Pasien pria 39 tahun dengan demam 2 minggu dan jaundice Seorang pria berusia 39 tahun datang ke Unit Gawat Darurat dengan keluhan demam tinggi hilang timbul sejak 2 minggu yang lalu. Demam disertai dengan menggigil, sakit kepala, mual muntah dan nyeri otot. Pasien juga mengaku sudah beberapa hari ini badan dan mata menguning disertai dengan buang air kecil seperti teh. Pasien diketahui sebagai pekerja World Wildlife Fund di taman nasional Ujung Kulon. Pasien sebelumnya telah beberapa dirawat oleh sebuah rumah sakit dengan diagnosis demam berdarah dengue. Pada hari ke lima dirawat, pasien tersebut baru diperiksa lebih lanjut dan dinyatakan menderita malaria. Pasien dimanajemen dengan Quinine per drip 500mg setiap 8 jam. Pemeriksaan fisik mengambarkan pasien dalam keadaan sakit berat namun masih sadar dan berorientasi penuh. Hemodinamik pasien stabil dengan hipotensi minimal (90/50 mmHg), sesak napas (respiratory rate 33x/menit), nadi dan suhu dalam batas normal (98x/menit dan 36,5°C). Konjungtiva pasien tampak anemis dan sklera tampak ikterik, disertai dengan lidah berselaput putih tanpa pembesaran kelenjar getah bening regional. Pemeriksaan paru tidak menunjukkan adanya kelainan selain penggunaan otot-otot napas tambahan serta pergerakan paru cepat dan dalam (pernapasan Kussmaul) sedangkan jantung tidak ada kelainan. Abdomen pasien nampak adanya distensi dengan nyeri tekan epigastrium dan pembesaran hepar 3-4 cm di bawah arkus kosta, sedang lien tidak teraba membesar dan bising usus positif normal. Ekstremitas teraba hangat, kulit nampak ikterik dan ada edema pada kedua tungkai bawah. Jenis Pemeriksaan Laboratorium Hasil Pemeriksaan Hemoglobin 9,6 g/dL Leukosit 7300 sel/μL Trombosit 108.000 sel/μL Laju Endap Darah pH pCO2 pO2 HCO3 Base Excess 64 7,36 29,6 mmHg 79,5 mmHg 16,3 mEq/L -7,6 mmol/L Natrium 134 mEq/L Kalium 4,9 mEq/L * Nilai Referensi * Normal 14.0-17.4 g/dL 5.000-10.000 sel/μL 150.000400.000 sel/μL <20 7.35-7.45 35-45 mmHg >80 mmHg 22-26 mEq/L >2 mmol/L 135-148 mEq/L 3,6-5,8 mEq/L Jenis Pemeriksaan Laboratorium Hasil Pemeriksaan Alanin Transferase (ALT) Aspartat Transferase (AST) Bilirubin total 359 U/L Nilai Referensi * Normal 10-40 U/L 369 U/L 14-20 U/L 23.6 mg/dL 0.3-1.0 mg/dL Bilirubin direk Bilirubin Indirek Gamma GT Ureum Kreatinin HS-C Reactive Protein Glukosa darah Sewaktu 17.95 mg/dL 5.74 md/dL 99 U/L 187 mg/dL 7.3 mg/dL 117 mg/dL 0.0-0.2 mg/dL 101 mg/dL < 200 mg/dL th 7-47 U/L 40 mg/dL 0.9-1.3 mg/dL <0.8 mg/dL nilai referensi normal diambil dari Frances Fisbach’s “A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests 7 edition”, Lippincott William Wilkins 2003. Pertanyaan dan Jawaban Tanya : Apakah diagnosis kerja saudara terhadap pasien ini? Jawab : Malaria berat dengan asidosis metabolik terkompensasi, hiponatremia ringan, gangguan fungsi hati e.c. hepatitis malaria, gagal ginjal akut e.c. deposisi pigmen bilirubin. Malaria sebagai diagnosa kerja dapat ditegakkan melalui riwayat pasien yang berasal dari daerah endemik, suhu tubuh di atas 38.5°C, menggigil, trombositopenia dan peningkatan kadar bilirubin total (lihat tabel). Kecurigaan atas infeksi malaria harus selalu diutamakan pada pasien-pasien demam dengan riwayat bepergian atau tinggal di daerah endemik, dalam hal ini Ujung Kulon. Indonesia