Kabupaten Bolaang Mongondow HAMPARAN nyiur melambai yang dijumpai di sepanjang perjalanan menuju Kotamobagu, ibu kota Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) telah menyiratkan bahwa daerah ini kaya akan tanaman kelapa. Bukit di kanan kiri jalan tampak dihiasi pohon multiguna ini. Lambaian daun nyiur juga dijumpai di perkebunan-perkebunan yang menghampar di sebagian besar wilayah paling barat Provinsi Sulawesi Utara ini. Perkebunan kelapa di Bolmong didominasi oleh perkebunan rakyat dan swasta. Di seluruh Sulawesi Utara, hanya perkebunan kelapa yang selain dimiliki rakyat juga dimiliki swasta. Dan, ini hanya ada di dua kabupaten yaitu Mi-nahasa dan Bolmong. Setiap ta-hun hingga tahun 2000, dari lima kabupaten/kota di Sulawesi Utara jumlah produksi kelapa Bolmong hanya kalah dari Mi-nahasa. Oleh karena itu, Bol-mong dan Minahasa merupakan sentra produksi kelapa di Sula-wesi Utara. Komoditas perkebunan Bol-mong terdiri atas delapan jenis yaitu kelapa, cengkeh, kopi, ka-kao, pala, vanili, lada, dan jambu mete. Produksi tanaman kelapa tahun 2000 di bumi Totabuan ini sebanyak 56.553 ton. Dari jumlah tersebut, 93 persen berasal dari perkebunan rakyat dengan luas areal 52.359 hektar. Sedangkan untuk perkebunan swasta yang luas arealnya 3.524 hektar, diperoleh hasil 3.566 ton. Lokasi perkebunan swasta berada di Kecamatan Bolaang Itang, Sang Tombolang, Bolaang Uki, Pinolosian, Bolaang, Poi-gar, Kotabunan, dan yang paling luas Kecamatan Lolak. Cukup tingginya produksi sa-lah satu subsektor perkebunan ini menjadi berkah bagi industri. Meski industri tidak terlalu berkembang di kota ini, paling tidak masih ada pengusaha yang berminat untuk memanfaatkan komoditas unggulan. Pohon kelapa yang memiliki batang keras itu dimanfaatkan oleh pengusaha setempat menjadi bahan ba-ku pembuatan mebel. Sebuah industri mebel kayu kelapa di Bolmong yang tercatat di De-partemen Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara adalah UD Sakura. Investasinya sekitar Rp 1,3 milyar. Selain kelapa, daerah agraris ini mengandalkan komoditas cengkeh. ''Emas hitam'' yang sa-tu ini adalah komoditas andalan Sulawesi Utara. Harganya yang cenderung selalu tinggi membuat para petani Bolmong tak pernah bosan menanamnya. Informasi terakhir yang didapat, harga cengkeh saat ini di tingkat petani mencapai Rp 75.000-80.000 per kilogramnya. Pantas saja jika salah satu pemandangan umum di ruas-ruas jalan Sulawesi Utara, khususnya di Bolmong terlihat gelaran plastik-plastik berisi cengkeh yang sedang dijemur. Bahkan, tingginya harga cengkeh menjadikan masyarakat di sana konsumtif. Mereka memborong barang elektronik dan kendaraan ber-motor dari hasil penjualan komoditas itu. Meski demikian, kedua komoditas tersebut dirasa belum cukup mengangkat kehidupan masyarakat Bolmong yang hanya memiliki pendapatan per kapita sekitar Rp 3 juta ini. Sebenarnya, dalam kontribusi kegiatan ekonomi Bolmong, subsektor perkebunan yang tergabung dalam sektor pertanian, bukanlah yang pertama. Sektor pertanian dengan kontribusi 42 persen, diperoleh terutama dari subsektor tanaman bahan pangan dengan meraih Rp 281,455 milyar dari total PDRB tahun 2000 sekitar Rp 1,2 trilyun. Sedangkan angka yang diperoleh subsektor perkebunan hanya setengah dari yang diperoleh tanaman pangan, berkisar Rp 142 milyar. Produksi padi sawah dan padi ladang Bolmong selalu di atas kabupaten/kota lain di provinsi ini. Sayangnya, fasilitas yang semestinya dapat menunjang jaringan distribusi dan pemasaran produk unggulan, dirasa masih minim. Jalur transportasi antardesa dan dari desa ke ibu kota kecamatan atau kabupaten belum terbuka lancar. Untuk transportasi darat, tersedia jenis oplet minibus. Selain itu, ada juga bentor yaitu sejenis becak yang digerakkan dengan sepeda motor. Kedua jenis angkutan tersebut beroperasi di dalam kota, sedangkan untuk luar kota tersedia busbus berukuran sedang. Hanya ketiga jenis angkutan itulah yang ada di wilayah ini. Padahal, luas wilayah Bolmong lebih dari 8.000 kilometer persegi atau 55 persen luas Provinsi Sulawesi Utara. Terlebih lagi, terdapat kondisi jalan yang rusak di daerah pesisir selatan yang menjadi akses provinsi. Jalan rusak tersebut ada di bawah wewenang provinsi dan kurang diperhatikan pihak Pemerintah Kabupaten. Keterbatasan transportasi da-rat ini masih ditambah dengan minimnya transportasi laut. Di wilayah ini belum ada satu pun pelabuhan laut. Dari empat pe-labuhan yang ada di sini, semuanya merupakan pelabuhan nelayan. Dua pelabuhan, yaitu Labuan Uki dan Torosik sebenarnya menyimpan potensi untuk menjadi pelabuhan laut ka-rena kedalamannya yang layak dan arus tidak besar. Sejauh ini baru ada studi-studi untuk mengembangkan kedua pelabuhan tersebut. (Palupi P Astuti/ Litbang Kompas)