Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489 Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan: Antara Kuasa dan Negosiasi atas Tubuh Penulis: Gabriella Devi Benedicta Sumber: MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI. MASYARAKAT Jurnal Sosiologi diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected] Website: www.labsosio.org Untuk mengutip artikel ini: Benedicta, Gabriella Devi. 2011. “Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan: Antara Kuasa dan Negosiasi atas Tubuh.” MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156. Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan: Antara Kuasa dan Negosiasi atas Tubuh Gabriella Devi Benedicta Peneliti Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI Email: [email protected] Abstract This paper discusses sexuality and autonomy of woman’s body through a study of sexy dancers in entertainment industry in Malang, East Java. Entertainment industry, including night club industry is capital manifestation and a contested arena of any kind of ideology like capitalism and patriarchy. However, a woman still can show her autonomy of her body instead of being a commodity object. She can make her body as a subject. In this case, she, herself, becomes a doer which is controlling her own body. The dynamic of woman’s authority of her body is influenced by a certain setting and context. It can be seen in social relation involved sexy dancers and other actors. She can have high bargaining position and negotiation of her body when she relates to a certain actor, but on the other side she may not have an autonomy of her body when she relates to another actor. The autonomy of her body is multi dimension and not absolute. Kata kunci: tubuh perempuan, seksualitas, otonomi tubuh, penari seksi, kekuasaan 14 2 | G A B R I E L L A D evi B E N E D I C T A PE N DA H U LUA N Sebagai ideologi, kapitalisme dan patriarkat dapat termanifestasikan melalui perempuan dan tubuhnya. Ini terlihat misalnya, melalui komodifikasi para sexy dancers (penari seksi) dalam dunia industri hiburan malam. Mayoritas penari seksi tersebut adalah perempuan muda yang tubuhnya dibalut kostum minimalis. Tidak seperti penari pada umumnya yang menampilkan keindahan gerakan tarian, penari seksi menyajikan keindahan tubuh. Perempuan dalam kasus ini, terutama tubuhnya, dianggap tidak hanya lebih memikat tetapi juga lebih mudah dikontrol oleh para pemilik modal dibandingkan dengan laki-laki (Surur dan Anoegrajekti 2004). Dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, industri hiburan malam menyajikan perempuan bertubuh ‘ideal’. Konsekuensinya, ada intervensi terhadap wilayah privat individu, yaitu tubuh. Tubuh perempuan dibentuk, dipoles, dan dikontrol untuk dihadirkan kepada para konsumen laki-laki dalam rupa yang sempurna sesuai dengan imajinasi mereka. Tubuh perempuan dijadikan locus bagi terjadinya kontestasi kekuasaan. Dalam kontestasi tersebut, perempuan dijadikan objek hegemoni dan kontrol ideologi patriarkat dan kapitalisme. Namun, bukan berarti perempuan tidak dapat menempatkan diri mereka sebagai subjek yang memiliki otonomi atas dirinya sendiri. Beberapa peneliti telah melakukan kajian yang membahas mengenai seksualitas dan tubuh perempuan. Salah satu di antaranya adalah tulisan Aquarini Priyatna Prabasmoro (2003) mengenai “Representasi Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel Karya N. H. Dini”. Konstruksi seksualitas dan subjektivitas perempuan dalam budaya patriarkat dianalisis melalui kajian struktur dan wacana pada tiga novel karya N.H Dini, yaitu Pada Sebuah Kapal, La Barka, dan Namaku Hiroko. Isu utama yang diangkat dalam tulisan tersebut adalah isu tubuh dan penubuhan, serta wacana berahi, seks, dan cinta. Tokoh-tokoh perempuan pada novel tersebut dapat memainkan peranannya, baik sebagai subjek maupun objek. Mereka otonom dan dapat menentukan arah diri dan tubuhnya sendiri. Tokoh-tokoh tersebut menunjukkan transendensi subjek perempuan terhadap tubuh perempuannya melalui resistensi terhadap apa yang didefinisikan oleh budaya patriarkat sebagai ruang tubuh perempuan. Tokoh Sri dalam novel Pada Sebuah Kapal misalnya, menolak menjadi objek MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 DINA MIK A OTONOMI TUBUH PER EMPUAN | 14 3 pasif dari pandangan seorang subjek yang menyituasikannya dalam kanvas. Sedangkan tokoh Hiroko, melalui tarian erotisnya, mampu mengubah situasi objektif menjadi subjektif yang menempatkan dirinya sebagai subjek. Tidak berbeda dengan kedua tokoh utama lainnya, tokoh Sophie diceritakan sebagai perempuan yang mampu menyadari potensi seksualitas tubuhnya dan menikmati objektivitas tubuhnya terhadap pandangan laki-laki. Tubuh dan seksualitas tersebut yang menjadi bagian penting yang menentukan bagaimana konstruksi diri perempuan dibentuk. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Rachmah Ida (2004) mengenai Tubuh Perempuan dalam Goyang Dangdut menunjukan bahwa tubuh perempuan dianggap mengandung ‘sensualitas’ yang menggugah berahi laki-laki. Kenikmatan yang diperoleh para lelaki sangat bergantung pada persepsi individual. Kenikmatan adalah ranah privat yang dimiliki individu, tetapi ‘produk’ yang dinikmati (penari dangdut) adalah ranah publik, milik siapa saja karena itu wajar atau sudah sepantasnya mendapat cercaan atau kritikan. Wilayah privat dan publik mengalami perpendaran makna. Wilayah privat menjadi hak pribadi, sedangkan wilayah publik tak pernah boleh menjadi milik pribadi. Berdasarkan kajian di atas, tulisan ini menguatkan studi yang ada sebelumnya mengenai subjektivitas dan objektivitas tubuh perempuan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana perempuan yang berprofesi sebagai penari seksi memberi pemaknaan atas seksualitas tubuhnya; apakah ia menjadi objek yang dikuasai oleh pihak lain atau ia menjadi subjek yang otonom dapat menentukan arah diri dan tubuhnya sendiri. Keindahan tubuh perempuan dalam diri penari seksi yang memuat cita rasa estetis yang unik tersebut seringkali dilihat dalam konteks yang berbeda. Tubuh merupakan awal pemaknaan seksualitas dan bahkan pemaknaan atas diri perempuan. Beauvoir dalam Tong (2004) menyebutkan bahwa semua berawal dari tubuh. Penilaian dan pemaknaan atas kualifikasi tubuh perempuan yang digambarkan dalam diri penari seksi selama ini lebih banyak didominasi oleh sistem penilaian dan pemaknaan lakilaki. Suara para penari seksi ini sendiri dalam memaknai seksualitas tubuhnya serta pekerjaannya kurang terangkat. Tulisan ini akan menunjukkan bagaimana interaksi antara kapitalisme, patriarkat, dan aktor-aktor di dalamnya bekerja sama menghadirkan industri hiburan malam. Dari beberapa penelitian dan studi yang telah dilakukan MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 14 4 | G A B R I E L L A D evi B E N E D I C T A sebelumnya, tulisan ini ingin mengangkat sisi lain tubuh perempuan; penari seksi sebagai aktor melihat dan memaknai tubuhnya sendiri. Menurut saya, kontrol atas tubuh penari seksi perempuan bersifat dinamis karena posisi tawar mereka dapat berubah-ubah, tergantung dengan siapa perempuan membangun relasi. Oleh karena itu, perempuan tidak hanya dapat dipandang sebagai objek, namun dapat pula sebagai subjek. Pada satu sisi, perempuan penari seksi dalam industri hiburan diposisikan menjadi objek dan kendaraan ekonomi berbagai kepentingan lain di luar tubuh mereka, namun pada sisi lain mereka memiliki potensi menjadi subjek yang dapat dengan otonom menentukan arah dan kontrol tubuh mereka. Kemampuan atau ketidakmampuan untuk memiliki kontrol atas tubuh perempuan yang diangkat melalui kehidupan para penari seksi tersebut menunjukkan bagaimana otonomi atas tubuh mereka. Tulisan ini ingin mengangkat sisi lain dari tubuh perempuan yang unik, di satu sisi cenderung lekat dengan kontrol oleh kapitalisme dan patriarkat, namun di sisi lain dapat pula menjadi pemilik yang menentukan kuasa atas tubuhnya. Subjek utama studi ini adalah salah satu kelompok penari seksi yang ada di kota Malang, Jawa Timur pada saat penelitian ini dilakukan (tahun 2009). Untuk mengkaji lebih jauh mengenai dinamika otonomi tubuh subjek penelitian utama, dilihat pula relasi yang terjadi antara penari seksi dengan aktor lainnya (pemilik industri hiburan malam tempat penari seksi bekerja, konsumen industri hiburan malam, dan pemerintah daerah terkait). Konsepsi T ubuh dan O tonomi T ubuh Menurut Bartky, Lee, dan Foucault (2003 dalam Ida 2005) dalam karya mereka yang berjudul Feminity and the Modernization of Patriarchal Power, dikatakan bahwa “woman’s body is an ornamented surface too, and there is much discipline involved in this production as well” tubuh perempuan dianggap ornamen; maka penggunaan make-up dan pemilihan pakaian semuanya terlibat dalam pemaknaan tubuh perempuan. Melihat tubuh perempuan, tidak dapat melepaskan konteks budaya dan tubuh yang didefinisikan. Salah satu budaya yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia adalah budaya patriarkat. Budaya ini didasarkan pada suatu pandangan yang mengangap bahwa norma laki-laki yang menjadi pusat (center) MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 DINA MIK A