sendiri masih menjadi daerah endemik untuk malaria, terutama daerah Jawa Tengah seperti perbukitan Menoreh, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan, Maluku, sebagian Sulawesi dan Papua.1,2,3,4 Tabel. Faktor prediksi independen untuk Malaria6 Odds Ratio** Mengunjungi daerah endemik* Suhu ≥38.5°C Menggigil Trombositopenia <130.000/μL Bilirubin total ≥1.05 md/dL 7.7 95% Confidence Interval 2.8-21.3 6.2 3.0 16.5 2.8-13.3 1.4-6.6 7.1-38.3 21.5 6.4-72.4 Malaria sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu malaria tanpa komplikasi dan malaria berat. Diagnosis malaria berat ditegakkan apabila terjadi komplikasi pada pasien dengan infeksi malaria yang telah terbukti. Komplikasi pada malaria berat dapat berupa malaria serebral, anemia berat, gagal ginjal akut, respiratory distress, gangguan sistem pembekuan darah, renjatan dan hipoglikemia. Selain itu kombinasi keadaan klinis seperti penurunan kesadaran, kelemahan umum, pasien tampak sakit berat dan mual muntah hebat pada pasien dengan malaria falsiparum juga dapat dikategorikan sebagai malaria berat. Pada pasien ini diagnosis malaria berat ditegakkan atas dasar gagal ginjal akut, adanya anemia hemolitik, asidosis metabolik, penurunan saturasi O2 dan kombinasi keadaan klinis pasien.2,3,4,5 Tanya : Apakah diferensial diagnosis saudara terhadap pasien ini? Jawab : Typhoid dengan hepatitis typhosa, Leptospirosis berat, Hepatitis viral fulminan, dan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). Malaria berat merupakan suatu infeksi dengan manifestasi sistemik, dengan adanya pelepasan pigmen malaria secara luas dan pengikatannya dengan antibodi reaksi peradangan pada malaria dapat terjadi secara luas. Reaksi peradangan yang terjadi dapat berupa sindroma respons inflamasi sistemik sampai ke renjatan septik, oleh karena itu malaria juga harus dibedakan dengan infeksi-infeksi sistemik lainnya seperti typhoid, leptospirosis berat dan DHF. Khusus untuk demam typhoid perlu mendapatkan perhatian oleh karena pasien ini berasal dari daerah dengan hygienitas yang buruk. Profil klinis penderita ini seperti demam lama, leukosit yang normal, trombositopenia dan peningkatan tes fungsi hepar dapat pula mengarahkan diagnosis kepada hepatitis typhosa. Pasien-pasien dengan DHF juga dapat memberikan gambaran klinis dan laboratoris yang serupa, namun seperti telah diketahui, pada DHF yang terpenting adalah peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi) lebih dari 20% nilai dasar pasien dan bukan semata-mata bergantung pada trombositopenia. Kesalahan menggantungkan diagnosa DHF pada trombositopenia dan tidak didukung oleh hemokonsentrasi ataupun pemeriksaan IgM dan IgG anti Dengue, seperti pada pasien ini, dapat mengarahkan kita pada misdiagnosis. Pasien dengan infeksi berat yang disertai dengan jaundice dan trombositopenia, terlebih yang berasal dari daerah kumuh atau pedalaman harus dicurigai juga untuk terinfeksi leptospirosis. Hepatitis fulminan juga dapat memberikan gambaran yang sama. Tanya : Pemeriksaan penunjang apa yang akan saudara minta untuk menegakkan dan menyingkirkan diagnosis pada pasien ini? Jawab : Hapusan darah tebal dan tipis, IgM/IgG anti leptospira, HbsAg, anti HAV, IgM-IgG anti Dengue, serologi disertai kultur Salmonella typhii, dan rontgen