Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 BAGAN TALAI BIDUAK DUO DI NAGARI MANDEH KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT 1970-2015 Ajisman Abstract The study of Bagan Talai Biduak Duo aims to reveal and explain the existence of Bagai Talai Biduak Duo in Mandeh region. The method used in this study is historical method; it is the method that explains a problem based on historical perspective. The results show that Bagan Talai Biduak Duo is created by the community in Mandeh region. Many places for making the Bagan Talai Biduak Duo are found throughout the Mandeh River Estuary. The tradition of making Bagai Talai Biduak Duo is still inherited from generation to generation; even the development is not significant enough. Bagan Talai Biduak Duo has become the main livelihood for fishing communities on anchovies fishing in Mandeh, Nyalo and surrounding areas. There are not less than 65 pieces of Bagan Talai Biduak Duo operates in fishing the anchovies. Bagan Talai Biduak Duo still survives in the middle of the incessant wave of tourism promotion in the Mandeh region. Keywords: Bagan Talai Biduak Duo, Mandeh Region, South Pesisir Regency Pendahuluan Secara geografis Nagari Mandeh terletak di pinggir Teluk Carocok Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Luas Nagari Mandeh ± 6.600 km² dengan jumlah penduduk ± 1.442 jiwa. Sebagian besar ± 70 % penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan 30 % bergerak dibidang lain seperti petani dan peternak. Dengan keadaan geografisnya yang dikelilingi oleh perbukitan, pulau-pulau kecil dan lokasi yang langsung menghadap dengan Samudera Hindia sehingga membuat kawasan Mandeh kaya akan hasil alam. 1 Masyarakat Nagari Mandeh yang bermata pencaharian sebagai nelayan sudah mereka jalankan secara turun temurun. Secara umum kegiatan masyarakat nelayan di Nagari Mandeh tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainya. Mereka menghabiskan waktu sepanjang hari di laut dan mengelola hasil-hasil laut. Nelayan Nagari Mandeh sudah mendirikan “Perkumpulan Nelayan”. Perkumpulan nelayan, setiap tahunnya juga mengadakan upacara Tolak Bala. Tolak Bala adalah sebuah upacara adat atau ritual sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan rezki dan keselamatan bagi para nelayan.1 Wawancara dengan Jasril RB, tanggal 3 Maret 2017 di Nagari Mandeh 1 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 Tidak diketahui secara pasti sejak kapan masyarakat Nagari Mandeh mulai melaut, pekerjaan ini sudah diwarisi dari generasi ke generasi oleh sebagian masyarakatnya. Profesi sebagai nelayan sangat memungkinkan di kawasan Mandeh mengingat perairan di kawasan laut Mandeh cukup tenang, dan tidak berombak, karena di sekitarnya terdapat beberapa buah pulau yang mengitarinya, yaitu: Pulau Taraju, Pulau Setan Kecil, Pulau Sirojong Besar, Pulau Sirojong Kecil dan Pulau Cubadak. Uniknya di Nagari Mandeh mereka membuat bagan sendiri untuk melaut, masyarakat Nagari Mandeh menyebutnya dengan Bagan Talai Biduak Duo.2 Bagan Talai Biduak Duo yang telah dioperasikan oleh para nelayan di sekitar laut Mandeh sudah berjumlah lebih kurang 65 buah. Bagan-Bagan Talai Biduak Duo tersebut tersebuar di kawasan laut Mandeh, Sungai Nyalo dan sekitarnya.3 Pembuatan Bagan Talai Biduak Duo di Nagari Mandeh diperkirakan sudah berlangsung cukup lama, hal ini sangat memungkinkan karena bahan baku kayu untuk membuat biduak banyak ditemukan di kawasan ini. Keterampilan membuat Bagan Talai Buduak Duo yang diwarisi secara turun temurun ini, tidak terlepas dari masyarakat Mandeh yang berasal dari berbagai daerah seperti Sungai Pagu, Sibolga dan Mukomuko. Diperkirakan para pendatang dari berbagai daerah tersebut mempelajari membuat bagan dari daerah lain. Disamping itu mereka juga dapat mencontoh dari kapal-kapal atau bagan-bagan yang pernah berlabuh di kawasan Mandeh. Tradisi melaut dan pembuatan Bagan Talai Biduak Duo yang telah menjadi warisan budaya sejak masa lampau di Nagari Mandeh tidak kalah uniknya dari daerah pesisir lainya. Disamping mereka melaut ia juga membuat kapal bagan sendiri. Kapal Bagan buatan Nagari Mandeh banyak dipesan oleh para nelayan baik untuk dipakai oleh nelayan di Nagari Mandeh sendiri maupun oleh para nelayan di daerah lain seperti Carocok Tarusan dan sekitarnya. Seiring dengan pengembangan kawasan Mandeh sebagai objek wisata, para pengrajin kapal memproduksi kapal yang dirancang untuk menunjang kegiatan pariwisata di kawasan Mandeh, disamping mereka memproduksi kapal yang digunakan untuk transportasi mencari ikan di laut. Memahami pentingnya kajian masyarakat pesisir sebagai salah satu kajian sejarah maritim dan masih sedikitnya tulisan yang membahas tentang itu, maka kajian ini berjudul “Bagan Talai Biduak Duo” di Nagari Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan. 2 “Talai” adalah bahasa Minangkabau dari kata “Tahanlai”. Menurut ceritanya penyebutan Bagan “Talai” Biduak Duo dimulai tahun 1970 an. Dimana ketika itu para nelayan Nagari Mandeh mengalami kesulitan untuk mencari ikan di laut sekitar Mandeh. Seperti yang diungkapkan oleh Jasril. RB (Wali Nagari Mandeh) “ ala katangah, kamudieak, ka hilieh dan katapi indak jo ado ikan. Salah seorang diantaronyo mangecek “kamaa awaklai ka mancari ikan, ala hilang aka awak ma, awak tahan se lalai baganko”(Sudah ke tengah, sudah ke mudik, ke hilir dan ketepi tidak juga ada ikan. Salah seorang diantaranya berkata “kemana kita lagi mencari ikan, sudah kehilangan akal kita ini, kita tahan saja lagi bagan ini disini”). Karena sudah kehilangan akan mencari ikan akhirnya bagan tersebut mereka tahan saja di kawasan laut Mandeh, setelah beberapa lamanya kapal bagan yang ditahan tersebut diangkat jaringnya ternyata isinya dipenuhi oleh ikan-ikan kecil atau ikan teri. Maka semenjak itulah bagan yang beroperasi di kawasan laut Mandeh dinamakan “Bagan Talai Biduak Duo” (Wawancara dengan Jasril. RB, tanggal 2 Maret 2017 di Nagari Mandeh) 3 Wawancara dengan Jasril RB, tanggal 2 Maret 2017 di Nagari Mandeh 2 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 Metode Penelitian dan Bahan Sumber Meneliti dan mengkaji sejarah Bagan Talai Biduak Duo di Nagari Mandeh merupakan bentuk penelitian sejarah, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Peristiwa sejarah diteliti dengan menggunakan metode dasar (basic method) sejarah yang biasa disebut penelitian bahan dokumen4 atau metode sejarah, yaitu berupa prosedur kerja yang terdiri dari empat tahap. Pertama, heuristic (mencari dan menemukan data). Kedua, kritik sumber, menilai otentik atau tidaknya sesuatu sumber dan seberapa jauh kredibilitas sumber itu. Ketiga, sintesis dari fakta yang diperoleh melalui kritik sumber atau disebut juga kredibilitas sumber itu dan keempat, penyajian hasilnya dalam bentuk tulisan.5 Dalam mencari dan mengumpulkan data atau sumber-sumber dilakukan melalui 3 bentuk, yaitu: Studi Pustaka: Studi kepustakaan dilakukan di perpustakaan BPNB Sumatera Barat, Perpustakaan Universitas Andalas Padang, Perpustakaan Universitas Negeri Padang, Perpustakaan Universitas Bung Hatta Padang Perpustakaan Daerah Sumatera Barat dan Perpustakaan Kantor Departemen Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pesisir Selatan. Wawancara: Untuk menutupi kekurangan dan keterbatasan sumber dan bahan tertulis tentang Bagan Talai Biduak Duo di Nagari Mandeh, maka digunakan sumber wawancara. Wawancara dilakukan terhadap para nelayan dan pengrajin atau tukang pembuat Bagan Talai 4 5 6 7 Biduak Duo di Nagari Mandeh, dan tokoh masyarakat Mandeh. Observasi Lapangan: Observasi lapangan dengan mengunjungi dan mengamati para pekerja Bagan Talai Biduak Duo di Nagari Mandeh dan mendokumentasikannya. