Pasien pria 39 tahun dengan demam 2 minggu dan jaundice

advertisement
Pasien pria 39 tahun dengan demam 2 minggu dan jaundice
Seorang pria berusia 39 tahun datang ke Unit Gawat Darurat dengan keluhan demam tinggi hilang
timbul sejak 2 minggu yang lalu. Demam disertai dengan menggigil, sakit kepala, mual muntah dan
nyeri otot. Pasien juga mengaku sudah beberapa hari ini badan dan mata menguning disertai dengan
buang air kecil seperti teh. Pasien diketahui sebagai pekerja World Wildlife Fund di taman nasional
Ujung Kulon.
Pasien sebelumnya telah beberapa dirawat oleh sebuah rumah sakit dengan diagnosis demam
berdarah dengue. Pada hari ke lima dirawat, pasien tersebut baru diperiksa lebih lanjut dan
dinyatakan menderita malaria. Pasien dimanajemen dengan Quinine per drip 500mg setiap 8 jam.
Pemeriksaan fisik mengambarkan pasien dalam keadaan sakit berat namun masih sadar dan
berorientasi penuh. Hemodinamik pasien stabil dengan hipotensi minimal (90/50 mmHg), sesak
napas (respiratory rate 33x/menit), nadi dan suhu dalam batas normal (98x/menit dan 36,5°C).
Konjungtiva pasien tampak anemis dan sklera tampak ikterik, disertai dengan lidah berselaput putih
tanpa pembesaran kelenjar getah bening regional. Pemeriksaan paru tidak menunjukkan adanya
kelainan selain penggunaan otot-otot napas tambahan serta pergerakan paru cepat dan dalam
(pernapasan Kussmaul) sedangkan jantung tidak ada kelainan. Abdomen pasien nampak adanya
distensi dengan nyeri tekan epigastrium dan pembesaran hepar 3-4 cm di bawah arkus kosta, sedang
lien tidak teraba membesar dan bising usus positif normal. Ekstremitas teraba hangat, kulit nampak
ikterik dan ada edema pada kedua tungkai bawah.
Jenis Pemeriksaan
Laboratorium
Hasil
Pemeriksaan
Hemoglobin
9,6 g/dL
Leukosit
7300 sel/μL
Trombosit
108.000 sel/μL
Laju Endap Darah
pH
pCO2
pO2
HCO3
Base Excess
64
7,36
29,6 mmHg
79,5 mmHg
16,3 mEq/L
-7,6 mmol/L
Natrium
134 mEq/L
Kalium
4,9 mEq/L
*
Nilai
Referensi
*
Normal
14.0-17.4
g/dL
5.000-10.000
sel/μL
150.000400.000
sel/μL
<20
7.35-7.45
35-45 mmHg
>80 mmHg
22-26 mEq/L
>2 mmol/L
135-148
mEq/L
3,6-5,8 mEq/L
Jenis Pemeriksaan
Laboratorium
Hasil
Pemeriksaan
Alanin Transferase
(ALT)
Aspartat
Transferase (AST)
Bilirubin total
359 U/L
Nilai
Referensi
*
Normal
10-40 U/L
369 U/L
14-20 U/L
23.6 mg/dL
0.3-1.0 mg/dL
Bilirubin direk
Bilirubin Indirek
Gamma GT
Ureum
Kreatinin
HS-C Reactive
Protein
Glukosa darah
Sewaktu
17.95 mg/dL
5.74 md/dL
99 U/L
187 mg/dL
7.3 mg/dL
117 mg/dL
0.0-0.2 mg/dL
101 mg/dL
< 200 mg/dL
th
7-47 U/L
40 mg/dL
0.9-1.3 mg/dL
<0.8 mg/dL
nilai referensi normal diambil dari Frances Fisbach’s “A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests 7 edition”, Lippincott
William Wilkins 2003.
Pertanyaan dan Jawaban
Tanya : Apakah diagnosis kerja saudara terhadap pasien ini?
Jawab :
Malaria berat dengan asidosis metabolik terkompensasi, hiponatremia ringan, gangguan
fungsi hati e.c. hepatitis malaria, gagal ginjal akut e.c. deposisi pigmen bilirubin.
