ABSTRAK IMPLEMENTASI TUGAS TNI AD BERSINERGI DENGAN SELURUH KOMPONEN BANGSA DALAM RANGKA MENGURANGI RISIKO BENCANA DI MASYARAKAT MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF Oleh Windy Kartika Putri Widayanti, S.Pd., M.Sc Tulisan ini bertujuan mengkaji implementasi tugas TNI AD bersinergi dengan seluruh komponen bangsa guna mengurangi risiko bencana di masyarakat melalui pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif dipilih karena berorientasi praktis dilakukan secara langsung oleh masyarakat dan fasilitator bencana untuk melakukan kajian risiko bencana, menganalisa dan memecahkan permasalahan bencana terkini bersama-sama, sehingga terbangun kesadaran kritis dan motivasi masyarakat desa terutama di daerah rawan bencana agar menjadi Desa Tangguh Bencana (Destana). TNI AD sebagai salah satu komponen bangsa, tentara rakyat, melaksanakan tugas OMSP, semula ditugaskan penanggulangan bencana termasuk di tahap pascabencana, namun oleh BNPB, Babinsa diikutsertakan menjadi fasilitator terpadu bencana masuk pada tahap pra bencana, yakni dilibatkan dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Hal ini menuai kritik/ penolakan dari komponen masyarakat suatu lembaga Pasigala Center, menyebutkan bahwa dalam proses partisipatif tidak ada pola militerisasi yang bersifat daya paksa atau mendisiplinkan orang. Pelibatan daerah, provinsi, kabupaten, kota dan aparatur sipil, birokrat dalam proses rehabilitasi dan konstruksi merupakan pelibatan pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi sejatinya sebagai upaya mendorong terjadinya proses pembelajaran dalam konteks kesiapsiagaan bencana. Hal ini menunjukkan adanya dinamika hubungan militer dan sipil dalam pengurangan risiko bencana. Pemahaman masyarakat tentang mitigasi bencana dan tindakan pengelolaan bencana termasuk rendah serta hasil penelitian bencana kurang termanfaatkan. Oleh karena itu diperlukan koordinasi antar lembaga untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang mitigasi bencana, tindakan pengelolaan bencana, serta ketermanfaatan hasil penelitian kebencanaan. Babinsa dapat diproyeksikan menjadi fasilitator Destana secara partisipatif, apabila dibekali pengetahuan, keterampilan dan kompetensi terkait pengkajian risiko bencana sehingga dapat membantu masyarakat memberi masukan dasar pengambilan keputusan tindakan pengelolaan risiko bencana kepada masyarakat desa. Abstrak: sinergi, mitigasi bencana, fasilitator bencana, BNPB, partisipatif 2 PROPOSISI NO.1. Peran serta satuan penanggulangan bencana alam bersama komponen masyarakat. TNI AD dalam upaya pemerintah daerah dan JUDUL IMPLEMENTASI TUGAS TNI AD BERSINERGI DENGAN SELURUH KOMPONEN BANGSA DALAM RANGKA MENGURANGI RISIKO BENCANA DI MASYARAKAT MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF PENDAHULUAN Wilayah Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana. Hal ini dikarenakan posisi Indonesia dikepung oleh tiga lempeng tektonik dunia yakni Lempeng Indo-Australian di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Pasific di bagian timur laut. Apabila ketiga lempeng tektonik tersebut bertemu, maka akan menghasilkan tumpukan energi yang memiliki ambang batas tertentu.1 Selain itu, Indonesia berada pada jalur rangkaian gunung api paling aktif di dunia yang membentang sepanjang lempeng pasifik dengan jumlah kurang lebih 240 buah dimana hampir 70% diantaranya masih aktif. Zona ini memberikan kontribusi hampir 90 persen terjadinya gempa besar di dunia. Fakta kondisi geografis inilah yang menjadi faktor internal yang menjadi penyebab wilayah Indonesia termasuk wilayah yang rawan terhadap bencana akibat kondisi geografisnya, antara lain ancaman dari bencana gempa bumi, gelombang tsunami dan tanah longsor serta bencana lainnya. Peristiwa bencana tsunami di Indonesia bahkan terjadi beberapa waktu yang lalu di Palu, Sulawesi Tengah, 28 September 2018 pukul 17.02 WIB dipicu oleh gempa bumi dengan kekuatan magnitude 7,4 SR. Pusat gempa pada 10 km pada 27 km Timur Laut Donggala, Sulawesi Tengah.2 Meskipun BMKG telah mengaktivasi peringatan dini tsunami dengan status siaga (tinggi potensi tsunami 0,5-3 meter) di pantai Donggala bagian barat dan status waspada, namun bencana tsunami ini menelan korban jiwa manusia yang besar yakni menurut data BNPB berjumlah lebih dari 1347 orang, termasuk 34 pelajar yang ditemukan meninggal dunia di bawah reruntuhan gereja di Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, sebelah selatan kota Palu. 1 Literasi Publik, 2018, Wilayah Indonesia Rawan Terhadap Bencana, diakses dari https://www.literasipublik.com tanggal 20 Februari 2019. 2 Nugroho, 2018, Tsunami Terjang Pantai Palu, Penanganan Darurat Terus Dilakukan, diakses dari https://www.bnpb.go.id. tanggal 20 Februari 2019. 3 Dari fenomena tersebut menunjukkan bahwa potensi kebencanaan di wilayah Indonesia termasuk sangat tinggi dan beragam, tingkat kerentanan juga cenderung tinggi, namun belum diimbangi dengan faktor internal lainnya yakni tingkat kapasitas penduduk yang masih kurang untuk meminimalisir risiko bencana, terutama masyarakat, termasuk pelajar di sekolah. Masyarakat belum memahami cara efektif mengurangi risiko bencana dan belum memiliki informasi yang memadai dan detail tentang ancaman, kerentanan dan kekuatan dan belum dliibatkan secara aktif dalam tindakan pengelolaan risiko bencana. Berbagai riset tentang kebencanaan telah banyak dilakukan oleh para ahli dan akademisi kebencanaan, namun hasil-hasil penelitian tersebut kurang ketermanfaatannya dan belum seluruhnya djadikan pedoman oleh pemerintah sebagai referensi untuk mengambil suatu kebijakan tertentu dalam mengurangi risiko bencana. Sebagai salah satu komponen bangsa, TNI terpanggil di dalam membantu pemerintah mulai dari tahap pengurangan risiko bencana atau tahap pra bencana hingga tahap pasca bencana