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai dunia maritim sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Namun kajian tentang Bagan Talai Biduak Duo di Nagari Mande Kabupaten Pesisir Selatan sejauh yang diketahui belum ada yang melakukannya. Dari beberapa sumber yang menyinggung masalah tersebut yakni karya Mhd. Nur (2015) “Bandar Sibolga” di Pantai Barat Sumatera Pada Abad ke 19 Sampai Pertengahan Abad ke 20.6 Karya tersebut ada mengungkapkan BandarBandar dagang di Pantai Barat Sumatera, diantaranya Bandar X, Padang, Pariaman, Tiku, Airbangis, Natal, Batumundam, Sibolga, Singkil dan Susoh. Bandar X adalah kumpulan dari Bandar kecil yang terletak di pesisir bagian selatan Minangkabau, yang berjumlah sepulu nagari, diantaranya Painan, Bayang, Tarusan, Salido, Batangkapas, Pulau Cingkuk, Sungai Pagu , dan Air Haji. Karya tersebut tidak menyinggung mengenai kawasan Mandeh apalagi yang berhubungan dengan pembuatan kapal bagan. Berikutnya karya Iim Imadudin dan kawan-kawan (2004)“Indrapura Kerajaan Maritim dan Kota Pantai di Pesisir Selatan Pantai Barat Sumatera”.7 Mestika Zed, “Apakah Berpikir Sejarah?” . 1998. Handout IS, hlm. 4. Louis Gottschlk, “Mengerti Sejarah. Terjemahan Nogroho Notosusuanto”. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995. hlm. 32. Lihat juga Kuntowijoyo, “Pengantar Ilmu Sejarah”. Jakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1999. hlm. 89. Mhd. Nur. “Bandar Sibolga di Pantai Barat Sumatera Pada Abad ke 19 Sampai Pertengahan Abad ke 20”. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang. 2015 Iim Imadudin dkk, “Indrapura Kerajaan Maritim dan Kota Pantai di Pesisir Selatan Pantai Barat Sumatera”. Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Padang Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang. 2004 3 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 Karya ini mengungkapkan asal usul dan sejarah pertumbuhan Kerajaan Indrapura dan hubungannya dengan daerah lain. Struktur sosial politik dan budaya dalam karya tersebut juga mengungkapkan bahwa Pantai Barat Sumatera dan Bandar X pada khususnya pernah dibawah kekusaan Kerajaan Indrapura. luas. Hal ini menjadi salah satu unsur yang melatar belakangi kehidupan masyarakatnya sehingga penduduknya menjadikan laut sebagai sumber mencari nafkah, baik sebagai nelayan dan pengrajin perahu. Keahlian membuat perahu di Tanah lemo Bulukumbah adalah warisan keterampilan dan keahlian yang diwarisi dari nenek moyang mereka.10 Rinaldi Ekaputra makalah dengan judul “Hubungan Pantai Barat Dengan Daerah Pedalaman”.8 Dalam makalahnya dipaparkan, dalam catatan sejarah daerah pesisir memiliki fungsi ekonomi yang sangat srategis bagi dunia perdagangan. Selain strategis untuk didirikan pelabuhan-pelabuhan kapal, daerah pesisir juga memungkinkan terjadinya sirkulasi perdaganagn barangbarang dengan dunia luar. Yuspardianto (2003) turut menyumbangkan pemikirannya tentang kapal tradisional yang berjudul “Bahan Pembuatan Kapal Kayu”. Dalam karyanya disebutkan pertimbagan utama dalam memilih kayu bagi kapal dan perahu adalah: kekuatan, ketahanan terhadap pelapukan dan ketersediaannya sesuai dengan kualitas, kuantitas dengan ukuran yang dibutuhkan.9 Karya Bambang Budi Utomo (2016) “Warisan Bahari Indonesia” Dalam buku tersebut ditulis secara singkat dunia kebaharian suku bangsa yang ada di Indonesia dengan mencantumkan foto dan ilustrasi pendukungnya. Buku ini sekedar mengingatkan akan kebaharian Indonesia yang sudah lama dilupakan.11 Syahrul Amar (2013) juga menulis tentang kapal tradisional dengan judul “Asal Usul dan Keahlian Pembuatan Perahu Pinisi di Tanah Lemo Bulukumba (Tinjauan dalam Berbagai Versi)”, Karya ini menjelaskan bahwa Sulawesi Selatan adalah suatu wilayah yang dikelilingi oleh laut yang Buku Gusti Asnan (2007) dengan judul “Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera”. Buku ini adalah edisi terjemahan dan revisi dari disertasinya di Universitat Bremen, Jerman yang berjudul Trading and Shipping Activities: The West Caast of Sumatra 1819-1906. Buku ini berbicara panjang lebar mengenai dunia maritim di Pantai Barat Sumatra kurun waktu 18191906. Dalam satu bab ia menulis khusus tentang perkapalan dan pelabuhan. Sejak zaman purba penduduk Indonesia telah mengenal dan membuat berbagai jenis kapal dan perahu. Sampai awal abad ke-20 dikenal ada sekitar 200 jenis kapal dan perahu di seluruh kepulauan Indonesia. Sebagian besar kapal dan perahu ini merupakan kapal dan perahu tradisional.12 8 Rinaldi Ekaputra “Hubungan Pantai Barat Dengan Daerah Pedalaman”. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Tentang Diunia Pantai Barat Sumatera Dalam Persfektif Sejarah yang diselenggarakan oleh BKSNT Padang, tanggal 20 Mei 20013 di Padang. 9 Yuspardianto “Bahan Pembuatan Kapal Kayu” . Karya Ilmiah, Fakultas Perikanan Univesitas Bung Hatta : Padang 2003 10 Syahrul Amar “Asal Usul dan Keahlian Pembuatan Perahu Pinisi di Tanah Lemo Bulukumba (Tinjauan dalam Berbagai Versi)” Dalam Jurnal Educatio, Vol. 8 No. 2, Desember 2013, hlm 151-167 11 Bambang Budi Utomo “Warisan Bahari Indonesia”, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia: 2016 12 Gusti Asnan “Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera”. Yogyakarta: Ombak 2007 4 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 Selain mengacu pada sumber-sumber yang ada kajian ini terutama mengandalkan karya Gusti Asnan (2007). Sebagai satusatunya sumber tentang dunia maritim di Pantai Barat Sumatera yang baru berhasil diperoleh, buku ini termasuk representatif untuk penulisan dunia maritim khususnya di Pantai Barat Sumatra. Namun atas segala informasi yang mereka paparkan, usaha kajian ini tetap berbeda dengan usaha yang telah mereka lakukan. Perbedaannya terletak pada upaya mencari dan menggali terus informasi mengenai eksistensi Bagan Talai Biduak Duo dan sejarahnya di Nagari Mandeh. Hasil dan Pembahasan Nagari Mandeh Selayang Pandang Nagari Mandeh merupakan satu dari 23 nagari yang terdapat di Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan13. Nagari Mandeh terdiri dari 3 kampung yakni Taratak, Kampung Tangah dan Kampung Baru. Kenagarian Mandeh juga merupakan salah satu nagari yang berada di Kawasan Mandeh yang telah dicanangkan sebagai Kawasan Pengembangan Pariwisata Bahari Terpadu Mandeh. Nagari ini berbatasan sebelah Utara dengan Nagari