Uploaded by User67841

Hidrolika Bendungan

advertisement
3.1. Hidrolika Bendungan
3.1.1. Umum
Perencanaan hidrolika bendungan berupa perencanaan bangunan air (saluran
spillway dan bangunan intake) baik pada bendungan utama yang direncanakan dan
Coverdam. Selain itu hidrolika bendungan juga meliputi perhitungan dimensi
bendungan yang meliputi tinggi bendungan, tinggi jagaan (Freeboard) dan lebar
puncak bendungan.
Gambar 3.2 Sketsa Tipikal Saluran Spillway Bendungan
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
3.1.2. Dimensi Bendungan
3.1.2.1. Tinggi Jagaan
Tinggi jagaan dapat ditentukan dengan 2 cara, yaitu melalui penggunaan
angka standar tinggi jagaan atau dengan perhitungan rumus. Berikut detail
keduanya:
a. Standar Tinggi Jagaan
Standar tinggi jagaan untuk bendungan urugan ditentukan sebagai
berikut:
Tabel 3.13 Standar Ruang Bebas Bendungan Urugan
KETENTUAN
TINGGI JAGAAN
Tinggi bendungan < 50 m
2.0 m
Tinggi bendungan 50 – 100 m
3.0 m
Tinggi bendungan > 100 m
3.5 m
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
b. Perhitungan Dengan Rumus
Rumus perhitungan adalah sebagai berikut:
𝐻𝑤 = 𝐻𝑤1 + 0.75 𝐻𝑤2 + 𝐻𝑤3 + 𝐻𝑒 + 𝐻𝑖 + 𝐻𝑎 + 𝐻𝑠
Dimana:
Hw
= Tinggi Jagaan
Hw1
= Tinggi gelombang angin (m)
Hw2
= Tinggi gelombang diatas gelombang angin (m)
Hw3
= Tinggi gelombang yang merayap ke hulu (m)
He
= Angka keamanan akibat gempa (m)
Hi
= Tinggi keamanan (m)
Ha
= Jagaan untuk pintu macet (m)
Hs
= Jagaan untuk longsor (m)
(Soedibyo, 1993)
c. Detail Faktor Penentu Tinggi Jagaan
1) Tinggi Gelombang Angin (Hw1)
Nilai H1 ditenyukan dari hasil penelitian Sub Committee on Slope
pada The Society of Civil Engineers (US).
Tabel 3.14 Hubungan antara Fetch, Kecepatan Angin dan Tinggi Gelombang
(Soedibyo, 1993)
2) Tinggi Gelombang Diatas Gelombang Angin (H2)
Menurut hasil penenlitian Stevensen, untuk fetch diatas 0.45 mile
(0.724 km), nilai Hw2 dihitung dengan rumus berikut:
𝐻𝑤2 = 0.75 𝑥 𝐻𝑤
Dimana:
Hw = 0.35 x F0.5
F = Panjang fetch
(Soedibyo, 1993)
3) Tinggi Gelombang yang Merayap ke Hulu (Hw3)
Nilai Hw3 dapat dihitung dengan rumus berikut:
𝐻𝑤3 = 𝑉 2 /2𝑔
Dimana:
V = Kecepatan angin (m/s)
g
= Gravitasi (9.81 m/s2)
(Soedibyo, 1993)
4) Angka Keamanan Akibat Gempa (He)
Nilai He menurut hasil penelitian Seichi Sato dapat dihitung dengan
rumus berikut:
𝐻𝑒 =
𝑒. 𝑇
√𝑔. 𝐻𝑜
2𝜋
Dimana:
e
= Intensitas seismic horizontal
T = Siklus seismic (10 detik)
Ho = Kedalaman waduk rata-rata (m)
g
= Gravitasi (9.81 m/s2)
(Soedibyo, 1993)
5) Tinggi Keamanan (Hi)
Limpasan melalui puncak bendungan sangatlah berbahaya karena
dapat menyebabkan kegagalan pada struktur bendungan, oleh
karena itu tinggi jagaan bendungan perlu ditentukan dengan baik.