OTONOMI TUBUH PER EMPUAN | 145 dari relasi-relasi sosial yang ada (Ida, 2005). Karena dibudayakan, tubuh juga memiliki hierarki pemaknaan; tubuh yang indah dan tidak indah, normal dan tidak normal, ideal dan tidak ideal, dan seterusnya (Prabasmoro, 2006). Dalam kajian mengenai tubuh, terdapat pula konsep mengenai otonomi atas tubuh. Otonomi tubuh tersebut adalah upaya sistematis-berkelanjutan dari setiap perempuan untuk mau dan mampu menjadikan tubuhnya sendiri otonom, utuh dari penjajahan siapa dan pihak mana pun dan di mata siapa pun (Harper, 2002). Upaya ini membutuhkan pemaknaan akan nilai-nilai hidup dan makna eksistensi diri perempuan itu sendiri, sehingga dirinya bebas menentukan dan independen untuk menerjemahkan realitas yang dihadapinya. Kemerdekaan dan otonomi tubuh perempuan harus dilakukan bersamaan dengan upaya perempuan memaknai eksistensi dirinya di tengah gerusan dan gempuran berbagai gempuran kepentingan di luar tubuh perempuan (Suara Merdeka, 29/04/2009). Otonomi atas tubuh perempuan selalu berhubungan dengan kekuasaan. Seorang perempuan dikatakan dapat memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri jika ia dapat melakukan kontrol atas tubuhnya. Jika seorang perempuan memiliki kemampuan kontrol tersebut, ia dapat menentukan arah tubuhnya. Tubuh perempuan yang indah dan menarik bagi laki-laki dapat digunakan secara sadar oleh perempuan untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Namun, tidak semua perempuan dapat memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri. Ketidakmampuan perempuan dalam menentukan arah atas tubuhnya tersebut dapat dilihat ketika tubuh perempuan dijadikan komoditas oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak tersebut. Foucault (1983) menunjukkan bahwa wacana seksualitas tidak mungkin dilepaskan dari wacana kekuasaan dan pengetahuan, yang di dalamnya termasuk bagaimana budaya dikonstruksi untuk melanggengkan tatanan kekuasaan yang patriarkal. Dalam membahas keterkaitan antara seksualitas dan kekuasaan, Foucault menulis beberapa buku, salah satu yang paling terkenal adalah History of Sexuality (1983). Salah satu poin penting buku ini adalah bahwa seksualitas lebih merupakan produk positif kekuasaan. Seksualitas bukanlah realitas alamiah melainkan produk sistem wacana dan praktik yang membentuk bagian-bagian pengawasan dan kontrol individu yang semakin intensif. MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 14 6 | G A B R I E L L A D evi B E N E D I C T A E konomi-P olitik T ubuh Perempuan di E ra K apitalisme Terdapat tiga persoalan yang menyangkut eksistensi perempuan di dalam wacana ekonomi-politik (political economy), khususnya dalam dunia komoditi. Pertama, persoalan ‘ekonomi-politik tubuh’ (political-economy of the body), yaitu bagaimana aktivitas tubuh perempuan digunakan dalam berbagai aktivitas ekonomi, berdasarkan pada konstruksi sosial atau ‘ideologi’ tertentu. Kedua, persoalan ‘ekonomi-politik tanda’ (political-economy of sign), yaitu bagaimana perempuan ‘diproduksi’ sebagai tanda-tanda (signs) di dalam sebuah sistem pertandaan (sign system) —khususnya di dalam masyarakat kapitalis— yang membentuk citra (image), makna (meaning) dan identitas (identity) diri mereka di dalamnya. Ketiga, persoalan ‘ekonomi-politik hasrat’ (political-economy of desire), yaitu bagaimana ‘hasrat perempuan disalurkan atau ‘direpresi’ di dalam berbagai bentuk komoditi, khususnya komoditi hiburan dan tontonan (Piliang, 2003). Persoalan ‘ekonomi-politik tubuh’, berkaitan dengan sejauh mana eksistensi perempuan di dalam kegiatan ekonomi-politik, khususnya dalam proses produksi komoditi; persoalan ‘ekonomi-politik tanda’ berkaitan dengan eksistensi perempuan sebagai ‘citra di dalam berbagai media (televisi, film, video, musik, majalah, koran, komik, seni lukis, fashion); sementara ‘ekonomi-politik hasrat’ berkaitan dengan bagaimana ‘tubuh’ dan ‘citra’ berkaitan dengan ‘pembebasan’ dan ‘represi’ hasrat. Yang pertama melukiskan eksistensi perempuan dalam ‘dunia fisik’, yang kedua di dalam ‘dunia citra’, dan yang ketiga di dalam ‘dunia psikis’, meskipun ketiga dunia tersebut saling berkaitan satu-sama lainnya (Piliang, 2003). Penggunaan ‘tubuh’ dan ‘representasi tubuh’ (body sign) sebagai komoditi (komodifikasi) di dalam berbagai media hiburan masyarakat kapitalis, telah mengangkat berbagai persoalan yang tidak saja menyangkut ‘relasi ekonomi’ (peran ekonomi perempuan), akan tetapi lebih jauh ‘relasi ideologi’, yaitu bagaimana penggunaan tubuh dan citra tersebut menandakan sebuah relasi sosial—khususnya relasi gender—yang dikonstruksi