Uploaded by User87886

bab 1 3 4 5

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Pernyataan Masalah
Fermentasi merupakan suatu proses baik secara aerob maupun anaerob
untuk menghasilkan produk yang melibatkan mikroba atau ekstraknya dengan
aktivitas mikroba terkontrol, dalam hal ini terjadi reaksi oksidasi dan reduksi
menggunakan sumber energi dan sumber karbon, nitrogen dan lainnya untuk
membentuk senyawa yang lebih tinggi (Bamforth, 2005). Teknologi fermentasi
merupakan ilmu dan tehnik terapan yang saat ini berkembang pesat. Teknologi
fermentasi menerapkan secara terpadu cabang-cabang ilmu mikrobiologi,
biokimia, kimia, keteknikan, biologi molekular dan genetika. Teknologi
fermentasi membuka lembaran baru dalam upaya memanfaatkan bahan-bahan
yang murah harganya bahkan tidak berharga menjadi produk-produk yang bernilai
ekonomi tinggi dan berguna bagi kesejahteraan manusia.
Teknik fermentasi merupakan teknik penting dalam proses bioteknologi
tradisional
dan
modern.
Teknik
fermentasi
tradisional
menggunakan
mikroorganisme untuk menghasilkan berbagai produk makanan seperti keju,
yoghurt, kecap, tempe, roti, dan sake (Sutikno, 2011). Perkembangan teknologi
fermentasi di Dunia sangatlah cepat dan mendapatkan perhatian yang besar
bahkan sudah banyak hasil-hasil teknologi fermentasi yang telah diterapkan
secara komesil. Akan tetapi, industri fermentasi modern di indonesia masih sangat
terbatas. Mengingat potensi bahan baku yang melimpah di indonesia, maka upaya
pengembangan industri fermentasi untuk memproduksi berbagai jenis produk
yang bernilai ekonomi tinggi perlu mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu,
penting dilakukan penelitian-penelitian di bidang teknologi fermentasi agar kita
dapat mengembangkan bahan-bahan alam di Indonesia hingga menjadi produk
yang bernilai ekonomi tinggi.
1.2
Tujuan Percobaan
1.
Mahasiswa mampu memahami persiapan proses fermentasi.
2.
Mahasiswa mampu mengoperasikan fermentor.
3.
Mahasiswa mampu menghasilkan produk berbasis rekayasa bioproses.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Fermentasi
Fermentasi berasal dari kata ferment yang berarti enzim, sehingga
fermentasi dapat diartikan sebagai peristiwa atau proses berdasarkan atas kerja
enzim (Said, 1987). Fermentasi adalah suatu proses bioteknologi dengan
memanfaatkan mikroba untuk mengawetkan pakan dan tidak mengurangi
kandungan zat nutrien pakan dan bahkan dapat meningkatkan kualitas dan daya
tahan pakan itu sendiri. Mikroba yang umumnya terlibat dalam fermentasi adalah
bakteri, khamir dan kapang. Prinsip dasar fermentasi adalah mengaktifkan
kegiatan mikroba tertentu untuk tujuan mengubah sifat bahan agar dapat
dihasilkan sesuatu yang bermanfaat. Hasil-hasil fermentasi terutama tergantung
pada jenis substrat, macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang
mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. (Winarno, dkk.
1980).
Keuntungan proses fermentasi dengan memanfaatkan jasa mikroba
dibandingkan melalui proses kimiawi adalah selain prosesnya sangat spesifik,
suhu yang diperlukan relatif rendah dan tidak memerlukan katalisator logam yang
mempunyai sifat polutan (Bachruddin, 2014). Menurut Judoamidjojo dkk. (1989)
menyatakan bahwa beberapa langkah utama yang diperlukan dalam melakukan
suatu proses fermentasi diantaranya adalah :
a. Seleksi mikroba atau enzim yang sesuai dengan tujuan.
b. Seleksi media sesuai dengan tujuan.
c. Sterilisasi semua bagian penting untuk mencegah kontaminasi oleh mikroba
yang tidak dikehendaki.
2.2
Tipe Fermentasi Menurut Jenis Substrat
Fermentasi menurut jenis subtrat atau mediumnya dibedakan atas dua
golongan yaitu fermentasi substrat padat dan fermentasi substrat cair. Dimana
proses fermentasinya menggunakan medium padat tetapi cukup mengandung air,
sedangkan fermentasi substrat cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut
atau tersuspensi dalam fase cair (Chalal, 1985). Keuntungan dari fermentasi
2
substrat cair ini adalah komposisi dan konsentrasi inokulum dapat diatur dengan
mudah, tidak memerlukan takaran atau jumlah inokulum yang tinggi, serta
penanganan suhu dan kelembaban selama proses fermentasi lebih mudah.