Walaupun tinggi jagaan telah dihitung dengan dasar perencanaan
teknis (elevasi tampungan dan elevasi banjir) dan faktor-faktor alam
yang dapat mengakibatkan terjadinya gelombang pada muka air
waduk, nilai keamanan perlu di tambahkan untuk memastikan tidak
terjadinya limpasan air. Umumnya untuk bendungan urugan nilai Hi
diambil sebesar 0.5 m.
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
6) Jagaan Untunk Pintu Macet (Ha)
Menurut referensi buku, umumnya nilai jagaan untuk pintu macet
dapat diambil sebesar 0.5 m.
(Soedibyo, 1993)
7) Jagaan Untuk Longsor (Hs)
Nilai Hs dapat dihitung dengan rumus berikut:
𝐻𝑠 = 𝑉/𝐴
Dimana:
V = Volume tanah yang tidak stabil (m3)
A = Area genangan (m2)
(Soedibyo, 1993)
3.1.2.2. Elevasi Puncak
Elevasi puncak/mercu bendungan ditentukan dengan mejumlahkan nilai
tinggi jagaan dengan nilai elevasi muka air banjir. Hasil dari perhitungan
tersebut lalu dimasukan sebagai inputan HEC-HMS untuk di trial error
apakah dengan elevasi mercu hasil perhitungan, tinggi banjir akan melebihi
elevasi tinggi jagaan atau tidak atau tidak. Jika tidak maka hasil perhitungan
tinggi jagaan dapat dipakai untuk menentukan tinggi elevasi puncak/mercu
bendungan.
3.1.2.3. Lebar Puncak
Lebar mercu bendungan minimum diperoleh dari persamaan sebagai
berikut:
B = 3,6 (H) 1/3 – 3
Dimana:
B = Lebar mercu bendungan (m)
H = Tinggi bendungan (m)
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
3.1.2.4. Panjang Bendungan
Panjang bendungan adalah seluruh panjang mercu bendungan yang
bersangkutan, termasuk bagian yang digali pada tebing-tebing sungai di
kedua sisi ujung mercu tersebut. Panjang mercu bendungan ditentukan
berdasarkan analisa design bendungan rencana pada peta topografi.
3.1.2.5. Kemiringan Lereng
Lereng hulu dan hilir tubuh bendungan biasanya didesain dengan
kemiringan antara 1V:1,3H sampai 1V:2,0H. Besar kemiringan lereng
tersebut, juga tergantung dari tipe dan lokasi lapisan membran yang akan
digunakan. Bendungan tipe urugan batu dengan inti kedap air di tengah baik
yang tegak maupun miring biasanya mempunyai kemiringan lereng sekitar
1V:2,0H sedangkan tubuh bendungan dengan membran tipis dihulu
biasanya mempunyai kemiringan antara 1V:1,3H sampai 1V:1,7H.
3.1.3. Saluran Pengarah Aliran
Saluran pengarah aliran bertujuan untuk senantiasa menjaga aliran air dalam kondisi
hidrolika yang baik dengan mengatur kecepatan aliran yang tidak melebihi 4 m/det
dengan lebar yang semakin mengecil di bagian hilir. Apabila kecepatan aliran
melebihi 4 m/det maka aliran akan bersifat helisoidal dan kapasitas alirannya akan
menurun. Disamping itu aliran helisoidal mengakibatkan meningkatnya beban
hidrodinamis pada bangunan pelimpah tersebut. Elevasi dasar saluran pengarah
dipengaruhi oleh bentuk topografi setempat dan elevasi ini berpengaruh pada tinggi
air yang melewati mercu spillway juga, oleh karena itu saluran pengarah perlu
direncanakan dengan hidrolika yang baik.