Sungai Nyalo Mudiak Aia dan Nagari Duku Utara, sebelah Timur dan Selatan dengan Nagari Setara Nanggalo, dan sebelah barat dengan Laut Mandeh. Nagari Mandeh memiliki luas sekitar 6,48 km² atau 1,52 % dari keseluruhan wilayah Kecamatan XI Tarusan. Transportasi ke pusat kecamatan, kabupaten dan provinsi sejak dahulu melalui jalur laut dengan menggunakan boat atau kapal motor ke 13 Pelabuhan Carocok Ampang Pulai, dan selanjutnya menggunakan transportasi darat. Beberapa tahun terakhir sejak adanya kawasan Mandeh sebagai objek wisata maka bisa ditempuh melalui darat yang sebagiannya sudah diaspal. Perkampungam masyarakat Mandeh tidak berada di pantai, tetapi berada di muara yang merupakan pertemuan Teluk Carocok dengan sungai kecil yang aliran airnya bermuara ke Teluk Carocok yang jaraknya sekitar 5 km dan dapat ditempuh dengan boat selama lebih kurang 5-10 menit. Nagari ini bertopografi dataran dan berbukitbukit di sekelilingnya dengan ketinggian dari permukaan laut 1-2 km. Curah hujan rata-rata 307,5 mm dan jumlah hari hujan 11,45 hari per bulan. Nagari Mandeh ada yang menyebutkan bagaikan “kuali” karena dikelilingi oleh bukit yang seakan-akan menjadi “dinding” atau perlindungan bagi masyarakat setempat. a. Penduduk dan Sejarah Penduduk Nagari Mandeh adalah penduduk yang telah mendiami daerah ini turun temurun sejak dahulu, yang konon pertama kali didiami penduduk dari wilayah daratan Minangkabau yang berasal dari Solok, Agam dan Tanah Datar. Bahkan, masyarakat yang menyebutkan bahwa asal penduduk setempat berasal dari daerah Mukomuko. Penduduk Nagari Mandeh, berdasarkan data BPS Kabupaten Pesisir Selatan, tahun 2015 tercatat sebanyak 1.311 jiwa dengan 304 kepala keluarga. Penduduk laki-laki berjumlah 703 orang dan penduduk Nagari-nagari dalam Kecamatan XI Tarusan yakni nagari Kapuh, Kapuh Utara, Jingang Kamp Pansur, Ampang Pulai, Pulau Karam, Cerocok Anau, Nanggalo, Setara Nanggalo, Batu Hampa Selatan, Batu Hampa, Mandeh, Sei Nyalo Mudiak Aia, Sungai Pinang, Duku, Duku Utara, Barungbarung Balantai Utara, Barungbarung Balantai Tengah, Barunbarung Balantai Selatan, Barungbarung Balantai Timur, Kamp. Baru Korong Nan IV, Taratak Sei Lundang, Siguntur Tua dan Siguntur. 5 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 perempuan 608 orang, dengan sex rasio sekitar 115,63.14 Masyarakat Nagari Mandeh mayoritas (75%) berkehidupan sebagai nelayan, dan 25 % terbagi dalam sektor lainnya seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan pedagang. Profesi atau pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan tradisional masyarakat Mandeh atau diperoleh secara turun temurun, umumnya mereka berprofesi sebagai nelayan, masyarakat mandeh menyebutnya dengan Nelayan Bagan Talai Biduak Duo. Para nelayan memiliki bagan sendiri untuk menangkap ikan teri yang pemasaran sampai ke Padang, Riau, Jambi dan bahkan Jakarta. Teri dari Nagari Mandeh dikenal dengan kualitasnya yang baik dan bersih, dikenal dengan “Teri Mandeh”. Produksi ikan teri Mandeh kualitasnya yang bagus karena proses produksinya. Nagari Mandeh yang terdiri dari tiga kampung, Kampung Tangah, Kampung Baru dan Taratak, ketiga kampung ini letaknya memanjang dari utara ke selatan. Pemukiman penduduk Nagari Mandeh, boleh dikatakan mengelompok pada satu areal memanjang dari utara ke selatan, sepanjang jalan raya yang membelah nagari itu menjadi dua bagian atau belahan. Secara umum, pemukiman tersebut terdiri dari dua pengelompokan yakni pemukiman di Kampung Taratak yang berada di utara, Pemukiman utama meliputi Kampuang Tangah dan Kampung Baru, kedua kampung ini penduduknya sangat ramai dan padat. Sedangkan pemukiman di Taratak terbilang sepi dengan rumah yang jarang dan berjauhan. Pemukiman utama ditandai dengan rumah yang rapat sepanjang jalan, sedangkan di Taratak rumah berjauhan. Antara kedua pemukiman ini dihubungkan oleh sebuah 14 6 Sumber: BPS Kabupaten Pesisir Selatan. 2016 jembatan gantung dengan lebar sekitar 2 meter panjang 20 meter. Daerah Taratak dapat dikatakan merupakan tempat yang mula-mula didiami dan baru berkembang ke Kampung Tangah dan Kampung Baru . Kampung Tangah, sesuai namanya merupakan perkampungan yang terletak di tengah nagari, dan begitupun dengan Kampung Baru merupakan perkampungan yang paling baru atau yang terbentuk kemudian. Rumah yang didiami oleh masyarakat Mandeh pada umumnya rumah kayu dan semi permanen, hanya beberapa buah rumah yang permanen. Rumah-rumah berada disepanjang jalan utama yang sebagian besar menghadap ke jalan atau gang. Nagari Mandeh, sebagai daerah yang dekat dengan laut dan kehidupan masyarakatnya yang hampir seluruhnya sebagai nelayan, tergolong daerah pesisir. Kehidupan sebagai nelayan yang bergelut dengan laut, dengan sendirinya masyarakatnya dapat dikatakan sebagai masyarakat pesesir. Oleh karenanya pemukiman penduduknya, juga cerminan pemukiman masyarakat pesisir dengan pengelompokan disepanjang muara yang menghubungkan daerah Mandeh dengan laut atau Teluk Mandeh. Setiap hari mereka menelusuri teluk mandeh menuju laut lepas untuk menangkap ikan teri. Rumahrumah penduduk berjejer membelakang ke sungai. Disepanjang Sungai Muara Mandeh berjejer pula boat pariwisata berbagai ukuran dan boat yang digunakan untuk tansportasi nelayan ke laut maupun menuju ke daerah lain. Semenjak abad 19 M, daerah ini sudah menjadi lokasi pengambilan kayu oleh penduduk yang berasal dari daerah Mukomuko, Nias dan Bengkulu. Kolonial Belanda telah menguasai wilayah Sumatera Barat Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 dan sekitarnya. Pada masa itu Belandda mengirim utusan ke wilayah Mandeh untuk mengambil upeti atau pajak. Tuanku Tarusan mengutus Pendekar Sombong yang bernama Saleh untuk melaksanakan tugas tersebut. Pendekar Sombong menurut masyarakat sekitar memiliki kesaktian yang tinggi, sehingga para pengambil kayu tidak dapat berbuat apa-apa dan terpaksa memberikan upeti atau pajak yang diminta oleh Pendekar Sombong. Selama Pendekar Sombong berada di daerah Mandeh ia melihat potensi tanah yang subur dapat dimanfaatkan sebagai ladang pertanian, sehingga beliu menceritakan hal itu kepada istrinya. Setelah Pendekar Sombong bercerita kepada istrinya maka mereka sepakat untuk membuat sebuah pemukiman di Mandeh, nama daerah yang digarap oleh Pendekar Sombong dinamakan Taruko.15 Setelah Pendekar Sombong dan istrinya mendirikan pemukiman di daerah Mandeh, setelah itu banyak orang-orang yang datang ke wilayah itu untuk ikut mendirikan pemukiman. Mereka yang datang ke wilayah Mandeh berasal dari beberapa daerah diantaranya Solok, Medan, Mukomuko, Nias dan Bengkulu. Sebagian besar penduduk Mandeh adalah Suku Jambak. Selain Suku jambak terdapat suku-suku lainya seperti Tanjung, Melayu dan Caniago suku-suku ini konon katanya berasal dari Batusangkar atau daerah Darek. Pendekar Sombong hidup semasa Belanda yaitu ketika masa pemerintahan Angku Palo atau Datuak Palo di Tarusan. Menurut masyarakat setempat Pandekar Sombong sangat terkenal di Nagari Mandeh ia banyak ilmu dan pendekar. Karena banyak ilmu dan