BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker Serviks
2.1.1
Definisi Kanker Serviks
Serviks/leher rahim adalah organ yang menghubungkan rahim dan vagina.
Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita dan menjadi
penyebab lebih dari 250.000 kematian pada tahun 2005. Kurang lebih 80%
kematian tersebut terjadi di negara berkembang. Penularan penyakit kanker ini
dapat melalui hubungan seksual, ditemukan lebih tinggi pada perempuan yang
mulai berhubungan seksual sebelum usia 16 tahun (Bustan, 2007). Kanker serviks
merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita di negara berkembang.
Setiap tahun diperkirakan terdapat 500.000 kasus kanker serviks baru diseluruh
dunia, dan 77% diantaranya berada dinegara berkembang
.
2.1.2
Tanda dan Gejala Kanker Serviks
Pada tahap prakanker sering tidak menimbulkan gejala. Bila ada gejala
biasanya berupa keputihan yang tidak khas, atau ada perdarahan setitik yang bisa
hilang sendiri. Pada tahap selanjutnya (kanker) dapat timbul gejala berupa
keputihan atau keluar cairan encer dari vagina yang biasanya berbau, perdarahan
diluar siklus haid, perdarahan sesudah melakukan senggama, timbul kembali
haid setelah mati haid (menopause) nyeri daerah panggul, gangguan buang air
kecil (Depkes RI, 2007).
7
8
2.1.3
Penyebab Kanker Serviks
Penyebab kanker serviks adalah HPV. Virus ini ditemukan pada 95 %
kasus kanker serviks. (Depkes RI, 2007). Setiap wanita berisiko terkena infeksi
HPV onkogenik yang dapat menyebabkan kanker serviks. HPV dapat dengan
mudah ditularkan melalui aktifitas seksual dan beberapa sumber transmisi tidak
tergantung dari adanya penetrasi, tetapi juga melalui sentuhan kulit di wilayah
genital tersebut (skin to skin genital contact). Dengan demikian setiap wanita yang
aktif secara seksual memiliki risiko untuk terkena kanker serviks (Emilia et al,
2010).
2.1.4
Deteksi Dini Kanker Seviks
Adapun berbagai deteksi dini kanker serviks adalah sebagai berikut
(Andrijono, 2010):
a. Pap smear
Metode skrining pap smear merupakan metode skrining yang sudah dikenal
luas. Sensitivitas pap smear mencapai 67,3% dengan spesifitas 76,9%. Jumlah sel
pada thinprep dianggap cukup (memuaskan) bila terdapat 5.000 sel pada sediaan,
sedangkan pada preparat pap smear konvensional dianggap baik bila terdapat
sejumlah 8.000-12.000 sel. Perbedaan ini karena kualitas pap smear konvensional
lebih rendah dibandingkan thinprep, serta adanya kesulitan pemilihan random
pada preparat pap smear konvensional. Pap smear dianggap tidak adekuat (tidak
memuaskan) bila preparat tidak disertai label, preparat yang pecah sehingga sulit
diproses ataupun dibaca.
Adapun keuntungan pap smear adalah kemampuan pap smear mendeteksi
kelainan sel displastik, sementara kekurangan pap smear adalah kemampuan
mendeteksi HPV tetapi tidak mampu mendifferensiasikan infeksi HPV tersebut
9
sebagai infeksi HPV risiko rendah ataupun risiko tinggi. Ditemukan adanya
keterbatasan pap smear sebagai metode skrining, baik keterbatasan sensitivitas
maupun spesifitas. Dilaporkan bahwa negatif palsu pemeriksaan pap smear
berkisar 15-45%, sehingga harus dilakukan upaya untuk menurunkan negatif
palsu tersebut. Selain itu, pap smear dianggap tidak adekuat bila selulariti dari
preparat yang terganggu karena adanya darah, reaksi, atau faktor inflamasi,
maupun faktor lainnya. Kejadian preparat yang tidak memuaskan dilaporkan
berkisar 0,5-1,5%. Pap smear yang tidak memuaskan sebaiknya dilakukan pap
smear ulang pada 2-4 bulan, sedangkan pap smear yang tidak adekuat pada
kehamilan diulang setelah persalinan.
b.Thinprep
Metode skrining thinprep atau Liquid Base Cytology (LBC) adalah metode pap
smear yang dimodifikasi yaitu pengumpulan sel usapan serviks di dalam cairan,
tujuanya adalah menghilangkan kotoran, darah, dan lender, serta memperbanyak
sel serviks yang dikumpulkan sehingga sensitivitas akan meningkat.
