Uploaded by User83191

A Makalah Biopsikologi dan Gangguan Psikiatrik

advertisement
BIOPSIKOLOGI DARI GANGGUAN PSIKIATRIK
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah Biopsikologi
Dosen Pengampu:
Jehan Safitri, M.Psi, Psikolog,
Rahmi Fauzia, M.Psi, M.A,
Meydisa Utami Tanau, M.Psi, Psikolog
KELOMPOK 6 KELAS A
SAFINA SALSABILA PUTRI
1910914120013
FARIZA ANANDA
1910914220007
ELYA ANNISA DEVIARIANTI
1910914220035
IFFA NAFFIATUN NISA
1910914320021
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2020
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................................................................... II
Kata Pengantar ......................................................................................................................... III
Bab I Pendahuluan ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
1.3 Tujuan .................................................................................................................................. 1
Bab II Pembahasan .................................................................................................................... 3
2.1 Gangguan Psikiatri ............................................................................................................... 3
2.2 Gangguan Afektif.................................. ОШИБКА! ЗАКЛАДКА НЕ ОПРЕДЕЛЕНА.
2.3 Gangguan Kecemasan ........................................................................................................ 14
2.4 Sindrom Tourette ............................................................................................................... 15
2.5 Perkembangan Obat-Obat Psikoteurapeutik ...................................................................... 18
2.6 Aspek Kontroversial Dari Clinical Trials ..........................................................................
..................................................................... ОШИБКА! ЗАКЛАДКА НЕ ОПРЕДЕЛЕНА.
Bab III Penutup ........................................... ОШИБКА! ЗАКЛАДКА НЕ ОПРЕДЕЛЕНА.
3.1 Kesimpulan ........................................... ОШИБКА! ЗАКЛАДКА НЕ ОПРЕДЕЛЕНА.
3.2 Saran ..................................................... ОШИБКА! ЗАКЛАДКА НЕ ОПРЕДЕЛЕНА.
Daftar Pustaka ............................................. ОШИБКА! ЗАКЛАДКА НЕ ОПРЕДЕЛЕНА.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat serta
inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Biopsikologi Dari Gangguan
Psikiatrik” agar bisa memenuhi tugas dari mata kuliah Biopsikologi. Tak lupa rasa terima kasih
kami ucapkan sebesar-besarnya kepada para dosen pengampu mata kuliah Biopsikologi karena
berkat bimbingan maupun arahannya yang telah memberikan banyak ilmu kepada kami agar bisa
menjadi individu yang beretika dan cerdas.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat masih ada kekurangan maupun
kesalahannya. Baik itu dari aspek bahasa, penyusunan, penulisan, maupun pembahasannya. Oleh
sebab itu, kami meminta maaf atas segala kesalahan tersebut dan sangat terbuka akan kritik serta
saran yang membangun. Dan harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi
serta menambah ilmu yang bermanfaat bagi semua pembacanya.
Tertanda
Kelompok 6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Biopsikologi merupakan ilmu yang mengkaji mekanisme antara perilaku dengan pengalaman
berdasarkan sisi fisiologi, evolusi, dan perkembangan manusia. Istilah ini juga tidak lepas akan
tujuannya yaitu pembahasan topik dan kaitan antar biologi dengan psikologi. Dan sebagian besar
dari ilmu ini berpusat pada pembahasan fungsi dan karakteristik otak manusia.
Berbicara mengenai manusia, tidak akan pernah bisa lepas mengenai permasalahan yang dia
rasakan. Baik hal tersebut secara fisik maupun psikis. Manusia tentu merasakan gejolak emosi
pada suatu kejadian tertentu, dan seringkali hal tersebut juga mempengaruhi perilakunya.
Pengalaman mental pun juga akan terbentuk apakah hal tersebut bereaksi positif atau negatif
pada kehidupannya.
Tidak jarang manusia sendiri mengalami gangguan baik pada jiwa atau afeksinya. Apabila
tidak segera dikontrol atau diberi perawatan lebih lanjut, gangguan tersebut bisa mempengaruhi
segala aspek kehidupannya baik bagi diri sendiri, atau terhadap dunia sosial. Dan pada makalah
ini, kami akan membahas lebih lanjut mengenai gangguan psikiatrik, afektif, serta kecemasan
yang sering dihadapi oleh manusia. Penjelasan akan gangguan tersebut akan dikaji secara
biologis dan mengenai perilaku yang muncul akan mengangkat pernyataan berdasarkan pikirantubuh serta pikiran-otak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan gangguan psikiatrik dan apa saja jenisnya?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan gangguan afektif dan apa saja jenisnya?
1.2.3 Apa yang dimaksud dengan gangguan kecemasan dan apa saja jenisnya?
1.2.4 Apa yang dimaksud dengan sindrom tourette?
1.2.5 Bagaimana perkembangan obat-obat psikoteurapeutik?
1.2.6 Apa saja aspek kontroversial dari clinical trials?
1.3 Tujuan
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah:
1.3.1 Menjelaskan gangguan psikiatrik dan jenis-jenisnya
1.3.2 Menjelaskan gangguan afektif dan jenis-jenisnya
1.3.3 Menjelaskan gangguan kecemasan dan jenis-jenisnya
1.3.4 Menjelaskan sindrom tourette
1.3.5 Menjelaskan perkembangan obat-obat psikoteurapeutik
1.3.6 Menjelaskan aspek kontroversial dari clinical trials
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gangguan Psikiatri
Gangguan psikiatri adalah gangguan mental berat yang pengobatannya di luar ranah
seorang psikolog, dokter yang mengobati gangguan psikiatri disebut psikiater. Ilmu psikiater
mempelajari lebih dalam mengenai bagaimana cara mendiagnosis, mengobati, dan mencegah
gangguan mental, emosional, dan perilaku seseorang.
a. Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Istilah skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, yaitu schizo (slpit/perpecahan) dan
phren (jiwa). Istilah ini digunakan untuk menjelaskan terpecahnya pikiran individu yang
menderita gangguan ini. Namun istilah skizofrenia ini berbeda dengan istilah gangguan
beragamnya kepribadian atau multiple personality. Skizofrenia adalah salah satu
gangguan jiwa yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku individu. Skizofrenia
ditandai dengan hilangnya pemahaman terhadap realitas dan daya tilik (kemampuan
untuk menilai diri sendiri). Skizofrenia memiliki gejala yang kompleks dan beragam,
gejalanya saling tumpang tindih engan gejala gangguan kejiwaan yang lain dan gejalanya
sering berubah selama perkembangan dari gangguan skizofrenia tersebut.
Para ahli berupaya mengkategorisasikan kasus skizofrenia agar dapat dipelajari,
dikategorisasi, dan diperlakukan lebih efektif. Para ahli membagi dua gejala yaitu gejala
positif (gejala yang tidak tampak pada penderita, masih dapat dikenali) dan gejala negatif
(gejala yang menunjukan hilangnya minat penderita, lebih sulit untuk dikenali). Berikut
adalah gejala skizofrenia, walaupun tidak semua gejala yang disebutkan akan selalu
muncul pada individu yang menderita skizofrenia.
a) Contoh gejala positif:
1. Delusi. Berdelusi seperti sedang dikendalikan misalnya pengidap
gangguan skizofrenia akan berjalan sejauh 10meter karena disuruh oleh
alien dan jika dia tidak melakukannya maka kalian mengancam akan
membunuhnya, penganiayaan misalnya pengidap skizofrenia akan
beranggapan bahwa dia dianiaya oleh ayahnya padahal saya tidak pernah
menganiaya dirinya sama sekali, diagungkan misalnya penderita
skizofrenia akan menganggap bahwa Valentino Rossi menganggumi skill
menyetirnya.