terkait OMSP. Pelibatan TNI dalam OMSP dilatarbelakangi oeh perubahan ancaman, ancaman tradisional semakin menurun eskalasinya berupa invasi ataupun agresi militer asing terhadap Indonesia. Namun yang mengemuka saat ini adalah ancaman non tradisional, seperti pemanasan global dan bencana alam sebagai konsekuensi logis terhadap degradasi lingkungan hidup dan akibat laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.3 TNI AD sebagai salah satu komponen utama pertahanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 memiliki tugas pokok melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), salah satunya menanggulangi bencana. Tugas perbantuan TNI AD dilandasi dengan jati diri TNI sebagai tentara rakyat, artinya TNI berasal dari rakyat dan berjuang untuk rakyat. Hal ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam “8 Wajib TNI” butir ke-8 yang merupakan pedoman perbuatan bagi prajurit, yaitu : “Menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.”4 Untuk mewadahi kegiatan tersebut, maka TNI AD telah membuat Pedoman Penanggulangan Bencana Alam di Darat, yang disahkan dengan Peraturan Kasad Nomor Perkasad/96/XI/2009 tanggal 30 Nopember 2009. Isi dari pedoman tersebut dijelaskan bahwa Mabes TNI AD bertugas untuk menyiapkan Satuan Tugas Pasukan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (Satgas PRC PB) TNI AD sebagai bagian dari PRC PB TNI 3 Buku Putih Pertahanan Indonesia, (Jakarta: Dephan RI, 2003), hal.14 Patria, 2013, Kapasitas TNI AD Dalam Penanggulangan Bencana Alam Studi Kasus: Kapasitas Kodim 0505/ Jakarta Timur Dalam Penanggulangan Bencana Banjir, Junal Pertahanan April 2013, Volume 3, Nomor 1 hal 157. 4 4 dalam menghadapi bencana berskala nasional. Selanjutnya setiap Satuan Komando Kewilayahan TNI AD membentuk satuan tugas PRC PB di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dimana susunan tugas disesuaikan dengan bencana yang terjadi di daerah tersebut. Sejalan dengan pelibatan TNI dalam penanggulangan bencana, dalam perkembangan tugas di lapangan, tugas perbantuan TNI tersebut berkembang lebih mendalam yakni ke arah upaya antisipasi sebelum terjadinya bencana (pra bencana) yang bertujuan untuk mengurangi risiko bencana dan penyiapan menghadapi bencana sedini mungkin disebut dengan mitigasi bencana yang dilakukan bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya secara terintegrasi, mengingat kejadian bencana tidak dapat diprediksi dan diketahui kapan dan dimana terjadinya. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). 5 Sesuai siklus manajemen bencana, maka kegiatan mitigasi dan preparedness (kesiapsiagaan) termasuk dalam tahap Prabencana.6 Agar lebih efektif, maka pengelolaan risiko bencana harus diawali dengan pengkajian risiko bencana. Pengkajian yang dimaksudkan bukanlah pengkajian secara akademis, namun pengkajian dilakukan sendiri oleh masyarakat, disebut pendekatan partisipatif. Dari pengkajian tersebut akan diperoleh informasi-informasi rinci tentang ancaman, kerentanan dan kekuatan. Informasi-informasi yang telah dikumpulkan selanjutnya disusun dan dianalisis. Hasil kajian dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan tindakan pengelolaan risiko bencana oleh masyarakat atau dapat dianalisis lebih mendalam untuk menemukan akar masalah. Pengkajian partisipatif dipilih karena lebih berorientasi praktis untuk memecahkan masalah hari ini bersama-sama dan bertujuan untuk membangun kesadaran kritis atas permasalahan bencana dan membangkitkan motivasi masyarakat desa untuk menangani permasalahan bencana. Kajian risiko dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif di kampung-kampung sasaran program dan dibantu oleh fasilitator pendamping masyarakat. Pengkajian risiko bencana merupakan tahap awal dalam pengelolaan risiko bencana, yang bertujuan untuk menemukan dan 5 Ibid, hal 2 BPBD Karanganyar, Pengertian Mitigasi http://www.bpbd.karanganyarkab.go.id tanggal 20 Pebruari 2019. 6 Bencana, diakses dari 5 mengenali faktor-faktor risiko dan aset-aset penghidupan risiko dan selanjutnya dijadikan dasar rencana aksi pengelolaan risiko bencana.7 Untuk membantu masyarakat dalam mengkaji bencana, maka dalam program kerjanya Badan Nasional Penanggulangan Bencana merekrut fasilitator Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana (Destana) pada tahun 2016 berdasarkan Perka BNPB Nomor 1/ 2012. Komponen-komponen Destana antara lain: (1) Legislasi; (2) Perencanaan; (3) Kelembagaan; (4) Pendanaan; (5) Pengembangan Kapasitas; dan (6) Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PB). Dalam pelaksanaan kegiatan destana di lapangan akan menemui berbagai kebijakan dari Kemendagri RI, Kemendesa RI, Kemenkeu, BNPB serta pemerintah daerah dan pemerintah desa setempat. Terkait penugasan fasilitator Destana tersebut, BNPB berencana akan melibatkan tidak hanya warga sipil namun juga aparat TNI-Polri, diantaranya 5.000 Bintara Pembina Desa (Babinsa) disiapkan untuk menjadi fasilitator tambahan dalam upaya mempercepat upaya rehabilitasi dan rekonstruksi BNPB, terutama pasca bencana tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. Namun rencana BNPB tersebut menuai kritik dan penolakan, diantaranya disampaikan oleh Sekjen Pasigala Center, Andika di Palu tanggal 6 Februari 2019 lalu.8 Menurutnya penggunaan aparat militer sebagai fasilitator dalam tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi itu menunjukkan bahwa perspektif BNPB dalam menangani bencana masih dalam paradigma tanggap darurat. Ia menambahkan bahwa penggunaan Babinsa sebagai fasilitator bencana justru menunjukkan kesan bahwa negara hendak memaksakan semua maksud dan rencananya agar masyarakat korban mengikuti rencana yang telah dibuat tanpa partisipasi. Dalam proses partisipatif, tidak ada pola militerisasi yang bersifat daya paksa atau mendisiplinkan orang. Sementara pelibatan daerah, provinsi, kabupaten, kota dan aparatur sipil, birokrat dalam proses rehabilitasi dan konstruksi merupakan pelibatan pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi sebagai upaya mendorong terjadinya proses pembelajaran dalam konteks kesiapsiagaan bencana, mengingat pengetahuan masyarakat dan pemerintah menghadapi bencana cenderung rendah, tidak memenuhi parameter kesiapsiagaan.9 Hal ini mengindikasikan adanya dinamika hubungan antara militer dan sipil dalam pengurangan risiko bencana. 