Uploaded by hadisucipto498

KONDISI PENDIDIKAN DI INDONESIA DARI TINJAUAN

advertisement
KONDISI PENDIDIKAN DI INDONESIA DARI TINJAUAN PSIKOLOGIS
Masyarakat pada umumnya sering kali mengabaikan pentingnya pendidikan mulai dari bangku sekolah
dasar sampai jenjang yang paling atas dengan alasan biaya pendidikan yang mahal dan ada yang berpikir
pendidikan itu tidak penting, padahal pendidikan sangat penting. Dengan adanya biaya pendidikan yang
mahal menyulitkan sebagian besar masyarakat Indonesia yang kurang mampu untuk menyekolahkan
anak-anak mereka sampai pada jenjang perkuliahan atau lebih parahnya lagi bisa juga berakibat
banyaknya anak-anak yang terancam putus sekolah. Padahal mereka sebagai penerus dan harapan
bangsa untuk meningkatkan sumber daya manusia. Lebih kompleksnya lagi bahwa masalah pendidikan
di Indonesia pada umumnya yaitu mengenai :
1. Rendahnya Mutu pendidikan yang berkaitan dengan kualitas/kompetensi para pengajar atau
guru.
2. Sulitnya Penyediaan guru berkompetensi di daerah-daerah pedesaan
3. Sistem pelaksanaan proses pendidikan yang kurang optimal
4. Minimnya fasilitas yang tersedia
5. Rendahnya kualitas siswa
6. Mahalnya biaya pendidikan
Oleh sebab itu pertama-tama yang harus di benahi adalah mengenai sistem pendidikan di indonesia
yang kurang optimal mencakup masalah anggaran dana yang disediakan pemerintah karena sangat
penting bagi setaip sekolah mendapat anggaran dari tingkat rendah samapai tingkat tinggi dan kedua
masalah kulitas guru sebab guru berperan sangat penting dalam membantu anak-anak menuntut ilmu
guru lah yang mengajarkan kita di sisi lain guru juga harus mempunyai latar belakang psikologis yang
bagus, untuk mengajarkan anak didiknya karena anak didik mempunyai belakang yang berbeda-beda.
Tidak ada guru yang menyiksa anak didiknya.
Di ilmu Psikologi itu sendiri terdapat cabang tentang Psikologi Pendidikan jadi tidak dipungkiri
pendidikan tidak akan terlepas dari tinjauan psikologis. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sudah sejak
lama bidang psikologi pendidikan telah digunakan sebagai landasan dalam pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pendidikan. Psikologi
pendidikan sebagai Ilmu yang mempelajari tentang bagaimana seorang itu dalam proses pembelajaran,
memiliki sumbangsih yang sangat banyak terhadap berbagai prilaku peserta didik dalam belajar. Atas
dasar itu pula pendidik perlu memahami landasan pendidikan dari sudut psikologis.
Analisis psikologi akan membantu para pendidik memahami struktur psikologis anak didik dan kegiatankegiatannya, sehingga kita dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan secara efektif. Jadi tujuantujuan pendidikan yang dinyatakan berdasarkan analisis psikologis memberi tuntunan bagi pendidik dan
anak didik tentang apa yang hendak dicapai, kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan, dan tentang
kemajuan yang dicapai oleh anak didik.
Psikologi berasal dari perkataan Yunani ‘psyche’ yang artinya jiwa, dan ‘logos’ yang artinya ilmu
paengetahuan. Jadi secara etimologi (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari
tentang jiwa, baik maengenai macam-macam gejalanya’ prosesnya maupun latar belakangnya. Dengan
singkat disebut ilmu jiwa
KASUS 1
Sheyna, 13 tahun, memiliki orangtua yang overprotective dan sangat menuntut supaya Sheyna
mengikuti apa saja perintah yang diberikan kepadanya.
Sheyna merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara, dan hanya ia yang perempuan. Sheyna menganggap
dirinya sangat bergantung pada orangtua, ditambah lagi orangtua memperlakukan Sheyna seperti anak
kecil yang berusia di bawah usia dirinya.