2. Halusinasi. Penderita akan mendengar suara imajiner seperti membuat
komentar kritis atau memberi tahu apa yang harus dilakukan oleh
penderita, misalnya ada suara bisikan yang menyuruhnya untuk segera
pergi dari rumah karena akan ada polisi yang menangkapnya.
3. Pengaruh yang tidak pantas. Penderita akan gagal menunjukan reaksi yang
sesuai terhadap suatu peristiwa positif atau negatif.
4. Pidato atau pikiran yang tidak teratur. Penderita memiliki pemikiran yang
tidak logis.
5. Perilaku aneh. Penderita akan kesulitan melakukan tugas sehari-hari,
kurangnya kebersihan pribadi, dan berbicara dalam sajak.
b) Contoh gejala negatif:
1. Perataan afektif. Ekspresi emosional yang berkurang, misalnya selalu
berekspresi datar terhadap segala peristiwa.
2. Penghinaan. Pengurangan atau tidak adanya motivasi.
3. Catatonia. Tetap tidak bergerak, seringkali dengan canggung posisi untuk
waktu yang lama. Misalnya penderita akan bergerak dengan lambat ketika
ada yang menyuruhnya melakukan sesuatu.
Jika selama 1 bulan kedua gejala ini sering kambuh maka sudah cukup untuk
didiagnosis sebagai skizofrenia, masakan salah satu gejalanya adalah delusi, halusinasi,
atau ucapan yang tidak teratur.
2. Faktor Penyebab
Belum ada faktor pasti penyebab munculnya gangguan skizofrenia, akan tetapi
pada abad ke-20 peneliti menetapkan bahwa faktor genetik dapat memicu skizofrenia.
Pertama, meskipun hanya 1% yang mengidap skizofrenia dari populasi yang
berkembang. Namun kemungkinan kerabat biologis terdekat (seperti ayah, ibu, adik,
kakak, anak) dapat mengalami gangguan skizofrenia beresiko 10% lebih rentan untuk
menderita skizofrenia. Selanjutnya, ditemukan bahwa tingkat resiko skizofrenia pada
kembar minizigot 45-50% lebih rentan dibandingkan kembar dizygotik yang hanya 1017% lebih rentan. Terakhir, studi adopsi menemukan bahwa risiko skizofrenia dapat
meningkat karena adanya gangguan pada orang tua kandung, namun risiko tidak terlalu
besar jika yang mengidap skizofrenia adalah orang tua angkat.
Tingkat kesesuaian untuk skizofrenia pada kembar monozigot secara substansial
kurang dari 100%, hal ini menunjukkan bahwa perbedaan pengalaman memiliki
pengaruh yang signifikan untuk perkembangan skizofrenia. Yang dilihat saat ini, adalah
bahwa berapa orang yang mewarisi potensi skizofrenia, dapat muncul atau tidak muncul
karena adanya perbedaan pengalaman. Hal ini diperkuat karena adanya sampel
perbandingan keturunan dari kemarin monozigot, dimana yang satu mengidap skizofrenia
dan satunya tidak. Hal ini juga berlaku pada keturunan tidak kembar.
Risiko pengidap skizofrenia dapat berbeda berdasarkan perbedaan pengalaman,
misalnya komplikasi kelahiran, stress ibu, infeksi pranatal, faktor sosial ekonomi, lahiran
di kota atau bertempat tinggal di lingkungan perkotaan, dan kesulitan pada masa kanakkanak. Karena adanya perbedaan pengalaman di awal dapat mengubah jalannya
perkembangan saraf khas yang dapat menyebabkan skizofrenia pada individu yang
memiliki genetik kerentanan. Teori ini didukung oleh:
1. Fakta bahwa di mana skies of Rania dan gangguan spektrum autisme
memiliki banyak faktor penyebab yang sama, misalnya faktor risiko
genetik atau pemicu lingkungan.
2. Adanya file studi tentang kelaparan pada abad ke-20, kelaparan nasi pada
tahun 1944-1945 dan kelaparan di Cina tahun 1959-1961. Janin yang
ibunya menderita kelaparan dapat lebih mungkin menderita skizofrenia
saat dewasa.
3.
Penemuan Obat Antipsycotic Pertama
Terobosan besar pertama dalam studi biokimia skizofrenia adalah penemuan tidak
sengaja diawal tahun 1950-an untuk obat antipsikotik pertama, yaitu klorpromazin.
Klorpromazin dikembangkan oleh perusahaan obat Perancis sebagai antihitsamin.
Kemudian, pada tahun 1950 ahli bedah Perancis menemukan bahwa jika klorpromazin
diberikan sebelum operasi dapat mengatasi pembengkakan dan memiliki efek
menenangkan kepada beberapa orang pasiennya, dan dia juga mengatakan bahwa
mungkin efek menenangkan dapat digunakan pada pasien yang sulit ditangani dengan
psikhosis. Peneliti menemukan bahwa klorpromazin dapat meredakan gejala skizofrenia,
misalnya seperti pasien skizofrenia yang gelisah dapat ditenangkan oleh klorpromazin.
Klorpromazin nanya dapat mengurangi keparahan gejala sampai pasien memungkinkan
untuk dipulangkan, klorpromazin tidak dapat menyembuhkan skizofrenia.
Tidak lama setelah antipsikotik klorpromazin didokumentasikan, seorang
psychiater Amerika tertarik dengan adanya laporan bahwa tanaman snakeroot telah lama
digunakan di India untuk pengobatan penyakit mental. Ia memberikan reserpin (bahan
aktif tanaman Snakeroot) kepada pasiennya yang menderita skizofrenia dan memastikan
tindakan antipsiotiknya. Sekarang reserpin tidak lagi digunakan dalam pengobatan
skizofrenia karena dapat menghasilkan penurunan yang berbahaya pada tekanan darah.
Meskipun struktur kimia klorpromazin dan reserpin yang berbeda, akan tapi efek
antipsikotiknya sama dalam dua hal berbeda. Pertama, efek antipsikotik kedua obat
tersebut hanya muncul setelah pasien menjalani pengobatan selama 2 atau 3 minggu.
Kedua, timbulnya efek antipsikotik ini biasanya dikaitkan dengan aspek motorik yang
mirip dengan gejala penyakit parkinson, misalnya Seperti kekakuan otot atau penurunan
umum dalam gerakan sukarela. Kesamaan ini lah yang membuat peneliti menyimpulkan
bahwa klorpromazin dan reserpin bertindak melalui mekanisme yang sama.
4.
Evolusi Teori Dopamin Skizofrenia
Secara paradoks, terobosan besar berikutnya dalam studi skizofrenia berasal dari
penelitian tentang penyakit Parkinson. Pada tahun 1960, dilaporkan bahwa striatum
(caudates plus putamens) orang yang meninggal karena penyakit Parkinson telah
ditemukan. Temuan ini menunjukkan bahwa gangguan penularan dopaminerik mungkin
menghasilkan penyakit Parkinson dan efek antipsikotik klorpromazin dan reserpine.