Malaria sebagai diagnosa kerja dapat ditegakkan melalui riwayat pasien yang berasal dari
daerah endemik, suhu tubuh di atas 38.5°C, menggigil, trombositopenia dan peningkatan
kadar bilirubin total (lihat tabel). Kecurigaan atas infeksi malaria harus selalu diutamakan
pada pasien-pasien demam dengan riwayat bepergian atau tinggal di daerah endemik,
dalam hal ini Ujung Kulon. Indonesia sendiri masih menjadi daerah endemik untuk malaria,
terutama daerah Jawa Tengah seperti perbukitan Menoreh, Kepulauan Bangka Belitung,
Kalimantan, Maluku, sebagian Sulawesi dan Papua.1,2,3,4
Tabel. Faktor prediksi independen untuk Malaria6
Odds Ratio**
Mengunjungi
daerah endemik*
Suhu ≥38.5°C
Menggigil
Trombositopenia
<130.000/μL
Bilirubin total
≥1.05 md/dL
7.7
95% Confidence
Interval
2.8-21.3
6.2
3.0
16.5
2.8-13.3
1.4-6.6
7.1-38.3
21.5
6.4-72.4
Malaria sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu malaria tanpa komplikasi dan malaria berat.
Diagnosis malaria berat ditegakkan apabila terjadi komplikasi pada pasien dengan infeksi
malaria yang telah terbukti. Komplikasi pada malaria berat dapat berupa malaria serebral,
anemia berat, gagal ginjal akut, respiratory distress, gangguan sistem pembekuan darah,
renjatan dan hipoglikemia. Selain itu kombinasi keadaan klinis seperti penurunan kesadaran,
kelemahan umum, pasien tampak sakit berat dan mual muntah hebat pada pasien dengan
malaria falsiparum juga dapat dikategorikan sebagai malaria berat. Pada pasien ini diagnosis
malaria berat ditegakkan atas dasar gagal ginjal akut, adanya anemia hemolitik, asidosis
metabolik, penurunan saturasi O2 dan kombinasi keadaan klinis pasien.2,3,4,5
Tanya : Apakah diferensial diagnosis saudara terhadap pasien ini?
Jawab :
Typhoid dengan hepatitis typhosa, Leptospirosis berat, Hepatitis viral fulminan, dan
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF).
Malaria berat merupakan suatu infeksi dengan manifestasi sistemik, dengan adanya
pelepasan pigmen malaria secara luas dan pengikatannya dengan antibodi reaksi
peradangan pada malaria dapat terjadi secara luas. Reaksi peradangan yang terjadi dapat
berupa sindroma respons inflamasi sistemik sampai ke renjatan septik, oleh karena itu
malaria juga harus dibedakan dengan infeksi-infeksi sistemik lainnya seperti typhoid,
leptospirosis berat dan DHF. Khusus untuk demam typhoid perlu mendapatkan perhatian
oleh karena pasien ini berasal dari daerah dengan hygienitas yang buruk. Profil klinis
penderita ini seperti demam lama, leukosit yang normal, trombositopenia dan peningkatan
tes fungsi hepar dapat pula mengarahkan diagnosis kepada hepatitis typhosa. Pasien-pasien
dengan DHF juga dapat memberikan gambaran klinis dan laboratoris yang serupa, namun
seperti telah diketahui, pada DHF yang terpenting adalah peningkatan hematokrit
(hemokonsentrasi) lebih dari 20% nilai dasar pasien dan bukan semata-mata bergantung
pada trombositopenia. Kesalahan menggantungkan diagnosa DHF pada trombositopenia dan
tidak didukung oleh hemokonsentrasi ataupun pemeriksaan IgM dan IgG anti Dengue,
seperti pada pasien ini, dapat mengarahkan kita pada misdiagnosis.
Pasien dengan infeksi berat yang disertai dengan jaundice dan trombositopenia, terlebih
yang berasal dari daerah kumuh atau pedalaman harus dicurigai juga untuk terinfeksi
leptospirosis. Hepatitis fulminan juga dapat memberikan gambaran yang sama.