thorax PA/Lateral. Diagnosis definitif untuk malaria ditegakkan dengan penemuan parasit pada sediaan darah tebal dan tipis. Pengambilan sediaan darah tidak perlu menunggu sampai puncak demam, karena parasit selalu diketemukan di dalam darah setiap saat. Sebelum pengambilan sampel, semua kemoprofilaksis malaria harus dihentikan terlebih dahulu, karena dapat menekan jumlah parasit di darah perifer dan menyulitkan diagnosis. Hapusan darah tebal terutama berguna untuk menyingkirkan diagnosis malaria oleh karena sensitivitasnya yang tinggi. Hapusan darah tipis sebaliknya berguna untuk penentuan spesies dan indeks parasitemia. Tingkatan maturasi parasit pada sediaan darah tepi juga berguna untuk menentukan prognosis, adanya parasit dalam stadium matur menandakan sekuestrasi parasit dan derajat penyakit yang berat. Adanya pigmen malaria pada >5% neutrofil juga mengindikasikan adanya beban parasit yang tinggi serta menandakan prognosa yang buruk.2,3,5 Pemeriksaan IgM dan IgG antileptospira ditujukan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial Leptospirosis berat, begitu juga dengan pemeriksaan serologi hepatitis viral dan S.typhii. Pemeriksaan rontgen thorax PA/Lateral diperlukan untuk menilai keadaan paru pasien, dikarenakan pada pasien dengan malaria berat mempunyai kemungkinan untuk menderita edema pulmonar non hipo-albuminemia. Kombinasi antara pemeriksaan rontgen thorax dan analisa gas darah akan menentukan kebutuhan pasien akan pemasangan ventilator. Pada pasien-pasien malaria berat dengan resiko tinggi untuk mengalami gagal napas, disarankan untuk pemasangan ventilator dini. Tanya : Bagaimana manajemen yang saudara anjurkan untuk pasien ini? Jawab : Manajemen :2,7 a. Rawat dalam ICU, pasang monitoring fungsi jantung, hemodinamik dan EKG baseline. Periksa kadar enzim G6PD. b. Infusi lambat quinine 20mg/kgBB sebagai loading dose kemudian dilanjutkan 10mg/kgBB dalam dekstrosa 5% setiap 8 jam bila tidak ada defisiensi enzim G6PD. Monitoring efektivitas terapi dengan indeks parasitemia, bila sudah bersih minimal 3 x 24 jam dan pasien bisa intake oral pindahkan ke regimen oral. Tambahkan doksisiklin 200mg dosis awal dan 100 mg/hari bersama dengan regimen quinine. Setelah regimen quinine selesai tutup dengan Fansidar 3 tablet untuk mencegah kekambuhan. c. Monitoring hemoglobin, glukosa darah, analisa gas darah dan indeks parasitemia secara periodik. d. Pertimbangkan transfusi sulih bila indeks parasitemia >10% atau bila disertai dengan gangguan kesadaran. e. Manajemen masalah pernapasan, fungsi ginjal dan fungsi hepar sesuai dengan prosedur yang berlaku. f. Cegah dan atasi komplikasi yang mungkin timbul, seperti sepsis, anemia berat dan malaria serebral. Manajemen di atas merupakan standar manajemen yang disetujui oleh WHO, namun pada prakteknya seringkali terapi dengan menggunakan quinine di Indonesia banyak mengalami kegagalan. Quinine dalam dosis loading dose (20mg/kgBB) juga seringkali dikaitkan dengan banyak efek samping seperti gangguan ginjal dan aritmia. Derivat artemisinin yaitu artesunate dapat menjadi alternatif terapi yang aman dan efektif. Artesunate dapat diberikan sebagai berikut, dimulai dengan dosis 150mg I.V. per 12 jam dalam 24 jam pertama, kemudian dilanjutkan dengan 150 mg I.V. per 24 jam sampai