7 Purwanto, 2009, Panduan Pengkajian Risiko Bencana Partisipasi Saputri, Maya, 2019, 5.000 babinsa Ditolak Jadi Fasilitator BNPB Tahap Pasca-Bencana, diakses dari https://www.tirto.id.com tanggal 25 Februari 2019. 8 9 Makki, 2018, LIPI: Kesiapsiagaan Bencana http://www.cnnindonesia.com pada 21 Februari 2019. Indonesia Masih Rendah, diakses dari 6 Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka untuk mengurangi risiko merupakan tantangan bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia terutama TNI AD saat ini dimana masih dihadapkan pada beberapa masalah. Pertama, Babinsa dan kurangnya kapasitas sebagian besar penduduk untuk meminimalisir risiko bencana terutama masyarakat, yakni pelajar di sekolah. Kedua, kurangnya pemahaman masyarakat untuk menemukan cara efektif mengurangi risiko bencana. Ketiga, belum adanya tindakan pengelolaan bencana yang melibatkan secara aktif masyarakat termasuk pelajar belum dliibatkan dalam tindakan pengelolaan risiko bencana. Keempat, kurangnya keterlibatan Babinsa sebagai fasilitator bencana, kapasitas Babinsa dan sinergitas dengan komponen bangsa. Kelima, kurangnya ketermanfaatan hasil kegiatan riset akademik mengenai bencana alam yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi yang belum dimanfaatkan atau diadopsi pemerintah pusat dan daerah serta BNPB sebagai pedoman dalam mengambil kebijakan dan tindakan pengelolaan risiko bencana di tanah air. Dari uraian permasalahan tersebut dapat dirumuskan suatu pokok pemasalahan yaitu “Bagaimana implementasi tugas TNI AD bersinergi dengan seluruh komponen bangsa dalam rangka mengurangi risiko bencana di masyarakat melalui pendekatan partisipatif?”. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka penulis menganalisa permasalahan tersebut dari beberapa teori dan sudut pandang. Dari uraian tersebut di atas, maka pentingnya penulisan essai ini adalah agar mengetahui dan dapat mengimplementasikan pendekatan partisipatif dalam rangka mengurangi risiko bencana terutama bagi Babinsa bersinergi dengan komponen bangsa lainnya dan masyarakat. Pendekatan partisipatif bertujuan untuk memastikan keterlibatan sebanyak mungkin masyarakat di kampung-kampung sasaran program dan memastikan adanya proses pemberdayaan secara meluas. Unit analisis kajian dapat beragam sesuai sumber daya dan harapan hasil untuk dicapai. Semakin kecil unit analisis maka semakin detil hasil kajian, semakin besar kebutuhan sumber daya. Penggunaan unit analisis tingkat desa/kampung lebih utama apabila disesuaikan dengan ketersediaan waktu, sumber daya dan tolok ukur program. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan essai ini adalah menggunakan metode deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan antar fakta satu dan fakta lainnya melalui proses analisa karena ada hubungan sebab akibat. Selanjutnya teori yang digunakan terkait penelitian ini adalah Teori Manajemen Bencana menurut Coppola (2006) dalam bukunya Introduction to International Disaster Management. 7 PEMBAHASAN Teori Manajemen Bencana Untuk mempelajari ilmu dasar bencana dan penanggulangannya, maka dibutuhkan suatu ilmu manajemen yang mempelajari bagaimana menanggulangi bencana yang terjadi secara efektif dan efisien yang disebut dengan manajemen bencana. Manajemen bencana bertujuan antara lain: (1) Mengurangi atau menghindari potensi kerugian dari bahaya; (2) Meyakinkan pemberian bantuan secara cepat dan tepat kepada para korban bencana; (3) Mencapai pemulihan yang cepat dan efektif. Penanganan bencana menurut Coppola dalam bukunya Introduction to International Disaster Management, dibagi menjadi: Mitigation (mitigasi), Preparedness (kesiapsiagaan), Response (respon), dan Recovery (pemulihan).10 Adapun siklus manajemen bencana disajikan gambar berikut. Gambar. Siklus Manajemen Bencana Sumber: BPBD Karanganyar, 2018 Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam siklus Manajemen Bencana terdapat 3 (tiga) tahap, yaitu: (1) Tahap pra bencana; (2) Tahap tanggap darurat bencana; dan (3)Tahap pascabencana. Tahap prabencana dibagi menjadi kegiatan mitigasi dan preparedness (kesiapsiagaan). Selanjutnya pada tahap tanggap darurat adalah respon sesaat setelah terjadi bencana. Pada tahap pascabencana, manajemen digunakan adalah rehabilitasi dan rekonstruksi. Tahap prabencana, meliputi mitigasi dan kesiapsiagaan. Upaya ini sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana sebagai persiapan menghadapi 10 Coppola, Damon P., 2006, Introduction to International Disaster Management. Butterworth Heinemann. 8 bencana. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatana yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian. Tahap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan. Tahap pascabecana, meliputi usaha rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai upaya mengembalikan keadaan masyarakat pada situasi yang kondusif, sehat dan layak sehingga masyarakat dapat hidup seperti sediakala sebelum bencana terjadi, baik secara fisik maupun psikologis. Pembahasan dalam tulisan ini dititikberatkan pada tahap prabencana, terutama mitigasi bencana. Risiko Bencana Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 1 disebutkan bahwa risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat. Sesuai UU ini, pasal 6 disebutkan pula bahwa tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana diantaranya meliputi pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan. Risiko bencana dapat diketahui dengan mengkaji faktor: (1) ancaman; (2) kelemahan; dan (3) kekuatan. Tidak semua ancaman dapat dicegah atau dikurangi intensitasnya seperti misalnya gempa bumi, tsunami dan letusan gunungapi. Namun menurut penulis yang dapat kita lakukan adalah mengurangi kelemahan-kelemahan serta meningkatkan kemampuan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli perang dari Cina, Tsun Tzu yang dikenal dengan semboyannya, “Know yourself, know your enemy and you will win every war.” Penerapan semboyan ini untuk mengurangi risiko bencana yakni know your self identik dengan kenali dirimu, maknanya kenali kelemahan dan kekuatan kita, know your enemy identik dengan kenali potensi dan jenis-jenis ancaman dan you will win every war identik dengan target keberhasilan mengurangi risiko bencana. Serangkaian kegiatan tersebut yang bertujuan memperkecil kemungkinan kerugian akibat suatu kejadian bencana kita sebut dengan pengelolaan risiko bencana. Faktor ancaman, berupa kejadian ilmiah, dampak kegiatan manusia atau gabungan keduanya. Ancaman alamiah seperti gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, wabah, hama, banjir dan longsor. Ancaman dampak kegiatan manusia meliputi konflik sosial, pencemaran, kegagalan teknologi dan kecelakaan transportasi. Ancaman seperti banjir, longsor, wabah, hama dan kecelakaan transportasi juga sering diartikan sebagai kombinasi antara peristiwa alamiah dan kesalahan manusia. 9 Faktor kelemahan, yakni kondisi-kondisi negatif penyebab masyarakat dapat terpapar ancaman. Contoh-contoh kelemahan secara umum di Indonesia antara lain masyarakat tinggal di daerah rawan bencana, miskin, tidak paham tanda-tanda ancaman, masa bodoh, korupsi, kebijakan pembangunan tidak sensitif bencana. Faktor kekuatan, yakni bentuk-bentuk sumber daya dan para pihak (misalnya biaya, tenaga, alat,pengetahuan, kebijakan, sikap) untuk mencegah atau mengurangi ancaman, menghindari ancaman serta mengurangi kelemahan-kelemahan. Pola hubungan tiga faktor di atas, yakni ancaman, kelemahan dan kekuatan menghasilkan risiko bencana dapat digambarkan dengan persamaan berikut ini: Ancaman X Kelemahan Risiko Bencana= Kekuatan Pendekatan Partisipatif Pengelolaan risiko bencana merupakan serangkaian kegiatan bertujuan memperkecil kemungkinan kerugian akibat suatu kejadian, diantaranya melalui pengkajian dan penelitian. Pada umumnya pengkajian dan penelitian yang diketahui hanya penelitian secara akademik, namun dalam pengkajian partisipatif, pengkajian dilakukan secara langsung atau melibatkan masyarakat. Pengkajian partisipatif dipilh karena lebih berorientasi praktis untuk memecahkan masalah hari ini secara bersama-sama. Tujuan lainnya adalah untuk membangun kesadaran kritis atas permasalahan dan membangkitkan motivasi untuk menangani masalah.11 Pengkajiannya menggunakan metode kualitatif, dilakukan oleh fasilitator dan masyarakat. Fasilitator memiliki peran memandu pelaksanaan pengkajian, meliputi menjelaskan metode, memotivasi masyarakat melakukan kajian pada diri sendiri, menjadi mitra kritis atas analisis hasil kajian, menjadi wasit perumusan hasil kajian. Dalam implementasi pendekatan partiipatif, masyarakat sebagai pemilik hasil kajian berperan melakukan pengkajian pada kondisi wilayahnya sendiri dengan dipandu fasilitator. Hasil kajian yang diperoleh dapat secara langsung dimanfaatkan untuk dasar pengambilan keputusan 11 Ibid,hal.3 10 tindakan atau dapat pula dianalisis secara lebih mendalam untuk menemukan akar permasalahan kemudian dirumuskan dalam rencana aksi bersama. Pada akhirnya seluruh hasil kajian dipertanggungjawabkan pada diri sendiri. Metode partisipatif Pemilihan metode tepat guna sangat membantu memastikan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengkajian. Salah satu pilihan metoda yakni Pengkajian Kondisi Desa Partisipatif (participatory rural appraisal)/ PRA menjadi pilihan metode paling nyaman. Hal ini disebabkan metode PRA menggunakan beragam metoda visualisasi sehingga lebih menarik, mudah dipahami, tidak membosankan, santai dan informal. Hal positif lainnya metode PRA lebih berbasis analisis kelompok dibanding perorangan, lebih membandingkan dari pada mengukur, sehingga para pelibat pengkajian dapat saling belajar. Penerapan PRA dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah warga desa (prinsip keterwakilan semua golongan), survey lapangan dan mengunjungi rumah/keluarga. Adapun pedoman penerapan PRA oleh masyarakat dan fasilitator sebagai berikut: Tabel. PANDUAN PENGKAJIAN RISIKO BENCANA PARTISIPATIF No. 1 Metode PRA 2 1 Pemetaan Jenis ancaman dan sebaran ancaman 2 Transek Jenis ancaman Sebaran ancaman (vertikal) 3 Sejarah Desa Jenis ancaman, intensitas, waktu kejadian, tandatanda ancaman Kalender Potensi ancaman Musim (banjir,/longsor/kek eringan) 4 5 Sketsa kebun Ancaman 3 Temuan Faktor Risiko Aset Beresiko Kelemahan 4 5 Alam: kebun/ Sebaran penduduk lahan pertanian, rentan sumber air, hutan Infrastruktur: (rumah/bangunan) Kesesuaian penggunaan lahan. Masalah penggunaan lahan (status /kepemilikan lahan) Semua bentuk kerugian akibat kejadian ancaman Jenis tanaman dan luas lahan tereksposur ancaman Musim paceklik/ persediaan pangan kurang/tidak ada penghasilan Lokasi kebun terhadap sebaran ancaman Kemampuan 6 Tempat aman Jalur evakuasi. Ketersediaan sumber daya Ketersediaan lokasi aman (tsunami) Ketersediaan sumberdaya Musim panen atau saat penghasilan tinggi Sistem pangan lokal (subsistensi) 11 6 Hubungan kelembagaan 7 Aktifitas Keluarga Peta Mobilitas 8 9 10 Kecenderung Perubahan an dan ekologi, tata Perubahan sosial-ekonomi dan sikap/perilaku meningkatkan (jenis/intensitas) ancaman Analisis Mata Pencaharian