Tanya : Pemeriksaan penunjang apa yang akan saudara minta untuk menegakkan dan
menyingkirkan diagnosis pada pasien ini?
Jawab :
Hapusan darah tebal dan tipis, IgM/IgG anti leptospira, HbsAg, anti HAV, IgM-IgG anti
Dengue, serologi disertai kultur Salmonella typhii, dan rontgen thorax PA/Lateral.
Diagnosis definitif untuk malaria ditegakkan dengan penemuan parasit pada sediaan darah
tebal dan tipis. Pengambilan sediaan darah tidak perlu menunggu sampai puncak demam,
karena parasit selalu diketemukan di dalam darah setiap saat. Sebelum pengambilan sampel,
semua kemoprofilaksis malaria harus dihentikan terlebih dahulu, karena dapat menekan
jumlah parasit di darah perifer dan menyulitkan diagnosis. Hapusan darah tebal terutama
berguna untuk menyingkirkan diagnosis malaria oleh karena sensitivitasnya yang tinggi.
Hapusan darah tipis sebaliknya berguna untuk penentuan spesies dan indeks parasitemia.
Tingkatan maturasi parasit pada sediaan darah tepi juga berguna untuk menentukan
prognosis, adanya parasit dalam stadium matur menandakan sekuestrasi parasit dan derajat
penyakit yang berat. Adanya pigmen malaria pada >5% neutrofil juga mengindikasikan
adanya beban parasit yang tinggi serta menandakan prognosa yang buruk.2,3,5
Pemeriksaan IgM dan IgG antileptospira ditujukan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial
Leptospirosis berat, begitu juga dengan pemeriksaan serologi hepatitis viral dan S.typhii.
Pemeriksaan rontgen thorax PA/Lateral diperlukan untuk menilai keadaan paru pasien,
dikarenakan pada pasien dengan malaria berat mempunyai kemungkinan untuk menderita
edema pulmonar non hipo-albuminemia. Kombinasi antara pemeriksaan rontgen thorax dan
analisa gas darah akan menentukan kebutuhan pasien akan pemasangan ventilator. Pada
pasien-pasien malaria berat dengan resiko tinggi untuk mengalami gagal napas, disarankan
untuk pemasangan ventilator dini.
Tanya : Bagaimana manajemen yang saudara anjurkan untuk pasien ini?
Jawab :
Manajemen :2,7
a. Rawat dalam ICU, pasang monitoring fungsi jantung, hemodinamik dan EKG
baseline. Periksa kadar enzim G6PD.
b. Infusi lambat quinine 20mg/kgBB sebagai loading dose kemudian dilanjutkan
10mg/kgBB dalam dekstrosa 5% setiap 8 jam bila tidak ada defisiensi enzim G6PD.
Monitoring efektivitas terapi dengan indeks parasitemia, bila sudah bersih minimal 3
x 24 jam dan pasien bisa intake oral pindahkan ke regimen oral. Tambahkan
doksisiklin 200mg dosis awal dan 100 mg/hari bersama dengan regimen quinine.
Setelah regimen quinine selesai tutup dengan Fansidar 3 tablet untuk mencegah
kekambuhan.
c. Monitoring hemoglobin, glukosa darah, analisa gas darah dan indeks parasitemia
secara periodik.
d. Pertimbangkan transfusi sulih bila indeks parasitemia >10% atau bila disertai dengan
gangguan kesadaran.
e. Manajemen masalah pernapasan, fungsi ginjal dan fungsi hepar sesuai dengan
prosedur yang berlaku.
f. Cegah dan atasi komplikasi yang mungkin timbul, seperti sepsis, anemia berat dan
malaria serebral.
Manajemen di atas merupakan standar manajemen yang disetujui oleh WHO, namun pada
prakteknya seringkali terapi dengan menggunakan quinine di Indonesia banyak mengalami
kegagalan. Quinine dalam dosis loading dose (20mg/kgBB) juga seringkali dikaitkan dengan
banyak efek samping seperti gangguan ginjal dan aritmia. Derivat artemisinin yaitu
artesunate dapat menjadi alternatif terapi yang aman dan efektif. Artesunate dapat
diberikan sebagai berikut, dimulai dengan dosis 150mg I.V. per 12 jam dalam 24 jam
pertama, kemudian dilanjutkan dengan 150 mg I.V. per 24 jam sampai tidak didapatkan lagi
parasitemia di dalam darah selama 3 x 24 jam.