2.2.1
Fermentasi Media Cair (Submerged Fermentation)
Submerged Fermentation adalah fermentasi yang melibatkan air sebagai
fase kontinyu dari sistem pertumbuhan sel bersangkutan atau substrat, baik
sumberkarbon maupun mineral terlarut atau tersuspensi sebagai partikel-partikel
dalam fase cair. Fermentasi cair dengan teknik tradisional tidak dilakukan
pengadukan, berbeda dengan teknik fermentasi cair modern melibatkan fermentor
yang dilengkapi dengan pengaduk agar medium tetap homogen, aerasi, pengatur
suhu (pendinginan dan pemanasan) dan pengaturan pH. Proses fermentasi cair
modern dapat dikontrol lebih baik dan hasil lebih seragam dan dapat diprediksi.
Juga tidak dilakukan sterilisasi, namun pemanasan,perebusan dan pengukusan
mematikan banyak mikroba kompetitor (Whai Chiu, Siu.1993).
Kelebihan fermentasi substart media cair
Keuntungan SMF:
1. Hampir disemua bagian tangki terjadi fermentasi.
2. Kontak antar reaktan dan bakteri semakin besar
Kekurangan SMF :
1. Biaya operasi relatif mahal
2. Medium pada umumnya sederhana dan tidak memerlukan pre treatment
yang kompleks. Kebanyakan berasal dari hasil pertanian karena sudah
mengandung seluruh nutrient yang dibutuhkan mikroba, misalnya bijibijian, dedak gandum, jerami, onggok, dll.
2.2.2
Fermentasi Subsrat Padat (Solid State Fermentation)
Solid State Fermentation (SSF) merupakan suatu proses di mana substrat
yang tidak larut (padat) difermentasikan dengan bantuan mikroorganisme dalam
kondisi kekurangan air bebas. Pada SSF kadar air yang digunakan rendah yaitu
sekitar 50-60%. Mikroorganisme yang digunakan pada umumnya adalah fungi
yang menghasilkan enzim hidrolitik ekstraseluler yang mempu mendegradasi
materi terlarut. Proses ini berpotensi besar memproduksi enzim, menawarkan
keuntungan lebih dibandingkan kultur terendam seperti: peralatan yang sederhana,
3
hasil per volumetrik lebih banyak, konsentrasi produk yang lebih tinggi,
pemanfaatan bahan buangan serta represi yang lebih sedikit, dan tingkat
kontaminasi cukup rendah karena kadar air yang rendah pada substrat (Chalal,
1985). Selain itu, produk kasar hasil fermentasi dapat langsung digunakan sebagai
sumber enzim sehingga cocok untuk industri peternakan. Akan tetapi terdapat
kekurangan pada SSF yakni sulit dilakukan agitasi dan hilangnya bobot kering
selama fermentasi. Di dalam bidang pangan SSF sering digunakan dalam
pembuatan tempe, miso, dan kecap (Tangerdy, 1998).
Kelebihan SSF
1. Substrat mempunyai kandungan nutrisi yang sangat tinggi konsentrasinya
dengan reaktor yang umumnya lebih kecil ukurannya dibanding SMF
2. Tenaga aerasi lebih rendah dibanding SMF
3. Aerasi dihasilkan dengan mudah karena ada ruang diatara tiap partikel
substratnya
4. Inokulum dapat disiapkan secara sederhana
5. Untuk inokulum umumnya dalam bentuk spora dan tidak perlu reaktor
yang besar
6. Ruang yang diperlukan untuk peralatan fermentasi relatif kecil,karena air
yang digunakan sedikit.
7. Kondisi medium tempat pertumbuhan mikroba mendekati kondisi habitat
alaminya
Kekurangan SSF :
1. Terbatas hanya pada mikroba yang tumbuh pada kelembaban terbatas
kebanyakan fungi
2. Masalah dalam pengeluaran panas sebagai hasil metabolisme
3. Menimbulkan panas bila menggunakan substrat lembab dalam jumlah
besar.
4. Sulit dalam melakukan kontrol
5. Terbatasnya fenomena transfer massa tidak seperti yang terjadi pada SMF
yang umumnya dibantu oleh agitasi.
6. Sulit untuk mengetahui pertumbuhan sel sehingga sulit melakukan studi
kinetika
4
7. Waktu kultivasi lebih lama
8. Kebutuhan jumlah spora inokulum cukup besar,
9. Sukar dilakukan penetapan bobot miselium sacara teliti,
10. Pengukuran kadar air serta pengaturan pH dan suhu sukar dilakukan
2.3
Hal-hal yang Mempengaruhi Fermentasi
2.3.1
Lama Waktu Fermentasi
Pertumbuhan
mikroba
pada
proses
fermentasi
ditandai
dengan
peningkatan jumlah masa sel seiring dengan lamanya waktu yang digunakan
sehingga konsentrasi metabolik semakin tinggi sampai akhirnya menjadi terbatas
yang kemudian dapat menyebabkan laju pertumbuhan menurun. Lama fermentasi
dipengaruhi oleh faktorā€faktor yang secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh terhadap proses fermentasi.