Dengan demikian lahir teori dopamin skizofrenia, yaitu teori yang menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyak dopamin, sebaliknya bahwa obat antipsikotik
memberikan efeknya dengan mengurangi kadar dopamin.
Teori dopamin skizofrenia adalah dua fakta yang benar adanya. Pertama, reserpin
obat antipsikotik diketahui menguras otak dopamin dan monoamin lainnya dengan
memecah vesikel sinaptik di mana neurotransmiter ini disimpan. Kedua, obat-obatan
seperti amfetamin dan kokain, yang dapat memicu episode yang menyerupai skizofrenia
pada pengguna yang sehat, diketahui dapat meningkatkan kadar dopamin ekstraseluler
dan monoamin lainnya di otak.
Langkah penting dalam evolusi teori dopamin skizofrenia datang pada tahun
1963, ketika Carlsson dan Lindqvist menilai bahwa efek klorpromazin pada kadar
dopamin ekstra-sel dan metabolitnya berasal dari zat yang diciptakan oleh pemecahan zat
lain dalam sel. Meskipun mereka mengharapkan untuk menemukan bahwa klorpromazin,
seperti reserpine dapat menguras otak dopamin, ternyata tidak. Tingkat ekstraseluler
dopamin tidak berubah oleh klorpromazin, dan tingkat ekstraseluler metabolitnya bisa
meningkat.
Carlsson dan Lindqvist menyampaikan pendapat bahwa klorpromazin merupakan
pemblokir resptor di sinapsis dopamin yaitu mengikat reseptor dopamin tanpa
mengaktifkannya dan dengan demikian dapat menjaga dopamin saat pengaktifannya.
Dapat dilihat saat ini banyak obat psikoaktif yang berfungsi memblokir reseptor, tetapi
klorpromazin akan menjadi yang pertama diidentifikasi menjadi yang pertama untuk
mengidentifikasi hal seperti itu.
Secara lebih lanjut, Carlsson dan Lindqvist mengemukakan dasar pikiran bahwa
kurangnya aktivitas pada reseptor dopamin postynapic membuatnya mengirimkan sinyal
umpan balik ke sel-sel presinaaptik yang meningkatkan pelepasan dopamin mereka dan
akan dipecah dalam sinapsis. Ini merupakan penjelasan dari aktivitas dopaminergik yang
berkurang sementara kadar dopamin ekstraseluler tetap pada tingkat yang sama dan
ekstraseluler metabolitnya meningkat. Temuan dari Carlsson dan Lindqvist menimbulkan
revisi penting dalam teori ini: Daripada kadar dopamin berada di tingkat tinggi, faktor
utama dalam skizofrenia akan dianggap tinggi oleh aktivitas reseptor dopamin.
Pertengahan 1970an, Snyder dan rekannya menilai tingkat dari berbagai obat
antipsikotik pengikat reseptor dopamin yang telah berkembang pada saat itu. Mereka
menambahkan dopamin berlabel radioaktif ke sampel membran reseptor dopamin yang
diperoleh dari calf striatums. Kemudian, mereka membilas molekul dopamin yang tidak
terikat dari sampel dan mengukur jumlah radioaktivitas yang tersisa didalamnya untuk
mendapatkan jumlah ukuran reseptor dopamin. Selanjutnya, pada sampel lain akan
diukur kemampuan masing-masing obat untuk memblokri pengikatan dopamin radioaktif
ke sampel. Asumsinya, bahwa obat-obatan dengan afinitas tinggi untuk reseptor dopamin
akan meninggalkan sedikit tempat yang tersedia untuk dopamin. Secara umum, mereka
menemukan bahwa klorpromazin dan obat antipsikotik efektif lainnya memiliki afinitas
tinggi
untuk
reseptor
dopamin,
begitu
sebaliknya.
Namun,
ada
beberapa
pengecualian besar, termasuk haloperidol. Meskipun haloperidol adalah salah satu obat
antipsikotik paling ampuh pada zamannya, itu memiliki afinitas yang relatif rendah untuk
reseptor dopamin.
Solusi untuk teka-teki haloperidol datang dengan penemuan bahwa dopamin
mengikat lebih dari satu sub tipe reseptor dopamin. Ternyata klorpromazin dan obat
antipsikotik lainnya di kelas kimia yang sama (phe-nothiazines) semua mengikat secara
efektif untuk reseptor D1 dan D2, sedangkan haloperidol dan obat antipsikotik lainnya di
kelas kimianya (butyrophenones) semua mengikat secara efektif untuk reseptor D2 tetapi
tidak untuk reseptor D1.
Penemuan pengikatan selektif butyrophenones ke reseptor D2 menyebabkan
revisi penting dalam teori dopamin skizofrenia. Ini menunjukkan bahwa skizofrenia
disebabkan oleh hiperaktif khusus pada reseptor D2, daripada pada reseptor dopamin
pada umumnya. Snyder dan rekan-rekannya kemudian mengkonfirmasi bahwa tingkat di
mana antipsikotik khas (generasi pertama obat antipsikotik) mengikat reseptor D2 sangat
berkorelasi dengan efektivitasnya dalam menekan gejala skizofrenia. Meskipun bukti
yang melibatkan reseptor D2 pada skizofrenia kuat, telah menjadi jelas bahwa versi D2
dari teori dopamin skizofrenia tidak dapat menjelaskan dua temuan umum:

Meskipun aktivitas blok antipsikotik khas pada reseptor D2 dalam
beberapa jam, efek terapeutik mereka biasanya tidak terlihat selama
beberapa minggu.

Sebagian besar antipsikotik hanya efektif dalam pengobatan gejala positif
skizofrenia, tetapi bukan gejala negatifnya.
5.
Penelitian Dan Pengobatan Saat Ini
Meskipun teori ini masih dalam hal yang fasih, penelitian ini dibagi menjadi
empat yaitu antipsikotik atipikal, efek obat psikedelik, gen skizofrenia dan perubahan
otak yang terkait dengan skizofrenia mengarah ke perspektif baru yang menarik.
Keempat bidang penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a) Antipsikotik Atipikal.
Saat ini, antipsikotik atipikal atau yang dikenal sebagai antipsikotik
secondgeneration menjadi pilihan obat untuk pengobatan skizorfrenia. Obat ini
efektif melawan skizofrenia tetapi belum mengikat kuat reseptor D2. Awalnya,
diklaim bahwa antipsikotik atipikal lebih efektif dalam pengobatan skizofrenia
daripada antipsikotik khas (D2blocking) dan mereka melakukan ini tanpa
menghasilkan efek samping Perkinsonian. Inilah sebabnya mengapa obat-obatan
ini cepet diadopsi secara luas. Tetapi ternyata kedua klaim ini tidak didukung oleh
penelitian terbaru. Meskipun antipsikotik atipikal berbeda di antara yang lain
dalam kemanjuran terapinya, mekanisme tindakan, dan produksi efek samping,
tetapi efeknya tampaknya tidak berbeda secara substansial dari kelompok
antipsikotik lainnya.
