BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkerasan Jalan Raya Kelancaran arus lalu lintas sangat tergantung dari kondisi jalan yang ada, semakin baik kondisi jalan maka akan semakin lancar arus lalu lintas. Untuk itu dalam perencanaan jalan, perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fungsi pelayanan jalan tersebut, seperti fungsi jalan, kinerja perkerasan, umur rencana, lalu lintas yang merupakan beban dari perkerasan jalan, sifat tanah dasar, kondisi lingkungan, sifat dan jumlah material yang tersedia di lokasi yang akan dipergunakan sebagai bahan lapis perkerasan, dan bentuk geometrik lapisan perkerasan. Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan menurut Sukirman (1999) dapat dibedakan atas : a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu berupa perkerasan yang bahan pengikatnya menggunakan aspal. Perkerasan ini memiliki lapisan lapisan dibawahnya yang berfungsi untuk menerima beban dan menyebarkan beban ke lapisan bawahnya. Perkerasan ini banyak dijumpai pada perkerasan jalan di Indonesia, dari jalan kelas rendah sampai kelas tinggi. b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang pengikatnya menggunakan semen (portland cement), tanpa atau dengan menggunakan tulangan yang akan diletakkan di tanah dasar atau pondasi bawah. Beban yang diterima sebagian besar dipikul oleh pelat beton. 5 c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu kombinasi antara perkerasan kaku dengan perkerasan lentur berupa perkerasan lentur di atas dan perkerasan kaku dibawah atau perkerasan lentur di bawah dan perkerasan kaku diatas. Untuk lebih mengetahui perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku menurut Sukirman (1999) dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Perbedaan antara Perkerasan Lentur dan Kaku No Perbedaan Perkerasan Lentur Perkerasan Kaku 1 Bahan Pengikat Aspal Semen 2 Repetisi Beban Timbul rutting Timbul retak – retak (lendutan pada jalur pada permukaan roda) 3 4 Penurunan Tanah Jalan bergelombang Bersifat sebagai Dasar (mengikuti tanah balok diatas dasar) perletakan Perubahan Modulus kekakuan Modulus kekakuan temperatur berubah. tidak berubah. Timbul tegangan Timbul tegangan dalam yang kecil dalam yang besar Sumber : Sukirman, 1999 Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan 6 keretaapi, jalan lori, dan jalan kabel. Untuk keperluan pengaturan penggunaan dan pemenuhan kebutuhan angkutan, jalan dibagi dalam beberapa kelas yang didasarkan pada kebutuhan transportasi, pemilihan roda secara tepat dengan mempertimbangkan keunggulan karakteristik masing-masing roda, perkembangan teknologi kendaraan bermotor, muatan sumbu terberat kendaraan bermotor serta konstruksi jalan. Pengelompokkan jalan menurut muatan sumbu yang disebut juga kelas jalan, terdiri dari: 1. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton, yang saat ini masih belum digunakan di Indonesia, namun sudah mulai dikembangkan diberbagai negara maju seperti di Prancis telah mencapai muatan sumbu terberat sebesar 13 ton; 2. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton, jalan kelas ini merupakan jalan yang sesuai untuk angkutan peti kemas; 3. Jalan Kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton; 7 4. Jalan Kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton; 5. Jalan Kelas III C, yaitu jalan lokal dan jalan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton. 2.2 Bahu Jalan Bahu jalan merupakan sarana jalan raya yang berada ditepi luar jalan yang digunakan untuk pemberhentian kendaraan pada kondisi darurat. Bahu jalan mempunyai kemiringan untuk keperluan pengaliran air dari permukaan jalan dan juga untuk memperkokoh konstruksi jalan. Penempatan bahu jalan pada sisi kiri dan kanan dalam untuk jalan kelengkapan median (Alamsyah, 2003). Selain itu bahu juga dipergunakan sebagai tempat menghindar dari kecelakaan lalu-lintas terutama pada jalan yang tidak dipisah dengan median jalan, khususnya pada saat ada kendaraan yang menyalib tetapi kemudian dari arah yang berlawanan datang kendaraan, sehingga kendaraan yang datang dari depan bisa menghindar dan masuk bahu jalan. Oleh karena itu konstuksi bahu tidak boleh berbeda ketinggian dari badan jalan.Secara hukum,bahu jalan tidak boleh digunakan untuk mendahului kendaraan lain tetapi hanya untuk kebutuhan darurat kendaraan 8 umum atau saat ada kecelakaan. Bahu dapat terbuat dari bahan lapisan pondasi bawah dengan atau tanpa lapisan penutup beraspal atau lapisan beton semen. Perbedaan kekuatan antara 6 bahu dengan jalur lalu-lintas akan memberikan pengaruh pada kinerja perkerasan. Hal tersebut dapat diatasi dengan bahu beton semen, sehingga akan meningkatkan kinerja perkerasan dan mengurangi tebal pelat. Yang dimaksud dengan bahu jalan pada perkerasan kaku adalah bahu yang dikunci dan diikatkan dengan lajur lalu lintas dengan lebar minimum1,50 m, atau bahu yang menyatu dengan lajur lalu-lintas selebar 0,60 m,yang juga dapat mencakup saluran dan kereb (Departement Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003). 2.3 Lalu Lintas Penentuan beban lalu-lintas rencana untuk perkerasan beton semen, dinyatakan dalam jumlah sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle), sesuai dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana selama umur rencana. Lalulintas harus dianalisis berdasarkan hasil perhitungan volume lalu-lintas dan konfigurasi sumbu, menggunakan data terakhir atau data 2 tahun terakhir. Kendaraan yang ditinjau untuk perencanaan perkerasan beton semen adalah yang mempunyai berat total minimum 5 ton. Konfigurasi sumbu untuk perencanaan terdiri atas 4 jenis kelompok sumbu sebagai berikut : a. Sumbu tunggal roda tunggal (STRT). b. Sumbu tunggal roda ganda (STRG). 9 c. Sumbu tandem roda ganda (STdRG). d. Sumbu tridem roda ganda (STrRG). 2.3.1 Pertumbuhan Lalu lintas. Faktor pertumbuhan lalu lintas didasarkan pada data-data pertumbuhan historis atau formulasi koneksi dengan faktor pertumbuhan lain yang valid, Untuk menghitung pertumbuhan lallu lintas selama umur rencana dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (1+𝑖)𝑈𝑅 −1 R= Dimana 𝑖 R= faktor pertumbuhan laulintas i= laju pertumbuhan tahun dalam (%) UR= Umur rencana (tahun) Tabel 2.2 Faktor Pertumbuhan Lalu-Lintas ( R) Umur Rencana (Tahun) 0 Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%) 2 4 6 8 10 5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1 10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9 15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8 20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3 25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3 30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5 35 35 50 73,7 111,4 172,3 271 40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6 10 2.3.2 Jumlah Jalur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya yang menampung lalu-lintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefsien distribusi (C) kendaraan niaga dapat ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel 2.2 Tabel 2.3 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan dan koefisien distribusi (C) kendaraan niaga pada lajur rencana Lebar perkerasan (Lp) Jumlah lajur (nl) Koefisien distribusi 1 Arah Lp < 5,50 m 5,50 m ≤ Lp < 8,25 m 8,25 m ≤ Lp < 11,25 m 11,23 m ≤ Lp < 15,00 m 2 Arah 1 lajur 1 1 2 lajur 0,70 0,50 3 lajur 0,50 0,475 4 lajur - 0,45 5 lajur - 0,425 6 lajur - 0,40 15,00 m ≤ Lp < 18,75 m 18,75 m ≤ Lp < 22,00 m 2.3.3 Umur Rencana Umur rencana perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan klasifikasi fungsional jalan, pola lalu-lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan, yang dapat ditentukan antara lain dengan metode Benefit Cost Ratio, Internal Rate of Return, kombinasi dari metode tersebut atau 11 cara lain yang tidak terlepas dari pola pengembangan wilayah. Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan dengan umur rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun. 2.3.4 Lalu-lintas rencana Lalu-lintas rencana adalah jumlah kumulatif sumbu kendaraan niaga pada lajur rencana selama umur rencana, meliputi proporsi sumbu serta distribusi beban pada setiap jenis sumbu kendaraan. Beban pada suatu jenis sumbu secara tipikal dikelompokkan dalam interval 10 kN (1 ton) bila diambil dari survai beban. Jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana dihitung dengan rumus berikut : JSKN = JSKNH x 365 x R x C Dengan pengertian : JSKN : Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana JSKNH : Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan dibuka. R : Faktor pertumbuhan komulatif dari Rumus (5) atau Tabel 3 atau Rumus , yang besarnya tergantung dari pertumbuhan lalu lintas tahunan dan umur rencana. C : Koefisien distribusi kendaraan 12 2.3.5 Faktor Keamanan Beban Pada penentuan beban rencana, beban sumbu dikalikan dengan faktor keamanan beban (FKB). Faktor keamanan beban ini digunakan berkaitan adanya berbagai tingkat realibilitas perencanaan seperti telihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.4 Faktor Keamanan Beban (FKB) Nilai No. Penggunaan FKB 1 2 3 Jalan bebas hambatan utama (major freeway) dan jalan berlajur banyak, yang aliran lalu lintasnya tidak terhambat serta volume kendaraan niaga yang tinggi. Bila menggunakan data lalu-lintas dari hasil survai beban (weightin-motion) dan adanya kemungkinan route alternatif, maka nilai faktor keamanan beban dapat dikurangi menjadi 1,15. Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan arteri dengan volume kendaraan niaga menengah. Jalan dengan volume kendaraan niaga rendah. 1,2 1,1 1,0 2.4 Beton Beton merupakan fungsi dari bahan penyusun yang terdiri dari bahan semen sebagai bahan ikatnya, agregat kasar, agregat halus, air, dan bahan tambah lainnya. Beton didefinisikan sebagai sekumpulan interaksi mekanis dan kimiawi dari material pembentuknya (Nawy, 1990). Murdock dan Brook 13 (1986) secara jelas menyebutkan bahwa beton adalah suatu bahan bangunan dan bahan konstruksi, yang sifat-sifatnya dapat ditentukan lebih dahulu dengan mengadakan perencanaan dan pengawasan yang teliti terhadap bahanbahan yang dipilih. Bahan-bahan pilihan itu adalah ikatan keras, yang ditimbulkan oleh reaksi kimia antar semen dan air, serta agregat, dimana semen yang mengeras itu ber-adhesi dengan baik maupun kurang baik. Agregat boleh berupa kerikil, batu pecah, sisa bahan mentah tambang, agregat ringan buatan, pasir, atau bahan sejenis lainnya. Kekuatan, keawetan, dan sifat beton tergantung dari nilai