Oky Patria Sadewa Sistem Ekonomi dan Krisis Pangan Sejarah Singkat Krisis Pangan Indonesia Presiden Soekarno dalam pidatonya yang berjudul “Soal Hidup dan Mati” pada tahun 1952 menyatakan dengan tegas bahwa krisis yang dihadapi kala itu adalah krisis pangan. Pada waktu itu Indonesia mengalami defisit 0,7 juta ton beras untuk menghidupi 75 juta penduduk Indonesia. Asumsi tersebut dibangun dengan kebutuhan setiap penduduk per tahun adalah sebesar 86 kg. Oleh karena itu kebutuhan tersebut ditutupi dengan adanya kebijakan impor beras dari Saigon dan Siam. Dengan kondisi ketekoran tersebut sebenarnya konsumsi kalori Indonesia hanya berkisar 1.700 atau di bawah angka konsumsi kalori negara-negara maju yaitu sebesar 2.250 kalori. Oleh karena itu presiden Soekarno menyatakan permasalahan pemenuhan kebutuhan beras adalah sebagai suatu permasalahan hidup dan mati. Pada era Orde Baru atau lebih tepatnya Tahun 1977, Indonesia melakukan puncak impor yaitu dengan jumlah sebanyak 2 Juta ton atau 1/3 dari cadangan beras di pasar Internasional. Melihat fakta tersebut itu Pemerintahan Soerharto mencanangkan swasembada pangan. Rencana tersebut diklaim tercapai dengan produksi sebanyak 27 juta ton dengan tingkat konsumsi sebanyak 25 juta ton atau surplus sebanyak 2 juta ton meskipun masih melakukan impor sebagai cadangan. Atas prestasi tersebut bahkan FAO mengundang Soeharto untuk tampi dan berbicara di acara peringatan ke 40 tahun berdirinya organisasi pangan dunia tersebut. Ironisnya prestasi tersebut hanya berumur beberapa tahun dan sejak awal tahun 1990-an Indonesia kembali menjadi negara yang mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhannya. Sejarah singkat orde baru dan orde lama tersebut mengkonfirmasi bahwa beras menjadi makanan yang menjadi tumpuan utama penduduk di Indonesia untuk mencukupi kebutuhan kalorinya. Berikut adalah gambaran tentang tren impor yang dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto sampai tahun 2010. Oky Patria Sadewa Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa secara umum Indonesia tidak pernah lepas untuk melakukan impor beras sebagai pemenuhan kebutuhan nasional. Namun bila dilihat dari sisi produksi dan konsumsi tahun 1980-2010 Indonesia memiliki deviasi yang tidak terlalu ekstrim. Ketergantungan Impor Pada tahun 2019 Indonesia memiliki besaran lahan panen padi sebanyak 10.677.887 Ha dengan kuantitas beras terproduksi sebesar 31.313.034 ton beras dari 54,6 juta ton padi yang dipanen. Nilai tersebut mengalami penurunan sebesar 7,75% dari produksi beras tahun 2018. Hal terset adalah konsekuensi logis atas penurunan lahan panen yaitu sebesar 6,15 %. Penurunan tersebut dikarenakan oleh adanya musim kemarau yang cukup panjang dari bulan Juli hingga Desember 2020. Produksi tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan beras nasional pada tahun 2019 yaitu sebesar 29,6 juta ton beras. Sehingga berkaca pada kedua fakta tersebut untuk tahun 2019 Indonesia mengalami surplus sebanyak 1,53 juta ton beras. Meskipun dalam keadaan surplus, Indonesia tetap melakukan impor beras. Berikut adalah nilai impor beras yang dilakukan oleh Indonesia dalam 5 tahun terkahir. Impor Beras 5 Tahun Terakhir 2253,82 2500 2000 1500 1000 1283,17 861,6 444,5 305,27 500 0 2015 2016 2017 2018 2019 Impor (ribu ton) Hal di atas menunjukan bahwa Indonesia mengalam fluktuasi impor beras meskipun secara produksi berada pada tingkat surplus. Tentunya menjadi pertanyaan adalah dimana kondisi produksi nasional yang selalu surplus tetap dilaksanakan proses impor. Proses impor tersebut tetap Oky Patria Sadewa dilaksanakan oleh Indonesia karena adanya beberapa pertimbangan antara lain adalah sebagai cadangan bilamana terjadi bencana, sebagai pengontrol harga pasar dan sebagai penjamin ketersediaan beras. Pada tahun 2019, tenaga kerja yang terserap pada sektor pertanian adalah sebanyak 35,41 juta orang atau menyumbang 27,37 % dari total tenaga kerja di Indonesia. Meskipun dengan jumah tenaga kerja yang sangat signifikan secara kuantitas namun tidak membuat sektor pertanian menjadi salah satu penyumbang terbesar PDB. Sumbangan yang diberikan sektor pertanian pada tahun 2019 adalah sebesar Rp1.039,3 Triliun atau 6,65% dari PDB Nasional sebesar