pendekar itulah yang membuat ia sombong dan takabur, maka ia dinamakan Pendekar Sombong. Sampai sekarang tidak diketahui dimana ia dimakamkan, Pendekar Sombong beristrikan orang Jambak dan keturunannya dapat dijumpai di Nagari Mandeh.16 b. Asal Nama Mandeh Setiap wilayah memiliki asal usul penamaanya masing-masing, begitu juga dengan asal usul penamaan Mandeh. Kata Mandeh dalam bahasa Minangkabau berarti “ibu” yang menurut masyarakat setempat sebagai tempat mengadu, dikarenakan dahulu kala ada seseorang yang terdampar di daerah ini, dan orang tersebut diberi makan dan minum, dan juga berarti Ma-Andeh yaitu “tempat berlindung” karenakan melihat ombak di daerah Mandeh tenang dan damai. Pada zaman Kerajaan Indrapura, banyak kapal-kapal yang menghindari ombak yang besar di Samudera Hindia sehingga menepi di sekitar muara Mandeh dan singgah disana. Mereka menamakan daerah itu sebagai Mandeh dikarenakan sebagai tempat persinggahan. Sampai sekarang ketenangan Muara Mandeh dapat dibuktikan dengan banyaknya kapal-kapal dan boat berbagai ukuran yang mangkal di Muara Mandeh. Selain itu disepanjang Muara Mandeh juga dijadikan tempat para tukang bagan membuat kapal dan biduak berbagai ukuran. Sejarah Bagan Talai Biduak Duo Tidak diketahui secara pasti sejak kapan masyarakat Nagari Mandeh menggunakan Bagan Talai Biduak Duo untuk menangkap ikan teri yang banyak di perairan Mandeh Sungai Nyalao dan sekitarnya. Dengan Bagan Talai Buduak Duo mereka berangkat ke laut pada sore hari sekitar pukul 5 pulang 15 Wawancara dengan Jasril RB, tanggal 28 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh. 16 Wawancara dengan Jasril RB, tanggal 28 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh 7 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 pada pukul 6 pagi. Sepanjang malam mereka mengamati dan menjaga waring/alat tangkap ikan dan menunggu ikan berkumpul banyak untuk kemudian diangkat. Begitu sehari-hari mereka mengandalkan Bagan Talai Buduak Duo untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sampai sekarang masih berlangsung. Hingga kini Bagan Talai Biduak Duo masih dipertahankan di tengah upaya pemerintah menjadikan kawasan Mandeh sebagai prioritas pariwisata. Berbagai kapal bagan yang datang dari luar tidak menyurutkan niat masyarakat untuk tetap bertahan menggunakan Bagan Talai Biduak Duo sebagai alat penangkap ikan teri di kawasan Mande dan sekitaranya. Berdasarkan informasi bahwa penangkapan ikan kecil /ikan teri di kawasan Mandeh dan sekitarnya sudah berlangsung dari tahun 1970 an. Seiring dengan perkembangan zaman serta berbagai pengalaman di laut penangkap ikan kecil di kawasan Mandeh terus mengalami perubahan, mulai dari Bagan Tanam, Bagan Balok, Bagan Drum dan yang terakhir Bagan Talai Biduak Duo. Masyarakat nelayan bertahan dengan Bagan Talai Biduak Duo sebagai tumpuhan ekonomi masyarakat nelayan di Nagari Mandeh yang tetap bertahan sampai sekarang. Dalam perkembanganya alat tangkap ikan teri di Nagari Mandeh dari waktu ke waktu mengalami perkembangan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Berikut dinamika perkembangan bagan penangkap ikan teri pada nelayan di laut Mandeh dan sekitarnya: c. Bagan Tanam Bagan tanam disebut juga dengan bagan tancap17 merupakan bagan yang dipasang dengan cara menancapkan bambu ke dasar 17 8 laut empat persegi, tergantung berapa ukuran yang diinginkan biasanya berukuran 8 x 8 meter. Bagan ini tidak dapat dipindah-pindah, sehingga posisi bagan tanam hanya dapat sekali ditanam selama musim penangkapan. Bagan tanam terbuat dari rangkaian atau susunan bambu berbentuk segi empat dengan ukuran 15x15 meter, pada bagian tengah dari bangunan bagan dipasang waring/ alat tangkap yang ukurannya 1 meter lebih kecil dari bangunan bagan. Pada dasarnya bagan ini terdiri dari bambu, waring/ alat tangkap yang berbentuk persegi empat yang dikaitkan pada bingkai yang terbuat dari bambu. Pada keempat sisinya terdapat bambu-bambu yang melintang dan menyilang dengan maksud untuk memperkuat berdirinya bagan di atas bagunan bagan. Pada bagian tengah terdapat bangunan pondok yang berfungsi sebagai tempat istirahat, pelindung lampu dari hujan dan tempat untuk melihat atau memantau ikan masuk ke waring/ alat tangkap. Untuk pengoperasian bagan tanam diperlukan 2-3 orang nelayan yang bertugas memasang dan melepaskan waring/alat tangkap serta mengambil hasil tangkapan Di atas bagunan bagan juga terdapat roller (sejinis pemutar) yang terbuat dari bambu berfungsi untuk menarik tali waring/ alat tangkap. Waring terletak pada bagian bawah bangunan bagan yang dikaitkan pada bingkai bambu yang berbentuk segi empat. Bingkai bambu tersebut dihubungkan dengan tali pada ke empat sisinya yang berfungsi untuk menarik waring/alat tangkap. Pada ke empat sisi waring/alat tangkap diberi pemberat yang berfungsi untuk menenggelamkan waring/ alat tangkap dan memberikan posisi waring yang baik selama dalam air. Masyarakat Nagari Mandeh menyebutnya dengan sebutan “bagan rabun” sebab bagan ini tidak bisa dipindahpindah. Bagan tanam ini hanya bisa dipakai untuk satu kali periode penangkapan, karena setelah dibongkar bambu yang ditancapkan tidak bisa lagi dipakai, bagan ini beroperasi di laut mandeh sekitar tahun 1970 an Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 Operasi penangkapan bagan tanam dilakukan pada malam hari dengan menggunakan cahaya yang berasal dari petromaks dan saat itu belum menggunakan lampu listrik. Transportasi yang digunakan untuk pergi ke bagan tanam para nelayan menggunakan perahu. Pengoperasian bagan dimulai dengan menurunkan atau menenggelamkan waring ke dalam air hingga kedalaman tertentu. Selanjutnya lampu petromaks dinyalakan untuk memikat perhatian ikan agar berkumpul di sekitar bagan. Apabila kelompok ikan kecil telah terkumpul di pusat cahaya, sebagian lampu diangkat atau dimatikan agar kelompok ikan yang terkumpul tidak menyebar kembali. Setelah kelompok ikan terkumpul secara sempurna maka waring/alat tangkap diangkat secara perlahan-lahan. Pada saat waring/alat tangkap mendekati permukaan, kecepatan pengangkatan waring/alat tangkap lebih dipercepat sehingga ikan tidak lari dari dalam waring/alat tangkap. Bagan tanam atau bagan tancap adalah bagan yang pertama kali ada di Nagari Mandeh. Bagan ini diuji cobakan sekitar tahun 1970 an.18 Bagan Tanam ini umurnya tidak berjalan lama sebab hasil tangkapan sangat minim, masyarakat beralasan karena ada bambu atau tiang yang ditanam atau ditancapkan ke laut membuat ikan takut masuk ke dalam waring/alat tangkap. Disamping itu membuat bagan tanam sangat rumit karena harus menancapkan bambu ke dasar laut yang dalamnya bisa mencapai 5-10 meter ke dasar laut. Selain itu bagan tancap hanya bisa dipakai untuk satu kali periode penangkapan, para nelayan kewalahan untuk mengganti tiang bambu yang mudah lapuk 18 oleh air laut yang asin, sehingga masyarakat mencari jalan lain agar mereka bisa bertahan hidup dengan hasil laut. d. Bagan Balok Karena rumitnya membuat bagan tanam dan hasil tangkapan juga tidak memadai, maka masyarakat