Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

advertisement
Analisis Lanskap
Kajian Negara Indonesia
Laporan Final
6 September 2010
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Analisis Lanskap – Kajian Negara Indonesia
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif .................................................................................................. 4
1. Pendahuluan .......................................................................................................... 6
2. Analisis Lanskap Proses Kajian Negara ................................................................. 8
3. Situasi Gizi di Indonesia ..................................................................................... 10
Situasi Gizi dan Kesehatan Anak di Indonesia ..................................................... 10
Situasi Gizi dan Kesehatan Ibu di Indonesia ........................................................ 13
Pemberian Makanan pada Kehamlan dan Anak dan Anak Usia Dini di Indonesia 16
4. Temuan pada Analisis Lanskap Kajian Negara dan analisis ................................ 22
Persepsi permasalahan ......................................................................................... 22
Kebijakan mengenai gizi dan kegiatan yang kini dipraktikkan ............................. 24
Koordinasi Gizi ................................................................................................... 26
Sumber Daya Manusia bagi Gizi ......................................................................... 27
Perencanaan, Anggaran dan Pembiayaan ............................................................. 29
System Informasi Gizi ......................................................................................... 30
Ringkasan Temuan .............................................................................................. 31
5. Rekomendasi ....................................................................................................... 32
Tujuan Keseluruhan............................................................................................. 32
Koordinasi Gizi dan Pertanggungjawaban ........................................................... 32
Anggaran dan Pembiayaan .................................................................................. 33
Perencanaan dan desain Program ......................................................................... 34
Sumber Daya Manusia ......................................................................................... 35
Pengadaan Jasa .................................................................................................... 37
Sistem Informasi Gizi .......................................................................................... 37
6. Langkah Berikutnya ........................................................................................... 40
Lampiran 1. Metodology Kajian Negara .................................................................. 42
Lampiran 2. Program Gizi Indonesia berorientasi pengentasan kemiskinan ................
Klaster 1 – Bantuan Sosial dan Program Perlindungan .............................................
Program Raskin ..................................................................................................
Transfer Uang Tunai ............................................................................................
Asuransi Kesehatan .............................................................................................
Klaster 2 – Program Pemberdayaan Masyarakat ......................................................
PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) ..........................
PNPM Generasi (Transfer Uang Tunai untuk Kesehatan dan Generasi Cerdas) ....
Pemberdayaan Usaha Micro dan Kecil ............................................................117
Lampiran 3. Rangka Kerja Kebijakan dan Program Intervensi Gizi Esensial................
Lampiran 4. Keamanan Pangan dan Pemetaan Kerawanan dari WFP ..........................
2
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Gambar dan Tabel
Gambar 1: Penempatan waktu kegagalan pertumbuhan anak balita di negara sedang
berkembang ............................................................................................................... 6
Gambar 2: Rangka Kerja Konseptual Gizi UNICEF ................................................. 8
Gambar 3: Fungsi Sistem Gizi yang membantu mendefinisikan Komitmen dan
Kapasitas ................................................................................................................. 10
Gambar 4: Prevalensi bobot kurang pada anak balita di Indonesia ........................... 11
Gambar 5: Stunting dan penyiaan (wasting) berdasarkan Propinsi di Indonesia
(Riskesdas 2007) ..................................................................................................... 12
Tabel 1: Cakupan Intervensi Gizi Lancet di Indonesia ............................................. 20
3
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Meski pendapatan nasional brutto telah tumbuh kelipatan lima sejak tahun delapan
puluhan, kemajuan dalam nutrisi telah terbatas pada 37% anak Indonesia yang masih
menderita stunting. Kepedulian mengenai situasi stunting dan dibutuhkannya untuk
suatu pengkajian yang memadai mengenai kapasitas sistem gizi pemerintah di dalam
administrasi desentralisasi yang baru, Badan Perencanaan Nasional dan Kementrian
Kesehatan Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk melaksanakan proses
Pengkajian Negara Analisis Lanskap agar mengkaji “kesiapan” mereka untuk
bertindak untuk mempercepat pengurangan kehamilan dan kurang gizi.
Suatu analisis situasi gizi mengungkapkan bahwa meskipun prevalensi anak kurang
bobot telah berkurang di Indonesia dan telah dicapainya Tujuan Pembangunan Jangka
Menengah dan Tujuan Pembangunan Milenium untuk pengurangan kelaparan,
Indonesia tetap mempunyai permasalahan serius mengenai stunting dan wasting pada
anak muda. Masih terdapat banyak kehamilan kurang gizi, yang berkontribusi
terhadap bobot kelahiran rendah yang relatif tinggi demikian pula yang menderita
stunting. Cakupan program gizi yang ada mungkin wajar untuk beberapa kegiatan,
namun cakupan lebih besar perlu dicapai terhadap intervensi nutrisi esensial yang
lebih preventif yang dapat membantu pengurangan kehamilan kurang gizi dan kurang
gizi itu sendiri, termasuk promosi dan memberikan nasihat mengenai pemberian asi
dan pemberian makanan komplementer, pemberian suplemen zat besi-folat kepada
ibu, menghilangkan penyakit cacingan dari ibu dan anak, pemberian suplemen protein
dan energi kepada ibu hamil yang miskin, perawatan diare dengan zat seng, dan
cakupan fortifikasi makanan dan program fortifikasi di tempat tinggal.
Temuan dari Pengkajian Negara adalah bahwa meskipun komitmen untuk bertindak
bagi gizi cukup kuat, kemampuan untuk bertindak bagi gizi masih perlu diperkuat.
Komitmen kuat yang ada untuk bertindak bagi gizi adalah salah arah dalam berupaya
untuk mengatasi permasalahan gizi yang akut daripada meletakkan sistem dan
intervensi pada tempatnya untuk mencegah anak dan ibu kekurangan gizi, yang
sebagian besar karena yang hal yang disebutkan terakhir itu secara umum tidak
dipandang sebagai suatu permasalahan. Komitmen untuk mengatasi permasalahan
mengenai stunting makin tumbuh pada tingkat nasional, namun di tingkat propinsi
dan kabupaten dimana semua tindakan diputuskan dan dilaksanakan, permasalahan
gizi masih besar disamakan dengan gizi buruk dan/atau kepada kurangnya makanan.
Mekanisme untuk koordinasi kebijakan, identifikasi prioritas dan mengatur tujuan dan
sasaran adalah lemah atau bahkan tidak ada di semua tingkatan. Kemampuan untuk
bertindak bagi gizi perlu diperkuat kalau pengurangan stunting harus tercapai.
Pengadaan jasa sebagian besar berkisar mengenai pemantauan pertumbuhan anak dan
salah arah terhadap balita daripada terpusat pada anak dibawah usia dua tahun dimana
intervensi gizi dapat mempunyai efek yang lebih besar. Prioritas kurang diberikan
kepada kegiatan pencegahan yang terkait dengan pemberian nasihat kepada ibu
mengenai anak usia dini dan anak muda daripada memberikan fungsi penyembuhan
dalam mendeteksi dan merawat penyakit wasting. Koordinasi antar sector mengenai
pelaksanaan perlu diperkuat. Meskipun ahli gizi yang cukup banyak sedang diberikan
pelatihan, kurikulumnya sudah kedaluarsa atau tidak lengkap. Mereka kurang
mendapatkan pekerjaan di dalam sistem tersebut, dan terutama dalam pelaksanaan
pemberian jasa. Sedikit ataupun samasekali tidak terjadinya pelatihan mengenai gizi
4
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
ditempat kerja. Penggunaan data pemantauan untuk membuat keputusan atau data
evaluasi untuk belajar dari pengalaman program adalah hal yang tidak biasa.
Rekomendasi dibuat mengenai bidang : Koordinasi dan Tanggungjawab Gizi;
Anggaran dan Pembiayaan; Perencanaan dan Disain Program; Sumber Daya Manusia;
Pengadaan Pelayanan; Sistem Informasi Gizi. Sebagai ringkasan, prioritas harus
diberikan untuk menciptakan mekanisme yang mempromosikan pengembangan
Rencana Tindakan Gizi yang seirama di tingkat Propinsi dan Kabupaten berdasarkan
rencana nasional, keputusan dan arah kebijakan, demikian pula untuk
mengembangkan mekanisme koordinasi antar sector untuk pengawasan dan
pemantauan pelaksanaannya. Agar meningkatkan pembiayaan yang efektif,
pengarahan dan insentif harus diberikan kepada kabupaten agar diprioritaskan pada
intervensi berdasarkan pembuktian terhadap kelompok rawan pra-hamil, ibu hamil
dan menyusui dan anak dibawah usia dua tahun. Ukuran panjangnya anak dibawah
usia dua tahun dan anemia dalam kehamilan harus diberikan tekanan dan prioritas
yang meningkat untuk mengukur keefektifan gizi demikian juga program pengentasan
kemiskinan pada semua tingkatan. Secara bersamaan dengan hal ini, deskripsi
pekerjaan perlu dimutakhirkan untuk mencerminkan arahan program baru (misalnya,
pengukuran stunting dan kesehatan/anemia kehamilan) bagi semua staf yang terlibat
di dalam gizi di semua tingkatan dalam system. Suatu peta sumber daya manusia bagi
ahli gizi dan pekerja kesehatan lainnya harus dikembangkan agar dapat
mengindentifikasi kesenjangan dalam penugasan serta kompetensi, dan
mengembangkan rencana nasional untuk suatu pendekatan pelatihan untuk mengajar
kompetensi gizi bagi sukarelawan, perawat dan bidan, dan untuk memberikan
pemutakhiran teknis bagi dokter dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan ini, skala
pelaksanaan (sesuai tergantung kondisi lokal), dari paket Intervensi Gizi Esensial
(ENI) harus secara progresif dilaksanakan dimulai dengan beberapa kabupaten dan
propinsi dan secara bertahap memperluas sehingga dalam waktu lima tahun sebagian
besar ibu dan anak tercakup oleh ENI sebagai suatu kelanjutan perawatan dari masa
pre-konsepsi, konsepsi sampai usia dua tahun. Panduan pemantauan dan evaluasi
harus dimodifikasi untuk mencerminkan fokus program baru dan indikator yang
terkait.
5
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
1. Pendahuluan
Sementara ekonomi Indonesia telah tumbuh secara mengesankan selama empat
dekade, tingkat kurang gizi anak meskipun berkurang, masih tetap bertahan tinggi.
Pendapatan Nasional Bruto telah tumbuh lima kali lipat sejak tahun delapan puluhan,
tetapi tingkat anak kurang bobot sedikit lebih dari separoh pada periode yang sama,
dan 18% anak Indonesia masih mengalami hal ini. Mungkin aspek yang sangat
menghawatirkan dalam hal ini, bahwa 37% anak Indonesia masih mengalami stunting.
Stunting pada anak diterima secara luas sebagai salah satu alat prediksi mengenai
modal sumber daya manusia, mempengaruhi kinerja akademik potensial dan
kemampuan memperoleh pendapatan sebagai suatu bangsa 1.
Stunting sama juga disebabkan oleh defisiensi dalam lingkungan intra-uterin dari
janin demikian juga kesehatan dan gizi anak selama kehidupan pasca natal dini.
Seperti dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini, di Negara yang terkena oleh kurang
gizi dalam kehamilan dan anak, kegagalan pertumbuhan panjangnya sudah dapat
ditentukan pada saat kelahiran dan terjadi setiap sejak kelahiran sampai usia dua
tahun2. Setelah usia dua tahun, anak dari semua Negara mempunyai pertumbuhan
yang sama, sedemikian pada ukuran tinggi pada usia dua tahun banyak menentukan
tingginya nanti pada saat dewasa 3.
Gambar 1: Penempatan waktu gagal-tumbuh pada anak balita
di negara sedang berkembang
Pada dekade terakhir Indonesia telah diubah dari pemerintahan yang paling
sentralistik menjadi pemerintah yang paling terdesentralisasi di dunia. Desentralisasi
telah tercapai dengan beberapa urutan peraturan yang diberlakukan di tahun 2001 dan
dialihkannya tanggungjawab penyampaian pelayanan umum kepada kabupaten atau
pemerintahan daerah. Undang-undang desentralisasi Indonesia tahun 1999
Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell M, Richter L, Sachdev HS for the Maternal and Child
Undernutrition Study Group (2008) Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human
capital. The Lancet 37: 340-357
2 Victora CG, de Onis M, Hallal PC, Blössner M, Shrimpton R. 2010 Worldwide timing of growth faltering: revisiting
implications for interventions. Pediatrics. 125(3):e473-80.
3 Cole T. 2000. Secular trends in growth. Proc. Nut Soc. 59:317-324.
1
6
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
memperkenankan pembagian propinsi, kabupaten dan kabupaten kota menjadi unit
yang lebih kecil demi kepentingan penyampaian pelayanan yang lebih baik, distribusi
sumber daya yang lebih merata dan pemerintahan yang lebih terwakili. Dengan
adanya desentralisasi jumlah kabupaten telah dilaporkan meningkat dari 292 dalam
tahun 1998 sampai 497 pada awal tahun 2009 dan masih terus meningkat. Area
kompetensi yang dipertahankan pada tingkat pusat termasuk Urusan Luar Negeri,
Pertahanan, Fiskal dan Moneter, Peradilan dan Agama. Untuk yang lain termasuk
Kesehatan, Pertanian dan Pendidikan, peranan pemerintahan di tingkat pusat terbatas
pada pengaturan standard dan norma, pemantauan dan evaluasi dan pengendalian,
sementara pemerintah propinsi mempunyai peran pengawasan dan pemberian
fasilitas4.
Selanjutnya terlihat bahwa kurangnya perbaikan terhadap kurang gizi anak sejak
perputaran abad, yang terkait awalnya dengan krisis ekonomi, telah dihubungkan
dengan makin hancurnya kemampuan pemberian pelayanan dalam program gizi yang
disebabkan oleh desentralisasi. Antara tahun 1995 dan 2006, jumlah penyedia
kesehatan seperti dokter dan spesialis, bidan dan perawat telah meningkat secara
signifikan namun fokusnya terhadap peningkatan jumlah pekerja, dengan kurangnya
perhatian terhadap kualitas. Hasil awal dari laporan WHO/RI mengenai kajian rumah
sakit terhadap kualitas perawatan anak yang dilakukan di enam propinsi5
menunjukkan bahwa prosentase standard keberhasilan kasus pengelolaan kurang gizi
adalah rerata 30% atau kurang dari 60%, merupakan suatu angka jelas yang secara
kuat menyarankan dibutuhkannya perbaikan. Hasil terendah diamati di Jawa Timur
(23%) dan keberhasilan tertinggi dicapai di NTT (43%). Suatu analisis kausal
mengenai angka ini dibutuhkan untuk mengungkapkan sejauh mana dan sifat dari
defisiensi tersebut, demikian pula untuk mengkaji pengetahuan dan praktik terhadap
perawatan gizi oleh ahli kesehatan dan gizi professional di masyarakat.
Sebagaimana pemerintahan kabupaten berupaya untuk menyamakan keterampilan
sumber daya manusianya dengan kekuasaan yang baru diperoleh, demikian pula
perencana dan pembuat keputusan ditingkat pusat dan propinsi menghadapi tantangan
baru dalam koordinasi, pemantauan dan standardisasi. Hasil akhir adalah bahwa
kurangnya kapasitas gizi pada tingkat kabupaten digabung dengan tantangan untuk
koordinasi dan kepemimpinan pada tingkat pusat dan propinsi telah berakibat
hancurnya program gizi secara umum. 6
Kepedulian mengenai situasi stunting dan dibutuhkannya pengkajian yang memadai
mengenai kapasitas sistem gizi pemerintah dalam administrasi desentralisasi yang
baru, Badan Perencanaan Nasional dan Departemen Kesehatan Republic Indonesia
telah memutuskan untuk menjalankan proses Analisis Lanskap Pengkajian Negara
yang telah dikembangkan oleh PBB dan badan internasional lainnya dibawah
Suwandi M 2001. Pendekatan Top down dibandingkan bottom up approaches terhadap desentralisasi
(pengalaman Indonesian). Jakarta: Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
5 Kajian dilakukan di tiga rumah sakit masing di Jambi, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, NTT, Maluku Utara dan
Kalimantan Tengah. Hasil menunjukkan bahwa pengelolaan kasus diare, demam dan batuk/sulit bernapas adalah
dibawah 60% (WHO, 2009. Laporan kajian rumah sakit mengenai kualitas perawatan kesehatan anak di 6
propinsi, Februariy)
6 Friedman J, Heywood PF, Marks G, Saaday F, Choi Y. 2006.Desentralisasi Sektor Kesehatan dan Program Gizi
Indonesia: Peluang dan Tantangan. Report No. 39690-IND. Washington: World Bank.
4
7
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
kepemimpinan WHO7. Kajian Negara tersebut (CA) mempunyai sasaran untuk
membantu negara untuk mengkaji “kesiapan” mereka bertindak untuk mempercepat
pengurangan kurang gizi kehamilan dan anak. Kesiapan diakui sebagai fungsi
“komitmen” dan “kapasitas” dan dipengaruhi faktor yang beroperasi pada semua
tingkatan penyebab seperti tertera pada Rangka Kerja Konseptual Gizi UNICEF
(UNICEF Nutrition Conceptual Framework – Lihat Gambar 2 dibawah). Komitmen
dapat diukur dengan adanya kebijakan dan besarnya sumber daya yang diterapkan
pada masalah tersebut, sedangkan kapasitas tercermin pada tingkat dasarnya dalam
arti kecukupan dalam penyampaian pelayanan.
Gambar 2: Rangka Kerja Konseptual Gizi UNICEF
2. Proses Analisis Lanskap Kajian Negara (CA)
Tujuan keseluruhan dari CA adalah untuk membantu menciptakan kapasitas dan
komitmen lebih besar untuk meningkatkan situasi gizi agar mempercepat
berkurangnya kurang gizi anak dan dalam kehamilan. Untuk tujuan ini, dengan
dukungan yang diberikan badan PBB terutama yang terlibat, suatu tim nasional telah
dibentuk dengan perwakilan dari Kementrian Kesehatan demikian juga dari
BAPPENAS bersama dengan perwakilan tingkat propinsi dari kantor dinas
perencanaan dan kesehatan dari tiga propinsi dimana CA dilakukan. Inisiatif
Mikronutrien, Helen Keller International, dan institusi akademis termasuk Universitas
Indonesia juga terlibat. Metodologi secara penuh bersama dengan kuestioner, jadwal
wawancara dan orang yang diwawancarai terdapat dalam Lampiran 1, dan prosesnya
diringkas lebih lanjut disini.
Nishida, N Shrimpton R, Darnton-Hill I 2009. Analisis Lanskap terhadap kesiapan Negara untuk mempercepat
aksi dalam gizi. SCN News 37: 4-9. Geneva: SCN.
7
8
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Panduan rasional keseluruhan proses CA diturunkan dari pengertian yang disetujui
pada Sesi ke 35 UN Standing Committee on Nutrition.8. Telah diakui bahwa sasaran
efektif terhadap ibu dan anak dari masa konsepsi sampai usia dua tahun ( ‘jendela
kesempatan’) dari suatu perangkat intervensi yang datang dari Lancet Nutrition Series
(LNS)9 mengenai bagaimana untuk mempercepat pengurangan kurang gizi anak dan
dalam masa kehamilan dapat mencegah paling sedikit seperempat kematian anak
dibawah usia 36 bulan dan mengurangi prevalensi stunting sebesar sepertiga pada
masa jangka pendek.
Metodologi pengkajian yang digunakan untuk CA Indonesia bersifat kualitatif.
Kuesioner yang diturunkan dari yang disediakan oleh WHO Geneva diterjemahkan
kedalam Bahasa Indonesia dan selanjutnya disempurnakan oleh tim nasional untuk
memenuhi persyaratan Indonesia bagi pembuatan keputusan pada tingkat nasional,
propinsi dan kabupaten. Pemangku kepentingan yang diwawancarai pada tingkat
pusat termasuk pejabat dari kementerian yang terkait dengan perencanaan, kesehatan,
urusan dalam negeri, industri, pertanian, pendidikan, kesejahteraan sosial, demikian
juga perwakilan dari parlemen, badan donor, lembaga swadaya masyarakat
internasional dan nasional serta unversitas. Tim wawancara nasional telah dibagi
untuk mengunjungi tiga propinsi, dan termasuk anggota yang datang dari kantor
dalam negeri propinsi, kesehatan, pertanian, berbagai kantor negara lainnya dan LSM.
Pemangku kepentingan yang diwawancarai pada tingkat propinsi sama dengan tingkat
nasional, namun pada tingkat kabupaten, kepala pusat kesehatan dan ahli gizi
demikian juga bidan desa dan kader posyandu juga termasuk.
Penempatan waktu berbagai kegiatan Analisis Lanskap adalah sebagai berikut:
 11 – 13 Maret: Persiapan logistic berbagai kunjungan lapangan demikian pula
pelatihan pewawancara dalam penggunaan kuesioner;
 13 Maret: Peluncuran Nasional dari Analisis Lanskap Kajian Negara;
 15 Maret: Peluncuran tingkat propinsi dan wawancara dengan pemangku
kepentingan di Aceh, Jawa Tengah dan NTT;
 16 – 18 Maret: Pertemuan dan wawancara dengan pemangku kepentingan
tingkat Kabupaten di Aceh Timur, Aceh Besar, Kota Semarang, Banyumas,
Sikka dan Belu;
 19 Maret: Sesi umpan balik tingkat propinsi;
 22 – 23 Maret: Wawancara tingkat nasional;
 24 Maret: Konsolidasi hasil wawancara dari tingkat kabupaten, propinsi dan
nasional;
 25 Maret: Pengembangan konsep temuan dan rekomendasi;
 26 Maret: Presentasi dan diskusi mengenai konsep temuan dan rekomendasi
dengan pemangku kepentingan tingkat nasional.
Langkah pertama dalam analisis kuesioner adalah untuk meringkas tanggapan dari
wawancara tingkat nasional, propinsi dan kabpaten dengan menggunakan judul yang
mengelompokkan berbagai pertanyaan. Suatu matriks analitik, yang diturunkan dari
SCN 2008. Rekomendasi dari Sesi 35th : "MEMPERCEPAT PENGURANGAN KURANG GIZI MASA
KEHAMILAN DAN ANAK" tersedia pada
http://www.unscn.org/Publications/AnnualMeeting/SCN35/35th_Session_Recommendations.pdf (Accessed
09/07/09)
9 The Lancet Series on Maternal and Child Undernutrition 2008. Available at URL:
http://www.theLancet.com/series/maternal-and-child-undernutrition (Accessed 05/11/09)
8
9
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
yang digunakan dalam Kajian Negara lainnya 10, menunjukkan berbagai indikator
mengenai “komitmen” demikian pula “kapasitas” untuk dapat bertindak, juga
digunakan untuk membantu lebih lanjut dalam meringkas hasil kuesioner. Matriks ini
termasuk empat unsur sistem nutrisi/gizi seperti diusulkan dalam Lancet Nutrition
Series (LNS)11 (lihat Gambar 3 dibawah), dimana “Komitmen untuk Bertindak”
terkait dengan Pengurusan dan Fungsi Sumber Daya dan ”Kapasitas untuk
Bertindak” terkait dengan fungsi Kapasitas dan Penyediaan Pelayanan.
COMMITTMENT
---------------------------------------------------------------------------------------------------
CAPACITY
Gambar 3: Fungsi Sistem Gizi yang membantu mendefinisikan Komitmen dan Kapasitas
Tidak semua empat fungsi ini beroperasi secara penuh pada semua tingkatan. Fungsi
Penyediaan Pelayanan hanya terdapat pada tingkat kabupaten, dimana Pengurusan
dan fungsi Kapasitas lebih dilaksanakan pada tingkat nasional dan propinsi. Sumber
daya pada dasarnya penting diterapkan pada semua tingkat, meskipun
pengendaliannya di Indonesia sekarang secara dominan terdapat pada tingkat
kabupaten.
3. Situasi Gizi di Indonesia12
Situasi Gizi dan Kesehatan Anak di Indonesia
Situasi gizi anak di Indonesia, seperti terukur oleh bobot kurang, telah membaik
secara signifikan. Di tahun 1989 prevalensinya 31% dan data terakhir dari 200713
menunjukkan angka sekarang adalah 18.4%. Ini adalah suatu penurunan hampir 13%
Chopra M, Pelletier D, Witten C, Dietrich M. 2009. Assessing countries’ readiness: Methodology for in-depth
country assessment. SCN News 37:17-22
11 Morris SS, Cogill B, Uauy R, et al Effective international action against undernutrition: why has it proven so
difficult and what can be done to accelerate progress? Lancet. 371(9612):608-21.
12
Data tersedia dari yang terkini digunakan dalam seluruh pembahasan ini, yang di sebagian besar
kasus berasal dari survaiRiskesdas 2007.
13
1989 data dari Susenas dan data 2007 dari Riskesdas, semua dalam standard WHO.
10
10
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
selama 18 tahun; sekitar 0.7% poin per tahun. Seperti terlihat pada Gambar 4
mengenai prevalensi bobot kurang dibawah ini, penurunan khusus ditandai pada tahun
1990an, dimana saat itu telah turun (jatuh) sekitar 10%. Namun, terjadi suatu periode
stagnasi, meski terdapat sedikit kenaikan prevalensi antara tahun 2000 dan 2005.
Antara tahun 2005 dan 2007 terdapat penurunan cepat yang sedikit lebih dari 6% poin.
Penurunan dramatis bobot kurang ini dapat mencerminkan suatu pengurangan
sesungguhnya dalam prevalensi bobot kurang atau perbedaan dalam metodologi
survai antara Susenas 2005 dan Riskesdas 2007, meski kedua survai tersebut
menggunakan rangka pengambilan sampel yang sama. Sasaran MDG sebesar 18.5%
telah tercapai oleh RISKESDAS di tahun 2007 oleh karena sasarannya adalah
pengurangan 50% dari 37.5 % bobot kurang di tahun 1989. Sasaran rencana
pembangunan jangka menengah juga telah tercapai.
Trend in Underweight Prevalence of Under Five Children
40,0
37,5
35,5
31,6
31,2
29,5
30,0
28,3
27,3
26,4
27,5
28,2
28,0
Target RPJM 2009
26,1
Percent
24,6
20,0
20,0
19,0
19,8
19,3
18,3
19,2
19,6
19,2
18,4
20
17,1
18,5
13,0
11,6
10,0
6,3
7,2
10,5
8,1
8,0
7,5
8,3
8,6
8,8
6,3
Target MDG 2015
5,4
0,0
1989 1992 1995 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2007 2009 2012 2015
Severe Maln.
Moderate Maln
Malnourished
Target
Source : Susenas(1989-2005), Riskesdas 2007 (WHO standard)
Gambar 4: Prevalensi bobot kurang pada anak balita di Indonesia
Sebagai kontras, kurang gizi anak terukur oleh penderita stunting dan wasting anak
tetap, menjadi suatu permasalahan yang signifkan. Data perwakilan mengenai
stunting anak terbatas, dengan Susenas 1995 yang melaporkan prevalensi stunting
sebesar 46.9% berdasarkan acuan pertumbuhan NCHS. Dalam tahun 2007,
RISKESDAS menemukan 36.8% dari semua anak balita di Indonesia mengalami
stunting dengan menggunakan standard pertumbuhan WHO sebagai acuan dan
selanjutnya 13.6% mengalami wasting. Data nasional ini mencerminkan variasi
propinsi yang signifikan sebagamana ditunjukkan pada Gambar 5 dibawah ini untuk
stunting dan wasting berdasarkan Propinsi.
11
Papua
W Papua
N Maluku
Maluku
W Sulawesi
Gorontalo
SE Sulawesi
S Sulawesi
C Sulawesi
N Sulawesi
E Kalimantan
S Kalimantan
C Kalimantan
W Kalimantan
E Nusa Tenggara
W Nusa Tenggara
Bali
Banten
E Java
DI Yogyakarta
C Java
W Java
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Bangka
Lampung
Bengkulu
S Sumatra
Jambi
Riau
W Sumatra
N Sumatra
Aceh
0
Stunting
Wasting
25
%
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Stunting and Wasting by Province in Indonesia (Riskesdas 2007)
50
45
40
35
30
20
15
10
5
Gambar 5: Stunting dan wasting berdasarkan propinsi di Indonesia (Riskesdas 2007)
12
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah propinsi dengan tingkat prevalensi tertinggi
mengenai stunting di Indonesia dengan angka 46.7%, dan terdapat Sembilan propinsi
dengan prevalensi stunting melebihi 40%, yang dikategorikan oleh WHO sebagai
“sangat tinggi”. Tingkat wasting juga tinggi, oleh karena prevalensinya lebih dari
15%, dianggap situasi darurat denga persyaratan untuk program pemberian makanan
suplemen. Delapanbelas dari 33 propinsi di Indonesia mempunyai prevalensi wasting
diatas 15%. Lebih lajut secara nasional, 6.2% anak menderita wasting ini sangat
serius yang meletakkan mereka pada risiko tinggi kematian.
Penyakit pada anak tetap menjadi masalah yang berpengaruh terhadap status gizi di
Indonesia. Diare dan ARI tetap menjadi penyebab utama kematian anak usia dini dan
anak balita.14 Prevalensi penyakit ini juga tinggi. 11% dan 31% anak telah menderita
ARI dan demam dalam dua minggu mengawali DHS 2007 dan hanya untuk 65.9%
dilakukan perawatan atau diperoleh saran dari suatu fasilitas atau penyedia kesehatan.
13.7% dari anak menderita diare dalam dua minggu sebelum DHS dan 60.9% telah
menerima suatu bentuk rehydrasi oral. Tingkat imunisasi juga rendah – hanya 46.2%
anak berusia 12-23 bulan ditemukan telah lengkap vaksinasinya (Riskesdas 2007).
Kelihatan kecenderungan bahwa tingkat tinggi penyakit infeksi akan berkontribusi
terhadap tingkat tingginya wasting pada anak muda, dan kemungkinan besar
merupakan cerminan praktik pemberian makan kepada anak yang kurang baik dan
kondisi higiene yang didiskusikan lebih lanjut.
Dengan demikian secara keseluruhan, sementara prevalensi bobot kurang telah dapat
dikurangi di Indonesia dan Pembangunan Jangka Menengah dan Tujuan
Pembangunan Milenium telah tercapai, Indonesia tetap mempunyai permasalahan
stunting dan wasting yang serius, dengan hampir dua lipat prebedaan prevalensi yang
terlihat diantara propinsi. Tingkat stunting dan wasting diikuti oleh tingginya tingkat
penyakit infeksi diantara anak balita.
Situasi Gizi dan Kesehatan Ibu di Indonesia
WHO mencatat bahwa bobot anak pada saat lahir terpengaruh secara langsung oleh
tingkat kesehatan dan gizi ibu secara umum sebelum dan selama kehamilan 15, dan
bahwa kelahiran prematur adalah penyebab utama bobot kurang pada kelahiran di
masyarakat industri, di negara sedang berkembang hal ini secara predominan
disebabkan oleh hambatan pertumbuhan intra-uterin16. Riskesdas 2007 data
menunjukkan bahwa 13.6% ibu mempunyai defisiensi energi kronis sebagaimana
dapat terukur dari lingkaran lengan bagian atas yang <23.5 cm. Hal ini merupakan
penurunan prevalensi dari tingkat tahun 2003 sebesar 16.7%. Namun, prevalensi tetap
lebih besar dari 15% di delapan propinsi. Menurut WHO17, suatu prevalensi antara
10-19% dianggap sebagai prevalensi menengah yang menunjukkan situasi gizi yang
buruk.
14
Riskesdas 2007
Kramer M 1987. Determinants of low birth weight: methodological assessment and meta-analysis.
Bulletin of the World Health Organization 65: 663-737
16
Villar J and Belizan JM. 1982. The relative contribution of prematurity and foetal growth retardation
to low birth weight in developing and developed societies. Am J Obstetrics & Gynaecology 143: 793798
17
Physical status: the use and interpretation of anthropometry. Report of a WHO Expert Committee.
Technical Report Series No. 854. 1995. URL:
http://www.who.int/childgrowth/publications/physical_status/en/index.html. (accessed 17 June 2010)
15
13
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Data mengenai bobot diwaktu lahir meskipun terbatas tentu menunjukkan adanya
suatu permasalahan. Meskipun hanya separoh bayi ditimbang pada saat kelahiran,
11.5% dari jumlah tersebut mempunyai bobot kelahiran dibawah 2.5kg18. Meskipun
data dari DHS 2007 menunjukkan proporsi lebih rendah bobot lahir anak (5.5%),
kelihatannya sekitar 35% dari bobot anak baru lahir telah dikumpulkan dari kartu
kesehatan anak selama DHS, sementara kartu tersebut digunakan sebagai sumber
informasi sekitar 50% anak selama Riskesdas 2007.
Dapat dicatat bahwa menurut DHS 2007 lebih dari 90% ibu telah dipantau berat
badannya selama masa kehamilan, meskipun tidak jelas bila dukungan tertentu dan
nashat diberikan untuk memastikan bahwa ibu memperoleh peningkatan bobot yang
cukup selama masa kehamilan. Total penambahan bobot selama masa kehamilan
ditemukan kurang memadai disekitar 80% ibu dalam study berdasarkan populasi di
pedesaan di Jawa Tengah19, yang menunjukkan bahwa lebih banyak dapat dilakukan
untuk meningkatkan penambahan bobot. Percobaan pemberian makanan suplemen
selama masa kehamilan di Jawa, selain meningkatkan bobot kelahiran, seterusnya
menuju kepada pengurangan 20% penderita stunting pada anak balita20.
