Uploaded by User67778

Klasifikasi Diagnosis Tatalaksana

advertisement
4. Klasifikasi
Hipertensi krisis dibagi menjadi dua jenis, hipertensi emergensi dan urgensi. Pembagian
ini berdasarkan adanya kerusakan organ target(Taylor, 2015). Hipertensi urgensi terjadi ketika
terjadi kenaikan tekanan darah yang parah dan akut tanpa disertai tanda dan gejala yang
mengindikasikan adanya kerusakan organ target. Sedangkan, pada hipertensi emergensi terjadi
ketika terjadi kenaikan tekanan darah secara parah, akut, dan mengancam nyawa serta disertai
tanda dan gejala yang mengarah pada terjadinya kerusakan organ target. Kedua jenis kondisi
tersebut sebenarnya sulit untuk dibedakan dan dikenali. Hipertensi urgensi yang tidak segera
ditangani, bisa mengantarkan pada semakin parahnya kondisi pasien dan menyebabkan terjadinya
hipertensi emergensi(Muiesan et al., 2015). Dibawah ini adalah beberapa perbedaan hipertensi
urgensi dan emergensi.
Tabel 1 Perbedaan Hipertensi Urgensi dan Emergensi(Muiesan et al., 2015)
5. Penegakan Diagnosis
Anamnesis lengkap harus dilakukan sebagai langkah awal dalam menggali riwayat dan
perjalanan penyakit pasien. Riwayat tentang keluhan sekarang, penyakit dahulu dan obat-obatan
yang dikonsumsi adalah hal utama yang perlu ditanyakan pada pasien(Taylor, 2015). Hal lain yang
juga penting dilakukan dalam menegakkan diagnosis hipertensi krisis tentunya dengan melihat
tekanan darah. Seseorang dikatakan mengalami hipertensi krisis ketikan mempunyai tekanan darah
sistolik ≥180mmHg dan/atau tekanan darah diastolic ≥110mmHg (Rodriguez, Kumar and De
Caro, 2010; Muiesan et al., 2015). Pengukuran tekanan darah sebaiknya menggunakan alat yang
sudah divalidasi dan dilakukan beberapa kali dan pada saat kondisi pasien tenang dan santai. Selain
itu, pengukuran yang dilakukan pada kedua lengan juga bisa dilakukan untuk lebih menguatkan
akurasi hasil pemeriksaan yang didapat (Taylor, 2015; Suneja and Sanders, 2017). Beberapa aspek
bisa dijadikan sebagai petunjuk untuk menentukan apakah kondisi hipertensi pada pasien
terkontrol dengan baik atau tidak. Untuk menemukan hal tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan
pada retina, jantung, EKG, dan ginjal(Suneja and Sanders, 2017). Tabel 2 menunjukkan beberapa
manifestasi klinis yang terjadi pada hipertensi yang tidak tenkontrol dengan baik. Selain itu
pemeriksaan fisik dan penunjang pada bagian tubuh lain, dari kepala hingga kaki, juga perlu
dilakukan sebagai upaya untuk menemukan tanda – tanda kerusakan organ target(Gambar 1).
Tabel 2 Aspek klinis yang bisa dijadikan petunjuk dalam mengindikasikan adanya hipertensi yang tidak terkontrol dengan
baik(Suneja and Sanders, 2017)
Gambar 1 Penilaian klinis untuk kerusakan organ akhir pada pasien dengan krisis hipertensi(Suneja and Sanders, 2017)
Algoritma dibawah ini dapat digunakan sebagai acuan dalam mendiagnosis dan
tatalaksana pada pasien hipertensi krisis.
Gambar 2 Algoritma penegakan diagnosis dan tatalaksana hipertensi krisis(Muiesan et al., 2015)
6. Tatalaksana
Tatalaksana pada krisis hipertensi dilakukan berdasarkan jenis yang diderita pasien.
Penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi urgensi tidak boleh dilakukan secara agresif.
Sebaliknya pada pasien hipertensi emergensi penurunan tekanan darah harus dilakukan secepatnya
agar tidak mengakibatkan kerusakan organ target lebih lanjut(Grech, 2015). Dibawah ini adalah
gambaran umum algoritma tatalaksana pada hipertensi krisis (Gambar 3).
