Seminar Kesatuan Tafsir HIMPUNAN KEPUTUSAN SEMINAR KESATUA TAFSIR TERHADAP ASPEK-ASPEK AGAMA HINDU I – IX DITERBITKAN OLEH PARISADA HINDU DHARMA PUSAT 1982 - 1983 1 Seminar Kesatuan Tafsir HIMPUNAN KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR TERHADAP ASPEK-ASPEK AGAMA HINDU I –IX DITERBITKAN OLEH PARISADA HINDU DHARMA PUSAT 1982 - 1983 2 Seminar Kesatuan Tafsir Kata Pengantar Om Swastyastu, Semakin lama semakin dirasakan keperluan akan adanya buku-buku ataupun brosurbrosur yang kecil tetapi praktis, yang berisikan petunjuk-petunjuk tentang sastra-sastra agama yang meliputi uraian-uraian tentang Tatwa, Sesana-sesana dan upakara yadnya. Semua ini dapat kita mengerti karena ia merupakan konsekwensi logis dari pada adanya modernisasi, kemajuan dalam bidang tehnologi, ilmu pengetahuan dan lain-lainnya yang pada gilirannya juga dapat menimbulkan terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan sosial masyarakat. Usaha-usaha untuk bekerja giat memenuhi kehidupan sehari-hari dan membangun kehidupan bangsa yang adil makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, mengharuskan kita pandai membagi-bagi waktu sedemikian rupa, sehingga terwujud keseimbangan antara pembangunan dibidang material dengan pembangunan dibidang mental spri tual. Dan kalau kita terlambat, berarti kita akan ditinggal oleh kemajuan itu sendiri dan berarti pula akan terlalu banyak waktu yang kita sia-siakan tanpa ada manfaatnya. Demikian dengan bertitik pangkal kepada landasan pikiran ini, maka diusahakan penerbitan hasil-hasil atau keputusan-keputusan seminar kesatuan Tafsir Aspek Aspek Agama Hindu ini dengan bantuan biaya dari Pemerintah Daerah Tingkat 1 Propinsi Bali. Lebih dari pada itu Parisada mengharap agar keputusan-keputusan Seminar dapat dijadikan pedoman utama dalam pelaksanaan Dharma agama, dengan kemungkinan pula bagi umat untuk mengkonsultasikannya sewaktu-waktu kepada Parisada, bila terdapat hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan karena adanya ketentuan-ketentuan Desa Kala Patra, Desa mawa cara, nista madya utama dan Tri kang sinanggeh manggalaning yadnya, dalam acara atau catur drestha didalam tata kehidupan kemasyarakatan umat Hindu Dharma, serta Pancasila yang menjadi Falsafah Negara kita dan Undang Undang Dasar 1945 sebagai induk dari pada segala ketentuan yang berlaku di Negara kita. Demikian sebagai akhir kata, patutlah kita mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali atas bantuan yang kita terima sehingga hasil-hasil Seminar kesatuan Tafsir Agama Hindu ini dapat kita terbitkan. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om. 3 Seminar Kesatuan Tafsir HIMPUNAN KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR TERHADAP ASPEK-ASPEK AGAMA HINDU I S/D IX 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. Tentang Hari Galungan dan Kuningan .................................................... Tentang Hari Nyepi ................................................................................. Tentang Padmasana ............................................................................... Tentang Rong Tiga ................................................................................. Tentang Meru .......................................................................................... Tentang Kawikon .................................................................................... Tentang Kepemangkuan ......................................................................... Tentang alat-alat Upacara ....................................................................... Tentang Pengertian Pelinggih ................................................................. Tentang Piodalan tingkat Nista, Madya, Utama untuk perayaan di Kahyangan Tiga ...................................................................................... Tentang Arsitektur Bali menurut Tatwa Agama Hindu ............................ Tentang Pendidikan Agama Hindu ......................................................... Tentang Tabuh Rah ................................................................................ Tentang Busana ...................................................................................... Tentang Benda-benda Suci menurut Pandangan Agama Hindu ............ Tentang Tata cara masuk Pura ............................................................... Tentang Upacara Yadnya Manca Wali Krama ........................................ Tentang Pewiwahan/Perkawinan dalam masyarakat Hindu Bali ............. Tentang Hari Raya Saraswati dari segi Tatwa, Susila dan Upacara .................................................................................. Tentang uang kepeng .............................................................................. Tentang Ngarap ...................................................................................... Tentang Upacara Potong Gigi terhadap orang yang meninggal ............. Tentang Sasana Pemangku .................................................................... Tentang Catur Cuntaka ........................................................................... Tentang Pengaruh Pariwisata dalam Kehidupan Beragama Hindu Di Bali ........................................................................................................... Tentang Pura Sad Kahyangan Jagat di Bali ............................................ Tentang Aspek-aspek Agama Hindu dalam kaitannya dengan kemajuan Teknologi .................................................................... Tentang Kramaning Sembah dalam Panca Yadnya dan Sudi Wadani ... Tentang Upacara Upasaksi ..................................................................... Tentang Beberapa istilah khusus dalam Agama Hindu ........................... Tentang Tabuh Rah ................................................................................. Upacara kematian khususnya bagi orang yang meninggal di laut .......... Pembuatan Pinget/Tanda bagi orang yang meninggal di Darat .............. Denpasar, 13 Januari 1983 Parisada Hindu Dharma Pusat 4 5 8 10 11 12 13 14 15 16 18 19 21 23 26 29 30 31 32 33 35 36 37 38 40 42 43 44 46 48 50 51 52 54 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang HARI GALUNGAN / KUNINGAN 1. Riwayat Galungan Diperkirakan Galungan sudah ada pada abad ke XI, berdasarkan antara lain : Kidung Panji Malat Rasmi dan Pararaton. Di India perayaan semacam ini juga ada yang dinamakan Ҫradha Wijaya Dacami. 2. Mythologienya Galungan disebut dalam usana Bali berupa ceritra peperangan Mayadenawa dengan Batara Indra. Dalam lontar Jayakasunu, yang memuat pewarah-warah Bhatari Durgha kepada Sri Jayakasunu. 3. Filsafatnya Filsafat Galungan berpusat pada pergulatan Dharma melawan A-Dharma dengan kemenangan dipihak Dharma. 4. Permulaan persiapan Upacara Galungan dan akhir Upacara Galungan Dimulai pada Tumpek Wariga s/d. Budha Keliwon Pahang (Pegat Wakan/Pegat Warah). Adapun perinciannya sbb. : 1) Tumpek Wariga Prakerti ring Sang Hyang Sangkara, Dewanya tumbuh-tumbuhan. Tujuannya, memberitahu agar tumbuh-tumbuhan berbuah lebat. Sesapanya. Kaki-kaki tiang mepengarah malih 25 dina Galungan, mabuah apang nged, nged, nged, nged. 2) Coma paing Warigadian. Puja walin Bhatara Brahma, ngaturang aci ring Paibon me¬mohon keselamatan diri. 3) Weraspati Wage Sungsang, sampai dengan Budha Kliwon Pahang. Kegiatan pelaksanaan Upacara Galungan (selama 42 hari). Weraspati Wage Sungsang. (Sugihan Jawa). Pensucian Bhuwana Agung, Pemeretistan ring Bhatara Ka -beh prakertinya arerebu ring Sanggah, muang ring Pemera -jan kunang. Dulurin pangerraratan muang pangereresikan Bhatara saha puspa wangi. Tujuan : Mensthanakan (ngadegang) Dewa dan Pitara. Upacara : Pensucian semua alat-alat untuk hari Galungan. 4) Sukra Keliwon Sungsang (Sugihan Bali). Pensucian Bhuwana Alit. Maksudnya : membersihkan diri methirta Gocara. 5) Wuku Dungulan. a. Redite Paing Dungulan (Penyekeban). Turunnya Sang Hyang Tiga Wisesa, berwujud Bhuta Galungan. 5 Seminar Kesatuan Tafsir Tujuannya : Waktu itu para Wiku dan Widnyana anyekung Jnana sudha nirmala (waspada menjaga kesucian), juga hari ini disebut Hari Penyekeban. Perakteknya : Pada hari ini waktu nyekeb biyu, tape dan sebagainya. b. Soma Pon Dungulan (Penyajaan - jaja = dada). Tujuannya : Pengastwahyaning Sang ngamong yoga Semadi, (membuktikan kesungguhan yang melakukan yoga semadhi), menghadapi godaan Sang Kala Tiga. c. Anggara Wage Dungulan (Penampahan = nampa) Upacara : a). Abhuta Yadnya ring catur pata, dan di halaman rumah, b). Memberi Pasupati pada sanjata-sanjata. Tujuan : Jaya prakoseng perang (jaya dari godaan Sang Kala Tiga). d. Budha Keliwon Dungulan (Galungan). Klimax Upacara : Menghaturkan saji disemua tempat-tempat dan alat-alat. Tujuannya : Memusatkan pikiran kepada Kesucian dengan melepaskan segala keragu-raguan. e. Saniscara Pon Dungulan (pemaridan Guru nyurud tumpeng Guru). Upacara : Pada waktu itu orang-orang metirtha Gocara. f. Redite Wage Kuningan (Ulihan = oleh-oleh). Maksudnya : Kembalinya Dewa dan Pitara dengan disuguhkan oleh-oleh berupa rempah-rempah urutan, beras, dsbnya. g. Coma Keliwon Kuningan (Pemacekan Agung). Upacara : Pesegehan Agung ring Dengen, dengan penyambleh ayam samalulung. Tujuan : Mengembalikan Sang Bhuta Galungan beserta pengikutnya. Noot : Juga pada hari itu merupakan tonggak batas antara permulaan dan berakhirnya kegiatan Galungan (30 hari kemuka dan 30 hari kebelakang), yang dimulai dari Tum-pek Wariga dan berlaku sampai Budha Keliwon Pahang. h. Budha Paing Kuningan (Pujawali Bhatara Wisnu). Mempersembahkan aci ring Paibon (lihat 4.2.). 