Kedua kakak Sheyna sangat pembangkang bahkan kakak pertama Sheyna (18 tahun) pernah blakblakan mengaku kepada orangtua mereka bahwa ia telah melakukan aktivitas seksual dengan teman di
sekolah. Tentu saja, orangtua menjadi sangat marah, apalagi orangtua sangat strict terhadap isu-isu
seksual. Bahkan, orangtua selalu membahas kepada Sheyna dan kedua kakak bahwa virginity itu harus
dijaga hingga kelak menikah. Kondisi kakaknya ini berbanding terbalik dengan Sheyna yang sangat pasif
dan penurut, serta menjadi satu-satunya anak yang dianggap “baik” oleh orangtuanya sehingga Sheyna
dijuluki “Little Miss Perfect”.
Ada riwayat sakit mental di dalam keluarga Sheyna. Nenek kandung Sheyna dari pihak Ibu serta Bibi
Sheyna dari pihak Ayah sama-sama menderita depresi.
Sheyna mengalami insomnia sejak ia berusia 10 tahun. Setiap malam ia mengalami kesulitan untuk tidur
dan akhirnya mengganggu kegiatan belajar di sekolah. Nilai Sheyna sampai mengalami penurunan yang
cukup parah, sehingga orangtua memutuskan supaya Sheyna menjalani home-schooling saja supaya
Sheyna dapat mengatur waktu kapan untuk belajar. Perilaku insomnia ini dialami Sheyna pasca
pertengkaran hebat di dalam keluarga, di mana kakak pertama Sheyna ternyata sampai menghamili
temannya di sekolah. Pada saat itu, kondisi rumah sangat “panas”, Ayah dan Ibu selalu bertengkar setiap
ada kesempatan di pagi-siang-sore-malam. Keadaan semakin memanas karena kakak pertama Sheyna
sempat kabur dari rumah bersama teman yang ia hamili, sehingga memicu pertengkaran antara
keluarga Sheyna dengan keluarga yang anaknya dihamili oleh kakak Sheyna tersebut. Kondisi tersebut
berlangsung hingga kurang-lebih dua bulan dan sejak itu, Sheyna sulit sekali memejamkan mata
seberapa pun dirinya mengantuk karena bayangan pertengkaran dan suasana memanas itu selalu
menghantui Sheyna. Untuk pertama kalinya, di masa sebulan itu, Sheyna mengalami ledakan emosi yang
tinggi.
Sejak saat itu, Sheyna juga semakin sering menyendiri di dalam kamar untuk menghindari pertengkaran.
Bagi Sheyna, dia menjadi lebih rileks dengan berada di dalam kamar. Dia juga semakin bisa berpikir,
mencari tahu, dan menganalisa segala hal yang ia senangi. Sheyna tertarik dengan politik dan memiliki
pemikiran tersendiri tentang politik, misalnya ia percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi dari
seorang politikus Romawi di masa lalu.
Keluarga dan teman-teman Sheyna melihat Sheyna sebagai orang yang sangat rapi dan teroganisir.
Sheyna senang menuliskan apapun ide-ide yang ia miliki dan menuliskan di buku diary, komputer,
bahkan dinding kamarnya penuh dengan papernote yang ditempelkan secara berantakan dan berisi ideidenya tersebut. Kebanyakan ide yang Sheyna tuliskan berisi tentang hal-hal yang selama ini dianggap
tabu untuk dibicarakan di dalam keluarganya, seperti tentang dorongan seksual dan tingkat spiritualitas.
Aktivitas ini semakin menjadi-jadi saat ia merasakan gairah luar biasa untuk melakukan sesuatu.
Selama proses pertengkaran di dalam keluarganya, Sheyna sempat mengalami depresi dan depresi yang
ia miliki semakin menjadi-jadi karena hingga saat ini Sheyna masih menderita insomnia. Sheyna juga
menderita kesulitan untuk makan dan konsentrasi. Di puncak depresinya, Sheyna akhirnya beberapa kali
melakukan percobaan bunuh diri. Beruntung, Ibu selalu menemukan Sheyna tepat waktu sehingga
Sheyna masih bisa diselamatkan.
