AKTOR-AKTOR DALAM ENKULTURASI Proses enkulturasi budaya maupun pendidikan dalam artian formal adalah upayaupaya yang dilakukan keterampilan untuk membekali yang memungkinkan diri seseorang dengan dapat sejumlah pengetahuan mempertahankan dan eksistensinya sebagai manusia. Pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan akan sesuai dengan sistim nilai dan caracara hidup tempatan. Proses transimisi nilai dan kebudayaan ini melibatkan beberapa aktor. Secara garis besar di kelompokkan menjadi tiga yaitu peserta didik , pendidik, dan supervisi atau pengawas. Peserta didik ini ditandai dengan usianya yang masih muda dan belum menjadi bagian dalam pengambil keputusan dalam masyarakatnya. Peserta didik ini adalah anak, siswa, dan sebutan lainnya untuk mereka yang usianya masih muda dan belum menjadi bagian dalam pengambilan keputusan dalam masyarakatnya. Menurut penulis, mereka disini sebagai peserta didik berperan menyerap berbagai nilai-nilai yang diajarkan atau yang diperlihatkan di dalam lingkungan formal maupun informalnya. Penyerapan nilai terutama disaat mereka masih dalam lingkungan informal keluarganya, dimana nilai tersebutlah yang akan mereka bawa ke tahap enkulturasi di lembaga formal dan informal selanjutnya. Selanjutnya adalah pendidik. Pendidik disini terdapat pada lembaga atau institusi pendidikan informal maupun pada lembaga atau institusi pendidikan formal. Pada masyarakat yang sederhana dan homogen umumnya lembaga atau institusi sebagai pendidiknya adalah rumah tangga, keluarga, masyarakat adat, masyarakat luas dan peer group. Dimana yang paling utama adalah di dalam lingkungan rumah tangga,dikarenakan dari awal lahir anak akan berinteraksi langsung dengan orang tuanya dan dengan Melalui interaksi dalam keluarga, anak mempelajari pola perilaku, sikap, keyakinan, cita-cita, serta nilai dalam keluarga dan masyarakat. Di dalam rumah tangga juga terdapat aktor lain, yaitu saudara yang lebih tua dari si anak, contoh konkritnya adalah penulis sendiri. Disaat orang tua bekerja sebagai petani, saudara laki-laki membantu untuk menjaga saya dan tentu sedikit banyaknya pengaruh cara saudara laki-laki saya dalam menjaga saya mempengaruhi sifat saya. Selanjutnya aktor dalam keluarga besar , contoh yang paling sering ditemui adalah bagaimana seorang kakek atau nenek memperlakukan cucu mereka, disaat orang tua akan menghukum jika anaknya salah, kakek dan nenek ini biasanya mengurangi hukuman kepada cucunya. Kakek dan nenek ini juga bisa menjadi role model bagi orang tua si anak, untuk mendidik anaknya. Aktor selanjutnya adalah masyarakat adat dan masyarakat luas. Penanaman nilai-nilai oleh aktor ini biasanya terjadi ketika berinteraksi dengan masyarakat tersebut dan nilai-nilai yang ditanamkan pun merupakan nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut benar. Contoh sederhananya ketika sore-sore saya duduk di teras rumah dan menerima kunjungan dari tetangga, biasanya akan ada bahasan yang membahas tentang bagaimana sih remaja Minangkabau seharusnya , sikap-sikap apa yang harus dilakukan, tentu dengan penyampaian yang ringan. Aktor selanjutnya adalah teman sebaya. Menurut penulis, proses penanaman nilai oleh aktor teman sebaya ini biasanya terjadi disaat bermain, di dalam permainan kita akan mengenal apa itu tanggung jawab, toleransi , kerja sama tim , nilai keadilan dan solidaritas. Pada teman sebaya ini juga , mereka akan mengenal tentang peduli terhadap teman, sifat saling terbuka dan menanamkan nilai kepercayaan, karena menurut si anak, teman sebaya inilah yang bisa saling mendengarkan keluh mereka karena berada dalam lingkungan dan umur yang sama dan dianggap akan jauh lebih mengerti dari orang tua selain intensitas teman sebaya dengan si anak untuk berinteraksi juga yang banyak. . Pada masyarakat yang kompleks dan heterogen umumnya lembaga atau institusi sebagai pendidiknya adalah sekolah , pendidikan tinggi, lembaga agama, peer group dan media massa. Aktor dalam proses enkulturasi di sekolah ataupun pendidikan tinggi adalah guru dan dosen. Dimana anak akan mendapatkan nilai-nilai yang belum ia dapatkan di keluarganya. Sekolah ataupun pendidikan tinggi akan mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang tentu akan berpengaruh kepada kecerdasan anak, tetapi yang diajarkan tidak hanya sebatas itu saja . Di sekolah ataupun pendidikan tinggi anak akan diajarkan kemandirian, prestasi dan tanggung jawab. Di lingkungan ini anak akan dipaksa untuk mandiri dan bebas dari ketergantungan dari orang tuanya. Tanggung jawab juga merupakan nilai yang ditanamkan dalam lingkungan ini, bagaimana anak bertanggung jawab atas status “mahasiswa” yang di pegangnya dan bagaimana dia menjalankan perannya sebagai mahasiswa tersebut. Sederhananya , mereka akan diajarkan tanggung jawab dalam mengerjakan tugas apalagi jika tugasnya adalah tugas kelompok, kerja sama tim juga didapatkan oleh si anak. Kejujuran dalam ujianpun nilai yang sangat berguna untuk si anak. Untuk lembaga agama, beberapa orang memilih pendidikan agamanya berdasar dari apa yang ia yakini benar, terutama di Indonesia ada beberapa lembaga agama. Umumnya orang-orang mendapatkan nilai-nilai agama dari waktu di lingkungan keluarga serta upacara keagaaman dalam kebudayaan seseorang juga mempengaruhi proses enkultarasinya dan tambahannya dengan mengikuti kajian-kajian agama yang sangat mudah sekarang di dapatkan, ada beberapa media seperti youtube, channel di televisi atau bahkan sekarang dengan kondisi di rumah aja jauh lebih mudah dengan pengajian yang bisa di ikuti secara virtual via zoom ataupun aplikasi pendukung lainnya. Selanjutnya , tidak berbeda dengan masyarakat homogen, pada masyarakat heterogen teman sebaya pun menjadi aktor dalam penanaman nilai, ini tidak bisa dipungkiri karena memang hampir sebagian waktu anak dihabiskan dengan teman sebayanya. Lingkungan sebaya ini akan menanamkan nilai yang mereka anggap benar. Aktor lainnya adalah media massa. Menurut penulis penanaman nilai melalui media massa ini biasanya tergantung dari tontonan apa yang mereka tonton, berita apa yang sedang mereka baca dan tentunya pada tahap awal perlu pendampingan orang tua untuk ini. Agar nilai yang diterima, sesuai dengan nilai budaya dimana ia berada. Melalui pendidikan , diharapkan transimisi nilai dan kebudayaan terhadap anak dapat dilaksanakan dengan baik, terlepas dari aktor mana yang lebih penting dan mana yang tidak dalam melakukan proses enkulturasi kepada anak. Pendidikan diharapkan menghasilkan pribadi-pribadi yang siap dalam menghadapi seleksi sosial nantinya. Referensi Matsumoto, D., & Juang, L. (2004). Culture and psychology. Belmont, USA: ThomsonWadsworthThomson Learning Patterson, G. R., Reid, J. B., & Dishion, T. J.(1992). Antisocial boys. Eugene, OR: Castalia.