Hidrogenasi Elektrokimia Hidrokarbon Terpen

advertisement
Hidrogenasi Elektrokimia Hidrokarbon Terpen
Rinaldy P. Santosa1, Tedi Hudaya1, dan Tatang Hernas Soerawidjaja3
1
Laboratorium Rekayasa Reaksi Kimia dan Pemisaha, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri,
Universitas Katolik Parahyangan, Telp/Fax (022) 2032700
2,*
Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung,
Email : [email protected], [email protected]
Abstrak
Minyak terpentin adalah biohidrokarbon yang dapat ditingkatkan mutu pembakarannya menjadi seperti kerosin
ataupun avtur. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan titik asap dari minyak terpentin agar memenuhi
syarat mutu kerosin maupun avtur melalui proses hidrogenasi elektrokimia di dalam suatu sel elektrokimia pada
kondisi tegangan kerja tertentu yang telah ditentukan pada variasi konsentrasi larutan elektrolit (0,5;0,75;1M)
serta waktu proses hidrogenasi (6 dan 12 jam). Dengan meningkatnya kandungan hidrogen dalam minyak
terpentin maka titik asapnya akan makin naik dan mendekati titik asap kerosin. Analisis tingkat kejenuhan
minyak terpentin dilakukan menggunakan uji brom (titrasi bromida-bromat). Analisis produk minyak yang
dihasilkan dilakukan dengan uji nyala api menggunakan lampu cempor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
proses hidrogenasi elektrokimia dengan menggunakan larutan elektrolit KCOOH dan asam formiat dapat
mejenuhkan ikatan rangkap pada minyak terpentin. Konsentrasi larutan elektrolit paling optimal di dalam
penelitian adalah 0,75 M dengan penurunan bilangan brom sebesar 24% dari 1,86 menjadi 1,41. Titik asap
yang diperoleh pada konsentrasi 0,75 M adalah 18 mm sedangkan titik asap minyak tanah hasil percobaan
adalah 25 mm. Penambahan asam formiat akan menurunkan pH larutan elektrolit sehingga penurunan bilangan
brom semakin cepat.
Kata Kunci: bilangan brom, hidrogenasi elektrokimia, hidrokarbon, minyak terpentin, titik asap
Abstract
The oil of turpentine consists of biohydrocarbons (C10H16), the burning quality of which can be upgraded to
resemble those of kerosene or jet fuel. This research aims to increase the smoke point of turpentine oil to meet
the requirements of kerosene or jet fuel via an electrochemical hydrogenation processthat was carried out using
a certain optimum voltage by varying the concentration of the electrolyte solution (0,5 M; 0,75 M; 1M) and the
time period of the hydrogenation process (6 and 12 hours). With the increasing of hydrogen content, the smoke
point will also increase. Processed turpentine oil was analyzed using the bromide-bromate titration and the
smoke point was determined from burning the oil using oil-lamp. In this research, the electrochemical
hydrogenation process used potassium formate electrolyte solution and formic acid increased the saturation
degree of turpentine oil. The best electrolyte solution concentration was 0,75 M with 24% decrease of bromine
number from 1,86 to 1,41. The smoke point of processed oil at electrolyte solution concentration of 0,75 M is 18
mm while the smoke point of kerosene from experiment is 25mm. The added formic acid into the electrolyte
solution caused the further reduction of bromine number.
Keywords: bromine number, electrochemical hydrogenation, hydrocarbon, smoke point, turpentine oil
karakteristik pembakaran yang menyerupai minyak
tanah dan avtur. Akan tetapi perlu dilakukan proses
lebih lanjut terhadap minyak tersebut agar kualitasnya
dapat menyerupai minyak tanah (biokerosin) atau
bahkan avtur serta memenuhi syarat-syarat kelayakan
dari minyak tanah atau avtur. Hal ini disebabkan
kandungan hidrokarbon (C10H16) berupa monoterpen
yang terdapat di dalam minyak terpentin masih belum
memenuhi syarat mutu titik asap yang ditentukan bagi
kerosin dan avtur. Kerosin memiliki syarat titik asap
minimal 18 mm sedangkan avtur memiliki titik asap
minimal 25 mm. Titik asap tersebut dipengaruhi oleh
Pendahuluan
Bahan bakar minyak saat ini telah menjadi salah
satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia,
terutama sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.