Lembaga/kelompo k/pihak kontra (meningkatkan kelemahan) Anggota keluarga paling beresiko Lembaga/kel-ompok/pihak pro atau bisa diajak kerjasama (meningkatkan kemampuan) Strategi pelibatan pihak lain. Beban ganda Sebaran penduduk menurut aktifitas dari waktu ke waktu Masalah-masalah pada aset dan berpotensi meningkatkan kelemahan Jenis pekerjaan berisiko Masalah-masalah mata pencaharian Kemampuan ekonomi masyarakat Sumber: Panduan Pengkajian Risiko Bencana Partisipatif, Sigit Purwanto, 2009. Sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa Babinsa akan dilibatkan sebagai fasilitator bencana oleh BNPB, namun kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra dimana terdapat elemen masyarakat yang mengkritik kebijakan tersebut dan menganggap kebijakan tersebut kurang tepat karena keterlibatan TNI (Babinsa) lebih tepat yakni pada tahap Pascabencana. Hal ini dikarenakan pada tahap pascabencana dititikberatkan pada kegiatan rehabilitasi fisik dan psikologis akibat bencana. Pembahasan dan analisis lebih lanjut akan dibahas pada bagian ini secara berurutan berikut ini. Pertama, yakni mengenai kurangnya kapasitas Babinsa dan sebagian besar penduduk untuk meminimalisir risiko bencana terutama masyarakat, diantaranya pelajar di sekolah perlu untuk dipecahkan. Menurut Millen dalam Reza (2013) menyebutkan bahwa kapasitas adalah kemampuan individu, organisasi atau sistem untuk menjalankan fungsi sebagaimana mestinya secara efisien, efektif dan terus menerus. Millen menambahkan bahwa kapasitas yakni kemampuan, keterampilan, pemahaman sikap, nilai-nilai, hubungan, perilaku, motivasi, sumber daya dan kondisi-kondisi yang memungkinkan setiap individu, organisasi, jaringan kerja/ sektor dan sistem yang lebih luas untuk melaksanakan fungsi-fungsi mereka dan mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan dari waktu ke waktu. Dalam rangka pengembangan kapasitas menurut Millen bahwa yang menjadi fokus analisis dan proses perubahan suatu organisasi yaitu: (1) Tingkatan sistem/ 12 kebijakan; (2) Tingkatan orgnaisasi/ lembaga; dan (3) Tingkatan individu/ sumber daya manusia. Dari penjelasan menurut ahli tentang kapasitas, maka kapasitas dalam penelitian ini yaitu terkait dengan bagaimana kemampuan dan kesiapan TNI AD ditinjau dari kesiapan personel Babinsa dalam melaksanakan tugas perbantuan pengurangan risiko atau mitigasi bencana. Upaya mitigasi dan penyiapan menghadapi bencana dapat dilakukan sedini mungkin. Untuk itu penelitian ini akan menganalisis bagaimana organisasi TNI AD telah memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada Babinsa dalam rangka meningkatkan kapasitas Babinsa yang akan ditugaskan sebagai fasilitator bencana di Destana yang bertugas membantu masyarakat melakukan pengkajian risiko partisipatif. Penggunaan aparat militer sebagai fasilitator terpadu menurut Kepala BNPB, Letjen TNI Doni Monardo pada tanggal 30 Januari 2019 di NTB dimaksudkan sebagai tugas perbantuan TNI bersama Polri dan warga sipil lainnya bertujuan untuk membantu percepatan rehab konstruksi rumah rusak berat pasca gempa NTB di halaman Kantor Gubernur NTB. Harapan Ka BNPB agar kehadiran fasilitator di tengah-tengah masyarakat harus dapat memberi solusi guna membantu masyarakat dalam pembuatan administrasi seluruh proses yang dilakukan kelompok masyarakat dalam percepatan rekonstruksi rusak berat, sehingga nantinya masyarakat dapat kembali menempati hunian yang layak seperti sebelum terjadi gempa bumi. Selain itu diharapkan Fasilitator yang diterjunkan oleh TNI, Polri dan masyarakat hendaknya bersinergi di lapangan dan koordinasi terus menerus agar hasilnya maksimal. Oleh karena itu fasilitator dan para Babinsa diharapkan agar lebih profesional dalam melaksanakan tugas di lapangan sehingga tugas berhasil tepat sasaran dan tepat waktu. Berdasarkan data sekunder yakni dari Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, jumlah fasilitator rumah rusak berat saat ini mencapai 1.310 warga sipil, terdiri dari 766 orang dan 544 orang rekruitmen baru. Pelibatan personil TNI, Polri dan sipil pada tanggal 30 Januari 2019 bertugas sebagai fasilitator tambahan yakni sejumlah 500 personil TNI, 500 personil Polri dan 500 warga sipil. Bahkan direncanakan adanya penambahan 1.000 personil TNI dari Zikon untuk mempercepat pembangunan rumah. Peningkatan kapasitas produksi panel rumah Risha dan menyediakan berbagai opsi model RTG (Rumah Tahan Gempa) seperti: Risbari, Conwood, Rista, Kumac dan model RTG yang disetujui oleh Kemen PUPR atau Dinas Perkim NTB.12 12 Humas BNPB, 2019, Percepat Pembangunan NTB Pasca Gempa Fasilitator Terpadu Ditambah, diakses dari http://www.bnpb.go.id tanggal 21 Februari 2019. 13 Dari penjelasan tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa keterlibatan personil TNI sesuai arahan BNPB yakni sebagai fasilitator terpadu, bekerja secara terpadu bersama Polri dan warga sipil difokuskan untuk mempercepat pembangunan fisik, baik rumah maupun bangunan. Untuk itu personil TNI yang dikerahkan merupakan anggota TNI pilihan dan profesional, yang memiliki kapasitas dalam hal pembangunan fisik, yakni Personil Zeni AD. Dengan demikian dapat diinterpretasikan, bahwa keterlibatan personil TNI sebagai fasilitator terpadu pada tahap Pascabencana. Fungsi peran TNI yang berperan sebagai fasilitator terpadu ini berbeda dengan fungsi fasilitator bencana yang mengedepankan metode partisipatif yang bertugas membantu warga desa/kelurahan melakukan pengkajian terhadap Risiko Bencana Partisipatif pada tahap Prabencana meliputi mitigasi dan kesiapsiagaan. Sehingga penggunaan aparat militer (Babinsa) dalam hal ini lingkup tugasnya tidak sampai mencapai substansi pembelajaran mitigasi bencana. Hal ini dikarenakan Babinsa belum dibekali dengan kemampuan pengkajian partisipatif, menggunakan metoda kualitatif, sehingga belum mampu