Rp15.833,9. Berdasarkan fakta di atas hal yang menjadi perhatian bahwa mungkin secara pragmatis maka investasi dibidang pertanian kurang menjadi menarik. Hal tersebut bisa menjadi alasan mengapa Indonesia masih tetap memberlakukan impor kebutuhan pokok seperti beras. Dalam Arus Globalisasi Meskipun sektor pertanian tidak menyumbang PDB secara signifikan bukan berarti sektor tersebut bukan menjadi hal yang sangat penting untuk terus diupayakan produksinya dan ketahanannya. Era globalisasi menunjukkan bahwa saat ini negara ini berada pada suatu pertandingan terbuka yang tidak adil. Dalam pandangan Ricardo bahwa globaliasi atau free trade ini bisa berlaku ideal bila terdapat dua syarat yang dipenuhi yang sampai saat ini tidak pernah terpenuhi: a. Informasi pasar yang bersifat sempurna b. Kepemilikan awal yang setara Kedua syarat yang tidak terpenuhi tersebut membuat Indonesia dan negara berkembang lainnya menjadi perserta perlombaan yang tidak siap untuk terlibat dalam free trade. Dalam buku Pengantar Ilmu Ekonomi Dalam Kebijakan Publik oleh Nunuk Dwi Retnandari digambarkan bagaimana Kapital negara asing masuk dan mempengaruhi segala kebijakan internal negeri dengan tujuan adalah keuntungan negara dengan kapital besar. Sebagai contoh adalah industri beras yaitu dengan tawaran dari perusahaan multinasional (MNC) melalui bibit padi yang lebih produktif sehingga mengganti bibit asli indonesia bersamaan dengan itu pemerintah mendapatkan dana kucuran untuk membangun infrastruktur dari lembaga pembiayaan internasional. Atas kucuran dana tersebut maka pemerintah harus memenuhi beberapa syarat dari lembaga pemberi pinjaman berupa adanya kebijakan-kebijakan yang mendukung adanya kapital asing masuk ke dalam negeri. Selanjutnya karena bibit padi yang telah dibuat tersebut membuat Indonesia juga perlu mengimpor pupuk dan keperluan pertanian lainnya. Oleh karena itu tanpa disadari Indonesia telah masuk kepada pasar global yang tidak adil yang membuat ketergatungan dengan barang impor yang diperoduksi pasar Internasional dan juga adanya beban hutang kepada lembaga pembiayaan asing yang perlu dipikirkan lebih lanjut. Kejadian di atas menunjukkan bahwa sistem neoliberalisme telah meniadakan batas-batas wilayah dan kedaultan negara untuk memenuhi dahaga penyaluran perusahaan kapitalis internasional. Pandemi dan Ancaman kelangkaan pangan Tahun 2020 ini memang tahun yang mungkin akan menjadi sejarah peradaban dunia dimana benda mikroskopis mampu memporak porandakan segi sosial, ekonomi, budaya dan lainnya di negara belahan dunia manapun. Salah satu yang terdampak pemenuhan pangan yang ditunjukkan dengan terhambatnya proses distribusi pangan dan juga pengurangan tenaga kerja berbagai sektoral karen pandemi ini. Indonesia selaku negara yang memiliki tingkat konsumsi pangan impor yang tinggi dan terhambatnya pasokan impor maka hal ini menjadi suatu ancaman bagi pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia. Pemenuhan beras impor dunia 50% lebih dipenuhi oleh China, India, Thailand dan Vietnam dan bisa dibayangkan bilamana ke empat negara tersebut mengalami krisis pangan karena pandemi ini sehingga tidak mampu menyuplai kebutuhan pasar internasional. Ironinya kebijakan yang diambil pemerintah pusat dinilai tidak tepay oleh ekonom INDEF yang menyatakan bahwa pemerintah dalam menanggulangi masalah krisis pangan semester II tahun 2020 lebih mendorong adanya impor daripada peningkatan produksi lokal. Hal ini menjadi indikasi Oky Patria Sadewa begitu lemahnya posisi Indonesia dalam perdagangan bebas sehingga kebutuhan pangan harus terus digantungkan dari produk impor. Ancaman krisis pangan tersebut bukan hanya berlaku bagi Indonesia namun juga berlaku secara global. Menko Perekonomian Airlangga Haryanto menyatakan bahwa menurut proyeksi International Grains Council (IGC) akan terdapat penurunan produksi padi secara global sebesar 0,4-0,5 % dibandingkan tahun 2019. IGC memperoyeksikan bahwa tahun 2019-2020 dunia hanya akan mampu menghasilkan 498 juta ton yang mana lebih rendah atas realisasi 2018-2019 sebesar 500,1 juta ton. Ancaman tersebut diperparah bilamana kemampuan daya beli masyarakat yang menurun karena kehilangan atau penurunan penghasilan akibat penerapan pembatasan sosial. Dengan Daya