LEARNING TASK 1 KEPERAWATAN BENCANA FAKTOR RISIKO DAN POTENSI BENCANA DI WILAYAH INDONESIA TENGAH Oleh SGD 2: Fasilitator: Ns. I Gusti Ngurah Juniartha, S.Kep., M.Kep Anggota Kelompok : 1. Putu Rossi Widyasari 1502105015 2. Ni Kadek Rima Pebrianti 1702521005 3. Ni Ketut Ayu Indah Gita Cahyani 1702521009 4. Gusti Nyoman Mega Utami 1702521010 5. Ida Ayu Eni Pradnyandari 1702521014 6. Luh Yudita Intan Pratiwi 1702521018 7. Ida Ayu Susanti 1702521030 8. Dewa Gede Wirahadi Putra 1702521037 9. Kadek Riska Kristyani Sari Dewi 1702521052 10. Ni Kadek Konik Damayanti Putri 1702521060 11. Made Ayu Tara Sania Tari 1702521066 PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2020 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam, mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, nonalam maupun manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007). Bencana dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Bencana alam merupakan peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti, gempa bumi, tsunami, banjir, kekeringan. Bencana non alam yaitu bencana yang disebabkan oleh peristiwa non alam seperti kegagalan teknologi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana Sosial merupakan bencana yang disebabkan oleh manusia seperti konflik sosial, dan teror. Indonesia merupakan salah satu negara dengan risiko bencana yang tinggi. Fakta tersebut tidak dapat dipungkiri melihat letak geologi dan geografi Indonesia yang menyebabkan rawan terjadi bencana (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2018). Secara geologi, Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu Eurasia, Indo Australia, dan Pasifik. Kondisi ini menyebabkan Indonesia rawan terjadi gempa bumi, erupsi gunung api, tsunami, dan bencana geologi lainnya. Sedangkan secara geografi, Indonesia terletak di garis khatulistiwa yang beriklim tropis dan hanya memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kondisi ini juga berisiko terjadi bencana seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, kebakaran hutan, dan kekeringan (BNPB, 2017). BNPB mencatat jumlah kejadian bencana alam di Indonesia selama tahun 2019 yaitu 1.426 kejadian. Jenis bencana yang menyumbang angka kejadian tersebut yaitu bencana banjir, tanah longsor, gelombang pasang, puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan, gempa bumi, dan letusan gunung api. Sementara itu jumlah kejadian bencana alam yang terjadi di wilayah Indonesia bagian tengah pada tahun 2019 yaitu 213 kejadian. Hasil perhitungan indeks risiko bencana menurut BNPB (2018) menunjukkan 16 provinsi berada pada kelas risiko bencana tinggi, 18 provinsi berada pada kelas risiko bencana sedang dan tidak ada provinsi yang berada pada risiko bencana rendah. Sulawesi Barat merupakan salah satu provinsi di wilayah Indonesia bagian tengah yang berisiko paling tinggi terhadap ancaman bencana dengan skor indeks risiko bencana yaitu 162,92. Tingginya indeks risiko bencana menunjukkan adanya ancaman bencana yang harus dihadapi, sehingga diperlukan upaya pencegahan bencana, mitigasi, kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana. Berdasarkan fakta letak geologis, geografi, angka kejadian bencana dan indeks risiko bencana menunjukkan pentingnya melakukan identifikasi faktor risiko dan potensi bencana. Hal ini sesuai dengan learning task Small Group Discussion Keperawatan Bencana, dimana kelompok SGD 2 melakukan identifikasi faktor risiko dan potensi bencana yang mungkin terjadi di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat yang memiliki skor IRB 162,92 atau kelas risiko tinggi. 1.2 Tujuan Tujuan dari penyusunan laporan Small Group Discussion ini, yaitu: 1. Mengidentifikasi dan menjelaskan faktor risiko bencana di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat. 2. Mengidentifikasi dan menjelaskan potensi bencana di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat. 1.3 Manfaat 1. Manfaat Teoritis Hasil diskusi Small Group Discussion ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan konsep mengenai faktor risiko dan potensi bencana di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat. 2. Manfaat Praktis Hasil diskusi Small Group Discussion ini diharapkan mampu bermanfaat bagi mahasiswa sebagai informasi terkait faktor risiko dan potensi bencana di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat dan mengetahui peran perawat dalam upaya penanggulangan bencana. BAB II PEMBAHASAN A. Faktor risiko bencana di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat 1. Letak Geologi dan Geografis Provinsi Sulawesi Barat yang secara astronomis terletak antara 0°12’03°38’ Lintang Selatan (LS) dan 118°43’15’’-119°54’3’’ Bujur Timur (BT), berada di sebelah Barat Pulau Sulawesi. Wilayah di Provinsi Sulawesi Barat berbatasan langsung dengan patahan mamuju dan palukoro yang menyebabkan provinsi ini mempunyai ancaman yang tinggi terjadinya bencana gempa bumi (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2018). Hal tersebut juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya pergeseran secara vertikal di dasar laut yang mengakibatkan potensi tsunami. Gambar sesar atau patahan sebagai pemicu gempa bumi di pulau Sulawesi. 2. Iklim Topografi di masing-masing kota di provinsi ini terdiri dari perbukitan hingga dataran landai, kondisi dataran yang landai yang disertai dengan iklim yang bervariasi menyebabkan potensi bencana hidrometeorologi. Adapun penyebaran potensi kerentanan perubahan cuaca dapat dilihat pada gambaran peta di bawah ini. Berdasarkan peta di atas terdapat 14 desa yang rentan akibat dari perubahan iklim. Desa yang rentan ditandai dengan warna merah pada gambar peta di atas. Pemetaan daerah rentan perubahan iklim ini dapat menjadi acuan untuk instansi agar dapat memfokuskan pada daerah/desa dengan tingkat kerentanan yang tinggi. Selain itu, pemilihan aksi untuk adaptasi dan atau mitigasi pada daerah tersebut dapat menjadi lebih efektif dengan melihat informasi pemetaan daerah kerentanan yang sudah disajikan di atas agar aksi adaptasi dan atau mitigasi dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Selain pemetaan indeks kerentanan secara umum, melalui data SIDIK dapat diketahui tingkat kerentanan suatu daerah terhadap beberapa bencana alam yang sering terjadi yaitu longsor dan banjir yang disajikan pada gambar di bawah ini. Peta Daerah Rentan dan Potensi Banjir Wilayah Sulawesi Barat Peta Daerah Rentan dan Potensi Longsor Wilayah Sulawesi Barat 3. Kepadatan Penduduk Provinsi sulawesi barat terdiri atas enam kabupaten/kota. Provinsi ini mempunyai kepadatan penduduk mencapai 61 jiwa/km dengan total penduduk sebanyak 1.355.554 jiwa. Faktor kepadatan penduduk di provinsi ini merupakan faktor risiko terjadinya bencana, hal tersebut disebabkan karena meningkatnya pengalihan fungsi lahan untuk perumahan, perkebunan sehingga menyebabkan rusaknya lingkungan (BNPB, 2018). 4. Keberagaman Masyarakat Indonesia dianugerahi dengan berbagai macam perbedaan yang meliputi suku bangsa, ras agama dan antar golongan. berdasarkan data sensus penduduk Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 Indonesia memiliki sekitar 1.340 suku bangsa (Portal Informasi Indonesia, 2017). Menurut Badan Pusat Statistik jumlah penduduk asal suku Mandar di Sulawesi Barat mencapai 49,5%. Selain suku Mandar Provinsi Sulawesi Barat juga ditinggali beragam suku lainnya seperti Toraja, Bugis, Jawa, dan Makassar. Sementara itu keberagaman agama pada penduduk Sulawesi Barat yaitu 83, 30% penduduk beragama Islam, 13,83% beragama Protestan 1,16% beragama Katolik, 1,65% beragama Hindu, dan 0,066% beragama Buddha . Kondisi keberagaman tersebut menjadi salah satu faktor risiko dan berpotensi menimbulkan konflik sosial terlepas dari beberapa faktor lain yang memicu terjadinya konflik seperti perbedaan individu meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan latar belakang kebudayaan yang mengacu pada keberagaman di atas, perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat (Irwandi & Chotim, 2017). B. Potensi bencana di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat 1. Potensi Bencana Alam Provinsi Sulawesi Barat terletak dalam jalur tektonik cincin api dunia, sehingga membuat wilayah Provinsi Sulawesi Barat memiliki kerentanan tinggi terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam geologi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Topografi di Provinsi Sulawesi Barat terdiri dari perbukitan berlereng terjal hingga dataran landai, kondisi topografi yang landai ditambah dengan situasi iklim yang berbagai jenis dapat menyebabkan Provinsi Sulawesi Barat memiliki potensi yang besar mengalami bencana hidrometeorologi. Potensi bencana yang dapat terjadi di Provinsi Sulawesi Barat yaitu gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, gelombang ekstrem dan abrasi. Berdasarkan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) pada tahun 2018, Provinsi Sulawesi Barat memiliki indeks risiko dengan kategori tinggi yaitu 162.92 (BNPB, 2018). Adapun penjabaran nilai indeks risiko bencana di wilayah Provinsi Sulawesi Barat, yaitu: Banjir merupakan suatu daerah yang tergenang oleh air dalam jumlah besar (Badan Penanggulangan Bencana Daerah, 2015). Banjir bandang merupakan banjir yang datang secara tiba-tiba dengan jumlah air yang besar, disebabkan oleh terbendungnya aliran sungai pada alur sungai (Badan Penanggulangan Bencana Daerah, 2015). Kawasan di Indonesia ketika musim penghujanan selalu dilanda oleh banjir. Kejadian bencana banjir terlihat menunjukkan frekuensi yang meningkat. Ulah manusia dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya banjir, seperti penebangan liar mengakibatkan penggundulan hutan, membuang sampah sembarangan ke aliran sungai yang dapat mengakibatkan penyumbatan pada aliran sungai dan menyebabkan banjir, penggunaan lahan yang tidak tepat, seperti pemukiman di daerah bantaran sungai, dan sebagainya (Badan Penanggulangan Bencana Daerah, 2015). Daerah yang berpotensi mengalami banjir di wilayah Indonesia salah satunya Sulawesi Barat, yaitu sebuah website berita Kota Mamuju daerah yang berpotensi terjadi bencana alam yang salah satunya bencana banjir. Daerah Mamuju memiliki sungai besar di beberapa kecamatan sangat berpotensi terjadinya bencana banjir. Sehingga pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah berharap agar semua pihak tidak melakukan serta merusak hutan yang dapat mengancam keselamatan manusia (Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat, 2020). 2. Potensi Bencana Sosial Berdasarkan Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial Provinsi Sulawesi Barat dibagi menjadi beberapa kabupaten, yaitu: a. Kabupaten Mamuju terdapat potensi konflik yaitu SARA. b. Kabupaten Majene, Mamuju Tengah, dan Polman terdapat potensi konflik yaitu Sengketa Tanah dan Sumber Saya Alam, SARA, dan Sosial. c. Kabupaten Mamasa terdapat potensi konflik yaitu Perkelahian antar Warga, SARA, dan Sosial. d. Kabupaten Pasangkayu terdapat potensi konflik yaitu Lahan dan Sumber Daya Alam. Potensi Konflik : a. Konflik Sosial Pada dasarnya dilansir oleh berita yang menekankan perlu ada upaya bersama dalam mengefektifkan penanganan konflik sosial melalui langkah-langkah kegiatan pencegahan, penghentian, dan pemulihan pasca konflik. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan keterpaduan dan koordinasi antar aparatur pemerintah daerah dengan instansi vertikal di daerah ini. b. Sengketa Sumber Daya Alam Adanya pengelolaan sumber daya alam yaitu di pesisir yang dilansir oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat telah menetapkan Rencana Strategis Kelautan dan Manajemen Sumber Daya Pesisir dengan adanya program pengelolaan dan perlindungan terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Implementasi program ini dapat dilakukan melalui penyewaan teknologi praktik terbaik dan keterampilan sosial berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Oleh karena itu sinergi multi-disiplin, dimensi sosial, dan pembangunan berkelanjutan, masyarakat akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai ekosistem pesisir dan sumber daya alam (Sadelie et al, 2011). Sedangkan untuk dataran tinggi khusus pada Kabupaten Mamuju yaitu salah satu target area Green Prosperity Project yang dirancang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Lokasi ini dipilih berdasarkan keterkaitan aliran hulu dan hilir dari DAS Karama dengan DAS Bonehau. Sebagai langkah awal, dokumen terkait telah diinventarisasi melalui berbagai kegiatan penelitian dan proyek. Ke depannya, akan dilakukan kajian mendalam mengenai landscape, lifescape, penguatan institusi dan kondisi DAS, pengenalan teknologi, dan latar belakang masalah dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. c. Sengketa Tanah Ketimpangan wilayah dalam artian pembangunan yang dimaknai sebagai upaya berkesinambungan menciptakan keadaan yang dapat menyediakan lebih baik alternatif dan valid bagi setiap warga negara untuk mencapai aspirasi humanistik (Kabul & Trigunarso, 2017). Adapun tujuan untuk mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera lahir batin dan masyarakat yang adil dan makmur. Ketimpangan atau kesenjangan wilayah dapat dimengerti dalam kondisi apa pun dengan berbagai perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah (Ratnasari & Santoso, 2014). Ketimpangan ini terjadi pada domisili berbeda dengan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, serta rendahnya akses masyarakat terhadap sarana prasarana sosial ekonomi (Basri dalam Ratnasari & Santoso, 2014). Meskipun adanya penurunan dalam indeks ketimpangan, ketimpangan merupakan sebuah akumulasi dari konsentrasi kegiatan ekonomi yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Terdapat daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi seperti di Mamuju Utara, dikarenakan terdapat produksi perkebunan sawitnya, namun terdapat pula daerah seperti Majene yang pertumbuhan ekonomi lebih tertinggal dari daerah lainnya di Sulawesi Barat. Faktor yang disebabkan karena kondisi geografis yang tidak sesubur kabupaten lainnya, sehingga tidak menunjang utamanya kegiatan pertanian yang masih menjadi primadona di Sulawesi Barat (Amruddin, 2020). d. Konflik SARA Isu terkait adanya konflik SARA mengimbau masyarakat Sulawesi Barat untuk lebih hati-hati dan waspada. Diskusi terkait LSM-Jari Manis kali ini mengangkat tema ‘Pentingnya Kerukunan dan Toleransi Ummat Beragama dalam menangkal isu SARA dan Hoax, menghadirkan narasumber diantaranya Ketua Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) Sulbar, Sahabuddin Kasim, Kapolres Mamuju AKBP Muhammad Rivai Arvan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulbar, Misbahuddin. Sementara itu, Kapolres Mamuju AKBP Muhammad Rivai Arvan menganggap, hoaks dan isu SARA tidak terlepas dari perkembangan teknologi. Olehnya itu ia meminta agar masyarakat selalu cerdas dalam menggunakan media sosial. BAB III PENUTUP 1. Simpulan Faktor risiko terjadinya bencana di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat dapat ditinjau dari letak geologis, letak geografis, iklim, kepadatan penduduk dan keberagaman masyarakat. Letak geologis dan geografis menjadi faktor risiko terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami. Perubahan iklim juga menjadi faktor yang dapat menyebabkan terjadinya bencana hidrometeorologi. Kepadatan penduduk dapat berdampak pada kerusakan lingkungan dan kebakaran hutan atau lahan. Keberagaman masyarakat menjadi faktor risiko dan berpotensi terjadi bencana sosial seperti konflik. Tingginya nilai indeks risiko yaitu 162.92 di wilayah Provinsi Sulawesi Barat menunjukkan adanya potensi atau ancaman besar akan terjadinya bencana. Potensi bencana alam yang dapat terjadi di Provinsi Sulawesi Barat yaitu gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, gelombang ekstrem dan abrasi. Selain itu Provinsi Sulawesi Barat juga berpotensi terjadi bencana sosial antara lain, konflik sosial, konflik SARA, sengketa tanah, dan sengketa sumber daya alam. 2. Saran Mengidentifikasi dan mengenali faktor risiko dan potensi bencana di wilayah Indonesia penting dilakukan sebagai upaya awal dalam pencegahan bencana, mitigasi, kesiapsiagaan, dan penanggulangan bencana. Faktor risiko dan potensi bencana tersebut juga dapat digunakan sebagai dasar dalam perencanaan penanggulangan bencana dan membuat kebijakan terkait penanganan bencana sehingga dapat digunakan dalam menghadapi bencana. DAFTAR PUSTAKA Amruddin, A. (2020). Ketimpangan Pembangunan Di Sulawesi Barat. Jurnal Arajang, 3(1), 1–17. https://doi.org/10.31605/arajang.v3i1.582 Badan Kesatuan Bangsa dan Politik. (2020). Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial Dan Bencana Alam Provinsi Sulawesi Barat. Available from : https://kesbangpol.sulbarprov.go.id/petaSpotensi-kerawanan-konfliksosial-bencana-alam/peta-potensi-kerawanan-konflik-sosial-bencana-alam/ Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2017). Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana. Jakarta: Pusat Data, Informasi Dan Humas BNPB. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2018). Indeks Risiko Bencana Indonesia Tahun 2018. Jakarta: Direktorat Pengurangan Risiko Bencana BNPB. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Mamuju. (2015). Potensi Bencana Banjir di Kota Mamuju. Diakes [http://bpbd.kota.mamuju.go.id/bencana.] pada 9 Oktober 2020. Bakti, Y. (2017). Proceedings: Diskusi Nasional Pengetahuan Hijau. Available from : https://pengetahuanhijau.batukarinfo.com/berita/pengelolaansumber-daya-alam-kabupaten-mamuju-sulawesi-barat. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim-Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). Sulawesi Barat. diakses melalui http://ditjenppi.menlhk.go.id/admin/berita-admin/obrolan/3039-sulawesibarat.html. pada tanggal 12 Oktober 2020. Irwandi, I., & Chotim, E. R. (2017). Analisis Konflik Antara Masyarakat, Pemerintah Dan Swasta. JISPO Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 7(2), 24-42. Kabul, M. A. & Trigunarso, S. I. (2017). Perencanaan Pembangunan Daerah. Depok: Kencana. Pemerintah Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 66. Jakarta: Sekretariat Negara. Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. (2020). Sulawesi Barat Rawan Bencana. Diakses [https://berita.sulbarprov.go.id/index.php/kegiatan/item/2037sulawesi-barat-rawan-bencana] pada 9 Oktober 2020. Portal Informasi Indonesia. (2017). Suku Bangsa. Diakses https://indonesia.go.id/profil/suku-bangsa pada 9 Oktober 2020. melalui Pratama, M. (2018). Tangkal Isu SARA & Hoax, LSM Jari Manis Gelar Diskusi. Available from https://sulbaronline.com/2019/07/tangkal-isu-sara-hoaxlsm-jari-manis-gelar-diskusi/. Pusat Informasi Data Investasi Indonesia. (2020). Potensi dan Peluang Investasi di Provinsi Sulawesi Barat. Diakses melalui http://pidii.info/index.php?option=com_blox&view=layouts&layout_id=5 7&Itemid=390 pada 9 Oktober 2020. Ratnasari, Y. & Santoso, E. B. (2014). Penentuan Tipologi Kesenjangan Wilayah di Kabupaten Lamongan Berdasarkan Aspek Ekonomi dan Sosial. Jurnal Teknik Pomits, 03(02), pp. 125- 130. PETA POTENSI KERAWANAN KONFLIK SOSIAL DAN BENCANA ALAM PROVINSI SULAWESI BARAT 1 Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam Kabupaten Mamuju 1. Potensi Konflik SARA 2. Potensi Sengketa Sengketa Tanah dan Sumber Daya Alam 3. Potensi Perkelahian antar warga 4. Potensi Banjir Bandang di Kec. Kalukku 5. Potensi Banjir Bandang di Kec. Mamuju 6. Potensi Rawan Longsor di Poros Kec. Tapalang – Kec. Mamuju 7. Potensi Rawan Abrasi di Kec. Tapalang 8. Potensi Penggunaan Narkoba di Kec. Mamuju, Kec. Tapalang dan Kec. Kalukku 2 Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam Kabupaten Majene 1. Potensi Konflik Sengketa Sengketa Tanah dan Sumber Daya Alam 2. Potensi Konflik SARA dan Sosial 3. Potensi Banjir Bandang di Kec. Malunda 4. Potensi Longsor dan Abrasi di Kec. Sendana 5. Potensi Penggunaan Narkoba di Kec. Banggae, Kec. Pamboang dan Kec. Malunda 3 Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam Kabupaten Polman 1. Potensi Konflik Sengketa Tanah dan Sumber Daya Alam 2. Potensi Konflik SARA dan Sosial 3. Potensi Sengketa Tapal Batas antara Sulbar dan Sulsel 4. Potensi Longsor di Kec. Matangnga 5. Potensi Banjir Bandang di Kec. Mapilli 6. Potensi Abrasi Pantai di Kec. Campalagian 7. Potensi Penggunaan Narkoba di Kec. Polewali dan Kec. Tinambung 4 Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam Kabupaten Mamasa 1. Potensi Konflik Perkelahian antar warga 2. Potensi Konflik SARA dan Sosial 3. Potensi Rawan Longsor di Kab. Mamasa 4. Potensi Penggunaan Narkoba di Kab. Mamasa 5 Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam Kabupaten Mamuju Tengah 1. Potensi Konflik Sengketa Tanah dan Sumber Daya Alam 2. Potensi Sengketa Tapal Batas Administrasi Pemerintahan 3. Potensi Konflik SARA dan Sosial 4. Potensi Banjir Bandang di Kec. Pangale, Kec. Topoyo dan Kec. Tobadak 6 Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam Kabupaten Pasangkayu 1. Potensi Konflik Lahan dan Sumber Daya Alam 2. Potensi Sengketa Tapal Batas antara Sulbar dan Sulteng 3. Potensi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami di Kab. Pasangkayu 4. Potensi Bencana Banjir Bandang di Kec. Baras dan Kec. Pasangkayu 5. Potensi Penggunaan Narkoba di Kec. Pasangkayu 7 ARTIKEL ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT, PEMERINTAH DAN SWASTA (Studi Kasus di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung) Abstract This paper describes the chronology of the conflict, the factors that cause conflict, the form of conflict and conflict resolution between society, government and sand mining companies in Samak River Village, Samak River Village, Badau District, Belitung Regency. Conflict that occurred in the Samak River Hamlet backdrop by the lack of socialization, less open village government to the community, the difference in the importance of the impact of mining activities. The forms of social conflict that occurred in the Samak River Hamlet are vertical conflicts and horizontal conflicts. Vertical conflicts occur between communities, village governments and mining companies. While horizontal conflicts occur within the society itself between the pro and the opposing groups because of differences of interest. Conflict resolution measures taken by communities, government and mining companies include negotiations; Kosuliasi; Mediation; and Arbitration. Keywords: Conflict, Society, Government, Mine A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia dengan sumber daya alam yang sangat melimpah, khususnya sumber daya mineral dan batu bara. Keseluruhan sumber daya alam tersebut didapatkan melalui proses pertambangan. Pertambangan merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batu bara, panas bumi, dan migas). Sektor pertambangan diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan bagi mayarakat, namun disisi lain tidak sedikit kegiatan pertambangan yang menimbulkan konflik bagi masyarakat dan kerusakan lingkungan hidup. Konflik pada dasarnya merupakan sebuah hal yang selalu ada dan sulit untuk dipisahkan dalam kehidupan sosial. Konflik sosial merupakan Irwandi, Endah R. Chotim E-mail: [email protected], [email protected] Dosen FISIP Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung 24 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 gambaran tentang perselisihan, percecokan, ketegangan atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat, baik perbedaan yang bersifat individual maupun perbedaan kelompok. Seperti perbedaan pendapat, pandangan, penafsiran, pemahaman, kepentingan atau perbedaan lain yang lebih luas dan umum seperti perbedaan agama, ras, suku, bangsa, bahasa, profesi, golongan politik dan sebagainya. Konflik tidak muncul begitu saja dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor yang melatar belakanginya. Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda, seperti konflik antar individu (interpersonal conflict), konflik antar kelompok (intergroup conflict), konflik antar kelompok dengan negara (vertical conflict) dan konflik antar negara (interstate conflict). Setiap skala memiliki latar belakang dan arah perkembangannya masing-masing. Konflik sendiri hadir sebagai manifestasi dari ketegangan sosial, politik, ekonomi dan budaya atau bisa juga disebabkan oleh perasaan ketidakpuasan umum, ketidakpuasan terhadap komunikasi, ketidakpuasan terhadap simbol-simbol sosial dan ketidakpuasan terhadap kemungkinan resolusi serta adanya sumber daya mobilisasi. Konflik merupakan proses disosiatif, namun konflik sebagai salah satu bentuk proses sosial yang memiliki fungsi positif maupun negatif. Apabila konflik mampu dikelola dan diatasi dengan baik oleh setiap elemen masyarakat, maka akan berdampak baik bagi kemajuan dan perubahan masyarakat. Namun sebaliknya, jika konflik yang terjadi ditengah masyarakat tidak mampu dikelola dan diatasi dengan baik maka konflik akan menimbulkan dampak buruk hingga timbulnya berbagai kerusakan baik itu fisik maupun non fisik, ketidak-amanan, ketidakharmonisan, dan menciptakan ketidakstabilan, bahkan sampai mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Sebagaimana konflik yang terjadi antara masyarakat, pemerintah desa dan perusahaan tambang pasir bangunan di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak Kecamatan Badau Kabupaten Belitung. Kehadiran perusahaan tambang dengan segala aktivitas dan dampak yang ditimbulkannya melahirkan reaksi penolakan dari masyarakat setempat. Masyarakat Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak Kecamatan Badau Kabupaten Belitung menolak keberadaan dua perusahaan tambang yang beroperasi di daerah mereka. Kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh dua perusahaan tersebut dinilai mengganggu aktivitas masyarakat setempat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Selain itu masyarakat mengatakan tidak ada informasi awal dari pemerintah desa terkait dengan akan adanya kegiatan penambangan dari perusahaan itu, berapa jumlah lahan yang di ekploitasi, mekanisme tambang seperti apa, serta apa manfaat yang akan diterima warga dan lainnya. Penolakan masyarakat tersebut memiliki dasar dan alasan yang kuat karena setelah aktivitas 25 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 Konflik ini jika tidak ditangani dengan baik maka akan menyebabkan eskalasi konflik kian meluas. Selain itu, penanganan konflik yang lambat akan menyebabkan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat, seperti hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok, hancurnya harta benda, jatuhnya korban jiwa, dan lain sebagainya. Melihat kondisi tersebut, maka dibutuhkan penanganan atau resolusi konflik yang tepat demi meredam konflik tersebut agar tidak semakin meluas dan menyebabkan dampak yang lebih besar lagi. pertambangan tersebut berjalan warga sekitar mulai terkena dampak negatifnya. Dampak negatif tersebut antara lain warga terganggu dengan kebisingan dari aktivitas pengangkutan pasir dilakukan perusahaan yang sampai 24 jam dengan melalui jalan milik warga. Akibat aktivitas pengangkutan pasir tersebut juga menyebabkan jalan dan saluran air menjadi rusak. Selain itu warga nelayan mulai resah karena hasil tangkapan mereka menurun drastis dan terkadang tidak bisa melalut akibat pembuangan limbah cucian pasir yang dialirkan ke muara sungai sehingga air menjadi keruh dan terjadi penumpukan sedimen. Tidak adanya sosialisasi kepada warga perihal rencana dan aktivitas penambangan yang dilakukan oleh perusahaan serta dampak yang ditimbulkannya menyebabkan masyarakat menuding bahwa pemerintah desa setempat tidak transparan dan menjalin persekongkolan dengan pihak perusahaan. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa laporan protes warga terhadap aktivitas penambangan dan dampak yang ditimbulkannya tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah desa setempat. Disinilah kemudian muncul gerakan penolakan terhadap aktivitas penambangan pasir di Dusun Sungai Samak Kecamatan Badau Kabupaten Belitung ini yang kemudian memicu konflik antara masyarakat dengan pemerintah desa dan perusahaan tambang pasir tersebut. B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi Konflik Konflik berasal dari kata kerja, yaitu configure yaitu yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Menurut Soerjono Soekanto (2006), “Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan”. Menurut Pritt dan Rubbin dalam Syahril Ramadhan (2008), konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (repceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang 26 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 berkonflik tidak dapat tercapai secara simultan. Berdasarkan teori konflik, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsur yang ada dalam masyarakat. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Selain itu teori konflik beranggapan bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas golongan yang berkuasa. Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air, emas, meneral, hutan serta berbagai sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Setiap kelompok sosial selalu ada benih-benih pertentangan antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu atau kelompok dengan pemerintah. Pertentangan ini biasanya berbentuk non fisik. Tetapi dapat berkembang menjadi benturan fisik, kekerasaan dan tidak berbentuk kekerasaan. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik vertikal, yaitu antar pemerintah, masyarakat dan swasta, antar pemerintah pusat, pemerintah kota dan desa, serta konflik horizontal yaitu konflik antar masyarakat. Teori konflik menganggap bahwa unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat cenderung bersifat dinamis atau sering kali mengalami perubahan. Setiap elemen yang terdapat pada masyarakat dianggap mempunyai potensi terhadap disintegrasi sosial. Menurut teori konflik ini keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah karena ada tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari golongan yang berkuasa. Adanya perbedaan peran dan status di dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang dikuasi. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor terjadinya konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2002). 2. Jenis-Jenis Konflik Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu: a. Konflik tujuan yaitu konflik terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif. b. Konflik peranan yaitu konflik yang timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama. c. Konflik nilai yaitu konflik yang muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi. 27 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 perbedaan kepentingan antar kelas sosial. d. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok. e. Konflik yang bersifat Internasional yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan Negara. d. Konflik kebijakan yaitu suatu konflik dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemukakan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya. Menurut Fisher (2001), berdasarkan polanya, konflik dibagi kedalam tiga bentuk, yaitu: a. Konflik latent sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. b. Konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. c. Konflik dipermukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi. Selain itu Soerjono Soekanto dalam Furkan Abdi (2009), membagi konflik sosial kedalam lima bentuk khusus berdasarkan tingkatannya, yaitu sebagai berikut: a. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya. b. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan ras. c. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yangdisebabkanadanya 3. Faktor Penyebab Konfik Sosiologi memandang bahwa masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidak seimbangan antara hubunganhubungan manusia seperti aspek sosial, ekonomi dan kekuasaan. Contohnya kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya yang kemudian akan menimbulkan masalah-masalah dalam masyarakat (Fisher, Simon, dkk. 2001). Faktor-faktor penyebab konflik menurut Soejono Soekanto (2006), antara lain yaitu: a. Adanya perbedan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, karena setiap manusia unik, dan mempunyai perbedaan pendirian, perasaan satu sama lain. Perbedaan pendirian dan perasaan ini akan menjadi satu faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan 28 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pamanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahanperubahan ini jika terjadi secara cepat dan mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang sudah ada. Selain itu, menurut Diana Francis (2006), sebab-sebab terjadinya konflik antara lain: a. Komunikasi Salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti dan informasi yang tidak lengkap. b. Struktur Pertarungan kekuasaan antara pemilik kepentingan atau sistem yang bertentangan, persaingan untuk merebutkan sumberdaya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok- kelompok kegiatan kerja untukmencapai tujuan mereka. sosial seorang individu tidak selalu sejalan dengan individu atau kelompoknya. b. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbedabeda, individu sedikit banyak akan terpengaruh oleh pola pemikiran dan pendirian kelompoknya, dan itu akan menghasilkan suatu perbedaan individu yang dapat memicu konflik. c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, individu memiliki latar perasaan, pendirian dan latar belakang budaya yang berbeda. Ketika dalam waktu yang bersamaan masing-masing individu atau kelompok memilki kepentingan yang berbeda. Kadang, orang dapat melakukan kegiatan yang sama, tetapi tujuannya berbeda. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. d. Faktor terjadinya konflik juga dapat disebabkan karena perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesan yang mengalami industrialisai yang mendadak akan memunculkan konflik sosial, sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah 29 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 c. Pribadi. Ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi dengan perilaku yang diperankan mereka, dan perubahan dalam nilai-nilai persepsi. c. Krisis: ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/ kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal diantara dua pihak kemungkinan putus, pernyataanpernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya. d. Akibat: kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan pertikaian. e. Pasca-Konflik: akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalahmasalah yang timbul karena sasaran mereka saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra konflik. 4. Tahapan Konflik Situasi konflik akan selalu berubah dari waktu kewaktu apabila konflik tersebut terus dibiarkan terjadi tanpa adanya upaya penanganan atau penyelesaian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Fisher el.al, menyebutkan ada beberapa alat bantu untukmenganalisissituasi konflik, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda (Fisher, 2001). Tahaptahap ini adalah: a. Pra-Konflik: merupakan periode dimanaterdapatsuatu ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadi konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain. b. Konfrontasi: pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. 5. Akibat Konflik Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan penyatuan dan pemeliharaan struktur soial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih individu atau kelompok. Konflik individu atau 30 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 kelompok lain dapat memperkuat kembali identitasnya dan melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia sosial sekelilingnya. Konflik atau pertentangan tentu saja mempunyai dampak positif maupun dampak negatif. Apakah suatu pertentangan membawa dampak-dampak yang poitif atau tidak, tergantung dari persoalan yang dipertentangkan dan juga truktur sosial dimana pertentangan tersebut bersifat positif oleh karena itu ia mempunyai kecenderungan untuk memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma atau hubungan-hubungan sosial dalam kelompok bersangkutan sesuai dengan kebutuhan individu maupun bagian-bagian kelompok. Pemikiran awal tentang fungsi dari konflik sosial berasal dari pemikiran George Simmel yang diperluas oleh Lewis Alfred Coser dalam Furkan Abdi (2009), yang menyatakan bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi atau berkonflik dapat memperbaiki perpaduan integrasi. Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pertentangan atau konflik, antara lain (Wirawan, 2010): a. Bertambahnya solidaritas in-group Apabila suatu kelompok bertentangan dengan kelompok lain, solidaritas antara warga/ kelompok biasanya akan tambah erat. b. Hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok Hal ini terjadi apabla timbul pertentangan antar golongan dalam suatu kelompok. c. Adanya perubahan kepribadian individu Ketika terjadi pertentangan, ada beberapa pribadi yang tahan dan tidak tahan terhadapnya. Mereka yang tidak tahan akan mengalami perubahan tekanan yang berujung tekanan mental. d. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban Jiwa Konflik yang berujung pada kekerasan maupun peperangan akan menimbulkan kerugian, baik secara materi maupun jiwaraga manusia. e. Akomodasi, dominasi, dan takluknya suatu pihak Konflik merupakan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Konflik bisa terjadi ketika beberapa tujuan dari masyarakat tidak sejalan. 6. Resolusi Konflik di dalam Masyarakat Penyelesaian atau resolusi konflik merupakan suatu kondisi di mana pihak-pihak yang berkonflik melakukan suatu perjanjian yang dapat memecahkan ketidak cocokkan utama di antara mereka, menerima keberadaan satu sama lain dan menghentikan tindakan kekerasan satu sama lain. Ini merupakan suatu kondisi yang selalu muncul setelah konfliknya terjadi. Resolusi konflik ini merupakan suatu upaya perumusan kembali suatu solusi atas konflik yang terjadi untuk mencapai kesepakatan baru yang lebih diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. 31 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 Menurut Nasikun (1993), pola penyelesaian konflik dapat dilakukan dalam beberapa pendekatan, yaitu: 1. Negosiasi adalah proses tawarmenawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dengan pihak lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secaradamai melalui perundingan antara pihak yang berperkara. Dalam hal ini, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yangsama maupun yang berbeda. 2. Konsiliasi (Conciliation), Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal: a. Harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan lain, b. Lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian, c. Lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik, d. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis. Resolusi konflik memiliki tujuan agar kita mengetahui bahwa konflik itu ada dan diarahkan pada keterlibatan berbagai pihak dalam isu-isu mendasar sehingga dapat diselesaikan secara efektif. Selain itu, agar kita memahami gaya dari resolusi konflik dan mendefinisikan kembali jalan pintas ke arah pembaharuan penyelesaian konflik. Resolusi konflik difokuskan pada sumber konflik antara dua pihak, agar mereka bersama-sama mengidentifikasikan isu- isu yang lebih nyata. Selain itu, resolusi konflik dipahami pula sebagai upaya dalam menyelesaikan dan mengakhiri konflik. Fisher et.al (2001) menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru. Menunjuk pada pemaparan diatas maka yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara antara pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan pada pihakpihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiriatau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya. 32 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 penyelesaian. Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.Dengan demikian, putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat berbentuk nilai-nilai atau normanorma yang menjadi tatanan dalam masyarakat. 4. Arbitrasi (Arbitration), pihakpihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikankeputusankeputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara arbitrasi mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak arbitrer. e. Konsiliator nantinya memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuatputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesempatan di antara mereka. 3. Mediasi (Mediation), pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akanmemberikannasihatnasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami bahwa mediasi merupakansalah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis. Sementara itu, pihak ketiga yang ditunjuk membantumenyelesaikan sengketadinamakan sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur,antaralain: Merupakansebuahproses penyelesaiansengketa berdasarkan perundingan; Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalamperundingan; Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari C. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Ketua Badan Permusyaratan Desa (BPD), Kepala dan Sekretaris Desa, 2 (dua) orang nelayanan, 1 (satu) orang perwakilan perusahaan penambang, serta dua tokoh masyarakat lainnya yang dianggap memiliki pengetahuan/pengalaman mengenai aktivitas penambangan pasir. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan adalah observasi 33 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 kegiatan penambangan tersebut. Akhirnya sejumlah tokoh pemuda dan tokoh masyarakat berupaya untuk menolak perusahaan tambang tersebut agar tidak terus menerus melakukan kegiatan eksploitasinya. Masyarakat melakukan musyawarah dan bersepakat untuk melakukan aksi penolakan tambang kepada Kepala Desa Sungai Samak. Dalam aksi tersebut masyarakat menyampaikan kepada Kepala Desa Sungai Samak Bupati Belitung bahwa masyarakat Dusun Sungai Samak menolak adanya pertambangan di wilayah nya. Aksi tersebut tidak ditanggapi serius oleh Pemerintah Desa Sungai Samak, karena massa aksi pada saat itu tidak begitu banyak, hanya dilakukan oleh beberapa orang pemuda saja. Pemerintah Desa Sungai Samak menganggap bahwa masyarakat pada umumnya telah menyetujui pertambangan tersebut dengan berdalih perusahaan telah memiliki izin terlebih dahulu sebelum mendapat rekomendasi dari desa untuk melakukan pertambangan. Aksi protes yang dilakukan oleh tokoh pemuda dan masyarakat tersebut tidak berhenti sampai disitu, mereka kemudian melakukan memberikan somasi/peringatan kepada pihak perusahaan melalui Kantor Hukum Arvid Saktyo & Patners. Setelah adanya somasi itu diadakan beberapa mediasi antara masyarakat, pemerintah desa dan perusahaan penambang baik di Kantor Desa Sungai Samak maupun di kantor kuasa hukum masyarakat. Namun mediasi itu menemui jalan terlibat, wawancara mendalam, studi literatur dan studi dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model interaktif Miles & Hubermas dengan beberapa tahapan yaitu reduksi data, penyajian dan verifikasi data. D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kronologis Konflik Konflik antara masyarakat, pemerintah desa dan perusahaan tambang pasir di Dusun Sungai Samak pada tahun 2016 hingga 2017 ini berawal dari kehadiran CV Cahaya Mandiri Abadi dan CV Kembar Rezeki Bersama yang melakukan kegiatan eksploitasinya di wilayah Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak Kecamatan Badau Kabupaten Belitung. Masyarakat pada umumnya belum pernah mendapatkan sosialisai atau penyampaian dari pemerintah desa setempat mengenai kegiatan penambangan tersebut. Masyarakat baru mengetahui hal tersebut ketika pihakbertambanganmulai melakukanaktivitas penambangannya berupa pematokkan area pertambangan, penggalian dan lain sebagainya. Masyarakat di Dusun Sungai Samak,DesaSungaiSamak Kecamatan Badau Kabupaten Belitung yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan merasa resah melihat aktivitas penambangan yang dilakukan oleh pihak perusahaan terebut. Mereka khawatir terhadap dampak yang itimbulkan oleh 34 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 dan menutup paksa lokasi tambang tersebut. Akibat aksi tersebut aparat kepolisian dari SABARA beberapa hari berjaga-jaga di lokasi penambangan untuk mengantisipasi serbuan warga. Beberapa kali juga warga meminta kejelasan pemerintah desa dan pihak perusahaan penambang mengenai kejelasan luas wilayah tambang dan dana ganti rugi lahan terhadap warga namun tidak ada kejelasan dari pihak desa. Tidak berhenti sampai disitu, masyarakat kemudian melalui kuasa hukumnya Arvid Saktyo & Patners melakukan gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri Tanjung Pandan untuk menuntut Pemerintah Kabupaten Belitung menutup tambang pasir, menuntut pemerintah desa untuk bertanggungjawab serta menuntut perusahaan tambang untuk melakukan ganti rugi atas kerugian warga yang tidak bisa melaut selama perusahaan membuang limbah pencucian pasir ke sungai. Harapan itu belum juga terpenuhi, baik Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung, maupun pemerintah desa tetap pada pendiriannya dengan berdalih. Sementara pihak perusahaan terus berkilah bahwa tidak mengakui bahwa mereka telah melakukan pencemaran di sungai dan laut dengan dalih hasil pemeriksaaan laboratorium dari BLHD menunjukkan tingkat kekeruhan masih dalam batas normal dan tidak mau mengganti rugi. Berkaitan dengan hal diatas, Teori konflik menganggap adanya perbedaan peran dan status dalam masyarakat menyebabkan adanya buntu karena tidak ada itikat baik dari perusahaan. Bahkan masalah tersebut pernah diangkat oleh media cetak maupun media elektronik setempat dengan harapan bahwa pemerintah daerah dan pemerintah provinsi turun tangan mengenai masalah ini, namun tidak ada reaksi dari pemerintah setempat. Setelah itu masyarakat yang menamakan dirinya sebagai Forum Masyarakat Sungai Samak kembali menghimpun massa dengan jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya dan mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Belitung dengan tuntutan yang sama. Akhirnya DPRD Kabupaten Belitung sepakat untuk mengadakan rapat dengar pendapat beberapa hari berselang dengan mengundang pihak perusahaan dan instansi-instansi terkait. Namun tidak satupun perwakilan pihak perusahaan yang hadir memenuhi undangan DPRD tersebut untuk menemui dan mendengarkan keluhan tuntutan masyarakat tersebut. Walaupun dalam rapat dengar pendapat itu menghasilkan rekomendasi untuk menutup aktivitas pertambangan, namun kenyataannya hal itu tidak pernah jadi kenyataan. Masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Sungai Samak (FMS) ini terus melakukan berbagai cara, namun pemerintah daerah dan pemerintah desa tetap pada pendiriannya bahwa hak untuk memberhentikan kegiatan penambangan adalah hak Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hingga akhirnya masyarakat memutuskan untuk mendatangi lokasi tambang 35 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 pemerintah desa dan perusahaan tambang di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung. Kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan tambang di Dusun Sungai Samak menimbulkan berbagai persepsi dalam masyarakat, tentang mengapa pemerintah desa mengeluarkan rekomendasi izin pertambangan tersebut tanpa mensosialisasikan atau membicarakan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat sebagai pemilik hak atas tanah, kemudian menjelaskan kepada masyarakat mengenai berbagai manfaat atau keuntungan dari hasil pertambangan tersebut baik untuk masyarakat serta menjelaskan pula bagaimana dampaknya kedepan dan seperti apa AMDAL-nya, dengan senantiasa memperhatikan seperti apa kondisi Geografis, Sosial-Budayanya serta bagaimana kondisi Ekonominya. Selanjutnya, kenapa pemerintah desa mengeluarkan kebijakan tersebut tanpa memperhatikan persetujuan dari masyarakat terlebih dahulu, apakah masyarakat mendukung atau menolak kegiatan pertambangan di wilayah mereka. Ibu M (37 tahun), beliau menuturkan mengenai tidak maksimalnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah desa kepada masyarakat secara umum, sehingga menimbulkan reaksi penolakan masyarakat terhadap perusahaan tambang tersebut, sebagaiamana pernyataan beliau, “Sosialisasi tidak dilakukan secara menyeluruh keseluruh lapisan golongan penguasa dan yang dikuasai. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor terjadinya konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2002:26). Pemerintah merasa bahwa mereka adalah kaum penguasa dan menganggap bahwa masyarakat adalah golongan yang dikuasainya, sehingga dengan leluasa penguasa mengeluarkan kebijakan tanpa meminta pertimbangan masyarakat terlebih dahulu. Jadi, pemerintah dinilai kurang transparan terhadap masyarakatnya dan terkesan menutup-nutupi kebijakan yang mereka tetapkan. 