6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kompartemen

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Tinjauan Pustaka
1. Kompartemen Cairan Tubuh
Air merupakan komponen terbesar dan pelarut terpenting dari
tubuh. Persentasenya dapat berubah tergantung pada umur, jenis
kelamin dan derajat obesitas seseorang. Cairan tubuh terbagi dalam
dua kompartemen yaitu intraseluler dan ekstraseluler. Ekstraseluler
terbagi dalam ruang interstisial dan intravaskuler. Selain kedua ruang
tersebut, terdapat dua ruang lain yaitu ruang transeluler dan ruang
slowly exchangeable yang merupakan cairan ekstraseluler namun
mempunyai karakteristik tersendiri dan dalam keadaan normal tidak
terlalu diperhitungkan.
Cairan slowly exchangeable berjumlah 8-10% berat badan,
mengisi tulang-tulang rawan dan jaringan ikat yang keras. Pertukaran
tidak mudah terjadi sehingga tidak mempengaruhi keseimbangan
cairan, tetapi dapat menerima cairan infus dan meneruskan plasma
pada resusitasi intraoseus. Cairan transeluler atau rongga ketiga (third
space/extracorporeal)
berasal
dari
pengangkutan
aktif
cairan
ekstraseluler melalui epitel dan dianggap sebagai reservoir cairan
ekstraseluler, seperti cairan serebrospinal, cairan lumen usus, cairan
bola mata, cairan getah bening, cairan intrapleura, cairan peritoneal,
6
7
cairan sinovial dan lainnya yang hanya berjumlah 1-3% berat badan
(Kushartono, 2006).
Pada keadaan sakit kritis, pasien dengan trauma atau pasien
dengan pembedahan terjadi perubahan homeostasis cairan tubuh,
terutama sering dijumpai pergeseran cairan ke rongga ketiga atau
interstisial sehingga menimbulkan penumpukan cairan pada ronggarongga tersebut. Keadaan ini terjadi karena rusaknya endothelial
glycocalyx, sebuah struktur integral dari dinding vaskular. Pada studi
experimental beberapa tahun terakhir, diketahui bahwa iskemik,
reperfusi, tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan atrial natriuretic
peptide (ANP) dapat memicu kerusakan pada endothelial glycocalyx.
Karena hipervolemia akut dapat memicu pelepasan ANP, maka secara
teoritis
dengan
menghindari
hipervolemia
intravaskular
dapat
mencegah terjadinya kerusakan endothelial glycocalyx. (Jacob dan
kawan-kawan, 2009; Bouchard dan Mehta, 2010)
2. Regulasi Cairan Tubuh
Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh
sistem saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi
adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui
baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di
hypothalamus, dan volumereseptor atau reseptor regang di atrium.
Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan
8
saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah angiotensin II,
aldosteron, dan anti diuretic hormone (ADH) dan ANP.
Saat terjadi gangguan homeostasis yang mengakibatkan
penurunan volume darah dan tekanan darah, regulasi saraf simpatis
dengan waktu yang singkat akan meningkatkan cardiac output dan
tahanan perifer yang meningkatkan tekanan darah. Terjadi pelepasan
ADH yang akan meningkatkan reabsorbsi cairan di ginjal dan
menurunkan sekresi urin. Sementara itu aliran ke aparatus
juxtaglumerular ginjal yang menurun akan mengktifkan sistem renin
angiotensin. Renin akan dilepaskan oleh ginjal, menyebabkan sekresi
angiotensin I yang akan dikonversi menjadi angiotensin II oleh
angiotensin
converting
enzyme
(ACE).
Angiotensin
II
akan
menyebabkan vasokonstriksi dan merangsang sekresi aldosteron.
Aldosteron akan menghambat sekresi air dan natrium. Adanya
regulasi perangsangan saraf dan hormonal menyebabkan homeostasis
tekanan darah dan volume darah menjadi normal (Edward dan
Mythen, 2014; Martini dan kawan-kawan, 2011).
Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka
hormone ANP akan meningkatkan ekskresi volume natrium dan air.