tidak didapatkan lagi parasitemia di dalam darah selama 3 x 24 jam. Fungsi pernapasan pada pasien ini patut mendapatkan perhatian khusus, adanya alkalosis repiratorik dan asidosis metabolik (pCO2 rendah, pO2 rendah, pH terkompensasi, HCO3 rendah dan BE rendah) membuat pasien ini mempunyai resiko tinggi untuk mengalami gagal napas. Pemasangan ventilator untuk membantu fungsi pernapasan pada pasien dengan ARDS sangat dianjurkan. Fungsi ginjal yang menurun, disertai dengan tingginya kadar pigmen bilirubin di dalam darah membuat pasien ini juga mempunyai resiko tinggi mengalami gagal ginjal karena deposisi pigmen malaria dan eritrosit terinfeksi pada ginjal. Permasalahan ini dapat diatasi dengan menggunakan hemodialise dini, terutama apabila terjadi uremia, edema paru, asidosis metabolik, hiperkalemia,oliguria dan anuria menetap. Resistensi obat4 Resistensi P.falciparum terhadap klorokuin pertama kali diamati 50 tahun yang lalu, kini hampir semua lokasi di dunia telah timbul P.falciparum yang resisten. Galur-galur falsiparum telah menimbulkan resistensi pada hampir semua antimalaria yang lazim digunakan termasuk pirimetamin-sulfadoksin (Fansidar) dan meflokuin. Di Indonesia daerah Jawa, Sumatera barat, Sulawesi, Kalimantan (kecuali Kalimantan Selatan) dan Papua secara umum resisten terhadap klorokuin namun masih sensitif terhadap yang lainnya. Daerah Sumatera utara, Aceh, Kalimantan Selatan dan perbatasan Papua dengan Papua Nugini resisten terhadap Fansidar. Sumatera Selatan, Jambi dan Riau termasuk kepulauan Riau telah mengalami multi-drug resistant. Plasmodium vivax di Indonesia lebih mudah ditangani, dengan resistensi terhadap klorokuin hanya terjadi pada daerah Papua, dan beberapa daerah di Indonesia secara sporadis. Secara umum klorokuin masih dapat digunakan sebagai terapi lini pertama untuk infeksi P. vivax. Tanya : Apa sajakah komplikasi yang harus diwaspadai pada pasien ini? Jawab : Seperti telah disebutkan di atas, untuk malaria berat harus diwaspadai anemia hemolitik berat, gagal ginjal akut, gangguan sistem pembekuan darah, gagal napas, malaria serebral, hipoglikemia dan renjatan. Anemia dapat disebabkan oleh penghancuran eritrosit berlebihan oleh karena lisis sel oleh parasit, lisis sel sehat karena sensitisasi antibodi dan peningkatan aktivitas sistem retikuloendothelial seperti splenomegali. Pada malaria juga terdapat gangguan pada pembentukan eritropoiesis baik oleh karena penekanan fungsi sumsum tulang (hipoplasia) maupun karena gangguan morfologi eritrosit (dis-eritropoiesis). Gangguan fungsi ginjal dengan berbagai tingkatan hampir selalu terjadi pada malaria, seringkali karena hipovolemia. Gagal ginjal akut dapat terjadi pada semua fase baik pada fase parasitik maupun pada saat fase penyembuhan. Demam blackwater walaupun tampak dramatis namun jarang menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut. Demam ini sendiri disebabkan oleh karena defisiensi G6PD dan juga pada pasien semi-immun yang diterapi dengan klorokuin. Gagal napas pada malaria ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam, terkadang dapat disertai dengan gangguan irama respirasi. Sebagain besar kasus terjadi karena kompensasi asidosis metabolik, namun harus diperhatikan penyebab lain seperti peningkatan tekanan intrakranial, invasi