Sumber utama bahan bakar yang digunakan saat ini
berasal dari bahan bakar fosil yang tidak dapat
diperbaharui, sementara jumlahnya semakin berkurang
serta mengakibatkan dampak lingkungan serius. Hal
ini mendorong dikembangkannya sumber bahan bakar
nabati dari minyak tanaman. Salah satu sumber bahan
baku yang dapat dimanfaatkan adalah minyak
terpentin. Minyak terpentin memiliki viskositas serta
1
kandungan hidrogen yang terdapat di dalam kerosin
atau avtur.
Salah satu proses yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas dan kelayakan tersebut adalah
hidrogenasi elektrokimia terhadap minyak terpentin.
Melalui proses ini, diharapkan kadar hidrogen dari
minyak terpentin meningkat dan syarat titik asap yang
telah ditentukan dapat terpenuhi, sehingga membuka
jalan bagi sumber-sumber bahan bakar baru yang
dapat diperbaharui dan lebih ramah lingkungan untuk
dipakai sebagai bahan bakar terbarukan.
Tujuan dari penelitian yang dilakukan ini adalah
mempelajari proses hidrogenasi elektrokimia terhadap
hidrokarbon terpen (monoterpen) yang terkandung
pada minyak terpentin serta mengkaji sampai sejauh
mana kualitas produk hasil penjenuhan yang bisa
didapatkan.
Ruang lingkup yang digunakan dalam penelitian
ini adalah proses hidrogenasi elektrokimia dilakukan
di dalam suatu sel elektrokimia dengan bahan baku
minyak terpentin. Parameter yang divariasikan adalah
konsentrasi larutan elektrolit serta variasi lamanya
waktu hidrogenasi elektrokimia. Katoda yang
digunakan berupa nikel.
molekul yang lebih jenuh. Reaksi hidrogenasi bersifat
eksoterm dan membutuhkan energi pengaktifan yang
tinggi (Fessenden, 1986).
Pada penelitian ini, proses hidrogenasi dilakukan
secara elektrokimia di dalam suatu sel elektrokimia
yang terdiri dari katoda dan anoda. Sumber hidrogen
yang digunakan berasal dari reduksi air atau mediator
yang berasal dari larutan elektrolit di permukaan
katoda nikel yang digunakan. Proses hidrogenasi
dilakukan secara batch di mana larutan elektrolit
hanya dimasukkan sekali di awal proses.
Pada proses hidrogenasi terhadap monoterpen akan
digunakan larutan elektrolit berupa asam format yang
ditambah garam kalium format. Penggunaan ion
format ini dikarenakan adanya siklus format yang
terjadi Mekanisme siklus format yang terjadi adalah
sebagai berikut (Mondal and Lalvani, 2003) :
HCOO- + oil + H2O  oil-H2 + HCO3HCO3- + 2H+ + 2e-  HCOO- + H2O
Pada saat awal ion format dan air akan mereduksi
ikatan rangkap pada minyak. Dari proses ini akan
dihasilkan minyak jenuh serta ion bikarbonat
(merupakan CO2 yang terlarut dalam air). Ion
bikarbonat kemudian akan mengalami reduksi pada
katoda sehingga dihasilkan kembali ion format dan air
yang akan dapat bereaksi dengan minyak tak jenuh
yang masih ada. Proses hidrogenasi elektrokimia ini
dapat dilakukan di sekitar temperatur dan tekanan
ruang.
Selain itu terdapat pula suatu reaksi samping pada
katoda yang akan mengkonsumsi arus namun tidak
mempengaruhi perolehan produk. Reaksi tersebut
adalah reaksi pembentukan gas hidrogen dari
kombinasi dua atom Hads sebagai berikut (Mondal
dan Lalvani, 2003) :
(3)
2Hads → H2 (gas)
Reaksi samping ini dapat terjadi dikarenakan
sudah tidak ada lagi ruang kosong di permukaan
katoda bagi atom H untuk teradsorp sehingga atom H
yang terbentuk saling bereaksi satu sama lain dan
membentuk gas H2 yang kemudian lepas ke udara.
Reaksi ini harus dihindari karena selain menyebabkan
pemborosan energi, gas H2 yang terbentuk
meningkatkan resiko timbulnya bahaya ledakan dan
kebakaran. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur
besarnya potensial listrik yang digunakan.