mulai berfikir bagaimana membuat bagan yang bisa terapung tanpa menancapkan bambu ke dasar laut. Sekitar tahun 1972 an masyarakat Nagari Mandeh mulai mencoba membuat bagan apung yang terbuat dari balok (kayu atau balok besar yang dipotong, balok tersebut diganding dua dengan ukuran 8 x 8 meter). Balok diganding dua dikasih tonggak dengan tinggi lebih kurang 2 meter, di tonggak dikasih bantalan untuk berjalan di atasnya, kemudian dikasih skor-skornya yang terbuat dari kayu dan bambu. Skor ini berfungsi untuk memperkuat badan bagan agar tahan ombak, dan juga untuk tempat pijakan di atas bagan ketika beraktifitas mengangkat waring/alat tangkap dari dasar laut. Pada bagian tengah terdapat bangunan rumah berukuran 2 x 2 meter berfungsi sebagai tempat istirahat, pelindung lampu dari hujan dan tempat untuk melihat atau memantau ikan masuk ke waring/latat tangkap. Transportasi untuk menuju bagan menggunakan sampan yang terbuat dari kayu satu batang. Untuk pengoperasian bagan balok diperlukan 2-3 orang nelayan yang bertugas memasang dan melepaskan waring serta mengambil hasil tangkapan. Salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat nelayan membuat bagan balok, karena kayu masih mudah didapatkan di Menurut informasinya pencetus ide membuat bagan tanam ini adalah Syarif asal Sibolga Medan yang merantau ke Pesisir Selatan akhirnya menikah dengan salah seorang perempaun Nagari Mandeh. Sampai sekarang Syarif dan keluarganya menetap di Kampung Tangah Nagari Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan. Sekarang Syarif sudah berumur lebih kurang 75 tahun, karen faktor kesehatan tim tidak bisa mewawancarainya. 9 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 sekitar hutan Nagari Mandeh.19 Namun dalam perkembangannya lama kelamaan kayu balok tersebut cepat lapuk, karena terus menerus terendam air laut yang asin. Jika kayu balok sudah membenam maka kekuatanya untuk mengapungkan bagan sudah berkurang, sehingga balok harus ditukar dengan kayu yang baru begitu seterusanya. Dengan kondisi yang demikian lama kelamaan masyarakat nelayan berfikir bagaimana hal itu dapat diatasi, sehingga timbul ide untuk menukar kayu balok dengan drum. e. Bagan Drum Seiring dengan perkembangan pola berfikir masyarakat, serta pengalaman melaut, maka masyarakat nelayan menukar bagan apung kayu balok dengan bagan apung drum. Bagan drum tidak jauh berbeda cara pembuatan dan pengoperasianya dengan bagan kayu balok. Drum yang sudah kosong ditutup kembali kemudian disusun memanjang dengan digandeng dua, panjangnya lebih kurang 8 meter berbentuk persegi empat, di atas drum dibuat tonggak untuk meletakan kayu-kayu di atasnya. Di tengah-tengah bangunan bagan terdapat bangunan rumah berukuran 2 x 2 meter yang berfungsi sebagai tempat istirahat para nelayan, pelindung lampu dari hujan dan tempat untuk melihat atau memantau ikan masuk ke waring. Pemasangan lampu petromaks dilakukan di tengah-tengah bagan atau di bawa pondok, sehingga ikan masuk bisa dipantau dari atas pondok. Jenis lampu yang digunakan, baik bagan tanam, bagan balok dan bagan drum masih menggunakan 19 10 lampu petromaks (menghidupkannya pakai minyak tanah dengan cara dipompa) jumlah lampu antara 10-15 buah. Dalam perkembangannya bagan drum juga tidak bertahan lama, mengingat drum yang terbuat dari besi dengan sendirinya akan cepat berkarat jika terus menerus terendam di dalam air asin. Pengakuan para nelayan jika drum sudah berkarat tidak bisa dibersihkan, jika dibersihkan maka drum tersebut akan bocor, jika ada drum yang bocor mau tidak mau harus diganti. Kondisi yang demikian membuat para nelayan mengalami kesulitan untuk mendapatkan drum, karena semua nelayan membutuhkan drum yang banyak, disamping itu harga drum juga menjadi mahal. Bagan balok dan bagan drum dapat dipindah-pindah dengan cara didorong pakai mesin robin. Fungsi mesin robin disamping untuk transportasi pulang pergi ke lokasi bagan dan juga digunakan untuk mendorong bagan jika ingin memindahkannya ke tempat lain jika di lokasi tersebut sudah tidak ada lagi ikannya. Bagan Biduak Duo Sebelum timbul ide untuk membuat Bagan Biduak Duo masyarakat nelayan Mandeh pernah mencoba Pincalang yang dijadikan untuk pengapung bagan. Pincalang pada saat itu digunakan oleh para saudagar kayu untuk mengangkut kayu dan barang ke Padang. Pada awalnya Pincalang hanya satu buah dipasang untuk dijadikan bagan, kemudian lama-kelamaan dikembar dua kan. Pincalang ini cukup lama bertahan dijadikan nelayan Mandeh sebagai biduak untuk f. Konon menurut ceritanya wilayah Mandeh sejak abad ke 19 M sudah menjadi lokasi pengambilan kayu oleh penduduk yang berasal dari Sibulga, Mukomuko, dan Bengkulu, sehingga Belanda mengirim utusan ke daerah mandeh untuk mengambil upeti bagi yang mengambil kayu. Belanda memerintahkan pada Taunku Tarusan untuk mengutus salah seorang untuk memungut upeti, untuk mengemban tugas tersebut diutuslah salah seorang yang bernama Saleh bergelar Pandekar Sombong. Menurut masyarakat sekitar, Pendekar Sombong memiliki kesaktian yang tinggi, sehingga para pengambil kayu tidak dapat berbuat banyak dan terpaksa memberikan upeti yang diminta oleh Pendekar Sombong. Sekitar tahun 1970 an hutan di sekitar Nagari Mandeh masih banyak dijumpai pohonpohon besar yang dapat digunakan untuk membuat bagan balok. Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 bagan. Lama-kelamaan masyarakat nelayan Mandeh terus berfikir bagaimana membuat biduk yang pas untuk bagan di laut Mandeh yang ke dalamanya antara 10-15 meter. Sekitar tahun 1987 an, para nelayan mencoba membuat biduak, dan biduak tersebut dikembarkan duakan, masyarakat Mandeh menyebutnya dengan biduak duo, sampai sekarang disebut dengan Bagan Talai Biduak Duo . Bagan Talai Biduak Duo adalah bagan yang dibuat di atas dua buah biduak yang bergandengan. Pada awalnya Bagan Talai Biduak Duo dibuat badan biduknya lebih lebar dan bertingkat dua, setelah dioperasikan ternyata tidak tahan ombak, walaupun ia tetap digandingkan dua. Berikut penuturan salah seorang tukang biduak yang telah menjalankan profesinya selama 25 tahun di Nagari Mandeh: “Ilmu membuat biduak itu didapatkan berdasarkan pengalaman sebelumnya, pernah biduak itu badanya sedikit gemuk dan lebar. Setelah dibawa ke laut ternyata ia tidak tahan ombak, kemudian jika hari hujan air banyak masuk ke dalamnya. Berdasarkan pengalaman tersebut timbul ide untuk membuat biduak yang seperti sekarang yang bodinya lebih lancip ke bawa, disamping tahan ombak, jika hari hujan air tidak banyak masuk ke dalam biduak.20 Bagan Talai Biduk Duo walaupun tidak mempunyai mesin untuk berpindah, namun ia bisa dipindah-pindahkan jika ditempat tersebut tidak lagi ada ikannya. Untuk memindahkan Bagan Talai Biduak Duo dengan memakai mesin robin dengan cara ditunda posisi boat di belakang bagan. Pemindahan bagan dilakukan jika ikan sudah tidak ada lagi atau untuk membawa bagan ke Muara Mandeh untuk pembersihan, biasanya hal itu dilakukan 6 bulan sekali. Pembersihan bagan dilakukan pada musim lagi sepi tangkapan. Suatu hal yang menarik pada nelayan Mandeh adalah bahwa Bagan Talai Biduak Duo itu hanya diproduksi oleh masyarakat Mandeh. Begitu juga dalam penggunaannya ke laut, hanya digunakan oleh para nelayan Mandeh dan dioperasikan juga di sekitar laut Mandeh dan Sungai Nayalo. Dalam pengoperasian ke laut Bagan Talai Biduak Duo memerlukan tenaga 2-3 orang, berangkat jam 5 sore pulang jam 6 pagi. Peralatan dan perlengkapan untuk sebuah bagan siap ke laut adalah: Waring (alat tangkap), Gingset, Lampu neon 6 buah 45 wod, Tungku Perebus 1 buah, Gas, Soder (kompor gas), Keranjang 5 kodi, Transpor PP untuk ke bagan (biasanya menggunakan perahu atau boat), Sawuh bagan (terbuat dari besi), bekal ke laut (bensin, garam, gas, nasi, air kopi dan rokok). 