Menurut Aisjah (1995) waktu inkubasi yang singkat mengakibatkan
terbatasnya kesempatan mikroba untuk terus tumbuh dan berkembang biak
sehingga jumlah komponen substrat yang dapat diubah menjadi massa sel juga
sedikit. Sebaliknya dengan waktu inkubasi yang lebih lama berarti akan semakin
banyak kesempatan mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak.
2.3.2
Mikroba yang digunakan dalam Proses Fermentasi
Mikroba
dalam
fermentasi
merupakan
faktor
utama
sehingga
harus,memenuhi syarat-syarat tertentu seperti murni, unggul, stabil, dan bukan
patogen. Pada kondisi fermentasi yang diberikan, mikroba harus mampu
menghasilkan perubahan-perubahan yang dikehendaki secara cepat dan hasil yang
besar. Sifat unggul yang ada harus dapat dipertahankan karena berkaitan dengan
kondisi proses yang diharapkan. Mikroba harus mempunyai sifat-sifat yang tetap,
tidak mengalami perubahan karena mutasi atau lingkungan. Mikroba yang
digunakan adalah bukan patogen bagi manusia maupun hewan, kecuali untuk
produksi bahan kimia tertentu.
2.3.3
pH (keasaman)
Makanan yang mengandung asam biasanya tahan lama, tetapi jika oksigen
cukup jumlahnya dan kapang dapat tumbuh serta fermentasi berlangsung terus,
maka daya awet dari asam tersebut akan hilang. Pada keadaan ini mikroba
proteolitik dan lipolitik dapat berkembang biak.
5
Sebagai contoh misalnya susu segar pada umumnya akan ditumbuhi dengan
beberapa macam mikroba, mula-mula adalah Streptococcus lactis akan
menghasilkan asam laktat. Tetapi pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan
terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri.
Selanjutnya bakteri menjadi inaktif sehingga akan tumbuh bakteri jenis
Lactobacillus yang Iebih toleran terhadap asam. Lactobacillus juga akan
menghasilkan asam lebih banyak lagi sampai jumlah tertentu yang dapat
menghambat pertumbuhannya. Selama pembentukan asam tersebut pH susu akan
turun sehingga terbentuk "curd" susu. Pada keasaman yang tinggi Lactobacillus
akan mati dan kemudian tumbuh ragi dan kapang yang lebih toleran terhadap
asam. Kapang akan mengoksidasi asam sedangkan ragi akan menghasilkan hasilhasil akhir yang bersifat basa dari reaksi proteolisis,sehingga keduanya akan
menurunkan asam sampai titik di mana bakteri pembusuk proteolitik dan lipolitik
akan mencerna "curd" dan menghasilkan gas serta bau busuk.
2.3.4 Suhu
Tiap-tiap mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan maksimal, minimal
dan optimal yaitu suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan
diri tercepat. Mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
berdasarkan suhu pertumbuhan yang diperlukannya yaitu golongan psikrofil,
tumbuh pada suhu dingin dengan suhu optimal 10 – 20°C, golongan mesofil
tumbuh pada suhu sedang dengan suhu optimal 20 – 45°C dan golongan termofil
tumbuh pada suhu tinggi dengan suhu optimal 50 – 60°C (Gaman and
Sherrington, 1992).
Suhu fermentasi sangat menentukan macam mikroba yang dominan
selama fermentasi. Bakteri bervariasi dalam hal suhu optimum untuk
pertumbuhan dan pembentukan asam. Kebanyakan bakteri dalam kultur laktat
mempunyai suhu optimum 30°C, tetapi beberapa kultur dapat membentuk asam
dengan kecepatan yang sama pada suhu 37°C maupun 30°C. Suhu yang lebih
tinggi dari 40°C pada umumnya menurunkan kecepatan pertumbuhan dan
pembentukan asam oleh bakteri asam laktat, kecuali kultur yang digunakan dalam
pembuatan yoghurt yaitu L.bulgaricus dan S.thermophilus memiliki suhu
optimum 40 - 45°C (Rahman et al., 1992).
6
Inkubasi dengan suhu 43°C selama 4 jam terjadi peningkatan produksi berbagai
enzim dari L.bulgaricus dan S.thermophilus antara lain enzim laktase dan 8
orthonitrophenol ß-d-galaktopyranosid (Rahman et al., 1992).
2.3.5 Oksigen
Tersedianya oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme.
Jamur bersifat aerobik (memerlukan oksigen) sedangkan khamir dapat bersifat
aerobik atau anaerobik tergantung pada kondisinya. Bakteri diklasifikasikan
menjadi empat kelompok yaitu aerob obligat (tumbuh jika persediaan oksigen
banyak), aerob fakultatif (tumbuh jika oksigen cukup, juga dapat tumbuh secara
anaerob), anaerob obligat (tumbuh jika tidak ada oksigen) dan anaerob fakultatif
(tumbuh jika tidak ada oksigen juga dapat tumbuh secara aerob) (Gaman and
Sherrington, 1992).