Karena proses berlangsung di dalam suatu reaktor
elektrokimia, selain di katoda terjadi pula reaksi di
anoda. Untuk larutan elektrolit yang berbasis air maka
pada anoda terjadi reaksi oksidasi sebagai berikut
(Mondal dan Lalvani, 2003) :
(4)
1/2H2O → ¼ O2 + H+ + eProses hidrogenasi dilakukan dalam kondisi asam.
Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut pinen akan
mengalami reaksi isomerisasi menjadi dua macam
produk utama yaitu produk bisiklik atau trisiklik
contohnya camphen dan juga produk monosiklik
Landasan Teori
Terpen merupakan suatu hidrokarbon yang
dihasilkan oleh tumbuhan dengan rumus molekul
(C5H8)n (Eggersdorfer, 2003). Salah satu sumber alam
yang banyak mengandung terpen adalah minyak
terpentin. Minyak terpentin merupakan minyak mudah
menguap yang didapatkan sebagai produk atas dari
proses distilasi terhadap getah pohon pinus. Minyak
terpentin merupakan campuran dari terpen dan minyak
– minyak lainnya dengan kandungan utama adalah
dua macam monoterpen yaitu α-pinen serta β-pinen.
Minyak terpentin memiliki viskositas serta
karakteristik pembakaran yang menyerupai minyak
tanah dan avtur Akan tetapi kandungan monoterpen
dalam minyak terpentin masih belum memenuhi
syarat mutu titik asap (tinggi maksimum dari nyala
tanpa asap yang bisa dihasilkan oleh bahan bakar
ketika digunakan dalam lampu minyak standar) yang
ditentukan bagi kerosin dan avtur. Kerosin memiliki
syarat titik asap minimal 18 mm dan sedangkan avtur
memiliki titik asap minimal 25 mm. Kandungan
hidrogen yang terkandung dalam monoterpen masih
kurang sehingga titik asap yang dimiliki pun masih
rendah dan tidak memenuhi persyaratan dari kerosin
serta avtur. Meskipun begitu, monoterpen dapat
ditingkatkan mutunya agar dapat memenuhi
persyaratan dari kerosin maupun avtur.
Salah satu proses yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kadar hidrogen sehingga kualitas dan
kelayakan minyak terpentin naik adalah hidrogenasi
yang merupakan suatu proses kimia di mana
dilakukan adisi atom hidrogen ke dalam suatu molekul
biasanya terjadi pada senyawa yang memiliki ikatan
rangkap dua atau rangkap tiga sehingga terbentuk
2
contohnya limonen. Reaksi pembentukan produk
monosiklik adalah sebagai berikut :
dilakukan variasi konsentrasi larutan elektrolit (0,5 M;
0,75 M; 1 M) dan lama waktu proses hidrogenasi (6
dan 12 jam). Larutan elektrolit yang digunakan berupa
garam kalium format yang ditambah asam formiat
sebagai pengatur pH. Pengaruh asam formiat dilihat
dari percobaan yang dilakukan tanpa memberikan
tegangan ke dalam sel elektrokimia.
γ-terpinene
H2
Kawat Listrik Katoda
(-)
α-pinen
Kawat Listrik Anoda
(+)
Gas O2
α-terpinene
limonen
terpinolene
Sedangkan reaksi pembentukan bisiklik atau
trisiklik adalah sebagai berikut :
Anoda (per
stainless steel)
Katoda
nikel
(packing)
camphene
H2
Kisi Berpori
karen
α-pinen
Pompa
tricyclene
Semakin besar konsentrasi asam maka selektivitas
dari reaksi isomerisasi akan lebih mengarah ke produk
monosiklik. Jadi penggunaan kondisi asam dalam
proses hidrogenasi akan dapat mempercepat proses
hidrogenasi itu sendiri karena kondisi asam akan
membantu terbukanya ikatan bisiklik yang terdapat
pada pinen sehingga reaksi hidrogenasi dapat
berlangsung lebih cepat (Chimal-Valencia et al, 2004).