21 Proses Pembuatan a. Bahan Baku dan Modal Bahan baku utama dalam membuat Bagan Talai Biduak Duo adalah kayu, kayu yang tidak mudah pecah, kedap air dan daya susutnya relatif kecil. Pemilihan bahan baku bisa dilakukan berdasarkan pengalaman. Ketersediaan jenis-jenis kayu tertentu dengan jumlah memadai dan ukuran yang sesuai. Secara umum pertimbangan dalam memilih kayu adalah: kekuatan, ketahanan terhadap pelapukan dan ketersediaan sesuai dengan kualitas, kuantitas degan ukuran yang 20 Wawancara dengan Sofianadi, tanggal 27 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh 21 Wawancara dengan Syamsuarman, tanggal 27 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh 11 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 dibutuhkan. Bagan Talai Biduak Duo harus dibuat dengan kuat dapat menahan bagianbagiannya terhadap tekanan yang dialaminya di laut. Bagian-bagian tertentu harus dibuat dari material yang tahan lama dibawah kondisi yang sangat mudah diserang jamur. Jenis kayu yang yang dipakai untuk pembuatan Bagan Talai Biduak Duo antara lain adalah: kayu mandi rawan, rasak dama, merantih, banio bayu maratiah, marantieh bayuah, banio dan kayu balam. Sebelum tahun 1990 an kayu untuk membuat bagan masih mudah didapat di hutan sekitar Nagari Mandeh, namun sekarang kayu sudah agak sulit didapatkan. Berikut penuturan salah seorang tukang biduak: “Sebaiknya pemerintah tidak melarang masyarakat mengembil kayu di sekitar hutan Mandeh, yang penting jangan untuk dijual tapi diambil untuk sekedar yang diperlukan. Masyarakat Mandeh juga tidak mengambil kayu di hutan lindung. Kalau pemerintah melarang mengambil kayu untuk dipakai, maka ekonomi masyarakat Nagari Mandeh akan lumpuh. Yang mengambil kayu disekitar hutan Nagari Mandeh adalah masyarakat Nagari Mandeh sendiri tidak ada orang luar, disamping itu tempat mengambil kayu tidak di kawasan hutan lindung”.22 Walaupun pemerintah tidak melarang masyarakat untuk mengambil kayu kalau sekedar untuk dipakai, namun saat sekarang kayu sudah mulai susah didapatkan. Berdasarkan pengakuan dari para tukang biduak mencari kayu sudah jauh di balik hutan lindung di Nagari Mandeh namanya Karang Tabaka, jika berjalan ke daerah tersebut memakan waktu 3-5 jam baru sampai ke tempat mengambil kayu tersebut. Kayu-kayu yang berkualitas bagus seperti banio bayu maratiah, marantieh bayuah atau banio untuk mendapatkannya tidak mudah, disamping itu harganya sangat mahal, sehingga para nelayan tidak sanggup untuk membeli kayu yang berkualitas baik. Para nelayan hanya menggunakan kayu jenis balam untuk membuat Biduak Duo. Harga Jenis kayu balam mencapai Rp. 2.500.000/ m³. Kayu balam juga tidak kalah kualitasnya dari kayu merantiah atau banio.23 Masyarakat nelayan mandeh mencari kayu untuk dipakai sendiri tidak terlalu mengalami kesulitan, jika untuk dibawa keluar dari Nagari Mandeh pemerintah melarang, artinya kalau kayu sudah dibawah keluar dari Nagari Mandeh berarti kayu untuk dujual. Menurut pengakuan para nelayan selagi untuk dipakai mengambil kayu tidak ada masalah, jika masyarakat kedapatan mengambil kayu oleh petugas kehutanan, ia akan katakan “ini hanya untuk dipakai” akhirnya petugas kehutanan dapat memahami. Kalau kayu untuk dibawa keluar dari Nagari Mandeh harus ada surat izinnya, namun itu jarang terjadi sebab masyarakat Mandeh mengambil kayu hanya untuk dipakai sendiri. Berbagai cara pengadaan bahan baku kayu bagi nelayan untuk membuat Biduk Duo. Ada para nelayan mengumpulkan kayu sedikit demi sedikit dari tahun ke tahun. Ketika kayu sudah cukup, nelayan tinggal mencarikan upah tukang, upah untuk 1 biduak antara Rp. 2.500.000- Rp. 3.000.000/ biduak. Kemudian ada juga para nelayan memesan biduak sama tukang secara langsung, semua bahan tukang yang menyediakan. Biasanya tukang mematok harga untuk dua buah 22 Wawancara dengan Jasril RB, tanggal 27 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh 23 Wawancara dengan Syamsuarman, tanggal 26 Maret 2017 di kampung Tangah Nagari Mandeh 12 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 biduak antara Rp. 45-50 juta. Cara yang ketiga adalah nelayan memesan langsung kayu sama tukang sinso, kemudian dicari tukang untuk membuat biduak, hal ini biasanya dilakukan oleh nelayan yang punya cukup modal. Untuk membuat satu buah Biduak Duo dibutuhkan kayu sebanyak 4 m³, dua buah biduak 8 m³ ditambah kayu untuk bagan atau pelanta 4 m³, jumlah kayu untuk dua buah biduak dan bagan adalah 9 m³. b. Keistimewaan nelayan Mandeh adalah ia tidak dimodali oleh orang lain dalam membuat biduak dan bagan, tapi pakai modal sendiri. Namaun setelah biduak dan bagan dioperasikan ke laut, biaya untuk perawatan selanjutnya bisa diminta sama orang gudang (orang gudang adalah sebutan untuk para agen ikan teri atau bada di Padang). Para nelayan menjual hasil tangkapan melalui orang gudang di Padang, orang gudang hanya mengambil komisi dari hasil penjualan, menjaga kepercayaan orang gudang sangat penting bagi mereka. Peralatan yang digunakan dalam memmbuat Bagan Talai Biduak Duo, tidak jauh berbeda dahulu dengan sekarang. Sebagian peralatan yang digunakan telah disesuaikan dengan kemajuan pola fikir manusia dan perkembangan zaman. Ketam misalnya dahulu pakai ketam tangan (didorong pakai tangan), sekarang sudah memakai ketam mesin, ketam tangan digerakan pakai tengan manusia, sementara ketam mesin digerakan dengan daya listrik. Begitu juga dalam hal membelah kayu zaman dahulu memakai arik disebut mengarik kayu25 (membelah kayu), sekarang memotong dan membelah kayu sudah pakai mesin sinso (mesin sinso ada yang kecil dan ada yang besar). Para nelayan lebih senang mengadukan nasibnya sama orang gudang, yang penting hasil tangkapan di dipercayakan sama orang gudang untuk menjualnya. Para nelayan juga mengaku walaupun mereka berhutang sama orang gudang, namun orang gudang tidak pernah merendahkan harga penjualan hasil tangkapan bila dibandingkan dengan orang yang tidak punya hutang, yang penting bagi mereka adalah saling caya mempercayai. Rata-rata nelayan di Nagari Mandeh mereka tidak meminjam uang atau berurusan dengan bank, sebab menurut mereka meminjam di bank disamping persayaratanya rumit prosesnyapun panjang.24 Peralatan Peralatan yang digunakan dalam membuat Bagan Talai Biduak Duo sangat sederhana sekali, peralatan