berdasarkan sistem ideologi tertentu. Komodifikasi perempuan di dalam berbagai media hiburan dan tontonan menjadi sebuah persoalan ‘ideologi’, ketika penggambaran mereka di dalamnya dilandasi oleh sebuah relasi, yang di dalamnya MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 DINA MIK A OTONOMI TUBUH PER EMPUAN | 147 mereka berada pada posisi subordinasi, serta semata menjadi objek eksploitasi kelompok dominan, yaitu laki-laki—inilah ideologi ‘patriarkat’ (patriarchy). Komoditi—khususnya media hiburan televisi, film, musik, lawak, video—di sini menjadi wahana bagi sebuah proses ‘pengalamiahan’ (naturalisation) berbagai posisi ‘ketimpangan’, ‘subordinasi’, ‘marjinalisasi’, dan ‘seksisme’ di dalam relasi gender. Inilah yang dikatakan oleh Antonio Gramsci sebagai penciptaan ‘consent’ atau ‘common sense’ di dalam masyarakat, untuk dijadikan sebuah kendaraan dalam rangka mempertahankan ‘hegemoni’ sebuah kelas lainnya di dalam masyarakat—hegemoni laki-laki (Piliang, 2003). Komodifikasi T ubuh Perempuan Komodifikasi tubuh perempuan menghasilkan objektivikasi sekaligus subjektivikasi. Sebagai objek, perempuan mengalami objektivikasi atas tubuhnya, namun sebagai subjek, ia dapat mengomodifikasi tubuhnya untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri. Penggunaan pakaian minim yang memperlihatkan bagian dada, perut, paha, dan betis oleh penari seksi adalah bentuk komodifikasi atas keindahan tubuh perempuan. Namun, komodifikasi tidak akan terjadi tanpa rasionalisasi tindakan laki-laki kepada perempuan dan tubuhnya. Tidak hanya melalui pandangan dan rasionalisasi tindakan laki-laki, komodifikasi terhadap tubuh perempuan dapat dilakukan dengan basis modal/kapital. Namun, profesi yang dijalankan oleh seorang perempuan tidak selalu menjadi faktor penentu apakah tubuh perempuan tersebut dikomodifikasi. Faktor lainnya yang dapat digunakan untuk menentukan apakah tubuh perempuan terkomodifikasi oleh kepentingan kapitalis atau tidak adalah penggunaan tubuh perempuan dengan tujuan untuk menarik perhatian konsumen laki-laki semata, intervensi atas pakaian, sikap, ataupun gerakan perempuan dengan tujuan untuk penjualan suatu produk. Namun demikian, di sisi lain perempuan sadar bahwa tubuh mereka adalah realitas dari keindahan manusia; mereka menjadikan tubuhnya sebagai aset. Aset ini tentu saja dapat ‘dijual’ atau digunakan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Komodifikasi terhadap tubuh perempuan dalam hal ini dapat dilihat dalam dua sisi, sebagai objek ataupun subjek. Sebagai objek, MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 14 8 | G A B R I E L L A D evi B E N E D I C T A perempuan mengalami objektivikasi atas tubuhnya sedangkan sebagai subjek, perempuan melakukan subjektivikasi atas tubuhnya. Sebagai objek, tubuh perempuan adalah korban komodifikasi dari kekuatan lain di luar tubuh si perempuan itu sendiri, tetapi sebagai subjek, perempuan justru menjadi pelaku komodifikasi. Sebagai pelaku, perempuan melakukan hal tersebut secara sadar. Ia tidak lagi berada dalam posisi yang lemah seperti ketika perempuan menjadi objek dan dikomodifikasikan, tetapi perempuan dalam hal ini memiliki posisi yang kuat untuk menjadi pelaku komodifikasi atas tubuhnya sendiri. Dalam dunia hiburan malam, konsumen menjadi salah satu pihak yang memiliki peran signifikan dalam menentukan penampilan penghibur. Penampilan yang dipertontonkan oleh penari seksi lebih menonjolkan penampilan fisik dalam balutan pakaian minim dengan gerakan-gerakan erotis. Penampilan fisik para penari seksi tersebut dikonstruksi melalui definisi tubuh yang cantik dan seksi dari para pemilik dan konsumen tempat hiburan malam. Konsumen industri hiburan malam yang sebagian besar laki-laki ini mengakui bahwa perempuan menjadi komoditas yang sengaja dijual untuk menarik perhatian mereka. ”Sexy dancer dari namanya aja udah seksi, dari wajah oke lah, bisa dijual. Kita pernah pakai lebih bagus, lebih liar, lebih berani dari JD (kelompok penari seksi) tapi mukanya ancur-ancur. Jelek-jelek, item-item. Dancer ancur-ancur, ambil dari mana? Dari gunung ya? Dancer itu pertama dari face, kedua performance. Putih-putih juga. Jadi lebih ke fisik.” (wawancara dengan Informan BC dan IN [pihak manajemen café], 24 September 2009) Tubuh perempuan yang memuat cita rasa estetis bagi lakilaki dikomodifikasikan sesuai dengan tuntutan laki-laki sebagai konsumen utama industri hiburan malam. Di sinilah kapitalisme mengomodifikasi tubuh perempuan. Pencitraan dan penggunaan tubuh perempuan sejak dahulu hingga kini telah mengalami evolusi yang mencengangkan. Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari alasan ritual hingga komoditas. Namun sepertinya motif komoditas masih terus bertahan hingga kini. Komoditas menurut W.F. Haug (Piliang 1998: xv) merupakan wacana pengendalian selera, gaya, gaya hidup, tingkah laku, aspirasi, serta imajinasi kolektif masyarakat oleh para elite (kapitalis). Menurutnya, untuk mendominasi selera MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 DINA MIK A OTONOMI TUBUH PER EMPUAN | 149 masyarakat para elite menciptakan ilusi dan manipulasi. Salah satu bentuknya adalah penggunaan efek sensualitas pada organ-organ tubuh perempuan (atau representasinya) di dalam berbagai wujud komoditas. Sejak lama tubuh perempuan adalah komoditas yang mempunyai nilai jual yang tidak pernah surut sampai saat ini (Piliang 1998). Tubuh perempuan adalah locus ekonomi dan politik tempat ideologi dikontestasikan dan ekonomi dipromosikan. Penggunaan tubuh perempuan yang diwujudkan dalam penggunaan penari seksi dalam industri hiburan malam menunjukkan bagaimana persoalan mengenai ‘ekonomi-politik tubuh’ (political-economy of the body) bermain. Tubuh penari seksi perempuan yang indah dan seksi digunakan oleh kepentingan modal dalam aktivitas ekonomi industri hiburan malam melalui tanda-tanda yang terfragmen dan melalui hasrat laki-laki atas tubuh perempuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Fragmen-fragmen tubuh perempuan melalui pose dan gerakan yang menantang menjadi objek yang ‘dipuja’ dan memiliki pesona tersendiri dalam menghasilkan rangsangan, hasrat, dan citra tertentu. Keseksian dan sensualitas tubuh para penari seksi menjadi atribut bisnis hiburan malam. Ketika tubuh, bagian tubuh, atau fungsi seksual dari tubuh dipisahkan dari totalitas kedirian seorang perempuan, maka praktik objektivikasi seksual atas tubuh perempuan itu dilakukan. Namun, tidak selamanya perempuan dijadikan komoditas oleh pihak laki-laki. Perempuan dapat pula secara sadar memahami bahwa tubuh mereka yang indah adalah komoditas yang bisa digunakan justru untuk pemenuhan berbagai kepentingan mereka.1 Keindahan 1 Dalam buku ‘Perempuan di Titik Nol’ yang ditulis oleh Nawal El-Saadawi, diungkapkan dengan sangat baik, bagaimana tubuh perempuan sebagai bentuk seksualitas dapat menjadi komoditas bagi dirinya sendiri. Perempuan dapat dengan tegas menentukan penguasaan atas tubuhnya. Walaupun pada awalnya digambarkan bagaimana tubuh perempuan, melalui tubuh Firdaus sebagai tokoh sentral dalam cerita tersebut, dikuasai oleh ideologi dominan di negara Mesir, yaitu patriarkat, namun di akhir cerita Firdaus digambarkan sebagai sosok yang dapat menentukan kuasa atas tubuhnya sendiri. Di awal cerita digambarkan bagaimana hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan bukan lagi didasarkan atas keinginan kedua belah pihak tetapi didasarkan atas bentuk penguasaan struktural lakilaki terhadap perempuan. Bahkan Firdaus yang dijual oleh pamannya untuk dinikahkan dengan laki-laki tua kaya, memiliki anggapan bahwa istri hanyalah budak seks yang tidak pernah dibayar dalam belenggu ikatan pernikahan yang melegalkan hubungan seksual antara suami-istri dilakukan. Ayahnya, pamannya, bahkan suaminya membuat ia tumbuh MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 15 0 | G A B R I E L L A D evi B E N E D I C T A dan kemolekan tubuh perempuan justru digunakan untuk menarik perhatian pasangan/konsumen. Tidak sedikit dari pasangan/ konsumen memenuhi kebutuhan para penari seksi tersebut dengan berbagai kemewahan seperti pakaian, perhiasan, mobil bahkan rumah mewah. Memang, para penari seksi tersebut selalu saja memiliki cara untuk memanfaatkan perhatian dari para laki-laki yang mengagumi keindahan fisik mereka. Mereka sadar memiliki tubuh indah yang dikagumi banyak lelaki, tetapi tidak begitu saja mau menerima setiap ajakan yang ditawarkan para lelaki yang umumnya berasal dari kalangan menengah ke atas. Dengan cara yang cerdik, para penari seksi memperoleh barang-barang konsumtif tanpa perlu memberikan imbalan kepada para lelaki pengagumnya. “Kalo mobil dari pacar, iya dong. Kita udah dandan kaya gini, tinggal menikmati.. udah dandan keren gini.. Kaya R tuh, banyak yang mau tapi dia-nya mau-mau engga. Kalo aku ga bisa tuh mau-mau engga gitu. Kalo aku dideketin sama cowok yang dihajar duluan itu cowonya duluan baru aku (oleh pacar informan), makanya ga berani aku. Kita paling suka yang Cina-Cina gitu. Kasat mata aja deh, setidaknya mereka itu di atas orang pribumi dikit. Kita matre udah biasa. Kita ga mau rugi soalnya. Kita aja perawatan mukanya udah berapa, bukan