6 i. Sukra Wage Kuningan (Penampahan). Persiapan untuk menghadapi hari Kuningan dengan me lenyapkan pikiran-pikiran kotor, sedang kegiatan Upacara tidak ada pada waktu itu. j. Saniscara Keliwon Kuningan. Turunnya Dewa, Pitara bersuci-suci, serta mukti sajen-sajen. Pelaksanaan : Diaturkan sebelum tengah hari. Pemasangan tamyang kolem merupakan parada prako seng perang (Simbul kemenangan Dharma terhadap ADharma). Nasi Kuning (tebog) dengan hiasan-hiasan yang serba kuning adalah simbul bakti lawan asih. Seminar Kesatuan Tafsir 6) Uku Pahang. Budha Keliwon Pahang (Pegat Wakan/Pegat Warah). 1. Adalah Akhir dari pada melakukan Tapa Brata. 2. Juga merupakan akhir dari pada pelaksanaan Kegiatan Galungan pewarah Bhatara Durgha kepada Sri Jayakasunu (Lontar Jayakusuma). 3. Juga warah Sang Hyang Suksma Licin kepada para Pendeta (Lontar Sundarigama). 7) Penjor. Penjor adalah simbul Gunung Agung. Segala Pala bungkah-pala gantung dan sajen pada sanggar Penjor, melambangkan persembahan terhadap Bhatara di Gunung Agung (Bhatara Giri Putri). Noot : Dengan adanya Gunung timbullah kemakmuran. 8) Ngelelawang. Ngelelawang adalah pertunjukan bersifat wali dan hiburan, Umumnya berupa wali Barong, Telek, Barong Kedengkling, Arja, yang bergerak dari pintu kepintu rumah yang lain, dengan mempunyai tujuan mystik meniadakan kekuatan buruk-buruk (Siwagama). 7 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang HARI NYEPI 1. Pengertian NYEPI. Nyepi adalah pergantian tahun Caka. 2. Rangkaian Perayaan NYEPI adalah : Tawur - Melelasti - Amati Gni/Sipeng dan Ngembak Gni: a. TAWUR Pergantian Tawur adalah : Penyucian/Pemarisudha Bhuta Kala yang dalam Pemujaan dimurtikan, setelah diberi Tawur menjadi somiya. Ngerupuk adalah lanjutan dari pada pelaksanaan Tawur yang dilaksanakan di tiap-tiap pekarangan rumah. Pelaksanaan Tawur. Menurut Sundarigama tawur diadakan pada Perwanining Tilem Kesanga. Menurut Swamandala, tawur diadakan pada Tilem Kesanga, tidak membenarkan berlakunya pada Perwani. Selanjutnya Swamandala tidak membenarkan melakukan Tawur pada waktu Cetra masa apabila kebetulan jatuh sesudah wuku Dungulan, sebelum Budha Keliwon Pahang dan kemudian Tawur tersebut dilakukan pada Tilem Kedasa. Kemudian Widhi Sastra dalam lontar Dewa Tattwa Niti Bhatara Putrajaya, memperkuat Swamandala. Rupanya sesudah Budha Keliwon Dungulan sampai dengan Budha Keliwon Pahang adalah somiyanya Bhatara Durgha, sebab itu tidak baik melaksanakan Tawur, karena Tawur adalah untuk Durgha Murti. b. MELASTI Melasti nganyudang malaning gumi ngamet tirtha Amertha. Penjelasan : Segara (laut) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, Pelelastian sudah selesai dan Pratima sudah berada di Bale Agung. c. AMATI GEN1 Pengertian Amatigeni adalah : Anyekung Jnyana Sudha Nirmala untuk menghadapi tahun baru (pergantian tahun). d. PEBERATAN NYEPI Beratan Nyepi adalah : 1). Amati Geni : maksudnya tiada berapi-api. 2). Amati Karya : maksudnya tiada bekerja/menghentikan kerja. 3). Amati lelungan : maksudnya tidak bepergian. 4). Amati lelanguan : maksudnya tidak melampiaskan/indrya. Berlaku mulai sebelum matahari terbit (ngedas lemah). 8 Seminar Kesatuan Tafsir e. NGEMBAK GENI/NGEMBAK API Ngembak geni/ngembak api miwah ngelabuh Berata pada tanggal 2 (kalih) sasih kedasa (ngedas lemah). 9 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang PADMASANA 1. Pengertian Padmasana Padmasana adalah lambang makrokosmos/alam semesta yang merupakan Stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Ҫiwa Aditya) Padmasana dapat dibedakan atas : a. Berdasarkan lokasi (menurut pengider-ider). terbagi dalam 9 buah berdasarkan lontar Wariga Catur Wisana Sari: 1. Padmakencana bertempat di Timur menghadap ke Barat. 2. Padmasana bertempat di Selatan menghadap ke Utara. 3. Padmasana Sari bertempat di Barat menghadap ke Timur. 4. Padmasana Lingga bertempat di Utara menghadap ke Selatan. 5. Padma Asta Sedana bertempat di Tenggara menghadap ke Baratlaut. 6. Padmanoja bertempat di Baratdaya menghadap ke Timur laut. 7. Padmakaro bertempat di Baratlaut menghadap ke Tenggara. 8. Padmasaji bertempat di Timurlaut menghadap ke Barat daya. 9. Padmakurung di Tengah-tengah me Rong Tiga mengha dap ke Lawangan. b. Berdasarkan atas Rong (Ruang) dan pepalihannya (tingkatan atau Undag) dapat dibedakan atas : 1. Padmasana Anglayang : Padmasana ini beruang (me-Rong) Tiga, mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih Tujuh. 2. Padma Agung : Padmasana ini beruang (me-Rong) Dua mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih Lima. 3. Padmasana : Padmasana ini beruang (me-Rong) Satu mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih Lima. 4. Padmasari : Padma ini beruang (me-Rong) Satu dengan palih Tiga yaitu Palih Taman (bawah), Palih Sancak (tengah) dan Palih Sari (atas), tidak mempergunakan Be dawang Nala. 5. Padmacapah : Padma ini beruang (me-Rong) Satu dengan Palih Dua yaitu Palih Taman (bawah) dan Palih Capah (atas) tidak mempergunakan Bedawang Nala. Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai pengayatan/penyawangan dan mengenai pedagingan ke Dua Padma sana ini hanya pada dasar dan puncak saja. Sedangkan Padmasana yang mem¬pergunakan Bedawang Nala berisi pedagingan pada Dasar Madya (tengah), dan Puncak. 2. Tata cara pembuatan Padmasana berdasarkan Lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta Bhumi 3. Upakara/Upacara termasuk pependeman dan pedagingan berdasarkan Lontar-lontar Dewa Tatwa, Wariga Catur Winasa Sari, Usana Dewa dan Dewa Tattwa. 10 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang RONG TIGA 1. Pengertian Rong Tiga Rong Tiga adalah Pelinggih Tri Murti/Hyang Kemimitan/Hyang Kemulan berdasarkan Lontar Purwa Gama Sesana, Kusuma Dewa, Gong Wesi. 2. Tata cara pembuatan Rong Tiga Berdasarkan atas Lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta Bhumi. 3. Upakara/Upacara termasuk pependeman dan pedagingan ber¬dasarkan Lontar Dewa Tattwa, Wariga Catur Winasa Sari, Usana Dewa Widhi Tattwa dan terutama Kesuma Dewa. 11 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang MERU 1. Meru adalah melambangkan Gunung Mahameru yang merupa -kan Sthana/pelinggih DewaDewi, Bhatara-Bhatari Leluhur berdasarkan Lontar Purana Dewa, Kusuma Dewa, Widhi Sastra, Wariga Catur Winasa Sari dan Jaya Purana. Meru dapat dibedakan sebagai berikut: a. Meru tumpang satu, b. Meru tumpang dua, c. Meru tumpang tiga, d. Meru tumpang lima, e. Meru tumpang tujuh, f. Meru tumpang sembilan, g. Meru tumpang sebelas. Meru tumpang satu sampai dengan meru tumpang tiga berpedagingan pada dasar dan puncak, sedang Meru tumpang lima sampai dengan Meru tumpang sebelas berpedagingan pada dasar, madya dan puncak. Adapun jumlah tumpeng-tumpeng Meru melambangkan kekuasaan dan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 2. Tata cara pembuatan Meru berdasarkan atas lontar asta Kosala-Kosali dan Astha Bhumi. 3. Upakara/Upacara termasuk pependeman dan pedagingan berdasarkan lontar Dewa Tattwa, Wariga Catur Winasa Sari, Usana Dewa, Widhi Tattwa dan terutama Kesuma Dewa. 12 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang KAWIKON 1. Kedudukan Wiku/Pendeta/Sulinggih selaku Dwijati adalah suatu kedudukan khusus yang hanya bisa didapat dengan memenuhi syarat dan Upacara menurut Gesana serta sesuai dengan ketentuan-ketentuan Parisada Hindu Dharma Pusat. 2. Demikian juga mengenai Biseka, Wesa (atribut-atribut khusus) terutama wewenangwewenangnya. 3. Kedudukan khusus dan atribut-atribut tersebut mendapat pengakuan masyarakat serta perlu mendapat perlindungan yang lebih seksama secara hukum dari Pemerintah. 4. Didalam hal menduduki sesuatu jabatan baik sipil maupun militer perlu mendapat dispensasi, sehingga dapat menepati ketentuan Dharma Sesananya. 5. Pidana Adat Agama "NYUMUKA" yakni angwikoni awaknya dawak (menjadikan dirinya sendiri selaku Pendeta bagi Walaka) pelakunya perlu ditindak dan dijatuhi hukuman betapa mestinya. 6. Wiku/Pendeta/Sulinggih adalah memang wajar dalam arti tidak boleh dilarang melaksanakan pemujaan (dengan api, dan suara bajra) pada Hari Nyepi. 13 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang KEPEMANGKUAN a. Pemangku adalah rohaniawan yang masih tergolong pada tingkat Eka-Jati. b. Keadaan diri, upakara Pewintenan, dan agem-ageman seorang pemangku supaya disesuaikan dengan tingkat Pura yang diemongnya, sebagai dimaksud dalam sesananya. c. 14 Kekhususan-kekhususan setempat dalam ngadegang Pemangku dan sebagainya (Kebayan, Jro Gede, Juru Bahu), perlu diteliti lebih jauh guna dapat dibina betapa mestinya. Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang ALAT-ALAT UPACARA/UPAKARA DAN SESAJEN 1. Penjor. a. Penjor yang menggunakan unsur lengkap (sanggah, padi, pala bungkah dsb.) hanya dapat dipergunakan dalam upacara keagamaan menurut fungsinya. b. Untuk dekor (bukan Upacara keagamaan) tidak mempergunakan unsur-unsur tersebut diatas, hanya sedekar berisi hiasan-hiasan melulu, bila dengan sampian hendaknya tanpa porosan). 