Fungsi pernapasan pada pasien ini patut mendapatkan perhatian khusus, adanya alkalosis
repiratorik dan asidosis metabolik (pCO2 rendah, pO2 rendah, pH terkompensasi, HCO3
rendah dan BE rendah) membuat pasien ini mempunyai resiko tinggi untuk mengalami gagal
napas. Pemasangan ventilator untuk membantu fungsi pernapasan pada pasien dengan
ARDS sangat dianjurkan. Fungsi ginjal yang menurun, disertai dengan tingginya kadar pigmen
bilirubin di dalam darah membuat pasien ini juga mempunyai resiko tinggi mengalami gagal
ginjal karena deposisi pigmen malaria dan eritrosit terinfeksi pada ginjal. Permasalahan ini
dapat diatasi dengan menggunakan hemodialise dini, terutama apabila terjadi uremia,
edema paru, asidosis metabolik, hiperkalemia,oliguria dan anuria menetap.
Resistensi obat4
Resistensi P.falciparum terhadap klorokuin pertama kali diamati 50 tahun yang lalu, kini
hampir semua lokasi di dunia telah timbul P.falciparum yang resisten. Galur-galur falsiparum
telah menimbulkan resistensi pada hampir semua antimalaria yang lazim digunakan
termasuk pirimetamin-sulfadoksin (Fansidar) dan meflokuin. Di Indonesia daerah Jawa,
Sumatera barat, Sulawesi, Kalimantan (kecuali Kalimantan Selatan) dan Papua secara umum
resisten terhadap klorokuin namun masih sensitif terhadap yang lainnya. Daerah Sumatera
utara, Aceh, Kalimantan Selatan dan perbatasan Papua dengan Papua Nugini resisten
terhadap Fansidar. Sumatera Selatan, Jambi dan Riau termasuk kepulauan Riau telah
mengalami multi-drug resistant.
Plasmodium vivax di Indonesia lebih mudah ditangani, dengan resistensi terhadap klorokuin
hanya terjadi pada daerah Papua, dan beberapa daerah di Indonesia secara sporadis. Secara
umum klorokuin masih dapat digunakan sebagai terapi lini pertama untuk infeksi P. vivax.
Tanya : Apa sajakah komplikasi yang harus diwaspadai pada pasien ini?
Jawab :
Seperti telah disebutkan di atas, untuk malaria berat harus diwaspadai anemia hemolitik
berat, gagal ginjal akut, gangguan sistem pembekuan darah, gagal napas, malaria serebral,
hipoglikemia dan renjatan.
Anemia dapat disebabkan oleh penghancuran eritrosit berlebihan oleh karena lisis sel oleh
parasit, lisis sel sehat karena sensitisasi antibodi dan peningkatan aktivitas sistem
retikuloendothelial seperti splenomegali. Pada malaria juga terdapat gangguan pada
pembentukan eritropoiesis baik oleh karena penekanan fungsi sumsum tulang (hipoplasia)
maupun karena gangguan morfologi eritrosit (dis-eritropoiesis).
Gangguan fungsi ginjal dengan berbagai tingkatan hampir selalu terjadi pada malaria,
seringkali karena hipovolemia. Gagal ginjal akut dapat terjadi pada semua fase baik pada
fase parasitik maupun pada saat fase penyembuhan. Demam blackwater walaupun tampak
dramatis namun jarang menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut. Demam ini sendiri
disebabkan oleh karena defisiensi G6PD dan juga pada pasien semi-immun yang diterapi
dengan klorokuin.
Gagal napas pada malaria ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam, terkadang dapat
disertai dengan gangguan irama respirasi. Sebagain besar kasus terjadi karena kompensasi
asidosis metabolik, namun harus diperhatikan penyebab lain seperti peningkatan tekanan
intrakranial, invasi parasit ke otak, infeksi sekunder, anemia berat, edema paru dan
penggunaan atikonvulsan berlebihan. Manajemen sesuai dengan faktor penyebab.