Meskipun perwakilan data anemia secara nasional pada kaum ibu terbatas dan diberi
tanggal, anemia masih menjadi permasalahan. Survai Kesehatan Rumah Tangga
Nasional di tahun 2001 menunjukkan bahwa 27.9% dari ibu dalam masa reproduktif
dan 40.1% ibu hamil menderita anemia. Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa di
perkotaan 19.7% ibu dalam masa reproduktif menderita anemia, dan 24.5% menderita
anemia diwaktu masa kehamilan. Terdapat pembuktian lain bahwa status zat besi
adalah terbatas, sedemikian sehingga selama waktu krisis financial 1997/8 kaum ibu
adalah yang pertama untuk menunjukkan tanda kurang gizi sebagaimana tercermin
pada peningkatan penderita wasting dan tingkat anemia yang terkait dengan
pengurangan konsumsi makanan berkualitas tinggi21. Suatu studi yang terkini telah
mengusulkan bahwa 20% dari kematian neonatal di Indonesia dapat disebabkan oleh
kekurangan suplemen zat besi dan asam folat selama masa kehamilan 22.
Banyak informasi terdapat mengenai praktik kesehatan kehamilan selama masa
kehamilan dan sekitar waktu kelahiran, yang jauh dari keterbatasan dalam kontennya.
Riskesdas 2007 telah melaporkan bahwa 84.5% kaum ibu telah menerima suatu
pemeriksaan kehamilan, dan bahkan di pedesaan dan diantara lingkungan yang
ekonominya paling buruk, hampir 80% kaum ibu mendapatkan pemeriksaan
kehamilan. 97.1% dari kaum ibu ini melaporkan menerima tiga atau lebih intervensi
selama kunjungan mereka. Mayoritas kaum ibu menerima pengukuran tekanan darah,
pemeriksaan ketinggian fundal, imunisasi tetanus toxoid dan pengukuran bobot.
Namun hanya 33.8% menerima tes hemoglobin dan hanya 36.4% mendapatkan tes
urine. DHS 2007 juga mempunyai data mengenai jenis rawatan ibu hamil selama
Riskesdas 2007
Winkvist A, Stenlund H, Hakimi M, Nurdiati DS, and Dibley MJ. 2002. Weight-gain patterns from prepregnancy
until delivery among women in Central Java, Indonesia. Am J Clin Nutr 75:1072–7.
20 Kusin JA, Kardjati S, Houtkooper JM, Renqvist UH. 1992. Energy supplementation during pregnancy and
postnatal growth. Lancet 340(8820):623-6.
21
Block SA , Kiess L, Webb P, Kosen S, et al. 2004. Macro shocks and micro-outcomes: child nutrition during
Indonesias crisis. Ecn Hum Biol 2(1):21-24.
22Titaley CR, Dibley MJ, Roberts CL, Hall J & Aghod K 2009. Iron and folic acid supplements and reduced early
neonatal deaths in Indonesia. Bull World Health Organ 87: 1–23.
18
19
14
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
masa kehamilan: 93.3% dari kaum ibu menerima ANC dari penyedia yang terlatih
dan 75.3% kaum ibu mendapatkan kunjungan ANC yang pertama, kurang dari empat
bulan, dengan hasil bahwa rerata selama kehamilan dari kunjungan pertama
berlangsung 2.7 bulan. 81.5% kaum ibu mendapatkan total lebih dari empat kali
kunjungan dan hanya 4.2% kaum ibu tidak mendapatkan kunjungan. 46.1% dari
kaum ibu melaksanakan kelahiran dalam fasilitas kesehatan, mayoritas dalam fasilitas
pribadi, dan 53% kaum ibu melaksanakan kelahiran di rumah. 79.4% kelahiran
dibantu oleh penyedia yang terampil, mayoritas oleh seorang perawat, bidan atau
bidan desa. Namun demikian mortalitas kehamilan ibu tetap tinggi di Indonesia dan
tidak makin baik.
Meski cakupan ANC yang tinggi terhadap perawatan anemia selam masa kehamilan,
rupanya tidak begitu efektif. Meskipun sebagian kaum ibu menerma suplemen,
mereka tidak mengkonsumsi jumlah yang cukup. Riskesdas 2007 telah temukan
bahwa 92.2% kaum ibu menerima suplemen zat besi dan asam folat selama kehamilan
yang terakhir yang sedikit berbeda dari DHS 2007 yang melaporkan bahwa hanya
79.3% kaum ibu telah menerima suplemen zat besi selama masa kehamilan. Lebih
penting lagi adalah bahwa Riskesdas melaporkan bahwa hanya 29.2% kaum ibu telah
mengkonsumsi 90+ tablet selama masa kehamilan yang terakhir sesuai yang
direkomendasikan23,
Kesuburan di Indonesia telah jatuh pada 2.6 kelahiran per ibu meski tetap lebih tinggi
secara signifikan di beberapa propinsi seperti NTT dan Maluku. Usia menengah pada
kelahiran pertama adalah 21.5 tahun dengan sedikit variasi, meskipun hal ini sedikit
lebih rendah di daerah pedesaan (20.6 yrs), diantara mereka tanpa pendidkan (19.6
tahun) dan mereka dari tingkat kekayan terendah (20.7 yrs). Sebagai akibat,
prosentase remaja yang telah mulai mempunyai anak (15-19 tahun) secara relatif
rendah pada tingkat 8.5%. Tingkat kesuburan yang rendah paling tidak disebabkan
pada fakta bahwa 61% dari ibu yang saat ini telah menikah sedang menggunakan
suatu bentuk keluarga berencana (57.4% menggunakan metode modern) pada saat
koleksi data24 dengan kebutuhan yang tak terpenuhi terhadap keluarga berencana
hanya sebesar 9.1% diantara ibu yang saat ini telah menikah.
Dapat disimpulkan bahwa meskipun terbatasnya informasi yang tersedia, terdapat
cukup banyak kurang gizi masa kehamilan yang kemungkinan cenderung
berkontribusi terhadap bobot kelahiran rendah yang relatif tingkat tinggi demikian
juga untuk stunting. Sementara kelihatan bahwa kaum ibu mendapatkan rawat
kesehatan yang wajar selama masa kehamilan dan kelahiran jika diukur dalam istilah
penempatan waktu kunjungan pertama, frekwensi kunjungan dan kelahiran oleh
petugas terampil, intervensi berorientasi nutrisi/gizi dapat diperbaiki. Kunjungan lebih
awal dalam trimester pertama lebih menjadi pilihan, demikian pula tes darah lebih dan
tes urine dilakukan untuk identifikasi faktor risiko seperti anemia dan infeksi urine.
Juga terlalu sedikit kaum ibu mengkonsumsi jumlah tablet zat folat yang disyaratkan
dalam kehamilan untuk melindungi terhadap anemia.
23
24
Riskesdas 2007
DHS 2007
15
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Pemberian makanan pada Ibu dan Anak usia dini dan Anak muda di
Indonesia
Praktik pemberian makanan anak usia dini dan anak muda di Indonesia adalah jauh
dari kecukupan. Menurut DHS 2007, hanya 32.4% anak usia kurang dari enam bulan
diberi asi eksklusif. Hal ini merpakan net pengurangan dari tingkat 40% di tahun 2002
dan tentunya disebabkan oleh peningkatan tajam dari praktik pemberian makanan
dengan botol dari 17% sampai 28% dantara anak dibawah usia enam bulan selama
periode yang sama. Data Susenas menunjukkan kecenderungan yang sama mengenai
praktik pemberian asi. Dalam propinsi yang keadaannya paling buruk (misalnya,
Kepulauan Riau, Jakarta dan Bali) pemberian asi eksklusif bermanfaat kepada kurang
dari 15% anak. Oleh karena susu ibu adalah sumber optimal nutrisi untuk anak, hal ini
meletakkan anak kepada posisi sangat tidak beruntung secara nutrisi dan untuk
pencegahan penyakit. Sebagai tambahan adalah fakta bahwa hanya 43.9% anak mulai
makan asi dalam satu jam setelah kelahiran dan 64.6% menerima makanan pre-lakteal.
Anak muda di Indonesia juga menerima makanan pelengkap terlalu dini: pada usia 45 bulan lebih dari separoh (52.9%) menerima makanan bentuk padat atau semi padat,
dan dibawah dua bulan, 33.4% menerima formula untuk anak. Pemberian makanan
pelengkap harus dimulai dari sekitar enam bulan dan anak harus menerima tiga atau
lebih kelompok makanan suatu jumlah minimum menurut kelompok usia selain asi.
Data DHS 2007 menunjukkan bahwa hanya 52.5% diberi makanan secara optimal
dengan cara ini.
Area utama kelemahan pada anak usia dini dan anak muda adalah frekwensi
pemberian makanan (hanya 67% menawarkan makanan pelengkap minimum per
kelompok usia per hari sebagai tambahan selain asi) tetapi hanya 75% mengkonsumsi
jumlah kelompok makanan yang cukup, misalnya, diet yang diversifikasi. 25 Praktik
pemberian makanan yang buruk: pemberian asi kurang cukup, penggunaan formula
anak secara berlebihan, pemberian makanan pelengkap secara dini dan kualitas buruk
dan frekwensi pemberian makanan pelengkap setelah enam bulan, tidak disangsikan
lagi adalah berkontribusi kepada wasting dan stunting. Praktik pemberian makanan
secara buruk juga berkontribusi terhadap kekurangan atau defisiensi mikronutrien.
Hanya 87.4% dan 69.7% dari anak usia 6-35 bulan dilaporkan menerima vitamin A
dan makanan kaya akan zat besi dalam 24 jam terakhir, menurut DHS (2007).
Sedikit data tersedia mengenai konsumsi makanan bagi ibu hamil kecuali data DHS
2007, yang melaporkan bahwa sekitar 75% kaum ibu dengan anak dibawah usia tiga
tahun telah menyantap daging atau ikan dalam 24 jam terakhir ini; konsumsi makanan
kaya zat besi adalah serupa.
Rekomendasi nasional untuk konsumsi karbohidrat dan protein, diterbitkan tahun
2004 untuk penduduk secara umum oleh National Workshop on Food and Nutrition
VIII (WKNPG), adalah untuk sebanyak 2,000 kilo-kalori per kapita per hari untuk
karbohidrat dan 52 gram per kapita per hari untuk protein. Pada tingkat nasional
1,735 kilokalori dari karbohidrat dan 55.5 gram protein dikonsumsi per hari
perkapita26. Hanya Jawa Timur yang memenuhi rekomendasi nasional untuk
konsumsi karbohidrat pada tingkat propinsi. Namun, semua kecuali enam propinsi
25
26
DHS 2007 Table 14.5, page 176
Riskesdas 2007
16
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
memenuhi atau melebihi persyaratan nasional untuk protein, yang menunjukkan,
secara umum, suatu lingkungan makanan yang aman untuk kaum ibu dan anak.
Konsumsi buah-buahan dan sayuran dianggap tidak mencukupi untuk penduduk
secara umum. Riskesdas telah temukan 93.6% penduduk tidak konsumsi buahbuahan dan sayuran yang ‘mencukupi’, misalnya, mereka mengkonsumsikan kurang
dari lima porsi sehari. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi buah-buahan dan
sayuran tentu dibawah 400 g per hari yang direkomendasikan oleh WHO27 untuk
pencegahan penyakit kronis yang terkait diet atau kebiasaan yang dimakan seperti
obesitas, diabetes, penyakit kardio-vaskular dan kanker.
Sebagai kesimpulan, praktik pemberian makanan untuk kaum ibu hamil dan anak usia
dini serta anak muda secara umum buruk, dengan pemberian asi eksklusif bertingkat
rendah dalam enam bulan pertama dan pemberian makanan pelengkap yang kurang
memadai diantara anak muda. Sementara konsumsi makanan dari penduduk secara
umum sangat cukup dari perspektif kuantitatif, tapi secara kualitatif buruk. Praktik
pemberian makanan yang buruk, termasuk jumlah makanan padat-nutrien diantara
kaum ibu dan anaknya berkontribsi terhadap konsumsi diet karena kekurangan
mikronutrien.
Gizi dan Program terkait Gizi di Indonesia
Gizi adalah komponen penting dari program pemerintah Pusat. Total anggaran untuk
gizi komunitas masyarakat adalah Rupiah 244 milyar (sekitar US$ 26 juta) dari
pemerintah Pusat dan tambahan Rp 148 milyar tersedia dari pendanaan khusus
termasuk pinjaman. 60% dari pendanaan ini dipertahankan di tingkat Pusat dan
sisanya disediakan bagi propinsi sebagai anggaran de-sentralisasi berdasarkan jumlah
penduduk dan prevalensi bobot kurang.28
Pada tingkat kabupaten, pendanaan untuk gizi datang dari pendanaan kabupaten
(APBD II), kantor kesehatan propinsi – dari anggaran propinsi (APBD II) dan
pendanaan peralihan dari tingkat pusat (APBN) – dan hibah khusus. Proposal
diajukan untuk kegiatan dimana pendanaan dibutuhkan tetapi process pembahasan
dari proposal tersebut sangat panjang dan berbelit dan kegiatan gizi dapat saja
dihilangkan dari perencanaan kabupaen karena keterbatasan anggaran atau apabila
perwakilan Kantor Kesehatan Kabupaten tidak dapat membenarkannya kepada
pembuat keputusan mengenai anggaran kabupaten – Bappeda, DPRD dan Kantor
Kesehatan Kabupaten. Suatu proses serupa juga terjadi pada tingkat propinsi.
Sejak desentralisasi diadopsi di tahun 1999, tanggungjawab untuk pemberian
pelayanan kesehatan umum telah berpindah pada tingkat kabupaten. Namun Standard
Pelayanan Umum (SPM) telah diterbitkan dibawah Peraturan Departemen Dalam
Negeri mengenai Panduan Teknis dalam Memformulasikan dan Menetapkan Standard
Pelayanan Minimum yang diperuntukkan Departemen Pemerintah. SPM memastikan
bahwa pemerintah daerah menyediakan pelayanan dasar dan memastikan konsistensi
antar kabupaten. Peraturan Menteri Dalam Negeri tahun 2008 mengenai Standard
Pelayanan Minimum Wajib mensyaratkan pelayanan dasar berikut ini dan
27
WHO, 2002. Diet, Nutrition and the prevention of chronic diseases. Report of a joint WHO/FAO
expert consultation. Geneva.
28
Pangaribuan R. 2010 Deskripsi Penyampaian Sistem Kesehatan dan Kebijakan Gizi, Program dan
Inisiatif dalam Persiapan Analisis Lanskap. Laporan disiapkan untuk UNICEF Jakarta
17
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
mensyaratkan pihak yang berwenang setempat untuk memantau apakah standard
tersebut dipenuhi.
 Cakupan ANC untuk ibu hamil (sedikitnya empat kunjungan), termasuk
suplemen zat besi dan asam folat: 95% pada tahun 2015
 Cakupan pelayanan kesehatan postpartum, termasuk suplemen vitamin A :
90% pada tahun 2015
 Imunisasi anak universal: 100% pada tahun 2010
 Cakupan pelayanan kesehatan anak usia dini, termasuk suplemen vitamin A :
sasaran 90% pada tahun 2010
 Cakupan pelayanan kesehatan anak, termasuk suplemen vitamin A dan untuk
pertumbuhan dan pemantauan perkembangan: sasaran 90% pada tahun 2010
 Cakupan pemberian makanan suplemen dari anak usia 6-24 bulan dari
keluarga miskin: 100% pada tahun 2010
 Cakupan perawatan anak yang gizi sangat buruk: 100% by 2010
Berdasarkan SPM diatas dan tradisi intervensi gizi di Indonesia, intervensi utama
yang dilaksanakan untuk menjawab kurang gizi tingkat tinggi adalah pemantauan
pertumbuhan berdasarkan komunitas (dibanding fasilitas) di pos kesehatan –
posyandu. Kebijakannya adalah bahwa semua anak balita harus secara teratur
ditimbang di posyandu, lebih baik sekali sebulan29, bahwa bobot gambarkan pada
“Kartu Menuju Sehat atau KMS” gambar pertumbuhan atau gambar di buku KIA
(kesehatan ibu dan anak) dan bahwa ibu dari anak yang menderita makin lemah harus
diberi nasihat. Sebagai tambahan, anak dari keluarga miskin diberikan makanan
suplemen di posyandu dalam bentuk makanan fortifikasi bagi usia 6-11 bulan dan
biskuit fortifikasi untuk yang berusia 12-23 bulan. Jika seorang anak belum
meningkat bobotnya dalam dua bulan berturut-turut atau telah jatuh dibawah – 3SD
(jatuh dibawah garis merah) anak tersebut harus dirujuk ke fasilitas kesehatan
setempat. Fasilitas kesehatan tersebut harus menyediakan pemeriksaan lebih lanjut,
termasuk kajian bobot-tinggi untuk memastikan kurang gizi buruk akut dan
pemeriksaan kesehatan. Berdasarkan kepada hasilnya, anak tersebut harus diberikan
perawatan : apakah dengan pemberian makanan suplemen atau pemberian makanan
terapi.
Namun dalam kenyataannya, di tahun 2007 hanya 45.4% anak balita ditimbang
sedikitnya 4 kali dalam enam bulan sebelumnya 30. Di beberapa propinsi seperti NTT
dan Yogyakarta prosentase lebih tinggi (misalnya, diatas 65%) tetapi di lainnya
seperti Sumatera Utara dan Jambi adalah 30% atau kurang. 25.5% anak balita tidak
ditimbang dalam enam bulan terakhir. Selanjutnya, telah diamati bahwa sedikit sekali
kaum ibu yang anaknya gagal dalam pertumbuhan menerima pemberian nasihat. Pada
tingkat terbaiknya, pendekatan pemantauan berdasarkan komunitas adalah lebih
menyembuhkan daripada pencegahan. Sebagaimana dipraktikkan di Indonesia, fokus
terbesar pada masalah menimbang dan tidak mengenai intervensi pencegahan dan
dukungan yang dimaksudkan untuk sebenarnya menjawab masalah kurang gizi.
29
According to the Nutrition Plan of Action at Central Level (Rencana aksi pembinaan gizi masyarakat,
2010-2014), 80% of all preschoolers are to be weighed at Posyandu.
30
Riskesdas 2007
18
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Suatu intervensi utama lainnya adalah suplemen vitamin A. Dibawah desentralisasi,
semua kabupaten diharapkan untuk mengadakan pasokan suplemen vitamin A yang
memadai untuk anak usia 6-59 bulan dan ibu post partum. Suplemen untuk anak
dimaksudkan untuk didistribusikan melalui posyandu di bulan Februari dan Agustus
dengan kegiatan mobilisasi dan sosialisasi yang diperlukan untuk dilaksanakan
sebelum distribusi untuk memberi semangat agar hadir pada hari distribusi. Anak
yang tidak hadir akan dilanjutkan kegiatannya ke rumahnya. Menurut DHS 2007
hanya 68.5% dilaporkan menerima kapsul vitamin A dalam enam bulan terakhir.
Riskesdas 2007 telah melaporkan angka yang serupa of 71.5%. Kaum ibu menerima
suplemen vitamin A setelah melahirkan selama kunjungan post partum atau ketika
mereka membawa anak baru lahir mereka untuk imunisasi. Namun, DHS 2007
temukan bahwa hanya 44.6% kaum ibu yang telah menerima suplemen.
Intervensi utama gizi masa kehamilan adalah suplemen zat besi dan asam folat untuk
ibu hamil. Namun sebagaimana dilaporkan diatas, hanya sekitar 30% kaum ibu
menerima 90+ tablet sebagaimana dimaksudkan; pemenuhan tidak direkam.
Beberapa intervensi lainnya yang terkait dengan kesehatan masa kehamilan dan
kesehatan anak memberi dampak terhadap status gizi, seperti juga, misalnya, akses ke
air dan sanitasi dan keamanan makanan. Indonesia juga mengoperasikan beberapa
program pengentasan kemiskinan utama yang dapat diharapkan untuk mempunyai
dampak yang signifikan terhadap kurang gizi anak dan masa kehamilan. Misalnya,
suatu program yang bernama RASKIN mendistribusikan beras subsidi kepada kaum
miskin dan suatu program transfer uang tunai bersyarat (PKH – Program Keluarga
Harapan) mempunyai sasaran untuk mengurangi mortalitas masa kehamilan dan anak
dengan menyediakan transfer uang tunai kepada keluarga dengan syarat mengakses
pelayanan seperti perawatan antenatal dan postnatal, suplemen zat besi kehamilan,
bantuan kelahiran, imunisasi anak, pemantauan pertumbuhan dan pemberian
suplemen vitamin A. PKH juga bekerjasama dengan program lain Generasi PNPM
yang menyediakan hibah block kepada orang pedesaan untuk membantu mereka
meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan. Suatu deskripsi
lebih lengkap mengenai program pengentasan kemiskinan yang berorientasi kepada
gizi terdapat dalam Lampiran 2.
Di tahun 2008 suatu analisis utama oleh Lancet31 telah identifikasi 14 intervensi layak
dan efektif dimana terdapat cukup bukti dalam pelaksanaan di semua 36 negara
dengan 90% anak penderita stunting, termasuk Indonesia. Lancet juga telah
identifikasi 10 intervensi lanjut, dimana terdapat cukup bukti untuk pelaksanaan
dalam konteks spesifik dan situasional. Tabel 1 berikut ini meringkas cakupan di
Indonesia dari ‘intervensi gizi esensial’. Analisis lebih rinci yang menunjukkan
kebjakan dan legislasi kini untuk setiap intervensi tersebut, termasuk dalam Lampiran
3. Data menunjukkan bahwa terdapat beberapa promosi dan pemberian nasihat
mengenai pemberian asi dan pemberian makanan pelengkap, suplemen zat besi folat
bagi kaum ibu, perawatan penyakit cacingan pada ibu dan anak, suplemen protein dan
energi pada ibu hamil miskin, perawatan penyakit diare dengan zat seng, dan cakupan
yang lebih baik mengenai fortifikasi makanan dan program fortifikasi di rumah.
The Lancet Series on Maternal and Child Undernutrition 2008. Available at URL:
http://www.theLancet.com/series/maternal-and-child-undernutrition (Accessed 05/11/09)
31
19
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Lancet merekomendasikan suatu suplemen zat besi folat dan suplemen mikronutrien
ganda, tanpa menunjukkan yang mana untuk dipergunakan di dalam paket
intervensinya. Kebijakan nasional Indonesia adalah untuk menyediakan suplemen zat
besi folat kepada semua ibu hamil, tetapi mikronutrien ganda di program pilotkan
kepada dua propinsi. Percobaan dari mikronutrien ganda tersebut dibandingkan
dengan suplemen zat besi folat yang dijalankan di Indonesia telah menunjukkan
seefektif sebagaimana zat besi folat tersebut dalam memperbaiki status anemia 32 dan
untuk mengurangi mortalitas anak usia dini 90-hari hampir sebesar 20%
dibandingkan suplemen zat besi folat 33.
Tabel 1: Cakupan Intervensi Gizi Lancet di Indonesia
Intervensi dengan cukup bukti untuk pelaksanaan di semua 36 negara
Cakupan
Intervensi
terkini di
Acuan dan Catatan
Indonesia
Hasil masa kehamilan dan
kelahiran
DHS 2007- 90+ hari
Suplemen zat besi folat
29.2%
Suplemen mikronutrien masa
kehamilan
Yodium masa kehamilan melalui
garam beryodium
Intervensi untuk mengurangi
konsumsi tembakau dan polusi udara
dalam Gedung
Bayi baru lahir
Promosi pemberian asi (pemberian
nasihat untuk individual dan
kelompok)
Anak usia dini dan anak
Promosi pemberian asi (pemberian
nasihat untuk individual dan
kelompok)
Komunikasi perobahan perilaku untuk
pemberi makanan pelengkap yang
lebih baik
Zat Seng dalam pengelolaan diare
Suplementasi Vitamin A
Garam beryodium universal
0%
62.8%
97%
Kebijakan di Indonesia adalah
untuk memberikan zat besi folat
selam kehamilan. MNS sedang di
proyek pilotkan di dua propinsi
dengan dukungan UNICEF.
Riskesdas – jumlah rumahtangga
yang konsumsi garam beryodium
cukup (titrasi)
DHS - % kaum ibu yang tidak
gunakan tembakau. Namun 87.8%
pria gunakan tembakau. Data
mengenai polusi udara dalam
Gedung tidak tersedia (N/A)
N/A
N/A
N/A
N/A
68.5% - 71.5%.
62.8%
Hal ini adalah kebijakan namun
data tidak tersedia mengenai
cakupan.
DHS 2007 dan Riskesdas 2007
Riskesdas – jumlah rumah tangga
Sunawang, Utomo B, Hidayat A, Kusharisupeni, Subarkah. 2009. Preventing low birthweight through maternal
multiple micronutrient supplementation: a cluster-randomized, controlled trial in Indramayu, West Java. Food Nutr
Bull. 30 (4 Suppl):S488-95
33
Supplementation with Multiple Micronutrients Intervention Trial (SUMMIT) Study Group, Shankar AH, Jahari AB,
Sebayang SK, Aditiawarman, Apriatni M, Harefa B, Muadz H, Soesbandoro SD, Tjiong R, Fachry A, Shankar AV,
Atmarita, Prihatini S, Sofia G. 2008. Effect of maternal multiple micronutrient supplementation on fetal loss and
infant death in Indonesia: a double-blind cluster-randomised trial. Lancet. 371(9608):215-27.
32
20
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Cuci tangan atau intervensi hygiene
23.2% dan
71.1%
yang konsumsi cukup garam
beryodium (titrasi)
Riskesdas - % penduduk usia lebih
dari 10 tahun dengan perilaku yang
benar dalam mencuci tangan dan
buang air besar
Perawatan kurang gizi buruk akut
N/A
Intervensi dengan cukup bukti untuk pelaksanaan
dalam konteks spesifik dan situasional
Hasil masa kehamilan dan
kelahiran
Suplemen energi dan protein yang
Bukan kebijakan di Indonesia
0%
seimbang pada masa kehamilan**
Perawatan cacingan pada masa
kehamilan
0%
Suplemen calcium masa kehamilan
N/A
Intermittent preventative treatment of
malaria*
N/A
Kelambu yang diberi insektisida*
2.3%
Kebijakan Indonesia tidak
memperkenankan perawatan
cacingan secara massal dalam masa
kehamilan.
Tidak ada kebijakan meski terdapat
adanya beberapa pelaksanaan
Planned in the new Mid-Term
Development Plan but not yet
implemented
DHS - % ibu hamil yang tidur
dibawah kelambu yang diberi
insektisida tidur semalam sebelum
survai
Bayi baru lahir
Suplemen vitamin A neonatal
Penjepitan usus ari-ari (korda
umbilicus)
Anak usia dini dan anak
Program transfer tunai bersyarat
(dengan pendidikan nutrisi)**
0%
Belum menjadi rekomendasi WHO
dan tidak ada kebijakan di
Indonesia
0%
Tidak ada kebijakan di Indonesia
0.1%
Perawatan Cacingan***
0%
Program fortifikasi dan
suplementasi***
100%
Kelambu yang diberi insektisida*
3.3%
Di tahun 2009 program transfer
tunai bersyarat mencakup 72,000
rumah tangga.
Kebijakan nasional
merekomendasikan perawatan
cacingan untuk anak usia dua
sampai lima tahun dan anak usia
sekolah tergantung dari
prevalensinya::
>50% -- perawatan cacingan massal
2x/tahun
20 – 50% -- perawatan cacingan
massal 1x/tahun
<20% -- perawatan cacingan
tersasar
Namun, data cakupan, jarang ada.
Fortifikasi tepung terigu dengan zat
besi adalah wajib di Indonesia dan
mendekati 100% dari semua
tepung terigu difortifikasi meskipun
tidak diketahui berapa banyak
tepung terigu yang dikonsumsikan
anak.
DHS - % anak balita yang tidur
dibawah kelambu yang diberi
insektisida semalaman sebelum
survai.
*Di area dengan keberadaan malaria
** Untuk kaum ibu dan anak dari keluarga miskin
21
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
*** Di area dengan keberadaan infestasi cacing tinggi dan/atau anemia
Sebagai kesimpulan meskipun prevalensi anak berbobot kurang telah dikurangi di
Indonesia dan Pembangunan Jamgka Menengah dan Tujuan Pembangunan Milenium
telah tercapai, Indonesia tetap mempunyai permasalahan yang serius dengan stunting
dan wasting pada anak muda. Terdapat banyak kurang gizi pada masa kehamilan yang
cenderung berkontribusi terhadap bobot kurang pada kelahiran yang relatif cukup
tinggi demikian juga untuk stunting. Cakupan program menunjukkan bahwa cakupan
lebih tinggi perlu dicapai mengenai intervensi gizi esensial yang dapat membantu
mempercepat pengurangan kurang gizi masa kehamilan dan anak, termasuk promosi
dan pemberian nasihat mengenai pemberian asi dan pemberian makanan pelengkap,
suplementasi zat besi folat bagi kaum ibu, perawatan cacingan kaum ibu dan anak,
suplementasi protein dan energi bagi ibu hamil yang miskin, perawatan diare dengan
zat seng, dan cakupan yang lebih baik mengenai fortifikasi makanan dan program
fortifikasi di rumah.
4. Temuan dari Analisis Lanskap Kajian Negara dan analisis
34
Persepsi permasalahan
Persepsi umum di propinsi dan kabupaten adalah bahwa masalah gizi berupa penyakit
wasting yang buruk. Sedikit sekali pengakuan mengenai stunting atau kurang gizi
masa kehamilan sebagai permasalahan. Pada tingkat nasional terdapat lebih besar
serta meluasnya tumbuhnya pengertian mengenai permasalahan stunting. Pada tingkat
sub-nasional, stunting yang mempunyai status kecil umumnya disebabkan karena
masalah genetika karena mempengaruhi sebagian besar penduduk.
Persepsi in dapat dimengerti: selama dua dekade terakhir, kesadaran dan advokasi
mengenai gizi terutama telah terfokus kepada penyakit wasting buruk. Advokasi
secara nasional di tahun 1998 selama krisis ekonomi Asia telah berdampak terhadap
program lanjutan mengenai pengelolaan kurang gizi akut pada semua tingkat. Konsep
ini telah dimajukan selama bertahun-tahun sebagaimana tercermin dalam kebijakan
dan strategi gizi yang ada sekarang: Keputusan Presiden No. 741 yang terbit tahun
2008, yang memberikan panduan mengenai standard pelayanan kesehatan minimum 35
(SPM) untuk dicapai di tahun 2015, yang memberikan rehabilitasi 100% anak yang
menderita bobot kurang yang serius sebagai salah satu sasaran gizi utama bagi
kabupaten. Panduan ini tercermin dalam tujuan dari program kesehatan dan gizi
sekarang ini dari beberapa propinsi (RPJMD 2009-2013) demikian sehingg NTT yang
terdapat tujuan mengenai eliminasi kelaparan serius. Dalam kaitan terhadap gizi masa
kehamilan, Keputusan No. 741 merekomendasikan bahwa 95% dari ibu hamil untuk
dicakup dengan 4 kali kunjungan perawatan antenatal, termasuk 90+ tablet zat besi
folat. SPM tidak termasuk persyaratan untuk pencegahan kurang gizi anak dan masa
34
Temuan terkait terutama pada tiga propinsi yang dikunjungi yang meskipun memberikan bahasan
representative dari tiga lingkungan dan situasi berbeda, tidak dapat dipandang sebagai mewakili
diversitas sepenuhnya dari Indonesia.
35
SPM adalah acuan yang digunakan untuk definisikan sasaran perencanaan program pada tingkat
kabupaten dan kota.
22
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
kehamilan secara umum seperti pemberian nasihat mengenai pemberian makanan
anak usia dini atau gizi selama masa kehamilan.
Terdapat suatu perjanjian pada tingkat nasional bahwa ketersediaan makanan
bukanlah suatu penyebab utama dari kurang gizi, meskipun banyak orang berpikir
bahwa kemiskinan menghambat akses terhadap makanan cukup, berkualitas di
beberapa komunitas masyarakat. Atlas Keamanan Makanan dan Kerawanan Indonesia
menunjukkan bahwa ketersediaan makanan36 adalah sebenarnya hanya suatu defisit di
Papua, Maluku, Riau, Jambi, Bangka Belitung, West Sumatera dan Kalimantan
Tengah. Sebaliknya ketika akses diperhitungkan, disebabkan kemiskinan atau kurang
infrastruktur misalnya, kerawanan terhadap keamanan pangan meningkat secara
signifikan. Secara keseluruhan, dengan mengambil ketersediaan makanan, akses dan
pemanfaatan diperhitungkan, analisis tersebut telah identifikasi 100 kabupaten, dari
346 dimana terdapat data, sebagaimana menjadi prioritas tinggi (prioritas 1, 2 dan 3).
100 kabupaten ini adalah rumah bagi sejumlah 25 juta penduduk. 20 kabupaten
prioritas 1 terkonsentrasi di Papua, NTT dan Papua Barat. Sehingga, sementara orang
sering menyatakan penyebab kurang gizi karena keamanan pangan, terutama pada
tingkat kabupaten, dalam kenyataan, akses pangan disebabkan kemiskinan adalah
lebih sering kali menjadi penyebabnya, daripada defisit sebenarnya pada ketersediaan
pangan. Suatu diskusi lebih rinci mengenai Keamanan Pangan dan pengawasannya
dijelaskan dalam Lampiran 4.