mendampingi masyarakat untuk membantu mengkaji, menganalisa hasil kajian, menemukan akar masalah hingga merumuskan rencana aksi bersama. Namun terdapat peluang personil Babinsa dapat berperan sebagai fasilitator partisipatif, apabila organisasi TNI memberikan pembekalan latihan dan keterampilan serta kompetensi untuk meningkatkan kapasitas seorang Babinsa yang memiliki kemampuan mengkaji, menganalisa dan merumuskan hasil penelitian, berkoordinasi dengan lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Untuk menjadi fasilitator Destana terdapat beberapa hal yang harus dipahami dan dikuasai antara lain menyangkut peraturan perundang-undangan mengenai kebencanaan dan desa, teknik fasilitasi dengan perspektif pendidikan orang dewasa, analisa risiko bencana, teknik pengkajian desa secara partisipatif, sosial budaya dan bahasa masyarakat setempat, kepemimpinan dan pendampingan, gender dan lain-lain. Satu hal yang paling mendasar adalah para fasilitator dituntut untuk memahami peraturan perundang-undangan di bidang kebencanaan, antara lain: a. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; b. Peraturan pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan PB; c. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; d. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dan Penanggulangan Bencana; 14 e. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang BNPB; f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD; dan g. Perka BNPB Nomor 1/ 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Proses fasilitasi, pendampingan dan kepemimpinan dari para fasilitator destana secara sederhana dapat diungkapkan berpedoman pada semboyan Ki Hajar Dewantara, yakni: “Ing Ngarso sung tulodo” (di depan memberikan teladan), “Ing madya mangun karso” (di tengah membangkitkan kehendak), dan “Tut wuri handayani” (di belakang memberikan semangat). Untuk dapat mencapai target penyelenggaraan penanggulangan bencana dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan teknik pengkajian desa secara partisipatif. Oleh karena itu dibutuhkan fasilitator yang memiliki kemampuan dapat melakukan pengkajian risiko kebencanaan dengan baik, penguasaan metode pengkajian desa secara partisipatif, pengetahuan tentang konsep-konsep analisis risiko bencana meliputi bahaya bencana, kerentanan dan kapasitas. Selanjutnya apabila RPB Desa/ kelurahan, Renkon Desa/kelurahan, dana untuk PB, pola ketahanan ekonomi untuk mengurangi kerentanan masyarakat dan aspek lainnya sudah diselesaikan, maka perlu dilakukan pemaduan ke dalam perencanaan pembangunan desa/kelurahan melalui Rencana Pembangunan jangka Menengah Desa (RPJM Desa), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) dan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) dan perlu diperkuat denga peraturan Desa/Kelurahan.13 Kedua, kurangnya pemahaman masyarakat untuk menemukan cara efektif mengurangi risiko bencana. Masyarakat belum sepenuhnya memahami cara efektif mengurangi risiko bencana karena budaya belajar mitigatif belum tersosialisasikan dengan baik. Dalam pengelolaan risiko bencana, negara diperlukan hadir dalam bencana sebagai upaya untuk saling belajar dan pelibatan seluruh stakeholder daerah, birokrat dan juga rakyat sama-sama melewati tahapan rehab dan rekon. Masyarakat terutama pelajar perlu memahami dan terlibat dalam kegiatan mitigasi bencana dan dipelajari sebagai materi pelajaran di sekolah, antara lain: 13 a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana; b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; c. pengembangan budaya sadar bencana; d. penerapan upaya fisik/non fisik serta pengaturan penanggulangan bencana; e. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya/ ancaman bencana; Ibid.hal.12 15 f. pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam; g. pemantauan terhadap penggunaan teknoogi tinggi; dan h. pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan siklus waktunya, maka kegiatan penanganan bencana dapat dibagi 4 kategori, yaitu: (1) kegiatan sebelum bencana /mitigasi); (2) kegiatan saat bencana terjadi /perlindungan dan evakuasi; (3) kegiatan tepat setelah bencana terjadi (pencarian dan penyelamatan); dan (4) kegiatan pascabencana/ pemulihan atau penyembuhan dan perbaikan rehabilitasi. Salah satu contoh upaya dalam mitigasi bencana Tsunami, yakni sistem untuk mendeteksi tsunami dan memberi peringatan untuk mencegah jatuhnya korban. Adapun jenis peringatan tsunami ada dua, yakni: Sistem peringatan Tsunami Internasional dan Sistem peringatan Tsunami regional. Upaya-upaya mitigasi bencana Tsunami, gempa, banjir, tanah longsor dan lain-lain sudah saatnya menjadi materi pelajaran sekolah atau masuk sebagai kurikulum sekolah, terutama bagi sekolah yang berada di daerah rawan bencana, wajib dilakukan sosialisasi dan simulasi bencana Ketiga, belum adanya tindakan pengelolaan bencana yang melibatkan secara aktif masyarakat termasuk pelajar belum dliibatkan dalam tindakan pengelolaan risiko bencana. LIPI menilai bahwa tindakan pengelolaan bencana terutama pada tahap pra bencana, yakni kesiapsiagaan bencana baik masyarakat maupun pemerintahnya di Indonesia masih rendah dan tidak memenuhi parameter kesiapsiagaan. Terdapat beberapa parameter yang perlu diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah: (1) pengetahuan mengenai bencana;(2) pemahaman apa yang harus dilakukan sebelum, saat dan setelah bencana terjadi; (3) penyampaian informasi disampaikan secara formal berjenjang dengan diintegrasikan dengan mata pelajaran bangku sekolaj atau disosialisasikan di komunitas rutin masyarakat seperti Pertemuan Remaja Karang Taruna, Pengajian, Posyandu dan lainlain. Distribusi informasi cepat peringatan dini bencana. Masyarakat perlu melakukan distribusi warning menggunakan banyak media sesuai kearifan lokal daerah masingmasing, seperti