Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... Penerapan Bedengan Untuk Budidaya Tanaman Karet Di Lahan Pasang Surut The Application Of Bed For Cultivation Of Rubber Tree On Tidal Swamps Sahuri1)* 1) Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet Jl. Raya Palembang-Betung Km 29, Palembang 30001, Indonesia *Coressponding author: [email protected] ABSTRACT Tidal swamps has potential for the development of rubber trees with bed technology. Bed technology is a cultivation technology that gives continuous irrigation and maintains water depth constantly and makes soil layer in saturated condition. By keeping the water-table constant, rubber can avoid the negative effect of inundation on rubber growth. The objective of this research to determined the growth responses of rubber trees by application of bed technology for rubber cultivation on tidal swamps. The research was conducted at Air sugihan, OKI District, South Sumatera, from 2006 to 2014. The experiment using simple random sampling, with application of bed and without beds. Statistical analysis of the data using t-test. The result of the experiment showed that the highest girth (52.88 cm) and lateks yield (36.06 g/t/t) was obtained in application of bed, and significantly different from without beds aplication. This technology appropriate to prevent pyrit oxidation on tidal swamp and has been proved to increase the productivity of rubber on tidal swamp. Key words : Bed technology, Productivity, Rubber tree, Tidal swamps ABSTRAK Lahan rawa pasang surut merupakan lahan yang berpotensi untuk pengembangan karet dengan teknologi bedengan. Teknologi bedengan merupakan teknologi bedengan yang mempertahankan irigasi secara terus-menerus sehingga tinggi muka air dalam saluran selalu tetap. Dengan menjaga permukaan air terus-menerus tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karet, karena karet akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan dan produksi karet dengan penerapan teknologi bedengan untuk budidaya tanaman karet. Percobaan dilaksanakan di Desa Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dari tahun 2006-2014. Percobaan menggunakan metode sensus secara simple random sampling, dengan perlakuan penerapan bedengan dan tanpa bedengan. Analisis data menggunakan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan lilit batang (52,88 cm) dan hasil lateks (36,06 g/p/s) dengan teknologi bedengan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan lilit batang (45,58 cm) dan hasil lateks (28,19 g/p/s) tanpa bedengan. Teknologi ini dapat mencegah terjadinya oksidasi pirit di lahan pasang surut dan telah terbukti meningkatkan produktivitas karet di lahan pasang surut. Kata kunci: Teknologi bedengan, Produktivitas, Karet, Hevea brasiliensis, Lahan rawa pasang surut 628 Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... PENDAHULUAN Salah satu upaya pengembangan lahan pertanian adalah melalui pemanfaatan lahan marginal. Lahan rawa pasang surut merupakan salah satu lahan marginal yang potensial untuk pengembangan tanaman karet. Terutama dengan meningkatnya minat masyarakat untuk menanam karet yang telah meluas ke daerah pasang surut dengan kondisi kelebihan air sebagai faktor penghambat. Penggunaan lahan rawa pasang surut untuk budidaya tanaman karet dapat mengurangi dampak kekeringan karena ketersediaan air sepanjang waktu dapat terjamin sebagai sumberdaya bagi pertumbuhan dan produksi tanaman karet (Wijaya et al., 2014) Produksi karet nasional pada saat ini masih rendah sekitar 2,7 juta ton/tahun, sementara target produksi karet Indonesia pada tahun 2020 adalah mencapai lebih dari 3,1 juta ton/tahun (Ditjenbun, 2013). Adapun produksi karet pada daerah pasang surut hanya 926 kg/ha/tahun. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan teknologi adaptif yang bisa mencapai hasil karet lebih dari 1.000 kg/ha/tahun (Supriadi, 2004). Di Indonesia terdapat sekitar 20.1 juta ha lahan pasang surut (Subagyo, 2006) dan baru sekitar 5.6 juta ha yang telah dimanfaatkan untuk lahan pertanian (Suyamto, 2007). Luas lahan pasang surut di Sumatera Selatan sekitar 1,3 juta ha dan baru 0.33 juta ha sudah digunakan untuk pertanian (Saleh et al., 2000). Kondisi lahan rawa pasang surut juga memiliki kendala drainase yang tergolong buruk terhadap pertumbuhan tanaman karet, sehingga mengakibatkan akar tanaman kurang kuat menahan tegakan terutama saat produksi (umur > 6 tahun) yang cenderung tumbuh miring bahkan tumbang, rendahnya konsentrasi O2 mengakibatkan absorpsi hara oleh akar terhambat, tingginya volatilisasi N menjadi N2 dan S menjadi H2S, serta tingginya proses pencucian P, K, Mg, dan Ca berdampak tanaman kekurangan N, P, K, Mg, Ca dan S, keracunan asam asetat dan asam butirat yang menghambat perakaran karet dan terbentuknya lapisan kedap air tidak jauh dari permukaan tanah mengakibatkan perkembangan akar tunggang terhambat (Adiwiganda, 1985; Saleh et al., 2000; Suyamto, 2007; Rosyid dan Sahuri, 2012). Oleh karena itu dalam memanfaatkan lahan rawa secara berkelanjutan, diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu misalnya dengan sistem bedengan. Teknologi bedengan merupakan suatu teknologi yang mempertahankan irigasi secara terus-menerus di dalam saluran antara bedengan sehingga tinggi muka air dalam saluran selalu tetap dan menciptakan lapisan jenuh air pada tanah, sehingga dapat menurunkan kadar pirit (Ghulamahdi, 2006; Ghulamahdi, 2009; dan Sahuri, 2011). Pengelolaan lahan rawa pasang surut dapat dilakukan dengan perbaikan drainase melalui pembuatan saluran drainase dan membuat sistem . bedengan yang dibuat pada jarak tertentu. Sistem bedengan untuk tanaman karet dilahan pasang surut dibuat dengan cara membuat bedengan selebar 2 m dengan kedalaman ± 50-100 cm memanjang untuk diletakan pada barisan tanaman. Dengan adanya sistem bedengan panjang ini maka terbentuk larikan-larikan seperti pada sistem surjan. Selain itu, kondisi tanaman dan perakaran tidak tergenang sehingga tidak memgganggu proses respirasi perakaran. Sistem tanam dengan pembuatan bedengan pada tanaman karet di lahan rawa akan memotong perakaran lateral, namun akar tersebut mampu tumbuh lagi dan mengikuti sudut vertikal ke bawah dari bentuk surjan (Suyamto, 2007; Rosyid dan Sahuri, 2012). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui respon pertumbuhan dan produksi karet dengan penerapan teknologi bedengan untuk budidaya karet di lahan pasang surut. 629 Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di daerah pasang surut, Daerah Air Sugihan, Kabupaten Ogan Koemring Ilir (OKI), Sumatera Selatan dari tahun 2006 - 2014 pada tipe luapan C (Monografi desa Air Sugihan). Tipe luapan C yaitu lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, tetapi muka air tanah di petak lahan masih dipengaruhi oleh fluktuasi air pasang dan permukaan air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50 cm (WidjajaAdhi, 1992;1997). Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara metode sensus kebun, kemudian diambil sampling secara simple random sampling (contoh acak sederhana) pada perlakuan penerapan bedengan (1 ha) dan tanpa bedengan (1 ha). Plot penelitian yang digunakan adalah adalah klon BPM 24 pada tanaman karet menghasilkan umur 100 bulan tanam. Jarak tanam karet yang digunakan adalah 6 m x 3 m (populasi 550 tanaman/ha). Klon BPM 24 adalah hasil dari tetua GT 1 x AVROS 1734, merupakan jenis klon yang tidak sesuai pada daerah basah curah hujan 2500-3000 mm/tahun, daerah dengan ketinggian 300-600 m dpl dan daerah angin 30-50 km/jam, tetapi cukup sesuai pada daerah kering curah hujan 1500-2000 mm/th, 2-4 bulan kering dan daerah bergelombang berbukit. Potensi hasil karet kering adalah 985 - 2095 kg/ha (Lasminingsih, 2014). Persiapan lahan untuk tanaman karet di lahan pasang surut dibuat dengan cara membuat bedengan selebar 2 m dengan ketinggian 50 cm memanjang pada barisan tanaman. Petak penelitian dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 1 m dengan dalam 1 m. Dengan demikan kondisi petakan selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Air irigasi diberikan sejak tanam dengan ketinggian muka air 50 cm dari permukaan tanah (DPT). Pemupukan tanaman karet sesuai dengan analisis hara dan daun. Pengamatan Tanaman Karet Karakter agronomi tanaman karet yang diamati terdiri atas: 1) lilit batang (cm) diukur 100 cm dari dari tanah, 2) hasil getah (g/p/s) diperoleh dengan cara sistem eksploitasi sadap 1/2S d3 ET 2.5 %, dan 3) kadar karet kering (%) dengan metode panci penggoreng, yaitu lateks sebanyak 10-15 g dituang ke dalam panci teflon dan diratakan sampai membentuk lapisan tipis. Panci dipanaskan diatas kompor sampai terbentuk film karet berwarna coklat yang kemudian bagian bawah panci dicelupkan ke dalam air dingin. Lapisan karet ditimbang dan dinyatakan dalam kadar jumlah padatan (KJP). Kadar karet kering (KKK) dihitung dengan rumus (Balai [enelitian Sembawa, 2003): KKK (%) = KJP x Fk x 100 % Fk adalah faktor koreksi sebesar 0.96 (1) Pengamatan Tanah dan Air Analisis kimia tanah pada kedalaman 0-60 cm dilakukan sebelum tanam. Analisis tanah dilakukan untuk komposisi pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, dan KTK. Kemasaman tanah (pH) ditentukan dengan ekstrak 1:5 menggunakan H2O dan KCl, C organik ditentukan dengan metode kurmis, N ditentukan dengan metode Kjedahl, P2O5 ditentukan dengan metode Bray I, K2O ditentukan dengan metode Morgan, Kation 630 Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... dan unsur hara mikro dengan metode Atomic Absorption Spectrometer (AAS), dan KTK dengan metode titrasi. Analisis kimia air sebelum tanam dilakukan untuk komposisi kemasaman tanah (pH) diukur dengan pH meter menggunakan elektrode gelas kombinasi. Daya hantar listrik (DHL) diukur dengan menggunakan konduktometer. Kation diukur dengan metode sesuai dengan masing-masing kation. Ca, Mg, Fe, Al, Mn ditentukan dengan metode AAS. K dan Na dengan fotometer nyala, NH4 dengan sfektrofotometri, SO4 dengan turbidimetri, Cl dengan argentometri, PO4 dengan kolorimetri pewarnaan biru molibden pada panjang gelombang 693 nm, CO3 dan HCO3 dengan titrasi menggunakan asam hingga pH tertentu. Analisis Data Analisis data secara statistik menggunakan uji statistik yaitu uji kesamaan nilai tengah (uji–t) pada taraf 5 % dengan program statistik SAS 9.0. (Gomez, K.A and A.A. Gomez. 