perbandingan bahan dasar beton, sifat bahan dasarnya, cara pengadukan, pengerjaan, penuangan, pemadatan serta perawatan selama proses pengerasan. Untuk membuat beton yang baik maka harus diperhitungkan cara mendapatkan adukan beton segar yang baik dan beton keras yang dihasilkan juga baik. Pencapaian kuat beton yang baik perlu diperhatikan kepadatan dan kekerasan massanya karena umumnya semakin keras dan padat massa penyusunnya makin tinggi kekuatan dan durability-nya. Untuk memperoleh kekuatan desak beton yang tinggi ada beberapa faktor yang harus diperhatikan selain faktor air semen dan kepadatan semen. Menurut Mulyono (2004) faktor-faktor tersebut diantaranya: a. kualitas semen, b. proporsi semen terhadap air dalam campuran, c. kekuatan dan kebersihan agregat, d. interaksi adhesi antara pasta semen dengan agregat, e. pencampuran yang cukup dari bahan-bahan pembentuk beton, 14 f. penempatan yang benar, penyelesaian dan kompaksi beton segar, g. perawatan pada temperatur yang tidak lebih rendah dari 50ºF pada saat beton hendak mencapai kekuatan, kandungan klorida tidak melebihi 0,15%dalam beton yang diekspos dan 1% bagi beton yang tidak diekspos. 2.4.1 Proses Terjadinya Beton Proses terjadinya beton adalah pasta semen yaitu proses hidrasi antara air dan semen (Mulyono, 2004). selanjutnya jika ditambahkan dengan agregat halus menjadi mortar dan jika ditambahkan dengan agregat kasar menjadi beton. Adapun proses terbentuknya beton dapat dilihat pada Gambar 2.1. Semen Portland Dengan atau tidakmenggunakan bahan tambah Pasta Semen Air Agregat Mortar Beton Ditambahkan: Tulangan, Serat, Agregat Kasar, Prestress, Precast, dll Jenis Beton Beton bertulang, beton serat, beton ringan, dll Gambar 2.1. Proses Terjadinya Beton 15 2.4.2 Bahan-Bahan Penyusun Beton 1. Semen Portland Semen Portland (Portland cement) merupakan bahan ikat yang sangat penting dalam konstruksi beton, yang bersifat hidrolis, yaitu akan mengalami proses pengerasan jika dicampur air yang digunakan untuk mengikat bahan material menjadi satu kesatuan yang kuat. Suatu semen jika diaduk dengan semen air akan menjadi adukan pasta semen, Sedangkan jika diaduk dengan air kemudian ditambah pasir menjadi mortar semen, dan jika ditambah dengan kerikil menjadi beton (Tjokrodimujo, 1992). Semen Portland berfungsi sebagai pengikat bahan-bahan bangunan yang lain (batu bata, batu kali, pasir). Selain itu juga untuk mengisi rongga-rongga di antara butiran agregat. Kandungan bahan kimia dalam semen dapat dilihat dalam Tabel 2.4 (Tjokrodimuljo, 1992). Tabel 2.5 Kandungan Bahan-Bahan Kimia dalam Bahan Baku Semen Oksida % Kapur, CaO 60-65 Silika, SiO2 17-25 Alumina, Al2O3 3-8 Besi, Fe2O3 0,5-6 Magnesia, MgO 0,5-4 Sulfur, SO3 1-2 Soda/potash, Na2O + K2O 0,5-1 16 Semen portland dapat dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu (Tjokrodimuljo, Tipe I : untuk konstruksi biasa dimana sifat yang khusus tidak diperlukan. Tipe IA : semen air entraining yang penggunannya sama dengan tipe I. Tipe II : untuk konstruksi biasa dimana diinginkan perlawanan terhadap sulfat atau panas dari hidrasi yang sedang. Tipe IIA : semen air entraining yang penggunannya sama dengan tipe II. Tipe III : untuk konstruksi dimana kekuatan permulaan yang tinggi diinginkan. Tipe IIIA : semen air entraining yang penggunannya sama dengan tipe III. Tipe IV : untuk konstruksi dimana panas yang rendah dari hidrasi diinginkan. Tipe V : untuk konstruksi dimana daya tahan tinggi terhadap sulfat diinginkan. 