Malaria serebral merupakan suatu keadaan klinis di mana penderita malaria jatuh ke dalam
keadaan koma, biasa didahului dengan kejang. Onset dapat berlangsung tiba-tiba namun
dapat pula terjadi secara berangsur-angsur selama beberapa hari. Mayoritas kasus tidak
memiliki gejala neurologis fokal, namun manifestasi neurologis dapat bervariasi. Koma
malaria serebral terjadi bukan hanya karena kerusakan neurologis primer, namun juga dapat
disebabkan oleh periode post-iktal berkepanjangan, status epileptikus, atau kelainan
metabolik berat seperti asidosis dan hipoglikemia.
Hipoglikemia pada malaria dapat timbul tanpa gejala klinis yang jelas karena pasien sudah
tidak sadar dari awal. Penegakkan diagnosis membutuhkan tingkat kewaspadaan yang tinggi,
dianjurkan pemeriksaan glukosa darah secara rutin terutama pada pemakaian klorokuin
(menyebabkan hiperinsulinemia) dan pada saat pemeriksaan pertama kali.
Lanjutan kasus
Gambar . Skema keadaan harian dari suhu, nadi dan pernapasan pasien.
Pasien dirawat selama 26 hari (10 hari ICU, 11 hari HCU dan 5 hari ruangan) dengan Malaria berat
dengan gangguan fungsi hati e.c. hepatitis malaria, gagal ginjal akut e.c deposisi pigmen bilirubin dan
asidosis metabolik ringan. Diagnosis malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan hapus darah
tebal dan tipis, diketemukan P.falciparum stadium gametosit dengan indeks parasitemia 3%. Infeksi
parasit malaria diterapi dengan menggunakan Quinine(kina) HCl per-infus 500mg/8 jam, setelah
sebelumnya dilakukan pemeriksaan enzim G6PD dengan hasil 102 U/g. Peningkatan enzim G6PD
jauh di atas nilai normal (8-18.6) di duga disebabkan oleh karena hemolysis berlebihan akibat infeksi
malaria. Setelah pengobatan dengan quinine selama 48 jam ternyata parasitemia pasien masih
positif dan keadaan klinis memburuk (masih demam, sesak napas, ikterik, hemoglobin turun menjadi
8.3g/dL, bilirubin dan AST/ALT meningkat serta tidak ada perbaikan dari fungsi ginjal). Berdasarkan
keadaan tersebut maka terapi Quinine di stop dan digantikan dengan Artesunate 150 mg/12 jam per
infus untuk 24 jam pertama dan dilanjutkan 150mg/24 jam sampai parasitemia bersih dari dalam
darah selama 3x24 jam. Terapi ini berhasil menurunkan parasitemia sampai tidak terdeteksi dalam
hapusan tipis dalam waktu 48 jam, sedangkan dalam hapusan tebal dalam waktu 96 jam kemudian.
Terapi antimalaria intravena pada kasus-kasus malaria berat juga harus didukung dengan
pemantauan dan penanganan komplikasi yang mungkin timbul. Gagal ginjal pada pasien ini harus
diterapi dengan hemodialise dini, pada kasus-kasus malaria berat hemodialise dini terbukti mampu
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Penanganan suportif terhadap sistem pernapasan
juga sangat penting untuk diperhatikan, edema paru akut harus ditangani dengan pemasangan
ventilator. Perhatian juga harus diberikan kepada kemungkinan timbulnya komplikasi sepertia
anemia berat, sindroma koagulasi intravaskular diseminata, malaria serebral, hipoglikemia dan
renjatan (lihat tabel).
Tabel. Manifestasi malaria berat dan definisinya2
Koma dengan parasitemia perifer dan penyebab
ensefalopati lainnya telah disingkirkan.
Anemia normositik dengan Hb <5g/dL dan parasitemia.
Edema pulmonar dan ARDS
Output urine <400 cc/24 jam dan kreatinin serum
>3mg/dL.