2. Faktor-Faktor Terjadinya Konflik Penyebab Konflik sosial yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya konflik, antara lain: a. Proses Sosialisasi Tidak Berjalan dengan Baik Sosialisasi merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan bermasyarakat. Sosialisasi dimaksudkan agar memudahkan seseorang atau sekelompok orang dalam memahami sesuatu hal. Proses sosialisasi yang tidak berjalan dengan baik dapat mengakibatkan pemahaman atau persepsi orang terhadap suatu hal tersebut akan berbeda-beda (multipersepsi). Seperti dalam kasus konflik sosial yang terjadi antara masyarakat, 36 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 b. Pemerintah Desa Kurang Terbuka Terhadap Masyarakat Tidak adanya sosialisasi terhadap masyarakat secara menyeluruh, mengakibatkan Pemerintah (baik itu Pemerintah Desa, Kecamatan maupun Pemerintah Kabupaten) dinilai tidak transparan ataupun terkesan tertutup terhadap masyarakat, terkait rencana maupun kebijakan-kebijakan yang mereka putuskan. Sebagaimana dalam kasus ini, pemerintah desa langsung saja menetapkan dan mengeluarkan rekomendasi pertambangan tersebut, tanpa menjelaskan secara detail kepada masyarakat mengenai manfaat yang akan diperoleh masyarakat, luas wilayah yang dijadikan area pertambangan, mengenai ganti rugi terhadap tanah warga, serta mengenai dampakdampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan penambangan nantinya dan bagaimana AMDAL-nya. Terdapat beberapa hal yang terkesan ditutup-tutupi oleh Pemerintah Desa Sungai Samak mengenai seperti apa perjanjian dan kesepakatannya dengan pihak perusahaan tambang tersebut, sehingga hal itu wajar saja dilakukan oleh pemerintah desa. Sebab apabila pemerintah desa melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat secara terbuka tanpa ada yang di tutup-tutupi sedikitpun, maka kemungkinan besar masyarakat pasti akan menolaknya. Sehingga untuk memuluskan rencananya, pemerintah desa mengambil langkah untuk tetap mengeluarkan rekomendasi izin tersebut kepada CV. Cahaya Mandiri masyarakat, hanya beberapa tokoh masyarakat yang hadir pada saat itu. Sehingga setelah dilakukan kegiatan penambangan, masyarakat banyak yang merasa terganggu, dan merasa tidak setuju dengan adanya pertambangan (Wawancara, 9 Juni 2016)”. Pemerintah Desa Sungai Samak memang pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai akan adanya aktivitas pertambangan tersebut, namun sosialisasi yang dilakukan dinilai tidak maksimal serta tidak berjalan dengan baik, karena tidak disampaikan secara menyeluruh keseluruh lapisan masyarakat, sosialisasi dilakukan hanya terbatas pada aparatur-aparatur pemerintah desa serta para pihak yang pro saja. Selain itu, sosialisasi tidak dilakukan sejak awal sebelum perusahaan tersebut mulai melakukan kegiatan pertambangan di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung. Jadi, menurut Sa (38 Tahun), konflik tersebut terjadi karena pemerintah desa maupun pihak perusahaan tambang tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu terhadap masyarakat setempat sebelum pemerintah desa memberikan rekomendasi pertambangan serta sebelum perusahan tambang melakukan kegiatan eksploitasinya di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung. 37 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 Abadi dan Kembar Rezeki Bersama, meski tanpa sepengetahuan masyarakat sebelumnya. c. Perbedaan Kepentingan Perbedaan merupakan hal yang senantiasa ada dalam kehidupan sosial masyarakat, baik perbedaan antara individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lainnya, begitu pula dengan perbedaan kepentingan. Menurut Soejono Soekanto salah satu faktor penyebab konfik adalah perbedaan kepentingan. Dia menyatakan, “Ketika dalam waktu yang bersamaan masing-masing individu atau kelompok memilki kepentingan yang berbeda. Kadang, orang dapat melakukan kegiatan yang sama, tetapi tujuannya berbeda”. Jadi dapat dikatakan bahwa kebutuhan atau kepentingan orang terhadap objek yang sama terkadang berbeda-beda, misalnya ketidakcocokan penggunaan lahan/ SDA di wilayah Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung. Pemerintah desa menginginkan potensi sumber daya alam yang ada pada lahan tersebut dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, yaitu dengan melibatkan Perusahaan Tambang sebagai pencari dan pengelolah potensi-potensi yang ada pada lahan tersebut hasilnya dapat menambah pendapatan desa yang akan digunakan untuk kepentingan masyarakat. Namun dilain sisi, bagi masyarakat terutama masyarakat yang tidak menggantungkan hidupnya terhadap perusahaan tambang, lahan tersebut tidak boleh dirusak maupun dieksploitasi, kerena sangat berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat kedepan. Bila lahan menjadi rusak, akan menimbulkan berbagai dampak bagi kehidupan masyarakat sekitarnya, seperti kekurangan air bersih, tercemarnya lingkungan dan lain-lain. Ketidak cocokan penggunaan lahan ini juga disinyalir karena Pemerintah Desa Sungai Samak tidak pernah melakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat, sehingga melahirkan persepsi masyarakat bahwa ada kemungkinan kepentingan pribadi dan kelompok dari pemberian rekomendasi pertambangan di Dusun Sungai Samak tersebut. Menurut saudara B (32 tahun), bahwa dalam pemberian rekomendasi pertambangan tersebut terdapat beberapa kepentingan, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok dari pihak Desa. B secara subjektivitasnya melihat bahwa aparatur desa telah menyalah gunakan wewenangnya demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Sebagaiamana yang di ungkapkan oleh sadara B (32 tahun), “Kalau menurut saya sih, mungkin aparat desa sudah menikmati hasil dari pihak perusahaan makanya mereka tidak berpihak ke warga, itu menurut saya pribadi (Wawancara, 2 Juni 2016)”. d. Dampak Yang Ditimbulkan oleh Aktivitas Pertambangan Kehadiran dua perusahaan penambang pasir dengan segala aktivitas dan dampak yang 38 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 ditimbulkannya dampak negatif bagi masyarakat setempat. Dampak negatif tersebut antara lain adalah sebagai berikut: warga mulai terganggu dengan kebisingan dari aktivitas pengangkutan pasir yang dilakukan perusahaan yang sampai 24 jam dengan melalui jalan milik warga. Akibat aktivitas pengangkutan pasir tersebut juga menyebabkan jalan dan saluran air warga menjadi rusak. Selain itu warga nelayan mulai resah karena hasil tangkapan mereka menurun drastis dan terkadang tidak bisa melalut akibat pembuangan limbah cucian pasir yang dialirkan ke muara sungai sehingga air menjadi keruh dan terjadi penumpukan sedimen. Disinilah kemudian muncul gerakan penolakan terhadap aktivitas penambangan pasir di Dusun Sungai Samak Kecamatan Badau Kabupaten Belitung ini yang kemudian memicu konflik antara masyarakat dengan pemerintah desa dan perusahaan tambang pasir tersebut. konflik antara pihak yang pro dan kontra dengan adanya aktivitas penambangan. Masyarakat menganggap pemerintah desa tidak transparan ataupun terkesan tertutup terhadap masyarakat, terkait rencana maupun kebijakan-kebijakan yang mereka putuskan dengan pihak perusahaan mengenai manfaat yang akan diperoleh masyarakat, luas wilayah yang dijadikan area pertambangan, mengenai ganti rugi terhadap tanah warga, serta mengenai dampakdampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan penambangan nantinya dan bagaimana AMDAL-nya. Sementara diantara masyarakat terdapat pro dan kontra dengan aktivitas pertambangan tersebut. Mereka yang pro adalah mereka yang terlibat di dalam proses ekplorasi maupun eksploitasi tambang, sehingga mereka mendapat keuntungan dengan adanya aktivitas pertambangan. Sementara pihak yang kontra adalah warga masyarakat yang tidak punya kepentingan perusahaan tambang tersebut, mereka jauh berpikir kedepan untuk kepentingan anak cucu mereka sehingga mereka tidak setuju dengan perusakan legal yang dilakukan perusahaan. Selain itu pihak yang kontra adalah pihak yang terkena dampak negative dari adanya aktivitas pertambangan tersebut. 3. Bentuk Konflik Sosial Aktivitas penambangan pasir bangunan yang dilakukan oleh CV Cahaya Mandiri Abadi dan CV Kembar Rezeki Bersama di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung juga berampak negatif terhadap kondisi sosial masyarakat. Aktivitas pertambangan pasir bangunan tersebut mengakibatkan terjadi konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah desa dan perusahaan penambang, serta konflik horizontal dalam masyarakat Dusun Sungai Samak dimana terjadi 4. Resolusi Konflik Resolusi konflik merupakan suatu upaya perumusan suatu solusi atas konflik yang terjadi untuk mencapi kesepakatan bersama yang bisa 39 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Resolusi konflik difokuskan pada sumber konflik antara dua pihak, agar mereka bersama-sama mengidentifikasikan isu-isu yang lebih nyata. Adapun usaha-usaha penyelesaian atau Resolusi Konflik antara Masyarakat, Pemerintah, dan Perusahaan Tambang dalam kasus esploitasi tambang di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung ini antara lain: a. Negosiasi Menurut Nasikun (1993), Negosiasi adalah proses tawarmenawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersamaantara satu pihak dengan pihak lain. Negosiasi juga merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak yang memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Pemerintah desa dan perusahaan tambang melakukan tahap negosiasi dengan masyarakat pada hari Selasa tanggal 20 Juli 2016, negosiasi tersebut di Kantor Desa Sungai Samak, yang dihadiri oleh 8 orang perwakilan dari masyarakat, Ketua BPD, Kepala Desa, Kapolsek, Babinsa, serta perwakilan pihak tambang. Negosiasi baru dilakukan setelah konflik telah berlangsung cukup lama sejak masyarakat merasa terganggu dengan kehadiran Perusahaan Tambang tersebut serta dampak yang ditimbulkannya. Negosiasi dilakukan setelah eskalasi konflik cukup meluas, selain itu negosiasi yang dilakukan tidak menghasilkan titik temu atau kesepakatan bersama antara masingmasing pihak, baik dari Pemerintah Desa, perusahaan maupun masyarakat, masing-masing tetap pada pendiriannya, disatu pihak. Akhirnya negosiasi sebagai resolusi konflik pertama yang dilakukan tersebut tidak memberikan hasil yang berarti terhadap penyelesaian konflik yang ada, justru yang terjadi adalah sebaliknya, akibat negosiasi tersebut tidak berhasil sebagai mana mestinya sehingga eskalasi konflik kian meluas, masyarakat semakin kecewa dengan hasil negosiasi tersebut. b. Konsiliasi Resolusi Konflik yang dilakukan selanjutnya adalah Konsiliasi. Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi terwujud melalui lembagalembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan diantara pihak-pihak yang berkonflik. Sejumlah warga mendatangi anggota komisi I dan II DPRD Kabupaten Belitung melakukan konsiliasi pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2016, mereka melakukan rapat dengar pendapat antara masyarakat, pemerintah desa dan pihak perusahaan untuk mendengar tuntutan warga tersebut, namun pihak perusahaan urung hadir pada rapat tersebut. Akibatnya upaya konsiliasi tersebut lagi-lagi tidak berhasil karena pihak-pihak yang berkonflik masih pada pendirian masing-masing. 40 JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017 c. Mediasi Selain negosiasi dan konsiliasi proses mediasi juga telah dilakukan oleh aparat penegak hukum (Pengadilan negeri Tanjung pandan). Pihak Pengadilan telah memfasilitasi untuk memediasikan ketiga belah pihak untuk berdiskusi menyelesaikan masalah yang terjadi. Mediasi yaitu dimana pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasehat-nasehat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. Pihak pengadilan terus melakukan proses mediasi dengan menunjuk hakim mediator setelah warga mengajukan gugatan perdata kepada pemerintah dan perusahaan tambang, untuk melakukan perundingan atau negosiasi, namun hasilnya tetap sama sehingga harus melalui putusan pengadilan. d. Arbitrasi Arbitrasi merupakan salah satu resolusi konflik, dimana pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak yang ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan yang harus diterima oleh pihak yang berkonflik. Berbeda dengan mediasi, cara arbitrasi mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak arbiter. Dari hasil proses arbitrasi itu, pihak arbiter memutuskan menolak gugatan dari masyarakat dengan alasan bukan ranah mereka untuk mengadili perkara tersebut karena ranah PTUN. Pasca konflik tersebut, komunikasi politik antara masyarakat dengan pemerintah desa dan perusahaan tambang masih belum berjalan normal hingga saat ini. E. SIMPULAN Konflik yang terjadi di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak Kecamata Badau, Kabupaten Belitung dilatar belakangi oleh berbagai faktor, mulai dari tidak adanya sosialisasi, kurang terbukanya pemerintah desa kepada masyarakat, perbedaan kepentingan dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan. Bentuk konflik yang terjadi di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak Kecamata Badau, Kabupaten Belitung adalah konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi antara masyarakat, pemerintah desa dan perusahaan penambang. Sementara konflik horizontal terjadi di dalam msyarakat itu sendiri antara kelompok yang pro dan kelompok yang kontra. Upaya resolusi konflik yang dilakukan oleh masyarakat, pemerintah dan perusahaan tambang antara lain melakukan Negosiasi; Kosuliasi; Mediasi; dan terakhir Arbitrasi. Pada tahap arbitrasi gugatan masyarakat ditolak oleh Pengadilan Negeri Tanjung Pandan, begitupula keputusan di tingkat banding. Namun demikian setelah keputusan banding keluar, tiba-tiba perusahaan menghentikan aktivitas pertambangan mereka di Dusun Sungai Samak. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2005. Manajeman Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Diana,Francis. 2006. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta: Quills. Fisher, Simon, dkk. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Alih Bahasa S. N. Kartikasari, dkk. Jakarta: The British Counsil, Indonesia. Noor, Juliansyah. 2011. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. Nasikun. 1993. Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Prastowo, Andi. 2011. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Jakarta: Ar-Ruzz Media. Soerjono Soekanto (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soetopo. 1999. Teori Konflik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Winardi. 2000. Manajer dan Manajemen. Bandung: Citra Aditya Bakti. Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika. Skipsi: Sahlan. 2015. Konflik Antara Masyarakat dengan Pemerintah (Studi Kasus pada Eksplorasi Tambang di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat). Makassar: FISIP Universitas Hasanuddin. Internet: http://www.repository.usu.ac.id/bit stream/123456789/39659/5/C hapter%20I.pdf. Diakses 10 Oktober 2017 http://www.digilib.uinsby.ac.id/314 /4/Bab%201.pdf. Diakses 10 Oktober 2017 http://www.eprints.uny.ac.id/8869/2/ BAB%201%20%2008413244025.pdf. Diakses 10 Oktober 2017 https://jamilkusuka.wordpress.com/tag/k onflik/.Diakses 10 Oktober 2017 http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_ konflik.Diakses 10 Oktober 2017 Jurnal Danial, R. (2017). Meningkatkan Keunggulan Bersaing Usaha Kecil Dan Menengah (Umkm). JISPO : Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 7(1), 13 21. doi:http://dx.doi.org/10.15575/j p.v7i1.1732 anggara, s. (2016). Teori Keadilan John Rawls Kritik Terhadap Demokrasi Liberal. JISPO : Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 1(1), 1-11. doi:http://dx.doi.org/10.15575/ji spo.v1i1.710 mufti, m. (2016). Analisis Kritis Terhadap Sektor Pertanian Di Indonesia Dalam Negara Kesejahteraan. JISPO : Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 1(1), 38-50. doi:http://dx.doi.org/10.15575/ji spo.v1i1.713 42 KETIMPANGAN PEMBANGUNAN DI SULAWESI BARAT Endriady Edy Abidin* Ahmad Amiruddin* * Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sulawesi Barat Corresponding Email: [email protected] ABSTRAK: Sulawesi Barat merupakan sebuah daerah pemekaran pasca-reformasi dari Sulawesi Selatan. Tujuan pemekaran adalah akselerasi pembangunan. Namun dalam perkembangan sebuah daerah pemekaran, ketimpangan antar-kabupaten dalam provinsi merupakan sangat sering ditemukan. Perbedaan kondisi geografis, alokasi dana, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, infrastruktur, dinamika politik dan kebijakan daerah, serta konsentrasi ekonomi yang berbeda mengakibatkan satu daerah lebih maju dibandingkan daerah lainnya. Penelitian ini menggukan metode campuran dalam membangun analisis ketimpangan kabupaten di Sulawesi Barat. Hasil penelitian menunjukkan ketimpangan kabupaten di Sulawesi Barat masuk dalam kategori sedang, yaitu berada pada kisaran di atas 0,35 namun di bawah 0,5. Perbedaan jumlah penduduk, infrastruktur, kondisi geografis, dan sumberdaya alam, serta sumberdaya manusia menjadikan pembangunan antar-kabupaten berbeda satu dengan yang lain. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemusatan ekonomi berdasar pada potensi daerah dapat dilakukan. KATA KUNCI: Ketimpangan Kabupaten, Pembangunan Daerah, Sulawesi Barat. A. PENDAHULUAN Kesenjangan atau ketimpangan wilayah (regional inequality) menjadi masalah besar bagi Indonesia sejak lama. Problematika yang merupakan warisan kolonial ini (Agusta, 2014:33; Kurniawan, 2017: 64), yang kemudian diteruskan oleh pemerintah pusat setelah revolusi kemerdekaan 1945 (Kahin & Kahin, 1997:45-46; Kurniawan, 2017: 64), masih menjadi wajah spasial banyak daerah di Nusantara, yang berpengaruh terhadap ruang-ruang kehidupan masyarakatnya. Di masa lalu, letak dan kondisi geografis tidak jarang menjadi kambing hitam. Pola relasi pusat-pinggiran (center-periphery), yang lahir akibat sentralisasi, diskrimasi spasial, dan kebijakan menjadi warna pemerintahan. Setelah kejatuhan Orde Baru, ancaman disintegrasi wilayah menyeruak. Para elit di pusat kekuasaan beralih kepada desentralisasi. Dan Indonesia berubah, dari salah negara paling sentralis di dunia menjadi negara “hampirfederal” (Mietzner, 2014: 45-46). Desentralisasi pasca-reformasi diharapkan menjadi oase di padang pasir ketimpangan wilayah. Pemekaran wilayah dan penyerahan otoritas yang lebih besar kepada daerah di era reformasi dianggap menjadi solusi bagi ketimpangan ini. Daerah lebih mengetahui apa yang mereka butuhkan, demikian logika Jakarta. Dengan alokasi dana dan otonomi yang besar (Mietzner, 2014:54-55), daerah dapat berkembang lebih jauh menurut kebutuhannya sendiri. Desentralisasi juga dianggap akan memberikan reformasi yang lebih luas, termasuk peningkatan kualitas pelayanan publik yang dapat menjangkau lebih banyak masyarakat, meningkatkan respon pemerintah untuk memenuhi aspirasi publik, dan memberdayakan pemerintah sub-nasional agar lebih terlibat dan mengontrol jalannya pelayanan tersebut (Asante & Ayee, 2007: 327). Lebih jauh, di beberapa ranah kebijakan dan daerah tertentu, desentralisasi meningkatkan performa kebijakan dengan memberikan pemerintah lokal otoritas menyesuaikan tujuan nasional sesuai dengan konteks lokal, dengan menggunakan pengetahuan lokal, keahlian, dan input demokratis dari masyarakat untuk meningkatkan respon tanggap pemerintah (Holzhacker, dkk., 2016: 4). Terlepas dari tujuan awal yang hendak memberikan ruang pembangunan bagi daerah sesuai dengan konteks lokal, desentralisasi dalam banyak kasus belum mampu memberikan angin perubahan bagi daerah. Beberapa problematika yang inheren dalam konteks daerah semisal perbedaan sumberdaya manusia (SDM), sumberdaya alam (SDM), dan letak geografis serta kemampuan daerah dalam mengelola potensi yang mereka miliki juga menjadi salah satu faktor yang senantiasa menghantui (Brodjonegoro, 2018). Namun tidak jarang prioritas pembangunan yang dilakukan pemerintah provinsi dan pusat turut memberikan andil bagi ketertinggalan satu daerah dibandingkan daerah lainnya. Termasuk ke dalam konteks ini adalah pemerataan pembangunan infrastruktur yang menunjang pertumbuhan ekonomi daerah dan prioritas pembangunan zona-zona ekonomi. Sulawesi Barat, yang menjadi fokus kajian dalam riset ini, merupakan sebuah daerah pemekaran setelah reformasi dari Sulawesi Selatan. Resmi berdiri pada 2004, provinsi ini, memiliki 6 kabupaten dengan luas wilayah 16.787,18 km2 dan total populasi 1.282.162 orang (BPS Provinsi Sulbar, 2017). Untuk jangka waktu yang cukup lama, daerah-daerah yang kini berada berada di bawah Provinsi Sulawesi Barat merupakan daerah tertinggal jika dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di Sulawesi Selatan. Kesenjangan ekonomi dan pembangunan ini yang menjadi alasan utama perjuangan masyarakat di Mamuju, Majene, dan Polewali Mandar untuk membentuk provinsi sendiri setelah jatuhnya kekuasaan sentralistis orde baru yang memungkinkan munculnya reformasi dan desentralisasi yang disahkan melalui Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999. Dalam perkembangan sebuah daerah pemekaran, ketimpangan antar-kabupaten dalam provinsi merupakan sangat sering ditemukan. Perbedaan kondisi geografis, alokasi dana, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, infrastruktur, dinamika politik dan kebijakan daerah, serta konsentrasi ekonomi yang berbeda mengakibatkan satu daerah lebih maju dibandingkan daerah lainnya. Berdasarkan pada konteks demikian, artikel hendak ini mengangkat tentang ketimpangan pembangunan yang terjadi di provinsi Sulawesi Barat. Artikel ini akan memaparkan ketimpangan seperti apa yang terjadi dalam kaitannya dengan pembangunan di Sulawesi Barat. Pertanyaan penelitian yang hendak dijawab oleh artikel ini adalah “Ketimpangan kabupaten seperti apa yang terdapat di Provinsi Sulawesi Barat?”. B. STUDI KEPUSTAKAAN Konsep Ketimpangan Wilayah Secara umum, pembangunan dimaknai sebagai upaya berkesinambungan menciptakan keadaan yang dapat menyediakan lebih banyak alternatif yang valid bagi setiap warga negara untuk mencapai aspirasinya yang paling humanistik (Kabul & Trigunarso, 2017: 29). Lebih jauh, pembangunan bertujuan untuk mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera lahir batin dan masyarakat yang adil dan makmur. Untuk sampai kesana, titik fokus dalam pembangunan diletakkan pada bidang ekonomi yang menjadi motor penggerak. Seiring dengan meningkatnya pembangunan, maka pengelompokan penduduk dan kegiatan perekonomian tercipta. Seiring berjalannya waktu dan tingkat produktivitas yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain maka terciptalah ketimpangan antar-wilayah (Kabul & Trigunarso, 2017: 29-30). Ketimpangan atau kesenjangan wilayah dapat dipahami sebagai kondisi dimana terdapat perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah (Ratnasari & Santoso, 2014: 125). Ketimpangan terjadi didominasi oleh perbedaan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, serta rendahnya akses masyarakat terhadap sarana prasarana sosial ekonomi (Basri dalam Ratnasari & Santoso, 2014: 125). Jika kita mengacu pada teori pembangunan wilayah, maka faktor lain yang juga dominan dalam terciptanya kesenjangan wilayah adalah faktor geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah, administrasi, sosial dan ekonomi (Murti & Rustiadi dalam (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2017: 32). Lebih jauh menurut Syafrizal (dalam Hamid, dkk., 2017) terdapat lima faktor yang menjadi penyebab kesenjangan wilayah, yaitu: a. Perbedaan kandungan sumber daya alam; b. Perbedaan kondisi geografis; c. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa; d. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah; e. Alokasi dana pembangunan antarwilayah. Usaha dalam menanggulangi kesenjangan antar-wilayah (kabupaten) secara umum dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Dari kacamata pemerintah pusat (Agusta, 2014: viii-ix), perumusan strategi, kebijakan dan program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah perlu didasarkan pada konteks yang tepat, karena kebijakan yang positif di suatu wilayah belum tentu cocok untuk wilayah lainnya. Terdapat beberapa konteks yang ditemukan memengaruhi kebijakan ini. Konteks tersebut berupa ketimpangan global yang terus meningkat sejak Revolusi Industri (1750-1850), diskursus donor untuk pembangunan nasional, kondisi Indonesia sebagai wilayah pasca kolonial, wilayah Indonesia tergolong luas dan berupa kepulauan. Konteks lainnya ialah pandangan statis terhadap suku, agama, ras dan golongan. Konteks lainnya ialah krisis moneter yang masih dirasakan hingga kini, serta perkembangan otonomi daerah. Sementara dari sudut pandang daerah, keberadaan undang-undang otonomi daerah memberikan berbagai kewenangan yang dapat dieksekusi oleh daerah, termasuk ke dalamnya adalah kreativitas daerah dalam memaksimalkan pengelolaan sumberdaya yang terdapat di daerahnya untuk pembangunan yang sesuai dengan karakteristik daerahnya. Lebih jauh, pelimpahan wewenang ke daerah (desentralisasi) juga memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk dapat mengelola wilayah adminitratifnya sesuai dengan potensi yang mereka miliki dan kebutuhan daerah masing-masing. Di sini, daerah juga dituntut agar memiliki inovasi-inovasi yang dapat berkontribusi terhadap pengurangan kesenjangan (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2017: 32-33). C. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan penelitian yang menggabung metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk memandang tingkah laku manusia dapat diramal dan realitas sosial; objektif dan dapat diukur. Oleh karena itu, penggunaan penelitian kuantitatif dengan instrumen yang valid dan reliabel serta analisis statistik yang sesuai dan tepat menyebabkan hasil penelitian yang dicapai tidak menyimpang dari kondisi yang sesungguhnya (Yusuf, 2017: 65). Riset kualitatif bertujuan untuk mencari jawaban dengan cara mengeksplorasi dan memahami berbagai macam konteks sosial dan individu atau kelompok yang berlindung di bawah konteks tersebut. Penelitian kualitatif menitikberatkan perhatian pada bagaimana manusia mengatur diri dan konteks di mana ia eksis dan bagaimana mereka, dari konteks tersebut, memahami sekelilingnya melalui simbol, ritual, struktur sosial, peranan sosial, dan sebagainya. Hasil penelitian kualitatif bersifat fleksibel dan menggunakan model induktif, berfokus pada pemaknaan individu, dan deskripsi atas kerumitan dari sebuah situasi (Creswell, 2014: 4; Berg, 2001: 4). Untuk mengukur ketimpangan pembangunan di Sulawesi Barat metode yang digunakan metode indeks Williamson. Pada saat ini ukuran ketimpangan wilayah banyak menggunakan ide-ide dari Jeffrey Williamson yang mendasarkan diri pada teori Kuznet. Williamson menggunakan kaidah statistika tentang nilai tengah, yaitu koefisien variasi (CV). Untuk mengaitkannya dengan kewilayahan, maka koefisiensi variasi tersebut dikaitkan dengan jumlah penduduk (CVs). Perhitungan ini menggunakan model persamaan umum (Agusta, 2014: 196). Williamson memandang masalah pembangunan wilayah di negara sedang berkembang ialah peningkatan jumlah penduduk yang sangat besar, sehingga hasil-hasil pertumbuhan ekonomi bisa "digerogoti". Analisis diarahkan untuk mengisolasi faktor-faktor penyebab pertumbuhan ekonomi tersebut. Diyakini, setelah pola pertumbuhan tersebut diketahui, maka kebijakan yang sesuai dengan realitas kewilayahan bisa dikembangkan (Agusta, 2014: 196). Pembangunan perkotaan dalam jangka panjang tergantung dari produktivitas yang dikembangkan. Namun dalam jangka pendek produktivitas tersebut akan ditahan oleh peningkatan kebutuhan perumahan, keterampilan tenaga kerja, lahan perkotaan. Pertumbuhan perkotaan dipengaruhi oleh sembilan faktor, yaitu perubahan harga dalam industri, perubahan produktivitas industri, perubahan harga dalam pertanian, perubahan produktivitas pertanian, pertumbuhan angkatan kerja, akumulasi kapital dalam industri manufaktur, akumulasi kesediaan rumah di perkotaan untuk orang miskin, akumulasi kesediaan rumah di perdesaan untuk orang miskin, dan keterampilan (Agusta, 2014: 196)197. Selanjutnya Williamson mengemukakan teorinya, bahwa kecenderungan ketimpangan wilayah berbentuk kurva U. Pada awal pembangunan, ketimpangan wilayah cenderung meningkat. Pada perkembangan pembangunan berikutnya mulailah terjadi penurunan ketimpangan wilayah (Agusta, 2014: 197). Indeks Williamson mengukur derajat ketimpangan antar wilayah yang didasarkan pada PDRB per kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah. Apabila Indeks Williamson mendekati nol, maka ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota rendah juga pertumbuhan ekonomi antar daerah merata. Namun, apabila Indeks Williamson bernilai mendekati satu, maka ketimpangan distribusi pendapatan antar kabupaten/kota tinggi dan mengindikasikan pertumbuhan ekonomi antar daerah tidak merata (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2017). Adapun rumus dari Indeks Williamson sebagai berikut. Teori kedua yang digunakan adalah teori cumulative causation berasal dari Gunnar Myrdal. Teori ini memahami kemungkinan tertariknya sumberdaya wilayah tertinggal ke wilayah maju. Oleh karena meyakini potensi kemampuan di wilayah (yang dinamakan tertinggal), maka teori ini menyarankan pendirian kota atau industri di wilayah yang lebih tertinggal (Agusta, 2014: 238). Lebih jauh, menurut Fujita (Fujita, 2007) fokus teori Myrdal adalah pada pembangunan yang berfokus untuk meningkatkan produksi tanpa mengabaikan analisis ekonomi dan non-ekonomi serta memberikan penekanan pada kemungkinan reformasi sosial dengan memperkenalkan kebijakan ekonomi. D. PEMBAHASAN Di masa lalu, sentralisasi kekuasaan dan ekonomi, diskriminasi spasial, serta kebijakan yang tidak adil menjadi penyebab terjadinya ketimpangan wilayah. Reformasi tahun 1998 memberikan angin segar perubahan bagi daerah dengan memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur dirinya sendiri termasuk dalam merencanakan pembangunannya sendiri. Cara pandang desentralisasi ini didorong oleh cara pandang neoinstitusional (Lihat Hadiz 2004), sebagai bentuk reorganisasi administrasi dan kewenangan untuk akselerasi pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Cara ini dipandang sebagai jalan tengah devolusi otoritas ekonomi dan politik dan ditujukan untuk memunculkan berbagai inisiatif kebijakan yang kreatif dan kontekstual bagi daerah serta mendorong partisipasi publik (Rasyid 2004: 63). Model baru ini sangat berbeda dengan sebelumnya, yang sangat sentralistik dan senantiasa mengontrol ketat berbagai sumberdaya, ekonomi dan politik, di semua daerah, dan membawa harapan besar bagi banyak orang di Indonesia terutama orang-orang yang berada di luar Jawa. Bagi orang-orang ini, banyak dari mereka yang tidak benar-benar merasakan masa pembangunan Orde Baru, kecuali korupsi, kolusi dan nepotisme yang diturunkan dari pusat (Sulistiyanto dan Erb dalam Erb dan Sulistiyanto 2005: 1). Undangundang Otonomi Daerah no. 22/1999, yang menjadi aturan main baru tersebut, membatasi banyak dari otoritas pemerintah pusat sebelumnya dan memindahkannya ke tangan pemerintah kabupaten/kota. Otoritas politik lokal yang tadinya dikontrol secara ketat oleh Jakarta, kini berpindah ke tangan orang-orang lokal. Posisi politik orang lokal di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga meningkat dan kemudian mengontrol eksekutif lokal (Pratikno 2005: 20). Salah satu wilayah yang mendapat blessing reformasi adalah Sulawesi Barat. Provinsi ini berdiri pada tahun 2004 dan merupakan pemekaran dari Sulawesi Selatan. Untuk jangka waktu yang cukup lama, daerah-daerah yang kini berada berada di bawah Provinsi Sulawesi Barat merupakan daerah tertinggal jika dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di Sulawesi Selatan. Kesenjangan ekonomi dan pembangunan ini yang menjadi alasan utama perjuangan masyarakat di Mamuju, Majene, dan Polewali Mandar untuk membentuk provinsi sendiri setelah jatuhnya kekuasaan sentralistis orde baru yang memungkinkan munculnya reformasi dan desentralisasi yang disahkan melalui Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999. Namun terlepas dari tujuan awalnya, sesuai dengan tujuan reformasi Indonesia, Sulawesi Barat yang kini berjumlah enam kabupaten, tentunya memiliki kemajuan pembangunan yang berbeda-beda sesuai dengan dinamika politik lokal, kebijakan pemerintah daerah, sumberdaya alam dan manusia serta potensi ekonomi lainnya yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten. Berbagai faktor ini yang menentukan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sebuah daerah. Namun dalam perkembangannya, sesuai dengan kondisi yang telah disebutkan sebelumnya, pembangunan ekonomi tiap daerah bervariasi dan menyebabkan ketimpangan pembangunan di antara kabupaten. Terdapat kabupaten dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sementara kabupaten lain jauh tertinggal di belakang. Umumnya yang berperan dalam satu pertumbuhan yang tinggi adalah adanya sektor unggulan yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Dampak yang mungkin timbul dari dari perbedaan kemampuan satu daerah dengan daerah lainnya adalah kapabilitas dalam melaksanakan pembangunan menjadi berbeda satu dengan yang lain. Daerah yang yang dapat memaksimalkan potensi unggulannya akan menjadi daerah maju sedangkan daerah yang tidak memiliki sektor unggulan atau kebijakan ekonominya keliru akan menjadi daerah tertinggal. Perbedaan pembangunan tentu saja akan berdampak langsung kepada masyarakat. Daerah maju memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dibandingkan daerah tertinggal. Ketimpangan pembangunan juga akan berdampak pada strategi pembangunan yang dilakukan masing-masing daerah. Indeks Williamson Ketimpangan Sulawesi Barat Untuk mengevaluasi perkembangan pembangunan di Sulawesi Barat penelitian menggunakan ini indeks Williamson. Sebelum melakukan kalkulasi, terlebih dahulu dijabarkan produk domestik regional bruto (PDRB) yang datanya berasal dari Biro Pusat Statistik (BPS). Selanjutnya dijabarkan jumlah populasi dalan rentang waktu antara 2005 dan 2019. Tabel 1 PDRB Per Kapita berdasarkan harga konstan Kabupaten di Sulawesi Barat tahun 2005 – 2019 Tabel 2 Jumlah Populasi Kabupaten di Sulawesi Barat tahun 2005 – 2019 Berdasarkan pada produk domestik regional bruto berbasis harga konstan di atas dan populasi di atas maka diperoleh indeks Williamson ketimpangan di Sulawesi Barat adalah sebagai berikut: Tabel 3 Indeks Williamson Ketimpangan Sulawesi Barat No. Tahun Indeks Williamson 1 2005 - 2 2006 0,139 3 2007 0,151 4 2008 0,154 5 2009 - 6 2010 - 7 2011 0,320 8 2012 0,335 9 2013 0,342 10 2014 0,375 11 2015 0,376 12 2016 0,361 13 2017 0,359 14 2018 0,355 Sumber: Data diolah dari berbagai sumber. Pada tabel olahan di atas, tidak tersedia data yang secara spesifik membahas tahun 2005, 2009, dan 2010. Untuk data tahun 2006 hingga 2008 menggunakan harga konstan tahun 2000. Untuk 2011-2018 menggunakan harga konstan 2010. Perhitungan 2011 dan 2012 tidak menyertakan kabupaten Mamuju Tengah yang baru terbentuk pada akhir 2012. Mamuju Tengah tampil dalam data 2013 dan setelahnya. Kondisi dalam satu sewindu terakhir, dari analisis williamson ditemukan bahwa terdapat fluktuasi dalam indeks ketimpangan pembangunan. Tahun 2011 indeks williamson Sulawesi Barat adalah 0,320. Kondisi demikian terus bertambah hingga tahun 2015 dengan indeks 3,76. Namun tahun 2016, indeks ketimpangan menurun dan tren demikian terus berlanjut hingga 2018. Berdasarkan pada data di atas, kriteria untuk menentukan tingkat kesenjangan adalah sebagai berikut (Anggraeni dalam Iskandar dan Saragih, 2018: 43): IW < 0,35 Kesenjangan ekonomi taraf rendah 0,35 < IW < 0,5 Kesenjangan ekonomi taraf sedang IW > 0,5 Kesenjangan ekonomi taraf tinggi Berdasarkan pada kategorisasi di atas, maka pertambahan tingkat ketimpangan dan penurunannya setelah 2015 termasuk dalam kategori taraf sedang. Adapun yang tertinggi adalah pada tahun 2015 dengan indeks 0,376 yang mana juga masuk kategori sedang karena di bawah 0,5 dan di atas dari 0,35. Meskipun terdapat penurunan dalam indeks ketimpangan, ketimpangan merupakan sebuah akumulasi dari konsentrasi kegiatan ekonomi yang tidak setara antara satu daerah dengan daerah lainnya. Terdapat daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi seperti di Mamuju Utara, dikarenakan produksi perkebunan sawitnya, namun terdapat pula daerah seperti Majene yang pertumbuhan ekonomi lebih tertinggal dari daerah lainnya di Sulawesi Barat. Faktor yang terakhir ini disebabkan kondisi geografis yang tidak sesubur kabupaten lainnya, sehingga tidak menunjang untamanya kegiatan pertanian yang masih menjadi primadona di Sulawesi Barat. Hal yang patut diperhatikan selanjutnya oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Barat adalah pembangunan sumberdaya manusia dan bidang kesehatan. Masih kurangnya tenaga kesehatan di Provinsi ini tentunya berpengaruh besar terhadap sumberdaya manusia. Demikian juga dengan pendidikan. Kedua faktor ini banyak berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan membantu mengatasi ketimpangan pembangunan antar-kabupaten di Sulawesi Barat. Pembagian Fokus Pembangunan Sulawesi Barat, hingga saat ini, masih bergantung pada sektor yang mengandalkan sumberdaya alam semisal pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Data BPS (2019) menyebutkan sektor ini, mempekerjakan 323.280 orang yang merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Sulawesi Barat. Sektor yang lain semisal jasa mempekerjakan 205.574 tenaga kerja. Sektor industri merupakan sektor yang memiliki tenaga kerja paling rendah dengan jumlah 90.541. Yang kemudian menjadi masalah bagi sektor yang pertama adalah kebanyakan dari pekerja sektor ini