Uploaded by User90889

69-221-1-SM(1)

advertisement
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
BAGAN TALAI BIDUAK DUO
DI NAGARI MANDEH KABUPATEN PESISIR SELATAN
PROVINSI SUMATERA BARAT 1970-2015
Ajisman
Abstract
The study of Bagan Talai Biduak Duo aims to reveal and explain the existence of Bagai
Talai Biduak Duo in Mandeh region. The method used in this study is historical method; it
is the method that explains a problem based on historical perspective. The results show that
Bagan Talai Biduak Duo is created by the community in Mandeh region. Many places for
making the Bagan Talai Biduak Duo are found throughout the Mandeh River Estuary. The
tradition of making Bagai Talai Biduak Duo is still inherited from generation to generation;
even the development is not significant enough. Bagan Talai Biduak Duo has become
the main livelihood for fishing communities on anchovies fishing in Mandeh, Nyalo and
surrounding areas. There are not less than 65 pieces of Bagan Talai Biduak Duo operates in
fishing the anchovies. Bagan Talai Biduak Duo still survives in the middle of the incessant
wave of tourism promotion in the Mandeh region.
Keywords: Bagan Talai Biduak Duo, Mandeh Region, South Pesisir Regency
Pendahuluan
Secara geografis Nagari Mandeh terletak
di pinggir Teluk Carocok Kecamatan Koto
XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Luas
Nagari Mandeh ± 6.600 km² dengan jumlah
penduduk ± 1.442 jiwa. Sebagian besar ±
70 % penduduknya bermata pencaharian
sebagai nelayan dan 30 % bergerak dibidang
lain seperti petani dan peternak. Dengan
keadaan geografisnya yang dikelilingi oleh
perbukitan, pulau-pulau kecil dan lokasi
yang langsung menghadap dengan Samudera
Hindia sehingga membuat kawasan Mandeh
kaya akan hasil alam.
1
Masyarakat Nagari Mandeh yang
bermata pencaharian sebagai nelayan sudah
mereka jalankan secara turun temurun.
Secara umum kegiatan masyarakat nelayan
di Nagari Mandeh tidak jauh berbeda dengan
masyarakat lainya. Mereka menghabiskan
waktu sepanjang hari di laut dan mengelola
hasil-hasil laut. Nelayan Nagari Mandeh
sudah mendirikan “Perkumpulan Nelayan”.
Perkumpulan nelayan, setiap tahunnya juga
mengadakan upacara Tolak Bala. Tolak
Bala adalah sebuah upacara adat atau ritual
sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang telah
melimpahkan rezki dan keselamatan bagi
para nelayan.1
Wawancara dengan Jasril RB, tanggal 3 Maret 2017 di Nagari Mandeh
1
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
Tidak diketahui secara pasti sejak
kapan masyarakat Nagari Mandeh mulai
melaut, pekerjaan ini sudah diwarisi
dari generasi ke generasi oleh sebagian
masyarakatnya. Profesi sebagai nelayan
sangat memungkinkan di kawasan Mandeh
mengingat perairan di kawasan laut Mandeh
cukup tenang, dan tidak berombak, karena
di sekitarnya terdapat beberapa buah pulau
yang mengitarinya, yaitu: Pulau Taraju,
Pulau Setan Kecil, Pulau Sirojong Besar,
Pulau Sirojong Kecil dan Pulau Cubadak.
Uniknya di Nagari Mandeh mereka
membuat bagan sendiri untuk melaut,
masyarakat Nagari Mandeh menyebutnya
dengan Bagan Talai Biduak Duo.2 Bagan
Talai Biduak Duo yang telah dioperasikan
oleh para nelayan di sekitar laut Mandeh
sudah berjumlah lebih kurang 65 buah.
Bagan-Bagan Talai Biduak Duo tersebut
tersebuar di kawasan laut Mandeh, Sungai
Nyalo dan sekitarnya.3
Pembuatan Bagan Talai Biduak Duo
di Nagari Mandeh diperkirakan sudah
berlangsung cukup lama, hal ini sangat
memungkinkan karena bahan baku kayu
untuk membuat biduak banyak ditemukan di
kawasan ini. Keterampilan membuat Bagan
Talai Buduak Duo yang diwarisi secara turun
temurun ini, tidak terlepas dari masyarakat
Mandeh yang berasal dari berbagai daerah
seperti Sungai Pagu, Sibolga dan Mukomuko.
Diperkirakan para pendatang dari berbagai
daerah tersebut mempelajari membuat bagan
dari daerah lain. Disamping itu mereka
juga dapat mencontoh dari kapal-kapal
atau bagan-bagan yang pernah berlabuh di
kawasan Mandeh.
Tradisi melaut dan pembuatan Bagan
Talai Biduak Duo yang telah menjadi warisan
budaya sejak masa lampau di Nagari Mandeh
tidak kalah uniknya dari daerah pesisir
lainya. Disamping mereka melaut ia juga
membuat kapal bagan sendiri. Kapal Bagan
buatan Nagari Mandeh banyak dipesan oleh
para nelayan baik untuk dipakai oleh nelayan
di Nagari Mandeh sendiri maupun oleh
para nelayan di daerah lain seperti Carocok
Tarusan dan sekitarnya.
Seiring dengan pengembangan kawasan
Mandeh sebagai objek wisata, para pengrajin
kapal memproduksi kapal yang dirancang
untuk menunjang kegiatan pariwisata
di kawasan Mandeh, disamping mereka
memproduksi kapal yang digunakan untuk
transportasi mencari ikan di laut. Memahami
pentingnya kajian masyarakat pesisir sebagai
salah satu kajian sejarah maritim dan masih
sedikitnya tulisan yang membahas tentang
itu, maka kajian ini berjudul “Bagan Talai
Biduak Duo” di Nagari Mandeh Kabupaten
Pesisir Selatan.
2
“Talai” adalah bahasa Minangkabau dari kata “Tahanlai”. Menurut ceritanya penyebutan Bagan “Talai” Biduak
Duo dimulai tahun 1970 an. Dimana ketika itu para nelayan Nagari Mandeh mengalami kesulitan untuk mencari ikan
di laut sekitar Mandeh. Seperti yang diungkapkan oleh Jasril. RB (Wali Nagari Mandeh) “ ala katangah, kamudieak,
ka hilieh dan katapi indak jo ado ikan. Salah seorang diantaronyo mangecek “kamaa awaklai ka mancari ikan,
ala hilang aka awak ma, awak tahan se lalai baganko”(Sudah ke tengah, sudah ke mudik, ke hilir dan ketepi tidak
juga ada ikan. Salah seorang diantaranya berkata “kemana kita lagi mencari ikan, sudah kehilangan akal kita ini,
kita tahan saja lagi bagan ini disini”). Karena sudah kehilangan akan mencari ikan akhirnya bagan tersebut mereka
tahan saja di kawasan laut Mandeh, setelah beberapa lamanya kapal bagan yang ditahan tersebut diangkat jaringnya
ternyata isinya dipenuhi oleh ikan-ikan kecil atau ikan teri. Maka semenjak itulah bagan yang beroperasi di kawasan
laut Mandeh dinamakan “Bagan Talai Biduak Duo” (Wawancara dengan Jasril. RB, tanggal 2 Maret 2017 di Nagari
Mandeh)
3
Wawancara dengan Jasril RB, tanggal 2 Maret 2017 di Nagari Mandeh
2
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
Metode Penelitian dan Bahan Sumber
Meneliti dan mengkaji sejarah Bagan
Talai Biduak Duo di Nagari Mandeh
merupakan bentuk penelitian sejarah, maka
metode yang digunakan adalah metode
sejarah. Peristiwa sejarah diteliti dengan
menggunakan metode dasar (basic method)
sejarah yang biasa disebut penelitian bahan
dokumen4 atau metode sejarah, yaitu berupa
prosedur kerja yang terdiri dari empat tahap.
Pertama, heuristic (mencari dan menemukan
data). Kedua, kritik sumber, menilai otentik
atau tidaknya sesuatu sumber dan seberapa
jauh kredibilitas sumber itu. Ketiga, sintesis
dari fakta yang diperoleh melalui kritik
sumber atau disebut juga kredibilitas sumber
itu dan keempat, penyajian hasilnya dalam
bentuk tulisan.5
Dalam mencari dan mengumpulkan
data atau sumber-sumber dilakukan melalui
3 bentuk, yaitu: Studi Pustaka: Studi
kepustakaan dilakukan di perpustakaan
BPNB Sumatera Barat, Perpustakaan
Universitas Andalas Padang, Perpustakaan
Universitas Negeri Padang, Perpustakaan
Universitas Bung Hatta Padang Perpustakaan
Daerah Sumatera Barat dan Perpustakaan
Kantor Departemen Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Pesisir Selatan. Wawancara:
Untuk menutupi kekurangan dan keterbatasan
sumber dan bahan tertulis tentang Bagan
Talai Biduak Duo di Nagari Mandeh, maka
digunakan sumber wawancara. Wawancara
dilakukan terhadap para nelayan dan
pengrajin atau tukang pembuat Bagan Talai
4
5
6
7
Biduak Duo di Nagari Mandeh, dan tokoh
masyarakat Mandeh. Observasi Lapangan:
Observasi lapangan dengan mengunjungi
dan mengamati para pekerja Bagan
Talai Biduak Duo di Nagari Mandeh dan
mendokumentasikannya.
Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai dunia maritim
sudah banyak dilakukan oleh para peneliti.
Namun kajian tentang Bagan Talai Biduak
Duo di Nagari Mande Kabupaten Pesisir
Selatan sejauh yang diketahui belum ada
yang melakukannya. Dari beberapa sumber
yang menyinggung masalah tersebut yakni
karya Mhd. Nur (2015) “Bandar Sibolga”
di Pantai Barat Sumatera Pada Abad ke 19
Sampai Pertengahan Abad ke 20.6 Karya
tersebut ada mengungkapkan BandarBandar dagang di Pantai Barat Sumatera,
diantaranya Bandar X, Padang, Pariaman,
Tiku, Airbangis, Natal, Batumundam,
Sibolga, Singkil dan Susoh. Bandar X adalah
kumpulan dari Bandar kecil yang terletak di
pesisir bagian selatan Minangkabau, yang
berjumlah sepulu nagari, diantaranya Painan,
Bayang, Tarusan, Salido, Batangkapas,
Pulau Cingkuk, Sungai Pagu , dan Air Haji.
Karya tersebut tidak menyinggung mengenai
kawasan Mandeh apalagi yang berhubungan
dengan pembuatan kapal bagan.
Berikutnya karya Iim Imadudin
dan
kawan-kawan
(2004)“Indrapura
Kerajaan Maritim dan Kota Pantai di
Pesisir Selatan Pantai Barat Sumatera”.7
Mestika Zed, “Apakah Berpikir Sejarah?” . 1998. Handout IS, hlm. 4.
Louis Gottschlk, “Mengerti Sejarah. Terjemahan Nogroho Notosusuanto”. Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1995. hlm. 32. Lihat juga Kuntowijoyo, “Pengantar Ilmu Sejarah”. Jakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1999. hlm.
89.
Mhd. Nur. “Bandar Sibolga di Pantai Barat Sumatera Pada Abad ke 19 Sampai Pertengahan Abad ke 20”.
Direktorat Jenderal Kebudayaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang.
2015
Iim Imadudin dkk, “Indrapura Kerajaan Maritim dan Kota Pantai di Pesisir Selatan Pantai Barat Sumatera”.
Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Padang Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang.
2004
3
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
Karya ini mengungkapkan asal usul dan
sejarah pertumbuhan Kerajaan Indrapura
dan hubungannya dengan daerah lain.
Struktur sosial politik dan budaya dalam
karya tersebut juga mengungkapkan bahwa
Pantai Barat Sumatera dan Bandar X pada
khususnya pernah dibawah kekusaan
Kerajaan Indrapura.
luas. Hal ini menjadi salah satu unsur yang
melatar belakangi kehidupan masyarakatnya
sehingga penduduknya menjadikan laut
sebagai sumber mencari nafkah, baik sebagai
nelayan dan pengrajin perahu. Keahlian
membuat perahu di Tanah lemo Bulukumbah
adalah warisan keterampilan dan keahlian
yang diwarisi dari nenek moyang mereka.10
Rinaldi Ekaputra makalah dengan
judul “Hubungan Pantai Barat Dengan
Daerah Pedalaman”.8 Dalam makalahnya
dipaparkan, dalam catatan sejarah daerah
pesisir memiliki fungsi ekonomi yang sangat
srategis bagi dunia perdagangan. Selain
strategis untuk didirikan pelabuhan-pelabuhan
kapal, daerah pesisir juga memungkinkan
terjadinya sirkulasi perdaganagn barangbarang dengan dunia luar. Yuspardianto
(2003) turut menyumbangkan pemikirannya
tentang kapal tradisional yang berjudul
“Bahan Pembuatan Kapal Kayu”. Dalam
karyanya disebutkan pertimbagan utama
dalam memilih kayu bagi kapal dan perahu
adalah: kekuatan, ketahanan terhadap
pelapukan dan ketersediaannya sesuai
dengan kualitas, kuantitas dengan ukuran
yang dibutuhkan.9
Karya Bambang Budi Utomo (2016)
“Warisan Bahari Indonesia” Dalam
buku tersebut ditulis secara singkat dunia
kebaharian suku bangsa yang ada di
Indonesia dengan mencantumkan foto dan
ilustrasi pendukungnya. Buku ini sekedar
mengingatkan akan kebaharian Indonesia
yang sudah lama dilupakan.11
Syahrul Amar (2013) juga menulis
tentang kapal tradisional dengan judul “Asal
Usul dan Keahlian Pembuatan Perahu Pinisi
di Tanah Lemo Bulukumba (Tinjauan dalam
Berbagai Versi)”, Karya ini menjelaskan
bahwa Sulawesi Selatan adalah suatu
wilayah yang dikelilingi oleh laut yang
Buku Gusti Asnan (2007) dengan
judul “Dunia Maritim
Pantai Barat
Sumatera”. Buku ini adalah edisi terjemahan
dan revisi dari disertasinya di Universitat
Bremen, Jerman yang berjudul Trading
and Shipping Activities: The West Caast
of Sumatra 1819-1906. Buku ini berbicara
panjang lebar mengenai dunia maritim di
Pantai Barat Sumatra kurun waktu 18191906. Dalam satu bab ia menulis khusus
tentang perkapalan dan pelabuhan. Sejak
zaman purba penduduk Indonesia telah
mengenal dan membuat berbagai jenis kapal
dan perahu. Sampai awal abad ke-20 dikenal
ada sekitar 200 jenis kapal dan perahu di
seluruh kepulauan Indonesia. Sebagian besar
kapal dan perahu ini merupakan kapal dan
perahu tradisional.12
8
Rinaldi Ekaputra “Hubungan Pantai Barat Dengan Daerah Pedalaman”. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari
Tentang Diunia Pantai Barat Sumatera Dalam Persfektif Sejarah yang diselenggarakan oleh BKSNT Padang, tanggal
20 Mei 20013 di Padang.
9
Yuspardianto “Bahan Pembuatan Kapal Kayu” . Karya Ilmiah, Fakultas Perikanan Univesitas Bung Hatta : Padang
2003
10
Syahrul Amar “Asal Usul dan Keahlian Pembuatan Perahu Pinisi di Tanah Lemo Bulukumba (Tinjauan dalam
Berbagai Versi)” Dalam Jurnal Educatio, Vol. 8 No. 2, Desember 2013, hlm 151-167
11
Bambang Budi Utomo “Warisan Bahari Indonesia”, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia: 2016
12
Gusti Asnan “Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera”. Yogyakarta: Ombak 2007
4
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
Selain mengacu pada sumber-sumber
yang ada kajian ini terutama mengandalkan
karya Gusti Asnan (2007). Sebagai satusatunya sumber tentang dunia maritim di
Pantai Barat Sumatera yang baru berhasil
diperoleh, buku ini termasuk representatif
untuk penulisan dunia maritim khususnya
di Pantai Barat Sumatra. Namun atas segala
informasi yang mereka paparkan, usaha
kajian ini tetap berbeda dengan usaha
yang telah mereka lakukan. Perbedaannya
terletak pada upaya mencari dan menggali
terus informasi mengenai eksistensi Bagan
Talai Biduak Duo dan sejarahnya di Nagari
Mandeh.
Hasil dan Pembahasan
Nagari Mandeh Selayang Pandang
Nagari Mandeh merupakan satu dari 23
nagari yang terdapat di Kecamatan Koto XI
Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan13. Nagari
Mandeh terdiri dari 3 kampung yakni Taratak,
Kampung Tangah dan Kampung Baru.
Kenagarian Mandeh juga merupakan salah
satu nagari yang berada di Kawasan Mandeh
yang telah dicanangkan sebagai Kawasan
Pengembangan Pariwisata Bahari Terpadu
Mandeh. Nagari ini berbatasan sebelah Utara
dengan Nagari Sungai Nyalo Mudiak Aia
dan Nagari Duku Utara, sebelah Timur dan
Selatan dengan Nagari Setara Nanggalo, dan
sebelah barat dengan Laut Mandeh.