Glukosa darah sewaktu <40mg/dL.
Tekanan darah sistolik <70mmHg.
Perdarahan spontan atau hasil lab mengindikasikan DIC.
Malaria serebral
Anemia berat
Respiratory distress
Gagal ginjal akut
Hipoglikemia
Shock
Gangguan pembekuan darah
Keberhasilan dalam menghilangkan parasitemia pada pasien ini diikuti dengan membaiknya
parameter fungsi hati dan kenaikan trombosit, sedangkan gagal ginjal yang mengikutinya dapat
diterapi secara memuaskan dengan menggunakan hemodialise dan manajemen cairan elektrolit.
Namun demikian, keadaan klinis pasien tersebut belum mengalami perbaikan yang berarti, seperti
dapat dilihat pada gambar di atas, suhu tetap tinggi, pernapasan tidak stabil dan pada hari ke 6
perawatan pasien mengalami leukositosis. Status hematologik pasien juga mengalami perburukan,
hemoglobin berangsur-angsur menurun sehingga mencapai nilai terendah 6.8 g/dL pada hari ke 15
perawatan, pada pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan adanya eosinofilia (9%) dan
anisositosis eritrosit. Status hemostasis pasien juga mengalami gangguan dengan adanya
peningkatan pada PT (24.9 dtk), APTT (45.4 dtk), Fibrinogen (575 mg/dL) dan D dimer (1600 μg/L)
disertai adanya peningkatan hs-CRP (117 mg/dL) mengarahkan kecurigaan akan adanya kelainan
inflamatorik.
23/02/07
Hemoglobin 9,6 g/dL
Hematokrit 26%
Leukosit
7.300 sel/μL
Trombosit
108000
sel/μL
28/02/06
9.3 g/dL
26%
11.500
sel/μL
335.000
sel/μL
Tanggal
05/03/06
09/03/06
8.6 g/dL
6.8 g/dL
25%
20%
11.300
9.500 sel/μL
sel/μL
399.000
291.000
sel/μL
sel/μL
13/03/06
7.6 g/dL
22%
5.200 sel/μL
17/03/06
8.5 g/dL
25%
9.200 sel/μL
275.000
sel/μL
312.000
sel/μL
Pada pasien ini dengan kecurigaan reaksi inflammatorik akhirnya dilakukan pemeriksaan kadar
Immunoglobulin E (IgE), dan didapatkan hasil yang meningkat secara signifikan (1957 IU/mL)
dibandingkan dengan normal (<130 IU/ml). Peningkatan IgE yang sangat signifikan ini disebabkan
oleh karena eksposure berkepanjangan terhadap malaria, mengingat pasien ini bekerja di daerah
Ujung Kulon.8,9 Malaria telah lama dikaitkan dengan peningkatan kadar Immunoglobulin G (IgG) dan
peningkatan ini menghasilkan kekebalan terhadap malaria, namun mengenai peningkatan IgE baru
akhir-akhir ini mendapatkan perhatian. Pada tahun 2003, Callisano dkk menunjukkan bahwa
peningkatan kadar IgE pada penderita malaria menyebabkan peningkatan keparahan penyakit
secara signifikan.8 Immunoglobulin E diketahui menyebabkan perubahan keseimbangan antar rasio
sel T helper (Th) menjadi lebih berpihak ke peningkatan Th2. Peningkatan kadar Th2 ini sendiri
menyebabkan peningkatan kadar Interleukin (IL)-4 dan IL-13 secara berlebihan. Lebih lanjut lagi
deposisi IgE dan pigmen malaria pada otak menyebabkan jaringan otak secara berlebihan
memproduksi Tumor Necrotizing Factor (TNF)-α, sehingga berkontribusi terhadap reaksi inflamasi
dalam hal ini demam secara berkepanjangan. Selain menyebabkan rangsangan peningkatan suhu
(akibat pirogen endogen) secara berkepanjangan, penumpukan pigmen malaria dan IgE dalam
jaringan otak juga berkaitan erat dengan insidensi dan keparahan malaria serebral.9
Prinsip manajemen dari sindroma hyper IgE adalah dengan menekan sistem immun penderita
menggunakan kortikosteroid dosis tinggi. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi mempunyai resiko
menurunkan daya tahan pasien terhadap infeksi, terutama infeksi nosokomial, oleh karena itu
penggunaannya harus dengan pengawasan yang ketat.