ANP merupakan protein yang diproduksi oleh sel-sel otot jantung
pada dinding atrium kanan pada saat diastole. ANP akan disekresi bila
volume darah meningkat dan atrium ginjal meregang secara
berlebihan. ANP memasuki sirkulasi dan bekerja pada ginjal yang
9
menyebabkan peningkatan laju filtrasi glomerulus, penurunan
reabsorpsi natrium dan air oleh duktus koligentes.
↓ Volume darah
↑ osmolaritas serum
↓ tekanan darah
↑ rangsang simpatis
↓ perfusi renal
ANP
↓ laju filtrasi
glomerulus
↑ volume darah
↑ renin
↑ Angiotensin I & II
↑ pelepasan ADH
dari ptituari
posterior ke darah
↑ aldosterone di
korteks adrenal
↑ reabsorbsi cairan
di ginjal
↓ ekskresi cairan & Na
↓ ekskresi urin
↑ volume cairan & Na
Pemberian resusitasi cairan
Gambar 2.1
Keterangan:
: menghambat
Bagan pengaturan cairan tubuh dan mekanisme umpan
balik negatif oleh renin, angiotensin, aldosteron dan
ANP.
10
ANP
dapat
menghambat
pelepasan
ADH,
aldosteron,
epinephrine, dan norepinephrine, mengurangi rasa haus, serta
menstimulasi vasodilatasi perifer dalam mengkompensasi kelebihan
cairan. (Guyton dan Hall, 2011)
3. Dampak Balans Cairan Positif
Tatalaksana cairan memiliki dampak yang besar terhadap waktu,
tingkat keparahan penyakit dan luaran dari penyakit kritis. Pada pasien
sakit kritis, terapi cairan yang adekuat sangat penting dalam
tatalaksana hipotensi, sepsis, gagal jantung dan AKI (acute kidney
injury).
Pada
penelitian
Rivers
dan
kawan-kawan
(2001)
memperlihatkan strategi resusitasi dini yang agresif termasuk terapi
cairan dapat meningkatkan luaran pasien dengan syok septik.
Resusitasi dini yang agresif ini bertujuan untuk mengganti hilangnya
cairan intravena dan untuk meminimalisasi akibat hipovolemia seperti
takikardi, hipotensi, AKI, dan disfungsi multi organ (Lee, 2010).
Namun sebaliknya terdapat banyak penelitian tersebut menyiratkan
ada batasan pemberian cairan karena pemberian resusitasi cairan yang
berlebihan pada pasien sakit kritis mempunyai efek negatif pada
berbagai organ pada akhirnya meingkatkan morbiditas dan mortalitas.
Balans
cairan
ketidakseimbangan
positif
antara
laju
dikonseptualisasikan
filtrasi
transkapiler
sebagai
dan
laju
pembuangan cairan dari jaringan ke simtem limfatik, yang banyak
dipresentasikan dengan timbulnya edema perifer (Bouchard dan
11
Mehta, 2010). Pada pasien dengan sakit kritis, terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler. Saat cairan dalam jumlah besar diberikan,
ketidakseimbangan osmolaritas pada kompartemen intraseluler dan
ekstraseluler terjadi. Membran sel pada manusia sangat permeabel
terhadap air dan tidak dapat mentolerir perubahan gradien tekanan
hidrostatis yang signifikan.
Pembengkakan sel dapat mengakibatkan asidifikasi pada sitosol,
dilusi konsentrasi protein sel, dan inaktivasi dari beberapa protein
kinase. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan gangguan pada
fosforilasi, yang merupakan mekanisme signaling penting pada sel.
Bila hal ini terus berjalan, bermacam fungsi sel bisa terganggu, seperti
hepatosit,
sel
pankreas
dan
juga
aktivitas
miosit
jantung.
Pembengkakan pada sel hepatosit akan menganggu produksi dan
metabolisme glukosa.
Pembengkakan sel β pankreas menyebabkan aktivitas protease
yang biasanya mengubah proinsulin menjadi insulin menjadi
terganggu dengan rusaknya struktur insulin secretory granules (ISGs).