2. Air Air merupakan bahan yang diperlukan untuk proses reaksi kimia, dengan semen untuk pembentukan pasta semen. Air juga digunakan untuk pelumas antara butiran dalam agregat agar mudah dikerjakan dan dipadatkan. Air diperlukan pada pembuatan beton untuk memicu proses kimiawi semen, membasahi agregat, dan memberikan kemudahan dalam penerjaan beton. Air yang dapat diminum umunya dapat digunakan 17 sebagai campuran beton. Air yang mengandung senyawa-senyawa berbahaya, yang tercemar garam, minyak, gula, atau bahan kimia lainnya, bila dipakai dalam campuran beton akan menurunkan kualitas beton, bahkan dapat mengubah sifat-sifat beton yang dihasilkan (Mulyono, 2004). Air dalam campuran beton menyebabkan terjadinya proses hidrasi dengan semen. Jumlah air yang berlebihan akan menurunkan kekuatan beton. Namun air yang terlalu sedikit akan menyebabkan proses hidrasi yang tidak merata. Dalam pemakaian air untuk beton sebaiknya memenuhi persyratan sebagai berikut ini (Tjokrodimuljo, 1992). 1. Tidak mengandung organik (benda melayang lainnya) lebih dari 2 gram/liter. 2. Tidak mengandung garam-garam yang dapat merusak beton (asam, zat organik, dll) lebih dari 15 gram/liter. 3. Tidak mengandung klorida (Cl) lebih dari 0,5 gram/liter. 4. Tidak mengandung senyawa sulfat lebih dari 1 gram/liter 3. Agregat Agregat ialah butiran mineral alami yang berfungsi sebagai bahan pengisi dalam campuran mortar atau beton (Tjokrodimuljo, 1992). Agregat ini harus bergradasi sedemikian rupa sehingga seluruh massa beton dapat berfungsi sebagai benda yang utuh, homogen, dan rapat, dimana agregat yang berukuan kecil befungsi sebagai pengisi celah yang 18 ada diantara agregat berukuran besar (Nawy, 1990). Dua jenis agregat adalah: 1. Agregat kasar (kerikil, batu pecah) 2. Agregat halus (pasir) a. Agregat Kasar Agregat kasar adalah kerikil yang dihasilkan secara alami atau berupa batu yang dipecah dan bergradasi antara 5-40 mm. Syarat-syarat agregat kasar: 1. Harus terdiri dari butir-butir yang keras dan tidak berpori. 2. Butir-butir agregat kasar harus bersifat kekal, artinya tidak pecah atau hancur oleh pengaruh-pengaruh cuaca, seperti terik matahari dan hujan 3. Agregat kasar tidak boleh mengandung zat-zat yang dapat merusak beton, seperti zat-zat yang reaktif alkali 4. Agregat kasar tidak boleh mengandung Lumpur lebih dari 1 %. Apabila kadar Lumpur melampaui 1 % maka agregat kasar harus dicuci. Jenis agregat kasar yang umum digunakan (Nawy, 1990): 1. Batu pecah alami: Bahan ini didapat dari cadas atau batu pecah alami yang digali. Batu ini dapat berasal dari gunung api, jenis sedimen, atau jenis metamorf. Meskipun dapat menghasilkan kekuatan yang tinggi terhadap beton, batu pecah kurang 19 memberikan kemudahan pengerjaan dan pengecoran dibandingkan dengan jenis agregat kasar lainnya. 2. Kerikil alami: Kerikil didapat dari proses alami, yaitu dari pengikisan tepi maupun dasar sungai oleh air sungai yang mengalir. Kerikil memberikan kekuatan yang lebih rendah dibandingkan batu pecah, tetapi memberikan kemudahan pengerjaan yang lebih tinggi. 