beli yang rendah dan karena kelangkaan pangan yang memungkinkan harga pangan naik membuat setiap penduduk akan memiliki akses terbatas dalam pemenuhan kebutuhan pangannya. Sehingga dirasa sangat tepat apa yang dikatakan oleh Presiden pertama kita bahwa masalah pangan adalah masalah hidup dan mati. Ekonomi Pancasila yang bergeser? Ketergantungan impor pangan dan juga kebijakan yang nampak tidak logis tersebut adalah indikasi bahwa sistem ekonomi yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini bergeser. Bapak bangsa kita telah menanamkan sistem ekonomi dalam dasar-dasar hukum negara kita. Penyimpangan hak-hak tersebut dapat dilihat antara lain sebagai berikut: a. Pancasila sila ke-5 yang menyatakan bahwa Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia b. Pembukaan UUD 45 alinea 2 dan 4 1) Alinea 2, berdaulat, adil dan makmur 2) Alinea 4, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sosial c. Batang Tubuh UU 45 1) Pasal 23 : APBN 2) Pasal 27 (2) : tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan 3) Pasal 33 : ekonomi berasar kekeluargaan, cabang produksi dan hajat hidup dikuasai negara, bumi dan kekayaan alam milik negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat dan perekonomian dibangun atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebebasan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan nasional. 4) Pasal 34: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara, pengembangan sistem jaminan nasional, negara wajib menyediakan fasilitas kesehatan dan umum yang layak. Berdasarkan fakta di atas dinyatakan bahwa Indonesia telah mempunyai suatu pandangan dasar yang fundamental dalam membangun perekonomian negara. Namun ironisnya, Pemerintah Indonesia saat ini melalui kebijakan-kebijakannya dinilai terlalu memanjakan investor asing dan pengusaha. Hal tersebut membuat adanya indikasi bahwa nilai-nilai neoliberalisme telah masuk ke dalam kebijakan-kebijakan yang ada karena berfokus kepada besarnya kapital yang masuk sebagai capaian prestasi. Bahkan yang terbaru dengan terbitnya UU Ciptaker ini mengundang protes kaum buruh dan mahasiswa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut memiliki keberpihakan pada kaum kapitalis karena dianggap merugikan oleh kaum buruh, lingkungan dan bahkan orang kecil. Contoh lain adalah kebijakan impor beras yang dilakukan ditengah anjloknya nilai jual gabah kering lokal Indonesia. Oleh karena itu praktik tersebut menurut ekonom INDEF adalah bagian suatu kebijakan yang sulit diterima oleh logika. Pendapat tersebut ditujukkan dengan fakta pada tahun 2018 gudang bulog terpenuhi sebesar 52 % atas impor-impor beras tahun sebelumnya. Belum lagi fakta lain terkait privatisasi penyedian air di Jakarta dan eksternalisasi atas industri ekstraktif di Indonesia serta masih terbatasnya upaya serius penyediaan akses-askes kebutuhan Oky Patria Sadewa dasar penduduk Indonesia menunjukkan bahwa tujuan perekonomian bangsa ini telah bergeser dan bukan lagi tentang sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kesimpulan Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa krisis pangan yang dihadapi selama puluhan tahun tidak didasari dengan kekayakan lokal yang harusnya menjadi senjata utama dalam pengaruh globalisasi. Indonesia yang disebut negara agraria ternyata tidak mampu memenuhi atau bahkan sengaja bergantungan dengan produk impor pangan. Ancaman kelangkaan pangan yang menghantui ini adalah hanya dapat di atasi bilamana negara ini mampu berdaulat dalam memenuhi kebutuhanya seperti yang dituangkan dalam dasar-dasar negara. Pemenuhan pangan pokok seperti beras melalui impor adalah bukti bahwa negara ini belum berdaulat dan masuk kepada suatu pertandingan global yang tidak adil. Pertandingan yang tidak adil tersebut justru menjadi suatu tolak ukur prestasi yag harus dicapai. Oleh karena itu adalah perlu kembali dari penyimpangan kepada nilai-nilai perekonomian yang di cita-citakan oleh pendiri bangsa. “ Penyelesaian nasib bangsa kita akan ditentukan oleh orang-orang berhati besar, kuat dan jujur, serta bercita-cita tinggi dan murni” Sutan Syahrir Rekomendasi a. Kebijakan yang mendorong peningkatan produksi pangan dalam negeri Meskipun sumbangan PDB sektor pertanian terbilang