Pada pembengkakan sel miosit jantung, terjadi depolarisasi kanal
klorida yang menyebabkan peningkatan depolarisasi membran,
peningkatan rangsangan membran, dan terjadi pemendekan durasi
potensial aksi (Cotton dan kawan-kawan, 2006).
Pembengkakan sel dapat mempengaruhi kaskade inflamasi
dengan cara mengaktivasi fosfolipase A2. Fosfolipase A2 akan
12
memicu peningkatan produksi prostaglandin, lipoksigenase, leukotrien
dan asam epocxyeicosatrienoic (EETs). Peningkatan volume sel
secara akut juga merangsang peningkatan dan pelepasan TNF-α dari
makrofag. Pergeseran volume yang besar ini juga meningkatkan
proteolisis dan hiperkatabolisme. Selain itu pembengkakan pada selsel
neuronal,
menyebabkan
pengasaman
vesikel
sinaptik,
menyebabkan gangguan metabolisme, pengambilan dan pelepasan
neurotransmitter.
Akibatnya
terjadi
gangguan
pada
pelepasan
katekolamin, glutamat, asam γ amino-butyric, dan asetilkolin.
Keadaan post trauma dikaitkan dengan sejumlah perubahan
fisiologis yang mengganggu keseimbangan mediator proinflamasi dan
anti inflamasi. Pemberian cairan dalam jumlah banyak memperburuk
keadaan ini. Peningkatan jumlah interleukin (IL)-6, IL-8, atau IL-10
dipercaya dapat meningkatkan kejadian komplikasi post operasi
seperti disfungsi multi organ atau ARDS (Cotton dan kawan-kawan,
2006).
Vasodilatasi arteri yang sistemik seperti yang terjadi pada sepsis
dapat menyebabkan gangguan mekanisme Frank-starling dan
menyebabkan peningkatan distribusi albumin beserta cairan ke ruang
interstisial. Balans cairan positif yang berdampak edema jaringan
dapat menyebabkan gangguan difusi oksigen dan metabolit, distorsi
arsitektur jaringan, obstruksi aliran darah kapiler dan limfatik (Tabel
13
2.1). Hal tersebut dapat berkontribusi terhadap disfungsi organ yang
progresif.
Tabel 2.1 Konsekuensi balans cairan positif
Seluler
Asidifikasi sistosol
Inaktivasi protein kinase
Disrupsi fosforilasi
Ganguan polarisasi membran sel
Proses Inflamasi
Aktivasi fosfolipase A2
Meningkatkan produksi dan pelepasan TNF-α
Meningkatkan jumlah IL-6, IL-8, dan IL-10
Metabolik/endokrin
Gangguan produksi dan metabolisme glukosa
Ganggguan pelepasan insulin
Hiperkatabolisme
Jantung
Disrupsi potensial aksi miosit jantung
Menurunkan curah jantung
Aritmia
Disfungsi miokardial ventrikular
Paru
Gangguan pertukaran gas
Penurunan compliance paru dan meningkatkan kerja napas
Edema pulmo
ALI/ARDS
Pencernaan
Meningkatkan permeabilitas usus/malabsorpsi
Ileus
Dehiscance anastomosis
Jaringan
Pelambatan penyembuhan jaringan
ACS
Ginjal
Meningkatkan tekanan venous ginjal
Interstisial edema renal
Pengurangan aliran darah ginjal/ penurunan laju filtrasi
glomerulus
Uremia
Retensi air dan garam
Hemoragik/koagulasi
Dilusi faktor koagulasi
Meningkatkan volume perdarahan
Menurunkan viskositas darah
Neurologik
Disorder metabolisme transmiter
Gangguan pelepasan katekolamin, glutamat dan asetilkolin
Gangguan kognisi/delerium
14
Organ dengan kapsul, seperti hati dan ginjal, tidak memiliki
kapasitas untuk menampung tambahan volume, sehingga bila terjadi
edema, tekanan vena meningkat dan menyebabkan gangguan perfusi
arteri pada organ tersebut. Melalui mekanisme ini, edema jaringan
dapat berpartisipasi dalam perkembangan AKI. Fungsi hati dapat
terganggu dengan peningkatan tekanan interstisial tersebut. Fungsi
gastrointestinal, penyembuhan luka dan koagulasi juga dipengaruhi
oleh edema interstisial.