Nagari Mandeh memiliki luas sekitar
6,48 km² atau 1,52 % dari keseluruhan
wilayah Kecamatan XI Tarusan. Transportasi
ke pusat kecamatan, kabupaten dan provinsi
sejak dahulu melalui jalur laut dengan
menggunakan boat atau kapal motor ke
13
Pelabuhan Carocok Ampang Pulai, dan
selanjutnya
menggunakan
transportasi
darat. Beberapa tahun terakhir sejak adanya
kawasan Mandeh sebagai objek wisata
maka bisa ditempuh melalui darat yang
sebagiannya sudah diaspal.
Perkampungam masyarakat Mandeh
tidak berada di pantai, tetapi berada di
muara yang merupakan pertemuan Teluk
Carocok dengan sungai kecil yang aliran
airnya bermuara ke Teluk Carocok yang
jaraknya sekitar 5 km dan dapat ditempuh
dengan boat selama lebih kurang 5-10 menit.
Nagari ini bertopografi dataran dan berbukitbukit di sekelilingnya dengan ketinggian
dari permukaan laut 1-2 km. Curah hujan
rata-rata 307,5 mm dan jumlah hari hujan
11,45 hari per bulan. Nagari Mandeh ada
yang menyebutkan bagaikan “kuali” karena
dikelilingi oleh bukit yang seakan-akan
menjadi “dinding” atau perlindungan bagi
masyarakat setempat.
a.
Penduduk dan Sejarah
Penduduk Nagari Mandeh adalah
penduduk yang telah mendiami daerah ini
turun temurun sejak dahulu, yang konon
pertama kali didiami penduduk dari wilayah
daratan Minangkabau yang berasal dari
Solok, Agam dan Tanah Datar. Bahkan,
masyarakat yang menyebutkan bahwa asal
penduduk setempat berasal dari daerah
Mukomuko. Penduduk Nagari Mandeh,
berdasarkan data BPS Kabupaten Pesisir
Selatan, tahun 2015 tercatat sebanyak 1.311
jiwa dengan 304 kepala keluarga. Penduduk
laki-laki berjumlah 703 orang dan penduduk
Nagari-nagari dalam Kecamatan XI Tarusan yakni nagari Kapuh, Kapuh Utara, Jingang Kamp Pansur, Ampang
Pulai, Pulau Karam, Cerocok Anau, Nanggalo, Setara Nanggalo, Batu Hampa Selatan, Batu Hampa, Mandeh,
Sei Nyalo Mudiak Aia, Sungai Pinang, Duku, Duku Utara, Barungbarung Balantai Utara, Barungbarung Balantai
Tengah, Barunbarung Balantai Selatan, Barungbarung Balantai Timur, Kamp. Baru Korong Nan IV, Taratak Sei
Lundang, Siguntur Tua dan Siguntur.
5
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
perempuan 608 orang, dengan sex rasio
sekitar 115,63.14
Masyarakat Nagari Mandeh mayoritas
(75%) berkehidupan sebagai nelayan, dan
25 % terbagi dalam sektor lainnya seperti
pertanian, perkebunan, peternakan
dan
pedagang. Profesi atau pekerjaan sebagai
nelayan merupakan pekerjaan tradisional
masyarakat Mandeh atau diperoleh secara
turun temurun, umumnya mereka berprofesi
sebagai nelayan, masyarakat mandeh
menyebutnya dengan Nelayan Bagan Talai
Biduak Duo. Para nelayan memiliki bagan
sendiri untuk menangkap ikan teri yang
pemasaran sampai ke Padang, Riau, Jambi
dan bahkan Jakarta. Teri dari Nagari Mandeh
dikenal dengan kualitasnya yang baik dan
bersih, dikenal dengan “Teri Mandeh”.
Produksi ikan teri Mandeh kualitasnya yang
bagus karena proses produksinya. Nagari Mandeh yang terdiri dari tiga
kampung, Kampung Tangah, Kampung Baru
dan Taratak, ketiga kampung ini letaknya
memanjang dari utara ke selatan. Pemukiman
penduduk Nagari Mandeh, boleh dikatakan
mengelompok pada satu areal memanjang
dari utara ke selatan, sepanjang jalan raya
yang membelah nagari itu menjadi dua bagian
atau belahan. Secara umum, pemukiman
tersebut terdiri dari dua pengelompokan
yakni pemukiman di Kampung Taratak yang
berada di utara, Pemukiman utama meliputi
Kampuang Tangah dan Kampung Baru,
kedua kampung ini penduduknya sangat
ramai dan padat. Sedangkan pemukiman di
Taratak terbilang sepi dengan rumah yang
jarang dan berjauhan.
Pemukiman utama ditandai dengan
rumah yang rapat sepanjang jalan, sedangkan
di Taratak rumah berjauhan. Antara kedua
pemukiman ini dihubungkan oleh sebuah
14
6
Sumber: BPS Kabupaten Pesisir Selatan. 2016
jembatan gantung dengan lebar sekitar 2
meter panjang 20 meter. Daerah Taratak dapat
dikatakan merupakan tempat yang mula-mula
didiami dan baru berkembang ke Kampung
Tangah dan Kampung Baru . Kampung
Tangah, sesuai namanya merupakan
perkampungan yang terletak di tengah
nagari, dan begitupun dengan Kampung
Baru merupakan perkampungan yang paling
baru atau yang terbentuk kemudian. Rumah
yang didiami oleh masyarakat Mandeh pada
umumnya rumah kayu dan semi permanen,
hanya beberapa buah rumah yang permanen.
Rumah-rumah berada disepanjang jalan
utama yang sebagian besar menghadap ke
jalan atau gang.
Nagari Mandeh, sebagai daerah
yang dekat dengan laut dan kehidupan
masyarakatnya yang hampir seluruhnya
sebagai nelayan, tergolong daerah pesisir.
Kehidupan sebagai nelayan yang bergelut
dengan laut, dengan sendirinya masyarakatnya
dapat dikatakan sebagai masyarakat pesesir.
Oleh karenanya pemukiman penduduknya,
juga cerminan pemukiman masyarakat
pesisir dengan pengelompokan disepanjang
muara yang menghubungkan daerah Mandeh
dengan laut atau Teluk Mandeh. Setiap hari
mereka menelusuri teluk mandeh menuju laut
lepas untuk menangkap ikan teri. Rumahrumah penduduk berjejer membelakang ke
sungai. Disepanjang Sungai Muara Mandeh
berjejer pula boat pariwisata berbagai ukuran
dan boat yang digunakan untuk tansportasi
nelayan ke laut maupun menuju ke daerah
lain.
Semenjak abad 19 M, daerah ini sudah
menjadi lokasi pengambilan kayu oleh
penduduk yang berasal dari daerah Mukomuko, Nias dan Bengkulu. Kolonial Belanda
telah menguasai wilayah Sumatera Barat
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
dan sekitarnya. Pada masa itu Belandda
mengirim utusan ke wilayah Mandeh untuk
mengambil upeti atau pajak. Tuanku Tarusan
mengutus Pendekar Sombong yang bernama
Saleh untuk melaksanakan tugas tersebut.
Pendekar Sombong menurut masyarakat
sekitar memiliki kesaktian yang tinggi,
sehingga para pengambil kayu tidak dapat
berbuat apa-apa dan terpaksa memberikan
upeti atau pajak yang diminta oleh Pendekar
Sombong. Selama Pendekar Sombong
berada di daerah Mandeh ia melihat potensi
tanah yang subur dapat dimanfaatkan
sebagai ladang pertanian, sehingga beliu
menceritakan hal itu kepada istrinya. Setelah
Pendekar Sombong bercerita kepada istrinya
maka mereka sepakat untuk membuat sebuah
pemukiman di Mandeh, nama daerah yang
digarap oleh Pendekar Sombong dinamakan
Taruko.15
Setelah Pendekar Sombong dan istrinya
mendirikan pemukiman di daerah Mandeh,
setelah itu banyak orang-orang yang datang
ke wilayah itu untuk ikut mendirikan
pemukiman. Mereka yang datang ke wilayah
Mandeh berasal dari beberapa daerah
diantaranya Solok, Medan, Mukomuko, Nias
dan Bengkulu. Sebagian besar penduduk
Mandeh adalah Suku Jambak. Selain Suku
jambak terdapat suku-suku lainya seperti
Tanjung, Melayu dan Caniago suku-suku ini
konon katanya berasal dari Batusangkar atau
daerah Darek.
Pendekar Sombong hidup semasa
Belanda yaitu ketika masa pemerintahan
Angku Palo atau Datuak Palo di Tarusan.