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
Gambar 3.3 Kedalaman Saluran Pengarah Aliran Terhadap Puncak Mercu
3.1.4. Saluran Pengatur Aliran
Saluran pengatur aliran ini berfungsi sebagai pengatur aliran yang melalaui bangunan
pelimpah. Saluran pengatur sendiri terbagi atas 2 bagian, yaitu bangunan pelimpah
dan saluran transisi.
3.1.4.1. Bangunan Pelimpah (Bendung)
Umunya bangunan pelimpah dapat direncanakan dengan berbagai macam
jenis baik itu mercu bulat 1 jari-jari, bulat 2 jari-jari ataupun Ogee. Untuk
bangunan pelimpah pada struktur bendungan umumnya digunakan jenis
Ogee, dengan detail bentuk sesuai dengan Lengkung Harrold untuk bagain
hilir. Rumus Lengkung Harrold adalh sebagai berikut:
𝑋1,85
𝑌=
2 ∗ 𝐻𝑑 0,85
Untuk bentuk bagian hulu direncanakan dengan bentuk yang ditunjukan
dalam Gambar 3.4 dengan rumus-rumus berikut:
r1
a
Dimana:
= 0.5 x Hd
= 0.175 x Hd
r2
b
= 0.2 x Hd
= 0.282 x Hd
X = Jarak horizontal
Y = Jarak vertical
Hd = Tinggi tekanan rencana
Gambar 3.4 Sketsa Mercu Bangunan Pelimpah (Mercu Bendung)
3.1.4.2. Saluran Transisi
Saluran transisi direncanakan untuk memastikan debit banjir rencana tidak
menimbulkan aliran balik saat debit banjir melalui saluran transisi dan pada
awal mula debit banjir memasuki saluran peluncur. Saluran transisi perlu
direncanakan sesimetris mungkin untuk menghindari aliran helikoidal. Pada
dasarnya belum diketahui cara terbaik untuk merencanakan bentuk saluran
transisi, namun umumnya untuk bangunan pelimpah kecil, saluran ini
dibuat dengan dinidng tegak yang menyempit ke hilir dengan sudut
penyempitan 12.5o terhadap sumbu saluran peluncur.
Gambar 3.5 Sketsa Saluran Transisi
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
Panjang saluran transisi dapat dihitung berdasarkan lebar saluran bagian
hulu dan lebar saluran bagian hilir dengan rumus berikut::
𝐿=
1/2(𝑏1 − 𝑏2)
tan 𝛼
Dimana :
b1 = Lebar ambang (m)
b2 = Lebar saluran peluncur (m)
L = Panjang saluran transisi (m)
α = Sudut penyempitan (≤ 12,5˚)
3.1.5. Saluran Peluncur
Saluran ini memiliki bagian lurus dan bagian berbentuk terompet pada bagian hilir
saluran. Saluran ini berfungsi untuk mengatur aliran air yang melimpah dari mercu
dapat mengalir dengan lancar tanpa hambatan-hambatan hidrolis. Dalam merencanan
saluran peluncur harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Agar air yang melimpah dari saluran mengalir dengan lancar tanpa hambatanhambatan hidrolis.
2. Agar konstruksi saluran peluncur cukup kukuh dan stabil dalam menampung
semua beban yang timbul.
3. Agar gaya konstruksi diusahakan seekonomis mungkin.
Bagian yang berbentuk terompet pada ujung saluran peluncur bertujuan agar aliran
dari saluran peluncur yang merupakan alira super kritis dan mempunyai kecepatan
tinggi, sedikit demi sedikit dapat dikurangi akibat melebarnya aliran dan aliran
tersebut menjadi semakin stabil.