Efek buruk balans cairan positif dapat terlihat jelas pada paruparu, dimana pemberian cairan dalam jumlah banyak berdampak
terjadinya acute lung injury (ALI) atau gejala seperti ARDS. Balans
cairan positif memicu proliferase mediator inflamasi sehingga netrofil
terakumulasi dalam mikrosirkulasi paru. Netrofil teraktifasi dan
bermigrasi ke permukaan epitel alveoli dan endothel vaskular,
melepaskan protease, sitokin dan ROS (reactive oxygen species)
sehingga terjadi permeabilitas vaskular yang patologis dan nekrosis
sel alveoli. Keadaan ini berdampak pada terjadinya edema paru,
kehilangan surfaktan sehingga mengurangi komplians paru dan
pertukaran gas menjadi lebih susah, sehingga pasien memerlukan alat
bantu napas mekanik. (Saguil dan Fargo, 2012).
Selain pada paru-paru, peningkatan preload jantung akibat
balans cairan positif dapat menyebabkan peningkatan tekanan dinding
ventrikel dan insufisiensi mitral. Hipertensi pulmonal dapat dikaitkan
15
dengan insufisiensi trikuspid dan disfungsi diastolik. Edema
miokardial pada jantung dapat memperburuk fungsi ventrikel,
terganggunya pengiriman oksigen dan juga konduksi intraventrikuler.
Tabel 2.2 Kriteria Disfungsi Organ
DISFUNGSI KARDIOVASKULER
Tanpa memandang pemberian cairan intravena isotonis ≥ 40 ml/kg dalam 1 jam
 Penurunan tekanan darah (hipotensi) < P5 menurut usia atau tekanan sistolik <
2SD ATAU
 Memerluka obat vasoaktif untuk memelihara tekanan darah dalam nilai normal
(dopamin > 5 µg/kg/mnt atau dobutamin, epinefrin, atau norepinefrin dosis
berapapun) ATAU
 Dua dari kriteria berikut:
Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan : defisit BE > 5,0 mEq/L
Laktat arteri meningkat > 2 kali batas atas nilai normal
Oligouri : output urin < 0,5 ml/kg/hr
CRT memanjang > 5 detik
Beda suhu sentral dan perifer > 30 C
RESPIRASI
 PaO2/FiO2 < 300 tanpa ada penyakit jantung sianotik atau penyakit paru ATAU
 PaCO2 > 65 torr atau 20 mmHg dibawah nilai normal PaCO2
 Pemberian oksigen atau FiO2 > 50% untuk memelihara saturasi ≥ 92% ATAU
 Menerima ventilasi mekanik invasif atau non-invasif
NEUROLOGI
 Glasgow Coma Scale (GCS) ≤ 11 ATAU
 Perubahan status mental dengan penurunan GCS ≤ 3poin dari nilai awal
HEMATOLOGI
 Trombosit < 80.000/mm3 atau penurunan 50% angka trombosit dari nilai
tertinggi yang dicatat selama 3 hari terakhir (untuk pasien hemato-onkologi)
 I/T ratio > 2
RENAL
 Kreatinin serum ≥ 2 kali lipat diatas nilai normal
HEPATAL
 Bilirubin total ≥ 4 mg/dl (tidak diaplikasikan untuk bayi baru lahir)
 AST 2 kali diatas normal
Sumber: Goldstein et al. (2005)
Balans cairan positif dapat mengakibatkan gangguan sistem
hematologi seperti dilusi faktor koagulasi, meningkatkan volume
perdarahan dan menurunkan viskositas darah, sedangkan pada sistem
neurologi dapat berpengaruh pada gangguan pelepasan katekolamin,
16
glutamat dan asetilkolin sehingga dapat menimbulkan gangguan
kognisi hingga delirium. Keadaan disfungsi multiorgan, yaitu fungsi
organ yang berubah (melibatkan lebih dari atau sama dengan 2 organ)
pada
pasien
sakit
akut,
sehingga
homeostasis
tidak
dapat
dipertahankan lagi tanpa intervensi, dapat terjadi akibat balans cairan
positif. Pada anak, kriteria disfungsi organ disepakati dalam konsensus
konferensi internasional tentang sepsis yang diadakan tahun 2002
(Goldstein, 2005). Kriteria tersebut seperti yang terdapat pada tabel
2.2. Keadaan disfungsi multiorgan seperti yang telah disebutkan diatas
dapat mengakibatkan peningkatan lama rawat PICU dan rumah sakit
serta dapat menyebabkan kematian. (Prowle dan kawan-kawan, 2010;
Schrier, 2010; Herwanto dan Amin, 2009).