tersebut adalah: Masin Ketam, Mesin Sinso ukuran kecil, Bor, Kapak, Gergaji, Palu (Panokok), Timbangan Air/ waterpas, Pahat, Slang Air, Pres Panjang (untuk merapatkan papan), Pres Pendek (untuk memegang kayu), Batu Gerinda, dan Siku-siku Begitu juga untuk melobangi kayu menggunakan bor yang diputar pakai tangan, memutar bor dengan tangan menguras tenaga yang banyak, sebab bor baru bisa berbutar ketika ditekan kebawah sehingga memerlukan tenaga yang kauat. Sekarang memutar bor pakai mesin dan kerjanya juga cepat. Pada masa dahulu untuk merapatkan kayu atau membengkokanya digunakan pres yang terbuat dari kayu dan talinya yang terbuat dari tali ijuk, tali yang dikembar 24 Wawancara dengan Mardion, tanggal 26 Maret 2017 di Kampung Baru Nagari Mandeh 25 Mengarik Kayu adalah membelah atau memotong kayu pakai arik, pada zaman dahulu orang maarik kayu dilakukan di dalam rimba, sekurangnya pakai tenaga manusia dua orang dngan cara ditinggikan tempatnya, kemudian satu orang di atas menarik arik dan satu orang lagi dibawah dengan cara bergantian. Cara kerja yang seperti itu memakan waktu yang cukup lama, sehingga mengarik kayu untuk membuat bagan memakan waktu 1-3 bulan lamanya, semenjak adanya mesin senso cara membela kayu dengan mengarik ini sudah lama ditinggalkan masyarakat. 13 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 duakan lalu diikatkan pada papan atau kayu yang akan dirapatkan. Pres yang terbuat dari kayu tersebut dimasukan ke dalam tali yang dikembarkan, lalu diputar dengan tangan, jika sudah lama diputar tali akan semangkin tegang, dengan sendirinya papan atau kayu yang akan dirapatkan akan bergerak dan merapat sesuai dengan yang kita butuhkan. Sekarang pres yang terbuat dari kayu dengan menggunakan tali ijuk sudah tidak adalagi, pres sudah terbuat dari besi tampa menggunakan tali dan sudah dirancang sedemikian rupa dan banyak dijual di tokoh bangunan. Dengan kemajuan teknologi yang diciptakan manusia membuat pekerjaan cepat selesai. Dahulu membuat Bagan Talai Biduak Duo memakan waktu lebih kurang tiga bulan atau empat bulan bahkan ada yang lima bulan. Kalau sekarang dengan tenaga dua orang satu orang tukang satu pembantu lebih kurang 15 hari sudah siap satu buah biduak. Begitu juga dengan bahan tali, dahulu orang memakai tali terbuat dari ijuk bahkan ada yang terbuat dari semilu (pohon aur yang diambil semilunya atau kulit bagian luarnya dikikis halus dan tipis), semilu atau kulit pohon aur dipilin untuk dijadikan tali, sekarang orang sudah memakai tali belati yang terbuat dari bahan nilon warna putih. Tali digunakan untuk menutupi lobang diantara papan-papan atau dinding biduak. Selanjutnya biduak dipalut dengan menggunakan getak damar, sehingga air tidak mudah masuk ke dalam biduak. Begitu juga paku kalau dahulu orang memakai paku hitam sekarang memakai paku warna putih berdasarkan pengalaman para tukang biduak, paku warnah putih lebih kuat dari paku warna hitam.26 26 14 c. Tukang dan Upah Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Bagan Talai Biduak Duo hanya ada di Nagari Mandeh, beroperasinya juga di kawasan laut Mandeh, Sungai Nyalo dan sekitarnya. Bagan Talai Biduak Duo tidak bisa dibawah ke laut lepas atau keluar dari kawasan laut Mandeh. Salah satu yang menyebabkan Bagan Talai Biduak Duo beroperasi di laut Mandeh karena lautnya yang tenang, tidak berombak, menyebabkan ikan pelapis kecil/ikan teri suka berdiam dan bertelur dikawasan laut Mandeh. Bagan Talai Biduak Duo semangkin hari semangkin bertambah jumlahnya. Begitu juga tukang Bagan Talai Biduak Duo hanya ada di Nagari Mandeh. Berdasarkan pengakuan dari tukang biduak di Nagari Mandeh tukang yang bisa membuat Bagan Talai Biduak Duo semangkin bertambah jumlahnya, karena membuat Bagan Talai Biduak Duo sangat simpel dan mudah semua tukang bisa mengerjakannya. Selain itu kebanyakan nelayan di Nagari Mandeh disamping ia bertukang biduak ia juga ikut melaut, bisanya mereka melaut dengan anaknya atau dengan tetangganya. Berangkat sore jam 5 pulang pada pukul 7 pagi, istitarat beberapa jam selanjutnya ia melanjutkan pekerjaan membuat biduak atau bagan. Bagi mereka melaut tidak bisa ditinggalkan, karena hasil dari pekerjaan bertukang tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga mereka, pekerjaan bertukang juga tidak tetap kadang ada pesanan kadang tidak. Selain itu pekerjaan bertukang tidak dilakukan setiap hari, mengerjakanya tergantung kesiapan bahan bagi yang punya biduak, kecoali semua bahan telah tersedia, ketika bahan tidak ada tukang akan pergi kekebun, kesawah, melaut atau mencari pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang, ketika bahan ada ia kembali mengerjakan biduak. Wawancara dengan Mardion, tanggal 28 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 Upah borongan untuk satu buah biduak, sebanyak Rp. 2.500.000-Rp. 3.000.000/ biduak. Pembantu tukang biasanya di gaji harian oleh tukang, upah/ hari sama dengan upah pembantu tukang lainya yaitu Rp. 100.000/hari, sementara rokok dibeli oleh kepala tukang, minum dan snek ditanggung oleh orang yang punya biduk, biasanya snek 2 x sehari snek pagi dan siang. Mengerjakan biduak, baik biduak orang lain maupun biduak sendiri mengerjakannya tidak setiap hari, tergantung ada tidaknya bahan yang akan dikerjakan. Ketika bahan terputus tukang bersama pembantunya mencari pekerjaan lain, karena penghasilan dari bertukang tidak bisa dipastikan. Para informan mengaku bahwa kebanyakan tukang di Nagari Mandeh membuat biduak pada awalnya adalah untuk dipakai sendiri. Setelah biduak siap, kemudian baru ada penawaran dari orang lain, jika harganya cocok maka tukang akan menjual biduak tersebut. Tukang mengerjakan biduak juga tidak terus menerus, ketika bahan terputus ia berhenti berkerja, untuk mengisi waktu luang tukang akan mencari pekerjaan lain. Berkaitan dengan tukang dan ketersediaan bahan ini berikut penuturan salah seorang tukang: “Para nelayan di Nagari Mandeh ada juga yang bertahun-tahun mengumpulkan kayu untuk biduak, artinya dapat uang sedikit dibeli kayu, kemudian beberapa bulan lagi dapat lagi uang dibeli lagi kayu. Jika kayu sudah terkumpul banyak, kemudian baru dimulai mengerjakannya. Nelayan Mandeh jarang yang ngupah untuk membuat biduak duo sebab kayu itu tidak sekaligus dibeli tapi tergantung keuangan. Artinya jika sudah ada sisa uang dari kebutuhan rumah tangga baru beli bahan kayu untuk biduak”.27 Membuat atau mengerjakan Bagan Talai Biduak Duo sangat simpel dan mudah. Untuk Bagan Talai Biduak Duo sampai siap dioperasikan ke laut mengerjakannya melalui tiga tahap. Tahap pertama membuat Biduak Duo, tahap ke dua Palut Lerang dan tahap ke tiga merakit bagan di atas Biduak Duo.28 Menurut para tukang membuat Biduak Duo tidak sulit, dan untuk mengerjakannya cukup dua orang, satu orang tukang satu orang pembantu tukang. Jika mengerjakannya kedua-duanya tukang, maka hasilnya akan beda dengan satu orang tukang dengan satu orang pembantu. Jika tenaga tukang yang mengerjakan keduanya, maka kerja bisa dibagi-bagi karena keduanya sudah saling paham