Menurut masyarakat setempat Pandekar
Sombong sangat terkenal di Nagari Mandeh
ia banyak ilmu dan pendekar. Karena banyak
ilmu dan pendekar itulah yang membuat ia
sombong dan takabur, maka ia dinamakan
Pendekar Sombong. Sampai sekarang tidak
diketahui dimana ia dimakamkan, Pendekar
Sombong beristrikan orang Jambak dan
keturunannya dapat dijumpai di Nagari
Mandeh.16
b.
Asal Nama Mandeh
Setiap wilayah memiliki asal usul
penamaanya masing-masing, begitu juga
dengan asal usul penamaan Mandeh. Kata
Mandeh dalam bahasa Minangkabau berarti
“ibu” yang menurut masyarakat setempat
sebagai tempat mengadu, dikarenakan
dahulu kala ada seseorang yang terdampar di
daerah ini, dan orang tersebut diberi makan
dan minum, dan juga berarti Ma-Andeh yaitu
“tempat berlindung” karenakan melihat
ombak di daerah Mandeh tenang dan damai.
Pada zaman Kerajaan Indrapura, banyak
kapal-kapal yang menghindari ombak yang
besar di Samudera Hindia sehingga menepi
di sekitar muara Mandeh dan singgah
disana. Mereka menamakan daerah itu
sebagai Mandeh dikarenakan sebagai tempat
persinggahan. Sampai sekarang ketenangan
Muara Mandeh dapat dibuktikan dengan
banyaknya kapal-kapal dan boat berbagai
ukuran yang mangkal di Muara Mandeh.
Selain itu disepanjang Muara Mandeh juga
dijadikan tempat para tukang bagan membuat
kapal dan biduak berbagai ukuran.
Sejarah Bagan Talai Biduak Duo
Tidak diketahui secara pasti sejak kapan
masyarakat Nagari Mandeh menggunakan
Bagan Talai Biduak Duo untuk menangkap
ikan teri yang banyak di perairan Mandeh
Sungai Nyalao dan sekitarnya. Dengan
Bagan Talai Buduak Duo mereka berangkat
ke laut pada sore hari sekitar pukul 5 pulang
15
Wawancara dengan Jasril RB, tanggal 28 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh.
16
Wawancara dengan Jasril RB, tanggal 28 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh
7
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
pada pukul 6 pagi. Sepanjang malam mereka
mengamati dan menjaga waring/alat tangkap
ikan dan menunggu ikan berkumpul banyak
untuk kemudian diangkat. Begitu sehari-hari
mereka mengandalkan Bagan Talai Buduak
Duo untuk memenuhi kebutuhan mereka
yang sampai sekarang masih berlangsung.
Hingga kini Bagan Talai Biduak
Duo masih dipertahankan di tengah upaya
pemerintah menjadikan kawasan Mandeh
sebagai prioritas pariwisata. Berbagai
kapal bagan yang datang dari luar tidak
menyurutkan niat masyarakat untuk tetap
bertahan menggunakan Bagan Talai
Biduak Duo sebagai alat penangkap ikan
teri di kawasan Mande dan sekitaranya.
Berdasarkan informasi bahwa penangkapan
ikan kecil /ikan teri di kawasan Mandeh dan
sekitarnya sudah berlangsung dari tahun
1970 an. Seiring dengan perkembangan
zaman serta berbagai pengalaman di laut
penangkap ikan kecil di kawasan Mandeh
terus mengalami perubahan, mulai dari
Bagan Tanam, Bagan Balok, Bagan Drum
dan yang terakhir Bagan Talai Biduak Duo.
Masyarakat nelayan bertahan dengan Bagan
Talai Biduak Duo sebagai tumpuhan ekonomi
masyarakat nelayan di Nagari Mandeh yang
tetap bertahan sampai sekarang. Dalam
perkembanganya alat tangkap ikan teri
di Nagari Mandeh dari waktu ke waktu
mengalami perkembangan dan disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Berikut
dinamika perkembangan bagan penangkap
ikan teri pada nelayan di laut Mandeh dan
sekitarnya:
c.
Bagan Tanam
Bagan tanam disebut juga dengan bagan
tancap17 merupakan bagan yang dipasang
dengan cara menancapkan bambu ke dasar
17
8
laut empat persegi, tergantung berapa ukuran
yang diinginkan biasanya berukuran 8 x 8
meter. Bagan ini tidak dapat dipindah-pindah,
sehingga posisi bagan tanam hanya dapat
sekali ditanam selama musim penangkapan.
Bagan tanam terbuat dari rangkaian atau
susunan bambu berbentuk segi empat dengan
ukuran 15x15 meter, pada bagian tengah
dari bangunan bagan dipasang waring/ alat
tangkap yang ukurannya 1 meter lebih kecil
dari bangunan bagan.
Pada dasarnya bagan ini terdiri dari
bambu, waring/ alat tangkap yang berbentuk
persegi empat yang dikaitkan pada bingkai
yang terbuat dari bambu. Pada keempat
sisinya terdapat bambu-bambu yang
melintang dan menyilang dengan maksud
untuk memperkuat berdirinya bagan di atas
bagunan bagan. Pada bagian tengah terdapat
bangunan pondok yang berfungsi sebagai
tempat istirahat, pelindung lampu dari hujan
dan tempat untuk melihat atau memantau
ikan masuk ke waring/ alat tangkap. Untuk
pengoperasian bagan tanam diperlukan 2-3
orang nelayan yang bertugas memasang
dan melepaskan waring/alat tangkap serta
mengambil hasil tangkapan
Di atas bagunan bagan juga terdapat
roller (sejinis pemutar) yang terbuat dari
bambu berfungsi untuk menarik tali waring/
alat tangkap. Waring terletak pada bagian
bawah bangunan bagan yang dikaitkan pada
bingkai bambu yang berbentuk segi empat.
Bingkai bambu tersebut dihubungkan dengan
tali pada ke empat sisinya yang berfungsi untuk
menarik waring/alat tangkap. Pada ke empat
sisi waring/alat tangkap diberi pemberat yang
berfungsi untuk menenggelamkan waring/
alat tangkap dan memberikan posisi waring
yang baik selama dalam air.
Masyarakat Nagari Mandeh menyebutnya dengan sebutan “bagan rabun” sebab bagan ini tidak bisa dipindahpindah. Bagan tanam ini hanya bisa dipakai untuk satu kali periode penangkapan, karena setelah dibongkar bambu
yang ditancapkan tidak bisa lagi dipakai, bagan ini beroperasi di laut mandeh sekitar tahun 1970 an
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
Operasi penangkapan bagan tanam
dilakukan pada malam hari dengan
menggunakan cahaya yang berasal dari
petromaks dan saat itu belum menggunakan
lampu listrik. Transportasi yang digunakan
untuk pergi ke bagan tanam para nelayan
menggunakan
perahu.
Pengoperasian
bagan dimulai dengan menurunkan atau
menenggelamkan waring ke dalam air
hingga kedalaman tertentu. Selanjutnya
lampu petromaks dinyalakan untuk memikat
perhatian ikan agar berkumpul di sekitar
bagan. Apabila kelompok ikan kecil telah
terkumpul di pusat cahaya, sebagian lampu
diangkat atau dimatikan agar kelompok ikan
yang terkumpul tidak menyebar kembali.
Setelah kelompok ikan terkumpul secara
sempurna maka waring/alat tangkap diangkat
secara perlahan-lahan. Pada saat waring/alat
tangkap mendekati permukaan, kecepatan
pengangkatan waring/alat tangkap lebih
dipercepat sehingga ikan tidak lari dari
dalam waring/alat tangkap.
Bagan tanam atau bagan tancap adalah
bagan yang pertama kali ada di Nagari
Mandeh. Bagan ini diuji cobakan sekitar
tahun 1970 an.18 Bagan Tanam ini umurnya
tidak berjalan lama sebab hasil tangkapan
sangat minim, masyarakat beralasan karena
ada bambu atau tiang yang ditanam atau
ditancapkan ke laut membuat ikan takut
masuk ke dalam waring/alat tangkap.
Disamping itu membuat bagan tanam sangat
rumit karena harus menancapkan bambu ke
dasar laut yang dalamnya bisa mencapai 5-10
meter ke dasar laut. Selain itu bagan tancap
hanya bisa dipakai untuk satu kali periode
penangkapan, para nelayan kewalahan untuk
mengganti tiang bambu yang mudah lapuk
18
oleh air laut yang asin, sehingga masyarakat
mencari jalan lain agar mereka bisa bertahan
hidup dengan hasil laut.
d.