bedug, lonceng gereja dan lain-lain. Di negara Jepang, distribusi informasi Early Warning System /EWS dihubungkan denga handphone masing-masing warga. Alarm EWS akan berbunyi 5-6 detik sebelum bencana terjadi, sehingga memungkinkan masyarakat menyelamatkan diri sebelum bencana terjadi sehingga mampu mengurangi risiko bencana. Sistim peringatan dini sangat penting agar masyarakat bisa melakukan evakuasi diri dan barang berharga lainnya sebelum terjadinya bencana; (4) perlu adanya regulasi atau kebijakan tentang pengelolaan risiko bencana terutama mitigasi agar memiliki payung hukum yang jelas, sehingga pembangunan infrastruktur hingga pendidikan publik 16 dan masuknya kurikulum bencana ke dalam materi pelajaran teori maupun praktek; (5) mobilisasi sumber daya, saat terjadi bencana masyarakat tidak hanya mengandalkan pemerintah BNPB atau BPBD semata, namun mobilisasi termasuk keluarga sangat penting. Setiap anggota keluarga memahami peran masing-masing ketika bencana terjadi untuk bertahan hidup saat bencana terjadi. Keamanan manusia (human security) masing-masing anggota keluarga perlu ditingkatkan dan mendapat sosialisasi dari BNPB dalam bentuk pemberian panduan Family Disaster Planning Program dari BNPB. Keempat, kurangnya keterlibatan Babinsa sebagai fasilitator bencana, kapasitas Babinsa dan sinergitas dengan komponen bangsa. Peran Babinsa dalam tahap ini sangat mampu dilakukan pada tahap pra bencana, yakni pada unsur hubungan kelembagaan. TNI melalui kegiatan TMMD dapat menjadi saluran khusus mensosialisasikan kepada masyarakat tentang tindakan pengelolaan bencana khususnya tahap pra bencana dalam hal ini mitigasi bencana dapat dilakukan oleh Babinsa yang telah dibekali pengetahuan dan keterampilan pengelolaan bencana. Setidaknya Babinsa dapat berperan untuk memulihkan kembali jarigan listrik yang terputus akibat gempa, agar komunikasi dapat berjalan kembali. Kelima, kurangnya ketermanfaatan hasil kegiatan riset akademik mengenai bencana alam yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi yang belum dimanfaatkan atau diadopsi pemerintah pusat dan daerah serta BNPB sebagai pedoman dalam mengambil kebijakan dan tindakan pengelolaan risiko bencana di tanah air. BNPB agar mengidentifikasi dan menginventarisir hasil-hasil penelitian kebencanaan yang dihasilkan oleh para akademisi di Perguruan Tinggi maupun Lembaga Iptek lainnya untuk selanjutnya hasil penelitian bencana yang termasuk inovatif agar dilanjutkan dengan proses hilirisasi, atau fungsi mendorong hasil penelitian masuk ke pengguna, dalam hal ini pemerintah, Kemenristek dan Dikti, Kementrian PUPR, Kementrian Sosial dan lainnya, Pemerintah daerah, Pemerintah Desa yang termasuk rawan bencana. Hasil penelitian hendaknya dapat dijadikan rekomendasi atau acuan bagi pemerintah terutama BNPB untuk menetapkan kebijakan pengelolaan bencana di tanah air agar tepat guna dan tepat sasaran dan diimplementasikan secara nyata di lapangan Terkait dengan peran TNI AD dalam melakukan penelitian kebencanaan, agar Pimpinan TNI AD memberikan peluang kerjasama atau kolaborasi penelitian antara peneliti TNI AD dengan peneliti di Perguruan Tinggi, dalam hal kerjasama penggunaan laboratorium bencana dan sarana pendukung lainnya termasuk perlu didorong adanya penelitian kolaborasi, antara peneliti TNI AD dengan peneliti di perguruan Tinggi, Lembaga pemerintahan dan non pemerintahan, Pemerintah Pusat dan daerah serta desa guna 17 menunjang keberhasilan pengkajian partisipatif yang inovatif dan berdaya saing dalam rangka mengurangi risiko bencana. Selanjutnya, pelatihan, seminar, penataran atau workshop tentang pengurangan risiko bencana disarankan melibatkan Babinsa agar Babinsa memperoleh bekal pengetahuan dan keterampilan tentang segala hal yang terkait dengan manajemen pengelolaan bencana dan tindakan pengurangan risiko bencana Kemampuan Babinsa ke depan dapat dikembangkan menjadi fasilitator partisipatif, apabila Babinsa dengan bekal ilmu yang dimiliki tentang mitigasi bencana dapat melakukan kajian, analisis dan merumuskan hasil penelitian. PENUTUP Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tantangan TNI AD dalam hal ini Babinsa sebagai fasilitator bencana dalam upaya mengurangi risiko bencana dihadapkan pada beberapa masalah. Solusi untuk memecahkan masalah tersebut yaitu: Pertama, untuk mengatasi kurangnya kapasitas sumber daya manusia Babinsa terutama pengetahuan, keterampilan dan kompetensi, belum mampu terlibat secara aktif menjadi fasilitator partisipatif pada tahap pra bencana. Hal ini dapat diatasi dengan keterlibatan personil TNI sesuai arahan BNPB yakni sebagai fasilitator terpadu, bekerja secara terpadu bersama Polri dan warga sipil difokuskan untuk mempercepat pembangunan fisik, baik rumah maupun bangunan. Namun ke depan menghadapi tuntutan tugas dan kebutuhan masyarakat, Babinsa perlu disiapkan dan ditingkatkan kapasitasnya agar menjadi fasilitator Destana. Untuk itu terdapat beberapa hal yang harus dipahami dan dikuasai Babinsa antara lain menyangkut peraturan perundang-undangan di bidang kebencanaan dan desa, teknik fasilitasi dengan perspektif pendidikan orang dewasa, analisis risiko bencana, teknik pengkajian desa secara partisipatif, sosial budaya dan bahasa masyarakat setempat, kepemimpinan dan pendampingan, gender dan lain sebagainya. Kedua, untuk mengatasi kurangnya pemahaman masyarakat terutama pelajar untuk menemukan cara efektif dalam pengurangan risiko bencana dapat diatasi dengan negara diperlukan hadir dalam upaya untuk saling belajar dan melibatkan seluruh stakeholder daerah, birokrat perlu memahami dan terlibat dalam kegiatan pengurangan risiko (mitigasi bencana) dengan cara memasukkannya dalam Kurikulum Pendidikan SD/SMPSMA dan PT sebagai materi pelajaran di sekolah serta di tingkat daerah (Pemda) melalui sosialisasi dan pembekalan serta simulasi latihan pengurangan risiko bencana. 