BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kulit wajah rentan terhadap gangguan kesehatan yang disebabkan oleh produksi minyak berlebih dari kelenjar minyak, faktor hormonal, atau aktivitas sehari-hari di dalam dan di luar rumah (Widiawati, 2014). Gangguan yang sering muncul pada kulit wajah adalah jerawat. Jerawat yang juga dikenal dengan nama Acne vulgaris, merupakan kondisi kulit abnormal yang disebabkan oleh gangguan produksi minyak berlebih dari kelenjar minyak (Widiawati, 2014; Movita, 2013). Menurut Farida, kelebihan produksi minyak dari kelenjar minyak atau sebaceous gland akan menyebabkan penyumbatan pada saluran folikel rambut dan pori-pori kulit (Widiawati, 2014). Penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit polisebasea ini sering terjadi pada masa remaja (Movita, 2013) serta dianggap sebagai siklus fisiologis karena dapat terjadi akibat perubahan hormonal yang umumnya diderita oleh orang yang mempunyai jenis kulit berminyak (Widiawati, 2014). Propionibacterium acnes (P.acnes) merupakan bakteri anaerobik yang berperan penting dalam patogenesis timbulnya jerawat di kulit, terutama di kulit wajah. Bakteri ini menggunakan gliserol dalam sebum sebagai sumber nutrisi, kemudian membentuk asam lemak bebas dari sebum yangmenyebabkan sel-sel neutrofil memberikan respons berupa enzim yang dapat merusak dinding folikel rambut sehingga terjadi inflamasi (Lucyani, 2014). Pada dasarnya, reaksi tersebut terjadi apabila terdapat penumpukan kotoran dan sel kulit mati pada saluran kandung rambut yang terpapar oleh bakteri Propionibacterium acnes (Tanghetti, 2013; Widiawati, 2014). Pembersihan wajah menggunakan sabun wajah merupakan langkah awal untuk mencegah terjadinya acne (Movita, 2013). Sabun merupakan tipe surfaktan yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan tegangan antarmuka, serta memiliki sifat penyabunan, dispersibilitas, emulsifikasi, dan pembersih (Mitsui, 1997). Kemampuan sabun tersebut dapat dimanfaatkan untuk membersihkan wajah dari paparan debu, polusi, kotoran, serta minyak di wajah yang dapat menginisiasi timbulnya jerawat. Sodium Laurylether Sulfate (SLES) merupakan surfaktan anionik yang paling banyak digunakan untuk kosmetik atau produk-produk perawatan diri. SLES berbentuk gel, mudah mengental dalam garam, menunjukkan kelarutan yang baik dalam air, serta mudah menimbulkan busa dan risiko iritasi rendah dibandingkan dengan Sodium Laurylsulfate (SLS) (Spiess, 1996; EMA, 2015). Sifat-sifat SLES tersebut dapat dimanfaatkan sebagai surfaktan pada formulasi kaolin facial wash untuk menghasilkan sediaan dengan karakteristik yang baik. Melihat kemampuan SLES tersebut, serta belum diujikannya daya antibakteri kaolin terhadap Propionibacterium acnes, peneliti ingin memformulasikan sabun pembersih wajah berbahan dasar kaolin (15%) dengan variasi konsentrasi SLES (7,5%, 10%, 15%), kemudian mengujikandaya bersihnya terhadap Propionibacterium acnes di kulit. 1 B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan sabun badan? 2. Apa yang dimaksud dengan sabun wajah? 3. Apa perbedaan sabun wajah dengan sabun sabun badan? 4. Apa yang dimaksud dengan kaolin? 5. Apa perbedaan SLS dengan SLES? C. Tujuan 1. Mengetahui tentang sabun badan 2. Mengetahui tentang sabun wajah 3. Mengetahui perbedaan sabun wajah dengan sabun sabun badan 4. Mengetahui yang dimaksud dengan kaolin 5. Mengetahui perbedaan SLS dengan SLES 2 BAB II PEMBAHASAN A. Sabun Sabun merupakan surfaktan atau campuran surfaktan yang memiliki struktur kimia dengan panjang rantai karbon C12 hingga C16 atau C18 dan memiliki sifat mengurangi tegangan permukaan serta tegangan antarmuka sehingga jika digunakan dengan air dapat membersihkan lemak (kotoran) (Aufa, 2010; Mitsui, 1997). Pada umumnya, sabun yang memiliki panjang rantai karbon kurang dari C12 dihindari penggunaannya karena dapat menimbulkan iritasi kulit, sedangkan sabun yang memiliki panjang rantai karbon lebih dari C18, akan membentuk sabun yang sukar larut dan sulit menimbulkan busa (Maripa dkk (2015) dalam Mauliana, 2016). Sabun mandi