Bagan Balok
Karena rumitnya membuat bagan tanam
dan hasil tangkapan juga tidak memadai,
maka masyarakat mulai berfikir bagaimana
membuat bagan yang bisa terapung tanpa
menancapkan bambu ke dasar laut. Sekitar
tahun 1972 an masyarakat Nagari Mandeh
mulai mencoba membuat bagan apung yang
terbuat dari balok (kayu atau balok besar
yang dipotong, balok tersebut diganding dua
dengan ukuran 8 x 8 meter). Balok diganding
dua dikasih tonggak dengan tinggi lebih
kurang 2 meter, di tonggak dikasih bantalan
untuk berjalan di atasnya, kemudian dikasih
skor-skornya yang terbuat dari kayu dan
bambu. Skor ini berfungsi untuk memperkuat
badan bagan agar tahan ombak, dan juga
untuk tempat pijakan di atas bagan ketika
beraktifitas mengangkat waring/alat tangkap
dari dasar laut.
Pada bagian tengah terdapat bangunan
rumah berukuran 2 x 2 meter berfungsi
sebagai tempat istirahat, pelindung lampu
dari hujan dan tempat untuk melihat atau
memantau ikan masuk ke waring/latat
tangkap. Transportasi untuk menuju bagan
menggunakan sampan yang terbuat dari kayu
satu batang. Untuk pengoperasian bagan
balok diperlukan 2-3 orang nelayan yang
bertugas memasang dan melepaskan waring
serta mengambil hasil tangkapan.
Salah satu faktor yang menyebabkan
masyarakat nelayan membuat bagan balok,
karena kayu masih mudah didapatkan di
Menurut informasinya pencetus ide membuat bagan tanam ini adalah Syarif asal Sibolga Medan yang merantau
ke Pesisir Selatan akhirnya menikah dengan salah seorang perempaun Nagari Mandeh. Sampai sekarang Syarif
dan keluarganya menetap di Kampung Tangah Nagari Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan. Sekarang Syarif sudah
berumur lebih kurang 75 tahun, karen faktor kesehatan tim tidak bisa mewawancarainya.
9
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
sekitar hutan Nagari Mandeh.19 Namun dalam
perkembangannya lama kelamaan kayu balok
tersebut cepat lapuk, karena terus menerus
terendam air laut yang asin. Jika kayu balok
sudah membenam maka kekuatanya untuk
mengapungkan bagan sudah berkurang,
sehingga balok harus ditukar dengan kayu
yang baru begitu seterusanya. Dengan
kondisi yang demikian lama kelamaan
masyarakat nelayan berfikir bagaimana hal
itu dapat diatasi, sehingga timbul ide untuk
menukar kayu balok dengan drum.
e.
Bagan Drum
Seiring dengan perkembangan pola
berfikir masyarakat, serta pengalaman
melaut, maka masyarakat nelayan menukar
bagan apung kayu balok dengan bagan
apung drum. Bagan drum tidak jauh berbeda
cara pembuatan dan pengoperasianya
dengan bagan kayu balok. Drum yang
sudah kosong ditutup kembali kemudian
disusun memanjang dengan digandeng dua,
panjangnya lebih kurang 8 meter berbentuk
persegi empat, di atas drum dibuat tonggak
untuk meletakan kayu-kayu di atasnya. Di
tengah-tengah bangunan bagan terdapat
bangunan rumah berukuran 2 x 2 meter
yang berfungsi sebagai tempat istirahat
para nelayan, pelindung lampu dari hujan
dan tempat untuk melihat atau memantau
ikan masuk ke waring. Pemasangan lampu
petromaks dilakukan di tengah-tengah bagan
atau di bawa pondok, sehingga ikan masuk
bisa dipantau dari atas pondok. Jenis lampu
yang digunakan, baik bagan tanam, bagan
balok dan bagan drum masih menggunakan
19
10
lampu petromaks (menghidupkannya pakai
minyak tanah dengan cara dipompa) jumlah
lampu antara 10-15 buah.
Dalam perkembangannya bagan drum
juga tidak bertahan lama, mengingat drum
yang terbuat dari besi dengan sendirinya akan
cepat berkarat jika terus menerus terendam di
dalam air asin. Pengakuan para nelayan jika
drum sudah berkarat tidak bisa dibersihkan,
jika dibersihkan maka drum tersebut akan
bocor, jika ada drum yang bocor mau tidak
mau harus diganti. Kondisi yang demikian
membuat para nelayan mengalami kesulitan
untuk mendapatkan drum, karena semua
nelayan membutuhkan drum yang banyak,
disamping itu harga drum juga menjadi
mahal. Bagan balok dan bagan drum dapat
dipindah-pindah dengan cara didorong pakai
mesin robin. Fungsi mesin robin disamping
untuk transportasi pulang pergi ke lokasi
bagan dan juga digunakan untuk mendorong
bagan jika ingin memindahkannya ke tempat
lain jika di lokasi tersebut sudah tidak ada
lagi ikannya.
Bagan Biduak Duo
Sebelum timbul ide untuk membuat
Bagan Biduak Duo masyarakat nelayan
Mandeh pernah mencoba Pincalang yang
dijadikan untuk pengapung bagan. Pincalang
pada saat itu digunakan oleh para saudagar
kayu untuk mengangkut kayu dan barang
ke Padang. Pada awalnya Pincalang hanya
satu buah dipasang untuk dijadikan bagan,
kemudian lama-kelamaan dikembar dua kan.
Pincalang ini cukup lama bertahan dijadikan
nelayan Mandeh sebagai biduak untuk
f.
Konon menurut ceritanya wilayah Mandeh sejak abad ke 19 M sudah menjadi lokasi pengambilan kayu oleh
penduduk yang berasal dari Sibulga, Mukomuko, dan Bengkulu, sehingga Belanda mengirim utusan ke daerah
mandeh untuk mengambil upeti bagi yang mengambil kayu. Belanda memerintahkan pada Taunku Tarusan untuk
mengutus salah seorang untuk memungut upeti, untuk mengemban tugas tersebut diutuslah salah seorang yang
bernama Saleh bergelar Pandekar Sombong. Menurut masyarakat sekitar, Pendekar Sombong memiliki kesaktian
yang tinggi, sehingga para pengambil kayu tidak dapat berbuat banyak dan terpaksa memberikan upeti yang diminta
oleh Pendekar Sombong. Sekitar tahun 1970 an hutan di sekitar Nagari Mandeh masih banyak dijumpai pohonpohon besar yang dapat digunakan untuk membuat bagan balok.
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
bagan. Lama-kelamaan masyarakat nelayan
Mandeh terus berfikir bagaimana membuat
biduk yang pas untuk bagan di laut Mandeh
yang ke dalamanya antara 10-15 meter.
Sekitar tahun 1987 an, para nelayan
mencoba membuat biduak, dan biduak
tersebut dikembarkan duakan, masyarakat
Mandeh menyebutnya dengan biduak duo,
sampai sekarang disebut dengan Bagan Talai
Biduak Duo . Bagan Talai Biduak Duo adalah
bagan yang dibuat di atas dua buah biduak
yang bergandengan. Pada awalnya Bagan
Talai Biduak Duo dibuat badan biduknya
lebih lebar dan bertingkat dua, setelah
dioperasikan ternyata tidak tahan ombak,
walaupun ia tetap digandingkan dua. Berikut
penuturan salah seorang tukang biduak yang
telah menjalankan profesinya selama 25
tahun di Nagari Mandeh:
“Ilmu membuat biduak itu
didapatkan
berdasarkan
pengalaman sebelumnya, pernah
biduak itu badanya sedikit gemuk
dan lebar. Setelah dibawa ke laut
ternyata ia tidak tahan ombak,
kemudian jika hari hujan air banyak
masuk ke dalamnya. Berdasarkan
pengalaman tersebut timbul ide
untuk membuat biduak yang seperti
sekarang yang bodinya lebih lancip
ke bawa, disamping tahan ombak,
jika hari hujan air tidak banyak
masuk ke dalam biduak.20
Bagan Talai Biduk Duo walaupun
tidak mempunyai mesin untuk berpindah,
namun ia bisa dipindah-pindahkan jika
ditempat tersebut tidak lagi ada ikannya.
Untuk memindahkan Bagan Talai Biduak
Duo dengan memakai mesin robin dengan
cara ditunda posisi boat di belakang bagan.
Pemindahan bagan dilakukan jika ikan sudah
tidak ada lagi atau untuk membawa bagan ke
Muara Mandeh untuk pembersihan, biasanya
hal itu dilakukan 6 bulan sekali. Pembersihan
bagan dilakukan pada musim lagi sepi
tangkapan.