2. Pengawin-pengawin. a. Pengawin untuk upacara keagamaan tangkainya menurut ukuran astakosala, bila dipergunakan harus diisi sasap, serta diprayascita. b. Pengawin jenis senjata nawasanga, payung pagut, lelontek, umbul-umbul dengan lukisan naga, kober dengan lukisan hanoman, garuda dan gana dan lukisan-lukisan yang mengandung simbul keagamaan, semua jenis umbul-umbul yang memakai uncal dipergunakan hanya untuk keperluan upacara keagamaan. 3. Canang Sari: a. Canang Sari yang lengkap hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan Upacara keagamaan (yang dengan porosan, tebu dan lain-lainnya). b. Urassari yakni hiasan bunga-bunga saja yang terdapat pada bagian atas dari canang sari dapat dipergunakan untuk keperluan lain, dengan sebutan puspawarsa. Puspa sama dengan bunga dan warsa sama dengan hujan, Puspa warsa berarti hujan bunga. 4. Gebogan/Pajegan : Bila dipergunakan untuk lain-lain maksud diluar upacara keagamaan hendaknya tidak memakai sampian lebih-lebih porosan. 5. Lamak dan sebagainya : a. Lamak untuk upacara keagamaan, adalah lamak yang memakai simbul-simbul keagamaan yang lengkap misalnya, simbul gunungan, kekayonan, cili-cilian, bulan, bintang, matahari dan sebagainya, dan pemasangannya dilengkapi dengan gantungan-gantungan dan pelawa. b. Untuk keperluan lain tidak dipergunakan simbul-simbul yang lengkap, serta pemasangannya tidak disertai gantungangantungan dan pelawa. Segala bentuk alat-alat yang menyerupai alat perlengkapan keagamaan yang sebenarnya, diberinama dengan istilah-istilah lain, misalnya : Yang menyerupai penjor disebut pepenjoran. Yang menyerupai lamak disebut lelamakan. Yang menyerupai Gebogan disebut gegebogan, demikian dan seterusnya. 15 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang PENGERTIAN PELINGGIH Pelinggih adalah tempat stana Hyang Widhi WaSa dengan segala manifestasi-NYA yang dibuat sesuai dengan Asta Dewa dan Asta Kosali serta telah disangaskara. 1. PADMASANA DI PURA PENATARAN AGUNG BESAKIH: Sesuai dengan Lontar Padma Bwana, pengertian Padma tersebut adalah : 1. Namanya : Padma Bwana. 2. Bentuk bangunan : Padmasana Tri Tunggal (tiga bangunan Padmasana dengan dasar tunggal). 3. Yang dilingga Stanakan : adalah Sang Hyang Tiga Wisesa (Ҫiwa, Sada Ҫiwa, Parama Ҫiwa): a. Ditengah Lingga Stana Ida Sang Hyang Parama Ҫiwa. b. Dikanannya Lingga Stana Sang Hyang Sada Ҫiwa. c. Dikirinya Lingga Stana Sang Hyang Ҫiwa. 4. Fungsinya : Penyungsungan Jagat. 2. PURA DESA : 1. Letaknya : Pada tempat yang dipandang suci oleh Krama Desa yang bersangkutan, sebaiknya ditengah-tengah Desa. 2. Jajaran Pelinggih : (lihat pada denah). a. Gedong Bata Lingga Stana Dewa Brahma. b. Pelinggih Ratu Ketut Petung. c. Lingga Stana Sedahan Penglurah (tepas mecaling). d. Padmasana Lingga Stana Ida Sang Hyang Widdhi. e. Bale Agung Lingga Stana Begawan Penyarikan. f. Gedong/Bebaturan (hulun Bale Agung) Lingga Stana Bhetari Sedana (Melanting). 3. PURA PUSEH: 1. Letaknya sama dengan Pura Desa. 2. Jajaran Pelinggih : Lihat denah. a. Meru (tumpang 7) Lingga Stana Dewa Wisnu. b. Lingga Stana Ratu Made Jelawung. c. Lingga Stana Sedahan Penglurah (tepas mecaling). d. Padmasana Lingga Stana Ida Sang Hyang Widhi. e. Batur Sari Lingga Stana Dewi Danuh. f. Gedong Lingga Stana Ibu Pertiwi (Ananta Bhoga). 4. PURA DALEM: 1. Letaknya : Sebaiknya diteben Desa dekat Setra. 2. Jajaran Pelinggih : (lihat denah). a. Gedong Bata : Lingga Stana Dewi Durgha (Ҫakti Ҫiwa). b. Lingga Stana Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. c. Lingga Stana Sedahan Penglurah (tepas mecaling). d. Bedogol (apit lawang) Lingga Stana Sang Bhuta Diyu. 16 Seminar Kesatuan Tafsir 3. e. Bedogol (apit lawang) Lingga Stana Sang Bhuta Garwa. Pada hulun Setra dibangun Pelinggih Prajapati berbentuk Padma, dan sebuah bentuk Bebaturan Linggih Sedahan Setra. Pura Desa dan Pura Puseh boleh digabung dalam satu Pelebahan Pura dengan catatan : 1. Jajaran Pelinggih Pura Desa dan Pelinggih Pura Puseh sama terletak dihulu. 2. Padmasana hanya ada satu. 3. Meru minimal bertumpang tiga (3). 4. Jajaran Pelinggih Pura Desa dan Pura Puseh digabung dalam satu Pelebahan Pura : a. Gedong Lingga Stana Dewa Brahma. b. Lingga Stana Ratu Ketut Petung. c. Lingga Stana Sedahan Penglurah. d. Padmasana Lingga Stana Ida Sang Hyang Widdhi. e. Lingga Stana Dewi Danuh. f. Lingga Stana Tepas Mecaling. g. Meru (sekurang-kurangnya tumpang 3) Lingga Stana Dewa Wisnu. h. Lingga Stana Ratu Made Jelawung. i. Linggih Stana Ibu Pertiwi (Ananta Bhoga). j. Gedong Bebaturan (hulun Bale Agung) Lingga Stana Dewi Cri Sedana. k. Bale Agung Lingga Stana Begawan Penyarikan. 5. PEMERAJAN/SANGGAH: 1. Letaknya : dihulu pekarangan rumah. 2. Jajaran Pelinggih (lihat denah). a. Kemulan Rong Tiga Linggih Hyang Guru Kemulan/Tri Murti/Leluhur. b. Linggih Sedahan Penglurah. c. Gedong Linggih Taksu. 17 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang PIODALAN TINGKAT NISTA, MADYA, UTAMA, UNTUK PEMERAJAN DAN KAHYANGAN TIGA 1. Tattwa (falsafah) Piodalan : 1. Latar belakang yang mendorong adanya Upacara Piodalan bersumber kepada Ajaran Tri Marga : a. Bhakti Marga. b. Jnyana Marga. c. Karma Marga. 2. Piodalan adalah Upacara Pemujaan kehadapan Jorig Ida Sang Hyang Widhi Waca dengan segala manifestasi-NYA lewat sarana Pemerajan, Pura, Kahyangan, dengan nglinggayang atau ngerekayang (ngadegang) dalam hari-hari tertentu. 3. Kata piodalan berasal dari kata "wedal" yang artinya keluar, turun atau dilinggakannya dalam hal ini Ida Sang Hyang Widdhi Waca dengan segala manifestasiNYA menurut hari yang telah ditetapkan untuk Pemerajan, Pura, Kahyangan yang bersangkutan. Piodalan disebut juga Petirtayan, Petoyan, dan Puja Wali. 2. Pola Upakara/Upacara: 1. Upakara/Upacara Piodalan berwujud Upakara/Upacara untuk ngerekayang Ida Sang Hyang Widhi Waca dengan se -gala manifestasiNYA dengan itu Umat mewujudkan rasa bhaktinya. 2. Kerangka Upakara/upacara Piodalan melambangkan : a. Utama Angga (hulu). b. Madhyama Angga (angga/sarira). c. Nistama Angga (suku/delamakan). 3. Pelaksanaan Upakara/Upacara Piodalan Nista, Madya, Utama, untuk Pemerajan dan Kahyangan Tiga 1. Tata urutan Upacara Piodalan : a. Nuwur/nurunang (Utpati). b. Ngadegang/nyjer (Sthiti). c. Ngeluwurang/nyimpen (Pralina). 2. Susunan/tingkat Upakara/Upacara sesuai dengan Prasaran (tanpa perubahan). 4. Dasar pelaksanaan (Cila Kramaning) Yajna : Setiap Yajna (Upakara Agama) hendaknya dilaksanakan dengan dasar hati yang suci, tulus ikhlas dradha matwang, tiaga dana, berlandaskan Tri Kaya Parisudha. 5. Pernyataan : Setiap Upakara/Upacara ke Agamaan adalah Sacral, tidak wajar dipergunakan untuk kepentingan lain. 18 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang ARSITEKTUR BALI MENURUT TATTWA AGAMA HINDU 1. Pengertian Bangunan secara Umum : Yalah segala hasil perwujudan manusia dalam bentuk bangunan, yang mengandung kebulatan/kesatuan dengan Agama (rituil) dan kehidupan budaya masyarakat. Yang tercakup dalam bangunan yaitu : a. Kemampuan merancangkan, dan membangunkan. b. Mewujudkan seni bangunannya menurut bermacam-macam prinsip seperti : bentuk, konstruksi, bahan, fungsi dan keindahan. 2. Bangunan Bali yaitu : Setiap bangunan yang berdasarkan Tattwa (falsafah) Agama Hindu. 3. Filosofis Bangunan Bali: Yalah adanya hubungan yang erat dan hidup antara bhuwana alit dengan bhuwana agung yang perwujudannya dilandasi oleh ketentuan Agama Hindu. 4. Pengelompokan Bangunan Bali meliputi : a. Bangunan suci/keagamaan. b. Bangunan Kepara/Adat. 5. Beberapa Ketentuan-ketentuan Bangunan Bali: a. Tempat/denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi. b. Bangunan/konstruksinya berdasarkan Lontar Asta Dewa dan Lontar Asta Kosala/Kosali. c. Bahan-bahan/ramuan berdasarkan Lontar Asta Dewa dan Lontar Asta Kosala/Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang-alang, batu alam, bata dsb. 6. Bangunan Bali mengandung ciri-ciri : a. Pengider-ideran (Catur Loka Phala/Asta Dala). b. Tri Mandala/Tri Loka. c. Adanya upacara Sangaskara/pensucian. d. Mengandung simbul-simbul sesuai dengan ajaran Agama Hindu, (umpama : S.H. Acintya, Naga, Padma dll). 7. Jenis-jenis Bangunan Bali : a. Bangunan suci/keagamaan yalah segala Pelinggih-pelinggih yang disucikan, termasuk patung-patung/Arca-arca serta perlengkapannya. b. Bangunan Kepara/Adat adalah bangunan-bangunan perumahan, Adat, dan bangunan Bali lainnya. 8. Bentuk dan nama bangunan Bali berdasarkan ketentuan-ketentuan Lontar Asta Dewa, Asta Kosala/Kosali dan Lontar Wiswa Karma. 9. Tata laksana dan pensucian Bangunan Bali antara lain : a. Ngeruwak Karang. b. Nyukat karang. 19 Seminar Kesatuan Tafsir c. Nasarin. d. Memakuh. e. Ngurip-urip. Sesuai dengan Lontar Asta Dewa, Asta Kosala/Kosali, Dewa Tattwa dan Lontar-lontar lainnya. 10. Ketertiban fungsi dan penggunaannya : a. Semua wujud bangunan Bali hendaknya mengikuti ketentuan-ketentuan tersebut diatas. b. Fungsi dan penggunaannya ditetapkan pada proporsi yang sewajarnya. 20 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang PENDIDIKAN AGAMA HINDU Pendidikan Agama Hindu dapat kita bedakan atas 2 bagian besar yaitu : A. Pendidikan Agama Hindu di luar sekolah yang terdiri dari: 1. Pengertian Pendidikan Agama Hindu. 2. Guna dan tujuan Pendidikan Agama Hindu. 3. Materi dan Sarana Pendidikan Agama Hindu. 4. Pelaksanaan Pendidikan Agama Hindu. B. Pendidikan Agama Hindu disekolah, yang terdiri dari : 1. Pengertian Pendidikan Agama Hindu. 2. Guna dan tujuan Pendidikan Agama Hindu. 3. Didaktik dan Methodik Pendidikan Agama Hindu. 4. Bahan (Materi) Pendidikan Agama Hindu. 