Gambar 3 Algoritma tatalaksana hipertensi krisis (David, 2016)
a. Hipertensi Urgensi
Mayoritas penderita hipertensi krisis mengalami jenis hipertensi urgensi dan
biasanya merupakan manifestasi dari hipertensi esensial yang tidak terkontrol. Bukti
terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar pasien dengan hipertensi urgensi dapat
dikelola dengan rawat jalan tanpa menurunkan tekanan darah secara agresif(Ipek, Oktay
and Krim, 2017). Tujuan tatalaksana pada kasus hipertensi urgensi bukan untuk
menurunkan tekanan darah menjadi normal. Pasien mungkin diobservasi selama beberapa
jam dengan terapi medis yang mungkin termasuk restart atau titrasi obat rumahan /
sebelumnya. Pasien harus dipantau untuk tanda-tanda PTK dan perubahan status
mental(Taylor, 2015). Hipertensi urgensi dapat dikelola dengan regimen pengobatan oral
dan control tekanan darah bertahap selama 12, 24 hingga 48 jam. Penurunan tekanan darah
pasien tidak boleh dilakukan dengan cepat ke nilai normal. Target tekanan darah yang bisa
dicapai adalah hingga 160/100 mm Hg selama beberapa jam hingga beberapa hari dengan
dosis rendah obat antihipertensi oral kerja pendek. Beberapa jenis antihipertensi seperti
labetalol oral (α- dan β-adrenergic blocker) atau clonidine (α-2 agonis sentral) bisa
digunakan sebagai tatalaksana pada kasus ini. Kaptopril juga disarankan sebagai agen lini
pertama dalam pengobatan hipertensi urgensi, tetapi perlu digunakan dengan hati-hati.
Antihipertensi parenteral agresif dan dosis tinggi obat oral harus dihindari. Hal ini dapat
menyebabkan hipoperfusi arteri utama otak, jantung, dan ginjal, yang menyebabkan
iskemia serebral, infark serebral, iskemia miokard, dan kebutaan(Rodriguez, Kumar and
De Caro, 2010).
b. Hipertensi Emergensi
Penatalaksaan definitive pada hipertensi emergensi harus melibatkan pertimbangan
tentang penyebab sekunder, penurunan tekanan darah sebesar 25% pada 1 jam pertama,
kemudian penurunan tekanan darah hingga 160/110 mmHg jika kondisi pasien stabil
(Grech, 2015). Beberapa obat antihipertensi pada tabel 3 dibawah ini bisa digunakan
sebagai terapi pada pasien hipertensi emergensi.
Tabel 3 Obat antihipertensi yang dapat digunakan pada hipertensi emergensi(Ipek, Oktay and Krim, 2017)
Suneja and Sanders, 2017 merangkum tatalaksana hipertensi emergensi
berdasarkan kerusakan organ target pada tabel 4 dibawah ini
Tabel 4 Tatalaksana hipertensi emergensi berdasarkan kerusakan organ target (Suneja and Sanders, 2017)
Dafpus
David, S. S. (2016) Clinical pathways in emergency medicine, Clinical Pathways in Emergency
Medicine. doi: 10.1007/978-81-322-2713-7.
Grech, A. K. (2015) ‘Hypertensive crises – The acute take’, British Journal of Medical
Practitioners, 8(3).
Ipek, E., Oktay, A. A. and Krim, S. R. (2017) ‘Hypertensive crisis: An update on clinical
approach and management’, Current Opinion in Cardiology, 32(4), pp. 397–406. doi:
10.1097/HCO.0000000000000398.
Muiesan, M. L. et al. (2015) ‘An update on hypertensive emergencies and urgencies’, Journal of
Cardiovascular Medicine, 16(5), pp. 372–382. doi: 10.2459/JCM.0000000000000223.
Rodriguez, M. A., Kumar, S. K. and De Caro, M. (2010) ‘Hypertensive crisis’, Cardiology in
Review, 18(2), pp. 102–107. doi: 10.1097/CRD.0b013e3181c307b7.
Suneja, M. and Sanders, M. L. (2017) ‘Hypertensive Emergency’, Medical Clinics of North
America. Elsevier Inc, 101(3), pp. 465–478. doi: 10.1016/j.mcna.2016.12.007.
Taylor, D. A. (2015) ‘Hypertensive Crisis: A Review of Pathophysiology and Treatment’,
Critical Care Nursing Clinics of North America. Elsevier Inc, 27(4), pp. 439–447. doi:
10.1016/j.cnc.2015.08.003.
Download