18 Ketiga, untuk mengatasi belum adanya tindakan pengelolaan bencana yang melibatkan secara aktif masyarakat termasuk pelajar belum dliibatkan dalam tindakan pengelolaan risiko bencana, dapat diatasi dengan: (1) Tingkatkan sistem parameter kesiapsiagaan misalnya Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) dari Pusat hingga Daerah; (2) Pelatihan dan sosialisasi evakuasi diri saat terjadi bencana bagi masyarakat; dan (3) Pelatihan mobilisasi sumber daya mandiri oleh keluarga sehingga tidak tergantung pada BNPB dan BPBD. Keempat, untuk mengatasi kurangnya keterlibatan Babinsa sebagai fasilitator bencana, kapasitas Babinsa dan sinergitas dengan komponen bangsa dapat diatasi dengan melakukan upaya meningkatkan peran Babinsa dalam tahap pra bencana, yakni melalui optimalisasi kegiatan TMMD dimanfaatkan sebagai saluran khusus untuk mensosialisasikan kepada masyarakat, lembaga masyarakat tentang tindakan pengelolaan bencana khususnya tahap pra bencana (mitigasi bencana). Hal ini dapat dilakukan oleh Babinsa yang telah dibekali pengetahuan dan keterampilan pengelolaan bencana, analisis mitigasi bencana. Setidaknya Babinsa dapat berpartisipasi aktif membantu masyarakat, mengumpulkan sejumlah warga desa (prinsip keterwakilan semua golongan), survei lapangan dan mengunjungi rumah/keluarga dalam proses pengkajian pengurangan risiko bencana melalui metoda yakni Pengkajian Kondisi Desa Partisipatif (participatory rural appraisal)/ PRA. Kelima, untuk mengatasi kurangnya ketermanfaatan hasil kegiatan riset akademik mengenai bencana alam yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi yang belum dimanfaatkan atau diadopsi pemerintah pusat dan daerah serta BNPB sebagai pedoman dalam mengambil kebijakan dan tindakan pengelolaan risiko bencana di tanah air. Hal ini dapat diatasi dengan mengupayakan agar setiap kebijakan kebencanaan yang diputuskan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam hal ini BNPB dan BPBD berbasis riset atau berlandaskan hasil penelitian kebencanaan yang dilakukan oleh para akademisi di Perguruan Tinggi maupun Lembaga Iptek lainnya. Hasil penelitian bencana yang inovatif agar dilanjutkan dengan proses hilirisasi, atau mendorong hasil penelitian masuk ke pengguna lembaga pemerintah, misalnya Kemenristek dan Dikti terkait inovasi teknologi dan sistem peringatan dini, Kementrian PUPR terkait konstruksi bangunan anti gempa, dan lain sebagainya. Selanjutnya dari simpulan tersebut, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 19 a. Komando atas, perlu mengupayakan landasan hukum yang mengatur secara rinci peran TNI dalam OMSP, dalam hal ini keterlibatan anggota TNI termasuk Babinsa selain sebagai fasilitator terpadu bersama Polri dan warga sipil lainnya pada tingkat teknis pelaksanaan di daerah juga sebagai upaya antisipatif terhadap bencana serta mendorong terwujudnya Desa Tangguh Bencana (Destana). Selain itu, setiap anggota TNI AD yang bertugas baik di PRC PB juga dapat berperan menjadi fasilitator Destana sehingga dapat berperan membantu masyarakat desa dalam pengurangan risiko bencana. Oleh karena itu Babinsa perlu mendapatkan pembekalan materi pembelajaran tentang Mitigasi Bencana dari instansi terkait misalnya BNPB, BPBD, Lembaga Iptek dan Akademisi bidang kebencanaan dari Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas Babinsa dalam upaya pengurangan risiko bencana; b. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, perlu berperan dalam upaya meningkatkan pemahaman masyarakat terutama pelajar tentang pengurangan risiko bencana (Mitigasi Bencana). Oleh karena itu disarankan agar memasukkan Mitigasi Bencana ke dalam Kurikulum Pendidikan menjadi salah satu materi pelajaran di SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi sehingga peserta didik sejak dini memahami tentang mitigasi bencana dan tindakan pengelolaan bencana lainnya; c. BNPB, perlu meningkatkan ketermanfaatan inovasi hasil penelitian tentang kebencanaan yang dilakukan oleh kalangan Akademisi, ahli bidang Iptek di Perguruan Tinggi, Lembaga Iptek dan memberikan panduan Family Disaster Planning Program agar diketahui cara mobilisasi sumber daya keluarga; dan d. BPBD, perlu memberikan pembekalan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi kepada anggota TNI terutama Babinsa agar dapat mengkaji risiko bencana, menganalisis, menghasilkan kajian awal tentang kebencanaan, sehingga membantu perencanaan pembangunan Desa terencana dan berkesinambungan. 20 DAFTAR PUSTAKA Buku Putih Pertahanan Indonesia, Jakarta: Dephan RI, 2003.hal. 14 Coppola, Damon P., 2006, Introduction to International Disaster Management. Butterworth Heinemann. Patria, 2013, Kapasitas TNI AD Dalam Penanggulangan Bencana Alam Studi Kasus: Kapasitas Kodim 0505/ Jakarta Timur Dalam Penanggulangan Bencana Banjir, Junal Pertahanan April 2013, Volume 3, Nomor 1 hal 157. Purwanto, 2009, Panduan Pengkajian Risiko Bencana Partisipasi 21 Perundang-undangan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Peraturan Kasad Nomor Perkasad/96/XI/2009 tanggal 30 Nopember 2009 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Alam di Darat. Perka BNPB Nomor 1/ 2012 tentang Pedoman Umum Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana Internet BPBD Karanganyar, Pengertian Mitigasi Bencana, diakses http://www.bpbd.karanganyarkab.go.id tanggal 20 Pebruari 2019. dari Humas BNPB, 2019, Percepat Pembangunan NTB Pasca Gempa Fasilitator Terpadu Ditambah, diakses dari http://www.bnpb.go.id tanggal 21 Februari 2019. Makki, 2018, LIPI: Kesiapsiagaan Bencana Indonesia Masih Rendah, diakses dari http://www.cnnindonesia.com pada 21 Februari 2019 Literasi Publik, 2018, Wilayah Indonesia Rawan Terhadap Bencana, diakses dari https://www.literasipublik.com tanggal 20 Februari 2019.