4. Penelitian Terkait Balans Cairan Positif
Pada dekade terakhir, beberapa penelitian dilakukan untuk
mencari panduan tatalaksana cairan pada pasien sakit kritis. Terdapat
banyak data penelitian yang mendukung adanya kelebihan cairan
akibat resusitasi menyebabkan luaran yang tidak diinginkan. Data
penelitian yang dilakukan pada tahun-tahun terakhir ini memberikan
hasil bahwa resusitasi cairan yang agresif pada pasien sakit kritis
seringkali menimbulkan balans cairan positif dan hal ini mempunyai
hubungan yang nyata dengan lama perawatan di ICU dan di rumah
sakit, lama pemakaian ventilator serta peningkatan angka mortalitas.
(Bagshaw dan kawan-kawan, 2008; Murphy dan kawan-kawan, 2009;
17
Malbrain dan kawan-kawan, 2014; Cordemans dan kawan-kawan,
2012).
Tabel 2.3 Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagai efek dari
balans cairan positif terhadap luaran
Peneliti
Goldstein et
al., 2001
Foland et
al., 2004
Goldstein et
al., 2005
Bouchard et
al., 2009
Sutherland
et al., 2010
Boyd et al.,
2011
Jumlah
Pasien
21
113
116
618
297
778
Populasi
Pediatri dengan
AKI
Pediatri dengan
AKI
Pediatri dengan
AKI
AKI
Pediatri dengan
CRRT
Pasin dengan syok
septik
Pasien PICU
dengan terapi
CRRT
Anak sakit kritis
dengan gagal
napas
Desain
penelitian
Kohort
retrospektif
Kohort
retrospektif
Kohort
prospektif
Kohort
prospektif
Observasional
prospektif
Intervensi
-
Hasil penelitian
Berhubungan dengan
mortalitas
Berhubungan dengan
mortalitas
Berhubungan dengan
mortalitas
Berhubungan dengan
mortalitas
Berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas
Berhubungan dengan
mortalitas
RCT
-
Kohort
retrospektif
-
Berhubungan dengan
mortalitas
Kohort
retrospektif
-
Berhubungan dengan
morbiditas
Selewski et
al., 2011
113
Arikan et
al., 2012
80
Cordemans
et al., 2012
123
Pasien dengan
ventilator
Observasional
prospektif
-
Berhubungan dengan
gangguan fungsi organ dan
mortalitas
Silva et al.,
2013
479
Pasien dengn
tatalaksana
pembedahan
Kohort
prospektif
-
Berhubungan dengan
mortalitas
Abulebda et
al., 2013
Guo et al.,
2013
Wilson et
a.l, 2013
317
307
109
Kelm et al.,
2015
405
Seguin et
al., 2014
193
Berhubungan dengan
mortalitas pada kelompok
resiko rendah namun tidak
berhubungan pada kelompok
resiko sedang dan tinggi
Berhubungan dengan
morbiditas
Berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas
Pediatri dengan
syok septik
Kohort
retrospektif
-
Pasien dengan
CAPD
Pasien dengan
ALI
Pasien dengan
sepsis dan syok
septik
Pediatri dengan
tatalaksana bedah
jantung
Kohort
prospektif
-
RCT
-
Kohort
retrospektif
-
Berhubungan dengan
mortalitas
Kohort
retrospektif
-
Berhubungan dengan
morbiditas
18
Tahun 2001 Goldstein dan kawan-kawan meneliti balans cairan
positif pada anak sakit kritis yang mengalami gagal ginjal akut yang
mendapat terapi continuous venovenous hemomofiltration (CVVH)
atau continuous venovenous hemomofiltration with dialysis (CVVHD)
menyatakan
persentase balans cairan positif dihitung berdasarkan
formula:
Jumlah cairan input – jumlah cairan output
