LAPORAN PENDAHULUAN CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V A. TINJAUAN KASUS 1. Pengertian Chronic Kidney Disease merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2014). Chronic Kidney Disease adalah suatu proses fisiologis dengan etiologi beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerulus kurang dari 50ml/menit (Sudoyo, 2006). Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Chronic Kidney Disease merupakan suatu sindrom klinis ginjal yang bersifat menahun, progresif dan irreversible yang disebabkan oleh penurunan filtrasi glomerulus kurang dari 50ml/menit yang akan mengakibatkan terjadinya uremia. 2. Etiologi Menurut Muttaqin (2011) banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronis. Akan tetapi, apapun penyebabnya, respon yang terjadi adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis tersebut antara lain : a. Penyakit dari ginjal 1) Penyakit pada glomerulus : glomerulonefritis. 2) Infeksi kuman : pyelonefritis, ureteritis. 3) Nefrolitiasis. 4) Kista di ginjal : polcystic kidney. 5) Trauma langsung pada ginjal. 6) Keganasan pada ginjal. 7) Obstruksi : batu, tumor, penyempitan atau striktur. b. Penyakit di luar ginjal 1) Penyakit sistemik : diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi. 2) Dyslipidemia. 3) Infeksi di badan : TBC paru, sipilis, malaria, hepatitis. 4) Pre eklamsia. 5) Obat – obatan. 6) Kehilangan cairan yang mendadak (luka bakar). Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI, 2000, dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006) mencatat penyebab Chronic Kidney Disease yang menjalani hemodialisa di Indonesia, yaitu : Tabel 1.1 Etiologi Chronic Kidney Disease di Indonesia Penyebab Glomerulonefritis Diabetes Melitus Obstruksi dan infeksi Hipertensi Sebab lain Insiden 46,39% 18,65% 12,85% 8,46% 13,65% (Sumber : Sudoyo, 2006) 3. Klasifikasi Klasifikasi stadium pada pasien Chronic Kidney Disease ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi yang lebih rendah. Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI) (2002) mengklasifikasikan Chronic Kidney Disease dalam lima stadium , antara lain : Tabel 1.2 Klasifikasi Penyakit Chronic Kidney Disease Stadium Fungsi ginjal Laju filtrasi glomerulus (LFG) (ml/menit/1.73 m2) Risiko Meningkat Stadium 1 Normal >90 (ada faktor resiko) Normal / Meningkat Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Penurunan ringan Penurunan ringan Penurunan berat Gagal ginjal >90 (ada kerusakan ginjal, proteinuria) 60 - 89 30 - 59 15 – 29 <15 (Sumber : KDOQI, 2002) 4. Patofisiologi Awal perjalanan penyakit Chronic Kidney Disease tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal yang mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors, hal ini mengakibatkan terjadinya hiperventilasi dan diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat dan akhirnya timbul proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa, yang pada akhirnya proses ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis– renin–angiotensin–aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin–angiotensis–aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor ß (TGF-ß). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60% pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30% mulai terjadi keluhan pada psien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30% pasien menunjukkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan pada stadium gagal ginjal terminal atau End Stage Renal Disease (Sudoyo, 2006). 5. Manifestasi Klinis Sudoyo (2006) berpendapat bahwa stadium paling dini pada gagal ginjal kronis adalah terjadi kehilangan daya cadang ginjal dan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih normal atau meningkat, mengakibatkan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin, manifestasinya antara lain : a. Gangguan kardiovaskuler Hipertensi, nyeri dada, sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardiak, gagal jantung akibat penurunan cairan, gangguan irama jantung dan edema. b. Gangguan integumen Kulit pucat akibat anemia dan gatal-gatal akibat toksik. c. Gangguan pulmoner Suara krekels, batuk dengan sputum kental dan liat, napas dangkal, napas kussmaul. d. Gangguan gastrointestinal Napas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan mulut, anoreksia, mual, muntah, perdarahan saluran gastrointestinal. e. Gangguan muskuloskeletal Kram otot, rasa kesemutan dan terbakar, tremor, kelemahan dan hipertropi pada otot-otot ekstrimitas. f. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa Biasanya retensi garam dan air yang dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia. g. Gangguan endrokrin Gangguan seksual : libido fertilitas dak ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore, gangguan metabolic glukosa lemak dan vitamin h. Sistem hematologi Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang. 6. Komplikasi a. Hiperkalemia Akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diet berlebihan. b. Perikarditis, efusi perikardial dan tamponade jantung Akibat retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat. c. Hipertensi Retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin-angiotensinaldosteron. d. Anemia Penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama hemodialisa. e. Penyakit tulang Retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar aluminium. 7. Pemeriksaan Penunjang a. Urin 1) Volume : biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria) 2) Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen kotor, kecoklatan menunjukkkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin. 3) Berat jenis : kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat 4) Osmoalitas : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakn ginjal tubular dan rasio urin/serum sering 1:1 5) Klirens kreatinin : mungkin agak menurun 6) Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium 7) Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada b. Darah 1) BUN/ kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir 2) Ht : menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl 3) SDM : menurun, defisiensi eritropoitin 4) GDA : asidosis metabolik, ph kurang dari 7,2 5) Natrium serum : rendah 6) Kalium : meningkat 7) Magnesium : meningkat 8) Kalsium : menurun 9) Protein (albumin) : menurun c. Osmolalitas serum : lebih dari 285 mOsm/kg d. Pelogram retrograde : abnormalitas pelvis ginjal dan ureter e. Ultrasono ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas f. Endoskopi ginjal, nefroskopi : untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif g. Arteriogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, masa. h. EKG : ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa 8. Penatalaksanaan Penatalaksanaan CKD Stage V dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu : tindakan konservatif dan dialisis atau transplantasi ginjal (Suharyanto, 2006) : a. Tindakan konservatif Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal (Suharyanto, 2006). 1) Pengaturan diet protein, kalium, narium a) Pembatasan protein Pembatasan asupan protein telah terbukti memperlambat terjadinya gagal ginjal. Apabila pasien mendapatkan terapi dialisis teratur, jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan 60 – 80 gr/hari (Smeltzer & Bare, 2002). b) Diet rendah kalium Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Diet yang dianjurkan adalah 40 – 80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat – obatan yang tinggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia (Black & Hawks, 2005). c) Diet rendah natrium Diet natrium yang dianjurkan adalah 40 – 90 mEq/hari (1-2 gr Na). Asupan natrium yang terlalu banyak dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif (Lewis, 2007). d) Pengaturan cairan Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Intake cairan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan dan edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal. 2) Pencegahan dan pengobatan komplikasi misalnya hipertensi, hiperkalemia, anemia, asidosis, diet rendah fosfat, pengobatan hiperuresemia. a) Hipertensi Manajemen hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik menurut Suharyanto (2006) dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan, dapat juga diberikan obat antihipertensi seperti metildopa (aldomet, propanolol, klonidin (catapres). Apabila penderita sedang menjalani terapi hemodialisa, pemberian antihipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang diakibatkan oleh keluarnya cairan intravaskuler melalui ultrafiltrasi. b) Hiperkalemia Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius, karena apabila K+ serum mencapai sekitar 7 mEq/L dapat mengakibatkan aritmia dan juga henti jantung. Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena, yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian Kalsium Glukonat 10% (Sudoyo, 2009). c) Anemia Anemia pada gagal ginjal kronik diakibatkan penurunan sekresi eritropoeitin oleh ginjal. Pengobatannya adalah pemberian hormone eritropoeitin, yaitu rekombinan eritropoeitin (r-EPO) selain dengan pemberian vitamin dan asam folat, besi dan transfusi darah (Sudoyo, 2009). d) Asidosis Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3 plasma turun dibawah angka 15 mEq/L. Bila asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian Na HCO3 (Natrium Bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah yang berlebihan dapat mempercepat timbulnya tetani, maka harus dimonitor dengan seksama (Sudoyo, 2009). e) Diet rendah fosfat Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat di dalam usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus dimakan bersama dengan makanan (Sudoyo, 2009). b. Dialisis dan transplantasi Pengobatan penyakit gagal ginjal kronik stadium akhir adalah dengan dialisis dan transplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan pasien dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal. Dialisis dilakukan apabila kadar kreatinin serum biasanya diatas 6ml/100ml pada laki – laki, sedangkan pada wanita 4 ml/100ml dan LFG kurang dari 4 ml/menit (Black & Hawks, 2005). B. TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V 1. Pengkajian a. Data Subjektif 1) Pasien mengatakan kakinya bengkak 2) Pasien mengatakan perutna penuh 3) Pasien mengatakan sesak nafas 4) Pasien mengatakan kencingnya sedikit tapi sering 5) Pasien mengatakan mual dan muntah 6) Pasien mengatakan lemah dan lesu 7) Pasien mengatakan capek saat beraktifitas 8) Pasien mengatakan aktifitasnya dibantu oleh keluarga 9) Pasien mengatakan kulitnya dingin 10) Pasien mengatakan kulitnya gatal-gatal dan kering 11) Pasien mengatakan nafsu makan berkurang dan hanya bisa menghabiskan ¼ porsi b. Data Objektif 1) Adanya edema 2) Adanya acites 3) Oliguria 4) Kreatinin dan BUN meningkat 5) Pasien menggunakan otot bantu nafas 6) Tachipnea (> 24x/menit) 7) Tachikardia (> 100x/menit) 8) Pasien tidak menghabiskan ¼ porsi dari porsi yang diberikan 9) BB menurun, lingkar pinggang dan lengan, IMT tidak ideal 10) Pasien terlihat kurus 11) Pasien tidak mampu melakukan aktifitasnya sendiri 12) Sianosis, wajah pucat 13) Pasien tampak lemas 14) Konjungtiva pucat, CRT > 3 detik 15) Kulit pasien bersisik 16) Turgor kulit menurun 17) Kadar ureum meningkat 18) Efek uremic pada otot jantung 19) Asidosis 2. Diagnosa Keperawatan a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan O2 b. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan transportasi oksigen dan nutrisi ke jaringan menurun c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi Na dan H2O d. Perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia e. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan ureum g. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan toksik uremic 3. Perencanaan a. Prioritas Masalah 1) Pola nafas tidak efektif 2) Perubahan perfusi jaringan perifer 3) Kelebihan volume cairan 4) Perubahan pemenuhan nutrisi kurang kebutuhan 5) Intoleransi aktifitas 6) Kerusakan integritas kulit 7) Resiko tinggi penurunan curah jantung b. Rencana Keperawatan 1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penuruanan O2 Tujuan : pola nafas kembali efektif/normal Kriteria hasil : tidak menggunakan otot – otot pernafasan dari frekuensi nafas normal (16-24x/menit) Intervensi 1. Evaluasi frekuensi nafas Rasional 1. Kecepatan frekuensi meningkat karena nafas nyeri dan kekurangan O2 2. Observasi tanda-tanda vital 2. Mengetahui KU pasien 3. Kaji penggunaan otot bantu 3. Mekanisme kompensasi tubuh untuk mengatasi kurangnya suplai O2 4. Beri posisi semi fowler 4. Mengurangi tekanan tulang rusuk terhadap paru-paru akibat gaya gravitasi 5. Berikan O2 tambahan sesuai 5. Meningkatkan sediaan O2 untuk kebutuhan k miokard memperbaiki e untuk kontraktivitas, penurunan b iskemia u t u h a n 2) Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan transportasi O2 dan nutrisi ke jaringan menurun Tujuan : perubahan perfusi jaringan perifer teratasi Kriteria Hasil : Tidak ada sianosis Kulit pasien teraba hangat dan tidak kesemutan lagi CRT < 3 detik 3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi Na dan H2O Tujuan : volume cairan kembali normal Ktiteria Hasil : CM=CK Berat badan stabil, TTV dalam batas normal (S=36-370 C, N=60-100 x/menit, TD=110/70-120/80 mmHg. RR= 16-20 x/ menit) Tidak ada oedema Intervensi Rasional Intervensi Rasional 1. Observasi warna dan suhu kulit / 1. membrane mukosa Kulit pucat atau sianosis, kuku, mrmbran bibir, lidah. Kulit pucat menunjukkan vasokonstriksi perifer 2. Tingkatkan tirah baring selama 2. fase akut Pembatasan aktivitas menurunkan kebutuhan O2 3. Tinggikan kaki bila ditempat 3. tidur atau duduk, sesuai indikasi Menurunkan pembengkakan jaringan dan vena superficial dan tibial dan peningkatan aliran balik vena 4. Berikan antikuagulan contoh heparin 4. Heparin dapat digunakan secara profilaksis bila memerlukan tirah baring lama 1. Awasi denyut jantung, TD, CVP 1. Hepertensi & takikardi dapat terjadi karena kegagalan jantung mengeluarkan urine dan perubahan fase oliguri pada gagal ginjal. 2. Ukur CM, CK, timbang BB 2. Membantu mengevaluasi status cairan khususnya bila dibandingkan BB 3. Evaluasi derajat oedema (+1 - 3. BB pasien dapat meningkat sampai +4 ) 4. 