Gambar 1. Rangkaian Sel Elektrokimia
Peningkatan kadar hidrogen dari monoterpen
dilihat dari tingkat kejenuhan minyak setelah proses
hidrogenasi. Tingkat kejenuhan dianalisis dengan
melakukan uji brom (titrasi bromida-bromat). Satu
mol brom teradsorp akan setara satu ikatan rangkap
yang belum terjenuhkan. Persamaan bilangan brom
(B) yang digunakan adalah
Metodologi
Pada proses hidrogenasi elektrokimia tegangan
kerja untuk perlu ditentukan dahulu dengan cara
menaikkan tegangan listrik hingga didapatkan nilai
arus yang konstan. Tegangan listrik yang memberikan
nilai arus yang konstan tersebut merupakan tegangan
kerja optimum yang digunakan dalam proses
hidrogenasi elektrokimia. Selain itu, digunakan pula
indikator lain berupa pengamatan lepas atau tidaknya
gelembung gas H2 yang terdapat pada katoda. Apabila
gelembung gas tersebut terlepas maka tegangan telah
melebihi tegangan optimum. Hal ini juga menandakan
perpindahan ion – ion dalam larutan elektrolit telah
mencapai batas maksimum oleh karena itu pengunaan
tegangan yang berlebihan selain memboroskan energi
juga berbahaya karena dapat menimbulkan resiko
ledakan dan kebakaran.
Proses
hidrogenasi
elektrokimia
terhadap
hidrokarbon terpen yang terkandung dalam minyak
terpentin dilakukan dalam suatu sel elektrokimia
dengan memberikan tegangan yang telah ditentukan
sebelumnya. Skema alat penelitian yang dilakukan
dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam penelitian ini
(Johnson,1947)
Analisis produk minyak yang dihasilkan dilakukan
dengan uji nyala api untuk mengetahui titik asap dari
produk tersebut. Titik asap tersebut kemudian
dibandingkan dengan titik asap kerosin untuk
mengetahui sampai sejauh mana produk minyak yang
telah dihasilkan.
Hasil dan Pembahasan
Analisis Awal Minyak Terpentin
Bahan baku minyak terpentin didapatkan dari PT.
Perhutani. Analisis bilangan brom awal dilakukan
secara triplo dan hasil analisis yang diperoleh
disajikan pada Tabel 1.
3
Tabel 1. Hasil
Terpentin
dari apakah senyawa brom yang dihasilkan pada titrasi
bromida-bromat mampu membuka gugus siklik yang
ada. Bila senyawa brom mampu membuka gugus
siklik maka diharapkan terjadi penurunan bilangan
brom hingga bernilai 1 (dengan struktur monosiklik)
sedangkan bila senyawa brom tidak mampu membuka
gugus siklik maka diharapkan terjadi penurunan
bilangan brom hingga bernilai 0 (dengan struktur
rantai lurus). Hasil percobaan yang diperoleh disajikan
pada Tabel 3.
Analisis Bilangan Brom Minyak
Hasil Pengujian
Bilangan Brom
I
II
III
1,88
1,86
1,87
Dari hasil analisis diperoleh bilangan brom awal
minyak terpentin rata-rata sebesar 1,87 mol Br2/ mol
sampel yang setara dengan 220 gr Br2 / 100 gr sampel.
Densitas dari minyak terpentin hasil pengukuran
adalah sebesar 0,858 gr/ml. Nilai densitas ini berada
pada rentang densitas minyak terpentin menurut
literatur yaitu antara 0,855 – 0,872 gr/ml.
Tabel 3. Hasil Percobaan Hidrogenasi Elektrokimia
Minyak Terpentin
Penentuan Tegangan Optimum
Penentuan tegangan optimum dilakukan dengan
cara mengalurkan kurva tegangan terhadap arus yang
dihasilkan pada setiap percobaan yang dilakukan.
Salah satu contoh penentuan tegangan optimum
diperlihatkan pada Gambar 2.
Tegangan Kerja
8V
13 V
1M
11 V
Persen
Penurunan
KCOOH 0,5 M
6 jam
12 jam
6 jam
12 jam
6 jam
12 jam
6 jam
12 jam
202,35
188,24
202,35
190,59
185,88
165,88
178,82
168,24
7,53%
13,98%
5,38%
12,9%
15,05%
24,19%
18,28%
23,12%
Pengaruh Konsentrasi KCOOH
Dari Tabel 3. dapat disimpulkan bahwa
konsentrasi dari larutan elektrolit yang digunakan
mempengaruhi bilangan brom yang didapatkan.