gaya ya, tapi anak-anak juga mikir kalo punya pacar pas-pasan. Masa sih punya pacar kita juga yang bayarin makan, tas, bayarin baju.” (wawancara dengan Informan NS [salah satu penari seksi dalam kelompok JD] , 26 September 2009) Dengan mengomodifikasi tubuhnya, para penari seksi memperoleh berbagai previlese berupa fasilitas mewah maupun kebutuhan hidup yang mereka perlukan. Mereka ‘menjual’ tubuh kepada para pengusaha kaya, konglomerat ataupun para pejabat sebagai perempuan simpanan, ataupun perempuan yang dapat di-‘ booking’ atau ‘dibawa’. “Ada lah, aku ga bisa sebut nama ya.. dua.. eh tiga dancer-ku.. ada yang emang cewek booking-an, ada yang simpenan anggota DPR, menjadi seorang perempuan yang bahkan tidak dapat memiliki tubuhnya sendiri. Seringkali tubuh sebagai bentuk seksualitas perempuan dimanfaatkan sebagai alat politisasi dan ekonomisasi oleh kepentingan lain di luar tubuhnya. MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 DINA MIK A OTONOMI TUBUH PER EMPUAN | 151 ada yang simpenan pengusaha Cina.. dan mereka dapet fasilitas yang wah.. aku tau.. tapi aku ga pernah nanya..tapi ya wes itu urusan kamu.. aku tau lah.. Mereka juga ga cerita-cerita.. tapi aku tau lah.. ya berapa sih gaji dancer, tapi mereka bawa mobil.. tiba-tiba ada yang bawa jazz.. atau tiba-tiba handphone-nya ganti iphone.. paling aku bilang.. oh handphone-mu baru.. aku juga ga pernah nanya-nanya..” (wawancara dengan Informan PM [leader penari seksi dalam kelompok JD, 21 Juni 2009) Ada yang dipertukarkan di sini. Di satu sisi, perempuan dapat memaksimalkan tubuhnya yang indah untuk menarik perhatian lawan jenis mereka agar memberikan fasilitas mewah. Namun, di sisi lain tubuh mereka harus diserahkan kepada laki-laki sebagai sang pemilik modal. Tetapi yang perlu digarisbawahi terkait dengan hal ini adalah mereka sesungguhnya menyadari menggunakan tubuhnya sebagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. “Kalo aku cuma ngeliat ga megang ga masalah, kalo udah megang itu lain cerita. Boleh diliat ga boleh dipegang. It’s mine, under my control; you can see, but you can not touch (ini milikku, di bawah kendaliku; kau dapat melihat, tapi tak dapat menyentuhnya.” (wawancara dengan Informan AWM [salah satu penari seksi dari kelompok JD], 25 September 2009). Itulah pernyataan yang menggambarkan penegasan kontrol yang mereka lakukan atas tubuh mereka sendiri. Ketika kontrol atas tubuh mereka dapat dilakukan, mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah objek yang terkomodifikasi dalam suatu konteks tertentu. Kontrol atas T ubuh Penari Seksi Perempuan Tubuh merupakan ranah hakiki setiap manusia yang menjadi ajang ekspresi diri atas kreativitasnya. Kontrol atas tubuh ini menjadi hal yang penting bagi penari seksi karena tubuh adalah satu-satunya milik perempuan. Dalam konteks relasi yang dilakukan penari seksi dengan pihak industri hiburan malam, mereka cenderung diposisikan sebagai objek yang dikuasai dan dikontrol oleh kepentingan modal. Walaupun pengelola industri hiburan malam dengan penari seksi menyatakan hubungan yang terjalin di antara mereka adalah hubungan yang saling membutuhkan dan melengkapi, namun relasi kekuasaan timpang tetap terjadi. Posisi tawar penari seksi cenderung MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 152 | G A B R I E L L A D evi B E N E D I C T A lebih lemah. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya berbagai intervensi pemilik industri hiburan malam kepada penari seksi. “Iya.. ada beberapa café yang bilang.. aku ga mau anak yang ini, kurang cantik.. dan mereka ngomongnya terang-terangan ya.. Aku ga mau si A, badannya jelek.. Aku ga mau si B, ga ada toketnya.. Aku ga mau si ini.. Kalo event itu kita bisa jual gerakan, kalo sexy dancer itu bisa ga bisa nari itu ke seratus, yang penting cantik.. Orang mabok juga yang liat.. masa mereka mau liat gerakan.. kan engga.. yang penting cantik..” (wawancara dengan Informan PM [leader penari seksi dalam kelompok JD], 21 Juni 2009) Dalam relasi yang dijalin dengan konsumen, penari seksi berada dalam relasi yang dinamis. Konsumen laki-laki memiliki andil yang besar dalam menentukan siapa penari seksi yang disukai ataupun bagaimana standar penampilan fisik dan penunjangnya. Para konsumen tersebut (khususnya mereka yang memiliki kedekatan personal dengan pemilik café) dapat menjadi pihak yang menentukan siapa penampil yang diinginkan. Terkait dengan hal tersebut, dapat dipahami bahwa seksualitas tubuh perempuan berada dalam konteks maskulinitas. Laki-laki diposisikan sebagai subjek yang memiliki peran dominan untuk