Uploaded by User112194

10-Article Text-53-1-10-20190418 (2)

advertisement
ISSN 2656-8233 (media online)
Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32
DOI: -
RESEARCH ARTICLE
EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOTIK
PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT INAP
RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA YOGYAKARTA TAHUN 2017
Siwi Padmasari1,*, Sugiyono2
1
Fakultas Kesehatan, Program Studi Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta,
2
Jurusan Farmasi, Fakultas Kesehatan, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
ABSTRAK
Latar belakang: Skizofrenia adalah sindrom heterogen kronik yang ditandai
dengan pikiran yang tidak terkontrol, delusi, halusinasi, perubahan perilaku
sosial dan fungsi psikososial yang tidak normal. Perjalanan penyakit ini secara
bertahap akan menyebabkan tahapan yang lebih parah dan kronis, tahapan
kekambuhan sering terjadi, dan bertahan lama sehingga pasien perlu
perawatan di rumah sakit.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola
penggunaan obat antipsikotik dan evaluasi rasionalitas penggunaan obat
antipsikotik yang diberikan kepada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Grhasia Yogyakarta periode 2017.
Metode Penelitian: Penelitian merupakan penelitian observasional deskriptif
dengan melakukan pendekatan retrospektif pada 97 data rekam medis pasien
yang menderita skizofrenia dan menerima terapi antipsikotik, dan dirawat di
Rumah Sakit Jiwa Grhasia pada periode 2017. Pengambilan sampel data
rekam medis pasien skizofrenia dilakukan dengan metode purposive sampling.
Hasil: Berdasarkan hasil data penelitian, pola pengobatan dengan obat
antipsikotik untuk pasien yang didiagnosis skizofrenia paling banyak adalah
obat antipsikotik atipikal dikombinasikan dengan antipsikotik tunggal.
Berdasarkan data dari evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik
dibandingkan dengan American Psychiatric Association 2010 dan Standar
Pelayanan Medis Rumah Sakit Grhasia, didapatkan hasil adalah 100% tepat
indikasi, 100% tepat pasien, 100% tepat obat dan 100% tepat dosis obat.
Kesimpulan: Rasionalitas penggunaan obat antipsikotik mencapai 100%
berdasarkan kriteria tepat indikasi, tepat pasien, tepat penggunaan obat dan
tepat dosis obat. Parameter klinik kembali dalam keadaan tenang dari Rumah
Sakit Grhasia sebesar 89%.
Detail riwayat artikel
Dikirimkan: 2 Maret 2019
Direvisi: 25 Maret 2019
Diterima: 26 Maret 2019
*Penulis korespondensi
Siwi Padmasari
Alamat/ kontak penulis:
Fakultas Kesehatan, Program
Studi Farmasi Universitas
Jenderal Achmad Yani
Yogyakarta, Jl. Brawijaya Ring
Road Barat, Ambarketawang,
Gamping, Sleman, Yogyakarta.
E-mail korespondensi:
[email protected]
Petunjuk penulisan sitasi/
pustaka:
Padmasari S, Sugiyono.
Evaluasi rasionalitas
penggunaan obat antipsikotik
pada pasien skizofrenia di
instalasi rawat inap rumah
sakit jiwa grhasia yogyakarta
tahun 2017. Act Holis Pharm.
2019. 1 (1): 25-32.
Kata kunci: Skizofrenia, antipsikotik, rasionalitas penggunaan obat
PENDAHULUAN
Skizofrenia merupakan salah satu
gangguan psikiatrik yang sangat kompleks,
yang ditandai dengan sindrom heterogen
seperti pikiran kacau dan aneh, delusi,
halusinasi, afek yang tidak tepat, dan
kerusakan fungsi psikososial. Kemungkinan
penyebab terjadinya skizofrenia dipengaruhi
multifaktor, di antaranya berbagai kelainan
patofisiologi mungkin berperan dalam
perkembangan skizofrenia yang dapat
terjadi di satu atau lebih sistem
neurotransmiter yang berbeda (Dipiro et al.,
2008).
Penanganan skizofrenia salah satunya
dengan
menggunakan
pengobatan
antipsikotik. Obat antipsikotik merupakan
terapi utama yang efektif mengobati
skizofrenia. Antipsikotik dibedakan menjadi
dua generasi, yaitu generasi pertama
25
Padmasari dan Sugiyono
(tipikal) dan generasii kedua (atipikal).