Defisiensi mikronutrien tidak begitu dikenal baik oleh responden diluar tingkat
nasional. Hal ini memberi dampak, misalnya, terhadap alokasi anggaran kabupaten
untuk membeli kapsul vitamin A untuk anak muda. Namun, meskipun hal ini tidak
disebutkan secara khusus sebagai permasalahan gizi utama oleh yang diwawancarai,
defisiensi zat besi diakui sebagai kepentingan umum oleh beberapa pemangku
kepentingan pada tingkat sub nasional/propinsi. Selama Kajian Negara (CA), tablet
zat besi/asam folat ditemukan di sebagian besar puskesmas yang dikunjungi.
Misalnya, di propinsi Aceh, semua puskesmas dan posyandu yang dikunjungi selama
LA sudah mempunyai stok tablet zat besi folat. Di tingkat puskesmas, makanan
suplemen mikronutrien fortifikasi juga ditemukan. Defisiensi yodium telah diberikan
sedikit perhatian selama beberapa tahun terakhir diluar tingkat nasional yang
kemungkinan besar masyarakat menganggap bahwa Indonesia telah mencapai tingkat
garam beryodium universal. Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa suatu estimasi
sebesar 92% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium. Namun, hanya 63%
mengkonsumsi garam beryodium yang cukup (>15ppm yodium).
Obesitas tidak dipandang sebagai suatu permasalahan pada tingkat manapun yang
mencerminkan fakta bahwa bobot lebih dan obesitas hanya muncul baru-baru ini di
Indonesia. Sementara, dalam Rencana Nasional mengenai Pangan dan Gizi (20062010), terdapat pilar mengenai perbaikan berkehidupan sehat yang termasuk kegiatan
untuk membahas bobot lebih dan obesitas. Pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan
komponen tersebut terbatas.
36
As measured by ratio of per capita normative consumption to net cereal production. Map 2.1. Page
35. GOI and WFP. A Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia, 2009
23
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Kebijakan gizi dan kegiatan yang kini dipraktikkan
Kegiatan gizi difokuskan kepada pemantauan pertumbuhan (untuk identifikasi gagal
tumbuh), perawatan kurang gizi atau Gizi Buruk, dan, terhadap yang kurang dari itu,
yaitu mengenai pemberian makanan suplemen. Temuan ini diharapkan untuk
memberi panduan yang disediakan oleh Keputusan Presiden No 741 yang disebutkan
diatas mengenai standard minimal untuk pelayanan kesehatan (SPM); hanya terdapat
daftar suplemen mikronutrien, pemantauan pertumbuhan, pemberian makanan
suplemen dan perawatan anak berkesehatan sangat buruk sebagai pelayanan dasar
bagi gizi.
Salah satu pelayanan dasar yang disyaratkan adalah cakupan pelayanan kesehatan,
termasuk suplementasi vitamin A dan pemantauan pertumbuhan dan pengembangan.
Data yang digunakan untuk melaporkan indicator ini (misalnya, proporsi anak yang
menerima pelayanan kesehatan) tidak perlu untuk mencerminkan pelaksanaan semua
komponen. Agar dapat menghitung cakupan pelayanan kesehatan anak balita (anak
usia 12-59 bulan), seorang hanya perlu mengukur jumlah total anak yang telah
menghadiri pemantauan pertumbuhan paling tidak delapan kali selama suatu waktu
tertentu di satu area dan membagi angka tersebut oleh total jumlah bayi yang lahir
selama periode yang sama. Dengan demikian, pelaksanaan terbatas (atau tidak sama
sekali) dari beberapa intervensi gizi seperti pendidikan gizi atau pemberian nasihat
dapat disebabkan kepada kenyataan bahwa tidak perlu secara khusus melaporkannya.
Jika tidak diukur ataupun dilaporkan, bisa dianggap sebagai tidak esensial atau perlu
untuk dilaksanakan.
Departemen Kesehatan (DepKes)) adalah penanggungjawab tunggal bagi
suplementasi mikronutrien (misalnya, zat besi folat untuk ibu hamil dan suplementasi
vitamin A untuk anak usia 6-59 bulan dan ibu post-partum) dan pemberian makanan
pelengkap. Namun DepKes membagi tanggung jawab untuk intervensi gizi lainnya
yang terkait bersama kementerian lainnya sebagai berikut: fortifikasi makanan –
Departemen Dalam Negeri/DepDagri, BPOM, MoI); pendidikan gizi -MoE, MONE,
MWE dan lainnya; promosi asi eksklusif – Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak serta Program Pangan - DepDagri dan Departemen Sosial.
Posyandu itu sendiri dibawah Departemen Dalam Negeri. Dengan demikian, banyak
“kegiatan gizi” dilaksanakan atau dikendalikan diluar sektor kesehatan dan aspek
penentuan sasaran, pelaksanaan dan koordinasi mungkin tidak terjadi secara optimal
agar mencapai hasil gizi yang terbaik.
Konsep “paket intervensi” dan suatu “kelanjutan perawatan” dari konsepsi sampai
usia dua tahun tidak begitu dimengerti dengan baik meski fakta bahwa standard
minimum dan panduan teknis merupakan upaya yang berharga untuk menyediakan
panduan dan pengetahuan demikian di arah itu. Panduan tersebut memberikan
indikasi pelayanan kesehatan untuk diberikan selam masa kehamilan, periode
neonatal, tahun pertama kehidupan dan periode dari 12-59 bulan. Ha ini mempunyai
kecenderungan bahwa rasio untuk standard minimum dan panduan teknis tidak
dimengerti secara penuh oleh pengguna potensial. Hal ini dapat menjelaskan mengapa
tidak dilaksanakan sepenuhnya, meskipun kebijakan, protokol, buku petunjuk dan
panduan untuk pelaksanaan intervensi gizi sudah tersedia di struktur kesehatan seperti
puskesmas, Terdapat upaya baru untuk memasukkan kelanjutan perawatan untuk ibu
dan anak kedalam ‘Buku KIA’, yang digunakan di posyandu dan puskesmas, tetapi
kelihatannya penggunaan buku tersebut tidak optimal.
24
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Suatu hambatan lainnya terhadap pelaksanaan paket intervensi gizi efektif melalui
konsep lanjutan perawatan kelihatannya adalah kurangnya kesadaran dari penyedia
kesehatan mengenai pentingnya dan keefektifannya. (Sumber daya manusia akan
didiskusikan di seksi lain)
Anak yang menderita penyakit wasting sangat buruk atau bahkan anak yang sangat
berbobot kurang. Sebagai contoh, pemberian makanan suplemen diberikan untuk
suatu periode waktu tertentu, biasanya 90 hari, tanpa memperhatikan apakah status
gizi anak sudah cukup meningkat atau tidak. Kelihatan juga sedikit sekali pengertian
mengenai perbedaan dalam pentingnya, penyebabnya serta perawatan dari bobot
kurang dan penyakit wasting yang buruk.
Rencana Nasional untuk Pembangunan 2010-2014 (RPJMN) terfokus kepada stunting
dan paket Intervensi Gizi Esensial dari Lancet Nutrition Series. Meskipun rencana
propinsi dan kabupaten seharusnya mengacu pada RPJMN ketika mendefinisikan
rencana mereka sendiri, terdapat putus hubungan antara proses perencanaan pada
tingkat pusat dan tingkat sub-nasional. Sebagai kelanjutannya, meskipun beberapa
sasaran didefinisikan di dalam RPJMN yang baru atau bahkan di dalam Keputusan
Menteri baru ini No. 741 mengenai SPM dan Keputusan Menteri No. 838 di dalam
panduan teknis, dengan dinyatakannya periode perencanaan yang berbeda antara
pusat (2010-2014) dan tingkat sub-nasional (2009-2013 untuk NTT; 2007-2012 untuk
Aceh; 2008-2013 untuk Jawa Tengah), sasaran dan indicator yang terpasang pada
tingkat pusat, propinsi atau kabupaten mungkin berbeda. Misalnya, dalam RPJMN
yang kini, satu tujuannya adalah mengurangi bobot kurang dari 18% sampai kurang
dari 15% di tahun 2015. Di dalam RPJMD NTT, sasarannya adalah untuk mencapai
13% di tahun 2013, sementara kurang dari 15% di tahun 2012 di RPJMD Aceh.
Selanjutnya, RPJMD Jawa Tengah tidak termasuk sasaran untuk bobot kurang dan
memfokus hanya kepada pengurangan penyakit wasting buruk sampai kurang dari
0.82% . Contoh lainnya terkait dengan panduan teknis mengenai pelaksanaan
standard pelayanan kesehatan minimum. Dalam dokumen tersebut, dinyatakan bahwa
95% ibu hamil akan menerima empat kali kunjungan antenatal sampai pada tahun
2015. Oleh karena hal ini termasuk suplementasi zat besi folat, seorang dapat
menganggap bahwa cakupan suplemen juga akan diatur pada 95%. Sementara,
sasaran NTT untuk cakupan zat besi folat adalah 90% pada tahun 2013 37 dimana
sasarannya diatur pada 85%38 di Aceh dan 80% di Jawa Tengah39.
Rencana Aksi Nasional untuk Pangan dan Gizi (RANPG) selama periode lima tahun
2011-2015 kini dalam pengembangan. Hal ini akan didasarkan pada RPJMN Nasional
yang sebenarnya pada tingkat national maupun propinsi. Tujuan utamanya adalah
untuk mengurangi stunting sebesar lima persen dalam lima tahun yang berikutnya
(dari 37% sampai 32%).
Dengan jelas, telah ada banyak komitmen politis mengenai gizi pada tingkat nasional
di Indonesia selama beberapa dekade yang lalu, sebagaimana terbukti dalam dokumen
kebijakan seperti RPJMN yang kini berlaku. Rencana program gizi dan terkait gizi
pada tingkat kabupaten juga ditemukan sebagai bagian dari Rencana Propinsi Jangka
Menengah Daerah (RPJMD 2009-2013 dari propinsi NTT, RPJMD 2007-2012 dari
37
RPJMD NTT 2009-2013
RPJMD Aceh 2008-2012, Bab II
39
Rencana Strategi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah 2008-2013
38
25
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
propinsi Aceh, RPJMD 2008-2013 Jawa Tengah)termasuk kesehatan, pendidikan dan
pertanian. Namun, meski adanya rencana nasional dan propinsi, program gizi skala
besar pada tingkat propinsi dan kabupaten pada Rencana Strategi Kesehatan (Renstra)
tidak dibiayai dengan cukup.Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kurangnya
pengetahuan mengenai perencana sektor mengenai penyebab dan implikasi dari
kurang gizi dan pentingnya sebagai penentu tentu dapat menjadi hambatan.
Pemeriksaan semua program yang terkait gizi di-negara sendiri juga menunjukkan
bahwa banyak kegiatan terkait gizi yang dijalankan oleh sektor non-kesehatan.
Misalnya, sector pendidikan mendistribusikan pangan kepada anak pra-sekolah
sebagai bagian dari program pengembangan perawatan anak usia dini (PAUD). Badan
Keamanan Pangan mempunyai program pemberian pangan pelengkap di beberapa
tapak proyeknya di NTT. Makanan kecil di sekolah (PMT-AS) disediakan untuk
meningkatkan pendaftaran dan mencegah putus sekolah dari perempuan khususnya,
dan meningkatkan proses pembelajaran. Terdapat komitmen kuat dari pemerintah
nasional untuk meningkatkan cakupan dan dampak dari program ini.
Program seperti program transfer tunai tak bersyarat (PKH) dan program pro-miskin
lainnya mempunyai potensial untuk memperbaiki gizi secara signifikan. Program ini
dapat menjadi sangat synergik dengan intervensi gizi langsung, apabila dilaksanakan
dalam cara terkoordinasi, dengan tujuan dan indikator yang umum. Namun, apabila
terjadi pemutusan hubungan dapat terjadi risiko menghamburkan sumber daya
keuangan yang dapat digunakan lebih efektif jika sasaran diarahkan kepada akar
penyebab permasalahan gizi di negaranya. Misalnya, jika program RASKIN bisa
lebih diarahkan kesasaran kepada mereka dengan ketersediaan pangan nyata dan
permasalahan akses , beberapa kurang gizi yang disebabkan oleh kerawanan pangan,
dapat dibahas. Dengan cara serupa, jika program transfer tunai bersyarat mewajibkan
keluarga untuk mengakses pelayanan dan mempraktikkan perilaku yang telah
diidentifikasikan sebagai intervensi esensial oleh RANPG, dan bila sistem telah
terpasang untuk menjamin kondisi yang perlu terpenuhi sebelum transfer tunai
dilakukan, cakupan intervensi esensial tentu akan meningkat secara signifikan. Pada
saat yang sama, DepKes harus berkolaborasi dengan program PKH untuk menjamin
bahwa pelayanan yang disyaratkan dalam PKH tersedia dengan kualitas yang tinggi di
area program.
Koordinasi Gizi
Terdapat perasaan kuat dan meluas bahwa koordinasi mempunyai kekurangan dalam
memperbaiki gizi lintas sektor, didalam sektor, di semua tingkat pemerintahan, dan di
PBB. Pada tingkat pemerintah, mungkin hal ini disebabkan kenyataan bahwa gizi
dibawah urusan kesehatan dan telah diberikan prioritas lebih rendah dalam istilah
koordinasi. Pada tingkat nasional koordinasi dibutuhkan untuk pengembangan strategi
dan kebijakan, sementara pada tingkat sub-nasional (kabupaten dan sub-kabupaten)
koordinasi dibutuhkan untuk pelaksanaan.
Pada tingkat pusat, BAPPENAS memberikan banyak upaya untuk menjamin
koordinasi program kesehatan dan gizi melalui pendirian Direktorat Kesehatan dan
Gizi yang mengawasi kegiatan dibawah kerjasama UNICEF-RI.Terdapat juga suatu
Dewan Keamanan Pangan yang diketuai oleh Presiden Republic Indonesia (RI)
dengan menteri dari kementerian terkait sebagai anggota. Suatu Badan serupa terdapat
pada tingkat sub-nasional yang diketuai oleh Gubernur dan Bupati. Selanjutnya,
26
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
beberapa Task Force/Komite telah diciptakan untuk maksud memperbaiki koordinasi.
Demikian juga, terdapat task force gizi dibawah Dewan Keamanan Pangan pada
tingkat pusat, propinsi dan kabupaten. Namun, kelihatannya bahwa tidak terdapat
suatu definisi yang jelas mengenai peranan dan tanggungjawab diantara berbagai
badan ini. Ketidak adanya suatu rencana kerja menciptakan suatu tantangan yang
membatasi efisiensinya. Hal ini berkontras terhadap kolaborasi baik antara pemerintah
local dan LSM/LSMI yang bekerja dalam kegiatan nutrisi pada semua tingkat.
Pada tingkat kabupaten, dirasakan adanya vakum dalam kepemimpinan gizi lokal dan
pemerintahan. Meskipun upaya yang berbeda telah dibuat, kelihatannya terdapat
mekanisme koordinasi yang tidak kuat untuk meningkatkan koordinasi kegiatan dari
sektor dan mitra yang menuju kepada fragmentasi kegiatan dan akibat. Misalnya,
meskipun 79.4% kelahiran dibantu oleh petugas kelahiran yang terampil, inisiasi dini
pemberian asi eksklusif dipraktikkan oleh kaum ibu dalam 44% kasus. Selanjutnya,
hanya 45% dari ibu post-partum yang menerima kapsul vitamin A selama 42 hari
pertama setelah melahirkan.
Meskipun DepKes dilihat mempunyai peranan utama dalam gizi, pertanyaan telah
dikemukakan apakah harus atau tidak menjadi koordinatornya. Hal ini mungkin
karena kenyataan bahwa masalah gizi masih dipandang oleh banyak orang sebagai hal
yang terkait dengan kekurangan pangan. Dari perspektif ini, kementerian lainnya
(misalnya Kementerian Pertanian berwenang terhadap keamanan pangan) dilihat
sebagai yang mempunyai peran lebih besar untuk dimainkan dengan demikian
menghilangkan wewenang relative dari Departemen Kesehatan sebagai koordinator.
Hal ini juga sering sulit untuk satu sector untuk ‘mengkordinasikan’ yang lain; peran
ini mungkin perlu diambil oleh seseorang ‘diatas’ sektor secara individual.
Rencana Aksi Pangan daGizi propinsi atau kabupaten tidak terdapat disetiap propinsi
dan kabupaten; demikian pula tidak adanya sasaran gizi yang konsisten dalam
Rencana yang ada. Terdapat pengecualian: di propinsi NTT demikian juga di
Kabupaten Belu, kegiatan gizi dan sasaran terdapat rencana strategis kesehatan yang
mencakup periode 2009-2013; Program propinsi Aceh mengenai gizi mempunyai
sasaran gizi seperti dapat disebutkan yaitu pengurangan prevalensi bobot kurang dan
perbaikan pemberian asi eksklusif. Rencana strategis propinsi Jawa Tengah
mempunyai sasaran untuk pengurangan IDD, anemia diantara ibu hamil dan
postpartum, wasting sangat buruk, dan kurang gizi energi diantara ibu hamil. Terdapat
kecenderungan bahwa upaya untuk memperbaiki gizi melalui kemitraan yang sedang
berlangsung antara UNICEF, badan lainnya dan LSM dengan Pemerintah dalam
propinsi ini (dan di beberapa kabupaten) telah terjadi dampak terhadap perencanaan
dan anggaran untuk gizi.
Sumber Daya Manusia untuk Gizi
Meski data menyarankan bahwa sejumlah ahli gizi yang cukup dilatih di Indonesia,
mereka tidak dipekerjakan ataupun di tugaskan secara efektif, terutama ‘di lapangan’ :
dengan demikian hanya 30% puskesmas atau pusat kesehatan mempunyai ahli gizi
Diploma 3-tahun (D3). Sebagian besar ahli gizi dilatih oleh salah satu dari 33
Akademi Gizi yang terakreditasi yang tersebar diseluruh negeri dan diawasi oleh
Pemerintah. Berdasarkan tahunan, lebih dari seribu ahli gizi lulus dari akademi ini.
Sebagai tambahan terhadap lulusan Akademi, dokter dapat juga menjalankan
pelatihan Gizi (2-4 tahun tambahan terhadap kurikulumnya) untuk menjadi ahli gizi
klinik atau ahli diet komunitas. Setelah pelatihan pra-layanan, ahli gizi dan ahli diet
27
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
melamar pekerjaan kemana saja yang diinginkan. Seperti di Negara lain, sebagian
besar memilih bekerja di daerah perkotaan karena kondisi kehidupan yang lebih baik
di daerah itu. Sebagai konsekwensinya, distribusi ahli gizi tidak merata di Indonesia.
Di tahun 2007, terdapat 1.7 ahli gizi per puskesmas di Yogyakarta sementara di Papua
dan NTT, rasio adalah masing 0.2 dan 0.5 berturutan per puskesmas. Selanjutnya,
sebagaimana ditunjukkan oleh Bank Dunia 40, pendekatan sebenarnya untuk alokasi
staf pada tingkat kabupaten berdasarkan standard nasional untuk menentukan anggota
staf yang tidak harus cocok dengan kebutuhan yang ketat.
Ahli gizi sering kali bertanggungjawab atas program lain. Tentunya bahwa kurangnya
kejelasan deskripsi pekerjaannya (Deskripsi pekerjaan untuk ahli gizi di puskesmas
dikembangkan lebih dari satu dekade yang lalu) menuju kepada ahli gizi yang
mempunyai kesulitan dalam menterjemahkan pekerjaan mereka atau memprioritaskan
tanggungjawab mereka. Lebih lanjut, meskipun beberapa kegiatan gizi akan
dilaksanakan pada tingkat kabupaten sebagaimana ditunjukkan oleh SPM, patut
dicatat bahwa ahli gizi jarang disebut bertanggungjawab atas pelaksanaan intervensi
gizi, yang justeru sebaliknya yang terjadi pada bidan dan dokter. Bahkan, praktiknya
adalah untuk merujuk kepada ahli gizi hanya bila menghadapi masalah yang terkait
dengan rehabilitasi anak yang menderita kurang gizi buruk, untuk pemberian
makanan suplemen bagi anak dari keluarga miskin, dan pengelolaan pengadaan
pasokan gizi. Tidak disebutkan perlunya untuk merujuk kepada ahli gizi untuk
meminta nasihat mengenai pemberian asi dan pemberian makanan pelengkap atau
untuk suplemen mikronutrien bagi anak dan ibu.
Hal ini dapat menjelaskan mengapa professional kesehatan lainnya seperti bidan dan
perawat mempunyai lebih banyak tanggungjawab dalam istilah intervensi gizi
meskipun mereka mungkin kurang dalam pengetahuan dan keahlian teknis yang
relevan. Misalnya, kurikulum pelatihan pra-layanan untuk bidan di Aceh termasuk 12
jam yang didedikasikan pada “gizi anak yang seimbang” (usia pra dan sekolah).
Sebagai tambahan, enam jam dihabiskan pada perawatan post-partum, yang temasuk
pemberian asi eksklusif, gizi umum, suplementasi vitamin A, dan hygiene bayi. Hal
ini adalah pelatihan yang tidak memadai, meskipun menuju kepada pertanyaan
mengenai gunanya merekrut ahli gizi di lapangan atau menugaskan ahli gizi sama
bertanggungjawab terhadap program. Tentu juga menjelaskan mengapa Petugas Dinas
Kesehatan Kabupaten sering berjuang untuk meyakinkan Bupati untuk
mempekerjakan ahli gizi.
Dengan ditambahkannya kepada permasalahan dengan penugasan ahli gizi, adalah
tantangan bagi ahli gizi yang kurang cukup berkualifikasi meski diantara yang sudah
terlatih. Kualitas pelatihan gizi pra-layanan (D3) tidak konsisten di semua Akademi.
Terdapat beberapa yang masih menggunakan kurikulum 1997 yang menekankan teori
dibandingkan kurikulum 2003 yang mempunyai komponen lebih kuat pada praktik.
Di tahun 2009, kurikulum telah dimutakhirkan tetapi masih belum secara konsisten
digunakan untuk pelatihan pra-layanan. Berdasarkan pembahasan kurikulum Akademi
Gizi di Aceh, kelihatannya tidak terdapat komponen khusus mengenai praktik
pemberian makanan anak usia dini dan anak muda ataupun gizi masa kehamilan.
Sebenarnya, sekitar 70% isi dari kurikulum Akademi telah distandardisasi, yang
40
World Bank/GoI, 2009. Indonesia’s doctors, midwives and nurses: Current stock, increasing needs,
future challenges and options. January, World Bank, Jakarta, Indonesia.
28
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
menyisakan pengenalan topik baru seperti praktik pemberian makanan anak usia dini
dan anak muda kepada diskresi setiap institusi untuk memenuhi yang tinggal 30%.
Pusat pelatihan propinsi Aceh untuk pekerja kesehatan akan menjadi yang pertama
untuk menambahkan IYCF kedalam kurikulum gizi. Selain Akademi, terdapat
institusi swasta yang dapat melaksanakan kurikulum baru. Kualitas dari latihan pralayanan di dalam institusi ini bervariasi, meski belum pernah dilakukan pengkajian.
Selanjutnya, sebagai contoh mengenai kualitas pelatihan ahli gizi, meskipun
puskesmas mempunyai seorang ahli gizi, prevalensi kurang gizi mungkin masih
menjadi perhatian dan hal ini, meski kuantitasnya stafnya memadai. Misalnya, di kota
Semarang sebagian besar puskesmas (14/18) mempunyai seorang ahli gizi, tetapi
indikator gizi masih buruk, misalnya 38% menderita stunting.
Akhirnya, seperti dijelaskan diatas, faktor lain seperti pengetahuan terbatas mengenai
gizi diantara professional kesehatan lainnya dan distribusi ahli gizi secara geografis
tidak merata juga berkontribusi kepada kurangnya sumber daya manusia yang cukup
berkualifikasi dalam bidang gizi, khsusnya didaerah terpencil.
Selain kelemahan yang dijelaskan dalam pelatihan pra-layanan, Kajian Negara juga
temukan bahwa pelatihan dalam-layanan (in-service) mengenai gizi tidak mencukupi.
Sebagian besar staf yang diwawancarai selama CA mengakui bahwa mereka tidak
menerima pelatihan dalam-layanan selama dua tahun terakhir.
Terdapat semangat diantara pejabat kabupaten yang berwenang untuk lebih banyak
kelibatan relawan masyarakat. Lebih dari dua juta relawan atau “kader” yang
melayani 260.000 posyandu di 480 kabupaten. Kader adalah anggota organisasi PKK
(Pemberdayaan Keluarga untuk Kesejahteraan), yaitu organisasi perempuan yang
terkenal di Indonesia. Kemampuan dan kompetensi dari relawan ini bervariasi dan
tergantung terhadap perhatian dari pemerintah setempat untuk pelathan dan pelathan
kembali.
Kurangnya pemantauan dan pengawasan juga membahayakan motivasi sumber daya
manusia dan kualitas pelayanan. Akhirnya, mengenai professional kesehatan lainnya
seperti bidan dan perawat, proses akreditasi ahli gizi mungkin tidak seiring dengan
kemandirian standard internasional, kredibilitas dan keterbukaan terhadap publik,
yang juga berdampak terhadap kualitas anggota staf.
Perencanaan, Anggaran dan Pembiayaan
Seperti disorot dalam bagian sebelumnya mengenai gizi dan program/kegiatan terkait
gizi, terdapat sumber daya yang signifikan dialokasikan untuk gizi dan kegiatan
terkait gizi pada tingkat Pusat, termasuk pengentasan kemiskinan dan program
jaringan keselamatan. Namun, sebagian besar sumber daya ini bukan dibawah
wewenang Departemen Kesehatan.
Banyak sumber pembiayaan tersedia untuk kegiatan terkait pangan dan gizi pada
tingkat kabupaten tetapi rumit karena keterbatasan dan kendala waktu. Sebagai
tambahan, proses kompleks antara alokasi anggaran, persetujuan dan pelaksanaan
karena pembatasan birokrasi serta seleksi skala prioritas seringkali menghambat
pelaksanaan intervensi gizi.
Meski adanya potensial dalam ketersediaan dana, sangat sedikit pendanaan yang
kenyataanya menjadi termasuk dalam anggaran gizi pada tingkat sub-nasional dan apa
29
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
yang ada kemungkinan tidak memadai bagi sasaran gizi yang termasuk dalam rencana
kerja Propinsi dan Kabupaten. Misalnya, di kabpaten Belu di propinsi NTT, salah
satu tujuan rencana kerja adalah untuk mengurangi prevalensi kurang gizi dari 40% di
tahun 2008 sampai 20% di tahun 2012, namun hanya 18% dari anggaran kesehatan
kabupaten yang digunakan untuk kegiatan gizi. Selanjutnya, khususnya pada tingkat
lebih rendah, sebagian besar anggaran digunakan untuk administrasi (gaji) dan
infrastruktur, dengan dana sangat terbatas untuk kegiatan program: di NTT 70% dari
anggaran 2009 (APBD II)digunakan untuk gaji dan tunjangan—sisanya 30%
digunakan untuk semua sektor dengan 8% kepada kesehatan dan separohnya untuk
infrastruktur. Dalam anggaran salah satu kabupaten di propinsi Aceh, dari total Rp
53.120.000.000 yang digunakan untuk kesehatan, hanya 0.2% adalah untuk gizi.
Alokasi rendah untuk gizi jelas terhubung kepada persepsi bahwa gizi bukan menjadi
masalah utama. Selanjutnya, lebih dari 65% (dari 0.2% ini) dialokasikan untuk
pangan bagi Wanita hamil dan anak balita dan kepada rehabilitasi anak yang
kesehatannya sangat buruk. Suatu alokasi rendah untuk gizi juga telah diamati di Kota
Semarang di Jawa Tengah, dimana gizi hanya mencakup 2% dari total anggaran
kesehatan. Sebagian besar dana dibelanjakan pada pemberian makanan suplemen dan
perawatan penyakit wasting buruk. Di kabupaten Banyumas, anggaran kabupaten teah
menderita suatu pemotongan efektif sebesar 70% disebabkan oleh peningkatan
mendadak posisi gaji, karena anggota staf yang sebelumnya bersifat honorer,
kemudian diangkat menjadi pegawai tetap dengan gaji resmi. Hal ini hampir tidak
menyisakan anggaran untuk program kesehatan dan gizi. Putus hubungan tersebut
antara perencanaan dan persetujuan anggaran dan alokasi diamati pada semua tingkat.
Terdapat suatu budaya umum dengan perencanaan berdasar anggaran dari pada
perencanaan berdasar cakupan/hasil.
Ketersediaan pembiayaan tidak dialokasikan kepada intervensi yang paling efektif.
Perencanaan, anggaran dan pembiayaan program dan kegiatan gizi sejalan dengan
persepsi permasalahan gizi demikian juga dengan isi kebijakan, strategi dan panduan
yang ada untuk menjawab situasi dan proses perencanaan saat kini. Dengan
diberikannya pengertian yang makin tumbuh dan meluas mengenai gizi (termasuk
masalah stunting pada tingkat nasional) hal ini juga menjelaskan mengapa lebih
banyak sunber daya dialokasikan pada tingkat nasional daripada tingkat sub-nasional
mengenai gizi dan kegiatan terkait gizi, termasuk pengentasan kemiskinan yang
utama dan program jaringan keselamatan. Hal ini juga menyoroti putus hubungan
dengan kegiatan gizi pada tingkat Kabupaten. Program gizi seperti untuk vitamin A
dipandang menjadi tanggungjawab tingkat Pusat. Sebagai konsekwensinya, anggaran
untuk pengadaan kapsul vitamin A tidak selalu dimasukan dalam anggaran subnasional. Demikian juga dimana mitra pembangunan yang mendanai berbagai
program gizi, dana tidak selalu dibelanjakan pada intervensi yang paling efektif.
Sistem Informasi Gizi
Jumlah besar data tersedia, termasuk yang berasal dari laporan rutin dan survai
nasional. Namun, informasi mengenai indikator dasar tertentu tidak tersedia secara
teratur, demikian juga data tersedia tidak selalu lengkap dan akurat (misalnya, data
anemia ibu hamil tidak secara teratur dikumpulkan ataupun dilaporkan).
Data SKDN (S=anak balita yang ada di posyandu, K=bagi yang mempunyai kartu
pertumbuhan, D=bagi yang datang untuk ditimbang bulan sebelumnya, dan N=bagi
30
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
yang tumbuh) dikumpulkan secara rutin di tingkat posyandu dan dikirim keatas.
Meskipun jumlah banyak waktu staf yang kelihatannya dihabiskan untuk
mengumpulkan informasi ini dan melaporkannya ke atas, jarang sekali digunakan
untuk program peningkatan, menentukan sasaran, evaluasi, dsb. Satu alasan adalah
bahwa denominator seringkali tidak dilaporkan bersam numerator. Hal lain adalah
bahwa tidak terdapat pemicu untuk tindakan (misalnya, mengambil tindakan jika
prevalensi melebihi x%) dan hal ini tidak jelas tindakan apa harus diambil
berdasarkan data.
Data mengenai pemberian asi, konsumsi garam beryodium, suplementasi vitamin A
dan status gizi diantara “keluarga sadar gizi” dikumpulkan melalui Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi atau SKPG (Sistem pengawasan pangan dan gizi).
Data mengenai suplemen zat besi/folat pada ibu hamil juga dikumpulkan. Perangkat
data ini dikirimkan ke Puskesmas berdasarkan setiap bulan. Namun, hal ini tidak jelas
mengenai bagaimana semua data digunakan untuk pembuatan keputusan dan/atau
dalam pembahasan pengawasan.
Data survai digunakan secara cukup baik untk advokasi pada tingkat nasional dan
propinsi. Sebagai contoh, dengan diberikan prevalensi stunting tinggi seperti
ditunjukkan oleh Riskesdas 2007 dan dengan diberikannya dampak yang diakui
mengenai pemgembangan, pemerintah telah memutuskan untuk membahas masalah
ini selama lima tahun berikut ini. Sedemikian, pengurangan prevalensi stunting telah
menjadi sasaran penting dari RPJMN 2010-2015 dan tujuan utama dari Perencanaan
Nasional mengenai Pangan dan Gizi 2011-2015.
SPM dimaksudkan menuntun kabupaten mengenai intervensi dasar apa yang mereka
harus sediakan dan untuk memberikan sasaran yang harus mereka capai dan laporkan.
Untuk bagian besarnya, indikator SPM tidak dgunakan untk pemantauan. Namun ,
terdapat pengecualian. Di Jawa Tengah, SPM dipergunakan secara penuh. Hal ini
termasuk indikator mengenai (i) Kasus kurang gizi buruk yang akut yang dirawat, (ii)
cakupan distribusi dan penggunaan MP-ASI, (iii) cakupan vitamin A, dan (iv)
cakupan zat besi / folat. Namun, keterbatasan dalam pemantauan hanya empat
indikator ini adalah bahwa penekanan program nutrisi kabupaten adalah hanya
mengenai intervensi yang terkait.