Peningkatan konsentrasi larutan elektolit KCOOH
menyebabkan kemampuan perpindahan massa (ion)
yang terjadi antara larutan elektrolit dengan minyak
terpentin semakin besar sehingga reaksi hidrogenasi
yang berlangsung semakin banyak terjadi yang dapat
dilihat dengan semakin menurunnya angka brom yang
didapatkan. Makin menurunnya bilangan brom yang
diperoleh menunjukkan pula bahwa ikatan rangkap
yang terhidrogenasi semakin banyak. Pada penelitian
yang dilakukan ini konsentrasi optimum larutan
elektrolit KCOOH yang diperoleh adalah 0,75 M
karena pada konsentrasi tersebut diperoleh penurunan
bilangan brom yang paling signifikan dari bilangan
brom awal minyak terpentin yaitu sebesar 24% (dari
1,86 menjadi 1,41). Di dalam percobaan disimpulkan
pula bahwa penambahan butanol ke dalam larutan
elektrolit sebagai emulsifier tidak membantu proses
hidrogenasi yang terjadi. Hal ini dilihat dari besarnya
bilangan brom yang masih lebih besar daripada
bilangan brom pada percobaan dengan larutan
elektrolit yang tidak ditambah butanol.
Tabel 2. Tegangan Optimum yang Dipakai pada Setiap
Variasi Konsentrasi
0,5 M
Bilangan Brom
KCOOH 1 M
Tegangan yang digunakan pada setiap variasi
konsentrasi larutan elektrolit disajikan pada Tabel 2.
0,75 M
Waktu
KCOOH 0,5 M +
Butanol
KCOOH 0,75 M
Gambar 2. Kurva Penentuan Tegangan Optimum 0,75 M
Konsentrasi Larutan
Elektrolit
Larutan
Elektolit
Analisis Hasil
Proses hidrogenasi minyak terpentin dilakukan
secara elektrokatalitik dengan menggunakan sel
elektrokimia di mana larutan elektrolit yang
digunakan adalah larutan KCOOH dan asam formiat
yang ditambahkan untuk mengatur pH sampai
diperoleh pH = 4. Variasi percobaan yang dilakukan
adalah variasi konsentrasi dari larutan elektrolit
KCOOH yaitu 0,5 M; 0,75 M; 1 M serta lamanya
proses hidrogenasi elektrokimia yaitu 6 dan 12 jam.
Penurunan bilangan brom yang diinginkan bergantung
Pengaruh Lama Waktu Hidrogenasi
Dari Tabel 3. dapat disimpulkan bahwa lama
waktu dari proses hidrogenasi berpengaruh terhadap
bilangan brom yang didapatkan di mana makin lama
waktu proses hidrogenasi maka bilangan brom yang
didapatkan makin menurun. Hal ini menunjukkan
bahwa makin lama waktu hidrogenasi maka jumlah
ikatan rangkap yang terhidrogenasi semakin banyak
sehingga bilangan brom nya pun semakin menurun.
4
Meskipun begitu pada selang waktu proses
hidrogenasi antara 6 dengan 12 jam penurunan
bilangan brom yang terjadi tidak sebesar pada selang
waktu proses hidrogenasi antara 0 sampai 6 jam. Hal
ini mungkin disebabkan karena keefektifitasan larutan
elektrolit yang digunakan sudah menurun sehingga
penurunan ikatan rangkap yang terjadi makin sedikit.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah
penambahan ulang larutan elektrolit setelah beberapa
jam reaksi dapat mempercepat reaksi.
rangkap yang ada pada monoterpen yang terkandung
pada minyak terpentin terutama oleh air (terjadi proses
hidrasi) sehingga bilangan bromnya pun turun karena
jumlah ikatan rangkap yang ada telah berkurang akibat
terjadinya reaksi adisi tersebut.
Penurunan bilangan brom pada kondisi di mana
dilakukan penambahan asam formiat lebih besar
daripada kondisi tanpa penambahan asam formiat. Hal
ini disebabkan karena pH dari larutan elektrolit lebih
rendah sehingga kondisi asam semakin kuat dan
menyebabkan reaksi adisi yang terjadi semakin cepat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin asam kondisi
pH dari larutan elektrolit maka penurunan bilangan
brom yang didapatkan akan semakin besar.
Pengaruh Penambahan Asam Formiat
Penggunaan asam formiat pada larutan elektrolit
yang digunakan menyebabkan kondisi asam yang
diharapkan dapat membantu terbukanya gugus siklik
pada minyak terpentin agar proses hidrogenasi dapat
berlangsung dengan lebih baik dan lebih cepat.