Banyaknya antipsikotik yang tersedia
ternyata memberikan masalah tersendiri
dalam praktik terutama karena menyangkut
bagaimana memilih dan menggunakan obat
secara nyata. Pada banyak terapi yang
diberikan pada penderita skizofrenia masih
banyak pasien yang menggunakan obat
generasi pertama, meskipun efek samping
yang disebabkan oleh obat antipsikotik
generasi pertama lebih besar dibandingkan
dengan obat antipsikotik generasi kedua.
Obat antipsikotik generasi kedua (atipikal)
memiliki risiko lebih kecil dalam penyebab
efek samping gejala ekstrapiramidal berupa
distonia akut, ataksia, tardif diskinesia dan
gejala parkinsonisme (Lally and MacCabe,
2015).
Sistem pelayanan kesehatan baik di
negara maju maupun di negara berkembang
saat ini banyak yang menggunakan jaminan
pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatkan
efektivitas,
keamanan,
maupun cost effectiveness. Salah satu di
antaranya adalah Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) atau Jaminan
Kesehatan
Nasional
(JKN).
Jaminan
kesehatan biasanya hanya obat antipsikotik
tertentu yang bisa diberikan secara gratis,
yaitu yang telah tercantum dalam
Formularium Nasional Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (FORNAS BPJS) dan atau
FORNAS JKN, Standar Pelayanan Medis
Rumah Sakit (SPM RS), sedangkan masih
banyak obat antipsikotik lain sebenarnya
yang berada di luar FORNAS BPJS, JKN, dan
SPM RS tersebut. Hal ini dikhawatirkan akan
menyebabkan tidak tercapainya efek terapi
yang diinginkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran penggunaan obat
antipsikotik pada pasien skizofrenia di
instalasi rawat inap Rumah Sakit Jiwa
Grhasia Yogyakarta Tahun 2017 dan
26
mengetahui rasionalitas penggunaan obat
antipsikotik pada pasien skizofrenia di
instalasi rawat inap Rumah Sakit Jiwa
Grhasia Yogyakarta Tahun 2017 ditinjau dari
aspek tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien,
tepat dosis, dan perbaikan klinis sesuai
dengan panduan American Psychiatric
Association tahun 2010 dan Standar
Pelayanan Medis RSJ Grhasia Yogyakarta.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional dengan rancangan deskriptif
menggunakan data rekam medik pasien
secara
retrospektif.
Periode
waktu
pengambilan data adalah dari bulan Januari
hingga Desember 2017. Data rekam medik
yang diambil adalah pasien skizofrenia yang
mendapatkan terapi obat antipsikotik di
instalasi rawat inap Rumah Sakit Jiwa
Grhasia Yogyakarta.
Objek penelitian
Pengambilan sampel data rekam medis
sebanyak 97 pasien dengan menggunakan
metode purposive sampling. Kriteria inklusi
dalam penelitian ini adalah pasien
skizofrenia baik laki-laki atau perempuan
yang mejalani rawat inap tahun 2017,
menggunakan obat antipsikotik, usia lebih
dari 18 tahun, dan tidak memiliki riwayat
penyakit gangguan fungsi jantung dan ginjal.
Jalan penelitian
1. Pembuatan proposal, pengurusan izin,
melakukan need assessment
Pada tahap awal dilakukan pembuatan
proposal, persiapan dengan mengurus
perizinan
serta
observasi.
Observasi
dilakukan untuk menentukan jumlah sampel
dan mencatat nomor rekam medik pasien.
2. Pelaksanaan penelitian di Rumah Sakit
Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)
Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia ...
Jiwa Grhasia Yogyakarta
Pada tahap ini peneliti mengumpulkan
data karakteristik dan pengobatan pasien
menggunakan lembar pengumpulan data.
3. Analisa data penelitian
Analisa
secara
dekskriptif
untuk
mengetahui gambaran pola pengggunaan
obat, data demografi, dan ketepatan
pengobatan pasien skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta periode
Januari hingga Desember 2017. Data terapi
pengobatan dibandingkan dengan kriteria
pada American Psychiatric Association. Data
tepat pasien, tepat indikasi, dan perbaikan
parameter klinik menggunakan kriteria SPM
RSJ Grhasia. Data tepat obat dan tepat dosis
obat
menggunakan
Drug Information
Handbook 19th Edition.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik obyek penelitian
1.1 Jenis kelamin
Berdasarkan data demografi yang
diperoleh dari 97 pasien skizofrenia yang
menjalani rawat inap dan menggunakan obat
antipsikotik sebagai terapi pengobatannya
didapatkan bahwa penderita berjenis
kelamin pria berjumlah lebih besar
dibanding dengan penderita berjenis
kelamin wanita.
