9 9.1 Profesionalisasi Kependidikan Konsep Profesionalisasi Secara leksikal istilah profesi memiliki berbagai makna, Hornby (dalam Makmun, A.Syamsudin, 1996:47) menyatakan bahwa “profesi menunjukkan dan mengungkapkan suatu kepercayaan (to profess means to trust), bahkan suatu keyakinan ( to belief in) atas sesuatu kebenaran (ajaran agama) atau kredibilitas seseorang. Lebih lanjut Hornby pun menjelaskan bahwa profesi dapat menunjukkan dan mengungkapkan suatu pekerjaan atau urusan tertentu. Biasanya suatu profesi menuntut suatu pendidikan tinggi yang melipui pekerjaan mental bukan pekerjaan manual, seperti contoh mengajar, kedokteran, hukum dan lain sebagainya. Suatu profesi diatur oleh kode etika tertentu, hal ini bertujuan untuk menjamin agar tugas keprofesian tersebut terwujud sebagaimana mestinya dank e[entingan semua pihak yang terkait dalam suatu profesi tersebut terlindungi. Makmun, A. Syamsudin (1996:47) pun menegaskan bahwa suatu profesi adalah “suatu pekerjaan tertentu yang menuntut persyaratan khusus dan istimewa sehingga meyakinkan dan memperoleh kepercayaan pihak yang memerlukannya.” 9.1.2 Karakteristik Keprofesian Sebelum membahas lebih lanjut mengenai konsep profesionalisasi, penting untuk diketahui karakteristik dari sebuah profesi. Menurut Liberman (1956) berikut adalah beberapa karakteristik dari sebuah profesi, yaitu : a. A unique, definite, and essential service Profesi itu merupakan suatu jenis pelayanan atau pekerjaan yang unik (khas), dalam artian berbeda dari jenis pekerjaan atau pelayanan apapun yang lainnya. Disamping itu, profesi juga bersifat definitive dalam arti jelas batas-batas kawasan cakupan bidang garapannya (meskipun mungkin sampai batas kontigensinya dengan bidang lainnya). dan derajat tertentu ada Selanjutnya, profesi juga merupakan suatu pekerjaan atau pelayanan yang amat penting, dalam arti hal itu amat dibutuhkan oleh pihak penerima jasanya sementara pihaknya sendiri tidak memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan untuk melakukannya sendiri. b. An emphasis upon intellectual techniques in performing its service Pelayanan intelektual, itu amat penting menuntut kemampuan kinerja yang berlainan dengan keterampilan atau pekerjaan manual semata-mata. mempergunakan Benar, peralatan pelayanan profesi juga terkadang manual dalam praktek pelayanannya, seperti seorang dokter bedah misalnya menggunakan pisau operasi, namun proses penggunaanya dibimbing oleh suatu teori dan wawasan intelektual. c. A long period of specialized training Untuk memperoleh penguasaan dan kemampuan intelektual (wawasan atau visi dan kemampuan atau kompetensi serta kemahiran atau skills) serta sikap professional tersebut diatas itu, seseorang akan memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk mencapai kualifikasi keprofesian sempurna lazimnya tidak kurang dari lima tahun lamanya.; ditambah dengan pengalaman praktek terbimbing hingga tercapainya suatu tingkat kemandirian secara penuh dalam menjalankan profesinya. Pendidikan keprofesian termaksud lazimnya diselenggarakan pada jenjang pendidikan tinggi, dengan proses pemagangannya samapi batas waktu tertentu dalam bimbingan para seniornya. d. A broad range of autonomy for both the individual practitioners and the occupational group as a whole Kinerja pelayanan itu demikian cermatnya secara teknisnya sehingga kelompok (asosiasi) profesi yang bersangkutan sudah memberikan jamin bahwa anggotanya dipandang mampu untuk melakukan sendiri tugas pelayanan tersebut, apa seyogiyanya dilakukan dan bagaimana menjalankannya, siapa yang seyogiyanya memberikan izin Individu-individu dan dalam lisensi untuk kerangka melaksanakan kelompok kinerja asosiasinya itu. pada dasarnya relatif bebas dari pengawasan, dan secara langsung mereka menangani prakteknya. Dalam hal menjumpai sesuatu kasus yang berada di luar kemampuannya, mereka membuat rujukan (referral) kepada orang lain dipandang lebih berwenang, atau membawanya ke dalam suatu panel atau konferensi kasus (case conference). e. An acceptance by the practitioners of broad personal responsibility for judgments made and acts performed within the scope of professional autonomy Konsekuebsi dari otonomi yang dilimpahkan kepada seorang tenaga praktisiprofesional itu, maka berarti pula ia memikul tanggung jwab pribadinya harus secara penuh. Apapun