b) Efek obat psikedelik
Studi obat psikedelik (obat-obatan yang tindakan utamanya adalah
mengubah persepsi, emosi, dan kognisi) dimulai pada tahun 1950an dengan
penemuan LSD (asam lysergic diethylamide). Selain halusinogen klasik (seperti
LSD, psilocybin, dan mescaline), obat psikedelik termasuk berbagai obat lain
termasuk halusinogen disosiatif (sepertiketamin dan phencyclidine) dan
cannabinoids. Para peneliti telah mengejar dua penelitian tentang psikedelik. Satu
berfokus pada obat-obatan psikedelik yang menghasilkan efek yang mirip dengan
gejala gangguan kejiwaan (misalnya, ilusi, halusinasi, paranoia, panik), dan
mereka menggunakan obat-obatan untuk mencontoh gangguan. Sementara
satulagi, berfokus pada perasaan tak terbatas, persatuan, dan kebahagiaan yang
dilaporkan oleh beberapa pengguna dan berusaha menggunakan psikedelik dalam
pengobatan gangguan kejiwaan. Sayangnya, kedua penelitian yang menjanjikan
ini berhenti pada tahun 1970an ketika banyak pemerintah bermasalah dengan
asosiasi LSD dan obat-obatan terkait dengan pemberontakan budaya, membuat
peneliti kesulitan untuk mempelajari efeknya, terutama pada manusia. Pada tahun
1990-an, ada pembaruan minat secara bertahap dalam memanfaatkan obat
psikedelik untuk mempelajari mekanisme skizofrenia dan gangguan kejiwaan
lainnya.
c) Gen Skizofrenia
Penelitian terbaru telah mengidentifikasi banyak gen yang terkait dengan
skizofrenia dengan setiap gen hanya berkontribusi sedikit pada perkembangan
skizofrenia. Ini tidak berarti bahwa menyelidiki gen yang terlibat dalam
skizofrenia telah sia-sia: Mengidentifikasi gen tersebut dapat memberikan
wawasan baru tentang penyebab, mekanisme saraf, dan pengobatan skizofrenia.
Satu titik umum penting tentang skizofrenia terkait gen baru-baru ini muncul.
Beberapa gen yang termasuk dalam lipatan kerentanan seseorang terhadap
skizofrenia juga telah dikaitkan dengan gangguan kejiwaan dan neurologis
lainnya.
d) Perubahan otak yang terkait dengan skizofrenia mengarah ke perspektif baru
yang menarik
Dengan perkembangan teknik neuroimaging pada tahun the 1960-an,
laporan perubahan otak pada pasien dengan skizofrenia terakumulasi dengan
cepat. Generasi pertama studi melaporkan pembesaran ventrikel dan celah, yang
menunjukkan penurunan volume otak. Studi selanjutnya berfokus pada area
kortikal tertentu dan struktur subkortikal. Misalnya, dalam studi skala besar barubaru ini dari beberapa ribu orang dengan skizofrenia dan kontrol yang sehat,
hippocampus, amygdala, thalamus, dan nukleus accumbens ditemukan secara
signifikan lebih kecil pada mereka yang menderita skizofrenia. Secara umum,
pengurangan volume skizofrenia berkembang dalam materi abu-abu dan putih,
dan mereka paling konsisten diamati di lobus temporal.
Banyak penelitian telah menilai perkembangan otak pada pasien berisiko
untuk skizofrenia. Empat temuan penting telah muncul dari berbagai metaanalis
dari studi tersebut :

Individu yang belum didiagnosis menderita skizofrenia tetapi
berisiko untuk gangguan (misalnya, karena mereka memiliki
kerabat dekat dengan skizofrenia) menampilkan pengurangan
volume di beberapa bagian otak.

Perubahan otak yang luas sudah ada ketika pasien pertama kali
mencari perawatan medis dan menerima pemindaian otak pertama
mereka.

Pemindaian otak berikutnya mengungkapkan bahwa perubahan
otak terus berkembang setelah diagnosis awal.

Perubahan pada berbagai area otak berkembang pada tingkat yang
berbeda (lihat Gogtay & Thompson, 2009).
2.2 Gangguan Afektif
a. Depresi
Depresi adalah reaksi normal terhadap kehilangan yang menyedihkan seperti
kehilangan orang yang dicintai, hilangnya harga diri, atau hilangnya kesehatan. Beberapa
orang mengalami depresi berat dan / atau anhedonia (hilangnya kapasitas untuk mengalami
kesenangan), seringkali tanpa alasan yang jelas (Treadway & Zald, 2011). Depresi mereka
bisa sangat ekstrim sehingga hampir tidak mungkin bagi mereka untuk memenuhi kegiatan
penting dalam kehidupan sehari-hari seperti bekerja, memelihara kontak sosial, makan, atau
bahkan memelihara kebersihan pribadi. Gangguan tidur dan pikiran untuk bunuh diri adalah
hal yang biasa terjadi. Saat kondisi ini berlangsung selama 2 minggu atau lebih, orang-orang
ini dikatakan menderit a depresi klinis, yang juga dikenal sebagai major depressive disorder.
Sejumlah penelitian structural MRI tentang otak pasien depresi telah diterbitkan.
Pengurangan yang konsisten dalam volume Gray Matter di prefrontal korteks, hipokampus,
amigdala, dan korteks cingulate telah diamati (Lener & Iosifescu, 2015).
Ada dua subtipe major depressive disorder yang disebabkan karena episode waktu.
Salah satunya adalah Seasonal Affective Disorder (SAD), di mana depresi dan kelesuan
biasanya kembali selama musim tertentu — biasanya selama musim dingin. Dua bukti
menunjukkan bahwa episode tersebut dipicu oleh pengurangan sinar matahari. Subtipe
kedua dari major depressive disorder dengan penyebab yang jelas adalah depresi peripartum,
yaitu depresi berkepanjangan yang dialami oleh beberapa wanita selama hamil, setelah
melahirkan, atau keduanya (lihat Serati, dkk., 2016).
Lima kelas utama obat telah digunakan untuk pengobatan gangguan depresi
(Willner, ScheelKrüger, & Belzung, 2013):
1. Monoamine Oxidase Inhibitors
Iproniazid adalah obat antidepresan pertama, pada awalnya dikembangkan untuk
pengobatan tuberkulosis, yang terbukti gagal. Hasilnya, iproniazid diuji pada campuran
sekelompok pasien kejiwaan dan tampaknya bekerja untuk melawan depresi klinis. Obat
ini pertama kali dipasarkan sebagai antidepressant pada tahun 1957. Iproniazid adalah
agonis monoamine; untuk meningkatkan tingkat monoamina (misalnya, norepinefrin dan
serotonin) dengan menghambat aktivitas monoamine oxidase (MAO), enzim yang
memecah neurotransmitters monoamine di sitoplasma (cairan seluler) dari neuron.
2. Tricyclic antidepressants
Dinamai demikian karena kinerja antidepresan mereka dan karena struktur kimianya
termasuk tiga cincin atom. Antidepresan Tricyclic memblokir pengambilan kembali kedua
serotonin dan norepinefrin, sehingga meningkatkan kadarnya otak. Mereka adalah
alternatif yang lebih aman untuk penghambat MAO.
3. Selective Monoamine-Reuptake Inhibitors.
Pada akhir 1980-an, golongan obat baru — obat selective serotonin­reuptake
inhibitors — diperkenalkan untuk pengobatan depresi klinis. Selective serotonin-reuptake
inhibitors (SSris) adalah serotonin agonistic yang mengerahkan efek agonistic mereka
dengan memblokir pengambilan ulang serotonin dari sinapsis.