Tabel 1. Distribusi jenis kelamin pada
pasien skizofrenia yang menjalani rawat
inap di RSJ Grhasia tahun 2017
Jenis
Kelamin
Jumlah
Pasien
Persentase
(%)
Pria
64
65,98
Wanita
33
34,02
Total
97
100
Terdapat perbedaan pengaruh jenis
kelamin terhadap gejala skizofrenia yang
dapat muncul. Ditinjau dari angka kejadian,
baik jenis kelamin pria maupun wanita sama
-sama memiliki angka insidensi yang sama
besar. Potensi terjadinya skizofrenia pada
pria dan wanita sama besar, tetapi onset
skizofrenia lebih cepat terjadi pada pria.
Gejala negatif lebih banyak terjadi pada pria
dengan prognosis yang lebih buruk jika
dibandingkan wanita, terutama dalam
persoalan
interaksi
sosial
serta
penyalahgunaan suatu zat berbahaya. (Li et
al., 2016).
1.2 Usia
Penelitian ini membagi usia pasien
skizofrenia dari rentang usia 18 tahun
sampai dengan 88 tahun. Kasus skizofrenia
umumnya sangat jarang terjadi pada anakanak atau penderita yang berusia kurang
dari 18 tahun (Li et al., 2016).
Tabel 2. Distribusi usia pada pasien
skizofrenia yang menjalani rawat inap di
rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017
Usia (Tahun)
Jumlah
Pasien
Persentase
(%)
18 - 28
7
7,21
29 - 38
24
24,74
39 - 48
40
41,23
49 - 58
17
17,52
59 - 68
7
7,21
69 - 78
2
2,09
Total
97
100
Pada penelitian ini usia terbanyak
terjadinya skizofrenia di RSJ Grhasia
Yogyakarta pada tahun 2017 yaitu pada usia
39 hingga 48 tahun. Onset usia terjadinya
skizofrenia juga terkait dengan jenis gejala.
Sebagai contoh, penelitian menunjukkan
bahwa wanita dengan skizofrenia dengan
onset lambat mungkin memiliki gejala
negatif
yang
kurang
parah
dan
menampakkan gejala positif yang lebih khas,
Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)
27
Padmasari dan Sugiyono
Tabel 3. Distribusi tipe skizofrenia pada pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di
rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017
Tipe Skizofrenia
ICD-X
Jumlah Pasien
Persentase (%)
Paranoid
20.0
56
57,74
Hebrifenik
20.1
7
7,22
Katatonik
20.2
5
5,15
Tidak Terperinci
20.3
20
20,61
Depresi Paska Skizofrenia
20.4
0
0
Residual
20.5
6
6,19
Simpleks
20.6
3
3,09
Tipe lain
20.8
0
0
97
100
Total
khususnya halusinasi sensorik dan delusi (Li
et al., 2016).
Perbedaan
onset
usia
terjadinya
skizofrenia merupakan hasil yang banyak
ditemukan
pada
penelitian
tentang
perbedaan jenis kelamin yang dihubungkan
dengan kejadian skizofrenia. Menurut
penelitian ini, onset usia terjadinya
skizofrenia pada pria terjadi pada rentang
usia 18-25 tahun, sedangkan pada wanita
onset usia terjadi pada rentang25-35 tahun.
Wanita memiliki usia puncak terjadinya
skizofrenia yaitu pada fase pertama
menstruasi dan setelah usia lebih dari 40
tahun. Prevalensi onset wanita yang
mengalami skizofrenia lebih dari usia 40
tahun karena terkait dengan penurunan
kadar estrogen setelah menopose. Beberapa
penelitian menyatakan adanya perbedaan
onset usia terjadinya skizofrenia antara pria
dan wanita dipengaruhi oleh riwayat
keluarga (Ochoa et al., 2012).
1.3 Tipe skizofrenia
Skizofrenia merupakan salah satu dari
kelompok
gangguan
psikotik
yang
dikarakteristikkan dengan munculnya gejala
positif dan atau gejala negatif dan sering
28
dihubungkan dengan kemunduran penderita
dalam menjalankan fungsinya sehari-hari.
Dari beberapa tipe skizofrenia diketahui tipe
paranoid merupakan tipe skizofrenia yang
sering ditemukan.