Pengaruh dari kondisi asam yang digunakan ini dapat
dilihat dari kenaikan bilangan brom yang diperoleh
dibandingkan bilangan brom awal minyak terpentin.
Hal ini dikarenakan dengan terbukanya gugus siklik
maka jumlah ikatan rangkap yang didapatkan akan
semakin banyak sehingga bilangan brom yang
dihasilkan pun semakin besar. Perbandingan dari
penambahan asam formiat disajikan pada Tabel 4.
Analisis Uji Nyala Api
Uji nyala api dilakukan untuk mengetahui titik
asap dari minyak terpentin yang telah mengalami
proses hidrogenasi. Titik asap tersebut merupakan
ketinggian dari nyala api maksimum tanpa
mengeluarkan asap yang dihasilkan ketika minyak
tersebut dibakar dalam lampu minyak standar. Hasil
uji nyala api yang diperoleh disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji Nyala Api
Tabel 4. Pengaruh Penambahan Asam Formiat
Sampel
Larutan
Elektrol
it
KCOOH
0,5 M
Penambah
an Asam
Formiat
Ya
Arus
Listri
k
Tidak
pH
Wakt
u
Bilanga
n Brom
3,9
5
203,53
197,65
KCOOH
0,5 M
Tidak
Tidak
5,4
KCOOH
0,75 M
Ya
Tidak
3,9
5
KCOOH
0,75 M
Tidak
Tidak
5,5
1
Asam
Formiat
0,565 M
Ya
Tidak
1,9
6
6 jam
12
jam
6 jam
12
jam
6 jam
12
jam
6 jam
12
jam
2 jam
4 jam
6 jam
8 jam
10
jam
12
jam
6 jam
12
jam
KCOOH
1M
Ya
Tidak
3,9
6
Terpentin Murni
0,5 M
0,75 M
1M
Kerosin
201,18
197,65
Tinggi Nyala Api
(mm)
± 10 mm
± 12 mm
± 18 mm
± 18 mm
± 25 mm
Dari Tabel 5. dapat disimpulkan bahwa secara
garis besar makin besar penurunan angka brom maka
titik asap yang didapatkan dari pembakaran minyak
terpentin akan makin tinggi. Hal ini dikarenakan
jumlah hidrogen yang terdapat dalam minyak semakin
banyak sehingga titik asap pun akan makin tinggi.
Akan tetapi titik asap kenaikan titik asap yang
didapatkan tidak terlalu besar dan masih cukup jauh
apabila dibandingkan dengan titik asap dari kerosin.
Hal ini dikarenakan masih terdapat ikatan rangkap
pada minyak terpentin sehingga kadar hidrogennya
masih kurang yang berakibat titik asap yang
didapatkan masih rendah.
Selain itu apabila titik asap kerosin yang diperoleh
dari proses pengujian (±25 mm) dibandingkan dengan
titik asap kerosin secara teoritis (min 18 mm) terdapat
perbedaan yang cukup jauh. Hal ini disebabkan proses
pengujian dilakukan dengan menggunakan lampu
yang tidak standar yaitu lampu cempor sehingga hasil
pengujian yang didapatkan pun tidak seakurat apabila
kerosin dibakar dalam lampu minyak standar.
196,47
190,59
192,94
189,41
217,65
214,12
205,88
198,82
189,41
187,06
194,12
182,35
Tabel 4 tersebut memperlihatkan bahwa
penambahan asam formiat tidak menyebabkan
kenaikan dari bilangan brom minyak terpentin namun
justru menyebabkan penurunan bilangan brom
tersebut. Hal ini dapat disebabkan terjadinya reaksi
adisi lain terhadap gugus siklik maupun ikatan
Kesimpulan
Proses
hidrogenasi
elektrokatalitik) dengan
5
elektrokimia
menggunakan
(secara
larutan
elektrolit KCOOH yang ditambah asam formiat
sebagai pengatur pH dapat digunakan untuk
menurunkan ikatan rangkap (menambah kandungan
hidrogen) yang terdapat pada minyak terpentin.
Konsentrasi larutan elektrolit KCOOH sebesar 0,75 M
memberikan hasil yang terbaik pada proses
hidrogenasi
elektrokimia
yang
dilakukan
dibandingkan dengan konsentrasi 0,5 M dan 1 M di
mana terjadi penurunan bilangan brom sebesar 24%
dari 1,86 menjadi 1,41. Sedangkan semakin asam
kondisi pH larutan elektrolit maka penurunan bilangan
brom akan semakin besar.