2.4
Khamir Saccharomyces Cereviseae
Saccharomyces cereviseae adalah fungi uniseluler yang juga disebut ragi,
berbentuk bulat atau oval, berukuran 5-20 mikron, bermultifikasi membentuk bud,
dan set elah dewasa akan pecah menjadi sel induk (Abdullah, dkk,
2010).
Strukturnya mempunyai dinding polisakarida tebal yang menutup protoplasma.
Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir yang paling popular dalam
pengolahan makanan. Khamir ini telah lama digunakan dalam industri wine dan
bir. Dalam bidang pangan, khamir digunakan dalam pengembangan adonan roti
dan dikenal sebagai ragi roti (Hidayat, 2006). Penampilan makroskopik dari
khamir ini mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan
berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat. Saccharomyces cereviseae
tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan aktifitasnya pada
suhu 28-35ºC. Khamir ini mempunyai ukuran sel yang lebih besar dan dinding sel
yang lebih kuat dari pada bakteri yaitu berkisar 5–10 kali lebih besar dari ukuran
bakteri (Pelczar dan Chan, 2006).
Saccharomyces cereviseae bersifat non-patogenik dan non-toksik sehingga
banyak digunakan dalam berbagai proses fermentasi seperti pembuatan roti dan
alkohol. Khamir jenis Saccharomyces cerevisiae sangat mudah ditumbuhkan dan
membutuhkan nutrisi yang sederhana, laju pertumbuhannya sangat cepat dan
stabil, dan aman digunakan sebagai food grade organism. Saccharomyces
7
cereviseae dapat berkembang biak dalam gula sederhana seperti glukosa, maupun
gula kompleks dan dapat menghasilkan enzim ekstraseluler. Enzim yang
dihasilkan diantaranya amilase, glukosidase, glukoamilase, kitinase, fosfolipase,
katalase, invertase, protease (Buckle dkk., 2007).
Menurut Sanger (2004) taksonomi Saccharomyces cerevisiae adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Eukaryota
Phylum
: Fungi
Subphylum
: Ascomycota
Class
: Saccharomycetes
Ordo
: Saccharomycetales
Family
: Saccharomycetaceae
Genus
: Saccharomyces
Species
: Saccharomyces cerevisiae
2.5
Perubahan dalam Proses Fermentasi
Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi
daripada bahan asalnya. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh sifat mikroba yang
katabolik
maupun
mengubah
bahan
organik
komplek
seperti
protein,
karbohidrat,dan lemak menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana dan mudah
dicerna, tetapi juga dapat mensintesis beberapa vitamin yang komplek seperti
riboflavin, piridoksin (vitamin B6), niasin, vitamin B12, asam panthotenat, dan
provitamin. Perubahan rasa dan aroma yang tidak disukai menjadi disukai juga
dapat terjadi, mempercepat pematangan dan dalam beberapa hal tertentu
menambah daya tahan, serta terjadinya perbaikan nilai ekonomi bahan tersebut.
Produk dari suatu proses fermentasi adalah sel-sel mikroba atau biomassa enzim,
metabolit primer dan metabolit sekunder, serta senyawa-senyawa kimia hasil
proses fermentasi oleh mikroba (Anshori, 1989).
2.5.1
Protein
Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien, strukturnya
selain mengandung N, C, H, O, kadang mengandung S, P, dan Fe (Sudarmadji,
1984). Unsur nitrogen jumlahnya adalah 16% dari berat protein. Molekul protein
lebih kompleks daripada karbohidrat dan lemak dalam hal berat molekul dan
8
keanekaragaman unit-unit asam amino yang membentuknya Molekul protein
terdiri atas rantai-rantai asam amino yang saling dirangkaikan melalui reaksi
gugusan karboksil asam amino yang satu dengan gugusan amino dari asam amino
yang lain, sehingga terjadi ikatan yang disebut ikatan peptida. Molekul protein
adalah suatu polipeptida, dimana sejumlah besar asam-asam aminonya saling
dipertautkan dengan ikatan peptida tersebut (Gaman, 1992).
Protein dalam pakan ternak unggas sangat penting bagi kehidupan ternak
karena zat tersebut merupakan protoplasma aktif dalam sel hidup. Ternak yang
memperoleh protein dari pakan yang dikonsumsi, sanggup untuk memperbaiki
jaringan, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme untuk energi, enzim-enzim
yang esensial bagi fungsi tubuh normal, dan hormon-hormon tertentu (Murtidjo,
1987).
2.5.2
Glukosa
Glukosa adalah suatu gula monosakarida, yang merupakan karbohidrat
terpenting yang digunakan sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh. Glukosa
adalah suatu aldoheksosa dan sering disebut dekstrosa, karena mempunyai sifat
dapat memutar cahaya terpolarisasi ke arah kanan. Glukosa sebagai unsur
makanan umumnya terdapat dalam bentuk gabungan. Glukosa merupakan
komponen tunggal dari pembentukan maltosa (disakarida), pati, glikogen, dan
selulosa (polisakarida). Glukosa merupakan prekursor untuk sintesis semua
karbohidrat lain di dalam tubuh seperti glikogen, ribose dan deoxiribose dalam
asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu, dalam glikolipid, dan dalam
glikoprotein dan proteoglikan (Murray, dkk., 2003).