Keuntungan dari teknik ini antara lain: (1) penyebaran sel yang merata pada
sediaan dengan meminimalisasi sel yang tumpang tindih pada sediaan, (2)
terhindar dari darah, (3) terhindar dari lendir, maupun (4) terhindar dari sel
radang. Sehingga thinprep lebih sensitif dibandingkan pap smear pada umumnya.
Sensitivitas thinprep mencapai 73,6% (pap smear 67,3% debgan spesifitas yang
hampir sama 76,2% (pap smear 76,9%). Evaluasi sel endoserviks lebih baik pada
thinprep dibandingkan dengan pap smear konvensional. Keuntungan lain adalah
mampu meningkatkan ketajaman diagnosis terhadap
10
kelainan sel, penemuan Low Grade SIL (LSIL) 2,95% lebih tinggi dibandingkan
dengan pap smear konvensional (1,21%).
c. Hybrid Capture (HC)
Pemeriksaan HC untuk mendeteksi LSIL, ASCUS, dan High Grade SIL
(HSIL) lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan pap smear, tetapi
mempunyai spesifitas lebih rendah. Sensitivitas HC pada NIS I sebesar 51,5%,
pada HSIL berkisar 89,3% (85,2-96,5%), dan pada kanker sebesar 100% dengan
spesifitas 87,8% (81-95%). Secara umum, sensitivitas HC dibandingkan dengan
pemeriksaan pap smear lebih tinggi 23% (untuk NIS I sebesar 11% dan untuk NIS
II-III sebesar 8%), selain itu spesifitas HC lebih rendah 6% dibandingkan pap
smear. Sedangkan sensitivitas gabungan HC dan pap smear akan meningkatkan
sensitivitas samai 39%, tetapi spesifitas tetap lebih rendah 7%.
Namun, pemeriksaan HC hanya mampu mendeteksi infeksi HPV risiko tinggi,
tetapi tidak mau mendeteksi kelainan sel prekanker, sehingga spesifitas HC lebih
rendah jika dibandingkan pap smear.
d. Gabungan Pap Smear dan Tes DNA HPV Tipe Onkogenik
Sensitivitas tes HPV (88-98%) lebih tinggi jika dibandingkan pemeriksaan pap
smear (51-86%), tetapi spesifitas tes HPV (83-94%) lebih rendah dibandingkan
pap smear (92-00%). Maka gabungan pap smear dan tes HPV akan mempunyai
sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Pemeriksaan HC-2 mempunyai sensitivitas
yang tinggi (>90%) untuk mendeteksi HSIL. Dengan alasan tersebut, maka
deteksi infeksi HPV risiko tinggi dengan HC-2 direkomendasikan sebagai
skrining yang baik.
e. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
11
Menurut penelitian Suwiyoga, Ketut et all, 2008, pemeriksaan IVA dapat
dipertimbangkan sebagai metode skrining alternatif pada lesi serviks dalam upaya
down staging kanker serviks karena memiliki berbagai keunggulan seperti
sensitifitas dan spesifisitas yang memadai, tidak traumatis, sederhana/praktis dan
cepat, dan dapat dikerjakan oleh bidan terlatih. Berdasarkan hasil penelitiannya di
Denpasar pada tahun 2001, didapatkan tingkat sensitifitas IVA 98,15 %,
spesifisitas 81,9 %, dengan nilai prediksi negatif 91,7% dan nilai prediksi positif
50,9 %.