Makin lama waktu proses hidrogenasi yang
dilakukan maka penurunan bilangan brom akan makin
besar yang menunjukkan jumlah ikatan rangkap
semakin berkurang. Makin berkurangnya ikatan
rangkap tersebut membuat titik asap dari minyak
terpentin akan naik.
Kirk-Othmer, (1997), Terpenoids, in Encyclopedia of
Chemical Technology, Volume 23, Fourth Edition,
John Wiley and Sons.Inc.
Lewis, J.B. and Bradstreet, R.B., (1940),
Determination of Unsaturation in Aliphatic
Hydrocarbon Mixtures by Bromine Absorption, Ind.
Eng. Chem. Anal. Ed. 12, pp. 387-390.
Mondal,
K.
and
Lalvani,
S.B.,
(2003),
Electrochemical Hydrogenation of Canola Oil Using
a Hydrogen Transfer Agent, JAOCS, Vol. 80, No.11,
pp. 1135 – 1141.
Mondal, K. and Lalvani, S.B., (2008),
Low
Temperature soybean oil hydrogenation by an
electrochemical
process,
Journal
of
Food
Engineering, 84, pp. 526 – 533.
Mondal, K. and Lalvani, S.B., (2003), Mediatorassisted electrochemical hydrogenation of soybean oil,
Chemical Engineering Science, 58, pp. 2643 – 2656.
Mulliken, S. and Wakeman,R., (1935), Estimation of
Unsaturation in Aliphatic Hydrocarbons by BromideBromate Titration, Ind. Eng. Chem. Anal. Ed. 7, pp.
59.
Soerawidjaja, Tatang H., Peran Kritikal Biomassa
dalam Penyediaan Energi dan Tantangan – Tantangan
Litbangnya, Seminar Teknik Kimia Universitas
Katolik Parahyangan, Bandung, 23 April 2009.
Utami H., Budiman A., Sutijan, Roto, Sediawan,
W.B., (2011), Heterogeneous Kinetics of Hydration of
α-Pinene for α-Terpineol Production: Non – Ideal
Approach, World Academy of Science, Engineering,
and Technology, pp. 864 – 867.
Yusem, G.J. and Pintauro, P.N., (1992), The
Electrocatalytic Hydrogenation of Soybean Oil,
JAOCS, 69 (5), pp. 399 – 404.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat
(LPPM) Universitas Katolik Parahyangan yang telah
mendanai penelitian dalam hal penyedian minyak
terpentin serta pembuatan peralatan penelitian yang
digunakan.
Daftar Simbol
B = bilangan brom, mol Br2 / mol sampel
N KBr – KBrO3 = normalitas KBr – KBrO3 , N
V KBr – KBrO3 = volume KBr – KBrO3 , ml
= normalitas Na2S2O3 , N
N Na2S2O3
= volume Na2S2O3, ml
V Na2S2O3
Massa sampel
= massa sampel, gr
Daftar Pustaka
Chimal-Valencia, O., Robau-Sanchez, A., CollinsMartinez, V., Aguilar-Elguezabal, A., (2004), Ion
exchange resin as catalyst for the isomerization of αpinene to camphene, Biosource Technology, 93, pp.
119-123.
Deliy, I.V. and Simakova, I.L., (2008). Catalytic
activity of the VIII Group metals in the hydrogenation
and isomerization of α- and β-pinenes, Russian
Chemical Bulletin International Edition, Vol. 57, No.
10, pp. 2056 – 2064.
Eggersdorfer, M., (2003), Terpenes, in Ullmann’s
Encyclopedia of Industrial Chemistry, 35, pp. 653 –
668.
Fessenden, R. J., dan Fessenden J.S., (1986), Kimia
Organik Jilid Dua, Erlangga, Jakarta.
Gscheidmeier, M. and Fleig, H., (1996), Turpentines,
in Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry, A
27, pp. 267 – 280.
Johnson, L.H. and Clark, R.A., (1947), Procedure for
Determination of the Bromine Number of Olefinic
Hydrocarbons, Ind.Eng.Chem.Anal, Vol.19, No.11,
pp. 869 – 872.
6
Download