x 100%
Berat badan saat masuk ICU
Persentase balans cairan positif adalah akumulasi cairan per hari
dibagi dengan berat badan saat masuk rumah sakit, sedangkan
akumulasi cairan adalah jumlah dari cairan masuk dikurangi cairan
keluar dalam sehari. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa persentase
balans cairan positif pada pasien yang meninggal (34,0% ± 21,0%)
lebih tinggi dibanding pada pasien yang hidup (16,4% ± 13,8%)
dengan p = 0,03. Dengan jumlah sampel yang lebih besar, Foland dan
kawan-kawan (2004) menemukan hal serupa. Pada anak sakit kritis
yang mendapat terapi CVVH, persentase balans cairan positif pada
pasien yang meninggal (15,1%) lebih tinggi dibanding pada pasien
yang hidup (7,8%) dengan p = 0,02. Pada tahun 2005, Goldstein dan
kawan-kawan melakukan penelitian lain dengan jumlah sampel lebih
besar, didapatkan harapan hidup pasien dengan persentase balans
cairan positif kurang dari 20% (58% pasien hidup) lebih baik
19
dibanding persentase balans cairan positif lebih besar dari 20% (40%
pasien hidup) dengan p < 0,002.
Sutherland dan kawan-kawan (2010) meneliti pada 297 anak
yang mendapat continuous renal replacement therapy (CRRT)
mengemukakan bahwa pasien dengan persentase balans cairan positif
lebih dari atau sama dengan 20% pada saat awal pemberian CRRT
tingkat mortalitasnya signifikan lebih tinggi (65%) dibanding pasien
dengan persentase balans cairan positif 10% - 20% (43,1%) maupun
pasien dengan persentase balans cairan positif <10% (29,4%) [OR
1,03(95% CI, 1,01 – 1,05), p<0,001]. Pada saat persentase balans
cairan positif dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu ≥20% dan
<20%, tingkat kematian pasien dengan persentase balans cairan positif
≥20%, 8,5 kali lebih tinggi dibanding dengan pasien dengan dengan
persentase balans cairan positif <20%.
Penelitian pada orang dewasa juga menunjukkan bahwa balans
cairan positif mempunyai dampak merugikan terhadap luarannya.
Pada studi PICARD (program to improve care in acute renal disease)
yang meneliti efek durasi dan koreksi overload cairan, menyimpulkan
pasien dengan persentase akumulasi cairan yang tinggi lebih dari 10%
pada masa rawat 30 hari (37 vs 25%, p = 0,02), 60 hari (46 vs 32%, p
= 0,006) atau saat keluar dari rumah sakit (48 vs 35%, p = 0,01)
didapatkan mortalitasnya lebih tinggi (Bouchard dan kawan-kawan,
2009).
20
Silva dan kawan-kawan (2013) meneliti balans cairan pada
pasien dewasa yang menjalani prosedur pembedahan, didapatkan
balans cairan pada pasien yang meninggal lebih tinggi daripada pasien
yang hidup [1,950 (1,400-3,400) mL vs 1,400 (1,000-1,600) mL, p <
0,001]. Seguin dan kawan-kawan (2014) meneliti keseimbangan
cairan pada pasien anak yang menjalani prosedur pembedahan
jantung. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa balans cairan positif
yang terjadi setelah pembedahan jantung berhubungan dengan lama
masa rawat di PICU dan lama masa penggunaan ventilator (HR 0,95;
p = 0,009 dan p < 0,001) .