Selain itu, IVA memiliki kelebihan karena kesederhanaan teknik dan
kemampuan memberikan hasil yang segera (Depkes RI, 2007).. Untuk itu
dianjurkan tes IVA bagi semua perempuan berusia 30-50 tahun dan perempuan
yang sudah melakukan hubungan seksual. IVA telah menunjukkan sensitivitas
yang tinggi untuk mendeteksi Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) dan
kanker serviks, tetapi dibatasi oleh spesifisitas yang rendah.
2.2 Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
2.2.1
Definisi IVA
IVA merupakan salah satu cara deteksi dini kanker serviks yang
mempunyai kelebihan yaitu kesederhanaan teknik dan kemampuan memberikan
hasil yang segera. IVA bisa dilakukan oleh semua tenaga kesehatan, yang telah
mendapatkan pelatihan (Depkes RI, 2007). Metode ini sudah dikenalkan sejak
tahun 1925 oleh Hans Hinselman dari Jerman tetapi baru diterapkan tahun 2005.
IVA adalah pemeriksaan serviks secara visual menggunakan asam cuka dengan
mata telanjang untuk mendeteksi abnormalitas setelah pengolesan asam cuka
3-5% (Depkes RI, 2007). Perubahan warna pada serviks dapat
12
menunjukkan serviks normal (merah homogen) atau lesi pra kanker (bercak
putih). Dalam waktu sekitar 60 detik sudah dapat dilihat jika ada kelainan, yaitu
munculnya plak putih pada serviks. Tujuannya adalah untuk melihat adanya sel
yang mengalami displasia sebagai salah satu metode skrining kanker mulut rahim.
IVA tidak direkomendasikan pada wanita pasca menopause, karena daerah zona
transisional seringkali terletak di kanalis servikalis dan tidak tampak dengan
pemeriksaan inspekulo (Rasjidi, 2008).
Gambar 2.1 Hasil Test IVA
Data
terkini
menunjukkan
bahwa
pemeriksaan
visual
serviks
menggunakan asam asetat (IVA) paling tidak sama efektifnya dengan Test Pap
dalam mendeteksi penyakit dan bisa dilakukan dengan lebih sedikit logistik dan
hambatan tekhnis. IVA dapat mengidentifikasi lesi derajat tinggi pada 78%
perempuan yang didiagnosa memiliki lesi derajat tinggi dengan menggunakan
kolposkopi 3,5 kali lebih banyak daripada jumlah perempuan yang teridentifikasi
dengan mengunakan Tes Pap (Depkes RI, 2009).
Nilai sensitifitas IVA lebih baik, walaupun memiliki spesifisitas yang
lebih rendah. IVA merupakan praktek yang dianjurkan untuk fasilitas dengan
sumber daya rendah dibandingkan dengan penapisan lain dengan beberapa
alasan antara lain karena aman, murah, mudah dilakukan, kinerja tes sama
dengan tes lain, dapat dilakukan oleh hampir semua tenaga
kesehatan,
13
memberikan hasil yang segera sehingga dapat diambil keputusan segera untuk
penatalaksanaannya, peralatan mudah didapat, dan tidak bersifat invasif serta
efektif mengidentifikasikan berbagai lesi prakanker (EmiliaO et al, 2010).
2.2.2
Sasaran IVA
Depkes RI, 2007 mengindikasikan skrining deteksi dini kanker serviks
dilakukan pada kelompok berikut ini :
a)
Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah
menjalani tes sebelumnya, atau pernah menjalani tes 3 tahun sebelumnya
atau lebih.
b)
Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes sebelumnya.
c)
Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan
pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan
gejala abnormal lainnya.
d)
Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada serviksnya.
Sedangkan untuk interval skrining, (Depkes RI, 2007) merekomendasikan :
a)
Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya
dilakukan pada perempuan antara usia 35 – 45 tahun.
b)
Untuk perempuan usia 25- 45 tahun, bila sumber daya memungkinkan,
skrining hendaknya dilakukan tiap 3 tahun sekali.
c)
Untuk usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun sekali.
d)
Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia
diatas 65 tahun, tidak perlu menjalani skrining.