yang terjadi , seperti dokter keliru melakukan diagnosis atau memberikan perlakuan terhadap pasiennya atau seorang guru yang keliru menangani permasalahan siswanya, dipertanggungjawabkannya, maka serta kesemuanya tidak selayaknya itu harus menudingkan atau melemparkan kekeliruannya kepada pihak lain. f. An emphasis upon the service to be rendered, rayher than the economic gain to the practitioners, as the basis for the organization and the performance of the socal service delegnated to the occupational group. Mengingat pelayanan professional itu merupakan hal yang amat esensial (dipandang dari pihak masyarakat yang memerlukannya) maka hendaknya kinerja pelayanan tersebut lebih mengutamakan kepentingan pelayanan pemenuhan kebutuhan tersebut, ketimbang untuk kepentingan perolehan imbalan ekonomis yang akan diterimanya. Hal itu bukan berarti pelayanan professional tidak boleh memperoleh imbalan yang selayaknya. Bahkan seandainya kondisi dan situasi menuntut atauu memanggilnya, seorang professional itu hendaknya bersedia memberikan pelayanan tanpa imbalan sekalipun. g. A comprehensive self-gouverning organization of practitioners Mengingat pelayanan itu sangat teknis sifatnya, maka masyarakat menyadari bahwa pelayanan semacam itu hanya mungkin dilakukan penanganan oleh mereka yang kompeten saja. Karena masyarakat awam diluar yang kompeten yang bersangkutan, maka kelompok (asosiasi) para praktisi itu sendiri satu-satunya institusi yang seyogiyanya menjalankan peranan yang ekstra, dalam arti menjadi polisis atau dirinya sendiri, ialah mengadakan pengendalian atas anggotanya mulai saat penerimaanya dan memberikan sanksinya bilamana diperlukan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran terhadap kode etiknya. h. A code of ethics which has been clarified and interpreted at ambiguous and doubtful points by concrete cases. Otonomi yang dinikmati dan dimiliki oleh organisasi profesi dengan para anggotanya seyogiyanya disertai kesadaran dan I;tikad yang tulus baik pada organisasi maupun pada individual anggotanya untuk memonitor perilakunya sendiri. Mengingat organisasi dan sekaligus juga anggotanya harus menjadi polisi atas dirinya sendiri maka hendaknya mereka bertindak sesuai dengan kewajiban dan tuntunan moralnya baik terhadap klien maupun masyrakatnya. Atas dasar itu, adanya suatu perangkat kode etika yang telah disepakati bersama oleh yang bersangkutan seyogiyanya membimbing hatinuraninya dan memberikan pedoman atas segala tingkah lakunya. Kemudian Makmun A. Syamsudin (1996:51) menambahkan bahwa secara pokok suatu pekerjaan dapat dipandang sebagai sebuah profesi apabila telah memadai hal-hal sebagai berikut : a. Memiliki cakupan ranah kawasan pekerjaan atau pelayanan khas, definitif dan sangat penting dan dibutuhkan masyarakat b. Para pengemban tugas pekerjaan atau pelayanan tersebut telah memiliki wawasan, pemahaman dan penguasaan pengetahuan serta perangkat teoritis yang relevan secara luas dan emndalam; menguasai perangkat kemahiran teknis kinerja pelayanan memadai persyaratan standarnya; memiliki sikap profesi dan semangat pengabdian yang positif dan tinggi; serta kepribadian yang mantap dan mandiri dalam menunaikan tugas yang diembannya dengan selalu mepedomani dan mengindahkan kode etika yang digariskan institusi (organisasi) profesinya c. Memiliki sistem pendidikan yang mantap dan mapan berdasarkan ketentuan prasyarat standarnya bagi penyiapan (pre service) maupun pengembangan (inservice, continuing, development) tenaga pengemban tuga pekerjaan professional yang bersangkutan; yang lazimnya diselenggarakan pada jenjang pendidikan tinggi berikut lembaga lain dan organisasi profesi yang bersangkutan d. Memiliki perangkat kode etika professional yang telah disepakati dan selalu dipatuhi serta dipedomani para anggota pengemban tugas pekerjaan atau pelayanan professional yang bersangkutan. Kode etika professional dikembangkan, ditetapkan dan diberdayakan keefektivannya oleh organisasi professi yang bersangkutan e. Memiliki organisasi mengembangkan profesi kemampuan yang menghimpun, professional serta membina dan memajukan kesejahteraan anggotanya dengan senantiasa mengindahkan kode etikanya dan ketentuan organisasinya. f. Memiliki jurnal dan sarana publikasi professional lainnya yang menyajikan berbagai karya penelitian dan kegiatan ilmiah sebagai media pembinaan dan pengembangan para anggota nya serta pengabdian kepada masyarakat dan khazanah ilmu pengetahuan yang menopang profesinya. g. Memperoleh pengakuan dan penghargaan yang selayaknya baik secara rasional (dari masyarakat) dan secara legal (dari pemerintah yang bersangkutan atas keberadaan dan kemanfaatan profesi termaksud. 