4. Atypical Antidepressants
Dimulai pada 1980-an, beberapa antidepresan baru mulai muncul di pasar yang
tidak sesuai dengan ketiga kelas di atas (yaitu, penghambat MAO, antidepresan trisiklik,
dan inhibitor monoaminereuptake selektif). Oleh karena itu, kelas baru obat antidepresan
itu muncul yang terdiri semua kelas obat-obatan yang memiliki banyak mode aksi yang
berbeda: antidepresan atipikal (Willner, ScheelKrüger, & Belzung, 2013). Misalnya, salah
satu obat di kelas ini, bupropion, memiliki beberapa efek pada neurotransmisi: Ini adalah
penghambat dopamine dan reuptake norepinefrin, dan ini juga merupakan penghambat
reseptor asetilkolin nikotinat (Carroll et al., 2014).
5. NMDA-Receptor Antagonists
Diawal 1990-an, beberapa penelitian melaporkan efek positif efek antagonis
reseptor NMDA glutamat pada gangguan depresi. Di awal tahun 2000-an, satu agen
tertentu terbukti sangat efektif: ketamin halusinogen disosiatif. Hebatnya, bahkan ketamin
dosis rendah tunggal dengan cepat mengurangi depresi, bahkan pada pasien yang pernah
mengalami episode yang parah (Amit et al., 2015; McGirr et al., 2015; Monteggia,
Malenka, & Deisseroth, 2014; Niciu et al., 2014). Namun karena ketamin memiliki sifat
efek samping yang tidak diinginkan, para peneliti sekarang sedang dalam proses mencoba
mengidentifikasi antagonis reseptor NMDA yang lebih selektif dengan lebih sedikit efek
samping (Duman & Aghajanian, 2012; Niciu et al., 2014).
b. Bipolar
Beberapa orang yang depresi mengalami periode hipomania atau mania. Mereka
yang mengidapnya dikatakan menderita bipolar. Hipomania ditandai dengan berkurangnya
kebutuhan untuk tidur, energi tinggi, dan pengaruh positif. Selama periode hipomania, orang
banyak bicara, energik, impulsif, positif, dan sangat percaya diri. Dalam keadaan ini,
mereka bisa sangat efektif pada pekerjaan tertentu dan bisa sangat menyenangkan untuk
diajak berteman. Mania memiliki ciri yang sama dengan hipomania, tapi secara ekstrim; itu
juga memiliki gejala tambahan, seperti delusi keagungan,kepercayaan diri berlebih,
impulsif, dan mudah terdistraksi. Orang-orang yang hanya mengalami serangan depresi dan
hipomania dikatakan memiliki gangguan bipolar tipe ii; orang-orang yang juga mengalami
serangan mania memiliki gangguan bipolar tipe i. Kebalikan untuk kesalahpahaman yang
umum, gangguan bipolar tidak termasuk pergantian suasana hati yang cepat (yaitu,
pergantian di dalam jam ke hari); sebaliknya, episode suasana hati sering kali berlangsung
hingga berminggu-minggu bulan.
Gangguan bipolar sangat diwariskan secara genetik. Misalnya studi tentang
gangguan bipolar pada kembaran menghasilkan perkiraan heritabilitas berkisar dari 80–90
persen (Harrison, 2016; Maletic & Raison, 2014). Genome sequencing studi individu
dengan kelainan bipolar telah melibatkan banyak gen berbeda dalam gangguan bipolar —
misalnya, gen yang mengkode kalori tertentu saluran kalsium dan untuk protein tertentu
yang ditemukan di node Ranvier (Harrison, 2016). Penstabil mood adalah obat yang
efektif mengobati tekanan atau mania tanpa meningkatkan risiko mania atau depresi,
masing-masing (Karanti et al., 2016). Perlindungan terhadap kambuhnya episode mood
penting karena episode mood pada gangguan bipolar biasanya keduanya menjadi lebih
parah dan lebih sering jika tidak diobati (Posting, 2016; Post, Fleming, & Kapczinski,
2012). Litium, ion logam sederhana, adalah obat pertama ditemukan bertindak sebagai
penstabil mood. Semua penstabil suasana hati (mis., Lithium, antikon tertentu vulsants,
dan antipsikotik atipikal tertentu) bertindak melawan serangan mania, beberapa tindakan
melawan depresi, dan beberapa lainnya bertindak melawan keduanya (Prabhavalkar,
Poovanpallil, & Bhatt, 2015; Yildiz et al., 2011), tetapi tidak menghilangkan semua
gejala. Apalagi, banyak dari mereka menghasilkan efek samping yang merugikan
(misalnya, penambahan berat badan, tremor, kabur penglihatan, pusing; Murru et al.,
2015), yang mendorong ketidakpatuhan terhadap obat-obatan ini (Jann, 2014; Schloesser,
Martinowich, & Manji, 2012).
Banyak penelitian MRI tentang otak pasien dengan gangguan bipolar telah
diterbitkan. Secara keseluruhan pengurangan volume secara konsisten gray matters telah
ditemukan (Maletic & Raison, 2014). Dalam tambahan, ada beberapa laporan struktur
otak tertentu menjadi lebih kecil pada pasien dengan gangguan bipolar, termasuk korteks
prefrontal medial, cingulate anterior kiri, girus temporal superior kiri, daerah prefrontal
tertentu, dan hipokampus (Hanford dkk., 2016; Knöchel dkk., 2014; Otten &
Meeter,2015; Savitz, Price, & Drevets, 2014).
2.3 Gangguan Kecemasan
Kecemasan — ketakutan kronis yang terus berlanjut saat tidak ada ancaman
langsung — adalah korelasi psikologis yang umum dari stres (Mahan & Ressler, 2012).
Kecemasan termasuk adaptif jika hal itu memotivasi perilaku koping yang efektif; Namun,
saat itu menjadi begitu parah sehingga mengganggu fungsi sehari-hari, itulah yang disebut
sebagai gangguan kecemasan. Semua gangguan kecemasan terkait dengan perasaan cemas
(misalnya,
takut,
khawatir)
dan
dengan
berbagai
reaksi
stres
fisiologis
—
misalnya,takikardia (detak jantung cepat), hipertensi (tekanan darah tinggi), mual, kesulitan
bernapas, gangguan tidur, dan tingkat glukokortikoid tinggi. Terdapat 4 jenis gangguan
kecemasan, yaitu :
 Gangguan kecemasan umum, ditandai dengan stress respons dan perasaan cemas dan
khawatir yang ekstrem tentang sejumlah besar aktivitas atau acara yang berbeda.
 Fobia spesifik, melibatkan ketakutan atau kecemasan yang kuat tentang objek tertentu
(misalnya, burung, laba-laba) atau situasi (misalnya, ruang tertutup, kegelapan). Seseorang
dengan phobia biasanya akan mencoba untuk menghindari objek tertentu atau situasi yang
menimbulkan kecemasan.
 Agoraphobia, adalah ketakutan patologis terhadap tempat umum dan ruang terbuka.