14
e)
Interval pemeriksaan IVA adalah 5 tahun sekali. Jika hasil pemeriksaan
negatif maka dilakukan ulangan 5 tahun dan jika hasilnya positif maka
dilakukan ulangan 1 tahun kemudian
Menurut Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Jatim (2012), adapun syarat-
syarat untuk dilakukannya tes IVA, antara lain:
a)
Sudah pernah melakukan pengaruh seksual
b)
Tidak sedang datang bulan/haid
c)
Tidak sedang hamil
d)
24 jam sebelumnya tidak melakukan pengaruh seksual
2.2.3
Peralatan dan Bahan Pemeriksaan IVA
Pemeriksaan IVA dapat dilakukan dimana saja yang mempunyai sarana
seperti antara lain meja periksa ginekologi dan kursi, sumber cahaya / lampu yang
memadai agar cukup menyinari vagina dan serviks, speculum/cocor bebek, rak
atau nampan wadah alat yang telah didesinfeksi tingkat tinggi sebagai tempat
untuk meletakkan alat dan bahan yang akan dipakai, sarana pencegahan infeksi
berupa tiga ember plastik berisi larutan klorin, larutan sabun dan air bersih bila
tidak ada wastafel (Depkes RI, 2010).
Persiapan bahan antara lain kapas lidi atau forcep untuk memegang kapas,
sarung tangan periksa untuk sekali pakai, spatula kayu yang masih baru, larutan
asam asetat 3-5 % (cuka putih dapat digunakan), dan larutan klorin 0,5
% untuk dekontaminasi alat dan sarung tangan serta formulir cacatan untuk
mencatat temuan (Depkes RI, 2007).
Adapun tindakan pemeriksaan IVA, yakni (Rasjidi I, 2008):
a) Yakinkan pasien telah memahami dan menandatangani informed concent
15
b) Pemeriksaan menggunakan speculum untuk memeriksa secara umum meliputi
dinding vagina, serviks, dan fornik.
c) Posisikan klien dalam posisi litotomi (berbaring dengan dengkul ditekuk dan
kaki melebar)
d) Pasang cocor bebek/speculum yang sudah disterilisasi dengan air hangat.
Masukkan ke vagina secara tertutup, lalu dibuka untuk melihat rahim.
e) Siapkan penerangan lampu 100 watt untuk memeriksa menampakkan serviks
untuk mengenali tiga hal yaitu curiga kanker, curiga infeksi, serviks normal
dengan daerah transformasi yang dapat atau tidak dapat ditampakkan.
f) Bila terdapat banyak cairan di leher rahim, dipakai kapas steril basah untuk
menyerapnya.
g) Pulas serviks dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-5%
secara merata. Pemberian asam asetat akan mempengaruhi epitel normal,
bahkan akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan
ekstraseluler ini bersifat hipertonik akan menarik cairan dari intraseluler
sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat.
h) Setelah minimal 1 menit, sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat
sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar
sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, yang disebut epitel
putih/acetowhite (Nuranna et al, 2008).
Temuan asesmen hasil pemeriksaan IVA harus dicatat sesuai kategori
yang telah baku sebagaimana terangkum dalam uraian berikut ini (Depkes RI,
2007 dan Nuranna et al, 2008):
16
a)
Hasil Tes-positif :
Bila diketemukan adanya Plak putih yang tebal berbatas tegas atau
epitelacetowhite (bercak putih), terlihat menebal dibanding dengan
sekitarnya, seperti leukoplasia, terdapat pada zona transisional, menjorok
kearah endoserviks dan ektoserviks
b)
Positif 1(+):
Samar, transparan, tidak jelas, terdapat lesi bercak putih yang ireguler pada
serviks. Lesi bercak putih yang tegas, membentuk sudut (angular), geographic
acetowhite lessions yang terletak jauh dari sambungan skuamos.
c)
Positif 2 (++):
Lesi achetowhite yang buram, padat dan berbatas jelas sampai ke sambungan
skuamokolumnar. Lesi acetowhite yang luas, circumorificial, berbatas tegas,
tebal dan padat. Pertumbuhan pada serviks menjadi acetowhite.
d)
Hasil tes-negatif:
1. Permukaan polos dan halus, berwarna merah jambu
2. Bila area bercak putih yang berada jauh dari zona transformasi. Area
bercak putih halus atau pucat tanpa batas jelas.
e)
3.