1995). HASIL Lokasi penelitian termasuk dalam zona II yang artinya masih terdapat pada daerah aliran bagian bawah, tetapi lebih ke arah hulu, pengaruh langsung air laut/salin sudah tidak ada, namun energi pasang surut masih terasa berupa naik turunnya air (tawar) sungai mengikuti siklus gerakan air pasang surut. Pada penelitian ini salinitas belum mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet karena air yang berada dalam saluran masih merupakan sisa air hujan (Gandasasmita et al., 2006). Tabel 1. Hasil analisis tanah di daerah pasang surut pada tipe luapan C di daerah Air Sugihan Tahun 2013 Peubah analisis a. pH H2O b. pH KCl Bahan Organik a. C b. N c. C/N a. P2O5 (Bray I) b. K2O (Morgan) a. Ca b. Mg c. KTK Hasil analisis Kriteria a. 3.70 b. 3.50 Sangat Masam a. 7.02 % b. 0.33% c. 21.27% a. 4 ppm c. 0.36 me/100 g a. 0.34 me/100 g b. 0.65 me/100 g c. 30 me/100 g a. Tinggi b. Sedang c. Tinggi a.Rendah b.Rendah a. Rendah b.Rendah c. Sedang Hasil analisis tanah memperlihatkan kemasaman tanah tinggi, kandungan bahan organik tinggi, kandungan N sedang, kandungan P2O5 rendah, kandungan Ca rendah, kandungan Mg mulai dari rendah dan KTK sedang. Hasil analisis tanah pada areal penelitian sampai kedalaman 100 m belum terdapat lapisan sub soil dan lapisan pirit. Oleh karena itu tanah seperti ini tidak menimbulkan masalah bagi pertumbuhan karet, karena tanaman karet memiliki akar hara yang panjang, yaitu mencapai 20 cm. Selain itu berdasarkan pengamatan di lapangan areal penelitian yang ditanami karet tidak pecah, sehingga mampu mencegah terjadinya oksidasi pirit (Tabel 1). 631 Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... Sumber air untuk budidaya karet pada penelitian ini adalah dengan memanfaatkan air yang berada di saluran drainase yang telah dipengaruhi pasang surut air laut. Hal ini berpengaruh pada kandungan kation dan anion dalam air yang didominasi oleh Na dan Cl, namun daya hantar listrik masih rendah 0.488 mmhos/cm sehingga dapat mengairi semua tanaman, tidak merusak tanah dan tanaman. Air ini juga memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH 5.4. Kadar lumpur yang ada di air 0.20 mg/l (Tabel 2). Tabel 2. Data Analisis Air pada tipe luapan C di daerah Air Sugihan Tahun 2013 Peubah Analisi DHL pH Kation a. NH4 b. Ca c. Mg d. Na e. Fe f. Mn g. Cu h. Zn Anion a. PO43b. SO42c. Cld. HCO3e. CO3- Hasil Analisis 0.488 mmhos/cm 5.4 mg/l air bebas lumpur a. 0.81 b. 11.65 c. 4.87 d. 19.63 e. 0.19 f. 0.00 g. 0.03 h. 0.00 mg/l air bebas lumpur a. 0. 56 b. 111 c. 2.69 d. 0.32 e. 0.00 Kriteria Rendah Sangat masam Rendah Tinggi Sedang Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Sedang Rendah Rendah Lahan rawa pasang surut untuk penanaman karet setiap tahunnya perlu dilakukan perbaikan bedengan dan saluran drainase. Irigasi pada bedengan secara terus-menerus dipertahankan sehingga tinggi muka air dalam saluran selalu tetap sehingga karet akan terhindar dari pengaruh negatif genangan, dapat mencegah oksidasi pirit dan telah terbukti meningkatkan produktivitas karet di lahan pasang surut (Gambar 1a). Penanaman karet tanpa bedengan menyebabkan tata air buruk, dan menjadi faktor pembatas, sebab tanaman karet tidak menyukai areal yang tergenang. Secara fisiologis, akar karet tidak mempunyai akar nafas, sehingga pada drainase buruk akar tanaman tidak dapat bernafas dengan baik. Hal tersebut menyebabkan perkembangan dan penyerapan unsur hara menjadi terhambat. Pengaruh lain akibat tata air yang buruk adalah daya ketahanan tanaman terhadap penyakit akan menurun. Gejala tanaman yang terlihat akibat tata air yang buruk adalah daun menguning, batang mengecil, produksi menurun. Pengaruh lanjut adalah akar membusuk dan tanaman mati (Gambar 1b). 