Meskipun mungkin dianggap sebagai fobia spesifik, umumnya dianggap menjadi lebih
melumpuhkan daripada kebanyakan fobia spesifik dan dengan demikian diperlakukan
sebagai kategori diagnostik terpisah di DSM5. Misalnya; wanita yang takut pergi keluar,
menderita agorafobia.
 Gangguan panic, hal ini ditandai dengan cepatnya serangan ketakutan ekstrim dan gejala
parah stress berulang (misalnya, tersedak, jantung berdebar-debar, sesak nafas). Serangan
panik semacam itu juga terjadi pada kasus tertentu gangguan kecemasan umum, fobia
spesifik, dan agoraphobia (Johnson, Federici, & Shekhar, 2014).
Tiga kategori obat biasanya diresepkan pengobatan gangguan kecemasan: benzodiazepin,
serotonin agonis, dan antidepresan tertentu (Bandelow et al., 2012; Ravindran & Stein,
2010).
 Benzodiazepines. Benzodiazepin seperti chlordiazepoxide (dipasarkan sebagai Librium)
dan diazepam (dipasarkan sebagai Valium) banyak diresepkan untuk perawatan dari
gangguan kecemasan. Mereka juga digunakan sebagai hipnotis (obat penginduksi tidur),
antikonvulsan, dan pelemas otot. Benzodiazepin memiliki beberapa efek samping : sedasi,
ataksia (gangguan aktivitas motorik), tremor, mual, dan reaksi penarikan yang meliputi
kecemasan rebound. Masalah serius lainnya dengan benzodiazepine yaitu membuat
ketagihan. Karena itu, mereka harus diresepkan hanya untuk penggunaan jangka pendek.
 Serotonin Agonists. Keuntungan utama buspirone daripada benzodiazepin adalah
kekhususannya karena bagus dalam mengurangi efek anxiolytic (antianxiety) tanpa
menghasilkan ataksia, relaksasi otot, dan sedasi, sisi yang umum efek benzodiazepin.
Buspirone, bagaimanapun, memiliki efek samping lain (misalnya pusing, mual, sakit kepala,
dan insomnia).
 Antidepressant Drugs. Konsisten dengan komorbiditas gangguan kecemasan dan depresi
klinis adalah pengamatan antidepressant, seperti SSRI dan SNRI, seringkali efektif melawan
gangguan kecemasan, dan obat anxiolytic (obat antianxiety) sering efektif melawan depresi
klinis.
2.4 Sindrom Tourette
Sindrom tourette adalam sebuah kelainan langka berupa gangguan tics (gerakan atau
vokalisasi stereotipe dan repektif di luar kehendak). Gejala sindrom tourette ini biasanya
dimulai pada usia dini sampai pada masa kanak-kanak yaitu paling sering di awal seorang
anak memulai masa sekolah atau pada masa remaja dengan tics motorik biasa. Oleh karena
itu seorang pendidik (guru) berkemungkinan besar adalah orang pertama yang mengamati
dan menyadari gejala dari sindrom tourette ini.
Misalnya gerakan di daerah wajah yaitu mata berkedip-kedip atau kepala bergerakgerak, tetapi gejalanya cenderung semakin kompleks dan berat ketika umur anak tersebut
semakin bertambah. Gejalanya akan berkembang menjadi gerakan yang semakin kompleks
dan berbeda yang memengaruhi hampir semua hal kelompok otot dalam tubuh seperti
meregangkan lidah, meludah, memukul, menyentuh benda-benda, berjongkok, melompatlompat, dan berputar-putar. Tics verbal yang lazim termasuk bunyi-bunyi inarticulate
misalnya menyalak, batuk-batuk, mengorok; coprolalia misalnya menggumamkan kata-kata
cabul; echolalia yaitu mengulangi kata-kata orang lain; dan palilalia yaitu mengulangi katakatanya sendiri. Gejala-gejala ini akan mencapai puncak setelah beberapa tahun, dan sering
kali mereda secara gradual ketika usia anak bertambah matang.
Sindroma Tourette berkembang pada kira-kira 0,7% dari seluruh populasi dan tiga kali
lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Ada sebuah komponen genetik
utama: Angka konkordansinya sebesar 55% untuk kembar identik dan 8% untuk kembar
fraternal(Pauls, 2001). Sebagian pasien Sindroma Tourette juga memperlihatkan tanda-tanda
attention-deficit/hyperactivity disorder (gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas),
gangguan obsesif-kompulsif, atau keduanya (Sheppard et al,, 1999).
Meskipun tics Sindroma Tourette tidak disengaja, mereka dapat ditekan sebentar
dengan konsentrasi dan usaha yang besar oleh pasiennya. Akan tetapi, bila ditekan, perasaan
tidak nyaman atau ketegangan tertumpuk dalam tubuh, yang pada akhirnya dilepaskan
dalam bentuk rentetan tics yang sangat intens dan dengan frekuensi tinggi. Frekuensi tics
cenderung meningkat selama stres dan berkurang ketika pasien berkonsentrasi pada tugastugas tertentu. Bayangkan betapa sulitnya hidup bila Anda menderita Sindroma Tourette
dengan bentuk ekstrem misalnya bila Anda sering memegang alat kelamin, Anda dan mulai
menyalak seperti anjing. Betapa pun dalam diri Anda terdapat pribadi yang cerdas, kapabel,
dan budiman, tidak banyak orang yang mau bersosialisai, atau mempekerjakan Anda (lihat
Kushner,1999).
a. Sejarah
Kasus pertama di mana penyakit Sindroma Tourette mulai diberitakan adalah
kasusnya Marquisa de Dampierra. Dalam berita itu, disebutkan bahwa wanita
bangsawan Prancis yang berada di tengah-tengah percakapan sedang membahas tentang
kata-kata yang tidak tahu malu. Perilaku aneh wanita bangsawan ini didokumentasikan
oleh Jean Marc Gaspard Itard pada tahun 1825. Dalam Sindroma Tourette, tics
dianggap degeneratif penyakit yang diturunkan. Dikatakan bahwa pola makan dan
kebiasaan hidup adalah sebagaimana adanya alkoholisme dan perilaku tidak bermoral
memiliki efek merusak pada sistem saraf.
b.
Studi Tentang Neuropatologi Sindrom Tourette
Oleh karena Sindrom Tourette adalah gangguan yang dapat didefinisikan dengan
baik dengan gejala-gejala yang objektif, neuropatologinya pun lebih mudah untuk
dipelajari dibanding gangguan-gangguan lain. Akan tetapi, masih ada beberapa
penghalang seperti contohnya ialah tidak adanya model binatang, tidak adanya
hubungan yang kuat dengan gen tertentu dan kebutuhan untuk membatasi pencitraan
otak pasien hanya selama periode bebas-tics saja (lihat Swerd-low & Young, 2001).