Suatu hal yang menarik pada nelayan
Mandeh adalah bahwa Bagan Talai Biduak
Duo itu hanya diproduksi oleh masyarakat
Mandeh. Begitu juga dalam penggunaannya
ke laut, hanya digunakan oleh para nelayan
Mandeh dan dioperasikan juga di sekitar
laut Mandeh dan Sungai Nayalo. Dalam
pengoperasian ke laut Bagan Talai Biduak
Duo memerlukan tenaga 2-3 orang, berangkat
jam 5 sore pulang jam 6 pagi. Peralatan dan
perlengkapan untuk sebuah bagan siap ke
laut adalah: Waring (alat tangkap), Gingset,
Lampu neon 6 buah 45 wod, Tungku
Perebus 1 buah, Gas, Soder (kompor gas),
Keranjang 5 kodi, Transpor PP untuk ke
bagan (biasanya menggunakan perahu atau
boat), Sawuh bagan (terbuat dari besi), bekal
ke laut (bensin, garam, gas, nasi, air kopi dan
rokok). 21
Proses Pembuatan
a. Bahan Baku dan Modal
Bahan baku utama dalam membuat
Bagan Talai Biduak Duo adalah kayu, kayu
yang tidak mudah pecah, kedap air dan daya
susutnya relatif kecil. Pemilihan bahan baku
bisa dilakukan berdasarkan pengalaman.
Ketersediaan jenis-jenis kayu tertentu
dengan jumlah memadai dan ukuran yang
sesuai. Secara umum pertimbangan dalam
memilih kayu adalah: kekuatan, ketahanan
terhadap pelapukan dan ketersediaan sesuai
dengan kualitas, kuantitas degan ukuran yang
20
Wawancara dengan Sofianadi, tanggal 27 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh
21
Wawancara dengan Syamsuarman, tanggal 27 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh
11
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
dibutuhkan. Bagan Talai Biduak Duo harus
dibuat dengan kuat dapat menahan bagianbagiannya terhadap tekanan yang dialaminya
di laut. Bagian-bagian tertentu harus dibuat
dari material yang tahan lama dibawah
kondisi yang sangat mudah diserang jamur.
Jenis kayu yang yang dipakai untuk
pembuatan Bagan Talai Biduak Duo antara
lain adalah: kayu mandi rawan, rasak dama,
merantih, banio bayu maratiah, marantieh
bayuah, banio dan kayu balam. Sebelum
tahun 1990 an kayu untuk membuat bagan
masih mudah didapat di hutan sekitar Nagari
Mandeh, namun sekarang kayu sudah agak
sulit didapatkan. Berikut penuturan salah
seorang tukang biduak:
“Sebaiknya pemerintah tidak
melarang masyarakat mengembil
kayu di sekitar hutan Mandeh,
yang penting jangan untuk dijual
tapi diambil untuk sekedar yang
diperlukan. Masyarakat Mandeh
juga tidak mengambil kayu di
hutan lindung. Kalau pemerintah
melarang mengambil kayu untuk
dipakai, maka ekonomi masyarakat
Nagari Mandeh akan lumpuh. Yang
mengambil kayu disekitar hutan
Nagari Mandeh adalah masyarakat
Nagari Mandeh sendiri tidak ada
orang luar, disamping itu tempat
mengambil kayu tidak di kawasan
hutan lindung”.22
Walaupun pemerintah tidak melarang
masyarakat untuk mengambil kayu kalau
sekedar untuk dipakai, namun saat sekarang
kayu sudah mulai susah didapatkan.
Berdasarkan pengakuan dari para tukang
biduak mencari kayu sudah jauh di balik
hutan lindung di Nagari Mandeh namanya
Karang Tabaka, jika berjalan ke daerah
tersebut memakan waktu 3-5 jam baru
sampai ke tempat mengambil kayu tersebut.
Kayu-kayu yang berkualitas bagus seperti
banio bayu maratiah, marantieh bayuah
atau banio untuk mendapatkannya tidak
mudah, disamping itu harganya sangat
mahal, sehingga para nelayan tidak sanggup
untuk membeli kayu yang berkualitas baik.
Para nelayan hanya menggunakan kayu jenis
balam untuk membuat Biduak Duo. Harga
Jenis kayu balam mencapai Rp. 2.500.000/
m³. Kayu balam juga tidak kalah kualitasnya
dari kayu merantiah atau banio.23
Masyarakat nelayan mandeh mencari
kayu untuk dipakai sendiri tidak terlalu
mengalami kesulitan, jika untuk dibawa
keluar dari Nagari Mandeh pemerintah
melarang, artinya kalau kayu sudah dibawah
keluar dari Nagari Mandeh berarti kayu
untuk dujual. Menurut pengakuan para
nelayan selagi untuk dipakai mengambil
kayu tidak ada masalah, jika masyarakat
kedapatan mengambil kayu oleh petugas
kehutanan, ia akan katakan “ini hanya untuk
dipakai” akhirnya petugas kehutanan dapat
memahami. Kalau kayu untuk dibawa keluar
dari Nagari Mandeh harus ada surat izinnya,
namun itu jarang terjadi sebab masyarakat
Mandeh mengambil kayu hanya untuk
dipakai sendiri.
Berbagai cara pengadaan bahan baku
kayu bagi nelayan untuk membuat Biduk
Duo. Ada para nelayan mengumpulkan kayu
sedikit demi sedikit dari tahun ke tahun.
Ketika kayu sudah cukup, nelayan tinggal
mencarikan upah tukang, upah untuk 1 biduak
antara Rp. 2.500.000- Rp. 3.000.000/ biduak.
Kemudian ada juga para nelayan memesan
biduak sama tukang secara langsung, semua
bahan tukang yang menyediakan. Biasanya
tukang mematok harga untuk dua buah
22
Wawancara dengan Jasril RB, tanggal 27 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh
23
Wawancara dengan Syamsuarman, tanggal 26 Maret 2017 di kampung Tangah Nagari Mandeh
12
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
biduak antara Rp. 45-50 juta. Cara yang
ketiga adalah nelayan memesan langsung
kayu sama tukang sinso, kemudian dicari
tukang untuk membuat biduak, hal ini
biasanya dilakukan oleh nelayan yang punya
cukup modal. Untuk membuat satu buah
Biduak Duo dibutuhkan kayu sebanyak 4 m³,
dua buah biduak 8 m³ ditambah kayu untuk
bagan atau pelanta 4 m³, jumlah kayu untuk
dua buah biduak dan bagan adalah 9 m³.
b.
Keistimewaan nelayan Mandeh adalah
ia tidak dimodali oleh orang lain dalam
membuat biduak dan bagan, tapi pakai modal
sendiri. Namaun setelah biduak dan bagan
dioperasikan ke laut, biaya untuk perawatan
selanjutnya bisa diminta sama orang gudang
(orang gudang adalah sebutan untuk para
agen ikan teri atau bada di Padang). Para
nelayan menjual hasil tangkapan melalui
orang gudang di Padang, orang gudang
hanya mengambil komisi dari hasil penjualan,
menjaga kepercayaan orang gudang sangat
penting bagi mereka.
Peralatan yang digunakan dalam
memmbuat Bagan Talai Biduak Duo, tidak
jauh berbeda dahulu dengan sekarang.
Sebagian peralatan yang digunakan telah
disesuaikan dengan kemajuan pola fikir
manusia dan perkembangan zaman. Ketam
misalnya dahulu pakai ketam tangan
(didorong pakai tangan), sekarang sudah
memakai ketam mesin, ketam tangan
digerakan pakai tengan manusia, sementara
ketam mesin digerakan dengan daya listrik.
Begitu juga dalam hal membelah kayu zaman
dahulu memakai arik disebut mengarik kayu25
(membelah kayu), sekarang memotong dan
membelah kayu sudah pakai mesin sinso
(mesin sinso ada yang kecil dan ada yang
besar).
Para nelayan lebih senang mengadukan
nasibnya sama orang gudang, yang penting
hasil tangkapan di dipercayakan sama orang
gudang untuk menjualnya. Para nelayan juga
mengaku walaupun mereka berhutang sama
orang gudang, namun orang gudang tidak
pernah merendahkan harga penjualan hasil
tangkapan bila dibandingkan dengan orang
yang tidak punya hutang, yang penting bagi
mereka adalah saling caya mempercayai.