parasit ke otak, infeksi sekunder, anemia berat, edema paru dan penggunaan atikonvulsan berlebihan. Manajemen sesuai dengan faktor penyebab. Malaria serebral merupakan suatu keadaan klinis di mana penderita malaria jatuh ke dalam keadaan koma, biasa didahului dengan kejang. Onset dapat berlangsung tiba-tiba namun dapat pula terjadi secara berangsur-angsur selama beberapa hari. Mayoritas kasus tidak memiliki gejala neurologis fokal, namun manifestasi neurologis dapat bervariasi. Koma malaria serebral terjadi bukan hanya karena kerusakan neurologis primer, namun juga dapat disebabkan oleh periode post-iktal berkepanjangan, status epileptikus, atau kelainan metabolik berat seperti asidosis dan hipoglikemia. Hipoglikemia pada malaria dapat timbul tanpa gejala klinis yang jelas karena pasien sudah tidak sadar dari awal. Penegakkan diagnosis membutuhkan tingkat kewaspadaan yang tinggi, dianjurkan pemeriksaan glukosa darah secara rutin terutama pada pemakaian klorokuin (menyebabkan hiperinsulinemia) dan pada saat pemeriksaan pertama kali. Lanjutan kasus Gambar . Skema keadaan harian dari suhu, nadi dan pernapasan pasien. Pasien dirawat selama 26 hari (10 hari ICU, 11 hari HCU dan 5 hari ruangan) dengan Malaria berat dengan gangguan fungsi hati e.c. hepatitis malaria, gagal ginjal akut e.c deposisi pigmen bilirubin dan asidosis metabolik ringan. Diagnosis malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan hapus darah tebal dan tipis, diketemukan P.falciparum stadium gametosit dengan indeks parasitemia 3%. Infeksi parasit malaria diterapi dengan menggunakan Quinine(kina) HCl per-infus 500mg/8 jam, setelah sebelumnya dilakukan pemeriksaan enzim G6PD dengan hasil 102 U/g. Peningkatan enzim G6PD jauh di atas nilai normal (8-18.6) di duga disebabkan oleh karena hemolysis berlebihan akibat infeksi malaria. Setelah pengobatan dengan quinine selama 48 jam ternyata parasitemia pasien masih positif dan keadaan klinis memburuk (masih demam, sesak napas, ikterik, hemoglobin turun menjadi 8.3g/dL, bilirubin dan AST/ALT meningkat serta tidak ada perbaikan dari fungsi ginjal). Berdasarkan keadaan tersebut maka terapi Quinine di stop dan digantikan dengan Artesunate 150 mg/12 jam per infus untuk 24 jam pertama dan dilanjutkan 150mg/24 jam sampai parasitemia bersih dari dalam darah selama 3x24 jam. Terapi ini berhasil menurunkan parasitemia sampai tidak terdeteksi dalam hapusan tipis dalam waktu 48 jam, sedangkan dalam hapusan tebal dalam waktu 96 jam kemudian. Terapi antimalaria intravena pada kasus-kasus malaria berat juga harus didukung dengan pemantauan dan penanganan komplikasi yang mungkin timbul. Gagal ginjal pada pasien ini harus diterapi dengan hemodialise dini, pada kasus-kasus malaria berat hemodialise dini terbukti mampu menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Penanganan suportif terhadap sistem pernapasan juga sangat penting untuk diperhatikan, edema paru akut harus ditangani dengan pemasangan ventilator. Perhatian juga harus diberikan kepada kemungkinan timbulnya komplikasi sepertia anemia berat, sindroma koagulasi intravaskular diseminata, malaria serebral, hipoglikemia dan renjatan (lihat tabel). Tabel. Manifestasi malaria berat dan definisinya2 Koma dengan parasitemia perifer dan penyebab ensefalopati