5. Sarana Pendidikan Agama Hindu. A. Pendidikan Agama Hindu di luar sekolah. a. Pengertian Pendidikan Agama Hindu di luar sekolah. Pendidikan Agama Hindu di luar sekolah merupakan suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa masyarakat, dengan ajaran Agama Hindu itu sendiri sebagai po -kok materi. 21 b. Guna dan tujuan Pendidikan Agama Hindu di luar sekolah. 1. Menanamkan ajaran Agama Hindu itu menjadi keyakinan dan landasan segenap kegiatan Umat dalam semua prikehidupannya. 2. Ajaran Agama Hindu mengarahkan pertumbuhan tata kemasyarakatan Umat Hindu hingga serasi dengan Pancasila dasar Negara Republik Indonesia. 3. Menyerasikan dan menyeimbangkan pelaksanaan bagian-bagian ajaran Agama Hindu dalam masyarakat antara Tattwa, Susila dan Yadnya. 4. Untuk mengembangkan hidup rukun antara Umat berbagai Agama. c. Materi dan sarana : 1. Materi Pendidikan Agama Hindu bersumber pada Veda Smrti dan Itihasa, yang pelaksanaannya sesuai dengan "desa kala patra". 2. Sarana Pendidikan Agama Hindu : 1. Penyuluhan-penyuluhan. 2. Lembaga-lembaga masyarakat seperti Desa, Banjar Subak dan lain-lainnya. 3. Perpustakaan. 4. Penerbitan-penerbitan ( Majalah-majalah, Harian-harian, Brosure-brosure dan lain-lain). 5. Mass media - mass media ( Radio, wayang, Film, T.V. dan lain-lainnya). d. Pelaksanaan Pendidikan Agama Hindu di masyarakat ditangani oleh : 1. Parisada Hindu Dharma. 2. Departemen Agama. Seminar Kesatuan Tafsir 3. Eksponen-eksponen Agama Hindu dalam masyarakat. B. Pendidikan Agama Hindu di sekolah a. Pengertian Pendidikan Agama Hindu di sekolah. Pendidikan Agama Hindu di sekolah ialah suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa raga anak didik sesuai dengan ajaran Agama Hindu. 22 b. Tujuan Pendidikan Agama Hindu : 1. Membentuk manusia Pancasilais yang astiti bhakti (bertakwa) kepada Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. 2. Membentuk moral, ethika dan spirituil anak didik yang sesuai dengan ajaran Agama Hindu. c. Didaktik dan Methodik : 1. Pendidikan Agama Hindu di sekolah hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan jiwa anak didik. 2. Pendidikan Agama Hindu dikorelasikan dengan bidang bidang pendidikan lainnya. 3. Memberikan contoh-contoh kehidupan beragama yang baik. d. Bahan (Materi) Pendidikan Agama Hindu : Materi Pendidikan Agama Hindu di sekolah bersumber pada Veda Cruti Smrti dan Itihasa yang pelaksanaannya "desa kala patra". e. Sarana Pendidikan A gama Hindu : 1. Kurikulum. 2. Buku-buku. 3. Perpustakaan. 4. Guru-guru. Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang TABUH RAH 1. Pengertian Tabuh Rah Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksana kan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). 2. Sumber Penggunaan Tabuh Rah Sumber penggunaan Tabuh Rah terdapat pada Panca Yadnya. 3. Dasar-Dasar Penggunaan Tabuh Rah Dasar-dasar penggunaan Tabuh Rah tercantum didalam : a. Prasasti Bali Kuno (Tambra prasasti). Aantara lain: 1. Prasasti Sukawana A1804 (Jaka. 2. Prasasti Batur Abang A 933 Caka. 3. Prasasti Batuan 944 Caka. b. Lontar-lontar antara lain : 1. Siwatattwapurana. 2. Yadnyaprakerti. 4. Fungsi Tabuh Rah Fungsi Tabuh Rah adalah runtutan/rangkaian dari upacara/upa¬kara Agama (Yadnya). 5. Wujud Tabuh Rah Tabuh Rah berwujud taburan darah binatang korban. 6. Sarana Jenis-jenis binatang yang dijadikan korban yaitu : ayam, babi, itik, kerbau, dan lain-lainnya. 7. Cara Penaburan Darah Penaburan darah dilaksanakan dengan "nyambleh", "perangsatha" (telung perahatan) dilengkapi dengan adu-aduan : kemiri telor ; kelapa ; andel-andel; beserta upakaranya. 8. Pelaksanaan Tabuh Rah 1. Diadakan pada tempat dan saat-saat upacara berlangsung oleh sang Yajamana. 2. Pada waktu perang satha disertakan toh dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlas¬an Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi. 3. Aduan ayam yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidaklah perang satha dan bukan pula runtutan upacara Yadnya. 9. Didalam prasasti-prasasti disebutkan bahwa pelaksanaan Tabuh Rah tidak minta ijin kepada yang berwenang. 10. Penjelasan-penjelasan: terlampir. Lampiran; Daftar penjelasan: 23 Seminar Kesatuan Tafsir 1. Penyambleh : adalah penaburan darah binatang korban dengan jalan memotong leher binatang itu atau menikamnya dengan keris. Di zaman Majapahit diistilahkan dengan "Menetak gula ayam''. 2. Perang satha : adalah pertarungan ayam yang diadakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dalam hal ini dipakai adalah ayam sawungan. Adapun dilakukan telung perahatan (3 partai) mengandung makna arti magis bilangan tiga yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir. Hakekatnya perang adalah sebagai symbol dari pada perjuangan (Galungan) antara dharma de ngan adharma. Dasar penggunaan Tabuh Rah adalah prasasti-prasasti Bali Kuna dan lontar-lontar antara lain : 3.1 Prasasti Batur Abang A I, tahun 933 Caka bunyinya antara lain : ".........mwang yan pakaryyakaryya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan, ithaninnya, tan pamwita, tan pawwata ring nayakan saksi.................." 3. Artinya : “..........lagi pula bila mengadakan upacara-upacara misalnya tawur kasanga patutlah mengadakan sabungan ayam tiga sehet (party) didesanya, tidaklah minta ijin tidaklah membawa (memberi tahukan) kepada yang berwenang.........................." 3.2 Prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Caka bunyi¬nya antara lain : “.............kunangyan manawunga ing pangudwan makantang tlung parahatan, tan pamwita ring nayaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli.............” Artinya : “............adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan 3 sehet (party) tidak meminta ijin kepada yang berwenang, dan juga kepada pengawas sabungan tidak dikenakan cukai......................" 3.3 Lontar-lontar antara lain : 3.3.1 Lontar Ciwa Tattwapurana bunyinya antara lain: "............Muah ring tileming Kesanga, hulun magawe yoga, teka wang ing madhyapada magawe tawur kesowangan, den hana pranging satha, wnang nyepi sadina ika labain sang Kala Daca Bhumi, yanora samangkana rugikang ning madhyapada.............." Artinya: “..................Lagi pula pada tilem kasanga Aku (Bhatara Ҫiwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang dibumi ini membuat persembahan masing-masing, lalu adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari (ketika) itu beri korban (hidangan) Sang Kala Daca Bhumi, jika tidak celakalah manusia di bumi..........." 3.3.2 24 Lontar Yajna Prakerti, bunyinya antara lain : Seminar Kesatuan Tafsir “.............rikalaning reya-reya, prang uduwan, masanga kunang, wgila yamanawunga makantang ilung parahatan saha upakara dena jangkep............." Artinya : “...............pada waktu hari raya, diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan kasanga, patutlah mengadakan pertarungan ayam tiga sehet lengkap dengan upakaranya................" 25 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang BHUSANA 1. Pengertian : Yang dimaksud dengan Bhusana Daerah/Adat Bali ialah : Bhusana yang mempunyai keterikatan dengan : 1.1. Daerah Bali sebagai wilayah. 1.2. Pelaksanaan Adat Bali. 2. Komposisi dan jenis : Adapun Bhusana Daerah/Adat yang dimaksud mempunyai komposisi dan jenis sebagai dibawah ini: a. Bhusana (payas) Gede/Agung. Untuk Peria 1. Destar 2. Keris 3. Kampuh + Umpal 4. Wastra lembaran 5. Sabuk 6. Alas kaki (fakultatif) 7. Kelengkapan perhiasan Untuk Wanita 1. Gelung Agung. 2. Sesenteng. 3. Wastra lembaran. 4. Sinjang. 5. Bulang/stagen. 6. Sabuk hiasan. 7. Alas kaki (fakultatif). 8. Kelengkapan perhiasan a. a. Petitis/garuda mungkur b. c. d. e. f. g. h. i. b. 26 Destar/diganti dengan gegelung/ garuda mungkur. Rumbing/anting-anting Bebadong Sesimping Gelang kana Gelang biasa Gelang cokor Ali-ali. Kain panjang disambung (lancingan) b. Tajug/Sekar Taji c. Pepelik/tampel pepelengan d. Subeng. e. Pending. f. Bebadong. g. Sesimping. h. Ampok-ampok. i. Gelang kana. j. Gelang biasa. k. Ali-ali. l. Gelang cokor. Bhusana jangkep/lengkap : Untuk Peria 1. Destar Untuk Wanita 1. Gelung biasa/sanggul (rambut ditata sesuai dengan perhiasannya) 2. 2. Baju/kebaya Kuaca (baju kemeja tangan pendek Seminar Kesatuan Tafsir 3. 4. 5. 6. 7. tangan panjang, jas). Kampuh + umpal Wastra + lembaran Sabuk Alas kaki (fakultatif) Keris (fakultatif) 3. 4. 5. 6. Sesenteng Wastra Sabuk/stagen Alas kaki (fakultatif) Apabila tanpa Baju, sesenteng (kemben) dan sabuk menutup dada, kemben (pengertian umum) selendang yang menutup dada. Bagi peria tanpa baju kampuh sampai menutup dada. c. Bhusana Madya (Sedang) : Untuk Peria 1. Baju 2. Kampuh 3. Kain panjang 4. Sabuk 5. Alas kaki (fakultatif) Untuk Wanita 1. Baju/kebaya 2. Kain/wastra 3. Sesenteng 4. Sabuk/Stagen 5. Alas kaki (fakultatif) Atau bagi Peria. 1. Destar 2. Selempot 3. Kain panjang 4. Sabuk 5. Alas kaki (fakultatif). d. Bhusana Alit Untuk Peria 1. Baju (fakultatif) 2. Wastra 3. Sabuk/ikat pinggang. 4. Alas kaki (fakultatif) Untuk Wanita 1. Baju (asal baju, tak terbatas pada kebaya). 2. Sesenteng. 3. Sabuk/Stagen. 4. Kain. 5. Alas kaki (fakultatif). Bagi wanita kalau tidak memakai baju, harus memakai sesenteng. Anak-anak dibawah umur, tidak terikat dengan ketentuan diatas. 3. 27 Susunan penggunaan Bhusana Daerah/Adat Bali. 1. Payas gede/Agung : dipergunakan oleh manggala/pangararep yang diupacarakan didalam pelaksapaan upacara manusa yadnya yang dianggap utama, dan sebagai Yajamana pada upacara yang lain. 2. Bhusana jangkep/lengkap : dipergunakan didalam upacara yadnya dan didalam hubungan hormat menghormati. 