ANALISA KASUS
Sheyna menunjukkan simptom perilaku yang mengarah ke Bipolar I Disorder. Sheyna meyakini bahwa
dirinya merupakan reinkarnasi dari politisi Romawi di masa lalu, yang menunjukkan simptop psikotis ada
pada dirinya. Simptom psikotis sendiri hanya muncul pada Bipolar I Disorder. Sheyna juga menunjukkan
perilaku mania dengan cara menuliskan semua ide-ide yang ia miliki di buku diary, komputer,
bahkan papernote yang ditempel berantakan di dinding kamarnya. Ide-ide tersebut termasuk pula ideide yang sebenarnya selalu tabu untuk dibicarakan di dalam keluarga (tentang seksualitas dan
spiritualitas). Perilaku ini jelas berbeda dengan kebiasaan Sheyna yang selalu rapi dan terorganisir.
Kemunculan perilaku mania ini dibarengi pula dengan kemunculan perilaku depresi yang membuat
Sheyna sampai beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri.
Pada kasus Sheyna, ditemukan bahwa ada riwayat genetis di dalam keluarga dekatnya yang memiliki
gangguan depresi, yaitu Nenek kandung Sheyna dari pihak Ibu serta Bibi Sheyna dari pihak Ayah. Perlu
ada pemeriksaan mendalam tentang apakah kasus Sheyna terkait dengan riwayat genetis di dalam
keluarganya. Tetapi, kemungkinan itu tetap ada.
BD yang diderita Sheyna merupakan masalah yang perlu penanganan hingga seumur hidup karena tidak
dapat dengan mudah ditentukan bahwa gejala mania dan depresi yang diderita Sheyna tidak akan lagi
muncul di masa depan. Cara terbaik untuk memberikan treatment kepada Sheyna adalah dengan
memberikan pengobatan medis yang tepat serta menjalani psikoterapi. Misalnya, mengkombinasikan
pemberian obat antipsychotic (seperti: Seroquel) dan mood-stabilizer (seperti: Lithium), ditambah
psikoterapi (seperti: terapi regulasi emosi, anger management untuk membantu Sheyna dalam
mengatasi mania dan depresi yang muncul di dirinya).
KASUS 2
Robert telah menjadi tantangan sejak hari pertamanya di kelas Martha. Ia adalah seorang bocah laki-laki
yang bertubuh gemuk-pendek, yang sebelumnya bersekolah di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak
dengan masalah perilaku berat. Selama dua tahun sebelumnya ia berulang kali pindah kelas karena
memperlihatkan perilaku yang “tidak pantas dan agresif”.
Martha bertekad membantu anak itu. Setiap hari ia menunggu di depan pintu kelas untuk menyapa
Robert dan selalu mengucapkan selamat jalan kepadanya sebelum ia meninggalkan kelas. Martha
sengaja meluangkan waktu setiap hari untuk bicara apa saja dengannya, mulai tentang acara TV sampai
tentang ibunya. Martha bersikeras untuk memaksanya mengikuti berbagai kegiatan di kelas—terutama
dalam kelompok belajar kooperatif bersama anak-anak lain.
Karena perhatian yang diberikan Martha padanya, Robert perlahan-lahan mulai menyadari bahwa
Martha memiliki komitmen terhadap dirinya. Pada November, Robert sudah diterima oleh temantemannya, meskipun masih secara marjinal, dan menjadi anggota kelas yang cukup produktif. Ia
memang masih bengal dan kadang-kadang membuat kegaduhan kecil di kelas, tetapi ia telah
menunjukkan resppns yang jauh lebih positif kepada Martha dan siswa-siswa lain. Tidak satu kali pun
Robert terpaksa disuruh menemui kepala sekolah atau dilarang meninggalkan kelas, dan hal itu benarbenar menjadi perubahan besar baginya. Martha mampu membantu Robert untuk berubah menjadi
anak yang kompeten, akademik maupun sosial, terlepas dari stigma yang terlanjur dilekatkan kepadanya
sebagai anak yang mengalami gangguan perilaku.