1.4 Lama rawat inap
Lamanya rawat inap pasien skizofrenia
dapat dipengaruhi oleh tingkat keparahan
pasien. Pada penelitian ini dibedakan dengan
rentang interval 10 hari. Lamanya rawat inap
yang paling tinggi di RSJ Grhasia adalah 21
hingga 30 hari sebanyak 58 pasien atau
sebesar 59,8%.
Tabel 4. Lama rawat inap pasien skizofrenia
di rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017
Lama Rawat
Inap (hari)
0 - 10
Jumlah
Pasien
2
Persentase
(%)
2,06
11 - 20
9
9,28
21 - 30
58
59,8
31 - 40
12
12,37
41 - 50
2
2,06
51 - 60
14
14,43
Total
97
100
Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)
Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia ...
Penelitian yang dilakukan oleh Keliat,
menguji perbedaan lama rawat inap pasien
skizofrenia yang diberikan edukasi dan yang
tidak diberikan edukasi untuk mengontrol
keparahan penyakitnya. Pada kelompok
dengan edukasi lama rawat inap adalah 23
hari dan kelompok tanpa edukasi rata-rata
rawat inap adalah 40 hari. Menurut
penelitian yang dilakukan, lama rawat inap
pasien skizofrenia juga berhubungan dengan
usia pasien. Semakin tua usia pasien, maka
lama rawat inap akan semakin panjang
(Keliat et al., 2009).
2. Pola penggunaan obat antipsikotik
Pola penggunaan obat antipsikotik dapat
dilihat dalam tabel 5 dan 6. Pada penelitian
ini terapi kombinasi obat antipsikotik
merupakan regimen antipsikotik terbanyak
yaitu sebesar 88,66%. Penelitian RCT
menyatakan bahwa antipsikotik kombinasi
lebih superior dibandingkan monoterapi
terutama dalam mengatasi skizofrenia yang
berulang. Pada penelitian ini terapi
kombinasi tipikal atipikal yang paling banyak
digunakan adalah kombinasi risperidon dan
klozapin (Correll et al., 2009). Klozapin
merupakan kelompok antipsikotik yang
terbukti efektif terutama dalam mengatasi
skizofrenia resisten (Treatment Resistant
Schizophrenia/TRS). Mekanisme efektivitas
klozapin dalam mengatasi TRS tidak
disebutkan secara terperinci, tetapi 50-60%
pasien yang mengalami kekambuhan
skizofrenia memiliki respon yang baik ketika
pemberian klozapin (Lally and MacCabe,
2015).
Resistensi
terhadap
terapi
antipsikotik dapat diatasi salah satunya
dengan pemberian injeksi risperidone
dengan durasi kerja panjang. Namun,
pemberian injeksi ini terbukti tidak lebih
efektif jika dibandingkan pemberian oral
disebabkan efek ekstrapiramidal yang besar
(Rosenheck et al., 2011).
Tabel 5. Regimen penggunaan antipsikotik
untuk pasien skizofrenia di RSJ Grhasia
tahun 2017
Regimen
Antipsikotik
Jumlah
Pasien
Persentase
(%)
Tunggal
11
11,34
Kombinasi
86
88,66
Total
97
100
3. Evaluasi rasionalitas penggunaan
antipsikotik
3.1 Evaluasi tepat indikasi
Berdasarkan data penelitian yang
diperoleh dari 97 sampel pasien skizofrenia
yang memenuhi kriteria inklusi penggunaan
obat antipsikotik. Semua pasien 100% tepat
indikasi, hal ini sesuai dengan diagnosa yang
tercantum dalam rekam medis pasien, dan
adanya suatu gejala yang jelas, bahwa gejala
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi
neuroleptika.
Gejala
telah
berlangsung selama kurun waktu satu bulan
atau lebih, dan adanya suatu perubahan yang
konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek kehidupan
pribadi. Dari kasus yang pasien dibawa ke
rumah sakit dengan keadaan yang gelisah,
marah-marah,
tidak
bisa
melakukan
pekerjaan rumah, tidak bisa merawat diri,
memiliki keinginan untuk bunuh diri, dan
tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari.
Antipsikotik yang diberikan oleh dokter di
RSJ Grhasia dalam hal ini sesuai dengan
indikasinya
yaitu
untuk
pengobatan
skizofrenia.
3.2 Evaluasi tepat obat
Dalam penelitian di RSJ Grhasia
Yogyakarta penggunaan obat antipsikotik
tunggal
tidak
banyak
diresepkan.