3. Bhusana Madya/sedang dan Bhusana Alit/sederhana : dipergunakan untuk/didalam suasana kesopanan dan kerja. Seminar Kesatuan Tafsir 4. Bagi pemakai yang mengkaitkan dengan daerah dapat memakainya pada tempat dan suasana yang dianggap perlu. Catatan: 1. Warna pakaian termasuk destar didalam upacara persembahyangan tidak terikat. 2. Khusus untuk destar warna putih hanya boleh dipergunakan dalam upacara yadnya. 3. Pemakaian destar didalam persembahyangan pada dasarnya tidak dibuka. 4. Tentang Bhusana Umat Hindu diluar Bali disesuaikan dengan keadaan setempat. 28 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang BENDA-BENDA SUCI MENURUT PANDANGAN AGAMA HINDU 1. Pengertian : Yang dimaksud dengan Benda-benda suci dalam Keputusan Seminar ini adalah : bendabenda yang memang disucikan dengan suatu upacara "pensucian" tertentu, yang fungsi dan penggunaannya semata-mata untuk tujuan suci dan ditempatkan pada tempat-tempat yang dipandang suci. 2. Jenis/penggolongan : Adapun jenis/penggolongan benda-benda suci yang dimaksud dalam pengertian tersebut diatas adalah : Pralingga, Arca, Pratima dan lain-lainnya yang semacam itu. 3. Pengamanannya : Pengamanan benda-benda suci merupakan bagian dari kebijaksanaan pengamanan kebudayaan Nasional pada umumnya dan kebudayaan Bali pada khususnya secara fondamentil dan menyeluruh. Usaha-usaha pengamanan dapat dilaksanakan secara : 1. Pencegahan : a. Meningkatkan kesadaran hidup beragama dengan menanamkan pengertianpengertian hidup keagamaan secara konsepsionil dan filosofis. b. Menanamkan pengertian tentang makna dan fungsi dari benda-benda suci dan penggunaannya dalam tata upacara Agama Hindu. c. Benda-benda suci patut ditempatkan/disimpan pada tempat suci dan terjamin keamanannya. d. Umat Hindu baik secara pribadi maupun secara berkelompok/bersama-sama patut dan wajib ikut serta secara aktif mengawasi dan mengamankan benda-benda suci. 2. Penanggulangan : a. Barang siapa yang ternyata menodai benda-benda suci dapat dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Dalam menjatuhkan hukuman pidana oleh Pengadilan (Hakim) hendaknya dipertimbangkan nilai-nilai kehidupan sepirituil sebagai unsur yang memberatkan atas penodaan terhadap benda suci tersebut. c. Apabila oleh yang bersangkutan (pihak yang merasa dirugi kan) diajukan tuntutan perdata (gugatan) supaya dipertimbangkan nilai-nilai kehidupan sepirituil atas penodaan benda suci tersebut sebelum keputusan dijatuhkan. 29 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang TATA CARA MASUK PURA Memperhatikan akan arti dan kesucian serta fungsi Pura sebagai tempat Ibadah Umat Hindu, maka berkenaan dengan Tata Cara Masuk Pura Seminar mengambil kesimpulan dan Keputusan sebagai berikut : 1. Dilarang masuk Pura bagi orang-orang yang : 1. Wanita dalam keadaan datang bulan, habis melahirkan dan habis abortus. 2. Dalam keadaan sedang tertimpa halangan kematian (sebel). 3. Tidak mentaati Tata Krama Masuk Pura. 4. Menderita noda-noda lain yang karena sifatnya dapat diang -gap menodai kesucian Pura. 5. Menodai kesucian Pura (berpakaian tidak sopan, berhajat besar/kecil, bercumbu, berkelahi, mencorek-corek bangunan/Pelinggih). 2. Hanya orang yang terkait langsung dalam suatu upacara/persembahyangan/piodalan dan atau kegiatan pengayoman Pura bersangkutan, diperkenankan masuk Pura sesuai dengan kedudukan dan fungsinya masing-masing, dengan tetap mengindahkan ketentuan-ketentuan larangan pada angka 1 diatas. 3. Orang yang tidak berhubungan langsung dalam kegiatan ter-sebut pada angka 2 diatas, dilarang masuk Pura. 30 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang TATA UPACARA YADNYA MANCA WALI KRAMA 1. Pengertian Panca Wali Krama Panca Wali Krama adalah upacara buta yadnya dengan tujuan untuk pemahayu jagat. 2. Jenis Panca Wali Krama Panca Wali Krama sesuai dengan saat dan tempat dilakukan ada 2 ( dua ) jenis, yaitu : a. Panca Wali Krama padgati kala (sewaktu-waktu), yaitu upacara bhuta Yadnya sewaktuwaktu demi penyucian akibat durmengala agung Kahyangan/Jagat. b. Panca Wali Krama berjangka, yakni upacara bhuta Yadnya setiap sepuluh tahun di Besakih, diselenggarakan untuk pergantian tenggek. 3. Penyelenggara Karya Panca Wali Krama di Besakih Oleh karena Panca Wali Krama di Besakih adalah Karya jagat, maka Karya diselenggarakan oleh Sang Aji Bali (lontar Raja Purana Besakih). Pelaksanaannya diselenggarakan oleh Umat Hindu dengan bantuan Pemerintah Daerah. 31 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang PAWIWAHAN/PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT HINDU DI BALI 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir batin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya Alaki rabi). 2. Sistim Perkawinan Susunan perkawinan menganut garis kepurusan (patrilenial). 3. Syarat-syarat Perkawinan a. Sudah mencapai usia deha-teruna sedapat mungkin disesuaikan dengan Undang-undang No. : 1 tahun 1974. b. Adanya persetujuan kedua belah pihak calon mempelai. 4. Larangan Perkawinan Gamya gamana yang berarti hubungan kekeluargaan pertikal orisontal dan pertalian sumenda yang terdekat sampai batas-batas tertentu. 5. Cara melangsungkan Perkawinan. Cara melangsungkan Perkawinan ada 2 (dua) cara : a. Dengan cara biasa seperti: Pepadikan, ngerorod, jejangkepan, ngunggahin. b. Dengan cara khusus yaitu dengan cara nyeburin. 6. Syahnya Perkawinan a. Adanya penyangaskara dengan bhuta saksi dan Dewa saksi. b. Adanya manusa saksi yaitu persaksian dari prajuru Adat. 7. Akibat Hukum Perkawinan : a. Dalam Perkawinan biasa laki-laki berstatus sebagai purusa. b. Dalam perkawinan nyeburin, yang wanita berstatus purusa. c. Anak-anak yang lahir dari perkawinan termasuk keluarga purusa. 8. Perceraian : Perceraian dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara : a. Karena kemauan kedua belah pihak. b. Karena kemauan sepihak, dengan alasan : 1. Suami/istri sakit gila, kuning, wangdu, amandel sanggama dalam batas-batas tertentu, (paradara) (anyolong) smara), Brahmatia, Brunahatia, melakukan penganiayaan berat. 2. Suami melakukan drati krama ataupun tidak memberikan upajiwa dalam batas tertentu. 32 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang HARI RAYA SARASWATI DARI SEGI TATTWA, SUSILA, DAN UPACARA 1. Tentang Tattwa : a. Etimologi Saraswati terdiri dari kata : Saras ; dan Wati. 1. Saras berarti sesuatu yang mengalir, dan "kecap" atau ucapan. 2. Wati berarti yang memiliki/mempunyai. Jadi, Saraswati berarti: yang mempunyai sifat mengalir dan sebagai sum¬ber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. b. Istilah. 1. Dalam ajaran Tri Murti menurut Agama Hindu Sang Hyang Saraswati adalah Saktinya Sang Hyang Brahman. 2. Sang Hyang Saraswati adalah Hyang-Hyangning Pangaweruh. 3. Aksara merupakan satu-satunya Lingga Stana Sang Hyang Saraswati. 4. Pengertian odalan Sang Hyang Saraswati. Hari Saniscara umanis wara Watugunung adalah sebagai hari pemujaan turunnya ilmu pengetahuan oleh umat Hindu. 2. Ethika 1. Pemujaan Saraswati dilakukan sebelum tengah hari. 2. Sebelum perayaan Saraswati, tidak diperkenankan membaca atau menulis. 3. Bagi yang melaksanakan "Brata Saraswati" tidak diperkenan kan membaca dan menulis selama 24 jam. 4. Dalam mempelajari segala "pengaweruh" selalu dilandasi dengan hati "Astiti" kepada Hyang Saraswati, termasuk dalam hal merawat perpustakaan. 3. Upakara 1. Tempat: Semua pustaka-pustaka keagamaan dan buku-buku pengetahuan lainnya termasuk alatalat pelajaran yang merupakan "Lingga Stana Hyang Saraswati" diatur dalam tempat yang layak untuk itu. 33 2. Banten Upakara Saraswati sekurang-kurangnya : Banten Saraswati, Sodaan Putih Kuning, dan canang selengkapnya. 3. Kekuluh (tirta) Tirta yang dipergunakan hanya tirta Saraswati, diperoleh dengan jalan memohon kehadapan Hyang Surya sekaligus merupakan tirta Saraswati, ditempat lingga Saraswati masing masing. 4. Pelaksanaan. 1. Didahului dengan menghaturkan penyucian, ngayabang aturan, muspa dan matirta. 2. Upakara Saraswati Puja ditetapkan nyejer sampai keesokan harinya. Seminar Kesatuan Tafsir 5. Banyupinaruh (pina wruh) Redite Paing Sinta a. Asuci laksana Dipagi hari umat asuci laksana (mandi, keramas dan berair kumkuman). b. Upakara Diaturkan labaan nasi pradnyan, jamu sad rasa dan air kumkuman. Setelah diaturkan pasucian/kumkuman laba¬an dan jamu, dilanjutkan dengan nunas kumkuman, muspa, matirta, nunas jamu dan labaan Saraswati/nasi pradnyan barulah upacara diakhiri/lebar. 4. Sanggraha Kosa. (Materi Penyangga) Hari Raya Saraswati dilengkapi dengan Sanggraha Kosa sbb : 1. Lambang, berwujud Wanita cantik bertangan empat dengan atribut-atribut cakepan, genitri, wina, teratai disamping burung merak dan angsa. 2. Padewasan. 1. Dirayakannya Hari Saraswati pada Saniscara Umanis Watugunung tampaknya mempunyai kaitan dengan mito¬logi pawukon, khususnya Watugunung dan Sinta. 2. Untuk itu perlu didalami apa makna, hari-hari pada kedua wuku tersebut. 3. Upakaranya Bentuk, nama dan bahan upakara khusus dalam hubungan odalan Saraswati perlu didalami tentang arti dan maksudnya seperti: cecak, daun beringin, daun keraras, gilingan andong dan jamu. 4. Kepustakaan : Pedoman kepustakaan dalam hubungannya dengan Saraswati antara lain: 1. Tutur Aji Saraswati 2. Sundarigama 3. Medangkemulan 4. Purwaning wariga. 