Terdapat jumlah program evaluasi yang kurang memadai; terdapat data yang kurang
memadai untuk menunjukkan apakah upaya yang dilakukan mendapatkan dampak
yang diharapkan – misalnya suplemen zat besi folat yang sedang dikonsumsikan dan
bila demikian, apakah hal ini memperbaiki status zat besi pada ibu hamil atau apakah
fortifikasi tepung terigu mengkontribusikan terhadap peningkatan status mikronutrien.
Pembiayaan untuk pemantauan dan evaluasi adalah tugas dan tanggungjawab
pemerintah setempat yang berwenang terhadap anggaran. Kelihatannya prioritas
rendah diberikan terhadap pengawasan, pemantauan dan evaluasi program gizi.
Ringkasan Temuan
Komitmen untuk bertindak bagi gizi cukup kuat, tetapi salah arah dalam mencoba
untuk mengatasi masalah gizi akut dari pada meletakkan system dan intervensi untuk
mencegah anak dan kaum ibu terhadap penyakit kurang gizi. Komitmen untuk
mengatasi masalah stunting makin bertumbuh pada tingkat nasional, tetapi pada
tingkat propinsi dan kabupaten dimana semua tindakan diputuskan dan dilaksanakan,
31
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
permasalahan gizi dipersamakan dengan gizi buruk dan/atau terhadap kurang
makanan. Di beberapa kabupaten (misalnya, di Aceh dan Jawa Tengah) gizi tidak lagi
dipandang sebagai masalah yang berat. Banyak sumber daya kelihatannya dikeluarkan
terhadap distribusi pangan disebabkan kebingungan mengenai sejauh mana
ketersediaan pangan dan untuk menjawab kemiskinan. Dalam realitas distribusi
pangan mungkin merupakan intervensi yang biasa karena secara politis tidak popular,
daripada menjawab masalah aktual kemiskinan, ketersediaan pangan dan gizi.
Mekanisme untuk koordinasi kebijakan, identifikasi prioritas dan pengaturan tujuan
dan sasaran adalah lemah atau tidak ada samasekali pada tingkat nasional.
Kapasitas untuk bertindak bagi kebutuhan gizi perlu diperkuat. Penyediaan pelayanan
sebagian besar berkisar sekitar pemantauan pertumbuhan anak dan disalah arahkan
kepada anak balita daripada terfokus kepada anak usia dibawah dua tahun dimana
intervensi gizi dapat mempunyai efek lebih besar.Prioritas lebih rendah diberikan
pada kegiatan pencegahan yang terkait dengan pemberian nasihat pada kaum ibu
mengenai pemberian makanan pada anak daripada fungsi penyembuhan dalam
mendeteksi dan merawat penyakit wasting. Ketika pemberian nasihat (counseling),
hal ini dilakukan oleh kader posyandu berdasarkan komunitas terlatih minimal.
Perhatian terhadap gizi masa kehamilan terbatas pada distribusi tablet zat besi/folat
dengan sedikit prioritas atau promosi. Koordinasi antar sector mengenai pelaksanaan
perlu untuk diperkuat. Meskipun ahli gizi berjumlah cukup sedang dilatih,
kurikulumnya sudah kedaluarsa atau tidak lengkap. Mereka tidak cukup dipekerjakan
dalam system, dan khususnya dalam pelaksanaan pelayanan. Sedikit ataupun tidak
terjadinya pelatihan ditempat pelayanan dibidang gizi. Penggunaan data pemantauan
untuk membuat keputusan atau data evaluasi untuk belajar dari pengalaman program
adalah hal yang biasa.
5. Rekomendasi41
Tujuan Keseluruhan
Untuk mempercepat pengurangan kurang gizi masa kehamilan dan anak dan
berkontribusi terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 1, 4, 5,
dan 6.
Bagian pertama dbawah menyampaikan rekomendasi yang dapat diprioritaskan dalam
pelaksanaan selama beberapa tahun berikutnya. Rekomendasi lainnya yang dapat juga
dilaksanakan tetapi tidak dianggap sebagai prioritas juga disarankan dalam bagian
kedua. Rekomendasi dengan huruf ditebalkan dianggap sebagai inovasi. Untuk semua
rekomendasi, suatu rangka waktu disarankan.
Rekomendasi yang disarankan untuk diproritaskan pada Jangka Menengah
Koordinasi Gizi & Tanggungjawab
41
Rekomendasi diprioritaskan dibawah setiap judul sehingga yang diberikan terlebih dahulu (dalam
huruf tebal) adalah yang terpenting, dan harusdipertimbangkan untuk pelaksanaan segera. (Dalam
kasus Sumber Daya manusia, dua yang pertama diprioritaskan.) Rekomendasi kedua dan ketiga juga
penting, dan harus dilaksanakaneSecond and thir di jangka menengah atau jangka panjang.
32
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
1. Pada tingkat Sub-nasional: Harmonisasikan Rencana Aksi Pangan dan Gizi di
tingkat Propinsi dan Kabupaten berdasarkan rencana nasional, keputusan dan
panduan, serta mengembangkan mekanisme koordinasi antar sector untuk
mengawasi dan memantau pelaksanaannya.
 Hal ini melengkapi struktur desemtralisasi mengenai pembuatan
keputusan di Propinsis dan Kabupaten, sementara pada saat yang
sama mempertahankan penyatuan tujuan dan strategi keseluruhan
yang dipresentasikan dalam Rencana Nasional. Masukan antar
sector dibutuhkan untuk mencerminkan dan mengorganisir masukan
dari berbagai pemangku kepentingan dalam keamanan gizi.
2. Pada tingkat Nasional : Menetujui Peraturan Pemerintah, yang memberlakukan
prinsip Hukum Internasional pada Pemasaran Pengganti ASI dan mengembangkan
suatu mekanisme untuk pemantauan dan penegakan.
 Pengendalian pemasaran pengganti asi membutuhkan upaya nasional
karena pentingnya masalah dan lingkup sumber daya yang
disalurkan kedalam pemasaran formula instan dan pengganti
lainnya. Rekomendasi ini menarik perhatian terhadap penurunan
yang menghawatirkan pada tingkat EBF, dan mendorong perlunya
mendefinisikan cara untuk memantau dan menegakkan Peraturan.
Anggaran dan Pembiayaan
1. Pada semua tingkat: Meningkatkan keefektifan biaya pembiayaan dengan
memilih intervensi berdasar bukti yang diberi sasaran pada kelompok rawan
pre-hamil, hamil dan ibu menyusui serta anak dibawah usia dua tahum.
Data mutakhir dari kalkulasi Bank Dunia42 megenai biaya gizi efektif dan
intervensi kesehatan dapat tentunya digunakan sebagai acuan untuk hal
tersebut. Selanjutnya, dana penyerta tingkat Pusat dengan panduan yang
jelas dan wajib mengenai bagaimana untuk menggunakannya.
 Dalam teta mengikuti strategi Lancet Nutrition Series,hal ini adalah
untuk mendukung pembuat keputusan setempat yang ingin ‘melakukan
hal yang benar’ dan berhenti membayar untuk intervensi lain yang
tanpa bukti keefektifan. Dengan menentukan sasaran kepada
kelompokrawan (misalnya, ibu pra-hamil, hamil dan menyusui, serta
anak dibawah usia dua ahun) akan meningkatkan dampak pembiayaan
oleh karena kelompok ini adalah yang paling tertinggi tingkat kurang
gizinya..
2. Pada tingkat pusat: Bekerja dengan DepKes dan BAPPENAS untuk
mengatur panduan untuk kalkulasi proporsi anggaran yang didedikasikan
kepada nutrisi berdasarkan definisi baru ‘Indeks Kurang Gizi Masa
Kehamilan dan Anak’ (misalnya, menggunakan stunting dan anemia pada ib
hamil sebagai indikator).
 Rekomendasi ini mengakui bahwa masalah utama membiayai
intervensi terkait gizi adalah tanpa kehadiran atau kurangnya sumber
daya financial yang cukup, tetapi alokasinya di tingkat Propinsi dan
42
Horton, S., Shekar, M., McDonald, C., Mahal, A., brooks, J.K. 2010. Scaling up nutrition: What will
it cost? The World Bank. Washington, D.C., USA.
33
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Kabupaten. Pengembangan suatu ‘indeks’, dengan menggunakan nilai
bagi dua indicator kunci, akan memperkenankan pemerintah setempat
untuk membuat keputusan yang diinformasikan mengenai dimana
untuk mengalokasikan dana ke area dengan kebutuhan terbesar untuk
dampak yang terbesar. Hal ini juga memfokus perhatian pada masalah
stunting dan anemia yang saat ini menerima pengakuan yang tidak
cukup.
Perencanaan dan Disain Program
1. Pada semua tingkat: Mengukur panjang semua anak <2 tahun usia setiap
enam bulan selama bulan distribusi vitamin A; Mengukur anemia pada ibu
hamil sebagai bagian dari ANC; Melanjutkan mengukur bobot anak sebagai
kegiatan regular dari posyandu tetapi memprioritaskan menimbang anak
dibawah usia dua tahun.
 Panjang tidak perlu diukur sesering bobot oleh karena inkremen
perobahan adalah kurang dan kurang begitu terlihat pada dasar dari
bulan ke buan. Acara pengukuran komunitas harus dilakukan secara
periodic (setiap enam bulan) yang membuatnya layak ubagi suatu tim
terlatih dar puskesmas untuk melakukan pengukuran dan mengurangi
ketidak telitian. Jika terdapat sosialisasi sebelumnya, ini harus
termask semua anak, terutama karena akan dihubungkan dengan
distribusi vitamin A. Datanya akan memeberikan bukti yang kat
mengenai sukses dari intervensi berdasarkan komunitas yang
ditujukan kepada pengurangan stunting.
 Anemia dalam kehamilan adalah indkator status gizi ibu, aksesnya
kepada perawatan kesehatan berkualitas (misalnya, infeksi antar-arus
sepertiinfeksi saluran urine, tuberkulosis, parasite usus-perut, atau
malaria dapat juga menyebabkan anemia), dan statusnya dalam
keluarga dan komunitas sebagai cerminan bagaimana baiknya ia
dirawat. Hal ini harus dilakukan pada setiap kehamilan.
 Penimbangan anak dapat berlanjut sebagai suatu bagian yang
popular dan penting dari kegiatan posyandu tetapi kader harus
memusatkan perhatian pada anak <2 tahun usia karena ini adalah
usia dimana sebagian besar gagal tumbuh terjadi.
2. Pada tingkat Nasional: Sasaran program gizi terhadap semua ibu hamil dan
anak usia dini dan anak usia 0 – 2 tahun agar dapat (i) fokus pada ‘jendela
kesempatan’, (ii) menggunakan lebih sedikit sumber daya secara lebih efisien,
dan (iii) meningkatkan waktu pemberian nasihat kepada ibu dan anak muda
dan ibu hamil.
 Pergeseran menentukan sasaran pada anak usia dibawah dua tahun
dan ibu hamil selama masa kehamilan akan membebaskan waktu
pengukuran anak yang lebih tua (dimana potensial dampak gizi adalah
kurang) dan memperkenankan petugas kesehatan untuk memfokus
lebih banyak terhadap pengajaran dan pemberian nasihat ibu
danperempuan, terutama ibu hami dan bagi mereka yang
merencanakan kehamilan, di Puskesmas dan posyandu.
34
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
3. Pada semua tingkat: Mengembangkan materi advokasi untuk anggota sector nonkesehatan mengenai pentingnya gizi untuk pengembangan aspek sosial, ekonomi,
kognitif, dan pengembangan fisik. DepKes/DepDagri untuk mengembangkan
bahan advokasi gizi untuk mempengaruhi kampanye Bupati yang ikut pilkada.
 Terdapat banyak sector non-kesehatan yang terkibat dalam gizi tetapi
tidak semua terinformasi dengan lenkap mengenai dampak intervensi
berdasar bukti, atau penting sepenuhnya dari perbaikan gizi.
Selanjutnya, Bupati kadang terkendala oleh janji kampanye untuk
mendukung kegiatan yang diluar gizi. Dengan memastikan bahwa
tujuan nutris menjadi bagian dari kampanye Bupati, terdapat lebih
besar kemungkinan bahwa tujuan ini akan dikejar setelah pemilihan.
Sumber Daya Manusia
1. Pemutakhiran deskripsi pekerjaan yang ada dan termasuk arah program baru
(misalnya pengukuran stunting dan kesehatan/anemia masa kehamilan) untuk
semua staf yang terkibat dalam gizi disetiap kementerian/departemen.
 Deskripsi pekerjaan, dimana adanya, sudah kedaluarsa dan tidak
selalu mencerminkan ketrampilan dan praktik yang perlu dalam
lingkungan yang berubah-ubah. Pengaturan pekerjaan ahli gizi adalah
untuk memenuhi tujuan gizi baru dan intervensi diperlukan.
2. Mengembankan suatu peta sumber daya manusia untuk ahli gizi dan petugas
kesehatan lainnya agar dapat identifikasi kesenjangan penugasan dan kompetensi.
Peta ini untuk digunakan bagi advokasi dengan pembuat keputusan tingkat senior.
(misalya, Presiden, Gubernur, Bupati) dan Kementerian (misalnya, PAN).
Gunakanlah pet sumber daya ini untuk mengembangkan rencana nasional untuk
suatu pendekatan pelatihan untuk mengajar kompetensi gizi bagi Relawan,
Perawat dan Bidan, dan untuk menyediakan pemutakhiran teknis bagi dokter
dalam ilmu pengetahuan gizi.
 Sebagaiman disebutkan dalam Kajian Negara (CA), banyak posisi gizi
di Kabupaten tidak diisi oleh ahli gizi yang berkualifikasi (D3).
Dengan mengetahui bahwa sumber daya dibutuhkan adalah langkah
pertama dalam mengisi kesenjangan tersebut. Sementara kesenjangan
geografis sedang dikaji, upaya harus dilakukan untuk memastikan
kesenjangan kompetensijuga. Semua pekerja/petugas keseatan harus
dimasukkan dalam kajian ini.
3. Insentif harus diperluas yang sekarang ditawarkan kepada dokter untuk juga
termasuk ahli gizi yang bekerja di area yang tak terlayani.
 Anggota staf perlu insentif untuk bekerja di lingkungan yang lebih
menantang; hal ini diakui dalam penempatan dokter. Dalam mengakui
pentingnya gizi bagi kesehatan dan pengembangan, insentif yang sama
perlu untuk menarik dan mempertahankan staf gizi yang berkualitas di
area yang bertantangan, yang seringkali menjadi yang paling
membutuhkan.
4. Mendirikan persyaratan dan prosedur akreditasi (termasuk kualifikasi pelatihan
untuk ahli gizi disemua tingkat) untuk dikenal dan dilaksanakan oleh Asosiasi
Ahli Gizi (PERSAGI) dengan pengakuan dari asosiasi professional lainnya.
35
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
 Hal ini menghubungkan deskripsi pekerjaan yang direvisi dan
dimutakhirkan (disebutkan diatas) sebagai cara untuk meningkakan
profil professional dari ahli gizi dan standardisasi pengetahuan dan
kinerja merekasekitar intervensi berdasar bukti yang di gariskan
didalam literaturnya.
5. Akademi dan Universitas Gizi agar menstandardisasi dan memutakhirkan
kurikulumnya, kompetensi dan akreditasi untuk pra-layanan dan pelatihan dalam
layanan terhadap ahli gizi kesehatan umum, termasuk penekanan program baru
mengenai stunting dan nutrisi masa kehamilan; menambahkan atau memperkuat
gizi pada pelatihan pra-layanan mengenai gizi kepada semua Dokter, Bidan,
Perawat;
 Pendidikan gizi perlu dimutakhirkan dan diperluas untuk memasukkan
konsep baru dan riset baru ini dalam pelatihan pra-layanan dari
semua prefesional kesehatan dangizi; lembaga akademis juga penting
dalam menyediakan pelatihan dalam-layanan.
6. Menjamin penyediaan kelanjutan perawatan kesehatan dan gizi dari konsepsi
sampai usia dua tahun, melalui penyampaian layanan berdasar fasilitas
terorganisir secara baik, jangkauan secara periodic dan berdasar komunitas. 43.
 Stuntingadalah contoh sempurna dari suatu hasil gizi yang tak
dikehendaki yang setara hasilnya dengan defisiensi dalam kehidupan
intra-uterin dan kondisi post-natal. Gagal dalam mendekati
permasalahan dari kelanjutan perspektif perawatan tidak akan
mengurangi stunting yang nyata dari sifat bertahannya selama decade
yang lalu yang mencerminkan pendekatan yang memberi sasaran pada
anak ketika mereka sudah menderita stunting; tidak ada perhatian
yang diberikan kepada penyebab intra-uterin dari permaslahannya.
Selanjutnya, jika ibu hamil menjadi sasaran dalam trimester pertama,
perhatian harus diberikan kepada perempuan muda sebelum dia
menjadi hamil, (dan terhadap perempuan muda yang pertumbuhannya
sendiri harus dilindungi dari kehamilan yang prematur).
Sistem Informasi Gizi
1. Pemutakhiran SPM untuk mencerminkan fokus program baru dan indicator
relevan.
 Indikator standard harus sejalan dengan tujuan program terkini jika
kemajuan harus dibuat dan diukur menuju kepada tujuan baru
seperti stunting dan gizi masa kehamilan..
2. NIS untuk mengukur indikator yang terdaftar di Rencana Aksi Pangan dan Gizi
yang dapat digunakan untuk mengkaji kinerja dan untuk pengawasan.
 Indikator harus diukur dan digunakan dalam pembuatan keputusan
lebih besar daripada yang dipraktikkan saat ini. Pengukuran
keluaran dan hasil praktik dilapangan akan memperkenankan
Kerber KJ, de Graft-Johnson JE, Bhutta ZA, Okong P, Starrs A, Lawn JE. 2007 Continuum of care for maternal,
newborn, and child health: from slogan to service delivery. Lancet 370: 1358–69
43
36
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
pengawas untuk identifikasi individual dan fasilitas yang melakukan
pekerjaan berkualitas tinggi. Fasilitas ini akan memenuhi syarat
bagi hadiah kinerja. Bagi mereka yang tidak berkinerja baik dapat
diarahkan untuk berpartisipasi dalam kelas pendidikan yang
berkelanjutan untuk meningkakan ketrampilan, pengetahuan, dan
praktk..
Rekomendasi yang disarankan untuk diprioritaskan pada jangka panjang
Penyediaan Pelayanan
1. Pelaksananaan dengan skala (sebagaimana sesuai tergantung kondisi lokal), paket
Intervensi Gizi Esensial (ENI) yang sasaran efektifnya adalah terhadap ibu dan anak
sejak dari konsepsi sampai usia dua tahun.
 Pemaketan intervensi kunci menjamin bahwa semua komponen yang
perlu untuk suatu kehidupan yang sehat dan bergizi sedang disediakan
pada waktu yang sama dan dalam tempat yang sama dengan cara
yang dapat menuju kepada hasil terbaik. Pelaksanaan intervensi
individual secara terpisah dan tempat yang berbeda (misalnya,
memberikan Vitamin A tanpa memberikan tablet untuk penyakit
cacingan) adalah sia-sia demikian juga tidak efektif oleh karena
keduanya tidak akan seefektif bila dipergunakan sendiri masingmasing. Pelaksanaan paket ini dapat mencegah paling tidak
seperempat kematian anak dibawah usia 36 bulan, dan mengurangi
prevalensi stunting sebesar sepertiga dalam jangka pendek44 45.
Sistem Informasi Gizi
1. Sebagai tujuan jangka lebih panjang, menciptakan kelompok kerja, diketuai oleh
BPS, untuk mempertimbangkan berapa jumlah survai nasional (misalnya
RISKESDAS, DHS, IFLS) dapat dikurangi dan dirasionalisasikan.
 Kegiatan survai sangat mahal meski biayanya seringkali dibesarkan
bila dipergunakan untuk keputusan kritis dalam focus program
pembuatan keputusan, sasaran terhadap penduduk, dan sebagainya.
Namun terdapat juga sejumlah besar survai nasional yang
mengumpulkan data yang kadangkala bersifat duplikasi. Hal ini
harus dirasionalisasikan sehingga hanya satu atau dua survai
dibutuhkan untuk menyediakan semua informasi yang dibutuhkan
pembuat keputusan untuk meningkatkan kinerja program. Langkah
pertama dalam melakukan hal ini adalah untuk mendefinisikan
keputusan sebenarnya yang perlu diambil, data yang diperlukan
untuk membuat keputusan, sumber data tersebut, dan metode
pengumpulannya.
Rekomendasi lainnya yang dapat dilaksanakan pada jangka menengah
The Lancet Series on Maternal and Child Undernutrition 2008. Available at URL:
http://www.theLancet.com/series/maternal-and-child-undernutrition (Accessed 31/03/10)
44
SCN 2008. Recommendations from the SCN 35th Session: "ACCELERATING THE REDUCTION OF MATERNAL AND
CHILD UNDERNUTRITION" Available at
http://www.unscn.org/Publications/AnnualMeeting/SCN35/35th_Session_Recommendations.pdf (Accessed 09/07/0)
45
37
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Koordinasi & Tanggungjawab Gizi
1. Pada tingkat Nasional: Menciptakan mekanisme koordinasi tingkat nasional untuk
mengawasi dan koordinasi pelaksanaan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional
dengan mengubah nama dari Dewan Keamanan Pangan Nasional menjadi Dewan
Pangan dan Gizi Nasional, atau menciptakan suatu badan baru dengan tanggung
jawab koordinasi gizi nasional.
 Dengan menambahkan kata “…dan Gizi”, Keamanan Pangan
dikenal sebagai bagian vital dari tujuan lebih besar dari Keamanan
Gizi. Dewan kemudian diberi mandat untuk melaksanakan Rencana
Pangan dan Gizi Nasional, yang mempunyai sasaran mencapai
Keamanan Gizi melalui berbagai pendekatan, yang satunya adalah
Keamanan Pangan. Dewan ini dengan demikian akan memenuhi
peran yang sangat diperlukan yaitu mengkoordinasikan tindakan
keamanan nutrisi yang keberadaannya kini sangat dipertanyakan.
NB, jika lingkup dari Dewan diperluas untuk memasukkan juga
keamanan gizi, mungkin perlu untuk menempatkan Dewan dibawah
kantor Presiden untuk diketahui karena lingkupnya yang lebih besar.
Perencanaan dan Desain Program
1. Pada tingkat Nasional: Mengembangkan dan melaksanakan strategi untuk
menjangkau perempuan pra-hamil dalam kelompok usia 18-24 tahun dengan
paket pelayanan kesehatan dan gizi dengan bekerja bersama staf yang terlibat
dalam keluarga berencana dan tokoh agama komunitas selama kunjungan
pra-perkawinan, dsb. Mendirikan suatu pengawasan atau sistem pemantauan
untuk memantau cakupan perempuan pra-hamil dengan paket ini.
 Trimester pertama sekarang dikenal sebagai suatu kunci kepentingan
untuk pertumbuhan janin dalam panjangnya dan pertumbuhan otak,
dan status mikronutrien sekitar konsepsi adalah kunci untuk mencegah
terjadinya beberapa cacat pada kelahiran. Dengan demikian untuk
memastikan bahwa protein, energi dan mikronutrien mereka cukup
dan bahwa mereka terbebas dari penyakit yang bersaing terhadap
nutrien pada trimester pertama, mereka perlu dijangkau sebelum
menjadi hamil atau sedini mungkin setelah konsepsi.
2. Pada tingkat Nasional: Memperkuat program fortifikasi pangan nasional dengan
memutakhirkan standard fortifkas untuk gandum, membuat fortifikasi minyak
menjadi wajib, dan memperbaiki penegakan undang-undang fortifikasi garam.
 Program fortifikasi pangan nasional merupakan cara efektif, biaya
efektif dan cara penting untuk menambah status mikronutrien dari
penduduk yang mengkonsumsi kendaraan pengan. Hal ini dapat
meningkatkan konsumsi dari kaum perempuan sebelum mereka
menjadi hamil, pada anak dibawah umur dan pada kaum pria; semua
kelompok yang umumnya bukan sasaran atau dapat terjangkau oleh
intervensi mikronutrien lainnya seperti suplementasi. Keefektifan
program fortifikasi tepung terigu perlu ditingkatkan dengan
pemutakhiran SNI sejalan dengan rekomendasi WHO secara global,
fortifikasi minyak sedang terjadi tetapi membutuhkan untuk dibuat
38
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
wajib agar mendapatkan dampak optimal terhadap kesehatan umum
dan penegakan hokum fortifikasi garam untuk menjamin semua garam
diberi yodium dan sistem jaminan mutu ditingkatkan.
Sumber Daya Manusia
1. Menggunakan keberhasilan tinggi untuk mengurangi stunting, anemia dalam
kehamilan, dan perbaikan pada pemberian asi secara dini dan eksklusif sebagai
dasar bagi tambahan hadiah kinerja kepada puskesmas dan posyandu.
 Insentif kinerja dapat dalam bentuk hadiah financial ataunon-finansial.
Jika dihadiahkan kepada fasilitas yang berkinerja baik (bukan
terhadap individu) hal ini dapat menyemangati kerja tim yang lebih
baik, efisiensi, dan pelayanan komunitas.
Rekomendasi lain yang dapat dilaksanakan di jangka panjang
Anggaran dan Pembiayaan
1. Pada semua tingkat: Melaksanakan proses untuk identifikasi cara untuk
memperkuat program pengentasan kemiskinan bagi dampak yang ditingkatkan
terhadap kurang gizi anak dan masa kehamilan.
 Dibawah naungan “Tim Nasional untuk Mempercepat Pengentasan
Kemiskinan” (TNP2K), diketuai oleh Wakil Presiden, inisiasi proses
untuk membahas setiap program pengentasan kemiskinan untuk
identifikasi bagaimana hal itu dapat diadaptasi untuk berkontribusi
terhadap peningkatan dalam prioritas dan intervensi utrisi yang
sejalan dengan Rencana Pembangunan Jamgka Menengah Nasional
dan Rencana Pangan dan Gizi Nasional. Melaksanakan perobahan ini
melalui TNP2K pada tingkat propinsi dan kabupaten. Bilamana belum
juga, untuk memasukkan indikator gizi seperti prevalensi stunting anak
sebagai indikator dampak pada program sebagai adanya pengakuan
dekatnya hubungan antara kemiskinan dengan gizi anak.
Perencanaa dan Desain Program
1. Memfokus tujuan program pemberian makanan pada peningkatan pendaftaran
sekolah dan retensi, dan, jika sumber daya merupakan factor yang membatasi,
memprioritaskan program pada sekolah menengah pertama di area yang lebih miskin
sebagai insentif untuk perempuan tetap disekolah..
 Anak usia sekolah bukanlah yang paling rawan gizi; sehingga mereka
tidak mendapat manfaat secara signifikan dari program pemberian
makanan di sekolah. Pemberian makanan di sekolah dapat
menyediakan insentif, dalam keadaan tertentu, untuk meningkatkan
pendaftaran sekolah dan retensi anak di sekolah. Dimana hal ini
menjadi kepentingan besar adalah pada anak perempuan dibawah
umur yangakan ditekan untuk berhenti sekolah secara prematur,
khususnya dalam keluarga yang tidak mempunyai keadaan financial
yang mencukupi.Dalam kasus demikian, pangan menjadi lebih kepada
suplemen ekonomi dan bukan yang bersifat nutrisi saja, meskipun
dampak gizi akan terasa jika perempuan tetap disekolah lebih lama
39
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
oleh karena hal ini terkait dengan usia perkawinan nanti, dan usia
selanjutnay (melebihi anak dibawah umur) pada kehamilan yang
pertama.
Sumber Daya Manusia
1.Menyediakan bantuan teknis dalam pengembangan modul pembelajaran jarak jauh
untuk pelatihan dalam layanan dari staf gizi yang terkait dengan akreditasi dan
hadiah kinerja untuk selesainya pelatihan secara sukses dan pencapaian nilai yang
lebih tinggi.
 Pembelajaran jarak jauh dengan pemberian hadiah memberikan cara
yang lebih murah untuk mempertahankan pelatihan dan pengetahuan
staf dilapangan. Teknik baru yang menjamin kerahasiaan dan
memantau partisipasi memperkenankan kursus untuk dilakukan secara
tidak mahal dalam lingkungan aman.
6. Langkah Berikutnya








Mendapatkan persetujuan final dari laporan LA dari DepKes pada tingkat
Pusat dan, khususnya, dari Departemen Gizi Masyarakat.
Terjemahan dari laporan LA dalam Bahasa Indonesia
Mendesain dan mencetak laporan LA dalam dua bahasa (Inggris dan
Bahasa Indonesia)
Mengatur pertemuan di DepKes pada tingkat Pusat antar semua
departemen terkait terutama Komunitas Gizi, Kesehatan Masa Kehamilan
dan Kesehatan Anak untuk diseminasikan laporan LA. Pertemuan ini dapat
diorganisir oleh Direktur General Kesehatan Masyarakat di DepKes.
Disseminasi laporan LA oleh DepKes/Bappenas pada tingkat Pusat kepada
semua mitra yang relevan termasuk donor, kementerian, badan PBB, LSM,
dsb.
Integrasi rekomendasi prioritas dalam Rencana Aksi Pangan dan Gizi
Nasional 2011-2015. Hal ini dapat dilakukan melalui proses
pengembangan rencana Nasional yang akan berlanut sampai Desember
210. Selanjutnya, dengan menggunakan rekomendasi prioritas dari
Analisis Lanskap Kajian Negara, mengidentifikasi aksi jangka pendek
yang dapat dilaksanakan untuk 2011, dan kegiatan lebih lama yang akan
membutuhkan undang-undang dan peraturan baru, dsb.
Mempresentasikan hasil Anaisis Lanskap Kajian Negara pada tingkat
propinsi. Menggunakan kesempatan ini untuk mulai proses harmonisasi
mengenai tujuan dan sasaran atara tingkat nasional dan sub-nasional
demikian juga untuk advokasi lebih banyak anggaran nutrisi pada tingkat
sub-nasional.
Menginisiasi pelaksanaan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional di satu
(atau dua) kabupaten disetiap tiga propinsi dan selanjutnya
menyempurnakan dan memfokus sistem posyandu mengikuti
rekomendasinya. Hal ini akan termasuk Bidan dan Kader yang bekerja
lebih banyak dengan kelompok ibu yang menyiapkan mereka untuk
menjadi hamil tanpa anemia, dsb. Hal ini akan termasuk melengkapi
40
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
puskesmas untuk melakukan pengukuran yang perlu dan bekerja terhadap
prosedur, dsb, mengembangkan materi IEC, dsb.
Sebagai ringkasan, rekomendasi dibuat mengenai area : Kordinasi Gizi &
Tanggungjawab; Anggaran dan Pembiayaan; Perencanaan dan Desain Program;
Sumber Daya Manusia; Penyediaan Pelayanan; Sistem Informasi Gizi. Prioritas harus
diberikan untuk menciptakan Mekanisme yang mempromosikan pengembangan
Rencan Aksi Pangan dan Gizi yang harmonis pada tingkat Propinsi dan Kabupaten
berdasarkan rencana, keputusan dan panduan nasional, demikian pula untuk
mengembangkan Mekanisme koordinasi antar sector untuk mengawasi dan memantau
pelaksanaannya. Agar meningkatkan efektif biaya dalam pembiayaan, panduan dan
insentif harus disediakan kepada kabupaten agar mereka dapat memberi prioritas pada
intervensi berdasar bukti yang diberi sasaran pada kelompok rawan pra-hamil, ibu
hamil dan menyusui dan anak usia dibawah dua tahun. Panjang anak dibawah dua
tahun dan anemia masa kehamilan harus diberikan penekanan yang meningkat dan
diprioritaskan untuk pengukuran keefektifan dari program gizi dan pengentasan
kemiskinan pada semua tingkat. Secara bersamaan terhadap pekerjaan ini, deskripsi
pekerjaan perlu dimutakhirkan untuk mencerminkan arah program baru (misalnya,
pengukuran stunting dan kesehatan/anemia masa kehamilan) untuk semua staf yang
terlibat dalam gizi pada semua tingkat dalam sistem. Suatu peta sumber daya manusia
untuk ahli gizi dan pekerja kesehatan lainnya harus dekembangkan agar dapat
identifikasi kesenjangan penugasan dan kompetensi, dan mengembangkan rencana
nasional untukpendekatan pelatihan untuk mengajar kompetensi gizi bagi relawan,
perawat dan bidan, serta menyediakan pemutakhiran teknis bagi dokter dalam bidang
ilmu pengetahuan gizi. Secara bersamaan dengan hal ini pelaksanaan pada skala
(sebagaimana sesuai tergantung kondisi local), dari paket Intervensi Gizi Esensial
(ENI) harus secara progresif dilaksanakan mulai di beberapa kabupaten dan propinsi
dan secara bertahap meluas sehingga dalam lima tahun sebagian kaum ibu dan anak
tercakup oleh ENI sebagai perawatan kelanjutan dari sejak konsepsi sampai usia dua
tahun. Panduan pemantauan dan evaluasi harus dimodifikasi untuk mencerminkan
fokus program baru dan indikator yang relevan.
