimen penggunaan obat antipsikotik di rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017 Regimen Antipsikotik Tunggal Kombinasi 2 obat Kombinasi obat Kombinasi obat 3 4 Janis Obat Antipsikotik Nama Obat Antipsikotik Persentase (%) Atipikal Risperidon 8 8,24 Atipikal Aripiprazol 1 1,03 Tipikal Haloperidol 2 2,06 Atipikal + Atipikal Risperidon + Klozapin 31 31,95 Risperidon + Aripiprazol 1 1,03 Klozapin + Quetiapin 1 1,03 Olanzapin + Quetiapin 2 2,07 Tipikal + Tipikal Haloperidol + Klorpromazin 4 4,12 Tipikal + Atipikal Haloperidol + Klozapin 18 18,55 Risperidon + Klorpromazin 10 10,30 Trifluoroperazin + Klozapin 3 3,1 3 Atipikal Olanzapin + Klozapin + Risperidon 5 5,15 2 Atipikal + Tunggal Tipikal Risperidon + Klozapin + Haloperidol 9 9,27 3 Atipikal + Tunggal Tipikal Klozapin + Risperidon + Olanzapin + Haloperidol 2 2,06 97 100 Total diberikan adalah obat jenis atipikal yaitu risperidon tunggal dan aripiprazole. Penggunaan antipsikotik kombinasi paling banyak dipergunakan adalah kombinasi obat dengan dua regimen yaitu kombinasi obat atipikal dan tipikal. Obat yang paling banyak diresepkan adalah kombinasi antara haloperidol dan klozapin. Pemilihan kombinasi antipsikotik pada pasien skizofrenia selain dilihat dari fase pengobatan juga ditentukan oleh keamanan obat secara efektif. Hal ini sesuai dengan algoritma terapi skizofrenia di mana terapi utama pada pasien skizofrenia menggunakan antipsikotik golongan atipikal secara tunggal 30 Jumlah Pasien dan atau kombinasi sesuai dengan tingkat keparahan pasien. Selain obat antipsikotik juga diberikan obat ajuvan, antara lain triheksipenidil dan diazepam. Kesesuaian terapi obat dapat dilihat dari kondisi pulang pasien, di mana sebagian besar pasien pulang dalam keadaan tenang dan sebagian kecil pasien pulang dalam keadaan perbaikan. Klozapin merupakan obat atipikal dengan efek samping ekstrapiramidal yang lebih rendah. Pada penelitian di RSJ Grhasia Yogyakarta pemakaian kombinasi dengan klozapin sangat sering dilakukan dan pemakaian terbanyak pada dosis 25 mg setiap 24 jam (Dipiro et al., 2008). Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019) Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia ... Tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan bahwa antipsikotik atipikal lebih superior dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik tipikal digunakan sebagai terapi awal dalam penanganan skizofrenia terutama pasien yang sudah tidak dapat merespon pengobatan sebelumnya dan mengalami efek samping gejala ekstrapiramidal (Geddes et al., 2000). Klozapin digunakan ketika dua obat antipsikotik gagal dalam memberikan efek terapi. Penanganan skizofrenia tidak hanya menggunakan obat golongan antipsikotik, tetapi dapat ditabahkan obat golongan antikolinergik dan benzodiazepin. Penggunaan antikolinergik digunakan untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan seperti retensi urin, konstipasi, mulut kering. Benzodiazepin yang banyak digunakan adalah diazepam, klonazepam, dan lorazepam. Walaupun demikian, penggunaan antikolinergik tidak dapat digunakan untuk perbaikan status mental, terutama pada geriatri (Balaji et al., 2017). 