Pengaruh signifikan Martha atas diri Robert adalah tekadnya untuk membarikan kesempatan kepada
Robert untuk meraih kesuksesan di sekolah dan memperoleh kompetensi sosial. Sama sekali tidak ada
trik sulap atau reparasi teknis yang terlibat di sini—hanya mengingatkan dari hari-ke hari, dari jam ke
jam, dan bahkan dari meit ke menit kepada Robert untuk menyelesaikan pekerjaannya dan
menghormati orang lain. Ia sama sekali tidak mau meyerah. Martha menjelaskan, “Saya punya
kecenderungan untuk tidak mau menyerah kepada siapa pun. Hal ini tanggung jawab saya.”
Martha mendorong dan mendukung pertumbuhan sosial dan akademik Robert tanpa memedulikan
sistem. Robert sekarang sudah terbiasa berpartisipasi di berbagai diskusi dan kegiatan kelas, ia tampak
senang datang ke sekolah, (dan pada kenyataannya ia sama sekali tidak pernah absen!), dan tampak
telah memiliki beberapa teman akrab di kelas, yang semuanya bersedia datang ketika diundang ke pesta
ulang tahunnya. Caring relationship di antara Martha dan Robert membentuk sebuah konteks baru bagi
Robert sebagai siswa. Dalam konteks itu, ia mampu memperbaiki perilaku maupun prestasi
akademiknya.
ANALISIS KASUS
Dalam kasus di atas, Bu Martha menggunakan pendekatan humanistik dalam mengadapi perilaku
bermasalah Robert.
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap
berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya
harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori
belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia
yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Peran guru
dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Salah satu caranya ialah dengan
menciptakan kondisi di mana siswa dapat belajar secara efektif, misalnya dengan menunjukkan kepada
siswa bahwa guru peduali dan mengahargai mereka sebagai manusia, serta memberikan kesempatan
untuk berpedapat tentang apa yang terjadi si kelas.
Dalam kasus Robert, Bu Martha membangun hubungan yang lebih positif dengan siswanya itu dengan
cara bersikap hangat kepadanya, menyapanya setiap hari sebelum jam pelajaran dimulai, mengucapkan
selamat jalan kepadanya sebelum ia pulang, mengobrol dengannya, dan mengajaknya untuk aktif dan
berpartisipasi dalam kegiatan kelas.
Adapun siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman
belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara
positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang
dikembangkan Carl Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para
guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik
positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1.
Merespon perasaan siswa
2.
Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3.
Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4.
Menghargai siswa
5.
Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari
siswa)
7.
Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka
konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan
matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan
mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan
tingkat berpikir yang lebih tinggi.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran
yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena
sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam
belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan
menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya
sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma ,
disiplin atau etika yang berlaku.
KASUS 3
Kesulitan Penyesuaian Diri Mahasiswi “S” dalam kehidupan kampus
S, berusia 22 tahun, mahasiswi tingkat 1, mengalami ancaman DO. Dari hasil evaluasi 7 minggu pertama
`ternyata nilai dari semua mata kuliah yang di ambilnya tidak memenuhi persyaratan lulus ke tingkat 2.
PA memebritahu hal ini dengan tujuan dia bias mengejar nilainya, dengan belajar yang lebih alkif agar
tidak terancam DO.
Dari hasil evaluasi 4 mata kuliahnya, “S” memperoleh 2 nilai C dan 2 nilai D. Dia sangat menyadari
bahwa dia akan sulit untuk mendapat nilai yang baik untuk ke dua mata kuliahnya tersebut.
Kenyataannya ini membuat “S” merasa sangat stress, hingga kadang dia merasa ingin bunuh diri, karena
merasa takut gagal.
Dalam pergaulan dengan teman2nya “S” selalu merasa minder. Ketika kuliah di kelas besar, dia selalu
memilih duduk di barisan yang paling belakang dan dia jarang bergaul dengan teman2 seangkatannya.