berpendidikan sekolah dasar (sebanyak 217.586 jiwa). Dan hanya 5.539 yang berpendidikan perguruan tinggi. Pendidikan yang rendah tidak jarang merupakan batu sandungan bagi produktivitas ekonomi. Rendahnya pendidikan di sektor primadona Sulbar ini, menjadikan banyak potensi tidak termasimalkan. Salah satu yang mungkin tergambar jelas adalah sektor perikanan. Sulawesi Barat memiliki luas laut 22.012 km2 dan panjang garis pantai mencapai 617,5 km dengan potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Potensi perikanan tangkap mencapai 1,02 juta ton per tahun dengan pemanfaatan baru sekitar 64,3 ribu ton. Sedangkan potensi perikanan budidaya mencapai 74.300 hektare, dengan pemanfaatan baru sekitar 24,8 ribu hektare dengan volume produksi tahun 2016 mencapai 121.650 ton (MedanBisnis, 2017). Rendahnya tingkat pendidikan merupakan kendala dalam pembangunan sektor perikanan yang mengakibatkan keterbatasan dalam proses adopsi teknologi, penerimaan dan penyebaran informasi, kesadaran menjaga kelestarian lingkungan dan kualitas kesehatan, dan kemampuan mengakses permodalan (Zainal, 2013:51). Kendala terbesar di Sulawesi Barat bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi adalah rendah indeks pembangunan manusia (IPM). Dari enam kabupaten, IPM tertinggi terdapat di kabupaten Mamuju. Mamuju, yang juga merupakan ibukota Sulawesi Barat lebih cepat kemajuannya dibandingkan daerah lain karena faktor ibukota yang menjadikannya tumbuh lebih cepat, dengan dukungan infrastruktur yang cukup memadai. Faktor lainnya adalah Mamuju juga salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di Sulawesi Barat, walaupun belakangan ini mengalami kendala diakibatkan oleh larangan impor Uni-Eropa. IPM terendah di Sulawesi Barat terdapat di kabupaten Polewali Mandar. IPM Polewali Mandar hanya 62,35 di bawah level Papua Barat dan di atas Papua yang merupakan Provinsi dengan IPM terendah di Indonesia. Dibandingkan level nasional, 71,39, IPM menjadi pekerjaan rumah besar bagi kabupaten ini. Polewali Mandar yang juga merupakan kabupaten dengan penduduk terbanyak di Sulbar sekaligus juga kabupaten yang most improved IPM-nya antara tahun 2013 – 2017 (BPS, 2019). Kabupaten dengan IPM terendah kedua adalah kabupaten Mamasa yang juga paling sedikit peningkatan IPMnya dalam rentang waktu 2013 – 2017. Dari 6 kabupaten Sulbar, tiga berada di bawah rerata provinsi (64,30), tiga lainnya berperforma lebih dari rerata provinsi meski masih jauh di bawah rerata nasional. Rendahnya IPM Polewali Mandar dan Mamasa, cenderung diakibatkan karena kedua kabupaten ini masih relatif lebih tertinggal dibandingkan kabupaten-kabupaten yang tinggi pertumbuhan ekonominya seperti Mamuju dan Mamuju Utara. Terlepas dari adanya sentra ekonomi besar seperti yang terdapat di kecamatan Wonomulyo, driver ekonomi Polewali Mandar utamanya terdapat di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang belum cukup mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi kabupaten ini. Salah satu primadona sektor perkebunan Polewali yaitu kakao juga menurun. Hal ini disebabkan oleh masih tingginya tingkat serangan hama dan penyakit serta produktivitas tanaman yang semakin turun akibat tanaman berumur tua. Kabupaten lain yang juga relatif tertinggal adalah Mamasa. Rendahnya produk domestrik regional bruto yang dimiliki oleh Mamasa karena terbatasnya aktivitas yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Sektor ekonomi utama di Mamasa adalah pertanian dan perkebunan serta sektor jasa. Faktor infrastruktur juga menjadi kendala besar di kabupaten ini di samping sumberdaya manusia yang jauh lebih sedikit dibandingkan beberapa kabupaten tetangganya. Penduduk Mamasa hanya berjumlah 159.200, dan tercatat sebagai ketiga terendah di Sulawesi Barat. Dengan kondisi alam yang indah, Mamasa sebenarnya dapat berkembang menjadi sebuah daerah wisata seperti halnya Tana Toraja di Sulawesi Selatan. Kondisi geografisnya juga memungkinkan perkebunan kopi yang lebih luas. Mamasa dikenal sebagai penghasil kopi namun selama ini produksi kopinya belum seterkenal kopi Enrekang atau Toraja. Potensi ini yang belum tergarap secara maksimal, padahal fokus konsentrasi ekonomi ini dapat mendorong peningkatan PDRB daerah. Kabupaten Majene juga termasuk salah satu yang relatif tertinggal dibandingkan Kabupaten tetangganya di utara. Kabupaten ini merupakan kabupaten yang luas wilayahnya paling kecil di Sulbar (total hanya 5,64 persen atau 947,84 km2), wilayahnya juga tidak sesubur daerah lain. Sektor ekonomi utama di Majene adalah sektor pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan. Sektor ini mempekerjakan 30.492 orang tenaga kerja. Sumberdaya manusia adalah salah satu masalah besar di kabupaten ini. Data BPS (2017) menyebutkan dari total 166.397 penduduk pada tahun 2016, terdapat 33.634 jiwa yang tidak bersekolah atau tamat SD, yang merupakan kategori terbesar dari dalam klasifikasi pendidikan populasi Majene. Luas daerah yang kecil dan kondisi alamnya serta kualitas sumberdaya manusia yang tergolong rendah menjadikan PDRB kabupaten juga rendah. Namun konsensus pendirian provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2004, salah satunya adalah menjadikan Majene sebagai kota pendidikan untuk Sulbar. Berdirinya berbagai institusi pendidikan di kabupaten ini diharapkan menjadi salah pendukung perkembangan daerah ini ke depannya. Kabupaten termuda di Sulbar adalah kabupaten Mamuju Tengah. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari kabupaten Mamuju pada tahun 2012. Kabupaten ini masih tertinggal dibandingkan yang lain dikarena usianya yang tergolong muda selain jumlah sumberdaya manusia yang paling sedikit (130.830 jiwa). Namun kabupaten ini memiliki kesempatan yang besar untuk menjadi sentra perkebunan mengingat jumlah wilayah yang cukup memberi peluang untuk pengembangan sektor perkebunan ke depannya. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat yang cukup tinggi (6,23 persen) serta perhatian pemerintah pusat kepada daerah ini, mengingat akan menjadi pintu gerbang ke ibukota baru Indonesia di Kalimantan Timur, menjadikan Sulawesi Barat daerah yang akan terus berkembang. Yang penting menjadi perhatian di provinsi ini khususnya adalah indeks pembangunan manusia yang masih rendah. Pembangunan infrastuktur yang menunjang pertumbuhan ekonomi terus didorong. Dan yang terpenting adalah adalah pengembangan sektor-sektor yang seharusnya menjadi primadora konsentrasi ekonomi semisal sektor kelautan, perkebunan kopi, dan revitalisasi perkebunan dapat membantu pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten di Sulawesi Barat. E. DAFTAR PUSTAKA Acemoglu, D. & Robinson, J., 2017. Mengapa Negara Gagal. Jakarta: Elex Media. Agusta, I., 2014. Ketimpangan Wilayah dan Kebijakan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Asante, F. & Ayee, J., 2007. Decentralization and Poverty Reduction. In: E. Isser & R. Kanbur, eds. The Economy of Ghana: Analytical Perspectives on Stability, Growth, & Poverty. Oxford: James Currey Ltd, pp. 325-347. Bakri, Syafrizal & Aimon, H., 2015. Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar Kabupaten/Kota Di Sumatera Barat Dan Kebijakan Penanggulannya. Jurnal Kajian Ekonomi, 04(07). Berg, B., 2001. Qualitative Research Methods for the Social Sciences. .. Needham Heights, MA: Allyn and Bacon. BPS Sulawesi Barat, 2006. Sulawesi Barat dalam Angka 2005/2006. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2007. Sulawesi Barat dalam Angka 2007. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2008. Sulawesi Barat dalam Angka 2008. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2009. Sulawesi Barat dalam Angka 2009. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2010. Sulawesi Barat dalam Angka 2010. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2012. Sulawesi Barat dalam Angka 2012. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2013. Sulawesi Barat dalam Angka 2013. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2014. Sulawesi Barat dalam Angka 2014. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2015. Sulawesi Barat dalam Angka 2015. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2016. Provinsi Sulawesi Barat Dalam Angka 2016. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2017. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka 2017. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2018. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka 2018. Mamuju: BPS Sulawesi Barat. BPS Sulawesi Barat, 2019. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka 2019, Mamuju: BPS Sulawesi Barat. Brodjonegoro, Available B., at: 2018. Media Indonesia. [Online] http://mediaindonesia.com/read/detail/158797-memangkas- kesenjangan-antarwilayah-untuk-pembangunan-indonesia [Diakses 21 April 2019]. Creswell, J., 2014. Research Design. Thousand Oaks, California: Sage. Dewi, I. A. I. U., Budhi , M. K. S. & Sudirman, W., 2014. VOLUME.03.N0.02.TAHUN 2014 / Articles. E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, 03(02), pp. 68-80. Fujita, N., September 2007. Myrdal’s Theory of Cumulative Causation. Evolutionary and Institutional Economics Review, 03(02), p. 275–284. Hamid, M., Siradjudin & Rusydi, B. U., 2017. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Dan Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten Di Provinsi Sulawesi Barat. Ecces, 04(02). Haryono, E. & Ilkodar, S., 2005. Menulis Skripsi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Iskandara, A. & Saragih, R., 2018. Analisis Kondisi Kesenjangan Ekonomi Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan. Jurnal Info Artha , 02(01), pp. 37-52. Hadiz, V. R., 2004. Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of NeoInstitutionalist Perspectives. Development and Change, 35(4), p. 697–718. ___________, 2010. Localizaing Power in Post-Authoritarian Indonesia. Stanford,CA: Stanford University Press. Holzhacker, R., Wittek, R. & Woltjer, J., 2016. Decentralization and Governance in Indonesia. Heidelberg: Springer. Jonathan , M., 2014. People-Centred Development. In: M. Steger, P. Battersby & J. Sira, eds. The SAGE Handbook of Globalization. Thousand Oaks, CA: Sage, pp. 902-918. Kabul, M. A. & Trigunarso, S. I., 2017. Perencanaan Pembangunan Daerah. Depok: Kencana. Kahin, G. & Kahin, A., 1997. Subversi Sebagai Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka Grafiti. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2017. Prakarsa Pemerintah Daerah Dalam Upaya Pengurangan Kesenjangan Wilayah Dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Kompas.com, Available 2017. at: KKP Dorong Ekonomi Berbasis Perikanan di Sulbar. [Online] https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/03/103225626/kkp- dorong-ekonomi-berbasis-perikanan-di-sulbar?page=all [Diakses 15 12 2019]. Kominfo Available Sulbar, at: 2017. Sulawesi Barat. [Online] berita.sulbarprov.go.id/index.php/blog/sulawesi-barat [Diakses 15 12 2019]. Kurniawan, E. B., 2017. Kesenjangan Wilayah di Indonesia Kontemporer. In: R. Madinier, ed. Revolusi Tak Kunjung Selesai: Potret Indonesia Masa Kini. Jakarta: Irasec & KPG, pp. 63-79. Mietzner, M., 2014. Indonesia's Decentralization: The Rise of Local Identities and Survival of the Nation States. In: H. Hill, ed. Regional Dynamics in Decentralized Indonesia. Singapura: ISEAS, pp. 45-67. MedanBisnisDaily, 2017. Potensi Perikanan Sulawesi Barat Luar Biasa Besar. [Online] Available at: http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2017/08/03/313395/potensi_perika nan_sulawesi_barat_luar_biasa_besar/ [Diakses 14 12 2019]. Pratikno, 2001. Exercising Freedom: Local Autonomy and Democracy in Indonesia, 1999– 2001. In: M. Erb & P. Sulistiyanto, eds. Regionalism in Post-Suharto Indonesia. London: RoutledgeCurzon. Rasyid, M. R., 2004. Regional Autonomy and Local Politics in Indonesia. In: E. Aspinall & G. Fealy, eds. Local Power and Local Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation. Singapura: ISEAS. Ratnasari, Y. & Santoso, E. B., 2014. Penentuan Tipologi Kesenjangan Wilayah di Kabupaten Lamongan Berdasarkan Aspek Ekonomi dan Sosial. Jurnal Teknik Pomits, 03(02), pp. 125130. Samuelson, P. & Nordhaus, W., 2010. Economics. New York: McGraw-Hill. Yusuf, M., 2017. Metode Penelitian. Jakarta: Kencana. Zainal, A., 2013. Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan, Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.