4,5 kg cairan sebelum piting Kaji tingkat kesadaran dan perubahan mental, 4. Dapat adanya menunjukkan perpindahan cairan, akumulasi toksin, ketidak gelisah seimbangan elektrolit 5. Diberikan dini pada fase oliguria 5. Memberikan indikasi obat diuretic: sesuai pada GGA pada upaya mengubah ke furosemid, fase manitol monoliguria, penurunan hiperkalemia 4) Perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, vomiting dan nausea Tujuan : nutrisi terpenuhi Kriteria Hasil : Mempertahankan / meningkatkan berat badan Berkurangnya oedema Intervensi 1. 2. Rasional Pantau persentasi jaringan makanan 1. Mengidentifikasi kemajuan yang dikonsumsi setiap kali makan dan atau timbang BB, ukur LLA dan IMT sasaran yang diharapkan Berikan makanan dengan porsi 2. sedikit tapi sering penyimpangan Meminimalkan dari anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremic 3. Timbang BB tiap hari 3. Perubahan kelebihan 0,5 kg dapat menunjukkan perpindahan keseimbangan cairan 4. Kolaborasi dengan tim gizi dalam 4. pemberian asupan nutrisi 5. Berikan antiemetik obat sesuai Memberi asupan nutrisi yang tepat bagi pasien indikasi: 5. Diberikan untuk menghilangkan mual/muntah dan dapat meningkatkan pemasukan obat 5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 ke system muskuluskeletal Tujuan : pasien dapat beraktivitas sesuai dengan batas kemampuan Kriteria hasil: Pasien tidak lemas dan lesu Pasien mampu melakukan aktivitas 6) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan ureum Tujuan : pasien ridak menunjukkan kerusakan integritas kulit Kriteria hasil: Mempertahankan kulit utuh Menunjukkan perilaku/ teknik untuk mencegah kerusakan atau cedera Intervensi Rasional Intervensi 1. Rasional Observasi pasien sebelum dan sesudah 1. beraktivitas Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yang diharapkan 2. Berikan periode istirahat adekuat, bantu 2. Mengidentifikasikan dalam pemenuhan aktivitas perawatan penurunan O2 miokard yang diri sesuai indikasi memerlukan penurunan tingkat aktivitas atau kembali tirah baring, perubahan program obat, penggunaan O2 tambahan 3. Tingkatkan teratur aktivitas pasien secara 3. Kemajuan aktivitas memberikan control jantung, meningkatkan tegangan dan mencegah aktivitas berlebihan 1. Inspeksi kulit terhadap 1. Menandakan area sirkulasi buruk / perubahan warna, turgor kulit, kerusakan yang dapat menimbulkan vascular pembentukan dekubitus / infeksi 2. Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang 2. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan mempengaruhi sirkulasi dan membrane integritas jaringan pada tingkat mukosa seluler 3. Jaringan oedema lebih cenderung 3. Inspeksi area tergantung terhadap oedema rusak / robek 4. Menurunkan tekanan pada oedema 4. Ubah posisi dengan sering 5. Berikan perawatan kulit 5. Lotion dan salep mungkin diinginkan untuk menghilangkan kering, robekan kulit 7) Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan toksik uremic dan asidosis metabolic Tujuan : tidak terjadi penurunan curah jantung Kriteria Hasil : Mempertahankan curah jantung dengan bukti TD dan frekuensi jantung dalam batas normal Nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler Intervensi 1. Awasi TD dan Rasional frekuensi 1. jantung Kelebihan volume cairan disertai dengan hipertensi efek uremia, meningkatkan kerja jantung dan dapat menimbulkan gagal jantung 2. 2. Kaji warna kulit, membrane mukosa Perhatikan dan dasar waktu Pucat dapat menunjukkan vasokontriksi. Sianosis mungkin kuku. betrhubungan dengan kongesti paru pengisian atau gagal ginjal kapiler 3. 3. Pertahankan tirah baring atau dorong istirahat adekuat dan Menurunkan konsumsi oksigen atau kerja jantung berikan bantuan dengan perawatan dan aktivitas yang diinginkan 4. Berikan 4. tambahan oksigen sesuai indikasi Memaksimalkan sediaan O2 untuk kebutuhan miokardial untuk menurunkan kerja jantung dan hipoksia seluler 4. Pelaksanaan / Implementasi Pelaksanaan adalah tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencana asuhan keperawatan yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tindakan yang telah dibuat dimana tindakan yang dilakukan mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi (Tarwoto Wartonah. 2003) 5. Evaluasi Evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang dialami. Adapun evaluasi keperawatan yang diharapkan sesuai dengan tujuan adalah sebagai berikut: a. Pola nafas kembali efektif b. Tidak ada gangguan perfusi jaringan perifer c. Volume cairan kembali normal d. Kebutuhan nutrisi terpenuhi e. Pasien mampu beraktifitas kembali f. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit g. Tidak terjadi penurunan curah jantung