Kesulitan terbesar dalam mempelajari Sindroma Tourette dapat diatribusikan pada
kenyataan bahwa ia adalah penyakit kaum muda. Oleh karena pasien Tourette jarang
ditangani untuk Sindroma Tourette-nya setelah mereka meninggal, maka hanya ada
sedikit laporan tentang studi posmortem terhadap Sindroma Tourette, itu pun diperumit
oleh ada-nya kondisi-kondisi neurologis lain (misalnya, epilepsi) yang membutuhkan
penanganan (Swerdlow & Young, 2001). Konsekuensinya, studi tentang neuropatologi
Sindroma Tourette didasarkan nyaris secara eksklusif pada penciraan otak, dengan
segala kelemahannya untuk diskusi cermat dan panjang-lebar tentang kelemahankelemahan studi Sindroma Tourette. Yang membuat situasinya semakin rumit adalah
fakta bahwa kebanyakan studi pencitraan-otak difokuskan pada pasien Tourette dewasa,
yang atipikal, karena penyakit ini sudah banyak berkurang ketika pasien mencapai
kematangan. Selain itu, otak pasien yang lebih tua ini boleh jadi memperlihatkan
berbagai perubahan patologis yang merupakan reaksi terhadap gangguan itu dan bukan
merupakan gejala primernya sendiri.
c. Penanganan Sindrom Tourette
Meskipun tics adalah fitur penentu sindroma Tour penanganan biasanya dimulai
dengan memfokuskan pada aspek-aspek lainnya. Pertama, pasien, anggota keluarga,
teman, dan guru dididik tentang sifat sind roma itu. Kedua, penanganannya difokuskan
pada masalah-masalah emosional tambahannya (misalnya, kecemasan dan depresi).
Begitu kedua langkah ini diambil, perhatian dialihkan pada penanganan gejalanya. Tics
Sindroma Tourette biasanya ditangani dengan neuroleptics (pemblokir reseptor Dz yang
digunakan dalam penanganan skizofrenia). Akan tetapi, studi-istudi terkontrol
menunjukkan bahwa neuroleptika itu hanya menghasilkan pengurangan kecil pada
frekuensi tic (misalnya, Nicolson et al., 2005; Scahill et al., 2003).
Kesuksesan pemblokir reseptor Dy yang dalam penanganan Sind roma Tourette itu
konsisten dengan hipotesis mutakhir bahwa gangguan itu berhubungan dengan
abnormalitas dalam sirkuit-sirkuit umpan balik ganglia-basal-talamus-korteks. Secara
khusus, efikasi obat-obat ini mengimplikasikan striatum (kaudatus plus putamen) yang
menjadi target banyak proyeksi dopaminergik ke dalam ganglia basal. Hipotesis
mutakhirnya bahwa Sind roma Tourette adalah sebuah gangguan perkembangan neural
yang merupakan akibat inervasi dopaminergik eksesif striatum dan korteks limbik yang
terkait dengannya (lihat Singer & Minzer,2003).
Di beberapa kasus, gejala Sindroma Tourette tidak menurun pada masa dewasa dan
tidak merespons penanganan obat. Efeknya pada pasien semacam itu justru merusak,
sedemikian merusaknya sehingga teknik-teknik bedah saraf kadang-kad ang diterapkan,
tetapi tanpa hasil (lihat Temel & Visser-Vandewalle, 2003). Baru-baru ini, deep brain
stimulation diupayakan pada sejumlah kecil pasien, dengan hasil-hasil yang
menjanjikan (misalnya, Flaherty et al, 2005; Houetoet al., 2005).
2.5 Perkembangan Obat-Obat Psikoterapeutik
Hampir setiap hari ada informasi akan penemuan-penemuan menarik yang mengarah
pada obat terapeutik baru yang efektif atau perawatan untuk gangguan kejiwaan. Tetapi,
sering kali hal tersebut tidak dapat terwujud. Contohnya saja hampir 50 tahun setelah
revolusi dalam biologi molekuler dimulai, namun tidak ada satupun bentuk terapi gen nya
yang digunakan secara luas. Alasannya karena perawatan medis maupun pembuatan obat
lainnya dari penelitian dasar yang menjanjikan saat perealisasiannya sangatlah kompleks,
memakan waktu, dan biaya yang mahal. Oleh sebab itu, suatu penelitian dirancang untuk
menerjemahkan penemuan ilmiah dasar menjadi perawatan klinis efektif yang disebut
dengan penelitian translasi.
Pada tahun-tahun awal, perkembangan obat psikoterapi sebagian besar merupakan
proses yang untung-untungan. Obat baru diujikan kepada pasien dengan sedikit pembenaran
dan kemudian dengan cepat dipasarkan kepada publik yang tidak menaruh rasa curiga.
Padahal saat ditelusuri kembali obat tersebut berbahaya atau bahkan tidak memiliki
kegunaan seperti tujuan awalnya.
Namun, perubahan telah terjadi. Pengujian obat eksperimental kepada sukarelawan
manusia dan obat yang ingin dipasarkan telah diatur secara ketat oleh pemerintah. Proses
mendapatkan izin dari pemerintah untuk memasarkan obat psikoterapi terbaru dimulai
dengan sintesis obat, yang mana prosedurnya dikembangkan agar proses sintesis dapat
dilakukan secara efisien dan ekonomis. Selain itu, pengujiannya digantikan kepada hewan
agar bisa menunjukkan bahwa obat tersebut kemungkinan aman untuk dikonsumsi manusia
dan berpotensi menjadi obat terapeutik yang bermanfaat.
Langkah awal ini biasanya membutuhkan rentang waktu yang lama setidaknya 5
tahun dan hanya bisa mendapatkan izin untuk melanjutkan ke tahap uji klinis (clinical trials)
jika buktinya cukup menjanjikan. Uji klinis (clinical trials) sendiri adalah studi yang
dilakukan kepada manusia untuk menilai kemanjuran terapeutik obat yang belum teruji atau
perawatan lain.
Setelah semua tahapan tersebut disetujui oleh lembaga pemerintah, maka uji klinis
obat baru dengan potensi terapeutik dapat dimulai. Uji klinis dapat dilakukan dalam tiga
fase, yaitu penyaringan untuk keamanan, menetapkan protokol pengujian, dan pengujian
akhir.
a. Fase 1: Seleksi terhadap Nilai Keamanan.
Tujuan dari fase pertama ini adalah agar bisa menentukan tingkat keamanan dari
obat tersebut saat digunakan kepada manusia. Jika aman, maka akan ditentukan seberapa
banyak dosisnya yang dapat ditoleransi. Karena mengelola obat yang ditujukan kepada
manusia untuk pertama kalinya merupakan proses yang berisiko, yang mana tidak ada
cara untuk mengetahui secara pasti bagaimana mereka akan merespon. Subjek di fase 1 ini
biasanya relawan yang sehat dan berbayar. Uji klinis fase 1 ini selalu dimulai dengan
suntikan kecil, yang secara bertahap ditingkatkan selama prosesnya berjalan. Respon para
relawan sangat dipantau dengan teliti, dan apabila responnya mengarah ke hal yang
merugikan, maka pengujian akan dibatasi.
b. Fase 2: Menetapkan Protokol Pengujian
Tujuan fase kedua uji klinis ini adalah untuk menetapkan protokol (kondisi) bagi
tes akhir sehingga berkemungkinan besar memberikan hasil yang tepat dan jelas. Sebagai
contoh, pada fase 2 peneliti berharap untuk menemukan dosis yang tepat dan efektif bagi
terapi, seberapa sering mereka harus diberikan, berapa lama harus diberikan agar
mendapatkan efek terapeutik yang diharapkan, manfaat apa yang mungkin didapatkan,
serta pasien mana yang kemungkinan besar akan terbantu. Pengujian kemudian dilakukan
pada pasien yang ditargetkan atau kelak mendapatkan perawatan dengan obat tersebut.