Penggunaan obat tunggal antipsikotik yang
Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)
29
Padmasari dan Sugiyono
Tabel 6. Regimen penggunaan obat antipsikotik di rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017
Regimen
Antipsikotik
Tunggal
Kombinasi 2
obat
Kombinasi
obat
Kombinasi
obat
3
4
Janis Obat
Antipsikotik
Nama Obat Antipsikotik
Persentase
(%)
Atipikal
Risperidon
8
8,24
Atipikal
Aripiprazol
1
1,03
Tipikal
Haloperidol
2
2,06
Atipikal + Atipikal
Risperidon + Klozapin
31
31,95
Risperidon + Aripiprazol
1
1,03
Klozapin + Quetiapin
1
1,03
Olanzapin + Quetiapin
2
2,07
Tipikal + Tipikal
Haloperidol + Klorpromazin
4
4,12
Tipikal + Atipikal
Haloperidol + Klozapin
18
18,55
Risperidon + Klorpromazin
10
10,30
Trifluoroperazin + Klozapin
3
3,1
3 Atipikal
Olanzapin + Klozapin +
Risperidon
5
5,15
2 Atipikal +
Tunggal Tipikal
Risperidon + Klozapin +
Haloperidol
9
9,27
3 Atipikal +
Tunggal Tipikal
Klozapin + Risperidon +
Olanzapin + Haloperidol
2
2,06
97
100
Total
diberikan adalah obat jenis atipikal yaitu
risperidon
tunggal
dan
aripiprazole.
Penggunaan antipsikotik kombinasi paling
banyak dipergunakan adalah kombinasi obat
dengan dua regimen yaitu kombinasi obat
atipikal dan tipikal. Obat yang paling banyak
diresepkan adalah kombinasi antara
haloperidol
dan
klozapin.
Pemilihan
kombinasi
antipsikotik
pada
pasien
skizofrenia selain dilihat dari fase
pengobatan juga ditentukan oleh keamanan
obat secara efektif. Hal ini sesuai dengan
algoritma terapi skizofrenia di mana terapi
utama pada pasien skizofrenia menggunakan
antipsikotik golongan atipikal secara tunggal
30
Jumlah
Pasien
dan atau kombinasi sesuai dengan tingkat
keparahan pasien. Selain obat antipsikotik
juga diberikan obat ajuvan, antara lain
triheksipenidil dan diazepam. Kesesuaian
terapi obat dapat dilihat dari kondisi pulang
pasien, di mana sebagian besar pasien
pulang dalam keadaan tenang dan sebagian
kecil pasien pulang dalam keadaan
perbaikan. Klozapin merupakan obat atipikal
dengan efek samping ekstrapiramidal yang
lebih rendah. Pada penelitian di RSJ Grhasia
Yogyakarta pemakaian kombinasi dengan
klozapin sangat sering dilakukan dan
pemakaian terbanyak pada dosis 25 mg
setiap 24 jam (Dipiro et al., 2008).
Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)
Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia ...
Tidak ada bukti ilmiah yang
menyatakan bahwa antipsikotik atipikal
lebih superior
dibandingkan dengan
antipsikotik tipikal. Antipsikotik tipikal
digunakan sebagai terapi awal dalam
penanganan skizofrenia terutama pasien
yang sudah tidak dapat merespon
pengobatan sebelumnya dan mengalami efek
samping gejala ekstrapiramidal (Geddes et
al., 2000). Klozapin digunakan ketika dua
obat antipsikotik gagal dalam memberikan
efek terapi. Penanganan skizofrenia tidak
hanya
menggunakan
obat
golongan
antipsikotik, tetapi dapat ditabahkan obat
golongan antikolinergik dan benzodiazepin.
Penggunaan antikolinergik digunakan untuk
menghindari efek samping yang tidak
diinginkan seperti retensi urin, konstipasi,
mulut kering. Benzodiazepin yang banyak
digunakan adalah diazepam, klonazepam,
dan lorazepam. Walaupun demikian,
penggunaan antikolinergik tidak dapat
digunakan untuk perbaikan status mental,
terutama pada geriatri (Balaji et al., 2017).