menentukan siapa dan apa yang ditampilkan. Perempuan lebih ditempatkan sebagai objek seksual untuk memenuhi hasrat para konsumen laki-laki tersebut dalam industri hiburan malam. Namun, dalam konteks lainnya, para penari seksi dapat menunjukan kuasa atas tubuhnya sendiri. Hal ini nyata ketika para penari seksi menghadapi konsumen laki-laki yang ‘iseng’. “Kalo nyolek aku ga banyak ngomong.. boot itu sudah banyak banget makan korban.. langsung aku tendang..Kalo ga muka, kena jidatnya.. Kalo aku pribadi kaya gitu, kalo mereka udah nyolek, trus tendang. Tapi susahnya kalo udah nyolek, ga tau orangnya yang mana.. itu yang sebel.. Iya kaya gitu..Kalo ngobrol aku pribadi cuma nanggepin kaya gitu, apa yang ditanya ya apa yang dijawab. Kalo ga mau jangan maksa, kalo udah gitu, tinggal pergi, tinggal ke back stage.” (wawancara dengan Informan AWM [salah satu penari seksi dalam kelompok JD], 23 September 2009) MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 DINA MIK A OTONOMI TUBUH PER EMPUAN | 153 Mereka dapat menempatkan diri sebagai subjek yang memiliki otonomi dan otoritas penuh atas tubuh. Dengan tegas mereka berani mengambil sikap atas perlakuan konsumen laki-laki yang mereka anggap tidak pantas tersebut. Sementara itu, relasi dengan pasangannya menempatkan penari seksi dengan posisi tawar yang lebih seimbang. Dengan bekerja sebagai penari seksi, mereka memiliki penghasilan sendiri sehingga posisi tawar terhadap pasangannya pun menjadi meningkat. Hal ini disebabkan perempuan yang berada dalam status sosial maupun ekonomi yang lebih rendah daripada sang pasangan memiliki kerentanan untuk dieksploitasi tubuhnya. Jika mandiri secara ekonomi, perempuan bisa mengaktualisasi tubuhnya sebagai kekuatan, persepsi yang secara otonom memberi makna dan bentuk kepada objek di sekitarnya (Lie, 2005). Perempuan dalam hal ini terbukti dapat melakukan proses perlawanan terhadap ideologi patriarkat. Hal ini sesuai dengan kritik teori Foucault yang menyatakan bahwa ketidakmungkinan keluar dari struktur kuasa justru memungkinkan terjadinya perlawanan. Struktur kekuasaan patriarkat yang melanggengkan dominasi laki-laki justru menempatkan perempuan pada posisi subordinat (Herdiansyah 2006). Dalam hal ini, perempuan tidak mungkin keluar dari struktur kekuasaan yang terus diproduksi oleh masyarakat yang patriarkal tersebut. Namun, justru inilah yang membuat mereka dapat melakukan perlawanan dalam bentuk penentuan otonomi tubuh mereka sendiri. Mereka dapat dengan tegas menentukan arah dan otoritas tubuhnya sendiri. Relasi yang dilakukan oleh penari seksi dengan industri hiburan malam, konsumen laki-laki maupun dengan pasangan mereka diwarnai oleh relasi kekuasaan yang berbeda-beda. Kadar kekuasaan yang ditunjukkan melalui posisi tawar di antara dua belah pihak dapat berbeda. Dalam satu konteks, salah satu pihak dapat memiliki posisi tawar lebih tinggi dari pihak lainnya, namun di lain konteks, pihak yang memiliki posisi tawar lebih tinggi daripada pihak lainnya pada konteks berbeda mungkin saja memiliki posisi tawar yang lebih rendah dari pihak kedua. Penari seksi dalam relasi dengan konsumen laki-laki di dalam industri hiburan malam misalnya, cenderung memiliki posisi tawar atas tubuh yang lebih besar daripada konsumen industri hiburan malam dalam suatu konteks tertentu. Namun, dalam relasi dengan pasangannya, para penari seksi dapat memiliki posisi tawar yang lebih seimbang. MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 15 4 | G A B R I E L L A D evi B E N E D I C T A Otonomi atas tubuh yang diperlihatkan penari seksi melalui relasirelasi yang mereka jalin dengan pihak lain memang dinamis. Otonomi atas tubuh tersebut ditentukan oleh kemampuan melakukan kontrol atas tubuh. Pihak yang memiliki kuasa untuk melakukan kontrol tersebut adalah pihak yang lebih memiliki otonomi atas tubuh. Otonomi tersebut berada dalam kerangka konteks relasi sosial yang dilakukan para aktornya. Otonomi tersebut bersifat multidimensi dan tidak absolut. Dalam konteks tertentu misalnya, perempuan dapat memiliki kemampuan kontrol dan posisi tawar yang tinggi secara ekonomi, tetapi tidak secara kultural. Otonomi tersebut selalu berada di dalam dinamika otoritas yang menarik karena tidak ada suatu otonomi yang ajeg yang dimiliki oleh pihak tertentu. N egosiasi atas T ubuh oleh Penari Seksi Tidak hanya kemampuan untuk melakukan kontrol atas tubuh yang penting untuk diperhatikan oleh seorang perempuan, kemampuan untuk melakukan negosiasi atas tubuh juga menjadi hal yang tidak kalah pentingnya. Tubuh diatur, dibentuk, dan dikontrol atas kepentingan