9.1.3 Profesionalisasi Setelah dibahas sebelumnya, profesional adalah kata benda dari profesi, merupakan lawan kata dari amateur yang berkaitan dengan seseorang yang menerima bayaran atas jasa pekerjaannya. Pengertian lain adalah seseorang yang mempraktekkan suatu profesi dan seseorang yang dipandang sebagai ahli dalam suatu cabang ilmu (one who is regarded an expert since he has mastery of a specific branch of learning). Jadi seseorang yang mempraktekkan suatu pekerjaan yang diterima sebagai status profesional, maka ia adalah seorang yang ahli dari cabang ilmu yang digelutinya, dengan demikian lembaga profesional yang bersangkutanmempunyai kewajiban untuk mengawasinya. Seorang yang profesional akan senantiasa terus-menerus mencari kesempurnaan (mastery) dari cabang ilmu yang ia kuasai dan melakukan pekerjaan dengan itu, sehingga ia akan lebih sempurna dalam memberikan pelayanan kepada publiknya. Oleh karena itu, seseorang yang menjadi profesional atau ahli seharusnya ia terus menerus meningkatkan mutu pengetahuannya sesuai dengan bidang pekerjaan yang ia geluti, ini sesuai dengan pendapat Peter Jarvis (1983 : 27) “In order to be master of branch of learning it is essential for a practitioner to continue his learning after initial education and some professions have institutionalized education”.Selanjutnya Jarvis menegaskan bahwa seorang profesional adalah yang berikhtiar untuk menjadi ahli serta melaksanakan ilmu pengetahuannya dalam pekerjaannya secara efektif (one who endeavor to have mastery of and to apply effectively that knowledge upon which his occupations is based). Sedangkan profesionalisasi mengacu pada proses peningkatan kualifikasi maupun kemampuan para anggota profesi dalam mencapai kriteria yangg standar dalam penampilannya sebagai suatu profesi. Untuk menjadi profesional harus melalui pendidikan dan atau latihan yang khusus. Pendidikan profesional adalah suatu pendidikan yang mempersiapkan peserta didik dengan panggilan atau pekerjaan profesional. Profesionalisasi berasal dari kata professionalization yang berarti kemampuan profesional. Dedi Supriadi (1998) mengartikan profesionalisasi sebagai pendidikan prajabatan dan atau dalam jabatan. Proses pendidikan dan latihan ini biasanya lama dan intensif. Menurut Eric Hoyle (1980) konsep profesionalisasi mencakup dua dimensi yaitu : “…..the improvement of status and the improvement of practice”. Pendapat ini mengemukakan bahwa dimensi yang pertama meliputi upaya yang terorganisir untuk memenuhi kriteria profesi yang ideal dan bila telah mencapai tingkatan profesi yang sudah mapan, maka upaya tersebut adalah mempertahankan serta membina posisi yang telah mapan itu. Profesionalisasi dalam dimensi ini mengandung implikasi untuk meningkatkan periode latihan bagi anggota profesi yang memiliki kualitas sehingga terlihat jelas batas yang berprofesi dan berhak melaksanakan profesinya secara resmi dengan tidak, selanjutnya mempunyai implikasi dalam meningkatkan kontrol terhadap aktivitas-aktivitas profesi dan kontrol atas latihan yang dilakukan anggota profesi. Dimensi kedua menurut Hoyle adalah penyempurnaan pelaksanaan (improvement of practice), meliputi penyempurnaan keterampilan secara terus menerus, serta pengetahuan profesionalisasi dapat dari pelaksanaannya. Karena itu konsep disamakan dengan pembinaan profesi (professional development). 