3. Agregat kasar buatan: Terutama berupa slag atau shale yang biasa digunakan utnuk beton berbobot ringan. Biasanya merupakan hasil dari proses lain seperti blast-furnace dan lain-lain. 4. Agregat untuk pelindung nuklir dan berbobot berat: Dengan adanya tuntutan yang spesifik pada zaman atom sekarang ini, juga untuk pelindung dari radiasi nuklir ssebagai akibat dari semakin banyaknya pembangkit atom dan stasiun tenaga nuklir, maka perlu ada beton yang dapat melindungi dari sinar x, sinar gamma, dan neutron. Pada beton demikian syarat ekonomis maupun syarat kemudahan pengerjaan tidak begitu menentukan. Agregat kasar yang dikalsifikasikan di sini misalnya baja pecah, barit, dan limonit. b. Agregat Halus Agregat halus adalah pasir alam sebagai hasil disintregasi alami batuan ataupun pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu dan 20 mempunyai ukuran butir lebih kecil dari 3/16 inci atau 5 mm (lolos saringan no. 4). Pada umumnya agregat halus yang dipergunakan sebagai bahan dasar pembentuk beton adalah pasir alam, sedangkan pasir yang dibuat dari pecahan batu umumnya tidak cocok untuk pembuatan beton karena biasanya mengandung partikel yang terlalu halus yang terbawa pada saat pembuatannya. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh agregat halus menurut spesifikasi bahan bangunan bagian A (SK SNI S-04-1989F) adalah sebagai berikut ini. 1. Agregat halus harus terdiri dari butir-butir yang tajam dan keras dengan indeks kekerasan 2,2. 2. Butir-butir agregat halus harus bersifat kekal, artinya tidak pecah atau hancur oleh pengaruh-pengaruh cuaca seperti terik matahari dan hujan. 3. Sifat kekal, apabila diuji dengan larutan jenuh garam sulfat sebagai berikut: Jika dipakai Natrium Sulfat, bagian yang hancur maksimal 12 % Jika dipakai Magnesium Sulfat, bagian yang hancur maksimal 10 % 4. Agregat halus tidak boleh mengandung lumpur lebih besar dari 5 % (ditentukan terhadap berat kering). Yang diartikan dengan lumpur adalah bagian-bagian yang dapat melalui ayakan 0,060 mm. Apabila kadar lumpur melampaui 5 %, maka agregat halus harus dicuci. 21 5. Agregat halus tidak boleh mengandung bahan-bahan organis terlalu banyak yang harus dibuktikan dengan percobaan warna dari AbramsHarder. Untuk itu, bila direndam larutan 3% NaOH, cairan di atas endapan tidak boleh lebih gelap daripada warna larutan pembanding. Agregat halus yang tidak memenuhi percobaan warna ini dapat juga dipakai, asal kekuatan desak adukan agregat tersebut pada umur 7 dan 28 hari tidak kurang dari 95% dari kekuatan adukan agregat yang sama tetapi dicuci dalam larutan 3% NaOH yang kemudian dicuci hingga bersih dengan air, pada umur yang sama. 6. Susunan besar butir agregat halus harus memenuhi modulus kehalusan antara 1,5 – 3,8 dan harus terdiri dari butir-butir yang beraneka ragam besarnya. Apabila diayak dengan susunan ayakan yang ditentukan, harus masuk salah satu dalam daerah susunan butir menurut zone 1, 2, 3, dan 4 dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Sisa di atas ayakan 4,8 mm, harus maksimum 2 % berat Sisa di atas ayakan 1,2 mm, harus maksimum 10 % berat Sisa di atas ayakan 0,3 mm, harus maksimum 15 % berat 7. Untuk beton dengan tingkat keawetan yang tinggi, reaksi pasir dengan alkali harus negatif. 8. Pasir laut tidak boleh dipakai sebagai agregat halus untuk semua mutu beton, kecuali dengan petunjuk-petunjuk dari lembaga pemeriksaan bahan-bahan yang diakui. 22 Agregat halus yang digunakan untuk maksud spesi plesteran dan spesi terapan harus memenuhi persyaratan di atas (pasir pasang). Susunan besar butir agregat halus lebih penting daripada susunan besar butir agregat kasar, karena agregat halus bersama dengan semen dan air membentuk mortar yang akan melekatkan dan mengisi ronggarongga antar butiran agregat kasar sehingga beton yang dihasilkan permukaannya menjadi rata. Pemakaian agregat halus yang terlalu sedikit akan mengakibatkan: 1. Terjadi segregasi, karena agregat kasar dengan mudah saling memisahkan diri akibat mortar yang tidak dapat mengisi ronggarongga antara butiran agregat kasar dengan baik. 2. Campuran akan kekurangan pasir, yang disebut under sanded. 