kekuasaan, baik disadari maupun tidak disadari oleh perempuan. Namun, kadangkala perempuan justru tidak dapat melakukan negosiasi atas tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan dibentuk, dipoles, dan dimanipulasi untuk mengikuti mitos kecantikan dalam rangka memperoleh tubuh ‘ideal’ sesuai pandangan laki-laki dan pasar. Bahkan, ketika perempuan tidak dibuat puas dengan tubuhnya sendiri, banyak cara yang dilakukannya untuk memperoleh tubuh yang sesuai dengan konsepsi tubuh ‘ideal’ bagi perempuan yang ada di masyarakat. Tidak sedikit perempuan yang melakukan diet ketat karena ingin menyesuaikan dengan standardisasi bentuk tubuh langsing yang dianggap ‘ideal’, tetapi justru mengidap suatu penyakit seperti bulimia ataupun anorexia. Menjadi langsing sesuai konsepsi tubuh yang ‘ideal’ bagi perempuan memiliki konsekuensi tersendiri. Salah satu konsekuensi logis yang dipilih oleh tidak sedikit perempuan adalah mengurangi asupan makan mereka. Jika tidak bisa dikontrol dengan baik, tidak jarang ketakutan akan bentuk tubuh yang tidak ‘ideal’ tersebut justru melahirkan penyakit anorexia nervosa. Tujuan awal adalah mendapat bentuk tubuh ‘ideal’ sesuai dengan konstruksi sosial yang ada tetapi justru berakhir pada penyakit yang memiliki MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 DINA MIK A OTONOMI TUBUH PER EMPUAN | 155 banyak akibat yang sangat negatif bagi tubuh mereka sendiri. Tubuh perempuan tidak dihargai oleh pemiliknya sendiri. Penutup Tubuh seksi yang dilekatkan kepada penari seksi perempuan, menjadi wacana tentang tubuh yang diinginkan laki-laki. Imajinasi mengenai tubuh ’ideal’ yang terbangun secara diskursif itu justru merugikan mereka sebagai perempuan. Apakah perempuan dinilai cantik atau tidak, seksi atau tidak, atau merasa bertubuh ‘ideal’ ataupun kurang ‘ideal’, ia manusia berharga. Perempuan seharusnya tidak dibelenggu oleh berbagai tuntutan masyarakat patriarkat dan kapitalis yang mengonstruksi perempuan untuk tampil cantik dan seksi demi kepuasan kaum adam saja. Seksualitas yang dimiliki perempuan seharusnya tidak hanya dilihat dari penampilan luar saja, tetapi seharusnya lebih diarahkan pada perasaan nyaman terhadap dirinya sendiri, walaupun itu berarti tampil apa adanya. Perempuan harus dapat mengonseptualisasikan seksualitas dan tubuhnya sendiri sehingga konseptualisasi atas seksualitas dan tubuh perempuan tidak didominasi sudut pandang laki-laki semata. Perempua n seha rusnya dapat menjadi produsen da la m mengonstruksi makna seksualitas perempuan, termasuk tubuhnya. Manusia, termasuk perempuan memiliki hak dan kebebasan atas tubuhnya sendiri. Ia berhak mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri tanpa harus dicampuri kekuasaan-kekuasaan lain di luar tubuhnya. Daftar Pustaka Herdiansyah, Herdis. 2006. Seksualitas Postmodernis Refleksi Kritis dan Landasan Filosofis atas Keragaman Seksualitas Masyarakat Posmodernis. Tesis. Program Magister Ilmu Filsafat FIB. Depok: FIB UI. Ida, Rachmah. 2004. “Tubuh Perempuan dalam Goyang Dangdut.” Jurnal Perempuan 41: Seksualitas. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Pakasi, Diana Teresa. 2006. Teks dan Pembaca: Konstruksi Tubuh, Hasrat, dan Relasi Seksual Perempuan dalam Fitur Majalah MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156 15 6 | G A B R I E L L A D evi B E N E D I C T A Popular. Tesis. Jakarta: Program Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia. Piliang, Yasraf Amir. 1998. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS. -----. 2003. “Perempuan dan Mesin Hasrat Kapitalisme: Komodifikasi Perempuan dalam Program Hiburan Media Televisi” dalam Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan. LP3Y dan Ford Foundation. Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2003. Representasi Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel Karya N. H. Dini. Tesis. Jakarta: Program Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia. ------. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra dan Budaya Pop. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra. Saadawi, Nawal El. 2006. Perempuan di Titik Nol. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Shirley, Lie. 2005. Pembebasan Tubuh Perempuan: Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya Patriarkat. Jakarta: Grasindo. Surur, Miftahus dan Novi Anoegrajekti. 2004. Politik Tubuh: Seksualitas Perempuan Seni, dalam Srinthil mengenai Politik Tubuh Perempuan. Depok: Kajian Perempuan Desantara. Tong, Rosemarie Putnam. 2004. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2, Juli 2011: 141-156