41
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Lampiran 1. Metodologi Kajian Negara
Lingkup Kajian Negara dari analisis lanskap
Visi Keselurhan: Pemerintah dan petugas kesehatan Kabupaten yang berwenang mempunyai
komitmen dan kapasitas untuk menjamin cakupan tinggi intervensi gizi efektif agar mempercepat
pengurangan kurang gizi masa kehamilan dan anak. Intervensi gizi efektif adalah yang diidentifikasi
oleh Lancet Nutrition Series. Komitmen dan kapasitas pemerintah kabupaten akan dijamin
panduan dari tingkat Pusat ke pemerintah dan pejabat kesehatan kabupaten mengenai intervensi
gizi efektif dan membangun kapasitas mereka untuk melaksanakan perencanaan mikro untuk
mencapai cakupan tinggi dan pelaksanaan berkualitas. Pemerintah dan pejabat kesehatan propinsi
akan menyediakan pengawasan dan dukungan jaminan kualitas. Intervensi gizi efektif akan
dilaksanakan melalui sistem kesehatan yang ada dan akan didukung oleh dan secara sinergi
dengan kebijakan dan inisiatif nasional mengenai kesehatan, gizi, pengembangan pertanian,
pengentasan kemiskinan dan jaringan keselamatan, yang secara berhasil disebarkan pada tingkat
setempat.
Pada semua tingkat, Kajian Negara (CA) akan focus pada mengidentifikasi kelemahan dan
kesempatan untuk memperbaiki tujuh tantangan yang teridentifikasi oleh Lancet Series berikut ini:
1. Meletakkan gizi di agenda nasional,
2. Melakukan hal yang benar,
3. Tidak melakukan hal yang salah,
4. Melakukan hal berdasarkan skala,
5. Menjangkau kepada yang membutuhkan,
6. Menggunakan data bagi pembuatan keputusan untuk gizi,
7. Membangun kapasitas strategi dan operasional.
Pada tingkat kabupaten, Kajian Negara (CA) akan focus pada berikut ini:
1. Bagaimana untuk meningkatkan kapasitas kabupaten terhadap rencana mikro dan
melaksanakan intervensi gizi esensial
2. Bagaimana kebijakan dan panduan nasional disampaikan kepada dan digunakan oleh
kabupaten
3. Bagaimana pelaksanaan kabupaten mengenai intervensi gizi esensial dapat difasilitasi dan
didukung oleh pejabat propinsi yang berwenang
4. Bagaimana Mekanisme pembiayaan dan sumber daya dapat lebih baik diakses untuk
meningkatkan cakupan dan kualitas intervensi gizi esensial
5. Bagaimana program dan inisiatif nasional termasuk jaringan keselamatan dan program
pro-miskin dapat menjadi lebih sinergi dengan dan lebih mendukung pelaksanaan
kabupaten terhadap intervensi gizi esensial.
6. Data apa yang dibutuhkan dan bagaimana dapat lebih baik digunakannya pada tingkat
kabupaten untuk memfasiltasi pelaksanaan berkualitas pada cakupan yang tinggi dari
intervensi gizi esensial.
42
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Daftar anggota tim untuk kajian Negara (CA) disetiap propinsi dan kabupaten
Propinsi Aceh
Roger Shrimpton
Sonia Blaney (UNICEF)
Rufina Pardosi (UNICEF)
Rachmi Untoro (Ahli MoH)
Darmiati (Bappeda)
Setyawati, SKM, MPH
Arifin Ahmad (Poltekkes Gizi)
Sugeng Irianto (WHO)
Eko Prihastono (MoH)
Mardewi (FKM-UI)
Aceh Besar
Roger
Rufina
Arifin
Mardewi
Aceh Timur
Sonia
Setyawati
Darmiati
Eko
Wawancara Propinsi
Rachmi Untoro
Sugeng
Propinsi Jawa Tengah
Stephen Atwood
Anna Winoto (UNICEF)
Armunanto (UNICEF)
Ineu (MoH)
Yazid (PHO)
Budi Setiana (Bappeda)
Diah Utari (FKM-UI)
Elviyanti Martini (HKI)
Yosi Tresnawati (Bappenas)
Bariadi (MoH)
Wawancara Kabupaten
Kota Semarang Banyumas
Anna
Steve
Elvi
Armunanto
Yazid
Budi Setiana
Ineu
Bariadi
Wawancara Propinsi
Yosi
Diah
Propinsi NTT
Karen Codling
Ninik Sukotjo (UNICEF)
Helena S Ndolu (UNICEF)
Dini Latief (Ahli MoH )
Henny Tomasoa (PHO)
Djoese (Bappeda)
Maria Catharina (WFP)
Rosnani (konsultan local)
Eman Sumarna (MoH)
Ichwan Arbie (MoH)
Sikka
Rosnani
Helena
Henny
Arbie
Belu
Karen Codling
Ninik
Djoese
Maria
Wawancara Propinsi
Dini Latief
Eman Sumarna
43
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Jadwal pelaksanaan
“Landscape Analysis” atau
Kajian dan Analisa Pemetaan Program Gizi dan Program Terkait Lainnya
11 s/d 26 Maret 2010
Hari pertama: Jakarta, 11 Maret 2010
Venue: Jasmine Room, Intercontinental Hotel
08.30 – 08.35 Sambutan Depkes
08.35 – 08.50
08.50 – 09.10
09.10 – 09.30
09.30 – 10.00
10.00 – 10.30
10.30 – 10.45
10.45 – 11.00
11.00 – 11.45
11.45 – 12.15
12.15 – 13.15
13.15 – 14.00
14.00 – 14.30
14.30 – 15.15
15.15 – 15.30
15.30 – 16.00
16.00 – 17.00


Latar belakang
Pengalaman pelaksanaan LA di negara
lain
Rencana pelaksanaan Landscape Analysis di
Indonesia
 Metodologi
 Analisa/pelaporan
Hasil telaah awal
Diskusi/Tanya jawab
Rehat kopi
Pembagian kelompok (berdasarkan daerah)
Review kuesioner 1 & 2 (diskusi kelompok)
Diskusi pleno
Makan siang
Review kuesioner 3 & 4 (diskusi kelompok)
Diskusi pleno
Review kuesioner 5 & 6 (diskusi kelompok)
Rehat kopi
Diskusi pleno
Finalisasi kuesioner
DR Minarto, Direktur Bina
Gizi Masyarakat
Roger Shrimpton, UNICEF
DR Minarto, Direktur Bina
Gizi Masyarakat
Roger Shrimpton, UNICEF
Rosnani Pangaribuan
International team
International team
International team
Hari ke-2: Jakarta, 12 Maret 2010
Venue: Jasmine Room, Hotel Intercontinental
08.30 – 09.00 Registrasi
09.00 – 09.05 Sambutan UNICEF
09.05 – 09.20
Pengarahan dan pembukaan
09.20 – 09.35
Prioritas program gizi dalam RPJMN 20102014
Kebijakan program gizi di Indonesia
09.35 – 09.45
09.45 – 10.15
10.15 –10.30
10.30 – 11.15
Latar belakang dan pengalaman
pelaksanaan Landscape Analysis di negara
lain
Rehat kopi
Diskusi & tanya jawab
11.15 – 11.30
Penutupan
Kepala Perwakilan UNICEF
Indonesia
Direktur Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat,
Depkes
Deputi SDM dan
Kebudayaan, Bappenas
Direktur Bina Gizi
Masyarakat, Depkes
Roger Shrimpton
UNICEF
Moderator: Direktur Bina
Gizi Masyarakat
Direktur Bina Gizi
Masyarakat
44
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
11.30 – 13.00
13.00 – 17.00
Makan siang
Review kuesioner
Hari ke-3: Jakarta, 13 Maret 2010
Venue: Jasmine Room, Hotel Intercontinental
08.30 – 09.30
Pelaksanaan pengumpulan data di
lapangan
09.30 – 12.00
Praktek wawancara
12.00 – 13.00
Makan siang
13.00 – 17.00
Persiapan akhir untuk kunjungan
lapangan
Rosnani Pangaribuan
Ninik Sukotjo
Anna Winoto
Hari ke-4-10: Kunjungan Lapangan, 14 – 20 Maret 2010
Hari ke-4
(14 Maret)
Hari ke-5
(15 Maret)
Hari ke-6
(16 Maret)
Hari ke-7 - 8
(17-18 Maret)
Hari ke-9
(19 Maret)
Hari 10
(20 Maret)
Perjalanan tim ke propinsi terpilih
Pertemuan propinsi dengan seluruh
stakeholders (termasuk kabupaten)
untuk mempresentasikan tujuan kajian;
dilanjutkan dengan wawancara kepada
stakeholder di tingkat propinsi
Perjalanan ke Kabupaten
Propinsi
Pelaksanaan Wawancara di tingkat
Kabupaten; dan konsolidasi hasil
wawancara- hari terakhir
Perjalanan kembali ke Propinsi;
Pertemuan Propinsi untuk diseminasi
draft hasil kajian
Perjalanan tim Pusat ke Jakarta
Kabupaten
Propinsi
Hari ke-12 - 16: Jakarta, 22 – 26 Maret 2010
Hari 12-13
(22-23 Maret)
Wawancara Stakeholders di tingkat
Pusat
Hari 14
(24 Maret)
Konsolidasi hasil wawancara/kajian di
tiga propinsi di tingkat pusat,
penyusunan kesimpulan dan
rekomendasi awal oleh tim kecil
Tim Kecil menyusun draft awal dan
presentasi power point
Diseminasi hasil Kajian dan Analisa
Pemetaan Program Gizi dan Program
Terkait Lainnya yang dihadiri oleh
seluruh tim Pusat dan Propinsi dan
Kabupaten terpilih
Hari 15
(25 Maret)
Hari 16
(26 Maret)
Tim akan berkumpul di kantor
UNICEF pada pukul 08.00
setiap pagi sebelum
melaksanakan wawancara
(Alamat: Wisma Metropolitan
II Lt. 12)
Kantor UNICEF
Wisma Metropolitan II Lt. 12
Kantor UNICEF
Wisma Metropolitan II Lt. 12
Jasmine Room,
Intercontinental Hotel
45
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
LA interviews Schedule at Central Level
22 March 20010
23 March 2010
46
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
List of interviewees
Aceh province, Aceh Timur and Aceh Besar Districts
No
Name
1 Jamil Rusaleh
Title
Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial
Staf Pelayanan Anak
Kasie KIA dan Gizi
Kabid Pembinaan Kesehatan
Kepala Dinas
Kabid Pendidikan Dasar
Sekretaris Fraksi Komisi F
Kabid Industri Kimia Agro
Institution
Dinas Sosial Aceh
Remarks
Province
Dinas Sosial Aceh
Dinas Kesehatan Aceh
Dinas Kesehatan Aceh
Dinas Kesehatan Aceh
Dinas Pendidikan Aceh
DPRA
Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Koperasi & UKM Aceh
Province
Province
Province
Province
Province
Province
Province
Kasie Kimia Afro
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Province
Koperasi & UKM Aceh
10 Isnaidi
Kasie Logam Mesin
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Province
Koperasi & UKM Aceh
11 Parabi
Kabid Anak
Badan Pemberdayaan Perempuan Province
dan Perlindungan Anak Aceh
12 M. Nur
Kabid Ketahanan Pangan Mukim
dan Gampong
Kasubbid Motivasi dan Swadaya
Dinas Pemberdayaan Masyarakat
Aceh
Dinas Pemberdayaan Masyarakat
Aceh
Dinas Pemberdayaan Masyarakat
Aceh
Poltekes NAD
Badan Ketahanan Pangan Aceh
2
3
4
5
6
7
8
Khairani
dr. Hasnani
drg. Efi Syafrida
dr.Yani
Azhari
M. Yunus Ilyas, SE, M.Si
Nasir
9 Dewi Mutia
13 Ellya
14 Buchari
Province
Province
Province
19
Kasubbid Pengembangan Sumber
Daya Tradisi dan Budaya
Kajur Gizi Poltekes Aceh
Kepala Bidang Konsumsi &
Keamaanan Pangan
Kepala Bidang Distribusi
Badan Ketahanan Pangan Aceh
Bagian Keanekaragaman Konsumsi Badan Ketahanan Pangan Aceh
Pangan
Kabid Tanaman Pangan
Dinas Pertanian Aceh Besar
20
Sekretaris
Dinas Pertanian Aceh Besar
District Aceh Besar
21
Kasie Tanaman Pangan
Dinas Pertanian Aceh Besar
District Aceh Besar
22
Kepala Bidang Penguatan
Kelembagaan Masyarakat
Badan Pemberdayaan Masyarakat District Aceh Besar
dan Gampong Aceh Besar
23
Kepala Badan
24
Kabid Ketahanan Pangan
25
Sekretaris
26
Kepala
Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Aceh Besar
Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Aceh Besar
Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Aceh Besar
Bappeda Aceh Besar
15 Aripin Ahmad
16 Ir. Rusli
17 Cut Sumarni
18 Erisna
Province
Province
Province
Province
District Aceh Besar
District Aceh Besar
District Aceh Besar
District Aceh Besar
District Aceh Besar
47
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
27 Hasanudin
Bappeda Aceh Besar
District Aceh Besar
28
Kasubbid Pengembangan SDM &
Keistimewaan Aceh
Kepala Dinas
Dinas Kesehatan Aceh Besar
District Aceh Besar
29
Program Officer KIA
Dinas Kesehatan Aceh Besar
District Aceh Besar
30
Program Officer P2P
Dinas Kesehatan Aceh Besar
District Aceh Besar
31
Komisi E
DPRK Aceh Besar
District Aceh Besar
32
Kepala Puskesmas
Puskesmas Indrapuri
District Aceh Besar
33
Tenaga Pelaksana Gizi
Puskesmas Indrapuri
District Aceh Besar
34
Bidan Koordinator
Puskesmas Indrapuri
District Aceh Besar
35
Bidan Desa
Puskesmas Indrapuri
District Aceh Besar
36
Kader Posyandu
Puskesmas Indrapuri
District Aceh Besar
37
Kepala Puskesmas
District Aceh Besar
38
Tenaga Pelaksana Gizi
39
Bidan Desa Lheu Blang
40
Kader Posyandu Lheu Blang
41
Kepala bidang BPMG (Badan
Pemberdayaan Masyarakat
Gampong)
DPRK, Komisi E
Puskesmas Darul Imarah Aceh
Besar
Puskesmas Darul Imarah Aceh
Besar
Puskesmas Darul Imarah Aceh
Besar
Puskesmas Darul Imarah Aceh
Besar
Kantor BPM-PKS
Kantor DPRK
District Aceh Timur
42
43 Dr Hambali, Agustina and
Marlita
44 Bupati Aceh Timur dan
Bpk. Syanfanmur
45 Ir. Irham, MT
46
47 Ayubi, SKM dan Amir,
SKM
48
49
50
51
52
District Aceh Besar
District Aceh Besar
District Aceh Besar
District Aceh Timur
Kepala Puskesmas, TPG dan Bidan Puskesmas Bireum Bayeun
Koordinator
Bupati dan Sekretaris
Kantor Bupati
District Aceh Timur
Kepala Bappeda
Bidan Desa dan Kader
Kepala Dinas Kesehatan, Kepala
Bidang Pelayanan Kesehatan
Kabid Hortikultura
Badan Ketahanan Pangan
BPM-PKS Kepala Pemberdayaan
Masy, Perempuan & Keluarga
Sejahtera
Bidan Desa dan Kader
Kantor Bappeda
Posyandu of Desa Alue Buloh
Dinas Kesehatan
District AcehTimur
District Aceh Timur
District Aceh Timur
Dinas Pertanian
Kantor Ketahanan Pangan
Kantor BPM-PKS
District Aceh Timur
District Aceh Timur
District Aceh Timur
Distritc Aceh Timur
Posyandu Camar Laut-Desa Blang District Aceh Timur
Qlumpang
Kepala Puskesmas, TPG dan Bidan Puskesmas Idi Rayeuk
District Aceh Timur
Koordinator
48
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Central Java province, Kota Semarang and Banyumas district
No
Name, Title
Institution
Remarks
1 Bambang Setyobudi (Kabid), Dwi Arminingsih (staf),
Bidang
Ratna
Kesra
Widyarini (staf)
Province
2 Dr. Mardiyatmo, SP RAD (Kepala Dinas)
Dinas Kesehatan
Province
3 Dr. Retno Budiastuti (Kasubdit Yankes)
Dinas Kesehatan
Province
4 Dr. Djoko Mardijanto, Mkes (Kabid. P2PL)
Dinas Kesehatan
Province
5 Dr. Yuswanti (Kasie Kesga Gizi)
Dinas Kesehatan
Province
6 Achmad Syaifudin (Ka.Perencanaan)
Dinas Kesehatan
Province
7 Dr. Messy Widiastuti, MARS (Komisi E)
DPRD
Province
8 Ir. Suyatno, Mkes (Wadek III, staf Jur. Gizi)
FKM Undip bagian gizi
Province
9 Ir. Basuki Sigit (Ka. Jur)
Poltekkes Gizi
Province
10 Surati
Dinas Pendidikan
Province
11 Drs. Ali Yahya, MPd
Bapermas
Province
12 Mery Zuliana (anggota Pokja IV)
PKK
Province
13 Munawir, SH (Bid. Kemandirian Pangan, bid. Ketersediaan
Badan Ketahanan
Pangan) Pangan
Province
14 Hari Sutjahyo (Sie. Industri Kimia Bid. Industri Agro
Dinas
Kimia
Perindag
dan Hasil Hutan)
Province
15 F. Himawan E.W. (Kasie. Pengembangan SDM &Dinas
Kelembagaan)
Pertanian
Province
16 Moch Junaedi (Kasie. Potensi Sumber Kesejahteraan
Dinas
Sosial)
Sosial
Province
17 Dra. Diana Susilowati (Kasubid. Perlindungan Anak
BP3AKB
bid. Kesejahteraan dan Perlindungan
ProvinceAnak)
18 Dyah Siti Sundari (Diklat)
BKKBN
Province
19 Hernowo Budi Luhur (Kabid Perencanaan Sosbud)Bidang Sosbud
Kota Semarang
20 Dr. Tatik Suyarti (Kadinkes)
Dinas Kesehatan
Kota Semarang
21 Dr Susi Herawati (Kasubdit Kesga)
Dinas Kesehatan
Kota Semarang
22 Dr Widoyono (Kabid P2ML)
Dinas Kesehatan
Kota Semarang
23 Purwanti (Kasie Gizi)
Dinas Kesehatan
Kota Semarang
24 Drg Lusi Suryani (Kasie Perencanaan Subbag) Dinas Kesehatan
Kota Semarang
25 Tenaga Gizi
Puskesmas Pandanaran
Kota Semarang
26 Retno (bidan)
Posyandu Setialsulu
Kota Semarang
27 Ismoyowati, Ani (kader)
Posyandu Setiasulu
Kota Semarang
28 Kepala Puskesmas
Puskesmas Srondol
Kota Semarang
29 Bidan
Puskesmas Srondol
Kota Semarang
30 Ahli gizi
Puskesmas Srondol
Kota Semarang
31 Drs Hidayatullah (Kasie TS SD)
Dinas Pendidikan
Kota Semarang
32 Dra. Hayu & Lilik Haryanto
Bapermas
Kota Semarang
33 Dra. Wijayanti (Pokja IV)
TP PKK
Kota Semarang
34 S. Kiswanti (Kasie Konsumen & Ketahanan Pangan)
Badan
& Diana
Ketahanan
Hidayati
Pangan
(staff) Kota Semarang
35 Agus Guntoro (Seksi Agro Kimia & Hasil Hutan) Dinas Perindag
Kota Semarang
36 Ir Komara Irawati (Kasie Agroindustri Pangan & Hortikultura)
Dinas Pertanian
Kota Semarang
37 Dra Dahlia Gombiarti MSI (Kabid PMKS)
Dinas Sosial
Kota Semarang
38 Mardjoko (Bupati)
Bupati
Kab Banyumas
39 Ir Wahyu Budi Saptono M.Si (Kepala)
Bappeda
Kab Banyumas
40 Ir Achmad Wahyudi (Kabid Pemb.)
Bappeda
Kab Banyumas
41 Bagus Abimanyu (Kasubid Kesmas)
Bappeda
Kab Banyumas
42 dr Widayanto (Kadinkes)
Dinas Kesehatan
Kab Banyumas
43 dr Supraptini (Kabid Yankes)
Dinas Kesehatan
Kab Banyumas
44 Baharudin SKM (Seksi Gizi)
Dinas Kesehatan
Kab Banyumas
45 Suwanseno (Kasie Palawija)
Dinas Pertanian
Kab Banyumas
46 Puji Rahardjo (Seksi pengendalian mutu)
Dinas Pendidikan
Kab Banyumas
47 Suwarno (Kasie Bappeluh)
Badan Ketahanan Pangan
Kab Banyumas
48 Suharyanto (Bidang kelembagaan)
Bapermades
Kab Banyumas
49
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
NTT province, Sikka and Belu districts
No
Title
Institution
1 Representative
2 Representative
3 Representative
4 Representative
5 Representative
6 Representative
7 Representative
8 Representative
9 Representative
10 Representative
11 Representative
12 Representative
13 Bupati
14 Representative
13 Head of Office
14 Head of social politic unit
15 Head of survey
16 Vice Bupati
DPRD
Dinas Sosial
Badan Ketahanan Pangan and Penyuluhan
BPMPD
AusAid - AIPMNH project
Bappeda
Lembage Perlindungan Anak
Dinas Kesehatan
Dinas Pendidikan, Permuda and Olahraga
Dinas Perindustrian and Perdagangan
Dinas Pertanian and Perkebunan
Biro Pemberdayaan Perempuan
Kabupaten
DPRD
BAPPEDA SIKKA
18 Kepala
Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah (BPMD)
Community Empowerment
Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB (BP2&KB)
Women Empowerment and Family Planning
District Government of Sikka
19 Kepala
20 Kepala of Family planning unit
21 Kepala of family welfare unit
22 Kepala of women empowerment and child protection
23 Staff of planning section
Education
24 Kepala
Trade and Industry
25 Secretary
Social and work force
26 Kepala
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
27 Kepala
District Health Office
Puskesmas Waipare
28 Staff of Puskesmas
29 Village Midwife and BF Counselor
Village Midwife Post of Geliting - Puskesmas Waipare
30 Acting head of Puskesmas
Puskesmas Kopeta
31 Village Midwife and BF Counselor
Village Midwife Post of Nangamarang - Puskesmas Kopeta
32 Bupati
District Government of Belu
33 Representative
Dinas Sosial
34 Representative
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
35 Representative
BPMPD
36 Representative
LSM Lokal (PPSE and Yaspem)
37 Representative
Bappeda
38 Representative
Lembaga Perlindungan Anak
39 Representative
Dinas Kesehatan
40 Representative
Dinas Pendidikan, Pemuda and Olahraga
41 Representative
Dinas Perindustrian and Perdagangan
42 Representative
Dinas Pertanian and Perkebunan
Remarks
Province
Province
Province
Province
Province
Province
Province
Province
Province
Province
Province
Province
District Sikka
District Sikka
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Sikka District
Belu District
Belu District
Belu District
Belu District
Belu District
Belu District
Belu District
Belu District
Belu District
Belu District
Belu District
50
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Questionnaires
Preface
Overview of the Landscape Country Assessment Tool
The Landscape Analysis Country Assessment Tool consists of eight main
questionnaires and checklists for assessing commitment and capacity to accelerate
actions to reduce maternal and child undernutrition at national and various subnational levels. In Indonesia, only questionnaires 1 to 6 were used for the country
assessment. Questionnaire 2 was used for the NGOs interviews instead of
questionnaires 7 and 8.
Core package of questionnaires and checklists includes:
Level
Existing tools:
National
1. Semi-structured interview tool for national level stakeholders
(government agencies and other stakeholders such as UN
agencies, donors and NGOs)
Regional /
Provincial
2. Semi-structured interview tool for provincial level stakeholders
(provincial government agencies and regional based NGOs and
other organizations)
District
3. Semi-structured interview tool for district level management staff
Facility
4. Semi-structured interview tool for the facility manager and
nutrition responsible
5. Facility checklist
6. Structured questionnaire for health workers in posyandu,
puskesmas and polindes
Field
7. Semi-structured interview tool for manager of implementing
NGOs
8. Semi-structured interview tool for nutrition coordinator in NGOs
The original tools were have been developed by the Medical Research Council of
Cape Town, South Africa for the WHO Department of Nutrition for Health and
Development and adapted throughout the first six Landscape Assessments in
Madagascar, Burkina Faso, Ghana, Guatemala, Peru and South Africa. Each of these
countries has further enhanced the tools, adapting them to their respective national
situations. A major revamp was done by the South African country team to allow a
nation-wide large scale assessment where a total of almost 1,000 questionnaires were
completed. To facilitate computer based analysis of this amount of questionnaires,
coding fields were added. Due to the high focus on nutrition and HIV in South Africa,
an additional set of tools were developed for use in the ARV clinics (Forms 9 and 10).
Preparations
As part of the preparations for the Landscape Analysis Country Assessment, the
country team has reviewed the tools, select which ones to use and adapt them to the
51
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
national situation. The country team also determined the scope of the assessment,
including scheduling interviews and planning field visits. The Word document
questionnaires can be obtained from WHO Department of Nutrition for Health and
Development, by contacting [email protected].
52
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Form 1. Pemangku Kepentingan Tingkat Pusat
ID:___
Wawancara semi terstruktur untuk instansi
pemerintah dan pemangku kepentingan
yang lain (misalnya: Badan-badan PBB,
Donor, LSM) di tingkat pusat
Tanggal
kunjungan
Tgl
Bln
Thn
Diisi oleh:
Kode
Nasional:
Kode
Instansi:
Kode
Responden:
Nama:
Kode
Jabatan:
Nama:
Kode
Jabatan:
Nama:
Kode
Jabatan:
53
ID:___
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 1. Situasi dan Prioritas Gizi
1.1
Menurut pandangan anda, apa saja tiga masalah utama dalam hal gizi di Indonesia?
(Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1.2
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
Apakah anda merasa bahwa masalah yang teridentifikasi mendapat perhatian dan
ditangani secara memadai dalam rencana aksi, strategi dan kebijakan gizi nasional?
1
Ya
Jelaskan alasan anda:
1.3
0
Tidak
99
Tidak tahu
Kode
Menurut pandangan anda, apa yang menyebabkan timbulnya masalah gizi ini?
(Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1.4
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
Menurut pandangan anda, apa yang menjadi kendala utama dalam meningkatkan skala
program gizi (atau yang terkait masalah gizi)? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
54
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
1.5
Menurut pandangan anda, peluang (opportunity) utama apa saja yang dapat digunakan
untuk meningkatkan skala program aksi gizi? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
Bagian 2. Sistem Koordinasi Gizi
2.1
2.2
Menurut pandangan anda, apa kekuatan/di dalam yang ada saat ini dalam hal koordinasi
program gizi di Indonesia? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
4.
Kode
5.
Kode
Menurut pandangan anda, aspek-aspek utama apakah yang perlu ditingkatkan dalam hal
koordinasi program gizi atau terkait gizi lainnya? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling
utama)
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
4.
Kode
55
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
5.
Kode
Bagian 3. Kebijakan dan kegiatan Gizi di Instansi
3.1
Program/kegiatan spesifik apa, bila ada, yang dilakukan oleh instansi anda berkenaan
dengan program yang terkati dengan gizi?
Kode
3.2
Jelaskan bentuk kegiatan / dukungan yang diberikan oleh instansi anda di berbagai
tingkatan sebagai berikut:
Tingkat
Nasional
Tindakan dan dukungan
Kode
Propinsi
Komunitas
3.3
Di instansi anda, apakah ada kebijakan yang mendukung program/kegiatan ini?
1
Ya
0
Tidak
99
Tidak tahu
Kode
Bila ya, jelaskan.
3.4
Menurut anda, strategi dan program gizi apa yang sekiranya menjadi prioritas untuk
ditingkatkan skala programnya?
Kode
3.5
Bagaimana/seberapa jauh instansi anda memberikan dukungan pada program gizi atau
terkait gizi ?
Kode
56
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 4. Anggaran dan pendanaan
4.1
4.2
4.3
Berapakah kira-kira anggaran tahunan di instansi anda yang dialokasikan untuk program
gizi atau yang terkait dengan gizi?
Tahun ini:
Kode
Tahun lalu:
Kode
Menurut anda, kira-kira berapa persen dari seluruh total anggaran yang dialokasikan untuk
program gizi (atau terkait gizi) di instansi anda?
Tahun ini:
Kode
Tahun lalu:
Kode
Berasal dari mana saja sumber dana untuk program gizi (atau terkait gizi) di instansi
anda?
1
Kode
%
2
Kode
%
3
Kode
%
4
Kode
%
5
Kode
%
4.4
Menurut pendapat anda apakah terdapat cukup dana untuk menangani masalah gizi?
Jelaskan alasannya.
Kode
4.5
Bila tidak, menurut anda apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
anggaran/pendanaan tersebut?
Kode
57
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 5. Sumber daya manusia untuk Gizi
5.1
Menurut anda apakah terdapat cukup staf yang bertanggung jawab untuk program gizi di
instansi anda?
Kode
5.2
Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah di
bidang gizi di Indonesia?
Kode
5.3
Apakah instansi anda memiliki staf yang ditempatkan khusus atau bertanggung-jawab
untuk melaksanakan kegiatan program gizi?
1
Ya
5.3.1
99
Tidak tahu
Kode
Bila ya, sebutkan berapa orang:
dan perkiraan jumlah staf
paruh waktu atau purna waktu di berbagai tingkatan yang berbeda?
Tingkat
Propinsi
5.3.2
0
Tidak
Purna waktu
Kode
Paruh waktu
Kode
Berapa dari mereka yang memiliki gelar minimum D3 Gizi?
Kode
5.4
Menurut anda apakah terdapat cukup petugas yang bertanggung jawab untuk program
gizi di Indonesia?
Kode
5.5
Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah
petugas gizi di Indonesia?
Kode
58
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
5.4
Apa saja pelatihan jangka pendek, jangka panjang dan program magang yang telah diikuti
oleh staf anda dalam dua tahun terakhir terkait dengan gizi?
Tingkat
Internasional
Jumlah staf
yang dilatih
Topik Pelatihan
Kode
Nasional
5.5
Bila tidak ada staf yang telah mengikuti pelatihan terkait dengan program gizi dalam dua
tahun terakhir, mengapa?
Kode
Bagian 6.
6.1
Sistem Informasi Gizi
Jenis data gizi apa saja yang anda gunakan secara rutin?
Kode
6.2
Bagaimana dan siapa yang mengambil dan mengumpulkan data-data tersebut di atas?
Gali lebih dalam: survei, monitoring/laporan rutin, evaluasi/penelitian, dll.
Kode
6.3
Bagaimana instansi anda menggunakan data-data tersebut dan bagaimana anda
menyebarluaskan hasil tersebut?
Kode
Bagian 7. Gizi dan krisis harga pangan
7.1
Sebutkan tiga kelompok (misalnya pedesaan vs perkotaan; konsumen vs produsen;
wilayah propinsi, dll.) yang anda anggap paling terkena imbas kenaikan harga pangan di
propinsi anda?
59
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Kode
1.
2.
3.
7.2
Tindakan-tindakan apakah yang diambil oleh pemerintah propinsi untuk meringankan
imbas dari krisis itu?
Kode
Bagian 8.
8.1
Gizi dalam keadaan darurat (bencana alam)
Kelompok manakah yang menurut anda paling parah terkena imbas bencana alam?
Kode
1.
2.
3.
8.2
Tindakan-tindakan apa yang diambil oleh pemerintah propinsi anda untuk meringankan
efek/ imbas dari keadaan darurat untuk kelompok tsb? (berhubungan dgn pangan & gizi)
Kode
Bagian 9. Advokasi dan Peningkatan Skala
9.1
Dari pengalaman anda, informasi atau pesan khusus apakah yang dapat memudahkan
kerjasama di kalangan mitra gizi (Stakeholders) di propinsi anda?
Kode
9.2
Apakah anda telah menggunakan indikator pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium
(MDG) dalam program gizi ini?
1
Ya
Bila ya, jelaskan:
0
Tidak
99
Tidak tahu
Kode
60
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
9.3
Apakah anda telah mengacu pada UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam
upaya ini?
1
Ya
Bila ya, jelaskan:
9.4
9.6
99
Tidak tahu
Kode
99
Tidak tahu
Kode
Apakah anda telah menggunakan perangkat advokasi?
1
Ya
Bila ya, jelaskan:
9.5
0
Tidak
0
Tidak
Apa intervensi atau dukungan yang dapat dilakukan oleh instansi/ Departemen/ unit untuk
peningkatan cakupan program gizi?
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
Bila instansi/Departemen/ unit anda hanya dapat melaksanakan satu hal dalam
meningkatkan skala untuk peningkatan cakupan program gizi—apakah itu?
Kode
Bagian 10. Pertanyaan penutup
10.1 Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan dalam rangka mempercepat
penurunan gizi kurang pada ibu & baduta (anak di bawah dua tahun)? Jangan
mengarahkan (Prompt) ke opsi berikut; buat peringkat sebagaimana disebutkan oleh
responden atau pihak yang diwawancara.
Peringkat
2, 3)
(1,
Kode
61
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang
lebih baik, pergantian staf yang sering)
Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan
atau trainer yang lebih baik)
Persediaan barang (obat dan sistem logistik yang lebih baik)
Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan/fasilitas yang lebih
baik)
Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar,
pendanaan eksternal/dari luar yang lebih banyak)
Lain-lain
10.2 Apakah ada hal lain yang ingin anda sampaikan agar kami memiliki pemahaman yang
lebih baik mengenai situasi gizi di Indonesia?