lainnya telah disingkirkan. Anemia normositik dengan Hb <5g/dL dan parasitemia. Edema pulmonar dan ARDS Output urine <400 cc/24 jam dan kreatinin serum >3mg/dL. Glukosa darah sewaktu <40mg/dL. Tekanan darah sistolik <70mmHg. Perdarahan spontan atau hasil lab mengindikasikan DIC. Malaria serebral Anemia berat Respiratory distress Gagal ginjal akut Hipoglikemia Shock Gangguan pembekuan darah Keberhasilan dalam menghilangkan parasitemia pada pasien ini diikuti dengan membaiknya parameter fungsi hati dan kenaikan trombosit, sedangkan gagal ginjal yang mengikutinya dapat diterapi secara memuaskan dengan menggunakan hemodialise dan manajemen cairan elektrolit. Namun demikian, keadaan klinis pasien tersebut belum mengalami perbaikan yang berarti, seperti dapat dilihat pada gambar di atas, suhu tetap tinggi, pernapasan tidak stabil dan pada hari ke 6 perawatan pasien mengalami leukositosis. Status hematologik pasien juga mengalami perburukan, hemoglobin berangsur-angsur menurun sehingga mencapai nilai terendah 6.8 g/dL pada hari ke 15 perawatan, pada pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan adanya eosinofilia (9%) dan anisositosis eritrosit. Status hemostasis pasien juga mengalami gangguan dengan adanya peningkatan pada PT (24.9 dtk), APTT (45.4 dtk), Fibrinogen (575 mg/dL) dan D dimer (1600 μg/L) disertai adanya peningkatan hs-CRP (117 mg/dL) mengarahkan kecurigaan akan adanya kelainan inflamatorik. 23/02/07 Hemoglobin 9,6 g/dL Hematokrit 26% Leukosit 7.300 sel/μL Trombosit 108000 sel/μL 28/02/06 9.3 g/dL 26% 11.500 sel/μL 335.000 sel/μL Tanggal 05/03/06 09/03/06 8.6 g/dL 6.8 g/dL 25% 20% 11.300 9.500 sel/μL sel/μL 399.000 291.000 sel/μL sel/μL 13/03/06 7.6 g/dL 22% 5.200 sel/μL 17/03/06 8.5 g/dL 25% 9.200 sel/μL 275.000 sel/μL 312.000 sel/μL Pada pasien ini dengan kecurigaan reaksi inflammatorik akhirnya dilakukan pemeriksaan kadar Immunoglobulin E (IgE), dan didapatkan hasil yang meningkat secara signifikan (1957 IU/mL) dibandingkan dengan normal (<130 IU/ml). Peningkatan IgE yang sangat signifikan ini disebabkan oleh karena eksposure berkepanjangan terhadap malaria, mengingat pasien ini bekerja di daerah Ujung Kulon.8,9 Malaria telah lama dikaitkan dengan peningkatan kadar Immunoglobulin G (IgG) dan peningkatan ini menghasilkan kekebalan terhadap malaria, namun mengenai peningkatan IgE baru akhir-akhir ini mendapatkan perhatian. Pada tahun 2003, Callisano dkk menunjukkan bahwa peningkatan kadar IgE pada penderita malaria menyebabkan peningkatan keparahan penyakit secara signifikan.8 Immunoglobulin E diketahui menyebabkan perubahan keseimbangan antar rasio sel T helper (Th) menjadi lebih berpihak ke peningkatan Th2. Peningkatan kadar Th2 ini sendiri menyebabkan peningkatan kadar Interleukin (IL)-4 dan IL-13 secara berlebihan. Lebih lanjut lagi deposisi IgE dan pigmen malaria pada otak menyebabkan jaringan otak secara berlebihan memproduksi Tumor Necrotizing Factor (TNF)-α, sehingga berkontribusi terhadap reaksi inflamasi dalam hal ini demam secara berkepanjangan. Selain menyebabkan rangsangan peningkatan suhu (akibat pirogen endogen) secara berkepanjangan, penumpukan pigmen malaria dan IgE dalam jaringan otak juga berkaitan erat dengan insidensi dan keparahan malaria serebral.9 Prinsip manajemen dari sindroma hyper IgE adalah dengan menekan sistem immun penderita menggunakan kortikosteroid dosis tinggi. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi mempunyai resiko menurunkan daya tahan pasien terhadap infeksi, terutama infeksi nosokomial, oleh karena itu penggunaannya harus dengan pengawasan yang ketat. Pasien ini berespons baik terhadap terapi dengan menggunakan kortikosteroid, secara berangsurangsur keadaan klinis pasien membaik (lihat ilustrasi) dan akhirnya pasien pulang pada hari ke 26 perawatan dengan dinyatakan sembuh. Referensi 1Barcus M, Laihad F et al. Epidemic malaria in the menoreh hills of central java. Am. J. Trop. Med. Hyg., 66(3), 2002, pp. 287–292 2Pasvol G. Malaria. In Cohen’s Infectious Disease 2nd edition: Ch.166: 1579-1591. Mosby. Elsevier Limited. Edinburgh 2004. 3Carter R., Mendis K N. Evolutionary and historical aspects of the burden of malaria. Clinical Microbiology Reviews (2002)15;4:564-594. 4Wongsrichanalai C, Pickard AL et al. Epidemiology of drug-resistant malaria. The Lancet : Infectious Disease (2002) 2:209-218. 5Weatherall D J, Miller LH et al. Malaria and the red cell. Hematology (2002) 35-57. 6Casalino E, Bras J L et.al. Predictive factors of malaria in travelers to areas where malaria is endemic. Arch Intern Med (2002);162:1625-1630. 7Griffith K S, Lewis L, et al. Treatment of Malaria in the United States. JAMA (2007) 297;20:22642274. 8Calissano C, Modiano D et al. IgE antibodies to plasmodium falciparum and severity of malaria in children of one ethnic group living in Burkina Faso. Am. J. Trop. Med. Hyg., 69(1), 2003, pp. 31–35 9Maenno Y, Perlmann P et al. IgE depositions on brain microvessels and parasitized erythrocytes from cerebral malaria patients. Am. J. Trop. Med. Hyg., 63(3, 4), 2000, pp. 128–132 10Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Konsensus penanganan malaria tahun 2003. PAPDI. Jakarta. Agustus 2003. Lampiran. Algoritme Pengobatan Malaria7 Riwayat bepergian ke daerah endemik atau kecurigaan klinis Pemeriksaan hapusan darah tipis dan tebal. Baca <12 jam Hasil Positif ? Ulang setiap 12-24 jam sampai 4872 jam Hitung indeks parasitemia Hasil Positif ? Evaluasi status klinis dan keparahan penyakit Diagnosis Alternatif ? Malaria tanpa komplikasi Malaria berat Tentukan spesies dengan hapusan darah tipis Non Falsiparum Falsiparum atau spesies belum bisa ditentukan P.malariae P.ovale / P.vivax di luar Indonesia P.vivax dari Indonesia Klorokuin Klorokuin Atovaquone / Proguanil Atau Quinine plus Doksisiklin Atau Meflokuin Primakuin bila tidak defisiensi G6PD Bila G6PD defisien jelaskan mengenai kemungkinan relaps Dari daerah Klorokuin Sensitif Dari daerah Klorokuin resisten Klorokuin Atovaquone / Proguanil Atau Quinine plus Doksisiklin Atau Meflokuin Quinine intravena plus doksisiklin. Masukkan ke unit rawat intensif. Monitor fungsi jantung berkelanjutan dan monitor tekanan darah sering. Monitor parasitemia, glukosa, hemoglobin, dan AGD secara periodik. Cegah dan obati komplikasi. Pertimbangkan transfusi sulih apabila parasitemia >10% atau bila kesadaran terganggu, pulmonary edema, dan gangguan ginjal. Ubah ke oral bila mungkin. Rawat inap Monitor harian Ulangi pemeriksaan setiap hari sampai parasitemia bersih atau hari ke 7 Ulangi hapusan darah bila gejala kambuh