Glukosa sebagai sumber energi utama yang diperoleh dari pakan dapat
dipergunakan untuk melakukan gerak hidup serta proses-proses produksi lainnya,
baik untuk bekerja aktif dan bergerak bebas, dapat diubah menjadi jaringanjaringan tubuh seperti bentuk otot-otot daging, bulu, produksi daging atau telur
dan pemeliharaan tubuh (Murtidjo, 1987).
2.6
Aplikasi Proses Fermentasi
Menurut sulystio, dkk (1999) dalam penelitiannya membuktikan bahwa
santan kelapa yang difermentasi menggunakan ragi maupun starter dari biakan
murni bakteri, khususnya genus Bacillus dapat diproses menjadi fermikel bermutu
9
tinggi dengan kadar kolesterol yang sangat rendah, sehingga dapat dipromosikan
sebagai produk minyak kelapa bebas kolesterol. Bioproses fermikel menggunakan
bahan tambahan berupa air kelapa dan nira lontar steril (dimasak terlebih dahulu)
sebagai suplemen media pertumbuhan biakan fermentatif, dapat menghasilkan
produk fermikel yang lebih baik ditinjau dari aspek cita-rasa, aroma dan
tampilannya.
Pemisahan fasa minyak dari fasa protein dan air dapat dilakukan secara
cukup sempurna menggunakan proses pemanasan dengar. waktu pemanasan yang
pendek (10-30 menit'. tergantung dari volume santan terfermentasi (fasa minyak
dan protein) serta suhu yang digunakan untuk penguapan sisa air denaturasi
protein. Dengan penampilan warna, dan aroma yang lebih baik disertai tingkat
ketengikan yang rendah dengan daya simpan lebih lama, fermikel dapat
ditampilkan sebagai produk minyak nabati bermutu tinggi yang dapat menjangkau
segmeisegmen pasar kelas menengah ke atas, asalkar dapat dikemas dan
dimurnikan (refinery) secar.
lebih baik.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1
Bahan yang digunakan
1.
Glukosa 200 gram
2.
Urea 1 gram
3.
NPK 1 gram
4.
Ragi (Saccharomyces cerevisiae) 4 gram
5.
Aquadest
6.
Larutan Antrhone
10
3.2
Alat yang digunakan
1.
Erlenmeyer 250 mL dan 2000 mL
2.
Gelas ukur 10 mL dan 100 mL
3.
Labu ukur 1 L
4.
Tabung reaksi
5.
Magnetic Stirrer
6.
Corong
7.
Pipet tetes
8.
Timbangan analitik
9.
Batang pengaduk
10.
Alumunium foil
11.
Kertas saring
12.
Kertas pH indikator universal
3.3
Prosedur Percobaan
3.3.1 Persiapan Inokulum
1. Glukosa 100 gram dilarutkan dengan aquadest 100 mL didalam
erlenmeyer 250 ml, kemudian aduk hingga homogen.
2. Urea 0,5 gram, NPK 0,5 gram dan ragi 4 gram ditambahkan secara
perlahan ke larutan glukosa serta tutup lubang erlenmeyer dengan
menggunakan tisu dan alumunium foil.
3. Selanjutnya larutan diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 16 jam.
4. Setelah proses selesai, magnet dikeluarkan dari erlenmeyer.
3.3.2 Persiapan Substrat
1. Glukosa 100 gram dilarutkan dengan aquadest 1000 mL didalam
erlenmeyer 2000 mL, kemudian aduk hingga homogen.
2. Urea 0,5 gram dan NPK 0,5 gram ditambahkan secara perlahan ke larutan
glukosa serta tutup lubang erlenmeyer dengan menggunakan tisu dan
alumunium foil.
3. Selanjutnya larutan diaduk menggunakan magnetic stirrer hingga
homogen.
3.3.3 Proses Fermentasi
11
1. Larutan inokolum dimasukkan kedalam erlenmeyer 2000 mL yang berisi
larutan substrat.
2. Kemudian tutup lubang erlenmeyer dengan menggunakan tisu dan
alumunium foil.
3. Larutan diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan
pengadukan 150 rpm.
4. Larutan diambil 110 mL sebagai sampel awal 0 jam. Larutan 100 mL
digunakan untuk analisa biomassa dan 10 mL sebagai analisa kadar
glukosa.
5. Setelah itu sampel diambil pada waktu fermentasi 1, 3, 5 dan 7 jam.
6. Cek pH sampel tersebut dengan menggunakan kertas pH indikator
universal.
3.3.4 Analisa Biomassa Sel
1. Larutan sampel 100 mL disaring menggunakan kertas saring yang telah
ditimbang sebelumnya.
2. Setelah sampel disaring, sampal dioven dengan suhu 115°C hingga
memiliki berat yang konstan.