apa yang harus dikerjakan dan saling mengerti dengan pekerjaannya masingmasing. Bisanya mengerjakan untuk satu buah biduak hanya memakan waktu 15 hari. Jika memakai tenaga pembantu apa yang akan dikerjakan oleh pembantu tukang yang mengatur, tukang akan memberikan pekerjaan kepada pembantunya pekerjaan yang bisa ia kerjakan. Pekerjaan yang diberikan adalah pekerjaan yangt agak kasar umpamanya memotong kayu, memaku, menggaragaji atau mengangkat-angkat kayu. Artinya tukang memberikan pekerjaan kepada pembantunya adalah pekerjaan yang kasar, sementara pekerjaan halus yang membutuhkan ketelitian tetap tukang yang mengerjakan. Beberapa tukang biduak yang berjaya antara tahun 1980 an - tahun 2001 di Nagari Mandeh antara lain adalah Buya Jaksan, Kutar, Aji, Ezan, Muis, Zainudin dan Jumadin. Semua tukang bagan tersebut 27 Wawancara dengan Syamsuarman, tanggal 29 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh 28 Wawancara dengan Mardion, tanggal 27 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh 15 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 sudah meninggal dunia, sementara agen kayu yang cukup terkenal di Nagari Mandeh dahulunya adalah Taher. Tukang yang masih aktif sampai sekarang antara lain adalah Syamsuarman, Iben, Jendra, Adi, Ono, Gindo, In, Satri, Piri, Cinde, Mendek, Berol, Pian, Arpen, Mardion, Pakiah, Ijun dan Indra W.29 Penutup Bagan Talai Biduak Duo adalah bagan yang dibuat oleh orang Nagari Mandeh. Bahan untuk membuat biduak berupa kayu bernio, merantih dan balam kayu tersebut didapatkan di sekitar hutan Mandeh. Di Nagari Mandeh banyak terdapat tempattempat membuat biduak duo, yang mengambil lokasi di sepanjang Muara Sungai Nagari Mandeh. Lokasi ini sangat strategis untuk membuat biduak duo dan merakit bagan, kerena lokasinya terlindung dari angin dan ombak besar. Para tukang bagan biduak duo di Nagari Mandeh juga ikut melaut, hal itu dilakukan ketika pekerjaan membuat bagan sedang sepi. Tradisi membuat Bagan Talai Biduak Duo masih diwarisi dari generasi ke generasi, walaupun dalam perkembangn Bagan Talai Biduak Duo tidak mengalami inovasi yang berarti. Para tukang bagan mendidik generasi muda bagaimana cara membuat Bagan Talai Biduak Duo. Para tukang bagan bukan saja mengajari membuat Bagan Talai Buduak Duo, akan tetapi juga mengajarkan bagaimana cara memilih kayu yang baik untuk dibuat biduak. Begitu juga pengetahuan lokal masyarakat dalam hal mengolah kayu masih dipelihara dengan baik. Bagan Talai Biduak Duo masih bertahan di tengah-tengah gelombang arus gencarnya promosi pariwisata di kawasan 29 16 Mandeh. Bagan Talai Biduak Duo sudah merupakan alat mata pencaharian pokok bagi masyarakat nelayan dalam menangkap ikan teri di kawasan laut Mandeh dan Sungai Nyalo. Ketika musim sepi hasil tangkapan mereka mencari pekerjaan lain seperti ke ladang/ kebun, sawah atau kerja bertukang bagan, karena sebagian besar tukang bagan di Nagari Mandeh juga ikut melaut. Saran/ Rekomendasi Sebaiknya Bagan Talai Biduak Duo di Nagari Mandeh, bisa dipertahankan karena Bagan Talai Biduak Duo dibuat sendiri oleh para nelayan dan bahan baku kayu juga tersedia di Nagari Mandeh. Diharapkan pada pemerintah setempat dan instansi terkait agar melakukan pembinaan terhadap para nelayan Bagan Talai Biduak Duo di Nagari Mandeh. Antara lain adalah dengan memberikan modal bagi para nelayan yang masih membutuhkan, dan juga mengadakan pelatihan bertukang pembuatan Bagan Talai Biduak Duo kepada generasi muda, sehingga melahirkan tukang yang inofatif dan kreatif dalam membuat Bagan Talai Biduak Duo. Dengan demikian keberadaan Bagan Talai Biduak Duo di Nagari Mandeh dapat dipertahankan. Daftar Pustaka Buku Andriati, Retno. 2000. Buku Ajar “ Antropologi Maritim”. Surabaya: PT. Revka Petra Media. Asnan, Gusti. 2007 “Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera”. Jokjakarta: Ombak. Budi Utomo, Bambang. 2016. “Warisan Bahari Indonesia”, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Wawancara dengan Syamsuarman, tanggal 29 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 Gottschlk, Lois. 1995. “Mengerti Sejarah. Terjemahan Nogroho Notosusuanto”. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Imadudin, Iim dan kawan-kawan, 2004. “Indrapura Kerajaan Maritim dan Kota Pantai di Pesisir Selatan Pantai Barat Sumatera”. Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Padang Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang. Lasibani, SM. 2010. “Bahan Ajar Rancang Bangun Kapal Perikanan”. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta Padang. Nagazumi, Akira, (ed).1986. “Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang, Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia” Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Notosusanto, Nugroho. 1978. “Masalah Penelitian Sejarah Kontnporer”. Jakarta: Yayasan Indyu. Nur, Mhd. 2015. “Bandar Sibolga di Pantai Barat Sumatera Pada Abad ke 19 Sampai Pertengahan Abad ke 20”. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang. Rudito, Bambang, (ed), 1993 “Adaptasi Sosial Budaya dalam Masyarakat Minangkabau”. Padang: Pusat Penelitian Universitas Andalas Tangke, U. 2009. “Evaluasi dan Disain Kapal Pole And Line di Pelabuhan Dufa Provinsi Maluku Utara”. Zed, Mestika. 1998 “Apakah Berpikir Sejarah?” . Handout IS. Makalah, Skripsi, Jurnal dan Laporan A. Winanda. “Rancang Bangun Perahu Payang Tanpa Cadik Desa Muaro Jambu Nagari Punggasan Kecamatan Linggo Saribaganti Pesisir Selatan Sumatera Barat”. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta, Padang 2007. Effendi. “Pengaruh Penggunaan Rumpon pada Bagan Apung Terhadap Hasil Tangkapan”. Skripsi. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.2002. Laporan Lapangan peserta Arung Sejarah Bahari Sumatera Barat 20116. Kegiatan Arung Sejarah Bahari Sumatera Barat Padang-Pesisir Selatan dengan tema “Melacak Peradaban Maritim di Bandar X Pesisir Selatan Sumatera Barat Untuk Menatap ke Masa depan”. Tim Arung Sejarah Bahari Sumatera Barat 2016 Mhd. Nur “Bandar X Pada Masa Lampau dan Prospek Kawasan Mandeh Teluk Carocok Sebagai Destinasi Wisata Nasional di Pulau Sumatera”. Makalah disampaikan dalam rangka pembekalan peserta Arung Sejarah Bahari Sumatera Barat 2016, tanggal 15 Mei 2016 di BPNB Sumatera Barat. Oktoufan, M dkk.. “Analisa Teknis dan Ekonomis Produksi Kapal Penanmpung Ikan di Daerah Sulawesi Utara”. Jurnal Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.2013. Rinaldi Ekaputra “Hubungan Pantai Barat Dengan Daerah Pedalaman”. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Tentang Diunia Pantai Barat Sumatera Dalam Persfektif Sejarah yang diselenggarakan oleh BKSNT Padang, tanggal 20 Mei 20013 di Padang. 17 Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018 Syahrul Amar “Asal Usul dan Keahlian Pembuatan Perahu Pinisi di Tanah Lemo Bulukumba (Tinjauan dalam Berbagai Versi)” Dalam Jurnal Educatio, Vol. 8 No. 2, Desember 2013. Yuspardianto “Bahan Pembuatan Kapal Kayu”. Karya Ilmiah, Fakultas Perikanan Univesitas Bung Hatta : Padang 2003. 18