Kode
62
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Form 2. Pemangku Kepentingan Tingkat Propinsi
Wawancara semi terstruktur untuk instansi pemerintah
dan pemangku kepentingan yang lain (misalnya:
Badan-badan PBB, Donor, LSM) di tingkat propinsi
Tanggal
kunjungan
Tgl
Bln
Thn
Diisi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Instansi:
Kode
Responden:
Nama:
Kode
Jabatan:
Nama:
Kode
Jabatan:
Nama:
Kode
Jabatan:
63
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 1. Situasi dan Prioritas Gizi
1.1
Menurut pandangan anda, apa saja tiga masalah utama dalam hal gizi di Propinsi
anda?
(Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1.2
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
Apakah anda merasa bahwa masalah yang teridentifikasi mendapat perhatian dan
ditangani secara memadai dalam rencana aksi, strategi dan kebijakan gizi nasional
atau propinsi?
1
Ya
Jelaskan alasan anda:
1.3
0
Tidak
99
Tidak tahu
Kode
Menurut pandangan anda, apa yang menyebabkan timbulnya masalah gizi ini?
(Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1.4
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
Menurut pandangan anda, apa yang menjadi kendala utama dalam meningkatkan
skala program gizi (atau yang terkait masalah gizi) di propinsi anda? (Tuliskan berdasarkan
urutan dari yang paling utama)
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
64
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
1.5
Menurut pandangan anda, peluang (opportunity) utama apa saja yang dapat
digunakan untuk meningkatkan skala program aksi gizi? (Tuliskan berdasarkan urutan dari
yang paling utama)
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
Bagian 2. Sistem Koordinasi Gizi
2.1
2.2
Menurut pandangan anda, apa kekuatan/di dalam yang ada saat ini dalam hal
koordinasi program gizi di Indonesia? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
4.
Kode
5.
Kode
Menurut pandangan anda, aspek-aspek utama apakah yang perlu ditingkatkan dalam
hal koordinasi program gizi atau terkait gizi lainnya? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang
paling utama)
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
4.
Kode
65
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
5.
Kode
Bagian 3. Kebijakan dan kegiatan Gizi di Instansi
3.1
Program/kegiatan spesifik apa, bila ada, yang dilakukan oleh instansi anda berkenaan
dengan program yang terkati dengan gizi?
Kode
3.2
Jelaskan bentuk kegiatan / dukungan yang diberikan oleh instansi anda di berbagai
tingkatan sebagai berikut:
Tingkat
Propinsi
Tindakan dan dukungan
Kode
Kabupaten/
Kota
Komunitas
3.3
Di instansi anda, apakah ada kebijakan yang mendukung program/kegiatan ini?
1
Ya
0
Tidak
99
Tidak tahu
Kode
Bila ya, jelaskan.
3.4
Menurut anda, strategi dan program gizi apa yang sekiranya menjadi prioritas untuk
ditingkatkan skala programnya?
Kode
3.5
Bagaimana/seberapa jauh instansi anda memberikan dukungan pada program gizi
atau terkait gizi ?
Kode
66
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 4. Anggaran dan pendanaan
4.1
4.2
4.3
Berapakah kira-kira anggaran tahunan di instansi anda yang dialokasikan untuk
programgizi atau yang terkait dengan gizi?
Tahun ini:
Kode
Tahun lalu:
Kode
Menurut anda, kira-kira berapa persen dari seluruh total anggaran yang dialokasikan
untuk program gizi (atau terkait gizi) di instansi anda?
Tahun ini:
Kode
Tahun lalu:
Kode
Berasal dari mana saja sumber dana untuk program gizi (atau terkait gizi) di instansi
anda?
1
Kode
%
2
Kode
%
3
Kode
%
4
Kode
%
5
Kode
%
4.4
Menurut pendapat anda apakah terdapat cukup dana untuk menangani masalah gizi di
propinsi anda Jelaskan alasannya.
Kode
4.5
Bila tidak, menurut anda apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
anggaran/pendanaan tersebut?
Kode
67
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 5. Sumber daya manusia untuk Gizi
5.1
Menurut anda apakah terdapat cukup staf yang bertanggung jawab untuk program gizi
di instansi anda?
Kode
5.2
Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah di
bidang gizi di Indonesia?
Kode
5.3
Apakah instansi anda memiliki staf yang ditempatkan khusus atau bertanggung-jawab
untuk melaksanakan kegiatan program gizi?
1
Ya
5.3.1
99
Tidak tahu
Kode
Bila ya, sebutkan berapa orang:
dan perkiraan jumlah staf
paruh waktu atau purna waktu di berbagai tingkatan yang berbeda?
Tingkat
Propinsi
5.3.2
0
Tidak
Purna waktu
Kode
Paruh waktu
Kode
Berapa dari mereka yang memiliki gelar minimum D3 Gizi?
Kode
5.4
Menurut anda apakah terdapat cukup petugas yang bertanggung jawab untuk
program gizi di seluruh propinsi anda?
Kode
5.5
Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah
petugas gizi di propinsi anda?
Kode
68
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
5.4
Apa saja pelatihan jangka pendek, jangka panjang dan program magang yang telah
diikuti oleh staf anda dalam dua tahun terakhir terkait dengan gizi?
Tingkat
Internasional
Jumlah staf
yang dilatih
Topik Pelatihan
Kode
Nasional
propinsi
5.5
Bila tidak ada staf yang telah mengikuti pelatihan terkait dengan program gizi dalam
dua tahun terakhir, mengapa?
Kode
Bagian 6.
6.1
Sistem Informasi Gizi
Jenis data gizi apa saja yang anda gunakan secara rutin?
Kode
6.2
Bagaimana dan siapa yang mengambil dan mengumpulkan data-data tersebut di atas?
Gali lebih dalam: survei, monitoring/laporan rutin, evaluasi/penelitian, dll.
Kode
6.3
Bagaimana instansi anda menggunakan data-data tersebut dan bagaimana anda
menyebarluaskan hasil tersebut ke tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota dan
pemangku kepentingan yang lain di bidang gizi?
Kode
69
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 7. Gizi dan krisis harga pangan
7.1
Sebutkan tiga kelompok (misalnya pedesaan vs perkotaan; konsumen vs produsen;
wilayah propinsi, dll.) yang anda anggap paling terkena imbas kenaikan harga pangan
di propinsi anda?
Kode
1.
2.
3.
7.2
Tindakan-tindakan apakah yang diambil oleh pemerintah propinsi untuk meringankan
imbas dari krisis itu?
Kode
Bagian 8.
8.1
Gizi dalam keadaan darurat (bencana alam)
Kelompok manakah yang menurut anda paling parah terkena imbas bencana alam?
1.
Kode
2.
3.
8.2
Tindakan-tindakan apa yang diambil oleh pemerintah propinsi anda untuk meringankan
efek/ imbas dari keadaan darurat untuk kelompok tsb? (berhubungan dgn pangan &
gizi)
Kode
Bagian 9. Advokasi dan Peningkatan Skala
9.1
Dari pengalaman anda, informasi atau pesan khusus apakah yang dapat memudahkan
kerjasama di kalangan mitra gizi (Stakeholders) di propinsi anda?
Kode
70
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
9.2
Apakah anda telah menggunakan indikator pencapaian Tujuan Pembangunan
Milenium (MDG) dalam program gizi ini?
1
Ya
Bila ya, jelaskan:
9.3
9.6
Kode
0
Tidak
99
Tidak tahu
Kode
99
Tidak tahu
Kode
Apakah anda telah menggunakan perangkat advokasi?
1
Ya
Bila ya, jelaskan:
9.5
99
Tidak tahu
Apakah anda telah mengacu pada UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam upaya ini?
1
Ya
Bila ya, jelaskan:
9.4
0
Tidak
0
Tidak
Apa intervensi atau dukungan yang dapat dilakukan oleh instansi/ Departemen/ unit
untuk peningkatan cakupan program gizi?
1.
Kode
2.
Kode
3.
Kode
Bila instansi/Departemen/ unit anda hanya dapat melaksanakan satu hal dalam
meningkatkan skala untuk peningkatan cakupan program gizi—apakah itu?
Kode
71
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 10. Pertanyaan penutup
10.1 Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan propinsi dalam rangka
mempercepat penurunan gizi kurang pada ibu & baduta (anak di bawah dua tahun)?
Jangan mengarahkan (Prompt)
ke opsi berikut; buat peringkat sebagaimana
disebutkan oleh responden atau pihak yang diwawancara.
Peringkat
2, 3)
(1,
Kode
Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang
lebih baik, pergantian staf yang sering)
Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan
atau trainer yang lebih baik)
Persediaan barang (obat dan sistem logistik yang lebih baik)
Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan/fasilitas yang lebih
baik)
Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar,
pendanaan eksternal/dari luar yang lebih banyak)
Lain-lain
10.2 Apakah ada hal lain yang ingin anda sampaikan agar kami memiliki pemahaman yang
lebih baik mengenai situasi gizi di propinsi anda?
Kode
72
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Form 3. Staf Manajemen di tingkat Kabupaten/
Kota
ID:___
Wawancara semi terstruktur
Tanggal
kunjungan
Tgl
Bln
Thn
Dilengkapi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Kabupaten:
Kode
Dinas di kabupaten:
1 Dinas Kesehatan
2 Dinas Pertanian
3 Badan Ketahanan Pangan
4 Bappeda
5
6
7
8
9
77 Lain-lain:
Kode
Responden:
1 Kepala
2 Program officer bagian gizi
3 Program officer Kesehatan Ibu dan Anak
4 Pekerja kesehatan masyarakat
5 Relawan/ pendamping non profesi
77 Lain-lain: _____________________________
Kode
73
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 1
1.1
Kegiatan dan Program Gizi
Apa saja kegiatan utama yang paling penting di bidang gizi yang tercakup dalam
rencana aksi kabupaten saat ini?
Kode
1.2
Apa saja kegiatan gizi berbasis masyarakat yang dipromosikan untuk dilaksanakan di
kabupaten anda? Bacakan satu persatu di bawah ini dan tanyakan kegiatan apa saja
yang dilakukan
1.2.1 Gizi ibu:
Kode
1.2.2 Pemberian ASI:
Kode
1.2.3 Pemberian MP ASI:
Kode
1.2.4 Pencegahan kekurangan gizi mikro:
Kode
1.2.5 Penurunan prevalensi anak pendek (stunting)
Kode
1.2.5 Identifikasi dan manajemen gizi buruk dan gizi kurang:
1.2.6 Pencegahan dan Penanggulangan Diare pada anak:
1.2.7 Pemberian ASI oleh ibu yang menderita HIV/AIDS:
1.2.8 Pola makan dan kegiatan fisik (olah raga) untuk mencegah kelebihan berat badan:
74
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
1.2.9 Pencegahann kecacingan pada anak dan ibu hamil (PHBS, dan program pencegahan
kecacingan
1.2.11 Pencegahan malaria pada anak-anak dan ibu hamil (mis, intermittent treatment,
distribusi kelambu)
1.2.12 Pencegahan penyakit menular untuk balita dan ibu (WUS?) (mis. Imunisasi)
1.2.13 Keluarga Berencana
1.2.14 Lain-lain
1.3
Sebutkan tiga kelompok (pedesaan vs perkotaan; konsumen vs produsen; wilayah
tertentu, dll.) yang anda anggap paling terkena imbas kenaikan harga pangan di
kabupaten anda?
1.
Kode
2.
3.
1.4
Tindakan-tindakan apakah yang diambil oleh pemerintah pusat, propinsi/ kabupaten
untuk meringankan imbas dari krisis di kabupaten anda?
Kode
1.5
Dengan cara apa kabupaten memberlakukan Kode Internasional Pemasaran PASI
(Produk Pengganti ASI) atau International Code of Marketing of Breast-milk
Substitutes?
Kode
1.6
Berapa jumlah fasilitas kesehatan di kabupaten anda yang mendapatkan sertifikat
Rumah Sakit Sayang Bayi atau Baby-Friendly Hospital Initiative (BFHI)?
Kode
1.7
Berapa jumlah fasilitas kesehatan yang dalam proses -menjadi Rumah Sakit Sayang
Bayi?
75
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Kode
1.8
Menurut anda, apakah pesan-pesan gizi yang dikomunikasikan di tingkat
masyarakat?
Bila Ya, bagaimana pesanpesan itu dikomunikasikan?
Kode
1.8.1 Penurunan Anemia Ibu
1
Ya
0
Tdk
1.8.2 Pemberian ASI eksklusif
1
Ya
0
Tdk
Pemberian MP ASI yang
optimal
Suplementasi Zink untuk
penanganan diare
Suplementasi Vitamin A
untuk balita
Suplementasi Vitamin A
untuk ibu nifas
Konsumsi garam
beryodium
Penurunan angka anak
pendek
Penanganan gizi buruk dan
gizi kurang
Pencegahan dan perawatan
diare pada anak
Pemberian ASI dalam
konteks HIV/AIDS
Pola makan sehat dan
kegiatan fisik/olah raga
untuk mencegah kelebihan
berat badan
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tidak
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1.8.1
Lain-lain: _____________
3
1
Ya
0
Tdk
1.8.3
1.8.4
1.8.5
1.8.6
1.8.7
1.8.8
1.8.9
1.8.1
0
1.8.1
1
1.8.1
2
Bagian 2. Tanggung Jawab dan Koordinasi
2.1
Dalam tim kabupaten/ Kota, siapa yang memiliki tanggung jawab utama untuk program
gizi?
Kode
1 Kepala Dinas
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1
Ya
1
Ya
0
Tdk
0
Tdk
99
Tdk Tahu
99
Tdk Tahu
2 Kepala bidang ____________________
3 Kepala Seksi _____________________
77 Lain-lain:______________________________
76
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
77 Lain-lain:______________________________
2.2
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
Pelatihan apakah yang telah diikuti oleh penanggung jawab utama (di atas) yang
berkaitan dengan gizi ?
Kode
2.3
Bila ada, tanggung jawab terkait non-gizi apakah yang dimiliki oleh orang tersebut?
Kode
2.3
Dalam kalangan pemerintah, apakah ada pihak lain yang mengurus masalah gizi di
kabupaten anda? Siapa? Sebutkan kegiatan gizi yang telah mereka laksanakan
Kode
2.4
Bagaimana kegiatan gizi dikoordinasikan di kabupaten? Bagaimana susunan
kelembagaan yang ada dan seberapa sering pertemuan/ rapat diselenggarakan?
Kode
2.5
Siapa yang menyusun dan mengembangkan rencana dan strategi gizi di kabupaten,
dan apakah ini sudah disusun?
Kode
Bagian 3. Anggaran dan Pendanaan
3.1
Dapatkan anda memperkirakan berapa anggaran tahunan di instansi anda yang
dialokasikan untuk program gizi ini?
Tahun ini:
Kode
77
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Tahun lalu:
3.2
Kode
Menurut perkiraan, jumlah yang dianggarkan ini berapa persen dari keseluruhan total
anggaran?
Tahun ini:
%
Tahun lalu:
%
Kode
Kode
3.3
Sumber pendanaan kegiatan gizi apa dan dari mana saja yang diimplementasikan oleh
instansi anda untuk kegiatan gizi?
1
Kode
%
2
Kode
%
3
Kode
%
4
Kode
%
5
Kode
%
3.4
Menurut pendapat anda, apakah terdapat cukup pendanaan untuk menangani
keadaan gizi di kabupaten anda? Jelaskan alasan anda.
Kode
3.5
Bila tidak, apakah anda mempunyai rencana atau gagasan untuk meningkatkan
pendanaan?
Kode
Bagian 4. Sumber daya manusia untuk Gizi
4.1
Menurut anda apakah terdapat cukup staf yang bertanggung jawab untuk program gizi
di instansi anda?
Kode
78
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
4.2
Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah di
bidang gizi di Indonesia?
Kode
4.3
Apakah instansi anda memiliki staf yang ditempatkan khusus atau bertanggung-jawab
untuk melaksanakan kegiatan program gizi?
1
Ya
4.3.1
99
Tidak tahu
Kode
Bila ya, sebutkan berapa orang:
dan perkiraan jumlah staf
paruh waktu atau purna waktu di berbagai tingkatan yang berbeda?
Tingkat
Propinsi
4.3.2
0
Tidak
Purna waktu
Kode
Paruh waktu
Kode
Berapa dari mereka yang memiliki gelar minimum D3 Gizi?
Kode
4.4
Menurut anda apakah terdapat cukup petugas yang bertanggung jawab untuk
program gizi di seluruh propinsi anda?
Kode
4.5
Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah
petugas gizi di propinsi anda?
Kode
4.6
Apa saja pelatihan jangka pendek, jangka panjang dan program magang yang telah
diikuti oleh staf anda dalam dua tahun terakhir terkait dengan gizi?
Tingkat
Internasional
Jumlah staf
yang dilatih
Topik Pelatihan
Kode
Nasional
propinsi
4.7
Bila tidak ada staf yang telah mengikuti pelatihan terkait dengan program gizi dalam
dua tahun terakhir, mengapa?
Kode
79
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 5. Pelatihan
5.1
Pelatihan mengenai gizi apa saja yang telah ada / dilaksanakan di kabupaten anda
dalam dua tahun terakhir?
A. Pelatihan
(Judul, organisasi penyelenggara)
5.2
B. Partisipan
(jumlah peserta dan asal instansi)
Kode
Bagaimana pelatihan dipantau dan ditindaklanjuti? Gali juga informasi mengenai
keberadaan pelatihan penyegaran dan pelatihan di lokasi.
Uraikan:
Kode
Bagian 6. Sistem Manajemen Informasi
6.1
Data/laporan gizi paling penting apakah yang secara rutin dikumpulkan di tingkat
kabupaten/kota?
Kode
6.2
Bagaimana anda menggunakan laporan ini?
Kode
80
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
6.3
Apakah anda pernah menerima umpan balik mengenai laporan gizi yang anda kirimkan
ke tingkat propinsi atau nasional ?
1
Ya
6.4
0
Tidak
99
Tidak Tahu
Kode
Bila ya, apakah umpan balik tersebut berguna? Dan bagaimana anda menggunakan
umpan balik ini?
Kode
Bagian 7. Sistem Manajemen, Supervisi dan dukungan
7.1
Seberapa sering orang yang bertanggung jawab atas gizi mengunjungi fasilitas
kesehatan dan/atau masyarakat untuk memberikan dukungan program gizi?
1
Setiap hari
7.2
7.3
2
Setiap minggu
3
Setiap bulan
4
Tidak terlalu sering
Kode
Dalam kaitannya dengan kegiatan gizi, bagaimana caranya pemerintah daerah
berkomunikasi
7.2.1 dengan Mitra (pemerintah dan non pemerintah) di kabupaten:
Kode
7.2.2 dengan kantor di tingkat propinsi dan di pusat
Kode
Dukungan apa yang telah diterima oleh kabupaten anda selama dua tahun terakhir
agar tim gizi mampu melaksanakan pembuatan program, perencanaan gizi dan
implementasinya?
Untuk pelatihan, dukungan anggaran, penelitian dan kunjungan lapangan, gali lebih
dalam.
Kode
81
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 8. Pertanyaan Penutup
8.1
Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan kabupaten dalam rangka
mempercepat penurunan kekurangan gizi? Jangan mengarahkan ke opsi berikut, buat
peringkat sebagaimana disebutkan oleh responden atau pihak yang diwawancara.
Peringkat
2, 3)
(1,
Kode
Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang
lebih baik, minimalnya pergantian staf)
Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan
atau trainer yang lebih baik)
Persediaan barang (obat dan sistem logistik yang lebih baik)
Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan yang lebih baik)
Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar,
pendanaan eksternal yang lebih banyak)
Lain-lain
8.2
Apakah ada hal lain yang ingin anda sampaikan agar kami memiliki pemahaman yang
lebih baik mengenai situasi gizi di kabupaten anda?
Kode
82
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
ID:___
Form 4. Manajer Fasilitas Kesehatan dan
Pengelola dan Penanggung jawab Program Gizi
Wawancara Kelompok semi terstruktur
Tanggal
kunjungan
Tgl
Bln
Thn
Dilengkapi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Kabupaten:
Kode
Fasilitas Kesehatan:
Kode
1 Pusat Kesehatan Masyarakat
77 Lain-lain:
Unit:
1 Unit Rawat Jalan
2 Unit bersalin/ kebidanan
3 Bangsal Anak
4 Rawat Inap
5 Management
77 Lain-lain:
Responden :
1) Manajer
Fasilitas
2) Penanggung
jawab program
gizi
1 Ada
Hadir:
1 Kepala Puskesmas
2 Dokter/Dokter Gigi
3 Perawat
4 Perawat pembantu
5 Bidan
6 Ahli gizi/ Ahli Diet
7 Petugas Gizi/ Penasihat /Penyuluh
Kode
0
Tidak ada
0
Tidak ada
Kode
Kode
83
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Gizi/Pembantu Ahli Gizi
8 Petugas kesehatan masyarakat
(Jurim/Sanitarian)
9 Relawan/ Honorer
10 Petugas administrasi/ karyawan
77 Lainlain:________________________
Bagian 1 Kegiatan Gizi dan Pengintegrasian ke Program Lain
1.1
Kegiatan utama terkait gizi apa saja yang dilaksanakan di puskesmas ini?
Kode
1.2
Apakah puskesmas anda melaksanakan kegiatan gizi berikut ini di masyarakat?
(Bacakan/tanyakan sesuai list di bawah ini)
Kode
1.2.1. Suplementasi tablet besi folat bagi ibu
hamil
1.2.2. Suplementasi multivitamin dan
mineral bagi ibu hamil
1.2.3. Suplementasi tablet kalsium bagi Ibu
hamil
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.4. Promosi Pemberian ASI
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.5. Promosi pemberian makanan
pendamping ASI lokal
1.2.6. Suplementasi kapsul Vitamin A bagi
balita
1.2.7. Suplementasi Vitamin A bagi ibu
nifas
1.2.8. Suplementasi tabur gizi (Vitalita/Mix
Met/Taburia) untuk balita
1.2.9. Distribusi makanan tambahan (mis.
bubur/biskuit berfortifikasi, dll) untuk balita
1.2.10. Distribusi makanan tambahan (mis
Mie berfortifikasi) untuk ibu hamil
1.2.11. Suplementasi tablet zink untuk balita
(bagian dari penanganan diare)
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.12. Promosi garam beryodium
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.13. Promosi dan pemantauan tumbuh
kembang anak
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
84
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
1.3
1.2.14. Penanganan gizi kurang pada balita
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.15. Penanganan gizi buruk pada balita
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.16. Penyuluhan/promosi pemberian
makan bagi anak sakit
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.17. Promosi cuci tangan dengan sabun
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.18. Promosi Pemberian tablet cacing
(untuk anak dan ibu hamil)
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.19. Promosi kelambu berobat
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.20. Pengobatan malaria pada saat
kehamilan
1.2.21. Pemberian ASI dalam konteks`
HIV/AIDS
1.2.22.Pola hidup sehat dan gizi seimbang
untuk mencegah kelebihan berat badan
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.23 Keluarga Berencana
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.24. Lain-lain:
__________________________
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
Bagaimana gizi diintegrasikan ke program atau kegiatan pelayanan kesehatan dasar?
Untuk menggali lebih dalam: Bagaimana gizi diintegrasikan ke dalam MTBS (Management Terpadu Balita
Sakit), Kesehatan ibu, kesehatan remaja, HIV/AIDS dll.
Kode
1.4
Jelaskan bagaimana penyuluhan dan konseling gizi dijalankan di puskesmas ini.
Untuk menggali lebih dalam: Siapa yang bertanggung jawab, kapan dan dimana kegiatan itu dilangsungkan.
materi yang diberikan
Kode
1.5
Bagaimana pendapat bapak/ibu terhadap program dan pelayanan gizi di puskesmas
ini?
Kode
1.6
Siapa yang biasanya memberikan pelayanan gizi di fasilitas kesehatan ini?
(Jangan dibacakan list di bawah ini)
Kode
85
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
1. Kepala Puskesmas
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
2. Dokter/Dokter Gizi
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
3. Perawat
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
4. Perawat pembantu
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
5. Bidan
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
6. Ahli gizi/ ahli diet
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
7. Penyuluh / Petugas Gizi /Pembantu
Ahli Gizi
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
8. Petugas program lain
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
9. Petugas kesehatan masyarakat
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
10. Relawan/ Honorer
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
11. Petugas administrasi
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
77. Lainlain:________________________
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
86
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 2. Pelatihan, Bahan dan Sumber daya
2.1
Di puskesmas ini, siapa saja yang telah mendapatkan menerima pelatihan terkait
gizi dua tahun terakhir? (Jangan Bacakan List di bawah ini)
Kod
e
2.2
1. Kepala Puskesmas
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
2. Dokter/Dokter Gigi
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
3. Perawat
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
4. Perawat pembantu
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
5. Bidan
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
6. Ahli gizi/ ahli diet
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
7. Penyuluh / Petugas Gizi
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
8. Petugas program lain
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
9. Pekerja kesehatan masyarakat
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
10. Relawan/ penyuluh non profesi
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
11. Petugas administrasi
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
77. Lainlain:________________________
1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
Berapa banyak dari staf di atas yang telah menerima pelatihan gizi itu masih bekerja di
sini?
1
Semua
2.3
2
Sebagian
besar
3
Beberapa
4
Tdk ada
77
Lain-lain
99
Kode
Tdk tahu
Untuk masing-masing bidang berikut, apakah ada dari staf puskesman yang telah
menerima pelatihan dan /atau memberikan pelatihan ke pihak lainnya?
Kode
2.3.1
2.3.2
2.3.3
2.3.4
2.3.5
Gizi ibu
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
Konseling Pemberian
ASI
Pelatihan (dukungan
dan manajemen
Pemberian ASI)
Konseling pemberian
MP-ASI
Suplementasi Zink
untuk penanganan diare
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
0
Tidak sama
sekali
0
Tidak sama
sekali
0
Tidak sama
sekali
0
Tidak sama
sekali
87
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
0
Tidak sama
sekali
0
Tidak sama
sekali
Suplementasi Kapsul
Vitamin A bagi balita
Suplementasi Kapsul
2.3.7
Vitamin A bagi bufas
Pemberian tabur gizi
(vitalita/Mix
2.3.8
Me/Taburia) untuk
balita
Pemberian tablet multi2.3.9 vitamin dan mineral
untuk bumil dan bufas
Pemantauan dan
2.3.10 promosi tumbuh
kembang
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.11 Penanganan gizi kurang
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
2.3.12 Penanganan Gizi buruk
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
Pencegahan dan
2.3.13 perawatan untuk anak
diare
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.6
Pemberian ASI dalam
2.3.14 konteks Konseling HIV/
AIDS
Kegiatan fisik dan
makan sehat untuk
2.3.15
mencegah kelebihan
berat badan.
Pencegahan
2.3.16
Kecacingan
Pencegahan Penyakit
Menular lainnya.
Sebutkan___________
2.3.17 __
___________________
_
0
Tidak sama
sekali
0
Tidak sama
sekali
2.3.18 Keluarga Berencana
Pencegahan Malaria
pada ibu hamil
Lain-lain:
2.3.20
__________________
2.3.19
2.4
Apakah ada pemantauan atau tindak lanjut dari kegiatan pelatihan gizi yang dilakukan
dalam dua tahun terakhir di puskesmas ini.
1
Ya
0
Tdk
Kode
88
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bila Ya, jelaskan:
Bagian 3.
3.1
Dukungan Masyarakat
Bagaimana puskesmas bekerjasama/melibatkan dengan masyarakat untuk
meningkatkan: (Dibacakan Satu Persatu)
Pertanyaan untuk menggali: peran kader, suami, dukun, tokoh agama/ masyarakat dll.
3.1.1 Gizi Ibu
Kode
3.1.2 Pemberian ASI:
Kode
3.1.3 Pemberian Makanan Pendamping ASI lokal
Kode
3.1.4 Pencegahan Kekurangan Gizi Mikro (misalnya Vitamin A
untuk balita dan Ibu Nifas, supplementasi multivitamin & mineral
untuk Ibu Hamil, tabur gizi balita, garam beryodium):
Kode
3.1.5 Identifikasi dan penanganan gizi kurang
Kode
3.1.6 Pengidentifikasian dan penanganan gizi buruk
Kode
3.1.7 Pencegahan dan perawatan balita diare
Kode
89
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
3.1.8 Pemberian ASI (Menyusui) dalam konteks HIV/AIDS
Kode
3.1.9 Pola hidup sehat (Kegiatan fisik dan gizi seimbang) untuk
mencegah kelebihan berat badan
Kode
3.1.10 Pencegahan Kecacingan
Kode
3.1.11 Pencegahan Malaria (Pengobatan, dan distribusi kelambu)
3.1.12 Pemberian Imunisasi
3.1.13 Keluarga Berencana
Lain-Lain, Sebutkan:
3.2
Selain posyandu, apakah ada kegiatan sosmob (mobilisasi masyarakat) terkait gizi
yang sudah diprakarsai oleh puskesmas dalam dua tahun terakhir?
Kode
3.3
Menurut pendapat bapak/ibu, bagaimana agar masyarakat dapat mendukung
pemberian ASI (eksklusif dilanjutkan hingga dua tahun dengan makanan pendamping)
secara lebih baik?
Pertanyaan untuk menggali: peran relawan, suami, Bidan, pemuka masyarakat, tokoh agama dll.
Kode
90
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 4.
4.1
Dukungan
Seberapa sering pertemuan/rapat formal diadakan dengan staf gizi kabupaten?
1
Setiap hari
4.2
3
Setiap bulan
4
Jarang
5
Tidak
Pernah
Kode
Seberapa sering pertemuan/rapat diadakan dengan staf gizi propinsi setahun terakhir?
1
Setiap hari
4.3
2
Setiap
minggu
2
Setiap
minggu
3
Setiap bulan
4
Jarang
5
Tidak
Pernah
Kode
Apakah anda merasa bahwa anda menerima dukungan yang memadai dari staf gizi di
tingkat kabupaten dalam setahun terakhir?
1
Ya
4.3a
0
Tdk
Kode
Bila Ya, jelaskan:
Kode
4.3b
Bila tidak, berikan alasan dan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
/ memperbaiki keadaan ini. Berikan contoh spesifiknya.
Kode
Bagian 5.
5.1
Pengelolaan program Gizi
Siapa yang mengelola program gizi di puskesmas ini?
Kode
1 Kepala Puskesmas
2 Dokter/Dokter Gigi
3 Perawat
4 Perawat pembantu
5 Bidan
6 Ahli gizi/ Ahli Diet
7 Petugas Gizi/ Penasihat /Penyuluh Gizi/Pembantu Ahli Gizi
91
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
8 Petugas kesehatan masyarakat (Jurim/Sanitarian)
9 Relawan/ Honorer
10 Petugas administrasi/ karyawan
77. Lain-lain:________________________
5.2
Sebutkan porsi waktu yang dihabiskan untuk memberikan konseling/penyuluhan gizi
dalam sebulan terakhir?
Proporsi:
5.4
Kode
Apakah Tenaga Pelaksana Gizi di Puskesmas ini memiliki latar belakang pendidikan
formal gizi?
1
Ya
5.5
99
Tidak
tahu
%
0
Tdk
Kode
Apakah Tenaga Pengelola Gizi di Puskesmas ini pernah menerima pelatihan mengenai
gizi dalam dua tahun terakhir?
1
Ya
0
Tdk
Kode
5.4 Bila ya, pelatihan gizi apakah yang dia ikuti?
Kode
Bagian 6.
6.1
Rujukan dan konseling Gizi
Siapa yang melaksanakan konseling/penyuluhan di fasilitas kesehatan ini?
1
Staf terlatih dalam
gizi
2
Staf tidak secara
resmi terlatih dalam
gizi
Bila jawabannya 1 atau 2, sebutkan:
6.2
99
Tidak tahu
Kode
Apakah ada ruang yang dikhususkan untuk konseling gizi ?
1
0
Kode
92
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Ya
6.3
Apakah ada hari khusus di tiap minggu atau bulan dimana pelayanan konseling gizi
dapat dilakukan dengan memesan waktu?
1
Ya
6.4
Tdk
0
Tdk
Kode
Berapa jumlah rata-rata pasien per bulan yang mendapatkan konseling gizi?
Kode
6.5
Kasus apa yang paling umum dirujuk?
Kode
93
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 7.
7.1
Pertanyaan Penutup
Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan puskesmas dalam rangka
mempercepat penurunan kekurangan gizi? Jangan mengarahkan ke opsi berikut, buat
peringkat sebagaimana disebutkan oleh responden atau pihak yang diwawancara.
Peringkat
2, 3)
(1,
Kode
Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang
lebih baik, minimnya rotasi staf)
Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan
atau trainer yang lebih baik)
Persediaan barang (obat dan sistem supply yang lebih baik)
Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan yang lebih baik)
Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar,
pendanaan yang lebih banyak)
Lain-lain
7.2
Apakah ada hal lain yang menurut pendapat anda ingin anda sampaikan ke kami agar
kami memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai situasi gizi di puskesmas anda?