3. Endapan yang ada di kertas saring dihitung.
3.3.5 Analisa Kadar Glukosa
1. Larutan sampel diambil 2 mL lalu ditambahkan 2 mL aquadest dan 2 mL
larutan antrhone hingga larutan berwarna hitam pekat.
2. Larutan didinginkan untuk menurunkan suhu larutan.
3. Setelah larutan dingin, larutan diuji menggunakan spektrofotometer.
4. Hasil absorbansi sampel dibandingkan dengan hasil absorbansi larutan
blanko.
3.4
Rangkaian Alat
12
1
1000
800
600
2
500
3
7
4
5
IKA* C- MAG HS-7
HOT
T emp
6
Mot
Gambar 3.1 Rangkaian Alat Fermentasi
Gambar 3.2 Alat Spektrofotometer
13
Gambar 3.3 Oven Dalam Analisa Sel Mikroba
14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fermentasi adalah proses oksidasi yang meliputi perombakan media organik
oleh mikroorganisme anaerob atau fakultatif anaerob dengan menggunakan
senyawa organik sebagai aseptor elektron terakhir (moede et al., 2017). Pada
proses
fermentasi,
pertumbuhan
mikroorganisme
yang
digunakan
akan
berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan. Oleh sebab itu diperlukan adanya
pengendalian pertumbuan mikroorganisme pada proses fermentasi. Pengendalian
yang terlibat didalamnya diantaranya adalah pengaturan waktu fermentasi,
pemberian sumber energi atau nutrisi bagi mikroorganisme, serta pengendalian
kondisi operasi seperti temperatur dan pH.
Pada percobaan ini, dilakukan proses fermentasi dengan menggunakan
medium berupa glukosa dan ragi jenis Saccharomyces cerevisiae yang bersifat
fakultatif anaerob. Penggunaan glukosa sebagai substrat atau medium fermentasi
karena glukosa merupakan gula sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh
mikroorganisme sebagai sumber karbon dan sumber energi selama proses
fermentasi. Saccharomyces cerevisiae digunakan dalam proses fermentasi karena
mikroorganisme ini cepat berkembang biak, tahan terhadap alkohol dan suhu
tinggi, serta cepat beradaptasi pada medium. Selain pemanfaatan glukosa sebagai
sumber energi, dalam proses fermentasi juga diperlukan adanya penambahan
nutrisi seperti urea dan NPK. Penambahan urea dan NPK dimaksudkan sebagai
sumber makanan yang akan dikonsumsi oleh ragi dalam masa pertumbuhan. Urea
digunakan sebagai sumber unsur N dan NPK sebagai sumber unsur P dan K.
Sebelum dilakukan proses fermentasi, terlebih dahulu dilakukan pembiakan
mikroba atau inokulum. Pembuatan inokulum dilakukan dengan mencampurkan
0,5 gram NPK dan urea, 100 gr glukosa,dan 4 gram ragi kedalam erlenmeyer
berisi 100 ml akuades. Selama proses pembiaka ragi ini, perlu dilakukan
pengadukan. Pengadukan dilakukan dengan menggunakan magnetic stirer selama
16 jam, yang mana proses pengadukan ini berfungsi untuk memperbanyak bidang
kontak antara ragi dengan substrat. Setelah proses pembuatan inokulum selesai
dilakukan, maka proses fermentasi sudah dapat dilakukan. selama proses
15
fermentasi, dilakukan pengambilan sampel pada saat 0 jam, 1 jam, 3 jam, 5 jam,
dan 7 jam Yng dimaksudkan untuk melihat pengaruh dari waktu fermentasi.
4.1
Analisa Berat Sel Kering
Mikroba yang bertindak sebagai pelaku dalam proses fermentasi tentu akan
sangat berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan. Selama proses fermentasi
berlangsung,
mikroba-mikroba
tersebut
akan
berkembang
biak
dengan
memanfaatkan nutrisi yang terkandung didalam substrat. Sel mikroba yang berada
di dalam medium akan tumbuh dalam selang waktu tertentu selama proses
fermentasi. Pertumbuhan sel akan melewati 4 fasa yaitu fasa lag (adaptasi), fasa
pertumbuhan dipercepat, fasa eksponensial, fasa pertumbuhan diperlambat dan
fasa kematian. Pada fasa eksponensial, sel akan tumbuh cepat secara eksponensial.
Kemudian pada fase pertumbuhan diperlambat sel yang hidup dan mati sama
banyaknya. Dan pada fasa kematian jumlah sel yang mati lebih besar daripada sel
yang hidup.
Pertumbuhan mikroba yang erkandung dalam substrat juga dapat
dipengaruhioleh kedaan lingkungan, seperti suhu dan pH. Suhu dan Ph perlu di
atur sedemikian rupa supaya tidak menyebabkan terhambatnya proses
perkembangan sel mikroba atau menyebabkan kematian sel mikroba. Mikroba
memiliki kriteria pertumbuhan yang berbeda-beda. Menurut Fardiaz dalam azizah
et all. (2012), Saccharomyces cerevisiae memliki kisaran suhu pertumbuhan
antara 20-30°C. Jika suhu terlalu rendah, maka fermentasi akan berlangsung
secara lambat dan sebaliknya jika suhu terlalu tinggi maka Saccharomyces
cerevisiae akan mati sehingga proses fermentasi tidak akan berlangsung.