632 Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... b. BPM 24 Gambar 1. Keragaan tanaman karet dilahan pasang surut dengan teknologi bedengan (a) dan tanpa bedengan (b) Pengaruh Teknologi Bedengan Pada Pertumbuhan Lilit Batang Produksi dan Kadar Karet Kering Pada penelitian ini berdasarkan hasil uji t-student menunjukan bahwa pertumbuhan lilit batang dan produksi tanaman karet di lahan rawa pasang surut nyata lebih tinggi pada perlakuan teknologi bedengan dibandingkan pada perlakuan tanpa bedengan, tetapi tidak ada perbedaan yang nyata pada kadar karet kering (Tabel 3). Tabel 3. Pertumbuhan lilit batang, produksi dan kadar karet kering tanaman karet klon BPM 24 pada umur 100 bulan tanam di daerah pasang surut Perlakuan Bedengan Panjang Tanpa Bedengan Lilit Batang (cm) 52.88* 45.58* Produksi Lateks (g/p/s) 36.06* 28.19* KKK (%) 33.38tn 32.84tn Sumber : Data primer diolah, 2014 Keterangan : *) = Hasil uji t-student berbeda nyata pada taraf 5% Dinamika pertumbuhan lilit batang tanaman karet klon BPM 24 dari pengamatan umur 10 - 100 bulan di lahan pasang surut berdasarkan hasil analisis regresi pertumbuhan lilit batang tanaman karet dengan perlakuan bedengan lebih besar dibandingkan dengan tanpa perlakuan bedengan. Pada perlakuan bedengan pertumbuhan lilit batang tanaman karet pada umur 40 - 50 bulan rata-rata sudah mencapai ≥ 45 cm. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman karet tidak mengalami kelambatan dan tidak berpengaruh negatif oleh karena adanya pembuatan bedengan. Pertumbuhan karet dengan adanya pembuatan bedengan tumbuh lebih dari kondisi normal (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian wijaya et al. (2014) menyatakan bahwa pertumbuhan lilit batang tanaman karet dilahan pasang surut tanpa menggunakan teknologi bedengan mengalami penurunan sekitar 20 % dibandingkan dengan pertumbuhan lilit batang tanaman karet dengan bedengan. 633 Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... Lilit Batang (cm) 60 55 2 + 1.123x 50 y = -0.0059x 45 40 R² = 0.9856 35 30 y = -0.0051x2 + 25 20 15 0.9783x 105 R² = 0.9772 0 0 102030405060708090100 Waktu (Bulan) Bedengan Tanpa Bedengan Produksi (g/p/s) Gambar 2. Dinamika pertumbuhan lilit batang klon BPM 24 dengan teknologi bedengan dan tanpa bedengan selama 100 bulan di lahan pasang surut 60 40 Bedengan 20 0 01234567891011 2 Bulan Tanpa Bedengan Gambar 3. Dinamika produksi klon BPM 24 sepanjang bulan dengan teknologi bedengan dan tanpa bedengan di lahan pasang surut pada umur 100 bulan Dinamika produksi klon BPM 24 mengalami kenaikan dan penurunan sepanjang bulan. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan kenaikan produksi terjadi mulai bulan Mei-Juli, sedangkan penurunan produksi terjadi pada bulan Agustus-Oktober. Penurunan produksi pada bulan tersebut diduga karena terjadi fase munculnya daun baru (flush). Berdasarkan pengamatan dilapangan terdapat pengaruh perlakuan bedengan terhadap produksi (g/p/s) tanaman karet klon BPM 24 pada umur 100 bulan. Dinamika produksi klon BPM 24 dengan perlakuan bedengan lebih tinggi dibandingkan tanpa bedengan sepanjang bulan (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lasmingsih17 menyatakan bahwa klon BPM 24 merupakan jenis klon yang tidak sesuai pada daerah basah seperti rawa pasang surut dan curah hujan tinggi 2500-3000 mm/th, tetapi cukup sesuai pada daerah kering curah hujan sedang 1500-2000 mm/th, 2-4 bulan kering. Potensi hasil karet kering adalah 985-2095 kg/ha. PEMBAHASAN Sistem pengelolaan air pada areal penelitian ini dipengaruhi oleh fluktuasi pasang surut air laut dengan jaringan drainase terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier dan saluran kuarter. Adanya tata air makro dan mikro mendukung penerapan teknologi BJA di lahan pasang surut. Tata air ini dibentuk mulai dari saluran primer hingga saluran kuarter sehingga penerapan BJA berada diantara saluran kuarter, jarak antara saluran kuarter mencapai 100 m. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pengelolaan tata air yang tepat merupakan kunci keberhasilan budidaya karet di lahan pasang surut dengan teknologi 634 Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... bedengan untuk BJA. Pada penelitian ini, dengan adanya air yang dialirkan ke parit-parit di antara petak-petak percobaan dengan tinggi muka air yang stabil sejak awal tanam dan tingginya intensitas radiasi matahari di daerah lahan pasang surut mencapai 100% dan tingginya suhu di lahan pasang surut 24,50-32,60 oC menyebabkan fotosintesis di daun lebih efisien dan akan menginduksi tanaman untuk membentuk lateks yang banyak. Kesesuaian antara jenis klon karet, teknologi budidaya dan agroklimat lokasi budidaya, ketepatan waktu dari berbagai tindakan agronomis, dan kesuburan tanah yang relatif baik dengan kandungan bahan organik, P2O5, dan K2O5 yang relatif tinggi sangat menentukan produktivitas karet di lahan pasang surut. Penanaman karet pada lahan rawa pasang surut sering tergenang jika kondisi permukaan air tanah dangkal. Hal ini menyebabkan daerah perakaran tanaman karet terbatas. Perkembangan bagian akar umumnya ada yang tergenang air karena telah memasuki lapisan permukaan air tanah. Namun dengan banyaknya perakaran hara (feeder root) dan perakaran lateral yang terdapat pada daerah perakaran oksidatif, meskipun sebagian perakaran tunggang pada daerah perakaran reduktif menyebabkan tanaman karet akan mengalami aklimatisasi dan memperbaiki pertumbuhannya ditanah berdrainase buruk. Pengendalian tinggi muka air tanah pada lahan rawa pasang surut harus dilakukan secara tepat, baik di tingkat makro maupun mikro. Pengelolaan tata air mikro akan menentukan secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman. Dalam pengelolaan air, setiap petak tersier merupakan satu unit sistem pengelolaan air. Tanpa infrastruktur pengendali air, teknik pengelolaan air pada lahan rawa pasang surut dilakukan secara gravitasi dengan memanfaatkan potensi luapan air pasang ke lahan. Teknik ini sangat bergantung pada kondisi hidrotopogafi lahan, sehingga kemampuan pelayanan tata air masih sangat rendah. Pada jaringan tata air yang dilengkapi dengan pintu air, terutama di tingkat tersier, maka pengelolaan air seperti pemasukan air, drainase, dan retensi air dapat dilakukan dengan baik sehingga sistem usahatani yang diterapkan dapat optimal (Ngudiantoro, 2009). Lahan rawa pasang surut untuk pengembangan tanaman karet umumnya memiliki kelas kesesuaian ahan relatif rendah. Berbeda dengan lokasi ahan kering yang umumnya memiliki kelas kesesuaian lahan S1 untuk tanaman karet. Namun demikian dengan pengelolaan saluran drainase dan sistim tanam yang tepat, maka lahan rawa pasang surut dapat dikembangkan untuk tanaman karet. Pengelolaan yang sedang sudah cukup memadai untuk perbaikan kualitas lahan dan kondisi kelebihan air yang menjadi faktor penghambat. Hal tersebut telah mampu meningkatkan kelas kesesuaian lahan dari tidak sesuai (N1) menjadi sesuai marjinal (S3), dan kelas sesuai marjinal (S3) menjadi kelas cukup sesuai (S2) (Wijaya dan Hidayati, 2003). Pada penelitian ini berdasarkan hasil uji t-student menunjukan bahwa pertumbuhan lilit batang dan produksi tanaman karet di lahan rawa pasang surut nyata lebih tinggi pada perlakuan teknologi bedengan dibandingkan pada perlakuan tanpa bedengan. Hal ini karena adanya pengaruh faktor lingkungan dan faktor fisiologis terhadap tanaman karet. Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah adanya air yang stabil di bawah permukaan tanah sehingga lengas tanah dalam keadaan kapasitas lapang. Tinggi muka air tetap pada parit bedengan akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karet. Kadar karet kering pada penelitian ini tidak berbeda nyata antara perlakuan teknologi bedengan dengan perlakuan tanpa bedengan. Hal ini karena kadar karet kering 635 Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... lebih dipengaruhi oleh faktor fisiologis yaitu proses biosintesis lateks. Tistama (2013) menyatakan biosintesis lateks tidak terlepas dari kebutuhan bahan baku yaitu sukrosa. Proses utama penyediaan sukrosa pada tanaman adalah fotosintesis yang terjadi di dalam klorofil daun. Daun yang aktif berfotosintesis adalah daun yang terkena sinar matahari. Semakin banyak daun yang aktif maka ketersediaan sukrosa akan meningkat. Pada saat gugur daun proses pembentukan sukrosa menjadi menurun, sementara tanaman juga membutuhkan sukrosa untuk pembentukan daun baru. Karena kedua hal tersebut maka intensitas penyadapan sebaiknya juga diturunkan. Pengelolaan air pada lahan pasang surut dengan pembuatan bedengan pada barisan tanaman dan pengaturan permukaan air tanah yang tepat merupakan salah satu cara untuk melindungi tanaman karet dari genangan air pada kebun dengan drainase yang kurang baik sehingga pertumbuhan tanaman karet tidak terhambat dan sebaliknya tanpa adanya pengelolaan air dengan membuat bedengan tanaman karet akan tergenang, pertumbuhan terhambat dan dapat menyebabkan kematian tanaman karet. Pengembangan karet di lahan lebak dangkal dengan teknologi bedengan menunjukkan klon unggul PB 260 dan IRR 39 mampu hidup saat tanam, sedangkan jika tidak menggunakan bedengan kebanyakan pertumbuhan karet terhambat dan mati. Pembuatan tukungan 50 % dari ketinggian genangan air sudah cukup untuk mempertahankan pertumbuhan bibit karet PB 260, sedangkan untuk IRR 39 yang terbaik jika tinggi tukungan 100 % dari genangan (Firmansayah et al., 2012). KESIMPULAN Dinamika pertumbuhan lilit batang tanaman karet dan hasil lateks dengan teknologi bedengan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa bedengan. Rata-rata peningkatan pertumbuhan lilit batang sekitar 13,80 % dan hasil lateks sekitar 21,82 % dengan teknologi bedengan dibandingkan tanpa bedengan. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih kepada Ir. H.M. Jahidin Rosyid, MS yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan makalah ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Gapoktan Desa Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. 2001. Bertanam Kedelai Di Tanah Jenuh Air. Buletin Palawija. 1:24-32. Adiwiganda YT. 1985. Sistem Drainase Tanah di Perkebunan Karet. Warta Perkaretan. 4(1):15-18. Balai Penelitian Sembawa. 2003. Sapta Bina Usahatani Karet Rakyat. Pusat Penelitian Karet. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Statistik Perkebunan Indonesia: Karet 2012-2013. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Firmansyah, M.A., N. Yuliani, W.A. Nugroho dan A. Bhermana. 2012. Kesesuaian Lahan Rawa Pasang Surut untuk Tanaman Karet di Tiga Desa Eks Lahan Sejuta Hektar, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. 1(2): 149-157. 636 Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... Firmansyah, M. A. , Suparman, W.A.Nugroho, Harmini dan U.P. Astuti. 2012. Kajian perbaikan usahatani lahan lebak dangkal di SP1 Desa Buntut Bali Kecamatan Pulau Malan Kabupaten Katingan Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Inovasi Teknologi Pertanian 2012. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah. Palangkaraya. Gandasasmita, K., Suwarto, W. Adhy, dan Sukmara. 