3. Adukan beton akan menjadi sulit untuk dikerjakan sehingga dapat menimbulkan sarang kerikil. 4. Finishing akan menghasilkan beton dengan permukaan kasar. 5. Beton yang dihasilkan menjadi tidak awet. Jika pemakaian agregat halus terlalu banyak maka akan mengakibatkan: a. Campuran menjadi tidak ekonomis. b. Diperlukan banyak semen untuk mencapai kekuatan yang sama yang dihasilkan oleh campuran dengan perbandingan optimum antara agregat halus dan agregat kasar. c. Campuran akan kelebihan pasir, yang disebut over sanded. 23 d. Beton yang dihasilkan menunjukkan gejala rangkak dan susut yang lebih besar. 2.5 Perkerasan Kaku Perkerasan beton semen adalah struktur yang terdiri atas pelat beton semen yang bersambung (tidak menerus) tanpa atau dengan tulangan, atau menerus dengan tulangan, terletak di atas lapis pondasi bawah atau tanah dasar, tanpa atau dengan lapis permukaan beraspal. Struktur perkerasan beton semen secara tipikal sebagaimana terlihat pada Gambar 2.2. Perkerasan Beton Semen Pondasi bawah Tanah dasar Gambar 2.2. Tipikal Struktur Perkerasan Beton Semen Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton. Sifat, daya dukung dan keseragaman tanah dasar sangat mempengaruhi keawetan dan kekuatan perkerasan beton semen. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah kadar air pemadatan, kepadatan dan perubahan kadar air selama masa pelayanan. Lapis pondasi bawah pada perkerasan beton semen adalah bukan merupakan bagian utama yang memikul beban, tetapi merupakan bagian 24 yang berfungsi sebagai berikut : a. Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar. b. Mencegah intrusi dan pemompaan pada sambungan, retakan dan tepitepi pelat. c. Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat. d. Sebagai perkerasan lantai kerja selama pelaksanaan. Pelat beton semen mempunyai sifat yang cukup kaku serta dapat menyebarkan beban pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan-lapisan di bawahnya. Bila diperlukan tingkat kenyaman yang tinggi, permukaan perkerasan beton semen dapat dilapisi dengan lapis campuran beraspal setebal 5 cm. Perkerasan beton semen dibedakan ke dalam 4 jenis : a. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan b. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan c. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan d. Perkerasan beton semen pra-tegang Pada konstruksi perkerasan beton semen, sebagai konstruksi utama adalah berupa satu lapis beton semen mutu tinggi.Sedangkan lapis pondasi bawah (subbase berupa cement treated subbase maupun granular subbbase) berfungsi sebagai konstruksi pendukung atau pelengkap. 25 Gambar 2.3 Skema Potongan Melintang dan memanjang Konstruksi Perkerasan Kaku Adapun Komponen Konstruksi Perkerasan Beton Semen ( Rigid Pavement) adalah sebagai berikut : 1. Tanah Dasar ( Subgrade ) Tanah dasar adalah bagian dari permukaan badan jalan yang dipersiapkan untuk menerima konstruksi di atasnya yaitu konstruksi perkerasan.Tanah dasar ini berfungsi sebagai penerima beban lalu lintas yang telah disalurkan / disebarkan oleh konstruksi perkerasan. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyiapan tanah dasar (subgrade) adalah lebar, kerataan, kemiringan melintang keseragaman daya dukung dan keseragaman kepadatan. Daya dukung atau kapasitas tanah dasar pada konstruksi perkerasan kaku yang umum digunakan adalah CBR dan modulus reaksi tanah dasar (k). Pada konstruksi perkerasan kaku fungsi tanah dasar tidak terlalu menentukan, dalam arti kata bahwa perubahan besarnya daya dukung tanah dasar tidak berpengaruh terlalu besar pada nilai konstruksi (tebal) perkerasan kaku. 26 2. Lapis Pondasi ( Subbase ) Lapis pondasi ini terletak di antara tanah dasar dan pelat beton semen mutu tinggi. Sebagai bahan subbase dapat digunakan unbound granular (sirtu) atau bound granural (CTSB, cement treated subbase). Pada umumnya fungsi lapisan ini tidak terlalu struktural, maksudnya keberadaan dari lapisan ini tidak untuk menyumbangkan nilai struktur perkerasan beton semen.Fungsi utama dari lapisan ini adalah sebagai lantai kerja yang rata dan uniform.Apabila subbase tidak rata, maka pelat beton juga tidak rata. Ketidakrataan ini dapat berpotensi sebagai crack inducer. 3. Tulangan Pada perkerasan beton semen terdapat dua jenis tulangan, yaitu tulangan pada pelat beton untuk memperkuat pelat beton tersebut dan tulangan sambungan untuk menyambung kembali bagian – bagian pelat beton yang telah terputus(diputus). Kedua tulangan tersebut memiliki bentuk, lokasi serta fungsi yangberbeda satu sama lain. Adapun tulangan tersebut antara lain : a. Tulangan Pelat Tulangan pelat pada perkerasan beton semen mempunyai bentuk, lokasi dan fungsi yang berbeda dengan tulangan pelat pada konstruksi beton yang lain seperti gedung, balok dan sebagainya. Adapun karakteristik dari tulangan pelat pada perkerasan beton semen adalah sebagi berikut : 27 a. Bentuk tulangan pada umumnya berupa lembaran atau gulungan. Pada pelaksanaan di lapangan tulangan yang berbentuk lembaran lebih baik daripada tulangan yang berbentuk gulungan. Kedua bentuk tulangan ini dibuat oleh pabrik. b. Lokasi tulangan pelat beton terletak ¼ tebal pelat di sebelah atas. c. Fungsi dari tulangan beton ini yaitu untuk “memegang beton” agar tidak retak (retak beton tidak terbuka), bukan untuk menahan momen ataupun gaya lintang. Oleh karena itu tulangan pelat beton tidak mengurangi tebal perkerasan beton semen. b. Tulangan Sambungan Tulangan sambungan ada dua macam yaitu tulangan sambungan arahmelintang dan arah memanjang.Sambungan melintang merupakan sambunganuntuk mengakomodir kembang susut ke arah memanjang pelat.Sedangkantulangan sambungan memanjang merupakan sambungan untuk mengakomodirgerakan lenting pelat beton. Sumber : Anas Aly, Perkerasan Beton Semen 2004 Gambar 2.4 Sambungan Pada Konstruksi Perkerasan Kaku 28 Adapun ciri dan fungsi dari masing – masing tulangan sambungan adalah sebagai berikut : Tulangan Sambungan Melintang 1. Jarak maksimum sambungan melintang 25 kali lipat tebal pelat (max 5m) 2. Tulangan sambungan melintang disebut juga dowel 3. Berfungsi sebagai ‘sliding device’ dan ‘load transfer device’. 4. Berbentuk polos, bekas potongan rapi dan berukuran besar. 5. Satu sisi dari tulangan melekat pada pelat beton, sedangkan satu sisi yang lain tidak lekat pada pelat beton 6. Lokasi di tengah tebal pelat dan sejajar dengan sumbu jalan. Tulangan Sambungan Memanjang : 1. Jarak maksimum sambungan memanjang 3-4 meter 2. Tulangan sambungan memanjang disebut juga Tie Bar. 3. Berfungsi sebagai unsliding devices dan rotation devices. 4. Berbentuk deformed / ulir dan berbentuk kecil. 5. Lekat di kedua sisi pelat beton. 6. Lokasi di tengah tebal pelat beton dan tegak lurus sumbu jalan. 7. Luas tulangan memanjang dihitung dengan rumus seperti pada tulangan melintang. 29