adalah senyawa natrium dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, berbusa, dengan atau tanpa penambahan zat lain serta tidak menyebabkan iritasi (Standar Nasional Indonesia, 1994). Menurut Paye., Andre O., dan Maibach (2006), ketika asam lemak disaponifikasi oleh logam alkali (natrium atau kalium), akan terbentuk garam yang disebut dengan sabun dan gliserol sebagai produk sampingnya. Molekul sabun memiliki bagian kepala dan ekor yang tersusun dari rantai karbon, hidrogen, dan oksigen. Bagian kepala merupakan gugus hidrofil (rantai karboksil) yang berfungsi untuk mengikat air dan bagian ekor merupakan gugus hidrofob (rantai hidrokarbon) yang berfungsi untuk mengikat kotoran dan minyak (Purnamawati, 2016). Sabun memiliki dua tipe, yaitu sabun berbasis sapo (asam lemak dan alkali) dan berbasis surfaktan. Sabun berbasis sapo menghasilkan busa yang sangat banyak dan daya detergensinya (daya bersih) sangat baik, serta dapat mengencangkan kulit (skin tightness effect), sedangkan, sabun berbasis surfaktan menghasilkan busa yang relatif lebih sedikit sehigga memperkecil timbulnya iritasi kulit, serta memiliki daya bersih yang baik. Sabun berbasis kombinasi sapo dan surfakan dapat meningkatkan skin tightness effect yang ditimbulkan, memberikan kelembutan yang lebih baik pada kulit, dan mengurangi iritasi kulit (Paye., Andre O., dan Maibach, 2006). B. Sabun Pembersih Wajah Sabun pembersih wajah merupakan salah satu pembersih yang tidak hanya digunakan untuk membersihkan sel kulit mati, kotoran, minyak, dan kosmetik, tetapi juga merupakan langkah awal dalam perawatan kulit sehari-hari, serta membantu mempersiapkan kulit saat pemberian pelembab atau perawatan lainnya terhadap kulit wajah. Karateristik yang diharapkan dari sediaan sabun pembersih wajah adalah mampu membersihkan kulit wajah baik dari kotoran yang ada dipermukaan kulit wajah atau make up, membantu membersihkan sel-sel kulit mati, membersihkan mikroorganisme (bakteri), meminimalisir kerusakan pada epidermis dan stratum korneum (Draelos, 2010). Menurut Draelos (2010), mekanisme pembersihan pada sediaan sabun pebersih wajah terbagi menjadi 3, yaitu secara kimia, fisika, dan gabungan dari keduanya. Mekanisme secara kimia merupakan mekanisme yang paling sering dan umum terjadi, yang disebabkan oleh adanya surfaktan dan pelarut. Berdasarkan tipenya, facial wash atau facial foam termasuk tipe lathering cleanser karena mampu menghasilkan busa pada saat penggunaannya. Disamping itu, surfaktan yang terdapat dalam facial wash atau 3 facial foam tipe lathering cleanser ini merupakan surfaktan dengan rantai hidrofobik yang lebih pendek karena dapat menghasilkan busa yang lebih banyak dan lebih cepat. Mekanisme pembersihan yang terjadi pada lathering cleanser termasuk ke dalam mekanisme kimia, yaitu melalui proses emulsifikasi, yang surfaktannya akan mengemulsikan kotoran dan minyak, kemudian membersihkannya dari kulit pada saat pembilasan dengan air (Draelos, 2010). C. Perbedaan sabun badan dengan sabun wajah sabun wajah dibuat karena kulit wajah akan kering dan iritasi jika dicuci menggunakan sabun biasa. Hal ini disebabkan karena wajah dan tubuh kita memiliki sensitivitas yang berbeda. Sabun mandi komersial pada umumnya mengandungi banyak bahan kimia seperti kandungan petroleum, synthetic chemical, dan petrochemical yang dapat merusak kulit wajah. Satu hal yang membedekan sabun wajah dan sabun tubuh adalah tingkat keasamannya. Kulit wajah memiliki pH kisaran 4.0-5.5, sedikit lebih rendah daripada pH kulit tubuh yang memiliki pH mendekati 7 atau netral. Selain itu dalam sabun wajah juga sering kali ditambah beberapa zat yang dapat merawat kulit wajah kita seperti contohnya adalah membuat wajah lebih cerah, mencegah datangnya jerawat dan sebagainya. D. Kaolin Kaolin merupakan tanah liat Cina yang mengandung 10 – 95 % mineral kaolinit, biasanya mineral kaolinit yang terkandung dalam kaolin sebesar 85 – 95%. Selain mengandung mineral kaolinit, kaolin juga mengandung quartz dan mika, serta mengandung sebagian kecil