Gambar 3.6 Bagian Berbentuk Terompet Pada Ujung Hilir Saluran Peluncur
3.1.6. Perencanaan Peredam Energi
Sebelum aliran air yang melewati saluran spillway dikembalikan ke sungai, perlu
dipastikan bahwa aliran tersebut dalam kondisi subkritis. Oleh karena umunya air
yang melalui saluran spillway bagian saluran peluncur berakhir pada keadaan air
aliran super kritis, maka bangunan peredam energy perlu dibuat untuk mengubah
aliran dari super kritis menjadi sub-kritis. Ada berbagai macam jenis bangunan
peredam energy, namun umumnya peredam energy jenis kolam olakan. Peredam
energy tipe kolam olakan terbagi atas 3 jenis, kolam olakan datar, miring ke hulu,
dan miring ke hilir, namun umumnya kolam olakan datarlah yang sering digunakan.
Kolam oalakan datar masih terbagi menjadi 4 tipe dengan penentuan penggunaan
tipe-tipe tersebut didasari oleh besaran Bilangan Froud dari aliran air yang memasuki
bangunan peredam energy.
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
3.1.6.1. Kolam Olakan Datar Tipe I
Peredaman pada kolam olak tipe ini dilakukan melalui benturan aliran air
terhadap permukaan dasar kolam.
Gambar 3.7 Sketsa Kolam Olak Datar Tipe I
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
3.1.6.2. Kolam Olakan Datar Tipe II
Kolam olak tipe ini cocok digunakan untuk aliran dengan Bilangan Froud
> 4.5 dengan kondisi debit aliran besar (> 45 m3/s/m) dan tekanan
hidrostatis yang tinggi (> 60 m).
Gambar 3.8 Sketsa Kolam Olak Datar Tipe II
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
3.1.6.3. Kolam Olakan Datar Tipe III
Kolam olak tipe ini digunakan untuk aliran dengan Bilangan Froud > 4.5
namun dengan intensitas debit dan kecepatan aliran yang lebih kecil dari
ketentuan yang ditentukan pada Tipe II, dimana besaran debit yang
dimaksud adalah < 18.5 m3/s/m dan kecepatan aliran 18.0 m/s.
Gambar 3.9 Sketsa Kolam Olak Datar Tipe III
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
3.1.6.4. Kolam Olakan Datar TIpe IV
Kolam olak tipe ini sngat cocok untuk aliran dengan Bilangan Froud
diantara 2.5 – 4.5, yang memiliki tekanan hidrostatis yang rendah dengan
debit aliran yang tinggi.
Gambar 3.10 Sketsa Kolam Olak Datar Tipe IV
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
3.1.7. Analisa Hidrolis Struktur Hidrolika
Analisa hidrolis struktur hidrolika yang dimaksud adalah analisis Bilangan Froud
pada setiap titik penting struktur hidrolika, yang meliputi:
1. Hilir Bangunan Pelimpah (titik B)
2. Batas Saluran Pengatur (Saluran Transisi) Dengan Saluran Peluncur (Titik C)
3. Batas Antara Saluran Peluncur Bagian Lurus Dengan Bagian Terompet (Titik D)
4. Batas Antara Saluran Peluncur Dengan Struktur Peredam Energi (Titik E)
Bilangan Froud (F) dapat dihitung dengan persamaan berikut:
𝐹 =
𝑣
√𝑔. ℎ𝑑
Dimana:
V
= Kecepatan aliran pada titik tinjauan (m/s)
g
= Gravitasi (9.81 m/s2)
hd
= Tinggi muka air pada titik tersebut (m)
(Sosrodarsono and Takeda, 2016)
Gambar 3.11 Potongan Memanjang Saluran Spillway
3.1.8. Tinggi Jagaan Bangunan Pelimpah dan BangunanPeredam Energi (Kolam Olak)
1. Tinggi Jagaan Bangunan Pelimpah
Tinggi jagaan bangunan pelimpah berupa dinding tegak yang terletak pada sisi
kanan dan kiri bangunan pelimpah. Tinggi jagaan pada bangunan pelimpah
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
𝐹𝑏 = 𝐶 𝑉 𝑑
1
atau
𝐹𝑏 = 0.6 + 0.037 𝑉 𝑑 3
Dimana:
Fb = Tinggi jagaan (m)
C = Koefisien (0.1 untuk saluran persegi dan 0.13 trapezium)
V = Kecepatan aliran (m/s)
d = Kedalaman air dalam saluran (m)
Perhitungan dengan rumus diatas menghasilkan nilai tinggi jagaan minimum
yang harus dimiliki oleh bangunan pelimpah, namun umumnya perencanaan
tinggi jagaan bangunan pelimpah dipengaruhi pula oleh elevasi puncak
bendungan utama. Walaupun menyesuaikan dengan tinggi puncak bendungan
utama, namun umumnya tinggi jagaan diambil minimal sebesar 2.0 m.