3.3 Evaluasi tepat dosis Penelitian ini dosis penggunaan obat antipsikotik atipikal yang paling sering digunakan sama yaitu risperidon dengan dosis 2 mg dengan waktu pemberian interval 12 jam atau pagi dan malam hari sehingga total dosis sehari 4 mg, hal ini sesuai dengan dosis lazim (Dipiro et al.,2008). Pada pemakaian klozapin dosis yang sering digunakan secara kombinasi sebesar 25 mg setiap 24 jam atau sehari sekali, hal ini tidak sesuai dengan dosis lazim yang digunakan untuk terapi pasien skizofrenia, tetapi pada penggunaan kombinasi maka aturan pemberian dosis pemakaian obat dapat dititrasi sesuai dengan kondisi pasien. Sehingga jika dilihat dari status keadaan pulang pasien yang sebagian besar adalah sembuh sehingga bisa disimpulkan bahwa pemakaian dosis klozapin 25 mg per hari sudah sesuai (Dipiro et al., 2008). 3.4 Parameter klinik pasien skizofrenia Tujuan utama dari terapi pada skizofrenia adalah pemulihan. Pemulihan dapat dicapai baik dari segi fungsi mental maupun fisik. Penilaian dalam menentukan pemulihan terdapat empat faktor termasuk di antaranya hilangnya gejala, fungsi pekerjaan, kehidupan mandiri, dan relasi. Penelitian di RSJ Grhasia Yogyakarta persentase terbesar untuk parameter klinik pengobatan skizofrenia yaitu pasien pulang dalam keadaan tenang sebesar 89%. Tabel 7. Gambaran parameter klinik pasien skizofrenia di RSJ Grhasia tahun 2017 Parameter Klinik Jumlah pasien Persentase (%) Pulang dalam keadaan tenang 87 89,69 Pulang dengan catatan khusus 10 10,31 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa pengobatan di RSJ Grhasia Yogyakarta tahun 2017 adalah 100% tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat pasien dan pasien pulang dengan perbaikan klinis sebesar 89,69%. UCAPAN TERIMA KASIH 1. Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, Jl. Brawijaya Ring Road Barat, Gamping Kidul, Ambarketawang, Gamping, Yogyakarta 55294. 2. Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta, Jalan Kaliurang KM.17, Pakembinangun, Pakem, Duwetsari, Pakembinangun, Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019) 31 Padmasari dan Sugiyono Istimewa Yogyakarta 55582 REFERENSI Balaji, R. et al. (2017) ‘An Observational Study Of Drug Utilisation Pattern And Pharmacovigilance Of Antipsychotics’, International Journal of Current Pharmaceutical Research, 9(6). Correll, C. U. et al. (2009) ‘Antipsychotic Combinations Vs Monotherapy In Schizophrenia: A Meta-Analysis Of Randomized Controlled Trials’, Schizophrenia Bulletin, 35(2), pp. 443–457. doi: 10.1093/schbul/sbn018. Geddes, J. et al. (2000) ‘Atypical Antipsychotics In The Treatment Of Schizophrenia: Systematic Overview And Meta-Regression Analysis’, BMJ, pp. 1371–1376. Keliat, B. A. et al. (2009) ‘Influence Of The Abilities In Controlling Violence Behavior To The Length Of Stay Of Schizophrenic Clients In Bogor Mental Hospital , Indonesia’, Med J Indones, 18(1), pp. 31–35. Lally, J. and MacCabe, J. H. (2015) ‘Antipsychotic Medication In Schizophrenia: A Review’, British Medical Bulletin, 114(1), pp. 169–179. doi: 10.1093/bmb/ldv017. Li, R. et al. (2016) ‘Why sex differences in schizophrenia?’, Journal of translational neuroscience, 1(1), pp. 3– 42. Moldin, S. O. (2000) ‘Gender and schizophrenia: an overview.’, Gender and its effects on psychopathology, pp. 169–186. Ochoa, S. et al. (2012) ‘Gender Differences in Schizophrenia and First-Episode Psychosis: A Comprehensive Literature Review’, Schizophrenia Research and Treatment, 2012, pp. 1–9. doi: 10.1155/2012/916198. 32 Rosenheck, R. A. et al. (2011) ‘Long-Acting Risperidone and Oral Antipsychotics in Unstable Schizophrenia’, New England Journal of Medicine, 364(9), pp. 842– 851. doi: 10.1056/NEJMoa1005987. Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)