feldspar, illite, montmorillonite, ilmenite, anastase, haematite, bauxite, zircon, rutile, kyanite, silliminate, graphite, attapulgite, dan, halloysite (WHO, 2005). Kaolin terbentuk akibat pelapukan batu granit. Kaolin berwarna putih, putih keabuabuan, atau sedikit berwarna. Kaolin terbuat dari lembaran kristal triklinik yang tipis, pseudoheksagonal, dan fleksibel dengan diameter 0,2 – 12 µm, serta memiliki kerapatan 2,1 – 2,6 g/cm3. Kaolinit dapat mengadsorbsi molekul kecil seperti substansi lechitin, quinolin, paraquat dan diquat, protein, poliakrilonitril, bakteria, dan virus (WHO, 2005). Oleh karena itu, kaolin dapat berfungsi sebagai adsorben (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009). Mekanisme adsorbsi kaolin adalah dengan pertukaran kation karena kaolin memiliki muatan negatif yang memungkinkan pertukaran ion bermuatan positif di permukaannya(Otto dan Haydel, 2013). Dalam pertukuran kation tersebut, terdapat istilah kapasitas tukar kation yang merupakan suatu kemampuan kapasitas mineral untuk mengadsorbsi suatu molekul melalui pertukaran kation. Kapasitas pertukaran kation kaolinit jauh lebih kecil dibandingkan dengan kapasitas pertukaran kation monmorilonit (mineral yang banyak terdapat dalam bentonit), yaitu sebesar 2 – 10 meq / 100 g tergantung pada ukuran partikel. Namun, laju reaksi pertukarannya cepat, hampir seketika (WHO, 2005). Kapasitas adsorbsi tanah kaolin meningkat dalam keadaan asam dibandingkan dalam keadaan basa (Rahman., Nayuki Ki., and Take o, 2015). Menurut Departemen Kesehatan RI (1979), kaolin adalah alumunium silikat hidrat alam yang telah dimurnikan dengan pencucian dan pengeringan, mengandung bahan pendispersi dengan rumus kimia Al2O3.2SiO2.2H2O (Rowe., Paul J., dan Marian E, 4 2009). Kaolin berbentuk serbuk ringan, putih, bebas dari butiran kasar, tidak berbau, dan tidak berasa, serta licin (Departemen KesehatanRI, 1979). Ketika kaolin terbasahi oleh air, kaolin akan tampak keruh dan menimbulkan bau seperti tanah. Kaolin digunakan sebagai diluen dalam formulasi tablet dan kapsul, juga digunakan sebagai pembawa suspensi. Kaolin praktis tidak larut dalam dietileter, etanol 95%, air, pelarut organik lainnya, asam encer dingin, dan larutan alkali hidroksida. Kaolin merupakan bahan atau material yang stabil dan tidak beracun, serta tidak toksik (Rowe., Paul J., dan Marian E, 2009). E. Perbedaan SLS dengan SLES Lauril Eter Sulfat (apalagi dalam bentuk garam sodium) paling banyak digunakan sebagai surfaktan primer, sedangkan, Lauril Sulfat menjadi pilihan kedua setelah Lauril Eter Sulfat. Berdasarkan sifat deterjensinya, Lauril Sulfat lebih baik jika dibandingkan dengan Lauril Eter Sulfat. Akan tetapi, Lauril Sulfat mudah menyebabkan iritasi, serta memiliki kelarutan dan pembentukan busa yang kurang baik dibandingkan dengan Lauril Eter Sulfat. European Medicines Agency (2015) yang membahas review SLS sebagai eksipien menyebutkan bahwa SLES efektif pada rentang pH yang luas, baik dalam larutan asam maupun basa dan dalam air sadah yang akan menyebabkan SLES lebih menimbulkan busa yang ekstra dibandingkan dengan SLS. 5 BAB III PENUTUP Kesimpulan 1. sabun wajah dibuat karena kulit wajah akan kering dan iritasi jika dicuci menggunakan sabun biasa. Hal ini disebabkan karena wajah dan tubuh kita memiliki sensitivitas yang berbeda. 2. Kaolin dapat mengadsorbsi molekul kecil seperti substansi lechitin, quinolin, paraquat dan diquat, protein, poliakrilonitril, bakteria, dan virus. Oleh karena itu, kaolin dapat berfungsi sebagai adsorben. 3. Lauril Sulfat mudah menyebabkan iritasi, serta memiliki kelarutan dan pembentukan busa yang kurang baik dibandingkan dengan Lauril Eter Sulfat. 6 DAFTAR PUSTAKA Ansel, H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Terjemahan : F. Iprahim. Jakarta: UI Press. Badan Standar Nasional Indonesia. 1996. Standar Mutu Sabun Mandi: SNI 064085-1996. Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan. Martin, A., Swarbick J., dan Cammarata J. 2008. Farmasi Fisik:Dasar-Dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Jakarta: Universitas Indonesia. 7