34 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang UANG KEPENG DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UPACARA AGAMA HINDU DI BALI 1. Perkembangan Uang Kepeng di Bali 1. Pada abad ke 7 Masehi berdasarkan berita-berita China dari dinasti Tiang, di Bali telah beredar uang Kepeng yang diduga pada permulaannya adalah berfungsi sebagai alat tukar. 2. Berdasarkan bukti-bukti prasasti Sukawana Al yang berangka tahun 882 Masehi uang kepeng itu diduga telah mempu -nyai fungsi dalam hubungannya dengan upacara Agama Hindu di Bali. 3. Berdasarkan peninggalan-peninggalan yang diketemukan di Bali ternyata terdapat jenis uang kepeng buatan dari Luar Negeri seperti China, Korea, Jepang, Anam dan juga buatan Indonesia. 2. Arti dan Fungsi Uang Kepeng Dalam Upacara Agama Hindu di Bali 1. Arti uang kepeng dalam upacara : a. Bahan : Bahan uang kepeng mengandung unsur-unsur Pancadatu. Unsur-unsur Pancadatu adalah : tembaga, timah, besi, perak dan emas. b. Bentuk : Uang kepeng dari segi bentuknya merupakan lambang dari pada windu (bulatan). c. Bilangan satuan : 1. Pada jaman dahulu satuan uang kepeng merupakan satuan bilangan yang terkecil sehingga paling mudah untuk menentukan jumlah satuan 2. Masing-masing bilangan dari 1 sampai 9 mengandung arti Simbolis : urip. a. Sesuai dengan urippengider-ideran. b. Dipergunakan pada waktu orang melakukan upacara pemegatan dalam upacara kematian dan upacara perceraian. 2. Fungsi uang kepeng : 1. Uang kepeng dipergunakan sebagai sarana untuk melengkapi upakara Panca-Yadnya, misalnya dalam akah banten, dalam buah lis, orti, dsbnya. 2. Disamping itu juga berfungsi sebagai sesari. 3. Dapat juga berfungsi sebagai alat-alat upakara, seperti : lamak-tarr.iang, salang, payung pagut, penyeneng. 3. Permasalahn dan Pemecahan Mengingat semakin langkanya uang kepeng di Bali maka dalam beberapa hal seperti sesari/sesantun, penebusan, pengargan tirta dll. dapat disesuaikan dengan uang yang mempunyai nilai tukar yang sah. 35 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang NGARAP DALAM UPACARA NGABEN UMAT HINDU 1. Pengertian : Adalah suatu rangkaian kerja gotong royong dalam upacara pitra yadnya yang dilakukan pada waktu pengusungan sawa/ jenasah dari balai ketempat pembersihan/ mepeningan, kemudian dari tempat pembersihan ke balai, dari balai ketempat pengusungan (wadah, bade, papaga, dll) kemudian pengangkatan sawa/ jenasah dari wadah ketempat pembasmian/ penguburan. Catatan : Termasuk juga pengusungan wadah (bale) pepaga dan lain-lain ke setra. 2. Tujuan Ngarap Menunjukkan rasa simpati terhadap yang meninggal dan keluarganya dari seluruh keluarga, famili, andaitolan dan masyarakat. 3. Pelaksanaan Ngarap Berdasarkan Tattwa-tattwa dalam Sarasamuccaya dan Itihasa Bharatayuda disebutkan bahwa penyelenggaraan pembakaran/ penguburan/ sawa/ jenasah dilaksanakan dengan baik hormat dan tertib. Mestinya pelaksanaan Ngarap sesuai dengan tattwa-tattwa tersebut diatas, tetapi kenyataannya banyak yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan itu. 4. Penanggulangan Untuk menanggulangi hal-hal negatifnya demi untuk kembali kepada pelaksanaan fungsi serta tujuan ngarap yang sebenarnya, perlu adanya penertiban pelaksanaan antara lain : 1. Pimpiman krama adat supaya mengatur kramanya sebelum upacara dijalankan agar pelaksanaan upacara berjalan de -ngan aman tertib, lancar dan hidmat. 2. Irama gambelan dan sorak sorai agar diatur serasi. 36 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang UPACARA POTONG GIGI TERHADAP ORANG YANG TELAH MENINGGAL 1. Upacara Mapandes/Metatah atau Potong Gigi bagi orang yang cukup usia (dewasa/daha-taruna) adalah termasuk Manusia Yadnya, karenanya perlu dilaksanakan. 2. Upacara Mapandes/Metatah atau Potong Gigi yang belum dilaksanakan bagi orang dewasa (daha-taruna) yang telah meninggal, bila dipandang perlu dapat dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku. 37 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang SASANA PEMANGKU Sesuai dengan surat dinas Agama Otonom Daerah Bali, tanggal 29 Oktober 1956, Keputusan Maha Sabha Parisada Hindu Dharma ke II NO : V/Kep/PHD/1968, Keputusan Seminar Ke I Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu tanggal 23 s/d 26 Pebruari 1975 di Amlapura tentang Kawikon. Ketiga bahan tersebut diatas mempunyai nilai yang sangat tinggi dan mudah dihayati serta patut dipedomani, karenanya sangat perlu dikukuhkan serta dijabarkan dan ditambahkan sesuai dengan keperluannya sebagai berikut: UMUM. 1. Pengertian Pamangku Pamangku adalah rohaniwan Hindu tingkat Eka Jati yang dapat digolongkan Pinandita. 2. Tingkatan Pamangku. 1. Pamangku tapakan Widdhi pada : 1. Sad Kahyangan. 2. Dang Kahyangan. 3. Kahyangan Tiga. 4. Paibon, Panti, Padharman, Merajan, Gede dan yang seje -nisnya. 2. Pamangku Dalang. 3. Sasana Pamangku 1. Gagelaran Pamangku a. Gagelaran/Agem-agem Pamangku sesuai dengan ucap rontal Kasuma Dewa, Sangkul Putih disesuaikan dengan tingkat Pura yang diamongkannya. b. Gagelaran/Agem-agem Pamangku Dalang sesuai dengan Dharmaning Padalangan, Panyudamalan dan Nyapu Leger 2. Hak a. b. c. 3. Wewenang Pemangku. a. Nganteb Upakara Upacara pada Kahyangan yang diamongnya. b. Dapat ngeloka pala seraya sampai dengan madudus alit, sesuai dengan tingkat pawintenannya dan juga atas panugrahan Nabe. c. Waktu melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih, dandanan rambut : wenang agotra, berambut panjang, anyondong, menutup kepala dengan destar. Beberatan Pamangku. Menjalankan Yama Niyama Brata yaitu : 4. Pamangku Bebas dari ayahan Desa, sesuai dengan tingkat kepemangkuannya. Dapat menerima bagian sesari aturan/sesangi. Dapat menerima bagian hasil dari pelaba Pura (bagi Pura yang memiliki). Yama Brata 1. Ahimsa. 2. Brahmacari 3. Awyawahara 38 Niyama Brata. 1. Akroda. 2. Gurucusrusa. 3. Sauca. Seminar Kesatuan Tafsir 4. Satya 5. Asteniya 4. Aharalagawa. 5. Apramada. KHUSUS 1. Bagi daerah-daerah yang menganut dresta/sima yang bersifat Khusus dapat diberikan pengecualian sesuai dengan ke -tentuan yang diatur oleh Purama atau Sirna setempat; 2. Syarat-syarat Pemangku, sehat lahir dan bathin berpengetahuan dan tidak cedangan. 39 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang CATUR CUNTAKA 1. Pengertian Cuntaka Cuntaka adalah suatu keadaan tidak suci menurut pandangan agama Hindu. 2. Penyebab : Pada mulanya cuntaka ini disebabkan karena kematian. Disam -ping itu ada penyebab-penyebab lain yaitu : a. Sebel karena haid. b. Sebel karena wanita bersalin. c. Sebel karena wanita keguguran kandungan. d. Sebel karena sakit (sakit kelainan). e. Sebel karena perkawinan. f. Sebel karena gamia gamana. g. Sebel karena salah timpal (Bersetubuh dengan binatang). h. Sebel karena wanita hamil tanpa beukaon. i. Sebel karena mitra ngalang (nyolong semara, semara dudu), j. Sebel karena orang lahir dari kehamilan tanpa upacara. k. Orang yang melakukan Sad Tatayi. 3. Ruang lingkup : a. Kematian a. b. Sebel karena haid Sebel karena bersalin c. d. Sebel karena wanita keguguran kandungan e. f. g. h. i. j. k. l. : Diri pribadi dan suaminya berserta rumah yang Ditempatinya Sebel karena sakit (sakit-kelainan) : Pribadi dan pakainnya Sebel karena perkawinan : Diri pribadi dan kamar tidurnya Sebel karena gamia gamana : Diri pribadi yang melakukan dan desa adatnya Sebel karena salah timpal : Diri pribadi yang melakukan dan desa adatnya Sebel karena wanita hamil tanpa beakaon: Diri pribadi dan kamar tidurnya Sebel karena mitra ngalang : Diri pribadi dan kamar tidurnya Sebel karena orang yang lahir dari kehamilan tanpa Upacara : Diri pribadi, anak dan rumah yang ditempatinya Sebel karena orang yang melakukan Sad Tatayi : Diri pribadi 4. Batas waktu sebel/kacuntakan : a. Kematian b. 40 : Keluarga terdekat sampai dengan mindon, serta orang-orang yang ikut mengantar jenazah, demikian pula alat-alat yang dipergunakan dalam keperluan itu. : Diri pribadi dengan kamar tidurnya. : Diri pribadi dan suaminya berserta rumah yang Ditempatinya Sebel karena haid : Disesuaikan dengan Loka Dresta dan Sastra Dresta : Selama masih mengeluarkan darah sampai Seminar Kesatuan Tafsir c. Wanita bersalin d. Wanita keguguran kandungan e. f. Karena perkawinan Gamia gamana g. Salah timpal (bersetubuh dengan binatang) h. i. j. Wanita hamil tanpa Beakaon Mitra ngalang Orang yang lahir dari kehamilan tanpa upacara perkawinan k. Orang yang pernah Melakukan Sad Atatayi membersihkan diri : Sekurang-kurangnya 42 hari dan berakhir setelah mendapat tirtha pabersihan dan suaminya sekurang-kurangnya sampai kepus puser bayinya : Sekurang-kurangnya 42 hari dan berakhir setelah mendapat tirtha pabersihan : Sampai dengan kena tirta pabeakaonan : Sampai diceraikan, diadakan pabersihan baik terhadap diri pri -badi maupun Desa Adat/Kahyangan : Diselesaikan sebagaimana mestinya sesuai dengan adat dan agama Hindu : Sampai dengan upakara beakaon : Sampai dengan upakara beakaon : Sampai dengan adanya yang "memeras" (disyahkan sebagai anak sesuai dengan agama Hindu) : Sampai diprayascita dan sama sekali tidak boleh menjadi Rokhaniwan. 5. Larangan : Seseorang yang dalam keadaan sebel atau cuntaka tidak diperkenankan memasuki tempat suci ataupun melaksanakan pekerjaan yang dianggap suci. 6. Kepustakaan : Beberapa lontar yang dapat dipakai sebagai sumber antara lain : 1. Manawa Dharma Sastra. 2. Agastya. 3. RogaSangara. 4. Widhi Sastra. 5. Catur Cuntakantaka. 6. Catur Cuntaka. 7. Pangalantaka. 8. Krama pura. 9. Upadeca. 