Bercak bergaris-garis seperti bercak putih.
4.
Bercak putih berbentuk garis yang terlihat pada batas endocerviks.
5.
Tak ada lesi bercak putih (acetowhite lession)
6.
Bercak putih pada polip endoservikal atau kista nabothi.
7.
Garis putih mirip lesi acetowhite pada sambungan skuamokolumnar.
Normal:
17
1. Titik-titik berwarna putih pucat di area endoserviks, merupakan epitel
kolumnar yang berbentuk anggur yang terpulas asam asetat
2.
Licin, merah muda, bentuk porsio normal.
f) Infeksi:
g)
1.
Servisitis (inflamsi, hiperemisis)
2.
Banyak fluor, ektropion, polip.
Kanker:
Gambar 2.2 Atlas IVA (Perhimpunan Patologi Serviks dan Kolposkopi Indonesia
(PPSKI)
2.2.4 Kelebihan IVA
Adapun kelebihan dari metode IVA, antara lain:
a) Mudah, praktis, sederhana, dan murah
b) Sensitivitas dan sensitifitas cukup tinggi
c) Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan dokter ginekologi, dan
dapat dilakukan oleh bidan ataupun tenaga medis terlatih
18
2.3 Teori Perilaku Lawrence Green
Teori pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu Teori Perilaku Lawrence
Green (1980). Menurut Teori Lawrence L. Green dalan Notoatmodjo (2003), perilaku
dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu, faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor
penguat.
2.3.1 Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor predisposisi adalah faktor yang dapat mempermudah terjadinya
perilaku atau tindakan pada diri seseorang atau masyarakat. Faktor ini antara lain
pengetahuan, pendidikan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan persepsi
yang berhubungan dengan motivasi individu atau kelompok untuk bertindak
(Notoatmodjo, 2012). Berikut faktor predisposisi yang berhubungan dengan
perilaku kesehatan :
1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar
masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara
(mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau
tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh
pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui
proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2005).
2. Tingkat Pengetahuan
19
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Pengetahuan seseorang terhadap
objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo,
2012).
3. Pekerjaan
Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dilakukan oleh seseorang
untuk memperoleh penghasilan guna melangsungkan kehidupannya. Pekerjaan
disini berhubungan erat dengan sumber mata pencaharian dan finansial. Apabila
seseorang memiliki pekerjaan yang layak dengan dengan penghasilan yang cukup
maka akan terpenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan terhadap
pelayanan kesehatan.
2.3.2 Faktor Pemungkin (Enabling Factors)
Faktor pendukung adalah kemampuan/keahlian dan sumber-sumber yang
diperlukan untuk menciptakan atau memunculkan perilaku kesehatan yang
terwujud dalam lingkungan fisik tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas
atau sarana-sarana kesehatan misalnya ketersediaan sarana pelayanan kesehatan
dan prasarana atau fasilitas-fasilitas, personalia, sekolah-sekolah, klinik maupun
sumber-sumber sejenis. Faktor-faktor pendukung juga berkaitan dengan
aksesibilitas berbagai sumber daya, biaya, jarak, sarana transportasi yang ada dan
waktu pemakaian sarana kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Berikut faktor
pendukung yang berhubungan dengan perilaku kesehatan sebagai berikut:
1. Keterjangkauan Jarak ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan
20
Jarak dengan fasilitas kesehatan juga berkontribusi terhadap terciptanya suatu
perilaku kesehatan pada masyarakat. Pengetahuan dan sikap yang baik belum
menjamin terjadinya perilaku, maka masih diperlukan faktor lain yaitu jauh
dekatnya dengan fasilitas kesehatan. Jarak fasilitas kesehatan yang jauh dari
pemukiman penduduk akan mengurangi pemanfaatan pelayanan kesehatan, dan
sebaliknya jarak yang relatif lebih dekat akan meningkatkan pemanfaatan
pelayanan kesehatan.