Dalam pengujian, biasanya juga mengikut sertakan kelompok kontrol plasebo atau
kelompok pasien yang menerima zat kontrol (obat kosong tanpa bahan kimia). Serta
diterapkan double-blind design, yaitu pengujian obat-obatan baru dengan ketentuan baik
orang yang memberikan obat maupun yang menerima pengobatannya tidak mengetahui
secara langsung siapakah yang mendapatkan obat yang nyata atau yang hanya berupa
plasebo (obat kosong).
c. Fase 3: Pengiriman Terakhir
Uji tes pada fase ini dilakukan agar bisa memastikan bahwa obat yang telat dibuat
memiliki khasiat dan memiliki kedudukan tersendiri dibandingkan obat standar lainnya.
Pengujian pada fase 3 mencakup pada kelompok pasien yang luas dan diujikan kepada
pasien-pasien yang tidak melewati tahap seleksi dengan ketat, misalnya mereka memiliki
penyakit penyerta serta sedang mengikuti bentuk terapi yang lain. Selain itu, pada fase 3
obat yang telah dibuat dibandingkan dengan plasebo, obat yang sama tetapi dosisnya
berbeda, obat standar dengan dosis ekuiefektif, dan obat lain yang memiliki indikasi sama
seperti dosis ekuiefektif. Hal tersebut dilakukan agar bisa menunjukkan khasiat dari obat
yang dibuat, sehingga diterapkan uji klinik komparatif dengan membandingkannya
bersama plasebo, atau dibandingkan dengan obat yang standarnya telah dikenal. Tes yang
berhasil adalah tes di mana efek menguntungkan lebih besar daripada efek samping yang
merugikan. Dan apabila hasil pengujian pada tahap ini berhasil membuktikan bahwa obat
tersebut aman dan efektif untuk dikonsumsi, maka perizinan untuk pemasarannya pun
akan dikeluarkan.
2.6 Aspek Kontroversial Dari Clinical Trials
Proses uji klinis tidak dapat terhindar dari kontroversi. Berikut adalah poin yang
menjadi fokus dalam kritik maupun perdebatan dalam pelaksanaannya:
a. Persyaratan Double-Blind Design Dan Kontrol Plasebo
Dalam kebanyakan uji klinis, pasien ditempatkan ke kelompok obat atau plasebo
secara acak dan tidak tahu pasti perawatan apa yang akan mereka terima. Sehingga
beberapa pasien yang harapannya dapat disembuhkan hanya dengan pengobatan
eksperimental yang baru, tanpa disadari ternyata menerima plasebo. Perusahaan obat dan
badan pemerintah mengakui bahwa hal tersebut benar, tetapi mereka berpendapat bahwa
tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pengobatan eksperimental efektif sampai
percobaan double-blind serta placebo control telah selesai. Karena gangguan kejiwaan
sering membaik setelah pemberian plasebo, maka prosedur kontrol double-blind sangat
penting menjadi evaluasi dalam pembuatan obat psikoterapi.
b. Lamanya Waktu Yang Dibutuhkan
Pasien yang putus asa mencari perawatan baru seringkali dibuat frustrasi oleh
durasi waktu yang dibutuhkan untuk uji klinis, yang mana cukup memakan waktu yang
lama. Karena itulah peneliti, perusahaan obat, dan instansi pemerintah berusaha untuk
mempercepat proses evaluasi tanpa mengorbankan kualitas prosedur yang dirancang
untuk melindungi pasien dari perawatan yang tidak efektif atau berbahaya. Ini keharusan
untuk melakukan kompromi yang benar.
c. Isu-Isu Finansial
Perusahaan-perusahaan obat tentu membayar para ilmuwan, dokter, teknisi,
asisten, dan pasien yang terlibat dalam uji coba obat. Mempertimbangkan jutaan biaya
yang dihabiskan oleh perusahaan dan fakta bahwa hanya sekitar 22% dari calon obat yang
dapat memasuki pengujian fase 1 serta mendapatkan persetujuan akhir, tidak
mengherankan bahwa perusahaan sangat ingin menutupi kerugian biaya mereka.
Mengingat tekanan ini, banyak yang mempertanyakan kejujuran pimpinan mereka serta
yang terlibat dalam melaporkan uji coba yang dijalani. Para ilmuwan sendiri sering
mengeluhkan
bahwa
perusahaan
obat
yang
mensponsori
membuat
mereka
menandatangani perjanjian yang isinya melarang mereka untuk mempublikasikan atau
mendiskusikan temuan negatif tanpa persetujuan perusahaan. Hal ini menjadi masalah
serius yang sedang berlangsung karena obat baru apa pun akan tampak menjanjikan jika
semua bukti negatif tersebut ditekan. Masalah keuangan lainnya adalah pemikiran
profitabilitas, perusahaan obat jarang mengembangkan obat yang berguna untuk
mengobati gangguan langka karena perawatan seperti itu dianggap tidak akan
menguntungkan. Obat tersebut dianggap terlalu bernilai kecil bagi mereka jika dipasarkan.
Selain itu, biaya uji klinis yang sangat besar berkontribusi pada hambatan translasi,
artinya tidak semua penelitian dapat dilanjutkan dan hanya sebagian kecil proporsi ide
atau perawatan yang berpotensi tinggi untuk bernilai yang menerima dana untuk
penelitian translasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berbicara mengenai manusia, tidak jarang manusia mengalami gangguan baik pada jiwa
atau afeksinya. Gangguan psikiatri yang sering dialami manusia adalah gangguan mental berat
yang pengobatannya di luar ranah seorang psikolog, dokter yang mengobati gangguan psikiatri
disebut psikiater. Ilmu psikiater mempelajari lebih dalam mengenai bagaimana cara
mendiagnosis, mengobati, dan mencegah gangguan mental, emosional, dan perilaku seseorang.
Diantara gangguan tersebut terdapat gangguan Skizofrenia, Depresi, Bipolar dan Sindrom
Tourette. Apabila tidak segera diberi perawatan lebih lanjut akan mempengaruhi segala aspek
kehidupannya, baik bagi diri sendiri maupun sosialnya. Dan dalam perkembangannya, hampir
setiap hari ditemukan adanya informasi akan penemuan-penemuan menarik yang mengarah pada
obat terapeutik baru yang efektif atau perawatan untuk gangguan kejiwaan.
3.2 Saran
Dengan pembuatan makalah ini diharapkan kepada setiap pembaca, terutama mahasiswa
prodi Psikologi FK ULM untuk dapat lebih memahami materi gangguan Psikiatri dan Afektif
agar mereka dapat memahami lebih dalam mengenai gangguan mental berat. Penulis juga
mengharapkan saran dan masukan pembaca demi makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Krišto, A. (2016). Tourette sindrom (Doctoral dissertation, University of Zagreb. Faculty of
Teacher Education. Chair of Pedagogy and Didactics.).
Pinel, John P.J & Barnes, Steven J. (2018). Biopsychology, 10th edition. London: Pearson
Education.
Rahmatini, R. (2015). Evaluasi Khasiat Dan Keamanan Obat (Uji Klinik). Majalah Kedokteran
Andalas, 34(1), 31.
Yudhantara, D. Surya & Istiqomah, R. (2018). Sinopsis Skizofrenia Untuk Mahasiswa
Kedokteran. Malang: UB Press.
Download