Kode
94
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Formulir 5 Daftar Tilik Puskesmas
ID:___
Tanggal
kunjungan
Tgl
Bln
Thn
Diisi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Kabupaten/Kota:
Kode
Fasilitas Kesehatan:
Kode
1 Puskesmas
77 Lain-lain:
Unit:
1 Bagian Rawat Jalan
2 Bagian Rawat Inap
3 Unit bersalin/ kebidanan
4 Bangsal Anak
77 Lain-lain:
Responden:
1 Kepala Puskesmas
2 Dokter/Dokter Gigi
3 Perawat
4 Perawat pembantu
5 Bidan
6 Ahli gizi/ Ahli Diet
7 Petugas Gizi/ Penasihat /Penyuluh Gizi/Pembantu Ahli Gizi
8 Petugas kesehatan masyarakat (Jurim/Sanitarian)
9 Relawan/ Honorer
10 Petugas administrasi/ karyawan
77 Lain-lain:________________________
Kode
Kode
95
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 1. Ketersediaan Bahan Program Gizi
Minta petugas untuk menunjukkan Buku/Pedoman Bahan Program Gizi
Bahan / Buku
Ketersediaan
Pedoman/Protap Suplementasi
Tablet Besi Folat bagi Ibu
Pedoman/Protap Suplementasi
Multivitamin dan Mineral bagi
Ibu Hamil
Pedoman/Protap Suplementasi
Kalsium bagi Ibu
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1.4
Pedoman/Protap Konseling
Menyusui/ASI
1
Ya
0
Tdk
1.5
10 langkah Keberhasilan
Menyusui
1
Ya
0
Tdk
1.6
Pedoman/Protap Penyuluhan
tentang MP ASI
1
Ya
0
Tdk
1.7
Pedoman/Protap Suplementasi
vitamin A bagi Balita
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1.1
1.2
1.3
Pedoman/Protap Suplementasi
vitamin A bagi Bufas
Pedoman/Protap Suplementasi
1.9 Zink bagi anak (Reguler atau
Selama Diare)
Pedoman/Protap Pemantauan
1.10 dan Promosi Tumbuh
Kembang Anak
Keterangan
Kode
1.8
1.11
Pedoman/Protap Penanganan
Gizi Kurang
1
Ya
0
Tdk
1.12
Pedoman/Protap Penanganan
Gizi Buruk
1
Ya
0
Tdk
1.13
Register/Laporan Penanganan
Gizi Buruk
1
Ya
0
Tdk
1.14
Pedoman/Protap Pemberikan
Makan Anak Sakit
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
Manual MTBS Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Pedoman/Protap Pemberian
1.16 Makan Bayi dalam Konteks
HIV/AIDS
Pedoman Umum Gizi
1.17
Seimbang (PUGS)
1.15
96
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Laporan Informasi Kesehatan
1.18 Bulanan
1.19
Lain-lain:
___________________
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
Bagian 2. Ketersediaan Bahan KIE Gizi (Poster/Lembar
Balik/Pamflet)
** Minta Petugas untuk menunjukkan KIE
Materi/Bahan
Ketersediaan
2.1
Gizi selama kehamilan
1
Ya
0
Tdk
2.2
Anemia pada WUS dan Ibu
Hamil
1
Ya
0
Tdk
2.3
Pemberian ASI Ekslusif
1
Ya
0
Tdk
2.4
Pemberian MP ASI yang Optimal
1
Ya
0
Tdk
2.5
Suplementasi Vitamin A bagi
Balita
1
Ya
0
Tdk
2.6
Suplementasi Vitamin A bagi Bufas
1
Ya
0
Tdk
2.7
Suplementasi Zink bagi Balita
(secara reguler dan pada saat diare)
1
Ya
0
Tdk
2.8
Pemberian tabur gizi (vitalita/mixme/taburia) untuk balita
1
Ya
0
Tdk
2.9
Konsumsi garam beryodium
1
Ya
0
Tdk
2.10
Penanganan/Manajemen Gizi
Kurang
1
Ya
0
Tdk
2.11
Penanganan/Manajemen Gizi Buruk
1
Ya
0
Tdk
2.12
Pemberian Makan bagi Anak Sakit
1
Ya
0
Tdk
2.13
Cuci Tangan dengan Sabun
1
Ya
0
Tdk
2.14
Pemberian Obat Cacing (ibu hamil
dan anak)
1
Ya
0
Tdk
2.15
Penggunaan kelambu berobat
1
Ya
0
Tdk
Keterangan
Kode
97
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Pemberian ASI dalam Konteks
HIV/AIDS
Kegiatan Fisik dan Makan Sehat
2.17 untuk mencegah Kelebihan Berat
Badan
Panduan Pangan dan Materi
2.18
Pendidikan Gizi yang lainnya.
2.16
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
2.19
Keluarga Berencana
1
Ya
0
Tdk
2.20
Buku KIA
1
Ya
0
Tdk
2.21
Imunisasi
1
Ya
0
Tdk
2.22
Lain-lain :
____________________
1
Ya
0
Tdk
Bagian 3.
lain
Ketersediaan Obat-obatan dan Barang / Pasokan
Keterangan(misal jenis, dosis,
Barang
3.1
Tablet Besi Folat
Ketersediaan
1
Ya
0
Tdk
3.2
Tablet Multivitamin dan Mineral
untuk bumil/bufas
1
Ya
0
Tdk
3.3
Tablet Kalsium
1
Ya
0
Tdk
3.4
Tabur Gizi:
(Vitalita/Mixme/Taburia)untuk
Balita
3.5
Kapsul Vitamin A 100,000IU
1
Ya
0
Tdk
3.6
Kapsul Vitamin A 200,000IU
1
Ya
0
Tdk
3.7
Tablet Zink
1
Ya
0
Tdk
3.8
Timbangan Bayi yang masih berfungsi
1
Ya
0
Tdk
3.9
Timbangan Orang Dewasa yang masih
berfungsi
1
Ya
0
Tdk
3.10
Papan ukur panjang badan
1
Ya
0
Tdk
3.11
Papan ukur tinggi badan
1
Ya
0
Tdk
3.12
KMS/Buku KIA
3.13
Pita LILA
1
Ya
1
Ya
0
Tdk
0
Tdk
jumlah tidak cukup, tanggal
kedaluwarsa, disimpan/
ditempatkan atau di secara tepat
dan memadai)
Kode
98
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
3.14
3.15
3.16
3.17
Makanan terapeutik F-75 (Formula
untuk Pemula)
1
Ya
0
Tdk
Makanan Terapeutik F-100 (Catch-up
formula)
Makanan Terapeutik Siap Pakai
(Ready-to-Use Therapuetic Food RUTF)/Plumpy Nut
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
Bubur/Biskuit pabrikan (MP-ASI)
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
Paket Makanan Tambahan
(misalnya paket makanan untuk
dibawa pulang)
Larutan Rehidrasi Oralit (Oral
3.19
Rehydration Solution -ORS)
3.18
3.20
Lain-lain: __________________
99
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Form 6A. Petugas Kesehatan (Bidan Desa)
ID:___
Kuesioner Wawancara Terstruktur bagi yang memberikan
pelayanan kepada Ibu hamil atau anak-anak
Tanggal
kunjungan
Tgl
Bln
Thn
Diisi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Kabupaten/Kota:
Kode
Fasilitas Kesehatan:
1 Pos Kesehatan Desa
6 Klinik bersalin/ Polindes
7 Posyandu
77 Lain-lain:
Unit:
1 Bagian Rawat Jalan
2 Klinik bersalin/ kebidanan
3 Bangsal Anak
77 Lain-lain:
Responden:
1. Bidan Desa
Kode
Kode
Kode
77. Lain-lain:________________________:
100
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 1. Latar belakang dan pelatihan
1.1
Dalam dua tahun terakhir, apakah anda sudah dilatih dalam bidang berikut (Jangan
dibacakan):
Kode
1.1.1
Gizi ibu
1
Ya
1.1.2
Penyuluhan tentang Pemberian ASI
(Menyusui)
1
Ya
0
Tdk
1.1.3
Pelatihan BFHI (Rumah Sakit Sayang Bayi)
1
Ya
0
Tdk
1.1.4
Konseling/Penyuluhan Pemberian MP-ASI
1
Ya
0
Tdk
1.1.5
Suplementasi Zink untuk Penanganan
Diare.
1
Ya
0
Tdk
1.1.6
Suplementasi Vitamin A bagi Balita
1
Ya
0
Tdk
1.1.7
Suplementasi Vitamin A bagi bufas
1
Ya
0
Tdk
Pemberian tabur gizi
(Vitalita/MixMe/Taburia) untuk balita
Pemberian Multivitamin dan Mineral untuk
1.1.9
ibu hamil
Pemantauan dan Promosi Tumbuh
1.1.10
Kembang
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1.1.11 Penanganan gizi kurang
1
Ya
0
Tdk
1.1.12 Penanganan gizi buruk
1
Ya
0
Tdk
1.1.13 Pencegahan dan perawatan diare pada balita
1
Ya
0
Tdk
1.1.14 Konseling HIV/AIDS
Kegiatan fisik dan makan sehat untuk
1.1.15
mencegah kelebihan berat badan
Pencegahan Kecacingann dan Pemberian
1.1.16
Obat Cacing
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1.1.17 Pencegahan Penyakit Menular
1
Ya
0
Tdk
1.1.18 Pelayanan KB
1
Ya
0
Tdk
1.1.19 Pencegahan dan Pengobatan Malaria
1
Ya
0
Tdk
1.1.12 Lain-lain: __________________
1
Ya
0
Tdk
1.1.8
Pemberian ASI (Menyusui) dalam Konteks
0
Tdk
101
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 2.
2.1
Pengetahuan tentang Pedoman/Protap Gizi
Suplemen gizi mikro apakah yang hendaknya diterima oleh ibu hamil? Lingkari
sesuai jawaban
1
Tidak
ada
2.2
2
Zat Besi
Folat
2
Dalam waktu 6
jam
99
Tidak
tahu
Kode
3
Dalam waktu
24 jam
4
Setelah ibu
pulih
99
Tidak tahu
Kode
Kapan anak pertama kali diperkenalkan/diberikan makanan pendamping? Lingkari
sesuai jawaban
1
Pada usia 4-6
bulan
2.4
4
5
Multiple
Lainnya,
vitamin dan ________
minera
Kapan seorang bayi seharusnya diletakkan di dada ibunya setelah lahir? Lingkari
sesuai jawaban
1
Dalam waktu 1
jam
2.3
3
Kalsium
2
Pada usia 6
bulan
3
Pada usia 8
bulan
4
Ketika gigi
anak sudah
tumbuh
99
Tidak tahu
Kode
Kapan bayi/balita hendaknya menerima kapsul vitamin A?
1
Setiap bulan
sampai usia 6
bulan.
2
Setiap
enam bulan
sejak lahir
3
Setiap enam
bulan sejak bayi
usia 6 bulan
sampai berusia
lima tahun
4
Sekali
setahun
5
Ketika sakit
99
Tidak tahu
Kode
Untuk Pertanyaan di bawah ini, berikan jawaban benar atau salah.
2.5
Suplemen Zink hendaknya diberikan ke semua anak yang menderita diare.
1
Benar
2
Salah
99
Tdk Tahu
Kode
2.6 Semua anak di semua negara memiliki potensi yang sama untuk tumbuh dari
sejak lahir
sampai berusia 5 tahun.
1
Benar
2.7
99
Tdk Tahu
Kode
Anak yang menderita gizi buruk mengalami defisiensi gizi mikro dan oleh karena itu
hendaknya segera menerima tablet besi dan vitamin & mineral lainnya.
1
Benar
2.8
2
Salah
2
Salah
99
Tdk Tahu
Kode
Anak yang disusui secara eksklusif yang menderita diare mungkin memerlukan sejumlah air untuk
mengganti cairan tubuh yang hilang. `
1
Benar
2
Salah
99
Tdk Tahu
Kode
102
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
2.9
Perempuan dengan HIV yang menyusui hendaknya secara berangsur-angsur
berhenti menyusui setelah beberapa bulan ketika anak berusia sekitar enam bulan.
1
Benar
2
Salah
99
Tdk Tahu
Kode
2.10 Seberapa segera setelah persalinan tali pusat bayi hendaknya dipotong?
1
Segera
2
Setelah satu
menit
3
Setelah tiga
menit
4
Setelah satu jam
99
Tidak tahu
Kode
Bagian 3. Implementasi Program
OBSERVASI  PADA SAAT KEGIATAN POSYANDU, APA SAJA YANG
DILAKUKAN/KEGIATAN APA SAJA YANG ADA, DAN APAKAH MEREKA
(BIDAN/KADER) MELAKUKANNYA DENGAN TEPAT
Bagian 4. Dukungan Pemberian ASI
4.1
Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu menyusui?
1
Setiap hari
4.2
2
Setiap
minggu
4
Kurang
sering
5
Tidak
pernah
99
Tdk tahu
Kode
Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu dengan HIV
untuk pemberian makan bayinya?
1
Setiap hari
4.3
3
Setiap
bulan
2
Setiap
minggu
3
Setiap
bulan
4
Kurang
sering
5
Tidak
pernah
99
Tdk tahu
Kode
Apakah polindes/posyandu anda pernah menerima sampel susu formula gratis/
pamflet/ poster atau alat tulis/ blok-note dari perusahaan pembuat formula bayi?
1
Ya
Bila ya, jelaskan.
0
Tidak
99
Tdk Tahu
Kode
Bagian 5. Keterlibatan Masyarakat dan Kelompok
Dukungan
5.1
Apakah ada kelompok pendukung ASI di masyarakat?
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
Kode
103
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
5.2
Seberapa sering mereka bertemu?
1
Setiap hari
2
Setiap
minggu
3
Setiap
bulan
4
Kurang
sering
5
Tidak
pernah
99
Tdk tahu
Kode
Bagian 6. Saran Perbaikan
6.1
Menurut pendapat anda, bagaimana program gizi ini dapat ditingkatkan?
Kode
6.2
Menurut anda, pelatihan gizi apa saja yang perlu ditingkatkan?
1
Ya
Bila Ya, jelaskan jenis pelatihan itu:
0
Tidak
Kode
Bagian 7. Dukungan/ Bantuan
7.1
Kepada siapa anda berkonsultasi bila anda perlu dukungan teknis yang berkenaan
dengan gizi? (Dukungan teknis mencakup bantuan manakala ditemukan kasus konseling yang sulit,
informasi mengenai kemajuan perkembangan terkini di bidang gizi)
Kode
7.2
Apakah anda memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas terkait gizi?
1
Ya, kadang-kadang
7.3
2
Ya, selalu
0
Tidak pernah
Kode
Apakah ada hal lain yang ingin anda tambahkan dalam implementasi pelayanan gizi di
wilayah kerja anda?
Kode
104
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Form 6B. Petugas Kesehatan (Kader)
ID:___
Tanggal
kunjungan
Tgl
Bln
Thn
Diisi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Kabupaten/Kota:
Kode
Fasilitas Kesehatan:
1 Pos Kesehatan Desa
6 Klinik bersalin/ Polindes
7 Posyandu
77 Lain-lain:
Unit:
1 Bagian Rawat Jalan
2 Klinik bersalin/ kebidanan
3 Bangsal Anak
77 Lain-lain:
Responden:
1. Bidan Desa
Kode
Kode
Kode
77. Lain-lain:________________________:
105
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 1. Latar belakang dan pelatihan
1.1
Dalam dua tahun terakhir, apakah anda sudah dilatih dalam bidang berikut (Jangan
dibacakan):
Kode
1.1.1
Gizi ibu
1
Ya
1.1.2
Penyuluhan tentang Pemberian ASI
(Menyusui)
1
Ya
0
Tdk
1.1.3
Pelatihan BFHI (Rumah Sakit Sayang Bayi)
1
Ya
0
Tdk
1.1.4
Konseling/Penyuluhan Pemberian MP-ASI
1
Ya
0
Tdk
1.1.5
Suplementasi Zink untuk Penanganan
Diare.
1
Ya
0
Tdk
1.1.6
Suplementasi Vitamin A bagi Balita
1
Ya
0
Tdk
1.1.7
Suplementasi Vitamin A bagi bufas
1
Ya
0
Tdk
Pemberian tabur gizi
(Vitalita/MixMe/Taburia) untuk balita
Pemberian Multivitamin dan Mineral untuk
1.1.9
ibu hamil
Pemantauan dan Promosi Tumbuh
1.1.10
Kembang
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1.1.11 Penanganan gizi kurang
1
Ya
0
Tdk
1.1.12 Penanganan gizi buruk
1
Ya
0
Tdk
1.1.13 Pencegahan dan perawatan diare pada balita
1
Ya
0
Tdk
1.1.14 Konseling HIV/AIDS
Kegiatan fisik dan makan sehat untuk
1.1.15
mencegah kelebihan berat badan
Pencegahan Kecacingann dan Pemberian
1.1.16
Obat Cacing
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1
Ya
0
Tdk
1.1.17 Pencegahan Penyakit Menular
1
Ya
0
Tdk
1.1.18 Pelayanan KB
1
Ya
0
Tdk
1.1.19 Pencegahan dan Pengobatan Malaria
1
Ya
0
Tdk
1.1.12 Lain-lain: __________________
1
Ya
0
Tdk
1.1.8
Pemberian ASI (Menyusui) dalam Konteks
0
Tdk
106
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bagian 2.
2.1
Pengetahuan tentang Pedoman/Protap Gizi
Suplemen gizi mikro apakah yang hendaknya diterima oleh ibu hamil? Lingkari
sesuai jawaban
1
Tidak
ada
2.2
2
Zat Besi
Folat
2
Dalam waktu 6
jam
99
Tidak
tahu
Kode
3
Dalam waktu
24 jam
4
Setelah ibu
pulih
99
Tidak tahu
Kode
Kapan anak pertama kali diperkenalkan/diberikan makanan pendamping? Lingkari
sesuai jawaban
1
Pada usia 4-6
bulan
2.4
4
5
Multiple
Lainnya,
vitamin dan ________
minera
Kapan seorang bayi seharusnya diletakkan di dada ibunya setelah lahir? Lingkari
sesuai jawaban
1
Dalam waktu 1
jam
2.3
3
Kalsium
2
Pada usia 6
bulan
3
Pada usia 8
bulan
4
Ketika gigi
anak sudah
tumbuh
99
Tidak tahu
Kode
Kapan bayi/balita hendaknya menerima kapsul vitamin A?
1
Setiap bulan
sampai usia 6
bulan.
2
Setiap
enam bulan
sejak lahir
3
Setiap enam
bulan sejak bayi
usia 6 bulan
sampai berusia
lima tahun
4
Sekali
setahun
5
Ketika sakit
99
Tidak tahu
Kode
Untuk Pertanyaan di bawah ini, berikan jawaban benar atau salah.
2.5
Suplemen Zink hendaknya diberikan ke semua anak yang menderita diare.
1
Benar
2
Salah
99
Tdk Tahu
Kode
2.6 Semua anak di semua negara memiliki potensi yang sama untuk tumbuh dari
sejak lahir
sampai berusia 5 tahun.
1
Benar
2.7
99
Tdk Tahu
Kode
Anak yang menderita gizi buruk mengalami defisiensi gizi mikro dan oleh karena itu
hendaknya segera menerima tablet besi dan vitamin & mineral lainnya.
1
Benar
2.8
2
Salah
2
Salah
99
Tdk Tahu
Kode
Anak yang disusui secara eksklusif yang menderita diare mungkin memerlukan sejumlah air untuk
mengganti cairan tubuh yang hilang. `
1
Benar
2
Salah
99
Tdk Tahu
Kode
107
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
2.9
Perempuan dengan HIV yang menyusui hendaknya secara berangsur-angsur
berhenti menyusui setelah beberapa bulan ketika anak berusia sekitar enam bulan.
1
Benar
2
Salah
99
Tdk Tahu
Kode
2.10 Seberapa segera setelah persalinan tali pusat bayi hendaknya dipotong?
1
Segera
2
Setelah satu
menit
3
Setelah tiga
menit
4
Setelah satu jam
99
Tidak tahu
Kode
Bagian 3. Implementasi Program
OBSERVASI  PADA SAAT KEGIATAN POSYANDU, APA SAJA YANG
DILAKUKAN/KEGIATAN APA SAJA YANG ADA, DAN APAKAH MEREKA
(BIDAN/KADER) MELAKUKANNYA DENGAN TEPAT
Bagian 4. Dukungan Pemberian ASI
4.1
Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu menyusui?
1
Setiap hari
4.2
2
Setiap
minggu
4
Kurang
sering
5
Tidak
pernah
99
Tdk tahu
Kode
Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu dengan HIV
untuk pemberian makan bayinya?
1
Setiap hari
4.3
3
Setiap
bulan
2
Setiap
minggu
3
Setiap
bulan
4
Kurang
sering
5
Tidak
pernah
99
Tdk tahu
Kode
Apakah polindes/posyandu anda pernah menerima sampel susu formula gratis/
pamflet/ poster atau alat tulis/ blok-note dari perusahaan pembuat formula bayi?
1
Ya
Bila ya, jelaskan.
0
Tidak
99
Tdk Tahu
Kode
Bagian 5. Keterlibatan Masyarakat dan Kelompok
Dukungan
5.1
Apakah ada kelompok pendukung ASI di masyarakat?
1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
Kode
108
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
5.2
Seberapa sering mereka bertemu?
1
Setiap hari
2
Setiap
minggu
3
Setiap
bulan
4
Kurang
sering
5
Tidak
pernah
99
Tdk tahu
Kode
Bagian 6. Saran Perbaikan
6.1
Menurut pendapat anda, bagaimana program gizi ini dapat ditingkatkan?
Kode
6.2
Menurut anda, pelatihan gizi apa saja yang perlu ditingkatkan?
1
Ya
Bila Ya, jelaskan jenis pelatihan itu:
0
Tidak
Kode
Bagian 7. Dukungan/ Bantuan
7.1
Kepada siapa anda berkonsultasi bila anda perlu dukungan teknis yang berkenaan
dengan gizi? (Dukungan teknis mencakup bantuan manakala ditemukan kasus konseling yang sulit,
informasi mengenai kemajuan perkembangan terkini di bidang gizi)
Kode
7.2
Apakah anda memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas terkait gizi?
1
Ya, kadang-kadang
7.3
2
Ya, selalu
0
Tidak pernah
Kode
Apakah ada hal lain yang ingin anda tambahkan dalam implementasi pelayanan gizi di
wilayah kerja anda?
Kode
109
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Lampiran 2. Program pengentasan kemiskinan berorientasi
gizi Indonesia
Terdapat beberapa metoda yang digunakan untuk mengidentifkasi kemiskinan
Indonesia. Salah satu sistem yang paling umum dipergunakan adalah sebagai berikut.
Pada tahun 2005 pemerintah Pusat, dibantu oleh BPS, telah mengadakan sensus untuk
memetakan keluarga miskin di daerah kota dan pedesaan. Sensus tersebut dinamakan
Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05). Rumah tangga dikategorikan oleh 14
kriteria. Sekali diidentifikasikan sebagai miskin, rumah tangga tersebut menerima
Kartu Kompensasi Energi (Kartu Kompensasi –KKB). Pada saat yang sama,
beberapa program termasuk proses dimana rumah tangga miskin dididentifikasi oleh
yang berwenang dipedesaan berdasarkan pada 14 krteria yang sama (lihat dibawah).
Sekali diidentifkasi oleh pedesaan, daftar tersebut dibahas dan diverifikasi oleh
petugas BPS setempat. Kantor BPS setempat tersebutlah yang menyetujui daftar final
dari penerima terhadap program manapun. Jumlah dan daftar yang miskin yang
dibangkitkan oleh proses ”bawah keatas” dipergunakan terutama oleh program
pengentasan kemiskinan untuk mengidentifkasi penerima dan peserta terhadap
program.
Sebagai tambahan, Survai Sosial Ekonomi (Susenas) tahunan mengukur tingkat
kemiskinan. Data ini digunakan oleh pemerintah nasional dan badan internasional
untuk pemantauan tingkat kemiskinan di Indonesia dan mengembangkan startegi
makro sosial dan ekonomi.
Garis kemiskinan pendapatan nasional sekitar PPP US$1.55. Tingkat kemiskinan
Indonesia telah berangsur menurun sejak krisis politik dan social di tahun 1990an.
Kenaikan besar telah dilihat antara tahun 1993 dan 1998 disebabkan Krisis Finansial
Asia dan perobahan mengenai bagaimana kemiskinan diukur. Sejak itu telah menurun
lagi sampai tingkat 14.18% di tahun 2009 yang hampir ekivalen dengan tingkat
sebelum/pra krisis sebesar 13.7% pada tahun 1993. Penurunan yang terjadi teratur
Kecenderungan Tingkat Kemiskinan, 1976-2009
Jmlh Miskin
Miskin
110
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
kecuali suatu kenaikan kecil antara tahun 2005 dan 2006 sebagai akibat kenaikan
harga beras pada bulan Februari 2005 akibat pelarangan46 impor beras. Namun,
dengan adanya 32 juta penduduk dalam kemiskinan, Indonesia masih mempunyai
beban kemiskinan yang besar. Sebagai tambahan, bagian besar penduduk
terkelompok (terklaster) sedikit diatas garis kemiskinan nasional. Data Susenas 2006
menunjuka bahwa hanya 16.7% hidup dibawah garis kemiskinan nasional dengan
pendapatan PPP US$1.55 per hari, sebanyak 49% hidup dibawah PPP US$2 per hari
yang berarti bahwa kerawanan terhadap kemiskinan sangat tinggi di Indonesia dan
bahwa program pengentasan kemiskinana sungguh perlu menentukan sasaran
terhadap yang miskin dan mendekati miskin.
Program pengentasan kemiskinan Indonesia dapat dibagi dalam tiga klaster:
i.
ii.
iii.
Program bantuan social dan perlindungan. Hal ini menyediakan pangan pokok,
perumahan, bantuan kesehatan dan pendidikan bagi rumah tangga yang menjadi
sasaran. Klaster ini termasuk program seperti Program pola pangan dari paket pakan
bersubsidi (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pola asuransi kesehatan
dan program transfer tunai tak bersyarat (BLT) dan bersyarat (PKH). Setiap tahun
Biro Pusat Statistik (BPS) memverifikasi dan memutakhrkan data rumah tangga
sasaran. Pada tahun 2007 terdapat 19.1 juta rumah tangga sasaran; pada tahun 2008
dan 2009 sasaran masing jatuh menjadi 18.5 juta dan 17.1 juta rumah tangga.
Program pemberdayaan masyarakat. Hal ini pada dasarnya adalah program
berdasarkan masyarakat, yang disediakan melalui Program Nasional untuk
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program ini memberikan hibah blok kepada
dewan masyarakat pada tingkat desa untuk dipergunakan bagi investasi produktif.
PNPM Mandiri adalah Program Nasional mengenai Pemberdayaan Masyarakat. Hal
itu adalah seperangkat program dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan
kapasitas masyarakat miskin dan untuk mempercepat keberhasilan dari Tujuan
Pembangunan Milenium (MDG). Kelompok program PNPM juga termasuk PNPM
Kota dan PNPM Pedesaan.
Pemberdayaan kegiatan ekonomi mikro dan kecil. Hal ini memberikan kredit
mikro kepada kreditor berukuran kecil dan menengah.
Sejak 2005 program ini dilaksanakan dibawah Strategi Nasional mengenai
Pengentasan Kemiskinan (SNPK) yang membentuk dasar bagi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009. SNPK mencerminkan suatu
pergeseran paradigma dasar dalam mengenal yang miskin sebagai asset social yang
hanya harus dipenuhi dan yang harus diberdayakan dan bukan sebagai penerima pasif.
Strategi tersebut juga bertujuan untuk koordinasi lebih baik diantara berbagai program
pengentasan kemiskinan bagi peningkatan efisiensi dan keefektifan. Berdasarkan
SNPK, pada tahun 2005, Tim Nasional untuk Koordinasi Pengentasan Kemiskinan
(TKPK) telah didirikan didalam Kantor Koordinasi Kementerian untuk Kesejahteraan
Masyarakat (Menkokestra). TKPK terdiri atas 22 kementerian dan kepala lembaga
Pusat dengan program yang terkait dengan pengentasan kemiskinan. TKPK pada
awalnya diketuai oleh Menteri Koordinator untuk Kesejahteraan Masyarakat tetapi
sejak bulan Februari 2010, Wakil Presiden menjadi ketua dan tim nasional koordinasi
diberi nama baru yaitu Team Nasional untuk Mempercepat Pengentasan Kemiskinan
(TNP2K). TNP2K dikelola harian oleh suatu sekretariat. Peran dari TNP2K adalah
untuk memonitor pelaksanaan dari kebijakan pengentasan kemiskinan dan untuk
46
Meski harga bahan bakar meningkat secara signifikan dalam bulan Oktober 2005, tingkat kemiskinan
tidak naik karena program transfer uang tunai tidak bersyarat (lihat dibawah dalam dokumen).
111
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
memperkuat koordinasi dalam kebijakan dan pada tingkat program. Badan serupa
telah didirikan juga pada tingkat propinsi dan local (kabupaten/kota).
Sebagai tambahan terhadap upaya Indonesia untuk pengentasan kemiskinan, dibawah
Undang-undang Jaminan Sosial, pemerintah mempertimbangkan suatu sistem
pencakupan asuransi kesehatan universal yang bersifat wajib dan dalam pensiun yang
akan datang dan mekanisme jaminan sosial yang lain. Proses untuk memastikan
cakupan asuransi kesehatan universal sudah dimulai.
Klaster 1 – Program Bantuan Sosial dan Perlindungan
Program Raskin47
Program Raskin adalah program nasional yang bertujuan untuk membantu
rumahtangga miskin agar dapat memenuhi kebutuhan pangan dan mengurangi beban
keuangan dengan menyediakan beras subsidi. Hal tersebut didirikan di tahun 1997
disaat Krisis Finansial Asia untuk menahan efek peningkatan harga dan kesempatan
kerja yang makin menurun. Pada waktu yang bersamaan program memungkinkan
pemerintah untuk membeli beras surplus agar mempertahankan stok penyangga untuk
dipergunakan diwaktu darurat. Pada tahun 2007 biaya total program adalah Rp 6.28
triliun (sekitar US$ 690 juta). Dibawah program, rumahtangga miskin dimaksudkan
untuk menerima 10 kg beras setiap bulan dengan harga subsidi Rp 1,000 per kg.
Badan Logistik Negara (Bulog) bertanggunjawab atas distribusi beras kepada titik
distribusi, sementara pemerintah daerah setempat bertanggungjawab untuk
mendistribusikan beras kepada rumahtangga miskin di titik distribusi. Dianggap
bahwa program menyediakan beras bersubsidi kepada rumahtangga miskin, dan dapat
diharapkan bahwa program Raskin dapat berkontribusi terhadap pencegahan kurang
gizi dari kaum ibu dan anak. Strategi dapat efektif mencapai tujuan ini jika kaum ibu
dan anak dalam rumahtangga miskin dalam keadaan kurang pangan karena
ketidakmampuan untuk membeli pangan yang cukup karena kemiskinan. Pada
kenyataan kelihatannya bahwa program Raskin secara luas dilihat tidak efektif
sebagai jaringan keselamatan dan tidak efisien dalam penggunaa sumber daya.
Beberapa masalah yang menjadi perhatian adalah :
 Meskipun jumlah sasaran penerima meningkat setiap tahun, tapi masih lebih
rendah dari jumlah total rumahtangga miskin (RTM). Sebagai akibat,
pemerintah setempat mempunyai kesulitan dalam mendistribusikan beras
sebagaimana mestinya karena jumlahnya tidak cukup. Sebagai tanggapan,
beberapa RTM tidak menerima beras samasekali, semua penerima mendapat
jumlah yang kurang dari semestinya atau berasnya disdistribusikan kepada
semua tanpa fokus samasekali terhadap yang miskin. Dengan demikian, data
Susenas menunjukkan bahwa rumahtangga miskin (tingkat 1 dan 2 dari lima
bagian) berjumlah 53% dari total penerima; misalnya terdapat 53% kebocoran
ke rumahtangga non-miskin.
 Data Survai Sosio ekonomi Rumahtangga (BPS) dimaksudkan untuk
dipergunakan untuk verifikasi rumahtangga miskin pada tingkat desa melalui
pertemuan desa untuk memfinalkan daftar penerima. Proses dalam melakukan
ini bervariasi dan tidal transparan, menciptakan peluang bagi korupsi dan
berkontribusi kepada salah sasaran.
47
The Effectiveness of the Raskin Program. SMERU Research Institute. February 2008
112
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia


Penerima seringkali membayar lebih dari Rp 1,000/kg karena mereka diminta
membayar untuk biaya transportasi, dsb. Hal ini disebabkan karena anggaran
nasional untuk program hanya mencakup biaya transportasi beras ke Pusat
distribusi primer. Pemerintah daerah setempat harus mencakup biaya
pendistribusian beras dari Pusat pendistribusian primer ke sekonder dan untuk
administrasi local.
Akhirnya program kelihatannya sangat tidak efisien; dalam tahun 2003, hanya
18% anggaran Raskin telah bermanfaat bagi rumahtangga miskin, 52%
bermanfaat bagi rumahtangga non-miskin dan 30% digunakan untuk biaya
operasional dan keuntungan bagi Bulog. Dalam tahun yang sama, hal itu
hanya berharga Rp2,790/kg bagi Bulog untuk mengadakan beras sementara
mereka menjualnya kepada pemerintah dengan harga lebih sampai
Rp3,343/kg.