9.2 Akuntabilitas Pendidikan Kualitas dari pendidikan suatu bangsa menentukan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa tujuan utama pendidikan adalah memberi kemampuan pada manusia untuk hidup di masyarakat. Kemampuan ini berupa pengetahuan dan/atau keterampilan, serta perilaku yang diterima masyarakat. Kemampuaan seseorang akan dapat berkembang secara optimal apabila memperoleh pengalaman belajar yang tepat. Untuk itu sebagai tenaga pendidik harus memberi pengalaman belajar yang sesuai dengan potensi dan minat peserta didik dengan beragam keunikannya. Dalam menciptakan kebermaknaan suatu pendidikan, lembaga pendidikan dapat dipandang sebagai lembaga sosial dan sekaligus sebagai lembaga ekonomi. Hal ini dilihat dari hasil pendidikan yang memiliki dampak sosial dan ekonomi kepada masyarakat. Dampak ekonomi dapat dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dampak sosial dapat dilihat pada kehidupan bermasyarakat yang tenteram, aman, dan sentosa. Etika moral dan akhlak mulia masyarakat dapat dibangun melalui pendidikan, untuk memberi ketenteraman kepada masyarakat. Kesejahteraan masyarakat tidak hanya bersifat material tetapi juga sosial. Oleh karena itu semua bangsa berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menciptakan pembelajaran yang efektif, efesien, menyenangkan, mencerdaskan, dan profesional yang berujung pada tingkat akuntabilitas pembelajaran yang tinggi. Suatu lembaga pendidikan dituntut memiliki akuntabilitas baik kepada masyrakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitmen terhadap standar keberhasilan dan harapan masyarakat. Pertanggungjawaban lembaga atas penyelenggaraan pendidkannya bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana dari masyrakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukkan dalam rangka menyajikan meningkatnkan sekolah harus kualitas pendidikan memberikan laporan dan jika mungkin pertanggungjawaban untuk dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat dan pemerintah, serta melaksanakan kajian ulang secara komphrenif terhadap [pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu. Sejalan dengan tuntutan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan yang bertumpu pada pola pembelajaran yang penuh makna. Mutu pendidikan itu bersifat dinamis. Saat ini bermutu namun saat mendatang mungkin sudah kurang atau tidak bermutu sama sekali/ketinggalan jaman. Oleh karena itu peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Dengan upaya itu diharapkan tata kelola pembelajaran, wujud penilaian pembelajaran yang dikembangkan oleh guru dan pemahaman guru akan beberapa hambatan dalam proses pembelajaran menjadi bagian dari akuntabilitas yang dituntut oleh masyarakat. 9.3 Etika dan Profesi Pendidikan Istilah etika berasal dari kata Ethos (Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakan tindakan-tindakan yang telah dikerjakan itu salah atau benar, baik atau buruk. Jika dikaitkan dengan sebuah profesi, sebuah profesi dapat dipercaya masyarakat jika di dalam profesi tersebut memiliki kesadaran untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyrakat yang memerlukannya. Tanpa suatu etika profesi nilai jasa yang diberikan menjadi boomerang terhadap kualitas pekerjaanya. Secara umum, etika dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu : 1. Etika Umum : kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, mengambil keputusan dasar yang secara etis, menjadi teori-teori pegangan etika bagi dan manusia prinsip-prinsip dalam moral bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik dan buruknya suatu tindakan. 2. Etika Khusus : Prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus, etika khusus ini dibagi ke dalam dua bagian yaitu etika individual dan etika sosial seperti etika keluarga, etika profesi, etika politik dan sebagainya Sedangkan jika dilihat dari sudut baik dan buruknya etika juga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : 1. Etika Deskriptif : Memandang dari sudur kritis dan rasional tentang sikap dan prilaku manusia, dan apa yang dikejar manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. 2. Etika Normatif : Menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Adapun yang dimaksud dengan kode etik adalah suatu sistem peraturan atau perangkat prinsip-prinsip keprilakuan yang telah diterima oleh kelompok kelompok yang tergabung dalam himpunan organisasi keprofesian tertentu. 9.3.1 Maksud, Tujuan dan Fungsi Kode Etik Makmun.A.Syamsudin (1996:89) memaparkan maksud, tujuan dan fungsi dari kode etik keprofesian adalah 1. Untuk menjamin agar tugas pekerjaan keprofesian itu terwujud sebagaimana sebagaimana mestinya layaknya. dan kepentingan semua pihak Pihak penerima layanan terlindungi keprofesian diharapkan dapat terjamin haknya untuk memperoleh jasa pelayanan yang berkualitas sesuai dengan kewajiban untuk memberikan imbalan, baik yang bersifat financial, maupun secara sosial, moral, cultural dan lainnya. Pihak pengemban tugas pelayanan keprofesian juga diharapkan terjamin martabat, wibawa dan kredibilitas pribadi dan keprofesiannya serta hak atas imbalan yang layak sesuai dengan kewajiban jasa pelayanannya. 