Selain
itu menurut Roukas dalam azizah et all. (2012), menyatakan bahwa kisaran
pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae adalah pada pH 3,5-6,5. Pada kondisi
basa, Saccharomyces cerevisiae tidak dapat tumbuh. Pada produksi etanol oleh
Saccharomyces cerevisiae paling maksimal dapat dicapai pada pH 4,5.
Pengukuran berat kering sel dilakukan dengan mengeringkan sel dan
menghitung berat konstannya atau disebut metode langsung. Berat sel dinyatakan
dalam dry weight, yaitu berat sel diukur setelah pengeringan kadar air dilakukan.
Untuk menentukan dry weight, sel pertama kali harus dipisahkan dari medium
fermentasi dengan cara disaring, setelah itu dilakukan pemanasan dalam oven
16
hingga berat kering sel konstan. substrat yang digunakan adalah glukosa dan
mikroorganisme yang digunakan adalah Saccaromyces cerreviceae. Adapun berat
sel kering yang diperoleh pada setiap sampel dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data Berat Kering Sel
Berat sel
kering +
kertas saring
(gram)
Waktu (jam)
Berat kertas
saring (gram)
1,2
1,43
1,52
1,65
2,1
0
1
3
5
7
Berat sel
kering
(gram)
0,81
0,78
0,74
0,68
0,72
Konsentrasi
sel (g/l)
0,39
0,65
0,78
0,97
1,38
0,0039
0,0065
0,0078
0,0097
0,0138
Sehingga dari data padatabel 4.1 dapat dibuat grafik pertumbuhan mikroba
terhadap waktu:
0,016
Konsentrasi Sel
Kering (gr/ml)
0,014
0,012
0,01
0,008
0,006
0,004
0,002
0
0
2
4
6
8
Waktu Fermentasi (jam)
Gambar 4.1 Hubungan Berat Kering Sel Terhadap Waktu
Berdasarkan gambar 4.1, dapat diketahui bahwa konsentrasi sel kering
mengalami peningkatan seiring bertambahnya waktu fermentasi. Hal ini
menunjukan bahwa sel-sel mikroba yang berada di dalam substrat telah
berkembang biak dengan memanfaatkan nutrisi yang terkandung di dalam
substrat. Pertumbuhan mikroba yang terjadi yaitu masih berada pada fasa adaptasi
dan fasa pertumbuhan dipercepat hal ini dikarenakan proses fermentasi masih
dilakukan dalam rentang waktu yang singkat, sehingga nutrisi yang terkandung di
dalam substrat masih mencukupi untuk pertumbuhan mikroba. Berdasarkan grafik
17
yang diperoleh dapat dilihat bahwa pada waktu t=0 jam, mikroba masih dalam
fasa adaptasi. Pada fasa ini mikrobayang baru saja dicampurkan akan berusaha
menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan medium yang baru. Ketika mikroba
telah mampu beradaptasi, maka mikroba akan memasuki fasa yang berikutnya.
Kemudian pada waktu t=1 jam sampai dengan t=7 jam, pertumbuhan mikroba
masih berada pada fasa pertumbuhan dipercepat. Hal ini ditandai dengan
peningkatan berat sel kering yang secara signifikan. Aktivitas mikroba ini juga
dapat dilihat dengan mengamati perubahan warna yang terjadi pada campuran
larutan, yang mana pada awal proses pencampuran larutan berwarna hijau akibat
adanya penambahan NPK. Namun seiring bertambahnya waktu fermentasi,
larutan tersebut mengalami pemudaran warna menjadi tidak sepekat sebelumnya.
Halini menunjukan bahwa nutrisi dari NPK telah di gunakan oleh mikroba untuk
berkembang biak di dalam medium.
4.2
Analisa Konsentrasi Glukosa
Analisa glukosa pada percobaan ini dilakukan dengan menggunkan alat
spektrfotometri UV-Vis. Prinsip spektrofotometer yaitu menganalisis konsentrasi
suatu zat berdasarkan kekeruhannya yang dibandingkan dengan larutan blanko.
Pada percobaan, sampel yang diambil dari setiap waktu fermentasi adalah
sebanyak 10 ml, kemudian dari setiap sampel tersebut di ambil 2 ml larutan
sampel yang akan dicampurkan dengan 1 ml akuades dan 1 ml reagen Anthrone
untuk mengubah karboksilat menjadi gas CO2. Setelah ditambahkan reagen
Anthrone, larutan glukosa akan mengalami perubahan warna menjadi biru
kehitaman. Konsentrasi glukosa pada sampling point dapat ditentukan dengan
bantuan kurva kalibrasi larutan standar glukosa.