Rata-rata nelayan di Nagari Mandeh mereka
tidak meminjam uang atau berurusan dengan
bank, sebab menurut mereka meminjam
di bank disamping persayaratanya rumit
prosesnyapun panjang.24
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam
membuat Bagan Talai Biduak Duo sangat
sederhana sekali, peralatan tersebut adalah:
Masin Ketam, Mesin Sinso ukuran kecil,
Bor,
Kapak, Gergaji, Palu (Panokok),
Timbangan Air/ waterpas, Pahat, Slang Air,
Pres Panjang (untuk merapatkan papan),
Pres Pendek (untuk memegang kayu), Batu
Gerinda, dan Siku-siku
Begitu juga untuk melobangi kayu
menggunakan bor yang diputar pakai tangan,
memutar bor dengan tangan menguras
tenaga yang banyak, sebab bor baru bisa
berbutar ketika ditekan kebawah sehingga
memerlukan tenaga yang kauat. Sekarang
memutar bor pakai mesin dan kerjanya juga
cepat. Pada masa dahulu untuk merapatkan
kayu atau membengkokanya digunakan
pres yang terbuat dari kayu dan talinya yang
terbuat dari tali ijuk, tali yang dikembar
24
Wawancara dengan Mardion, tanggal 26 Maret 2017 di Kampung Baru Nagari Mandeh
25
Mengarik Kayu adalah membelah atau memotong kayu pakai arik, pada zaman dahulu orang maarik kayu dilakukan
di dalam rimba, sekurangnya pakai tenaga manusia dua orang dngan cara ditinggikan tempatnya, kemudian satu
orang di atas menarik arik dan satu orang lagi dibawah dengan cara bergantian. Cara kerja yang seperti itu memakan
waktu yang cukup lama, sehingga mengarik kayu untuk membuat bagan memakan waktu 1-3 bulan lamanya,
semenjak adanya mesin senso cara membela kayu dengan mengarik ini sudah lama ditinggalkan masyarakat.
13
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
duakan lalu diikatkan pada papan atau kayu
yang akan dirapatkan. Pres yang terbuat dari
kayu tersebut dimasukan ke dalam tali yang
dikembarkan, lalu diputar dengan tangan,
jika sudah lama diputar tali akan semangkin
tegang, dengan sendirinya papan atau kayu
yang akan dirapatkan akan bergerak dan
merapat sesuai dengan yang kita butuhkan.
Sekarang pres yang terbuat dari kayu
dengan menggunakan tali ijuk sudah tidak
adalagi, pres sudah terbuat dari besi tampa
menggunakan tali dan sudah dirancang
sedemikian rupa dan banyak dijual di tokoh
bangunan. Dengan kemajuan teknologi yang
diciptakan manusia membuat pekerjaan
cepat selesai. Dahulu membuat Bagan Talai
Biduak Duo memakan waktu lebih kurang
tiga bulan atau empat bulan bahkan ada yang
lima bulan. Kalau sekarang dengan tenaga
dua orang satu orang tukang satu pembantu
lebih kurang 15 hari sudah siap satu buah
biduak.
Begitu juga dengan bahan tali, dahulu
orang memakai tali terbuat dari ijuk bahkan
ada yang terbuat dari semilu (pohon aur
yang diambil semilunya atau kulit bagian
luarnya dikikis halus dan tipis), semilu
atau kulit pohon aur dipilin untuk dijadikan
tali, sekarang orang sudah memakai tali
belati yang terbuat dari bahan nilon warna
putih. Tali digunakan untuk menutupi
lobang diantara papan-papan atau dinding
biduak. Selanjutnya biduak dipalut dengan
menggunakan getak damar, sehingga air
tidak mudah masuk ke dalam biduak. Begitu
juga paku kalau dahulu orang memakai
paku hitam sekarang memakai paku warna
putih berdasarkan pengalaman para tukang
biduak, paku warnah putih lebih kuat dari
paku warna hitam.26
26
14
c.
Tukang dan Upah
Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa Bagan Talai Biduak Duo
hanya ada di Nagari Mandeh, beroperasinya
juga di kawasan laut Mandeh, Sungai Nyalo
dan sekitarnya. Bagan Talai Biduak Duo
tidak bisa dibawah ke laut lepas atau keluar
dari kawasan laut Mandeh. Salah satu yang
menyebabkan Bagan Talai Biduak Duo
beroperasi di laut Mandeh karena lautnya
yang tenang, tidak berombak, menyebabkan
ikan pelapis kecil/ikan teri suka berdiam
dan bertelur dikawasan laut Mandeh. Bagan
Talai Biduak Duo semangkin hari semangkin
bertambah jumlahnya. Begitu juga tukang
Bagan Talai Biduak Duo hanya ada di Nagari
Mandeh. Berdasarkan pengakuan dari tukang
biduak di Nagari Mandeh tukang yang bisa
membuat Bagan Talai Biduak Duo semangkin
bertambah jumlahnya, karena membuat
Bagan Talai Biduak Duo sangat simpel dan
mudah semua tukang bisa mengerjakannya.
Selain itu kebanyakan nelayan di Nagari
Mandeh disamping ia bertukang biduak ia
juga ikut melaut, bisanya mereka melaut
dengan anaknya atau dengan tetangganya.
Berangkat sore jam 5 pulang pada pukul
7 pagi, istitarat beberapa jam selanjutnya
ia melanjutkan pekerjaan membuat biduak
atau bagan. Bagi mereka melaut tidak bisa
ditinggalkan, karena hasil dari pekerjaan
bertukang tidak mencukupi untuk kebutuhan
keluarga mereka, pekerjaan bertukang juga
tidak tetap kadang ada pesanan kadang tidak.
Selain itu pekerjaan bertukang tidak dilakukan
setiap hari, mengerjakanya tergantung
kesiapan bahan bagi yang punya biduak,
kecoali semua bahan telah tersedia, ketika
bahan tidak ada tukang akan pergi kekebun,
kesawah, melaut atau mencari pekerjaan lain
yang bisa menghasilkan uang, ketika bahan
ada ia kembali mengerjakan biduak.
Wawancara dengan Mardion, tanggal 28 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
Upah borongan untuk satu buah biduak,
sebanyak Rp. 2.500.000-Rp. 3.000.000/
biduak. Pembantu tukang biasanya di gaji
harian oleh tukang, upah/ hari sama dengan
upah pembantu tukang lainya yaitu Rp.
100.000/hari, sementara rokok dibeli oleh
kepala tukang, minum dan snek ditanggung
oleh orang yang punya biduk, biasanya snek
2 x sehari snek pagi dan siang. Mengerjakan
biduak, baik biduak orang lain maupun biduak
sendiri mengerjakannya tidak setiap hari,
tergantung ada tidaknya bahan yang akan
dikerjakan. Ketika bahan terputus tukang
bersama pembantunya mencari pekerjaan
lain, karena penghasilan dari bertukang tidak
bisa dipastikan.
Para informan mengaku bahwa
kebanyakan tukang di Nagari Mandeh
membuat biduak pada awalnya adalah
untuk dipakai sendiri. Setelah biduak siap,
kemudian baru ada penawaran dari orang
lain, jika harganya cocok maka tukang
akan menjual biduak tersebut. Tukang
mengerjakan biduak juga tidak terus
menerus, ketika bahan terputus ia berhenti
berkerja, untuk mengisi waktu luang tukang
akan mencari pekerjaan lain. Berkaitan
dengan tukang dan ketersediaan bahan ini
berikut penuturan salah seorang tukang:
“Para nelayan di Nagari Mandeh
ada juga yang bertahun-tahun
mengumpulkan kayu untuk biduak,
artinya dapat uang sedikit dibeli
kayu, kemudian beberapa bulan
lagi dapat lagi uang dibeli lagi
kayu. Jika kayu sudah terkumpul
banyak, kemudian baru dimulai
mengerjakannya. Nelayan Mandeh
jarang yang ngupah untuk membuat
biduak duo sebab kayu itu tidak
sekaligus dibeli tapi tergantung
keuangan. Artinya jika sudah ada
sisa uang dari kebutuhan rumah
tangga baru beli bahan kayu untuk
biduak”.27
Membuat atau mengerjakan Bagan
Talai Biduak Duo sangat simpel dan mudah.
Untuk Bagan Talai Biduak Duo sampai siap
dioperasikan ke laut mengerjakannya melalui
tiga tahap. Tahap pertama membuat Biduak
Duo, tahap ke dua Palut Lerang dan tahap
ke tiga merakit bagan di atas Biduak Duo.28
Menurut para tukang membuat Biduak Duo
tidak sulit, dan untuk mengerjakannya cukup
dua orang, satu orang tukang satu orang
pembantu tukang. Jika mengerjakannya
kedua-duanya tukang, maka hasilnya akan
beda dengan satu orang tukang dengan satu
orang pembantu. Jika tenaga tukang yang
mengerjakan keduanya, maka kerja bisa
dibagi-bagi karena keduanya sudah saling
paham apa yang harus dikerjakan dan saling
mengerti dengan pekerjaannya masingmasing. Bisanya mengerjakan untuk satu
buah biduak hanya memakan waktu 15 hari.