3.3 Evaluasi tepat dosis
Penelitian ini dosis penggunaan obat
antipsikotik atipikal yang paling sering
digunakan sama yaitu risperidon dengan
dosis 2 mg dengan waktu pemberian interval
12 jam atau pagi dan malam hari sehingga
total dosis sehari 4 mg, hal ini sesuai dengan
dosis lazim (Dipiro et al.,2008). Pada
pemakaian klozapin dosis yang sering
digunakan secara kombinasi sebesar 25 mg
setiap 24 jam atau sehari sekali, hal ini tidak
sesuai dengan dosis lazim yang digunakan
untuk terapi pasien skizofrenia, tetapi pada
penggunaan kombinasi maka aturan
pemberian dosis pemakaian obat dapat
dititrasi sesuai dengan kondisi pasien.
Sehingga jika dilihat dari status keadaan
pulang pasien yang sebagian besar adalah
sembuh sehingga bisa disimpulkan bahwa
pemakaian dosis klozapin 25 mg per hari
sudah sesuai (Dipiro et al., 2008).
3.4 Parameter klinik pasien skizofrenia
Tujuan utama dari terapi pada skizofrenia
adalah pemulihan. Pemulihan dapat dicapai
baik dari segi fungsi mental maupun fisik.
Penilaian dalam menentukan pemulihan
terdapat empat faktor termasuk di antaranya
hilangnya
gejala,
fungsi
pekerjaan,
kehidupan mandiri, dan relasi. Penelitian di
RSJ Grhasia Yogyakarta persentase terbesar
untuk
parameter
klinik
pengobatan
skizofrenia yaitu pasien pulang dalam
keadaan tenang sebesar 89%.
Tabel 7. Gambaran parameter klinik pasien
skizofrenia di RSJ Grhasia tahun 2017
Parameter
Klinik
Jumlah
pasien
Persentase
(%)
Pulang dalam
keadaan
tenang
87
89,69
Pulang dengan
catatan khusus
10
10,31
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa
pengobatan di RSJ Grhasia Yogyakarta tahun
2017 adalah 100% tepat indikasi, tepat obat,
tepat dosis, tepat pasien dan pasien pulang
dengan perbaikan klinis sebesar 89,69%.
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Universitas Jenderal Achmad Yani
Yogyakarta, Jl. Brawijaya Ring Road Barat,
Gamping
Kidul,
Ambarketawang,
Gamping, Yogyakarta 55294.
2. Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta,
Jalan Kaliurang KM.17, Pakembinangun,
Pakem,
Duwetsari,
Pakembinangun,
Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah
Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)
31
Padmasari dan Sugiyono
Istimewa Yogyakarta 55582
REFERENSI
Balaji, R. et al. (2017) ‘An Observational
Study Of Drug Utilisation Pattern And
Pharmacovigilance Of Antipsychotics’,
International Journal of Current
Pharmaceutical Research, 9(6).
Correll, C. U. et al. (2009) ‘Antipsychotic
Combinations Vs Monotherapy In
Schizophrenia: A Meta-Analysis Of
Randomized
Controlled
Trials’,
Schizophrenia Bulletin, 35(2), pp.
443–457. doi: 10.1093/schbul/sbn018.
Geddes, J. et al. (2000) ‘Atypical
Antipsychotics In The Treatment Of
Schizophrenia: Systematic Overview
And Meta-Regression Analysis’, BMJ,
pp. 1371–1376.
Keliat, B. A. et al. (2009) ‘Influence Of The
Abilities In Controlling Violence
Behavior To The Length Of Stay Of
Schizophrenic Clients In Bogor Mental
Hospital ,
Indonesia’,
Med J
Indones, 18(1), pp. 31–35.
Lally, J. and MacCabe, J. H. (2015)
‘Antipsychotic
Medication
In
Schizophrenia: A Review’, British
Medical Bulletin, 114(1), pp. 169–179.
doi: 10.1093/bmb/ldv017.
Li, R. et al. (2016) ‘Why sex differences in
schizophrenia?’,
Journal
of
translational neuroscience, 1(1), pp. 3–
42.
Moldin, S. O. (2000) ‘Gender and
schizophrenia: an overview.’, Gender
and its effects on psychopathology, pp.
169–186.
Ochoa, S. et al. (2012) ‘Gender Differences in
Schizophrenia
and
First-Episode
Psychosis: A Comprehensive Literature
Review’, Schizophrenia Research and
Treatment, 2012, pp. 1–9. doi:
10.1155/2012/916198.
32
Rosenheck, R. A. et al. (2011) ‘Long-Acting
Risperidone and Oral Antipsychotics in
Unstable Schizophrenia’, New England
Journal of Medicine, 364(9), pp. 842–
851. doi: 10.1056/NEJMoa1005987.
Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)
Download