Dengan mengesampingkan kelemahan ini, suatu peluang baru telah muncul bagi
Raskin untuk memanfaatkan gizi; dalam tahun 2009, ADB dan Pemerintah Jepang
telah menyetujui hibah sebesar US$ 2 juta untuk fortifikasi pangan di Indonesia.
Hibah tersebut akan digunakan untuk mengkaji kelayakan, biaya dan dampak dalam
memberikan beras berfortifikasi zat besi melalui Raskin. Apabila beras Raskin dapat
difortifikasi, dan dapat dijadikan sasaran sebagaimana dimaksud terhadap yang
miskin dan ketidak-jaminan pangan, hal ini akan menjadi cara yang sangat biaya
efektif untuk meningkatkan konsumsi zat besi pada segmen masyarakat yang paling
rawan.
Transfer Uang Tunai
Pada bulan Oktober 2005, pemerintah telah menaikkan harga bahan bakar sebesar
85% untuk menjaga anggaran nasional. Agar dapat menghilangkan dampak kepada
yang miskin, suatu program transfer uang tunai tidak bersyarat kepada keluarga
miskin dan yang mendekati miskin (Bantuan Tunai Langsung – BLT) telah dimulai.
Dalam ronde pertama pola tersebut sejumlah 60 juta penduduk dalam 15.5
rumahtangga (28% populasi) menjadi sasaran dan pada ronde kedua, pada bulan Mei
2008 ketika harga gas dinaikkan lagi, sebesar 33.3%, sasaran telah diperluas kepada
70 juta penduduk dalam 19.2 juta rumahtangga. Hibah sebesar Rp 100,000 per bulan
(US$ 10) disediakan; dalam ronde pertama diberikan dari Oktober 2005 sampai Maret
2006 dimana setelah itu ditunda. Masyarakat yang miskin awalnya diidentifikasi oleh
yang berwenang setempat dan diklasifikasikan pada tingkat ekonomi dengan dasar 14
kriteria yang dikembangkan oleh Pusat Biro Statistik (BPS) 48. Yang berwenang
didesa menyediakan dafter rumahtangga miskin dan rumahtangga tersebut kemudian
dikunjungi oleh enumerator BPS untuk membantu mereka mengisi formulir kajian.
Formulir dibahas oleh kantor BPS local dan suatu daftar final dihasilkan. Daftar yang
disetujui diberikan kepada Kantor Pos yang menerbitkan kartu keberhakan dan
menyediakan transfer uang tunai dalam lumsum triwulan kepada rumahtangga miskin.
Dalam tahun pertama, 2005, pemerintah telah mengalokasikan 4.6 triliun untuk
program tersebut (US$ 500 juta). Dananya diambil dari potngan bagian dari subsidi
gas, yang kepentingannya adalah untuk mentransfer subsidi gas tersebut kedalam
subsidi rumahtangga. Suatu evaluasi, yang dikoordinasikan oleh Universitas
48
Kriteria termasuk hal seperti ukuran rumah, bahan lantai dan dinding rumah, akses kepada air dan
sanitasi, sumber cahaya, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak, berapa kali per minggu
keluarga membeli daging/ayam/susu, berapa kali per hari keluarga makan dan memiliki asset khusus.
113
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Indonesia,49 telah menemukan bahwa 90% penerima menggunakan transfer untuk
membeli beras, sedikit dibawah 80% dari Pengadaan minyak dan sekitar 40%
mengenai pembayaran kembali hutang dan biaya kesehatan. Hanya 5%
menggunakannya untuk membeli bahan bakar bensin. Meskipun program dianggap
berhasil dalam arti telah dapat menahan peningkatan kemiskinan yang bila tidak dapat
meningkat, program di konversikan kedalam suatu program transfer uang tunai
bersyarat untuk memberdayakan komunitas miskin.
Transfer uang tunai bersyarat (Program Keluarga Harapan – PKH) dimulai di tahun
2007 dengan sasaran rumahtangga yang sama dengan BLT tetapi dengan kriteria
tambahan untuk memenuhi syarat. Tujuan dari PKH adalah untuk (i) mengurangi
kematian kehamilan, (ii) mengurangi kematian anak, (iii) memastikan cakupan
universal pendidikan dasar, (iv) mengurangi pemburuhan anak dan mendorong anak
untuk bersekolah. Rumahtangga yang memenuhi syarat harus ada seorang ibu hamil,
anak berusia 0-6 tahun atau anak sekolah dasar atau berusia sekolah menengah atas
(6-17). Transfer uang tunai diberikan kepada rumahtangga dengan syarat bahwa
mereka dapat memenuhi 12 syarat dibawah ini. Dana diberikan kepada kaum ibu
(atau ibu dewasa lain) di rumahtangga setiap tiga bulan. Penerima dapat berpartisipasi
selama maksimum 6 tahun dan terdapat sertifikasi kembali mengenai dipenuhi syarat
setiap 3 tahun. PKH dilaksanakan oleh Kementerian Sosial (DepSos) dan akan
berlangsung sampai tahun 2015 sejalan dengan TPM (MDG). Program PKH telah
dilaksanakan di 7 propinsi sebagai pilot (percontohan). Sejak itu telah diperluas dan
pada tahun 2009 telah mencakup total 720,000 rumahtangga.
Indikator kesehatan:
Indikator untuk ibu hamil: (i) empat kunjungan rawatan prenatal selama kehamilan,
(ii) konsumsi suplemen zat besi selama kehamilan, (iii) mendapatkan kehamilan yang
dibantu oleh professional yang terlatih, (iv) dua four prenatal care visits during
pregnancy, (ii) take iron supplements during pregnancy, (iii) have a delivery assisted
by a trained professional, (iv) dua kunjungan rawatan pos-natal;
Indikator untuk anak balita: (v) imunisasi anak lengkap, (vi) pemantauan
pertumbuhan bulanan anak dibawah 3 dan triwulanan kemudian (1-6 tahun), (vii)
peningkatan bobot bulanan anak, (viii) vitamin A setiap enam bulan untuk anak balita.
Indikator Pendidikan:
(i) semua anak berusia 6-12 terdaftar di sekolah dasar, (ii) minimum tingkat kehadiran
85% untuk semua anak berusia sekolah dasar, (iii) semua anak usia 13-15 terdaftar di
sekolah menengah pertama, (iv) minimum tingkat kehadiran 85% untuk semua anak
berusia sekolah menengah pertama.
Masalah yang dialami dengan program termasuk pemilihan penerima, khususnya
kesalahan menentukan sasaran (inklusif) dan transparansi proses pemilihan,
koordinasi antar badan terkait dengan pengaturan financial dan aliran infromasi,
kurangnya sosialisasi dan kurangnya pemantauan dan verifiksi. Terdapat juga masalah
dengan kekurangan pelatihan dari fasilitator dan beban kerja mereka, dan masalah
49
Widjaja. An Economic and Social Review on Indonesian Direct Cash Transfer Program to Poor
Families Year 2005.
114
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
dengan sistem pembayaran. 50 Secara keseluruhan program dianggap berhasil dan
beberapa peningkatan yang konkrit telah terukur seperti tercatat dibawah ini.
Asuransi Kesehatan51
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen untuk menyediakan
seluruh penduduk Indonesia dengan cakupan asuransi kesehatan melalui pola asuransi
kesehatan masyarakat wajib. Secara prinsip hal ini seharusnya berkontribusi cukup
signifikan untuk meningkatkan status gizi dalam hal harus memastikan akses terhadap
layanan kesehatan esensial termasuk rawatan antenatal, rawatan kelahiran, suplemen
mikro-nutrien, rawatan penyakit anak dan layanan pencegahan serta pemberian advis
mengenai gizi. Sebagai tambahan terhadap memastikan cakupan asuransi bagi semua,
ketidakefisien dalam sistem kesehatan dan keseluruhan kualitas rendahnya
penyediaan layanan perlu dibahas agar meningkatkan pasokan layanan kesehatan
dasar. Pendanaan kesehatan sejak desentralisasi telah menjadi lebih rumit dan
pemberian layanan kesehatan makin buruk. Sebagai akibat, separoh dari semua
pengeluaran kesehatan adalah pribadi, sebagian besar dari kantong sendiri (OOP) dan
separoh dari yang sakit mencari layanan kesehatan dari penyedia swasta.
Gar dapat memberi asuransi kesehatan untuk semua, pemerintah telah mendirikan
Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Health Insurance for Poor Population) atau
Askeskin pada tahun 2004 dan telah memperluaskannya kedalam Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Health Insurance for the Population) atau Jamkesmas pada tahun 2008.
Sementara pegawai negeri dan pertanggungannya tercakup dibawah program askes
dan Jamsostek mencakup karyawan sektor swasta dalam perusahaan dengan 10 atau
lebih karyawan. Susenas 2007 menunjukkan bahwa 26% dari penduduk tercakup
asuransi kesehatan, mayoritasnya oleh Jamkesmas (14.3%). Hal ini berarti bahwa
73.9% tetap belum terasuransi. Pemerintah memperkirakan bahwa pada tahun 2008,
proporsi yang tercakup telah meningat sampai 48% sebagian besar karena perluasan
dari Jamkesmas. Visi pemerintah adalah cakupan untuk yang miskin akan didanai
oleh pemerintah dan pendanaan untuk sisa penduduk akan melalui suatu pola
kontribusi. Legislasi mempertimbangkan pembawa asuransi kesehatan yang ada yang
berkonversi menjadi status non-keuntungan dan semua pembawa menyatu dibawah
suatu sistem wajib yang universal dan dibawah dewan jaminan social nasional.
Masalahnya adalah bagaimana pemerintah akan identifikasi tambahan ruang fiskal
untuk mendanai cakupan bagi yang mi9skin (sekitar 70 juta orang) dan bagaimana
sektor informal yang sangat besar terdiri dari 60 juta orang akan dicakup oleh karena
sulit sekali mengidentifikasi mereka dan akan sulit untuk mendapatkan kontribusi dari
segmen dari populasi ini.
Klaster 2 – Program Pemberdayaan Masyarakat
PNPM Mandiri (Program Nasional mengenai Pemberdayaan Masyarakat)
PNPN Mandiri telah diluncurkan bulan April 2007. Hali ini telah terbentuk dengan
penyatuan dua program pendekatan pembangunan yang digerakkan masyarakat,
Program Pembangunan Kecamatan (KDP) dan Program Pengentasan Kemiskinan
Kota (UPP), yang telah dimulai di tahun 1998 dan 1999. Dalam PNPM Mandiri dua
50
Karin Schelzig Bloom. Conditional Cash Transfers: Lessons from Indonesia’s Program Keluarga
Harapan. July 2009. ADB
51
Health Financing in Indonesia: A Reform Road Map. World Bank, 2009
115
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
program ini telah diskalakan, pada tahun 2009 semua sub-kabupaten di Negara telah
tercakup (6,408 sub-kabupaten).
Tujuan umum dari PNPM Mandiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dari
komunitas miskin. Tujuan spesifik termasuk (i) peningatan partisipasi anggota
masyarakat, (ii) meningkatkan kapasitas institusi masyarakat, (iii) meningkatkan
kapasitas pemerintah local untuk menyediakan layanan masyarakat, (iv)
meningkatkan sinergi diantara komunitas, pemerintah lokal dan pemangku
kepentingan pro-miskin, (v) meningkatkan kapasitas dan kemampuan komunitas dan
pemerintah local dan (vi) meningkatkan inovasi dan penggunaan teknologi, informasi
dan komunikasi yang diapresiasi dalam pembangunan komunitas.
Program PNPM Mandiri dapat dikategorikan kedalam : PNPM Inti dan PNPM
Pendukung. Program PNPM Inti terdiri atas program pemberdayaan berdasar
masyarakat dan kegiatan seperti PNPM Mandiri Pedesaan, PNPM Mandiri Perkotaan,
PNPM Mandiri untuk area Terbelakang, PNPM Mandiri untuk Infrastruktur pedesaan,
dan PNPM Mandiri untuk Infrastruktur Sosio-Ekonomi Pedesaan. Program PNPM
pendukung terdiri atas pemberdayaan komunitas khusus, berdasar sector, berdasar
regional yang dirancang untuk mendukung pengentasan kemiskinan yang terkait
keberhasilan sasaran spesifik seperti PNPM Generasi, PNPM Hijau, dan PNPM
Inisiatif Pembangunan Agribisnis Kecil (SADI).
Komponen kegiatan PNPM Mandiri termasuk (i) pembangunan komunitas, (ii)
memperkuat pemerintahan lokal dan kemitraan, (iii) hibah blok komunitas dan, (iv)
bantuan teknis untuk pengelolaan program dan pembangunan. PNPM Mandiri bekerja
dengan menyediakan Hibah Blok Komunitas kepada kelompok komunitas miskin
termasuk kelompok kaum perempuan. Kelompok komunitas telah atau diberdayakan
dan didukung oleh hampir 40,000 fasilitator. Program direncanakan untuk berlanjut
sampai 2015, batas berlakunya TPM.(MDG).
Sebagian besar sumber dana PNPM Mandiri dating dari Anggaran tahunan
pemerintah (APBN), dana daerah (APBD), swasta/kontribusi komunitas dan juga
hibah atau pinjaman dari berbagai donor.
PNPM Generasi (Transfer Uang Tunai Masyarakat untuk Kesehatan dan
Generasi Cerdas)
Seperti telah dicatat diatas, PNPM Generasi adalah program komponen dari PNPM
Mandiri. Hal ini disebutkan disini karena kontribusi spesifiknya terhadap tujuan
kesehatan dan pendidikan dan sinergik dengan PKH. PNPM Generasi bertujuan untuk
meningkatkan akses rumahtangga miskin kepada layanan kesehatan dan pendidikan.
Melalui PNPM Generasi, komunitas local dapat membangun infrastruktur atau
membeli peralatan untuk memungkinkan mereka mengakses kepada layanan dasar
misalnya membangun pusat kesehatan komunitas, membeli peralatan standard,
renovasi fasilitas, membangun jembatan atau jalanan. Program membangun
berdasarkan pengalaman Proyek Pembangunan Kecamatan (Kecamatan Development
Project (KDP) dan dilaksanakan sebagai bagian dari PNPM Mandiri. Program
mencakup 3.1 million penerima atau 8.4% dari total orang miskin di Indonesia.
Dibawah program ini, komunitas miskin mengidentifikasi sendiri masalah dan
mencari solusi untuk memenuhi 12 kondisi yang sama dari PKH. Partisipasi
116
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
komunitas dalam PNPM Generasi adalah bersyarat dibawah komitmen mereka untuk
memenuhi 12 syarat tersebut. Semua desa yang berpartisipasi menerima fasilitas atau
bantuan teknis dalam bentuk fasilitator dan pelatihan, dan hibah blok pedesaan rerata
sebesar US$ 8,400. Dengan dibantu oleh fasilitator, komunitas mengikuti silus
sosialisasi, perencaan desa, pelaksanaan desa dan pengukuran kinerja. Satu siklus
mengambil waktu 12 bulan dengan pelaksanaan desa selama 9 bulan. Dalam tahun
pertama operasi, 2007, 56% dana dipergunakan untuk kegiatan pendidikan dibanding
44% untuk kegiatan kesehatan. Fi dalam kegiatan kesehatan, dana digunakan sebagai
berikut: pemberian makanan suplemen bagi bobot kurang dan anak kurang makan
(40%), bantuan finansial untuk perempuan hamil dan kaum ibu untuk dapat akses
kepada layanan kesehatan (30%), infrastruktur (13%), fasilitas dan peralatan (11%),
sosialisasi dan pelatihan (3%) dan insentif untuk petugas kesehatan (3%). Suatu
evaluasi oleh Bank Dunia telah menemukan perbaikan dalam pencakupan layanan
kesehatan, khususnya partisipasi dalam cakupan imunisasi. Evaluasi juga mencatat
perbaikan dalam anak bobot kurang dibawah 3% (25% sebelumnya dan 21% setelah
di Jakarta).52
Sudah jelas bahwa PKH dan Mandiri Generasi mempunyai potensial yang signifikan
untuk berkontribusi terhadap perbaikan dalam gizi, dan beberapa hasil di area ini telah
dilaporkan. Namun sebagaimana dilaksanakan saat ini, proporsi signifikan dari upaya
telah diperuntukkan intervensi yaitu bukan yang paling efektif dalam mengurangi
kurang gizi dalam masa kehamilan dan anak seperti meningkatkan partisipasi dalam
program menimbang bobot bulanan dan program pemberian pangan suplemen.
Kondisi PKH sejalan dengan strategi nasional untuk gizi dalam arti bahwa juga
termasuk focus terhadap kesehatan kehamilan dan pada anak muda (pemantauan
pertumbuhan ditentukan hanya menjadi bulanan bagi anak dibawah 1 tahun misalnya)
tetapi dapat diberikan tekanan lebih yang ditempatkan pada perbaikan gizi pada masa
kehamilan dan memperkuat layanan gizi anak (seperti pemberian asi eksklusif dan
advis pemberian makan pelengkap, atau suplemen vitamin A) daripada pemantauan
pertumbuhan misalnya.
Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil
Kredit Usaha Rakyat (Kredit Untuk Rakyat – KUR) menyediakan kredit lunak untuk
membangun usaha mikro dan kecil. Kredit tersebut menggunakan dana umum yang
dikelola bank tetapi dijamin oleh pemerintah. Sejak peluncurannya di bulan
November 2007, sampai 2008, program telah menyediakan Rp13 triliun (US$1,417
juta) sampai 1.7 juta penerima kredit (kreditor).
52
Karin Schelzig Bloom. Conditional Cash Transfers: Lessons from Indonesia’s Program Keluarga
Harapan. July 2009. ADB. Kelihatannya dampak ini telah dihasilkan melalui kombinasi PKH dan
PNPM Generasi.
117
Lampiranx 3. Intervensi Gizi Esensial, Kebijakan dan rangka kerja Program
Intervensi dengan bukti cukup untuk pelaksanaan di 36 negara
Intervensi
Hasil masa
kehamilan dan
kelahiran
Suplementasi
Besi folate
Kebijakan / legislasi
Panduan pendukung
Sasaran
Status pelaksanaan
Cakupan
Kini di
Indonesia
Acuan dan
Catatan
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
85% (2014)
Nasional
29.2%
DHS 2007- 90+
hari
Tidak ada
Panduan operasional
untuk kesadaran gizi
keluarga di desa siaga
(KepMenKes:
747/MOH/SK/VI/2007)
Buku panduan
Konseling untuk
mencapai kesadaran gizi
keluarga 2007
Buku panduan strategi
IEC untuk program
kesadaran gizi keluarga
2007
Tidak ada
Tidak tersedia
Tidak dilaksanakan
Tidak
tersedia
Tidak ada
Tidak ada
Tidak tersedia
Sub-nasional;
Percontohan di
propinsi NTB dan
NTT
Lombok
Tengah:
84,5%
(2008)
dan 71,1%
(2009)
kaum ibu
telah
Rencana Aksi mengenai
Gizi Komunitas (20102014)
Suplementasi
calcium masa
kehamilan
Multi Suplemen
mikronutrien
pada masa
kehamilan
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Yodium masa
kehamilan
melalui garam
beryodium
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Kep
No:
JM
03
03/BV/2195/09
Intervensi
dipercepat
garam tak beryodium
2009
Rencana aksi mengenai
Gizi Komunitas (20102014)
Intervensi untuk
mengurangi
konsumsi
tembakau dan
polusi dalam
ruang
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Majelis Ulama (MUI),
2010 Fatwa melarang
semua muslim merokok
di tempat umum
Menkeu No 2003/PMK
001/2008 Pajak Rokok
Tambahan
Panduan operasional
untuk kesadaran gizi
keluarga di desa siaga
(KepMenKes:
747/MOH/SK/VI/2007)
Buku panduan
Konseling untuk
mencapai kesadaran gizi
keluarga 2007
Buku panduan strategi
IEC untuk program
kesadaran gizi keluarga
2007
Panduan
pemantauan
garam beryodium di
komunitas 2001
Tidak tersedia
90% (2014)
Nasional
menerima
tablet
MMN
62.8%
Tidak tersedia
Sub-nasional
97%
Riskesdas – jmlh
rumahtangga
mengkonsumsi
cukup garam
beryodium
(metodologi titrasi)
DHS - % kaum
perempuan yang
tidak menggunakan
tembakau. Namun
pada 87.8% pria
yang menggunakan
tembakau. Data
mengenai polusi
dalam ruang tidak
tersedia
Peraturan Kesehatan No
36, bab 113, 114,115
mengenai
keamanan
bahan adiktif
119
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Bayi baru lahir
Promosi ASI
eksklusif
(individual dan
pemberian
advis)
Anak muda
dan anak
Promosi ASI
eksklusif
(individual dan
pemberian advis
kelompok)
Perobahan
Perilaku
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Standard
Layanan
Kesehatan
Minimum
2008
KepMen
mengenai
pemberian ASI eksklusif
KepMen
mengenai
pemasaran
pengganti
ASI
Peraturan
BPOM
mengenai
pemberian
label
Peraturan Kesehatan No
36, bab 128, 129, 200
mengenai EBF 2010
Kep Supervisi dari Kode
Internasional 2009
Rencana aksi mengenai
Gizi Komunitas (20102014)
Panduan operasional
untuk kesadaran gizi
keluarga di desa siaga
(KepMenKes:
747/MOH/SK/VI/2007)
Buku panduan
Konseling untuk
mencapai kesadaran gizi
keluarga 2007
Buku panduan strategi
IEC untuk program
kesadaran gizi keluarga
2007
Strategi nasional dalam
meningkatkan
pemberian
ASI
eksklusif dan pemberian
makan pelengkap 2010
Bahan pemberian advis
mengenai inisiasi dini
dari pemberian ASI
eksklusif 2009
Kode dalam pemberian
label susu formula 2003
Nasional
Data tak
tersedia
mengenai
cakupan
layanan
pemberian
advis
IYCF
Pada
tahun
2007,
32% anak
0-6 bulan
diberi ASI
eksklusif;
41% anak
6-23 bulan
menerima
pemberian
makan
pelengkap
tepat
waktu dan
sesuai
80% (2014)
N/A
Seperti diatas
Seperti diatas
Seperti diatas
Seperti diatas
Seperti
diatas
Seperti diatas
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
Panduan operasional
untuk kesadaran gizi
Tidak ada
Nasional
Tidak
tersedia
Sasaran nasional
hanya tersedia
120
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
komunikasi
untuk
pemberian
makanan
pelengkap yang
lebih baik
2006-2010
keluarga di desa siaga
(KepMenKes:
747/MOH/SK/VI/2007)
Buku panduan
Konseling untuk
mencapai kesadaran gizi
keluarga 2007
Buku panduan strategi
IEC untuk program
kesadaran gizi keluarga
2007
Zat Seng (Zinc)
dalam
pengelolaan
diare
Departemen Kesehatan
RI dalam Keputusan
Menteri Kesehatan
Republik Indonesia
Nomor: 1216 /
MENKES / SK /XI /
2001 tentang Pedoman
Pemberantasan Penyakit
Diare edisi ke-5, tahun
2007
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Panduan sedang
dikembangkan.
Suplementasi
Vitamin A
Standard
Layanan
Kesehatan
Minimum
2008
Rencana aksi mengenai
Gizi Komunitas (20102014)
Panduan operasional
untuk kesadaran gizi
keluarga di desa siaga
(KepMenKes:
747/MOH/SK/VI/2007)
Buku panduan
Konseling untuk
mencapai kesadaran gizi
keluarga 2007
untuk distribusi
makanan
pelengkap
fortifikasi
komersial untuk
anak pada keluarga
miskin
Tidak ada
85% (6-59
bulan anak,
2014)
Nasional
Tidak
tersedia
Nasional
68.5% 71.5%.
DHS 2007 dan
Riskesdas 2007
Panduan
pengelolaan
suplementasi vit A
2009
121
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Garam
beryodium
universal
Seperti diatas mengenai
yodium masa kehamilan
melalui garam
beryodium
Seperti diatas mengenai
yodium masa kehamilan
melalui garam
beryodium
90%
Nasional
62,8%
Cuci tangan
atau intervensi
higiene
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Standard
Layanan
Kesehatan
Minimum
2008
Kep No
852/MOH/SK/IX/2008
Kep Nasional (2008)
mengenai Sanitasi
berbasis Masyarakat
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Standard
Layanan
Kesehatan
Minimum
2008
Tindakan aksi nasional
untuk pencegahan dan
intervensi kurang gizi
sangat buruk 2005-2009
Rencana aksi mengenai
Gizi Komunitas (20102014)
Tidak ada panduan
100%
Nasional
23.2% dan
71.1%
Panduan untuk skrining
kurang gizi buruk 2009
Pengelolaan kurang gizi
buruk 2009
Buku pemantauan untuk
pengelolaan kurang gizi
buruk 2009
100% of anak
dengan Gizi
buruk (2014)
Nasional
Tidak
tersedia
Perawatan
kurang gizi
sangat akut
Intervensi dengan bukti cukup untuk pelaksanaan dalam konteks spesifik, situasional
Hasil masa kehamilan dan kelahiran
Suplemen
Tidak ada
Tidak ada
Tidak tersedia Belum
energi dan
dilaksanakan
0%
Riskesdas – jmlh
rumahtangga
mengkonsumsi
cukup garam
beryodium (titrasi)
Riskesdas - %
penduduk lebih
dari usia 10 tahun
dengan perilaku
benar dalam
mencuci tangan
dan buang air besar
Kebijakan panduan
nasional kini
sedang
dimutakhirkan
Pemberian makanan
suplemen ibu hamil
122
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
protein
seimbang masa
kehamilan **
Pengobatan
cacingan pada
ibu hamil
Suplementasi
calcium masa
kehamilan
Perawatan
bertahap
pencegahan
penyakit
malaria*
Kelambu
beroleskan
insektisida*
Bayi baru lahir
Suiplementasi
Vitamin A
Neonatal
Pengkleman tali
pusar tertunda
Anak muda
dan anak
Program
transfer uang
tunai bersyarat
(dengan
akan diawali di
tahun 2010
Tidak ada
Tidak ada
Tidak tersedia
Tidak
dilaksanakan
Tidak tersedia
No policy or
program, yet
Tidak ada
Tidak ada
Tidak tersedia
Tidak wajib
dilaksanakan
Tidak tersedia
Dilaksanakan tidak
konsisten karena
tidak diamanatkan
oleh kebijakan atau
program nasional
Rencana Pembangunan
Jangka Menegah 20102014
Panduan
Pengelolaan
Kasus
Malaria
di
Indonesia, CDC MOH
2009
Tidak tersedia
Tidak tersedia
Rencana Pembangunan
Jangka Menegah 20102014
KepMen
no.
293/MENKES/SK/IV/2
009
Mengapa perlu gunakan
kelambu ITN, CDC
MOH 2008 (Booklet)
ITN Kelambu CDC,
MOH 2007
80% ( total
penduduk)
2.3%
DHS - % ibu hamil
yang tidur dibawah
kelambu teroles
insektisida semalam
sebelum survai
Tidak ada
Tidak ada
Tidak tersedia
Tidak tersedia
Belum rekomendasi
WHO
Tidak ada
Tidak ada
Tidak tersedia
Tidak tersedia
Tidak
dispesifikasikan
dalam APN
Tidak ada
Tidak ada
Tidak tersedia
Tidak tersedia
Dilaksanakan di area
terpilih, tetapi data
cakupan tidak
tersedia.
Tidak
dilaksanakan
Sub-nasional
123
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
pendidikan
gizi)**
Perawatan
cacingan***
Tidak ada pada ibu
hamil dan anak balita
Tidak ada
Tidak tersedia
Sub-national
Tidak tersedia
Program
fortifikasi dan
suplementasi zat
besi***
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Kep No
1452/MOH/SK/X/2003
Fortifikasi tepung terigu
Tidak ada
Semua tepung
terigu
Nasional
100%
Kelambu
beroleskan
insektisida*
Seperti diatas
Seperti diatas
3.3%
Jarangnya data
mengenai prevalensi
membatasi
pelaksanaan
kebijakan/program
ini
Fortifikasi tepung
terigu dengan zat
besi adalah wajib di
Indonesia dan
hampir 100% semua
tepung terigu
difortifikasi
meskipun tidak
diketahui berapa
banyak tepung terigu
anak muda
mengkonsumsi.
DHS - % anak balita
yang tidur dibawah
kelambu teroles
insektisida semalam
sebelum survai
*Area terjangkit malaria
** Untuk ibu dan anak dari keluarga miskin
*** Area dengan tinggi terjangkitnya cacing dan/atau anemia
124
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
Lampiran 4. Keamanan Pangan dan Pemetaan Kerawanan
WFP
Merupakan kebutuhan yang terus menerus bagi Pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan dalam menentukan sasaran secara geografis dari area yang lebih rawan
bagi intervensi terkait pangan dan keamanan gizi. Pada tahun 2003 Dewan Keamanan
Pangan (FSC), yang diketuai oleh Presiden Indonesia, yang Sekretariatnya adalah
Badan Keamanan Pangan (FSA), telah berkolaborasi dengan WFP untuk
mengembangkan Atlas Kerawanan Pangan Nasional (FIA) untuk Indonesia. FIA
pertama dikembangkan dan diluncurkan di tahun 2005 dan mencakup 265 kecamatan
dipedesaan di 30 propinsi. Lebih dari US $32 juta dialokasikan oleh Pemerintah kepada
100million were allocated by the Government to 100 kecamatan yang diidentifikasikan
sebagai rawan pangan dan intervensi mulai pada tahun 2006-2007. Atlas ke dua, dengan
judul baru “Atlas Keamanan dan Kerawanan Pangan (FSVA)” yang mencakup 346
kecamatan dipedesaan di 32 propinsi, telah ditandatangani oleh Presiden Indonesia pada
bulan Maret 2010 dan akan diluncurkan pada bulan Mei 2010, dan telah diitegrasikan
secara penuh kedalam rencana kerja dan alokasi anggaran tahunan pemerintah. WFP
telah menyediakan dukungan teknis dan finansial terhadap pengembangan dan
pelaksanaan FIA dan FSVA sejak tahun 2003.
Seperti FIA 2005, FSVA 2009 berlaku sebagai ialat penting bagi pembuat keputusan
dalam menentukan sasaran dan mengembangkan rekomendasi untuk menanggapi
terhadap kerawanan pangan pada tingkat propinsi dan kabupaten..
FSVA telah menganalisa 13 indikator yang terkait keamanan pangan, berdasarkan data
sekunder yang diterbitkan secara resmi di periode 2004-2007, dan mengembangkan 9
komposit untuk menurunkan suatu Indeks Keamanan Pangan Komposit yang
memperkenankan FSVA untuk menjawab tiga pertanyaan kunci yang terkait keamanan
pangan dan kerawanannya: Dimana kerawanan lebih tinggi terhadap kerawanan pangan
(berdasarkan propinsi, kecamatan); Terdapat Berapa banyak (estimasi penduduk);
dan Mengapa lebih tinggi kerawanannya (penyebab dasar utama kerawanan pangan)?
Indikator yang digunakan dalam Indeks Keamanan Pangan Komposit menyediakan
informasi mengenai tiga pilar keamanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses
pangan rumahtangga dan pemanfaatan pangan individual, seperti ditunjukkan dibawah
ini.
Food Availability
Konsumsi normative per
kapita sampai rasio
ketersediaan neto ‘beras +
jagung + singkong + ubi’
Food and Livelihoods
Access
Prosentase masyarakat
dibawah garis kemiskinan
Food Utilization
Harapan hidup pada
kelahiran
Prosentase pedesaan
Anak berbobot kurang
dengan perhubungan
kurang cukup dari
kendaraan roda empat
Prosentase rumahtangga
Buta huruf jenis perempuan
tanpa akses terhadap tenaga
125
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
listrik
Prosentase rumahtangga
tanpa akses terhadap air
minum yang lebih baik
Prosenase rumahtangga
yang bertempat tinggal
lebih dari 5 km dari
fasilitas kesehatan
Catatan. Untuk pemanfaatan pangan, data pada indikator langsung seperti konsumsi
pangan, tidak tersedia pada tingkat kecamatan. Dengan demikian, indikator tidak
langsung yang mungkin terpengaruh pemanfaatan pangan, atau dapat mempengaruhi
pemanfaatan pangan, dan dimana data tersedia pada tingkat kecamatan, dipergunakan.
Dalam kenyataannya, tidak ada indikator yang digunakan dibawah pemanfaatan pangan
dapat dikatakan menjadi indikator untuk pemanfaatan pangan; melainkan merupakan
indikator kerawanan terhadap pangan dan bahkan untuk keamanan gizi.
Dengan menggunakan indeks komposit, 346 kecamatan yang mempunyai perangkat
data lengkap, diurutkan dan dipetakan. Diantaranya, 100 diranking sebagai Prioritas 1
(30 kecamatan), Prioritas 2 (30 kecamatan) dan Prioritas 3 (40 kecamatan) dengan total
perkiraan 25 juta penduduk. Sisa 246 kecamatan diklasifikasikan sebagai Prioritas 4-6.
Perhatian lebih tinggi harus diberikan kepada kecamatan Prioritas 1-3 dalam membahas
keamanan dan kerawanan pangan.
FSVA menyediakan alat informasi bagi pembuat keputusan untuk secara cepat
mengidentifikasi area paling rawan dimana investasi dalam layanan yang berbeda,
pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur yang terkait keamanan pangan
akan lebih besar dampaknya terhadap penghidupan, keamanan pangan dan gizi
masyarakat.
126
Download