2.3.3 Faktor Penguat (Reinforcing Factors)
Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan sikap
dan perilaku secara umum seperti sikap dan perilaku petugas kesehatan atau
petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat
(Notoatmodjo, 2012). Berikut faktor pendorong yang berhubungan dengan
perilaku kesehatan sebagai berikut :
1. Dukungan Petugas Kesehatan
Perilaku pemanfaatan fasilitas atau produk kesehatan juga sangat dipengaruhi
oleh petugas kesehatan. Seseorang yang sudah mengetahui manfaat kesehatan dan
ingin memanfaatkannya dapat terhalang karena sikap dan tindakan petugas
kesehatan yang tidak ramah dan memotivasi individu yang akan memanfaatkan
fasilitas kesehatan.
2. Dukungan Suami/ Keluarga
Dukungan yang diberikan oleh suami/keluarga dapat membangkitkan rasa
percaya diri untuk membuat keputusan. Dukungan yang diberikan antara lain
berupa motivasi untuk menggunakan metode IVA. Sikap suai/keluarga yang
21
paling baik menyangkut tujuan memberikan izin untuk melakukan pemeriksaan
deteksi dini kaker serviks dengan metode IVA Dalam kaitan ini dukungan
suami/keluarga merupakan pengaruh yang positip. Bentuk dukungan tersebut juga
didasari pemikiran suami/keluarga yang merasa IVA sebagai alat yang efektif
untuk deteksi dini kanker serviks. Sedangkan sikap suami/keluarga yang
menyatakan tidak mendukung istri mengikuti program KB karena kemungkinan
pengetahuan dari suami/keluarga yang kurang terhadap pemeriksaan deteksi dini
kanker serviks terutama belum begitu paham dengan metode IVA, keuntungan
dan kerugian IVA.
2.4 Variabel
– Variabel yang Berpengaruh Terhadap Pemaanfaatan
Pemeriksaan IVA
2.4.1 Pengetahuan
Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007) merupakan hasil dari tahu dan
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebelum orang menghadapi perilaku
baru, di dalam diri seseorang terjadi proses berurutan yakni : Awareness
(kesadaran) yaitu di mana seseorang menyadari terlebih dahulu terhadap stimulus.
Interest (merasa tertarik) yaitu di mana seseorang tertarik terhadap objek atau
stimulus tersebut bagi dirinya. Trail yaitu seseorang mulai mencoba melakukan
sesuatu sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Pengetahuan yaitu domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang.
22
Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh
pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakuan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari
pengetahuan. Pengetahuan tertentu tentang kesehatan penting sebelum suatu
tindakan kesehatan pribadi terjadi, tetapi tindakan kesehatan yang diharapkan
mungkin tidak akan terjadi kecuali seseorang mendapat isyarat yang cukup
kuatuntuk memotivasinya bertindak atas dasar pengetahuan yang dimilikinya.
Pengetahuan merupakan faktor yang penting namun tidak memadai dalam
perubahan perilaku kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan tentang deteksi dini kanker serviks penting diketahui oleh
masyarakat khususnya wanita untuk meningkatkan kesadaran dan merangsang
terbentuknya perilaku kesehatan yang diharapkan dalam hal ini perilaku
pemafaatan deteksi dini kanker serviks. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
(Sakanti&Anggiasih, 2007) bahwa orang yang berpengetahuan baik, sebanyak
85,71% melakukan pemeriksaan pap smears.