41 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang PENGARUH PARIWISATA DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA HINDU DI BALI Bali yang merupakan daya tarik bagi wisatawan dari seluruh dunia berkat keunikan-keunikan serta keindahan-keindahan yang dimilikinya terutama pada bidang sosial budaya yang bersumber pada Agama Hindu. Dengan adanya keunikan-keunikan serta keindahan-keindahan tersebut mengundang para wisatawan untuk turut menikmatinya secara langsung. Menyadari potensi pulau Bali yang tidak mungkin lagi dikem-bangkan dalam bidang pertanian dan pertambangan maka satu-satu nya potensi dan pengembangan pulau Bali adalah industri pariwisata. Oleh karena itu penanganan terhadap industri pariwisata tersebut hendaknya terpadu jangan sampai merugikan agama dan kebudayaan rakyat Bali. Kehadiran dari para wisatawan tersebut, baik langsung maupun tidak langsung menimbulkan pengaruh-pengaruh yang positif maupun negatif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali. 1. Pengaruh positifnya antara lain : 1. Dapat meningkatkan tarap hidup rakyat, terutama yang ber-gerak dibidang yang ada hubungannya dengan kepariwisataan baik langsung maupun tidak langsung. 2. Adanya komunikasi yang lebih meluas. 3. Adanya hubungan/pergaulan yang semakin harmonis antar bangsa-bangsa. 4. Makin timbulnya kesadaran dan kebanggaan terhadap nilai-nilai sosial budaya dan lain-lain yang bersumber pada agama Hindu. 2. Pengaruh negatifnya antara lain : Masih terasa adanya keresahan dalam kehidupan beragama Hindu di Bali antara lain oleh karena keputusan-keputusan Semi-nar terdahulu belum terlaksana sebagaimana mestinya seperti misalnya : 1. Larangan masuk Pura bagi wisatawan. 2. Banyak Pura yang dikarciskan/dikomersilkan dan dijadikan dekorasi panggung pertunjukan. 3. Banyak benda-benda peralatan upacara keagamaan yang bernilai sakral diprofankan. 4. Tari-tari sakral (keagamaan) banyak yang diprofankan. 5. Keharusan berbusana yang sopan bagi wisatawan kurang di-indahkan. 3. Cara-cara penanggulangan : Disamping penanggulangan-penanggulang sesuai dengan keputusan-keputusan Seminar terdahulu khususnya larangan masuk Pura, maka untuk menjaga kesucian pura bila dipandang perlu hendaknya para wisatawan dibuatkan tempat peninjauan, (peristirahatan), yang terletak di luar lokasi pura, serta diper-lengkapi dengan sarana-sarananya (W.C. dan lain-lain), begitu juga pada obyek-obyek wisata lainnya. 42 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang PURA SAD KAHYANGAN JAGAT DI BALI 1. PENDAHULUAN Dalam rangka mengadakan penelitian terhadap Pura Sad Kahyangan Jagat di Bali secara konsepsional tidak bisa terlepas dengan Pura Kahyangan Jagat di Bali lainnya yang juga telah di-jumpai landasan konsepsinya yaitu : 1. Kahyangan Jagat di Bali yang berlandaskan Rwabhineda. 2. Kahyangan Jagat di Bali yang berlandaskan konsepsi Catur Lokapala. 3. Kahyangan Jagat di Bali yang berlandaskan konsepsi Sad Winayaka. 2. PENGERTIAN Sad Kahyangan adalah enam buah pura Kahyangan Jagat di Bali, yang menjadi tempat pemujaan seluruh Umat Hindu. 3. LANDASAN Pura Sad Kahyangan Jagat di Bali berlandaskan pada : 1. Landasan filosopis yaitu konsepsi Sad Winayaka (menurut lontar Dewa Purana Bangsul). 2. Landasan historis : Pura Sad Kahyangan itu sudah ada sebe -lum kedatangan Gajah Mada di Bali tahun 1343 Masehi. 3. Landasan Tradisi yaitu : Masyarakat di Bali pada umumnya telah memandang bahwa, PuraPura itu adalah Pura Sad Kahyangan Jagat di Bali. 4. RUMUSAN Berdasarkan uraian di atas, maka Kahyangan Jagat di Bali ialah: 1. Yang berlandaskan konsepsi Rwabhineda ialah : a. Pura Besakih sebagai Purusha di Kabupaten Karangasem. b. Pura Batur sebagai Pradhana di Kabupaten Bangli. 2. Yang berlandaskan konsepsi Catur Lokapala ialah : a. Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem. b. Pura Andakasa di Kabupaten Karangasem. c. Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan. d. Pura Pucak Mangu di Kabupaten Badung. 3. Yang berlandaskan konsepsi Sad Winayaka ialah : a. Pura Besakih di Kabupaten Karangasem. b. Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem. c. Pura Gua Lawah di Kabupaten Klungkung. d. Pura Uluwatu di Kabupaten Badung. e. Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan. f. Pura Puser Tasik (Pura Pusering Jagat di Pejeng) di Kabupaten Gianyar. Kahyangan Jagat yang berlandaskan konsepsi Sad Winayaka inilah yang dimaksud Pura Sad Kahyangan Jagat di Bali. Disamping Kahyangan Jagat tersebut di atas. masih banyak Kahyangan Jagat di Bali lainnya. 4. 43 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang ASPEK-ASPEK AGAMA HINDU DALAM KAITANNYA DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI PENDAHULUAN 1. 2. 3. 4. Tujuan agama Hindu adalah Moksa dan Jagathita yaitu kesejah-teraan sekala niskala, maka dalam mengejar kesejahtraan sekala niskala ini, mau tidak mau kita dihadapkan pada teknologi. Agama Hindu menerima teknologi secara selektif, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Hindu. Bahwa teknologi itu, hanya sebagai sarana penopang/penunjang untuk mencapai hakekat dari pada tujuan hidup beragama di-dalam pelaksanaan upacara/upakara agama. Didalam kehidupan sebagai manusia beragama, teknologi ber-pengaruh didalam mencapai kesejahtraan hidup dan kehidupan. Yang dipakai sebagai tolok ukur dalam menerima/menolak perkembangan teknologi itu, yaitu : a. Tri Samaya 1. Atita = penyesuaian dengan masa lampau. 2. Wartamana = penyesuaian dengan masa sekarang 3. Nagata = penyesuaian dengan masa yang akan datang. b. Tri Pramana 1. Pratyaksa 2. Anumana 3. Agama c. Rasa, utsaha, dan lokika (akal) = berdasarkan penglihatan langsung. = berdasarkan kesimpulan yang logis. = berdasarkan pemberitahuan orang yang dapat dipercaya. Dari kesemua tersebut diatas disesuaikan dengan : Desa = penyesuaian dengan tempat. Kala = penyesuaian dengan waktu. Patra = penyesuaian dengan keadaan 5. Perlu ditetapkan masalah aspek-aspek agama dalam kaitannya dengan teknologi agar masyarakat dapat dituntun dan dibina guna menjaga kemantapan beragama dan melestarikan kebudayaan. KASUS – KASUS 1. Sulinggih sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan mengingat resiko hukum bila terjadi pelanggaran lalu lintas. 2. Melasti Dianjurkan tidak memakai kendaraan, sepanjang masih memungkinkan. 3. Pemakaian Kaset 44 Seminar Kesatuan Tafsir Tidak dibenarkan dipergunakan untuk mengiringi upacara agama, kecuali untuk mengisi kekosongan sepanjang tidak merusak suasana keagamaan. 4. Plastik a. Didalam memohon dan mundut/membawa tirtha dianjurkan supaya mempergunakan tempat dan sikap yang patut demi menjaga kesuciannya. b. Tidak dibenarkan memakai alat-alat yang berasal dari plastik, imitasi dan sejenisnya sebagai pengganti dari pada daun bunga dan buah yang berfungsi sebagai upakara yadnya. c. Penggunaan plastik dan barang-barang imitasi sebagai wadah/hiasan masih bisa diterima. 5. Crematorium a. Tidak dibenarkan dipergunakan dalam pengabenan karena ada ketentuan-ketentuan khusus dalam upacara, misalnya ada api pralina dan alat-alat upacara lainnya. b. Kalau hanya untuk pembakaran mayat guna memudahkan membawa jasad ke tempat yang jauh atau karena alasan-alasan kesehatan, masih bisa diterima. 6. Kompor Penggunaan kompor dalam rangkaian pembakaran mayat bisa diterima, sepanjang tidak merusak suasana dan tidak mengurangi syarat upacara. 7. Seng dan genteng Dianjurkan mempergunakan lalang, ijuk dan bambu sebagai atap untuk bangunan suci dan sedapat mungkin menghindari seng dan genteng sebagai atap. 8. Beton cetakan a. Guna memenuhi persyaratan astha kosala astha kosali dan astha bhumi, bangunan palinggih sebaiknya tidak mempergunakan beton cetakan. b. Kalau penggunaannya bukan untuk palinggih masih bisa diterima. 9. Bayi tabung a. Bayi tabung dapat diterima asal atas persetujuan suami istri. b. Insemenisasi atau pembuahan secara suntik bagi umat Hindu dipandang tidak sesuai dengan tata kehidupan agama Hindu, karena tidak melalui samskara dan menyulitkan dalam hukum kemasyarakatan. 10. M.R. (Menstrual Reagulation) Tidak dibenarkan karena tergolong brunaha, membunuh manik/ embriyo dalam kandungan, kecuali untuk kepentingan ke-selamatan sang ibu. Tentang Kramaning Sembah Dalam Panca Yadnya Dan Sudi Wadani. 45 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang KRAMANING SEMBAH DALAM PANCA YADNYA DAN SUDI WADANI 1. Pengertian Sembah Yang dimaksud dengan sembah ialah : sikap menghormati yang disertai dengan rasa bakti dan penyerahan diri secara iklas. 2. Landasan Menurut agama Hindu bahwa setiap kelahiran dari manusia itu sudah mempunyai hutang yang disebut dengan Tri Rna. 3. Yang dapat disembah a. Ida Hyang Widhi Wasa b. Para Dewa-dewa. c. Para Rsi d. Bhatara/Leluhur e. Manusia f. Butha 4. Sikap menyembah Adapun sikap menyembah dalam kramaning sembah yaitu sesuai dengan buku Tuntunan Muspa bagi umat Hindu yang disusun oleh I Gusti Ketut Kaler yang diterbitkan oleh Jawatan Agama Hindu dan Budha Prop. Bali tahun 1970/1971, dan buku Upadeca tahun 1981/2. Khusus sikap sembah kepada Rsi/Sulinggih dengan cara cakup¬an tangan atau mepes ada diantara uluhati dan dagu. 5. Sarana a. Api b. Air c. Bunga, dapat dilengkapi dengan kuangen 6. Mantram Sesuai dengan buku Tuntunan Muspa/buku Upadesa yang disebutkan diatas 7. Pelaksanaan Sembah dalam Panca Yadnya yalah disesuaikan kepada siapa sembah itu ditujukan. 8. Khusus pada waktu mengucapkan Mantram Tri Sandhya sikap tangan memusti didepan uluhati. 