Dia selalu merasa dirinya kuno, karena menurutnya “S” selalu berpakaian yang tidak fashionable.
Akibatnya “S” selalu menyendiri dan lebih senang berada di perpustakaan daripada bergaul dengan
teman2nya.
S lebih nyaman ketika m,asih duduk di bangku SMA, dimana kelasnya lebih kecil dan hubungan di antara
siswa di rasakannya lebih akrab.
S, merupakan anak ke 2 dari dua bersaudara (keduanya wanita). Kakaknya berusia 2 tahun lebih tua
darinya, dan mempunyai prestasi akademis yang cukup “cemerlang” di fakultas yang sama. Walaupun
orangtua tidak pernah membandingkan kemampuan ke dua anaknya, tetapi “S” merasa bahwa
kakaknya mempunyai kelebihan di segala bidang, di bandingkan dengan dirinya.
ANALISA KASUS
Menurut aliran humanistik-eksistensial kasus “S” bukan hanya sekedar masalah yang bersifat individual,
tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat atau lingkungan sosialnya. Jika
“S” melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang dirinya sendiri dengan yang
diinginkannya maka akan muncul perasaan inadekuat dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini,
dan hal ini menghasilkan kecemasan atau anxiety.
Jadi, menurut pandangan humanist-eksistensialis kasus “s” terletak pada konsep diri; yang terjadi
sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya (real self) dengan diri yang
diinginkan (ideal self). Hal ini muncul sehubungan dengan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk
mengaktualisasikan dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya, dalam
menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari dikehidupan selanjutnya, ia akan
mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif.
Menurut teori humanistik-eksistensial yang melihat kasus “s” sebagai hasil konflik diri yang terkait
dengan keadaan sosial dimana pengembangan diri menjadi terhambat, maka teori ini lebih
menyarankan untuk membangun kembali diri yang rusak (damaged self). Tehniknya sering disebut
sebagai client centered therapy yang berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang
positif yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang kondusif untuk mengeksplorasi
dirinya semaksimal mungkin.
Setiap permasalahan yang dialami oleh setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah yang paling
mengerti tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, “s” sendirilah yang paling berperan
dalam menyelesaikan permasalahan yang mengganggu dirinya. Karena menurut pandangan teori ini
sebagai hasil dari belajar (belajar menjadi cemas) maka untuk menanganinya perlu ditakukan
pembelajaran ulang agar terbentuk pola perilaku baru. Tehnik yang digunakan adalah systematic
desentisitization, yaitu mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep hirarkhi ketakutan,
menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhana sampai ke hal
yang lebih kompleks. Pemberian reinforcement (penguat) juga dapat digunakan dengan secara tepat
memberikan variasi yang tepat antara pemberian reward – jika ia memperlihatkan perilaku yang
mengarah keperubahan ataupun punishment – jika tidak ada perubahan perilaku atau justru
menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana perubahan perilaku.
Bidang : Psikologi Perkembangan, Psikologi Pendidikan
Contoh Kasus :
Pada zaman seperti saat ini, kata "pacaran" sudah tidak asing lagi kita dengar di mana saja dan
kapan saja. Bahkan pacaran sudah menjadi budaya diseluruh dunia termasuk di indonesia. Baik
hubungan antara dua orang lawan jenis yang berbeda ataupun yang sesama jenis. Budaya pacaran saat
ini pun juga sudah tidak lagi mengenal usia. Salah satu contohnya dapat sangat terlihat pada seorang
anak usia 4 tahun, sebut saja nama nya si "X". Di umurnya yang masih sangat kecil itu dia sudah bisa
berbicara tentang pacaran. Dia juga sesekali bercerita kalau dia mempunyai pacar bernama si "N". Dan
bahkan si X tidak segan-segan ingin mencium pacarnya itu saat sedang main ke rumahnya selayaknya
orang dewasa. Setiap kali dia sedang bercanda atau marahpun bukan hanya sesekali saja si X terdengar
mengucapkan kata-kata kotor yang tidak sepantasnya di ucapkan oleh anak yang berumur 4 tahun.