2006. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Edisi Pertama. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor. Ghulamahdi, M., M. Melati, and D. Sagala. 2009. Production Of Soybean Varieties Under Saturated Soil Culture On Tidal Swamps. JAI. 37(3):226-232. Ghulamahdi, M., S.A. Aziz., M. Melati., N. Dewi dan S.A. Rais. 2006. Pengaruh Genotipe Dan Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Kedelai Panen Muda Pada Budidaya Jenuh Air. Bul. Agron. 34(1):32-38. Gomez, K.A and A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research. Penerjemah: E. Sjamsudin dan Baharsjah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hal. Indradewa, D., S. Notohadisuwarno, S. Sastrowinoto dan H. Prabowo. 2002. Lebar bedengan untuk genangan dalam parit pada tanaman kedelai. Bul. Agron. 30(3):8286. Lasminingsih, M. 2014. Rekomendasi Klon Karet. Balai Penelitian Sembawa. Pusat Penelitian Karet. Palembang. Ngudiantoro. 2009. Kajian Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Kasus di Sumatera Selatan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hal. Rosyid, M.J dan Sahuri. 2012. Laporan Akhir Penelitian Pengujian Penggunaan Bahan Tanam dan Adaptabilitas Berbagai Klon Pada Lahan Pasang Surut Tipe Luapan C. Di Sumatera Selatan. Balai Penelitian Sembawa. Pusat Penelitian Karet. Palembang. Sahuri. 2011. Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) di Lahan Pasang Surut. Skripsi. Program Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 65 hal. Saleh, M., E. William., dan M. Sabran. 2000. Pengujian Galur Kedelai Di Lahan Pasang Surut. Bul. Agron. 28(2):41-48. Subagyo H. 2006. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa. Di dalam: Suriadikarta, D.A., U. Kurnia, Mamat H.S., W. Hartatik, D. Setyorini, editor. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Ed ke-1. Bogor: Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Hlm 1-22. Supriadi, M. 2004. Model Teknologi Pemberdayaan Partisipatif untuk Mendukung Peremjaan Karet. Makalah Rapat Koordinasi Peremjaan Karet Rakyat Partisipatif di Drijenbun. Jakarta, 30 Januari 2004. Suyamto. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Lahan Rawa Pasang Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 37 hlm. Tistama, 2013. Faktor Histologis Dan Fisiologis Yang Berkaitan Dengan Produksi Lateks. Workshop Eksploitasi Tanaman Karet Menuju Produktivitas Tinggi dan Umur Ekonomis Optimal. Balai Penelitian Sungai Putih. Medan. 637 Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016 ISBN ......................... Widjaja-Adhi, I.P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya Lahan Rawa: Potensi. Keterbatasan dan Pemanfaatan. Dalam S. Partohardjono dan M. Syam (Ed.). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian di Lahan Pasang Surut dan Lebak. Cisarua. 3-4 Maret 1992. Balittan. Bogor. Widjaja-Adhi, I. P. G., N. P. S. Ratmini, dan I. W. Swastika. 1997. Pengelolaan tanah dan air di lahan pasang surut. Proyek penelitian pengembangan rawa terpadu–ISDP, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Wijaya, T. dan U. Hidayati. 2003. Evaluasi Lahan Untuk Pengembangan Tanaman Karet Di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Karet. 2(1-3):1-11. Wijaya, T., Istianto, I., Susetyo, dan S.R. Ahmad. 2014. Teknologi Pemupukan dan Kultur Teknis yang Adaptif Terhadap Anomali Iklim pada Tanaman Karet. Seminar Nasional Upaya Peningkatan Produktivitas Perkebunan dengan Teknologi Pemupukan dan Antisipasi Anomali Iklim. Pusat Penelitian Karet. PT. Riset Perkebunan Nusantara. 638