2.4.2 Sikap
Sikap (attitude) adalah istilah yang mencerminkan rasa senang, tidak senang
atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu. Sesuatu
itu biasa benda, kejadian, situasi, orang-orang atau kelompok. Kalau yang timbul
terhadap sesuatu itu adalah perasaan senang, maka disebut sikap
23
positif, sedangkan kalau perasaan tak senang maka disebut sikap negatif. Kalau
tidak timbul apa-apa, berarti sikap netral (Wirawan, 2009).
` Sikap adalah perasaan mendukung maupun perasaan tidak mendukung pada
suatu objek. Secara umum, sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk
berespons (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek, atau situasi tertentu.
Sikap mengandung suatu penilaian emosional/efektif (senang, benci, sedih, dan
sebagainya) di samping komponen kognitif (pengetahuan tentang objek itu) serta
aspek konatif (kecenderungan bertindak). Selain bersifat positif atau negatif, sikap
memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda. Sikap tidak sama dengan
perilaku, perilaku tidak selalu mencerminkan sikap. Sikap seseorang dapat
berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut, melalui
persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 2012).
Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu
mencerminkan sikap seseorang, sebab seringkali terjadi bahwa seseorang
memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya (Sarwono, 1997).
Dalam hal ini, sikap positif wanita terhadap pentingnya deteksi dini kanker
serviks, belum tentu akan diikuti dengan perilaku yang positif yaitu melakukan
deteksi dini kanker serviks. Penelitian yang dilakukan oleh Purba, Evy M, 2011
menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna antara sikap ibu dengan
pemanfaatan papsmears pada PUS yaitu sebanyak 65,3% atau P value sebesar
0,154.
2.4.3 Akses Terhadap Pelayanan Kesehatan
Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana
pendukung. Seperti halnya pemeriksaan deteksi dini kanker serviks dengan
24
metode IVA tentulah memerlukan sarana dan prasarana seperti Puskesmas, tenaga
kesehatan terlatih, alat-alat pemeriksaan dan lain-lain. Fasilitas ini pada
hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan
(Green, 2005). Sedangkan di wilayah Puskesmas Prembun yang mulai tahun 2007
telah dijadikan puskesmas percontohan pelayanan pemeriksaan IVA, maka
sarana dan prasarananya telah disiapkan/disediakan untuk menunjang kegiatan
tersebut. Keterjangkauan mencapai tempat layanan tersebut, sangat mendukung
seseorang untuk melakukan tindakan. Hasil penelitian yang dilakukan Taboo
(2009) menunjukkan keterjangkauan pelayanan kesehatan puskesmas dan
jaringannya terkait dengan sumberdaya, letak geografis serta sosial budaya
masyarakat.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Rohmawati (2010) menyatakan
bahwa ada pengaruh yang bermakna antara kemudahan akses atau akes terhadap
pelayanan kesehatan ke tempat layanan pemeriksaan IVA (Puskesmas), yang
sesuai dengan teori determinan perilaku dari Green 2005, bahwa jarak,
ketersediaan transportasi sebagai faktor pemungkin yang memungkinkan
seseorang untuk melaksanakan suatu motivasi.
2.4.4 Keterpaparan Informasi / Media Massa
Pernah diterima atau tidaknya informasi tentang kesehatan oleh masyarakat
akan menentukan perilaku kesehatan masyarakat tersebut (Green, 2005).
Informasi dapat diterima melalui petugas langsung dalam bentuk penyuluhan,
pendidikan kesehatan, dari perangkat desa melalui siaran dikelompok-kelompok
dasawisma atau yang lain, melalui media massa, leaflet, siaran televisi dan lainlain.
25
Dalam hal ini perilaku pemanfaatan deteksi dini kanker serviks dengan
metode IVA pada WPUS juga dipengaruhi apakah wanita tersebut sudah pernah
mendapat informasi tentang hal tersebut atau belum. Tak beda menurut
Rohmawati (2011) keterpaparan individu terhadap informasi kesehatan akan
mendorong terjadinya perilaku kesehatan.