Contoh lain yang pastinya telah kita banyak ketahui bahwa ada seorang anak laki-laki yang usia nya
kurang lebih 5 tahun sudah mengenal rokok bahkan dia juga sudah merokok dan tidak ada satupun
orang yang bisa menghentikannya sekalipun itu orang tua nya. Saat di konfirmasi ke orang tua nya,
mereka hanya dapat berkata kalau si anak akan menangis terus menerus jika tidak di beri rokok.
Mirisnya lagi orang tuanya sendiri yang memberikan rokok pada anaknya dengan alasan agar anaknya
berhenti menangis dan mengamuk jika tidak di berikan rokok. Dalam sehari anak tersebut dapat
menghabiskan kurang lebih 1 bungkus rokok dan terkadang lebih.
Analisanya :
Pasti sudah sering kali kita jumpai anak di bawah umur baik dari jenjang pendidikan SMA, SMP, SD
bahkan yang berada di bawah nya lagi sudah mengenal pacaran. Dan kalau kita berbicara tentang
pacaran sudah berarti erat hubungannya dengan perilaku menyimpang. Beberapa dari mereka bahkan
sudah mengenal apa itu pelukan, ciuman, dan lain-lain. Semua itu dapat mereka peroleh dari lingkungan
serta tontonan yang mereka konsumsi sehari-hari. Mirisnya lagi sebagian orang tua mereka tidak
menyadari, memperhatikan bahkan ada yang tidak peduli dengan semua itu. Sebagian besar dari orang
tua tidak mementingkan sisi moral dan pengetahuan yang di serap dari anaknya melalui lingkungan
sekitar, maupun tayangan televisi, yang ada di pikiran si ibu hanya yang penting anaknya tidak rewel,
tidak mengganggu aktivitasnya, dan senang. Padahal sudah sering kali kita jumpai tayangan televisi yang
tidak sedikit membumbui jalan ceritanya dengan masalah-masalah percintaan, selain itu lingkungan
yang kurang baik seperti lingkungan yang di kelilingi oleh orang-orang yg merokok dapat menimbulkan
perilaku merokok sehingga tanpa di sadari tumbuh kembang anak mengalami penyimpangan seperti
contoh pada 2 anak di atas. Televisi juga seharusnya di jadikan media pembelajaran serta informasi yang
baik untuk tumbuh kembang anak. Belum lagi pada zaman sekarang handphone sudah dapat di miliki
oleh setiap orang termasuk anak-anak. Sehingga mereka dapat dengan leluasa mengakses apa saja yang
mereka inginkan. Dampaknya sekarang banyak dari anak di bawah umur yang bahkan sudah terjerat
kasus kriminal seperti pelecehan seksual, agresifitas dan lain-lain
Masa anak-anak seharusnya merupakan masa keemasan atau sering disebut masa Golden Age,
biasanya ditandai oleh perubahan cepat dalam perkembangan fisik, kognitif, sosial dan emosional. Agar
masa ini dapat dilalui dengan baik oleh setiap anak maka perlu diupayakan pendidikan yang tepat bagi
anak sejak usia dini. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa pada masa ini seluruh aspek
perkembangan kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual
mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan adalah
bahwa anak membangun pengetahuannya sendiri, anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang
dewasa dan anak-anaknya, anak belajar melalui bermain, minat anak dan rasa keingintahunya. Selama
pertumbuhannya seharusnya anak di bimbing dan di arahkan secara baik oleh orang tua.
Penyelesaiannya :
1. Anak perlu mendapatkan pola asuh yang tepat dari orang tua
2. Anak perlu di beri perhatian, bimbingan serta pengertian secara lebih tentang apa yang dia lihat dan
dia dengar
3. Anak perlu di berikan pendidikan yang baik dari sejak usia dini sehingga anak dapat membedakan atau
memilih mana yang baik dan buruk untuk dirinya
4. Perlu adanya perhatian orang tua mengenai lingkungan di mana anak akan tumbuh
5. Perlu adanya pengawasan dari orang tua untuk akses ke media sosial ataupun acara televisi yang ia
tonton
Download