sedikit namun adalah perlu bagi pemerintah untuk fokus memberikan kebijakan-kebijakan yang mendorong produksi pangan terpenuhi. Dengan adanya kebijakan-kebikan tersebut diharapkan produksi pangan meningkat dan menimbulkan suatu ketahanan pangan bilaman terdapat bencana alam maupun non alam. Kebijakan tersebut juga perlu dilakukan dengan mendukung kelestarian lingkungan dan kekayaan lokal. Kebijakan dapat berupa subsidi, asuransi, bantuan alsistan, modernisasi dan pengembangan teknologi secara berdikari. b. Peningkatan akuntabilitas dan law enforcement Lord Acton menyampaikan bahwa “power tend to corrupt, Absolut power Corrupts Absolutely”. Sejalan dengan penyampaian Lord Acton dalam penyusunan kebijakan yang berdasarkan dengan nilai perekonomian yang dicita-citakan pendiri bangsa pasti ada saja kapitalis-kapitalis yang mencoba mencari keuntungan pribadi dan memberi dampak buruk kepada masyarakt. Oleh karean itu dalam meminimalisasi penyalahgunaan kewenangan dalam penyusunan kebijakan tersebut adalah perlu pemerintah membuka sistem akuntabilitas yang transparan. Sehingga partisipasi masyarakat mampu dimaksimalkan dalam penyusunan maupun pengawadan.. Selanjutnya adalah pemerintah perlu menegakan hukum dengan serius atas adanya tindakan-tindakan merugikan masyrakat masyarakat dan lingkungan. c. Mengupayakan restruturisasi perjanjian internasional yang merugikan Pemerintah perlu melakukan evaluasi atas perjanjian-perjanjian internasional yang memang dirasa tidak sejalan dengan nilai dasar ekonomi Pancasila. Hal tersebut perlu dilakukan dalam upaya melindungi kepentingan nasional dari persaingan dagang global yang tidak adil dan cenderung merugikan dalam jangka waktu panjang. d. Penciptaan sistem ketahanan pangan dengan pendekatan local wisdom Pemerintah perlu mengkampanyekan tentang sumber-sumber alternatif pangan yang tersedia di Indonesia. Hal tersebut juga didukung dengan adanya penelitian dan pengembangan produk yang memberikan suatu nilai tambah akan sumber pangan alternatif tersebut. e. Kebijakan pertanahan yang tepat dan sustainable Pemerintah perlu fokus dalam menjamin ketersediaan lahan untuk kebutuhan pangan di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat bahwa peralihan hutan menjadi sawah atau sumber pangan masih sedikit dan oleh sebab itu maka pemerintah perlu menetapkan batas minimal Oky Patria Sadewa ketersediaan lahan pertanian juga dengan mempertimbangkan kelestarian alam dalam jangka panjang Referensi o Forestdigest.com (2020, 17 Februaru 2020) Layakkah Indonesia Disebut Negara Agraris? Diakses pada tanggal 8 Oktober 2020 dari https://www.forestdigest.com/detail/482 /layakkah-indonesia-disebut-negara-agraris o Tirto.id (2018, 25 September). Swasembada Beras ala Soeharto: Rapuh dan Cuma Fatamorgana. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2020 dari https://tirto.id/swasembada-berasala-soeharto-rapuh-dan-cuma-fatamorgana-c2eV o Tirto.id.(2020, 4 Februari) Produksi Beras Indonesia Turun 2,63 Juta Ton Selama 2019 https://tirto.id/produksi-beras-indonesia-turun-263-juta-ton-selama-2019-ewS o Badan Pusat Statistik (2020) Ringkasan Eksekutif Luas Panen dan Produksi Padi Indonesia tahun 2019. Jakarta o Warta Ekonomi. (2020, 28 Februari). Produktivitas tenaga kerja sektor pertanian meningkat/ Diakses pada tanggal 9 Oktober 2020 https://www.wartaekonomi.co.id/read274325/produktivitas-tenaga-kerja-sektor-pertanian -meningkat#:~:text=%22Dengan%20demikian%2C %20tenaga%20kerja %20sektor, peningkatan%20sebesar%2020%2C9%25. o VOA Indonesia (2020, 16 Juni) https://www.voaindonesia.com/a/ancaman-kelangkaanpangan-di-akhir-tahun/5464794.html o Cnbcindonesia.com (2020, 16 Juni). Ancaman Krisis pangan tidak main-main ini buktinya. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2020 dari https://www.cnbcindonesia. com/news/20200616170041-4-165825/ancaman-krisis-pangan-tidak-main-main-inibuktinya o Dwi Retnandari, Nunuk. (2013). Pengantar Ilmu Ekonomi dalam Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar o Tirto.id (2020, 6 Oktober). Dampak Omnibus Law UU Cipta Kerja rugkan buruh hingga abaikan HAM. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2020 https://tirto.id/dampak-omnibus-lawuu-cipta-kerja-rugikan-buruh-hingga-abaikan-ham-f5Cs