2.4.5 Dukungan Suami/ Keluarga
Susanti (2002) mengatakan bahwa sebelum seorang individu mencari
pelayanan kesehatan yang profesional, ia biasanya mencari nasehat dari keluarga
dan teman-temannya. Peran keluarga sebagai kelompok kecil yang terdiri
individu-individu yang mempunyai pengaruh satu sama lain, saling tergantung
merupakan sebuah lingkungan sosial, dimana secara efektif keluarga memberi
perasaan aman, secara ekonomi keluarga berfungsi untuk mengadakan sumbersumber ekonomi yang memadai untuk menunjang proses perawatan, secara sosial
keluarga menumbuhkan rasa percaya diri, memberi umpan balik, membantu
memecahkan masalah, sehinga tampak bahwa peran dari keluarga sangat penting
untuk setiap aspek perawatan kesehatan.
2.4.6 Dukungan Petugas Kesehatan
Menurut WHO (1984) dalam Bascommetro (2009) apabila seseorang itu
penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuatannya cenderung untuk
dicontoh. Orang-orang yang dianggap penting ini sering disebut kelompok
referensi (reference group) antara lain; guru, alim ulama, kepala adat (suku),
kepala desa dan sebagainya. Petugas kesehatan (Bidan di Desa) sebagai salah satu
orang yang berpengaruh dan dianggap penting oleh masyarakat sangat berperan
dalam terjadinya perilaku kesehatan pada masyarakat. Peran petugas
26
kesehatan disini adalah memberikan pengetahuan tentang kanker serviks dan
pentingnya deteksi dini, serta memberikan motivasi kepada wanita yang sudah
menikah untuk melakukan deteksi dini kanker serviks.
Factor dari tenaga kesehatan itu sebagai pendorong atau penguat dari individu
untuk berperilaku. Hal ini dikarenakan petugas tersebut ahli dibidangnya sehingga
dijadikan tempat untuk bertanya dan pemberi input/masukan untuk pemanfaatan
pelayanan kesehatan.
2.4.7 Dukungan Kader/ PKK
Kader adalah seorang tenaga sukarela yang direkrut dari, oleh dan untuk
masyarakat, yang bertugas membantu kelancaran pelayanan kesehatan. Ada
beberapa macam kader yang dibentuk sesuai dengan keperluan menggerakkan
partisipasi masyarakat atau sasarannya dalam program pelayanan kesehatan.
Salah satunya adalah kader promosi kesehatan. Kader promosi kesehatan adalah
kader yang bertugas membantu petugas puskesmas melakukan penyuluhan
kesehatan secara perorangan maupun dalam kelompok masyarakat. Sebagai kader
harus bisa memberi contoh dan bisa menyampaikan pesan-pesan kesehatan yang
di dapat melalui pertemuan-pertemuan rutin dan pelatihan- pelatihan kesehatan di
tingkat desa, puskesmas maupun dinas kesehatan. Peran aktif dari kader dapat
mempengaruhi ingin atau tidaknya seseorang untuk melakukan pemeriksaan
deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA.
2.4.8 Gebyar IVA
Melihat cakupan angka kematiaan akibat kanker leher rahim yang
semakin meningkat, maka Pemerintah Kabupaten Badung melakukan tindakan
pencegahan yaitu dengan memberikan sosialisasi pemeriksaan gratis kanker
27
leher rahim dengan metode IVA. Pemerintah Kabupaten Badung mengadakan
gebyar IVA atau kampanye gratis pemeriksaan IVA yang diadakan di Puskesmas
Mengwi 1 pada bulan November 2015. Dengan diadakannya gebyar IVA,
diharapkan dapat menurunkan angka kematian akibat kanker leher rahim. Dalam
hal ini perilaku pemanfaatan pemeriksaan deteksi dini kanker leher rahim dengan
metode IVA pada WPUS juga dipengaruhi oleh apakah masyarakat mengetahui
atau tidak adanya gebyar IVA yang dilakukan oleh Puskesmas Mengwi I.
Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Anonim, 2010, upaya
sosialisasi IVA melalui pemeriksaan IVA secara gratis belumlah optimal. Hal ini
dikarenakan masih banyaknya daerah yang dicapai belum merata.
Download