Larutan standar dibuat dari larutan glukosa dengan bahan baku sebanyak 1
gram glukosa dalam 1000 ml. Kemudian dari larutan yang didapat dengan
konsentrasi 100 g/l dilakukan pengenceran dengan konsentrasi 20 g/l, 40 g/l, 60
g/l, dan 80g/l. Larutan yang telah di encerkan kemudian diuji dengan
spektrofotometer untuk membuat kurva larutan standar. Berikut ini merupakan
data absorbansi dari larutan standar tersebut:
18
Tabel 4.2 Nilai Absorbansi Larutan Standar
Konsentrasi Larutan (g/l)
Absorbansi (A)
20
40
60
80
100
0,159
0,256
0,34
0,431
0,52
Selanjutnya dari data pengukuran absorbansi tersebut, didapatkan kurva
kalibrasi larutan standar sebagai berikut:
0,6
y = 0,0045x + 0,0721
R² = 0,9996
Absorbansi (A)
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0
20
40
60
80
100
120
Konsentrasi (g/l)
Gambar 4.2 Kurva Kalibrasi Larutan Standar Glukosa
Berdsarkan kurva pada gambar 4.2, maka akan didapatkan persamaan
pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi glukosa pada
sampel. Persamaan pendekatan yang diperoleh dari kurva larutan standar tersebut
ialah y = 0,0045 x +0,0721. Dari grafik pada gambar 4.2 tersebut dapat diketahui
bahwa semakin besar konsentrasi larutan glukosa, maka semakin tinggi pula nilai
absorbansinya. Hal ini terjadi karena semakin banyak komposisi glukosa yang
berada dalam larutan tersebut menyebabkan konsentrasi larutan semakin tinggi.
Dengan menggunakan persamaan garis tersebut maka dapat dilihat hubungan
antara konsentrasi glukosa pada sampel dengan waktu fermentasi. Dimana x pada
persamaan menunjukan konsentrasi larrutan, sedangkan y pada persamaan
menunjukan nilai absorbansi yang terbaca pada alat spektrofotometer. Panjang
gelombang yang digunaakan pada alat spektrofotometer dalam pengujian sampel
19
ini adalah sebesar 540 nm. Hubungan konsentrasi glukosa dengan waktu dapat
dilihat pada tabel dibawah:
Tabel 4.3 Hasil Uji Konsentrasi Glukosa Pada Sampel Terhadap Waktu
Waktu (jam)
Absorbansi (A)
Konsentrasi Glukosa
(g/l)
0
1
3
5
7
0,4
0,4
0,3981
0,3944
0,3896
72,86666667
72,86666667
72,44444444
71,62222222
70,55555556
Sehingga berdasarkan data perhitungan pada tabel diatas, didapatkan kurva
yang menunjukkan hubungan konsentrasi glukosa terhadap waktu fermentasi
sebagai berikut:
konsentrasi Glukosa (g/l)
73,5
73
72,5
72
71,5
71
70,5
70
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu Fermentasi (Jam)
Gambar 4.3 Hubungan Konsentrasi Glukosa Terhadap Waktu Fermentasi
Berdasarkan grafik pada gambar 4.3, dapat dilihat bahwa konsentrasi
glukosa pada pertambahan waktu fermentasi mengalami penuruan. Penurunan ini
diakibatkan glukosa yang ada pada medium telah dirombak oleh mikroba menjadi
sumber energi dan nutrisi untuk pertumbuhan mikroba. Menurut Kunaepah dalam
azizah et all. (2012), gula akan diubah oleh Saccharomyces cerevisiae menjadi
alkohol dan CO2. Sehingga semakin lama waktu fermentasi, maka akan semakin
banyak glukosa yng terkonversi menjadi produk seperti alkohol.
20
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
1. Semakin lama waktu fermentasi, akan menyebabkan semakin banyaknya
aktivitas perkembang biakan sel mikroba.
2. Pertumbuhan mikroorganisme yang terjadi dalam waktu t=0 sampai t=7
jam adalah fasa adaptasi dan pertumbuhan dipercepat.
3. Semakin lama waktu fermentasi maka kadar glukosa pada larutan
semakin berkurang, karena telah dikonversi oleh mikroorganisme.
4. Proses fermetasi dilakukan dengan tahapan persiapan larutan inokulum
dan larutan substrat.
5.2
Saran
Pastikan semua alat-alat yang digunakan bersih dari kontaminan, agar hasil
yang diperoleh dalam proses fermentasi akan lebih maksimal. Serta praktikan
harus menggunakan alat pelindung diri supaya terhindar dari kecelakaan dalam
bekerja.
Inggris) Chalal DS. 1985. Solid-State Fermentation with Trichoderma reesei
for Cellulase Production. Appl Environ Microbiol 49(1): 205-10.
21
^ a b (Inggris) Tangerdy RP. 1998. Advancer in Biotechnology. New Delhi:
Educational Publishers and Distributors. Hal. 38-44.
22
Download