Jika memakai tenaga pembantu apa
yang akan dikerjakan oleh pembantu tukang
yang mengatur, tukang akan memberikan
pekerjaan kepada pembantunya pekerjaan
yang bisa ia kerjakan. Pekerjaan yang
diberikan adalah pekerjaan yangt agak kasar
umpamanya memotong kayu, memaku,
menggaragaji
atau
mengangkat-angkat
kayu. Artinya tukang memberikan pekerjaan
kepada pembantunya adalah pekerjaan
yang kasar, sementara pekerjaan halus yang
membutuhkan ketelitian tetap tukang yang
mengerjakan. Beberapa tukang biduak yang
berjaya antara tahun 1980 an - tahun 2001
di Nagari Mandeh antara lain adalah Buya
Jaksan, Kutar, Aji, Ezan, Muis, Zainudin
dan Jumadin. Semua tukang bagan tersebut
27
Wawancara dengan Syamsuarman, tanggal 29 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh
28
Wawancara dengan Mardion, tanggal 27 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh
15
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
sudah meninggal dunia, sementara agen
kayu yang cukup terkenal di Nagari Mandeh
dahulunya adalah Taher. Tukang yang masih
aktif sampai sekarang antara lain adalah
Syamsuarman, Iben, Jendra, Adi, Ono,
Gindo, In, Satri, Piri, Cinde, Mendek, Berol,
Pian, Arpen, Mardion, Pakiah, Ijun dan Indra
W.29
Penutup
Bagan Talai Biduak Duo adalah bagan
yang dibuat oleh orang Nagari Mandeh.
Bahan untuk membuat biduak berupa kayu
bernio, merantih dan balam kayu tersebut
didapatkan di sekitar hutan Mandeh. Di
Nagari Mandeh banyak terdapat tempattempat membuat biduak duo, yang mengambil
lokasi di sepanjang Muara Sungai Nagari
Mandeh. Lokasi ini sangat strategis untuk
membuat biduak duo dan merakit bagan,
kerena lokasinya terlindung dari angin dan
ombak besar. Para tukang bagan biduak duo
di Nagari Mandeh juga ikut melaut, hal itu
dilakukan ketika pekerjaan membuat bagan
sedang sepi.
Tradisi membuat Bagan Talai Biduak
Duo masih diwarisi dari generasi ke generasi,
walaupun dalam perkembangn Bagan
Talai Biduak Duo tidak mengalami inovasi
yang berarti. Para tukang bagan mendidik
generasi muda bagaimana cara membuat
Bagan Talai Biduak Duo. Para tukang bagan
bukan saja mengajari membuat Bagan Talai
Buduak Duo, akan tetapi juga mengajarkan
bagaimana cara memilih kayu yang baik
untuk dibuat biduak. Begitu juga pengetahuan
lokal masyarakat dalam hal mengolah kayu
masih dipelihara dengan baik.
Bagan Talai Biduak Duo
masih
bertahan di tengah-tengah gelombang arus
gencarnya promosi pariwisata di kawasan
29
16
Mandeh. Bagan Talai Biduak Duo sudah
merupakan alat mata pencaharian pokok
bagi masyarakat nelayan dalam menangkap
ikan teri di kawasan laut Mandeh dan Sungai
Nyalo. Ketika musim sepi hasil tangkapan
mereka mencari pekerjaan lain seperti ke
ladang/ kebun, sawah atau kerja bertukang
bagan, karena sebagian besar tukang bagan
di Nagari Mandeh juga ikut melaut.
Saran/ Rekomendasi
Sebaiknya Bagan Talai Biduak Duo di
Nagari Mandeh, bisa dipertahankan karena
Bagan Talai Biduak Duo dibuat sendiri oleh
para nelayan dan bahan baku kayu juga
tersedia di Nagari Mandeh. Diharapkan pada
pemerintah setempat dan instansi terkait agar
melakukan pembinaan terhadap para nelayan
Bagan Talai Biduak Duo di Nagari Mandeh.
Antara lain adalah dengan memberikan modal
bagi para nelayan yang masih membutuhkan,
dan juga mengadakan pelatihan bertukang
pembuatan Bagan Talai Biduak Duo kepada
generasi muda, sehingga melahirkan tukang
yang inofatif dan kreatif dalam membuat
Bagan Talai Biduak Duo. Dengan demikian
keberadaan Bagan Talai Biduak Duo di
Nagari Mandeh dapat dipertahankan.
Daftar Pustaka
Buku
Andriati, Retno. 2000. Buku Ajar “
Antropologi Maritim”. Surabaya: PT.
Revka Petra Media.
Asnan, Gusti. 2007 “Dunia Maritim Pantai
Barat Sumatera”. Jokjakarta: Ombak.
Budi Utomo, Bambang. 2016. “Warisan
Bahari Indonesia”, Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Wawancara dengan Syamsuarman, tanggal 29 Maret 2017 di Kampung Tangah Nagari Mandeh
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
Gottschlk, Lois. 1995. “Mengerti Sejarah.
Terjemahan Nogroho Notosusuanto”.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Imadudin, Iim dan kawan-kawan, 2004.
“Indrapura Kerajaan Maritim dan
Kota Pantai di Pesisir Selatan Pantai
Barat Sumatera”. Proyek Pengkajian
dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi
Padang Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Padang.
Lasibani, SM. 2010. “Bahan Ajar Rancang
Bangun Kapal Perikanan”. Fakultas
Perikanan
dan
Ilmu
Kelautan
Universitas Bung Hatta Padang.
Nagazumi, Akira, (ed).1986. “Indonesia
dalam Kajian Sarjana Jepang,
Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX &
XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme
Indonesia” Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Notosusanto, Nugroho. 1978. “Masalah
Penelitian
Sejarah
Kontnporer”.
Jakarta: Yayasan Indyu.
Nur, Mhd. 2015. “Bandar Sibolga di Pantai
Barat Sumatera Pada Abad ke 19 Sampai
Pertengahan Abad ke 20”. Direktorat
Jenderal Kebudayaan. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Balai
Pelestarian Nilai Budaya Padang.
Rudito, Bambang, (ed), 1993 “Adaptasi
Sosial Budaya dalam Masyarakat
Minangkabau”.
Padang:
Pusat
Penelitian Universitas Andalas
Tangke, U. 2009. “Evaluasi dan Disain
Kapal Pole And Line di Pelabuhan Dufa
Provinsi Maluku Utara”.
Zed, Mestika. 1998
“Apakah Berpikir
Sejarah?” . Handout IS.
Makalah, Skripsi, Jurnal dan Laporan
A. Winanda. “Rancang Bangun Perahu
Payang Tanpa Cadik Desa Muaro Jambu
Nagari Punggasan Kecamatan Linggo
Saribaganti Pesisir Selatan Sumatera
Barat”. Skripsi Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta,
Padang 2007.
Effendi. “Pengaruh Penggunaan Rumpon
pada Bagan Apung Terhadap Hasil
Tangkapan”. Skripsi. Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.2002.
Laporan Lapangan peserta Arung Sejarah
Bahari Sumatera Barat 20116. Kegiatan
Arung Sejarah Bahari Sumatera Barat
Padang-Pesisir Selatan dengan tema
“Melacak Peradaban Maritim di Bandar
X Pesisir Selatan Sumatera Barat Untuk
Menatap ke Masa depan”. Tim Arung
Sejarah Bahari Sumatera Barat 2016
Mhd. Nur “Bandar X Pada Masa Lampau
dan Prospek Kawasan Mandeh Teluk
Carocok Sebagai Destinasi Wisata
Nasional di Pulau Sumatera”. Makalah
disampaikan dalam rangka pembekalan
peserta Arung Sejarah Bahari Sumatera
Barat 2016, tanggal 15 Mei 2016 di
BPNB Sumatera Barat.
Oktoufan, M dkk.. “Analisa Teknis dan
Ekonomis Produksi Kapal Penanmpung
Ikan di Daerah Sulawesi Utara”.
Jurnal Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya.2013.
Rinaldi Ekaputra “Hubungan Pantai Barat
Dengan Daerah Pedalaman”. Makalah
disampaikan
pada Seminar Sehari
Tentang Diunia Pantai Barat Sumatera
Dalam
Persfektif
Sejarah
yang
diselenggarakan oleh BKSNT Padang,
tanggal 20 Mei 20013 di Padang.
17
Suluah, Vol. 21, No. 1, Juni 2018
Syahrul Amar “Asal Usul dan Keahlian
Pembuatan Perahu Pinisi di Tanah Lemo
Bulukumba (Tinjauan dalam Berbagai
Versi)” Dalam Jurnal Educatio, Vol. 8
No. 2, Desember 2013.
Yuspardianto “Bahan Pembuatan Kapal
Kayu”. Karya Ilmiah, Fakultas
Perikanan Univesitas Bung Hatta :
Padang 2003.
18
Download