2. Tinggi Jagaan Bangunan Peredam (Kolam Olak)
Tinggi jagaan pada kolam olak (stilling basin freeboard) biasanya disediakan
pada dinding kolam olak supaya tidak terjadi limpasan (overtopping) yang
diakibatkan oleh lonjakan, percikan dan semprotan, dan ombak karena turbulensi
loncatan hidrolis. Tinggi jagaan kolam olak dihitung dengan rumus berikut:
𝐹𝑟 (𝑚) = 0.3(𝑣 + 𝑑2 )
Dimana:
Fr
= Tinggi jagaan (m)
V
= Kecepatan aliran pada kolam olak (m/s)
d2
= Kedalaman aliran pada hilir kolam olak (m)
(Soedibyo, 1993)
3.1.9. Bangunan Intake
Umunya pendimensian intake didasari oleh besarnya debit intake yang direncanakan
yang telah diperbesar (koreksi) oleh faktor keamanan. Selain itu perencanaan elevasi
dasar bangunan intake dipengaruhi oleh tinggi elevasi death storage bendungan.
Pendimensian bangunan intake dilakukan dengan rumus berikut:
Qn
= V x a x b = µ x a x b √2gz
Dimana:
Qn
= Debit rencana (m3/s)
V
= Kecepatan pengambilan = µ √2gz
μ
= Koefisien debit
= 0.8 (untuk pengambilan tenggelam)
a
= Tinggi bersih bukaan (m)
b
= Lebar pintu pengambilan (direncanakan = 2 m)
g
= Percepatan gravitasi (9.81 m/s2)
z
= Kehilangan energi pada bukaan.
(Soedibyo, 1993)
3.1.10. Saluran Pengelak dan Cofferdam
1. Perencanaan Saluran Pengelak
Saluran pengelak pada bendungan dapat direncanakan sebagai pipa conduit
(terletak dibawah tubuh bendungan) atau berupa diversion channel yang melewati
gunung/bukit pada sisi kanan atau kiri bendungan. Umumnya saluran pengelak
memiliki penampang bulat (berbentuk pipa). Pendimensian saluran pengelak
didasari oleh rumus berikut:
2/3
Q = 1/n x R
1/2
xI
x A = 1/n x
1
𝑥 𝜋 𝑥 𝐷2
4
𝜋𝑥𝐷
1
x I1/2 x 4 𝑥 𝜋 𝑥 𝐷2
Dimana:
Q = Debit aliran (m3/s)
n = Koefisien manning
R = Jari-jari hidrolis (m)
I = Kemiringan dasar saluran
A = Luas penampang (m2)
= ¼ п D2
(Hadihardjaja, 1997)
2. Perencanaan Cofferdam
Puncak dari Cofferdam dapat dilihat pada hasil penelusuran banjir dari output
simulasi HEC-HMS berupa Muka Air Banjir pada Cofferdam dengan
ditambahkan tinggi jagaan. Dapat dilihat pada rumus dibawah ini:
H = MAB (Q25) + hf
Dimana:
H
= Elevasi puncak bendungan pengelak
MAB (Q25)
= Muka Air Banjir didepan Cofferdam untuk Q25 tahun
hf
= Tinggi jagaan
Download