9. Khusus untuk mendoakan/ngastawayang bagi jenasah/roh seseorang yang meninggal dengan berdiri tegak/pada asana de -ngan sikap tangan mamusti dipusar. 46 Seminar Kesatuan Tafsir Upacara Sudi Wadani 1. Pengertian : Sudi artinya penyucian, Wadani artinya ucapan-ucapan/pernyataan berupa kata-kata. Sudi Wadani adalah penyucian perkataan. Jadi upacara Sudi Wadani adalah upacara pada waktu melaku -kan penyucian, menjadi Agama Hindu. 2. Tata cara Upacara Sudi Wadani a. Membuat surat pernyataan pensucian yang syah. b. Upacaranya : 1. Mempergunakan bebanten biyakala, prayascita dan kemampuan (utama). 2. Mempergunakan Bhasma air cendana (madya). 3. Mempergunakan air, bunga, bija, (nista). 4. Pelaksanaannya selalu disertai dengan api. 3. Om, Sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya, Ang Ung Mang. Om. 47 tatahan sesuai dengan Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang UPACARA UPASAKSI 1. Pengertian Upasaksi adalah pernyataan persaksian kehadapan Yang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang bertujuan untuk menyatakan kebenaran perbuatan seseorang baik yang telah lalu maupun yang akan datang. 2. Bentuk-bentuk Upacara Upasaksi 1. Upasaksi sumpah jabatan, adalah upasaksi dalam hubungan sumpah jabatan yang akan dipangku oleh anggota ABRI maupun Sipil. 2. Upasaksi/Sumpah di Pengadilan adalah sumpah yang berhubungan dengan perkara di pengadilan. 3. Upasaksi/Sumpah dalam bentuk cer (berhubungan dengan penguatan pengakuan), adalah sumpah yang mempergunakan sarana mantram Aricandani. 3. Pelaksanaan Upasaksi 1. Upasaksi sumpah jabatan : a. Pengambilan sumpah adalah pejabat yang ditunjuk. b. Yang akan disumpah berpakaian sopan sesuai dengan pakaian dinas. c. Sikap yang akan disumpah berdiri tegak : a. Sikap tangan "DEWA PRESTISTHA" untuk Sipil. b. Anggota ABRI dalam sikap sempurna. d. Saksi pendamping adalah Rokhaniwan atau pejabat yang ditunjuk dengan sikap tangan "DEWA PRESTISTHA" sebaiknya berdiri disebelah kanan dari yang disumpah. e. Sarana untuk Sipil sebaiknya memegang dupa yang menyala dengan sikap tangan "DEWA PRESTISTHA" sedapat mungkin dilengkapi dengan sarana upacara lainnya seperti air suci canang sari, dan daksina. Sarana untuk anggota ABRI sebaiknya sama dengan sipil kecuali upacara penyumpahan di lapangan. f. Sarana mantram yang dipergunakan oleh yang mengambil sumpah adalah : Om atah paramawisesa ; saya bersumpah sesuai dengan sumpah yang telah ditentukan. 48 2. Upasaksi/Sumpah di Pengadilan. a. Pengambilan sumpah adalah pejabat yang ditunjuk. b. Yang akan disumpah berpakaian sopan. c. Sikap yang akan disumpah berdiri tegak : a. Sikap tangan "DEWA PRESTISTHA" untuk sipil dengan memegang dupa yang menyala. b. Anggota ABRI dengan sikap sempurna. d. Saksi pendamping untuk Mahkamah Militer berdiri tegak dalam sikap tangan "DEWA PRESTISTHA". 3. Upasaksi/Sumpah dalam bentuk cer (berhubungan dengan penguatan pengakuan): a. Pengambil sumpah rokhaniwan yang ditunjuk. b. Tempat pelaksanaan yaitu di tempat suci. c. Yang disumpah berpakaian putih atau pakaian adat setempat. Seminar Kesatuan Tafsir d. Sarana upacara sesuai dengan kondisi setempat. Catatan : Air suci cukup dipercikkan saja. 49 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang BEBERAPA ISTILAH KHUSUS DALAM AGAMA HINDU Yang dimaksud dengan beberapa istilah khusus dalam Agama Hindu ialah : beberapa istilah yang mempunyai nilai khusus dalam kehidupan Umat Hindu. Nilai khusus itu ditentukan oleh adanya : a. Sangaskara/penyucian, b. Adat istiadat. Atas dasar syarat-syarat tertentu istilah-istilah ini hanya boleh dipergunakan untuk kepentingan Agama Hindu sesuai dengan syarat-syarat tersebut di atas. Istilah-istilah tersebut antara lain : Widi Dewa Bhatara Wisnu Ciwa Brahma Tri Murti Saraswati Baruna Purusa dan Pradana Upakara Tirta Dupa Banten Panca Yadnya Ngodalin Tri Sandhya Ngaben Mediksa/medwijati Wewara Mecaru Tawur 50 Rsi Empu Pedanda Bujangga Senggu Dukuh Danghyang Pandita Weda Rerahinan Nyepi Galungan Kayangan Pura Meru Padmasana Merajan Sanggah Banjar Pemaksan Puri Grya Sema Setra Tunon Genta Bajra Pratima Swamba Arca Widyaksara, Ongkara Awighnamastu Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang TABUH RAH Memperinci pelaksanaan "Tabuh Rah" dalam Bhuta Yadnya : 1. Tabuh Rah dilaksanakan dengan "penyambleh", disertai Upakara Yadnya. 2. Tabuh Rah dalam bentuk "perang sata" adalah suatu drsta yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya boleh diganti dengan "penyambleh". 3. Apa bila akan melakukan "perang sata", harus memenuhi syarat sebagai berikut: 3.1. Upacara Bhuta Yadnya yang boleh disertai "perang sata" adalah : 3.1.1.1. Caru Panca Kelud (Pancasanak madurgha). 3.1.1.2. Caru Rsi Ghana. 3.1.1.3. Caru Balik Sumpah. 3.1.1.4. Tawur Agung. 3.1.1.5. Tawur Labuh Gentuh. 3.1.1.6. Tawur Pancawalikrama. 3.1.1.7. Tawur Eka Dasa Rudra. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 4. 51 Pelaksanaannya dilakukan di tempat upacara pada saat mengakhiri upacara itu. Diiringi dengan "adu tingkih, adu pangi, adu taluh, adu kelapa, andel-andel" serta upakaranya. Pelaksananya adalah sang Yajamana dengan berpakaian upacara. Perang sata maksimal dilakukan "tiga parahatan" (3 sehet) tidak disertai taruhan apapun. Selain dari yang tersebut dalam butir 1, 2, 3, di atas adalah merupakan suatu penyimpangan. Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang UPACARA KEMATIAN KHUSUSNYA BAGI ORANG YANG MENINGGAL DI LAUT Tata cara menurut Upacara Agama Hindu dan Tata Cara Nasional. A. Tata Cara Menurut Agama Hindu 1. Perawatan Jenazah : 1.1. Terlebih dahulu jenazah harus dimandikan dengan air tawar yang bersih dan sedapat mungkin dicampur dengan wangi-wangian. 1.2. Setelah itu diberi secarik kain putih untuk menutupi bagian muka/wajah dan bagian alat vitalnya (kelaminnya). 1.3. Kemudian barulah diberi pesalin dengan kain atau baju yang baru (bersih), rambutnya dirapikan (perempuan : rambutnya digulung sesuai dengan arah jarum jam), posisi tangan dengan sikap "menyembah" kebawah. Setelah itu dibungkus dengan kain putih. 1.4. Pada saat membungkus jenazah tersebut supaya di -perhatikan hal-hal sebagai berikut: 1.5. Bila jenazah itu laki-laki maka lipatan kainnya : yang kanan menutupi yang kiri, dan bila mayat itu perempuan maka lipatan kainnya : yang kiri menutupi yang kanan. Setelah terbungkus rapi ikatlah bagian ujung (kepala dan kaki) serta bagian tengah jenazah yang bersangkutan dengan benang atau sobekan kain pembungkus tadi. Setelah selesai perawatan diatas, barulah jenazah tersebut disemayamkan ditempat yang telah ditetapkan. 2. Tata Cara Pelaksanaan Upacara Tata cara upacara yang mungkin dapat dilaksanakan adalah upacara darurat yang dalam hal ini harus dipimpin oleh seseorang yang beragama Hindu yang ada dalam kapal/ tempat tersebut yaitu : 2.1. Paling tidak ada sebuah "punjung" atau hidangan yang materinya terdiri dari : sepiring nasi dilengkapi dengan lauk pauk seadatnya, air minum, air wijikan, rokok dan lainlain sebagaimana santapan biasa. 2.2. Pimpinan upacara menyuguhkan mendiang untuk me -nikmati puhjung/hidangan tersebut disertai dengan ucapan bahasa sehari-hari. Catatan : Punjung/hidangan disuguhkan disebelah ka -nan jenazah yakni diantara leher dan pusarnya. 2.3. Selanjutnya pimpinan upacara mohon persaksian (sembahyang) yang kalau situasi memungkinkan agar memakai sarana dupa (api) kehadapan Bhatara Surya (Sang Hyang Widhi/Tuhan) dan kehadapan Bhatara Baruna. Akhirnya jenazah tersebut supaya dititipkan kehadapan Ibu Pertiwi. Bila nanti oleh keluarga yang bersangkutan berniat untuk "mengabenkannya", cukup "ngendag" dari setra (kuburan) dan "pangulapan" di marga tiga (sim¬pang tiga). 2.4. Kemudian tibalah saatnya menurunkan jenazah ke tengah laut yang disertai dengan pesan seperlunya. Posisi jenazah pada saat diturunkan ke tengah laut kepalanya supaya mengarah pada matahari terbit. Pada saat ini diikuti dengan penghormatan terakhir oleh segenap hadirin, kalau mungkin disertai dengan taburan bunga. 52 Seminar Kesatuan Tafsir B. Tata Cara Nasional Suatu kemungkinan dapat terjadi bahwa di tempat kejadian atau kapal tempat umat Hindu yang meninggal tersebut tidak terdapat umat Hindu lainnya yang masih hidup, yang dapat bertindak selaku pimpinan upacara maka tata upacara penyelesai -annya dengan ketentuan yang berlaku. 53 Seminar Kesatuan Tafsir KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR Tentang PEMBUATAN PINGET/TANDA BAGI ORANG YANG MENINGGAL DI DARAT 1. Pengertian dan fungsi "Pinget" 1.1. Yang dimaksud "pinget" dalam hubungan ini adalah tanda dalam bentuk tertentu sebagai identitas makam umat Hindu baik yang berisi jasad maupun simbul jazad lainnya. 1.2. "Pinget" tidak mengandung pengertian sebagai sarana/ tempat pemujaan seperti pelinggih pada umumnya yang mempunyai nilai sakral. 2. Bentuk "Pinget" Bentuk "pinget" terdiri atas tiga bagian yaitu : 2.1. Dasar 2.2. Badan (pangawak) 2.3. Puncak. Pada badan (Pangawak) "pinget" tersebut diberi tanda Swastika di atas suratan nama yang bersangkutan. Sedangkan pemberian "pinget" bagi mereka yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan yang pada umumnya mempunyai bentuk yang seragam, maka pemakaian "pinget" bagi umat Hindu disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dan sedapat mungkin supaya di atas suratan nama yang bersangkutan diisi dengan lambang Swastika. 54 Seminar Kesatuan Tafsir 55 Seminar Kesatuan Tafsir 56 Seminar Kesatuan Tafsir 57