2. Bagi para pengemban tugas profesi akan menjadi pegangan dalam bertindak serta acuan dasar dalam seluk beluk keprilakuannya dalam rangka memelihara dan menjungjung tinggi martabat dan wibawa serta kredibilitas demikian pula, visi, misi, fungsi bidang profesinya. Dengan maka kode etik juga dapat merupakan acuan normative, dan juga operasional. Bagi para pemakai jasa layanan professional, kode etik juga merupakan landasan jika dipandang perlu mengajukan tuntutan kepada pihak yang berwenang dalam hal terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan dari pengemban profesi yang bersangkutan. Sedangkan bagi para Pembina dan penegak kode etik khususnya dan penegak hukum umumnya, perangkat kode etik termaksud dapat merupakan landasan bertindak sesuai dengan keperluannya, termasuk pemberlakuan sanksi keprofesian bagi pihakpihak yang terkait 9.3.2 Kandungan dan Rumusan Kode Etik Keprofesian Lebih lanjut Makmun memaparkan mengenai hal-hal yang terkandung dalam kode etik keprofesian adalah sebagai berikut : 1. Tanggung jwab, kewenangan ( kompetensi), standar moral hukun, standar unjuk kerja termasuk tehnik dan instrument yang digunakan atau dilibatkannya, konfidensialitas, hubungan kerja dan sejawat (professional). kewajiban termasuk Perlindungan pengembangan penelitian, serta keamanan diri dan publisitas dan kesejahteraan kemampuan klien, professional keprofesiannya kepada masyarakat 2. Format rumusan kode etik bervariasi, ada yang dalam bentuk model legal statement dengan bab dan pasal-pasalnya, serta adapula yang dalam bentuk rumusan naratif Berikut ini merupakan contoh dari kode etik dan ikrar Guru Indonesia : Kode Etik Guru Indonesia : Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, guru Indonesia, terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar ebagai berikut : 1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila 2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional. 3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan 4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar 5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan 6. Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya. 7. Guru mrmrlihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetia kawanan sosial 8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian 9. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan Ikrar Guru Indonesia 1. Kami Guru Indonesia, adalah insane pendidik Bangsa yang beriman dan takwa kepada Tuhan YangMaha Esa 2. Kami Guru Indonesia, adalah Pengemban dan pelaksana cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pembela dan pengamal Pancasila yang setia pada UUD 1945 3. Kami Guru Indonesia, bertekad bulad mewujudkan tujuan Nasional dalam mencerdaskan kehidupan Bangsa 4. Kami Guru Indonesia, bersatu dalam wadah organisasi perjuangan Persatuan Guru Republik Indonesia, membina persatuan Bangsa yang berwatak kekeluargaan 5. Kami Guru Indonesia, menjungjung tinggi Kode Etik Guru Indonesua sebagai pedoman tingkah laku profesi dalam pengabdian terhadap Bangsa, Negara, serta Kemanusiaan Sumber : AD/ART PGRI (1994) 9.3.3 Penetapan Kode Etik Menurut Makmun, A. Syamsuddin (1996:94) menyatakan bahwa ada ketentuan-ketentuan dalam penetapan dan penegakkan Kode Etik. Antara Lain adalah sebagai berikut : 1. Kode etik pada lazimnya disusun dan disahkan serta ditetapkan oleh organisasi asosiasi profesi yang bersangkutan, melalui suatu forum formalnya (kongres atau konferensi) yang telah diatur dalam AD/ART-nya 2. Pada organisasi asosiasi profesional yang telah mapan biasanya terdapat suatu Dewan atau Majlis Kode Etik yang mempunyai tugas untuk bertindak sebagai penegaknya (law enforcement) sehingga kode etik tersebut berlaku secara efektif dengan kekuatan hukumnya. Sayang sekali, hingga dewasa ini di lingkungan organisasi asosiasi bidang kependidikan kelengkapan seperti ini masih belum kita temukan Sumber Referensi : Makmun. A. Syamsuddin. (1996). Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga Kependidikan. Tidak Diterbitkan Sutisna, O. (1983). Administarsi Pendidikan Dasar Teoritis Untuk Praktek Profesioanal.Angkasa : Bandung