Arikan dan kawan-kawan (2012) meneliti persentase balans
cairan positif pada anak sakit kritis dengan gagal nafas tanpa terapi
pengganti ginjal, hasil penelitian tersebut didapatkan pasien dengan
puncak persentase balans cairan positif melebihi 15%, berhubungan
dengan masa rawat PICU yang panjang [HR 0,95(95% CI 0,92-0,98),
p = 0,004), masa rawat di rumah sakit yang panjang [HR 0,55(95% CI
0,30-0,98), p = 0,04] dan juga masa pemakaian ventilator
yang
panjang [HR 0,35(95% CI 0,019-0,66), p = 0,001). Pada penelitian ini
persentase balans cairan positif pada pasien yang meninggal lebih
tinggi daripada pasien yang hidup namun perbedaan persentase
tersebut tidak signifikan menurut statistik.
Penelitian oleh Hassinger dan kawan-kawan (2014) juga
menyimpulkan bahwa pasien anak yang menjalankan prosedur bedah
21
jantung dan mengalami balans cairan positif mempunyai lama rawat
lebih lama 3,5 hari, pemakaian inotrop dua hari lebih lama dan durasi
penggunaan ventilator mekanik lebih lama (p<0,001). Penelitian
Randomized Control Trial (RCT) pada 109 anak dengan ALI dan
ARDS yang diteliti oleh Wilson dan kawan-kawan (2003)
mengemukakan bahwa akumulasi dari balans cairan dari hari pertama
masa rawat sampai hari ke-7 berhubungan kuat dengan mortalitas
(p<0,001).
Abulebda dan kawan-kawan (2013) melakukan penelitian
balans cairan positif pada pasien dengan syok sepsis. Peneliti
membagi tiga kelompok pasien menjadi resiko kematian tinggi, resiko
kematian menengah dan resiko kematian rendah berdasarkan model
multibiomarker resiko yang telah tervalidasi yaitu pediatric sepsis
biomarker risk model (persevere). Pada penelitian ini didapatkan
kumulatif persentase balans cairan positif berhubungan dengan
mortalitas pada pasien dengan resiko kematian rendah [OR 1,035
(95% CI, 1,004-1,066), p = 0,024]
namun tidak pada kelompok
pasien dengan resiko kematian menengah dan tinggi.
Sedangkan pada penelitian Kelm dan kawan-kawan (2015)
ditemukan balans cairan positif pada pasien dewasa dengan sepsis
atau yang mengalami syok sepsis. Penelitian pada 405 pasien ini
didapatkan pada hari pertama terdapat 271 pasien (67%) dengan
balans cairan positif, dan 182 pasien (48%) dengan balans cairan
22
positif persisten, yaitu pasien yang masih mengalami balans cairan
positif sampai hari ketiga. Mortalitas pasien dengan balans cairan
positif di hari pertama ataupun pasien dengan balans cairan positif
persisten, lebih tinggi secara signifikan dibanding pasien yang tidak
mengalami balans cairan positif [OR 2,27 (95% CI, 1,31-4,09), p =
0,003] dan [OR 1,92 (95% CI, 1,16-3,22), p = 0,01].
23
B.
Kerangka Pemikiran
Vasodilatasi sistemik dan kerusakan
glicocalyx pada anak sakit kritis
Pemberian cairan dalam jumlah
banyak
Balans cairan positif
Gangguan sistem kardiovaskuler
Memerlukan obat vasoaktif
Gangguan sistem respirasi
Memerlukan ventilasi mekanik
Gangguan sistem renal
Mortalitas
Acute kidney injury
Gangguan sistem neurologi
Perpanjangan lama rawat PICU
GCS ≤ 11
Gangguan sistem hematologi
Trombosit < 80.000 mm3
Gangguan sistem hepatal
Bilirubin total ≥ 4 mg/dl
Gambar 2.2 Skema Kerangka Pemikiran
C.
Hipotesis
1. Balans cairan positif meningkatkan mortalitas pada pasien anak yang
dirawat di PICU RSUD DR. Moewardi.
2. Balans cairan positif meningkatkan lama rawat PICU pada pasien
anak yang dirawat di PICU RSUD DR. Moewardi.
Download