Pasien ini berespons baik terhadap terapi dengan menggunakan kortikosteroid, secara berangsurangsur keadaan klinis pasien membaik (lihat ilustrasi) dan akhirnya pasien pulang pada hari ke 26
perawatan dengan dinyatakan sembuh.
Referensi
1Barcus M, Laihad F et al. Epidemic malaria in the menoreh hills of central java. Am. J. Trop. Med.
Hyg., 66(3), 2002, pp. 287–292
2Pasvol G. Malaria. In Cohen’s Infectious Disease 2nd edition: Ch.166: 1579-1591. Mosby. Elsevier
Limited. Edinburgh 2004.
3Carter R., Mendis K N. Evolutionary and historical aspects of the burden of malaria. Clinical
Microbiology Reviews (2002)15;4:564-594.
4Wongsrichanalai C, Pickard AL et al. Epidemiology of drug-resistant malaria. The Lancet : Infectious
Disease (2002) 2:209-218.
5Weatherall D J, Miller LH et al. Malaria and the red cell. Hematology (2002) 35-57.
6Casalino E, Bras J L et.al. Predictive factors of malaria in travelers to areas where malaria is
endemic. Arch Intern Med (2002);162:1625-1630.
7Griffith K S, Lewis L, et al. Treatment of Malaria in the United States. JAMA (2007) 297;20:22642274.
8Calissano C, Modiano D et al. IgE antibodies to plasmodium falciparum and severity of malaria in
children of one ethnic group living in Burkina Faso. Am. J. Trop. Med. Hyg., 69(1), 2003, pp. 31–35
9Maenno Y, Perlmann P et al. IgE depositions on brain microvessels and parasitized erythrocytes
from cerebral malaria patients. Am. J. Trop. Med. Hyg., 63(3, 4), 2000, pp. 128–132
10Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Konsensus penanganan malaria tahun
2003. PAPDI. Jakarta. Agustus 2003.
Lampiran. Algoritme Pengobatan Malaria7
Riwayat bepergian ke daerah
endemik atau kecurigaan klinis
Pemeriksaan hapusan darah tipis
dan tebal. Baca <12 jam
Hasil Positif ?
Ulang setiap 12-24 jam sampai 4872 jam
Hitung indeks parasitemia
Hasil Positif ?
Evaluasi status klinis dan
keparahan penyakit
Diagnosis
Alternatif ?
Malaria tanpa komplikasi
Malaria berat
Tentukan spesies dengan hapusan
darah tipis
Non Falsiparum
Falsiparum atau spesies belum
bisa ditentukan
P.malariae
P.ovale /
P.vivax di
luar
Indonesia
P.vivax
dari
Indonesia
Klorokuin
Klorokuin
Atovaquone
/ Proguanil
Atau
Quinine plus
Doksisiklin
Atau
Meflokuin
Primakuin bila tidak defisiensi G6PD
Bila G6PD defisien jelaskan mengenai
kemungkinan relaps
Dari daerah
Klorokuin
Sensitif
Dari daerah
Klorokuin
resisten
Klorokuin
Atovaquone /
Proguanil
Atau
Quinine plus
Doksisiklin
Atau
Meflokuin
 Quinine intravena plus
doksisiklin.
 Masukkan ke unit rawat
intensif.
 Monitor fungsi jantung
berkelanjutan dan monitor
tekanan darah sering.
 Monitor parasitemia, glukosa,
hemoglobin, dan AGD secara
periodik.
 Cegah dan obati komplikasi.
 Pertimbangkan transfusi sulih
apabila parasitemia >10% atau
bila kesadaran terganggu,
pulmonary edema, dan
gangguan ginjal.
 Ubah ke oral bila mungkin.
Rawat inap
Monitor harian
Ulangi pemeriksaan setiap hari sampai
parasitemia bersih atau hari ke 7
Ulangi hapusan darah bila gejala kambuh
Download