Peranan Sastra dalam Dunia Pendidikan dan Masyarakat Nama : Chintiya Ardyani Susanto | Nim : 5404419007 | Rombel : 119 PENDAHULUAN A. Isi Pembelajaran sastra sejak dulu sampai sekarang selalu menjadi permasalahan. Tentu saja permasalahan yang bersifat klasik tetapi hangat atau up to date. Umumnya yang selalu dikambinghitamkan adalah guru yang tidak menguasai sastra, murid-murid yang tidak apresiatif dan buku-buku penunjang yang tidak tersedia di sekolah. Padahal, pembelajaran sastra tidak perlu dipermasalahkan jika seorang guru memiliki strategi atau kiat-kiat. Karya sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia pendidikan dan pengajaran. Sebab itu sangat keliru bila dunia pendidikan selalu menganggap bidang eksakta lebih utama, lebih penting dibandingkan dengan ilmu sosial atau ilmu-ilmu humaniora. Masyarakat memandang bahwa karya sastra hanyalah khayalan pengarang yang penuh kebohongan sehingga timbul klasifikasi dan diskriminasi. Padahal karya sastra memiliki pesona tersendiri bila kita mau membacanya. Karya sastra dapat membukakan mata pembaca untuk mengetahui realitas sosial, politik dan budaya dalam bingkai moral dan estetika. Pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia. Maksudnya, pendidikan menjadi sarana untuk memberdayakan manusia menjadi individu yang cerdas. Dengan pendidikan, manusia diharapkan mampu menjadi tonggak kokohnya peradaban suatu bangsa. Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita setiap negara di dunia. Maju atau tidaknya suatu negara salah satunya dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Di Indonesia, pendidikan telah diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, seiring dengan perkembangan di dunia globalisasi, pendidikan di Indonesia justru menemui berbagai permasalahan. Para pendidik bahkan instansi pendidikan kerap kali memaksakan kehendaknya kepada siswa. Siswa pun tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan minat dan bakat mereka. Selain itu, sebagaian besar masyarakat masih menganggap bahwa ilmu-ilmu eksak lebih penting. Jurusan seperti teknik dan kedokteran pun menjadi favorit bagi para calon mahasiswa maupun orang tua. Akibatnya, muncul stereotip bahwa pendidikan di luar eksak, seperti sastra menjadi tidak penting dan dipandang sebelah mata. Pada akhirnya, terjadi ketidakseimbangan antara belajar kognitif (berpikir, -red) dengan perilaku belajar afektif (penerapan, -red). Para siswa lebih mengutamakan belajar dan menghafal dibandingkan mengamati lingkungan sekitarnya. Pendidikan hanya menciptakan manusia siap pakai. Manusia dipandangan sebagai bahan atau komponen pendukung insdutri. Sedangkan, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dibutuhkan pasar. Pembelajaran sastra di Indonesia sejak dulu hingga sekarang selalu mejadi permasalahan. Kurangnya guru yang menguasai bidang sastra, peserta didik yang kurang antusias serta buku-buku penunjang merupakan beberapa faktor mengapa sastra sering dianak-tirikan. Sebagian masyarakat punmasih memandang bahwa sastra hanyalah karangan bohong belaka dari si pengarang sehingga timbul lah diskriminasi. Namun pada kenyataannya, sastra dapat digunakan untuk mengembangkan wawasan berpikir bangsa. Karya sastra mampu membukakan mata pembaca untuk mengetahui realitas sosial, politik, dan budaya. Selain itu, melalui sastra, masyarakat dapat menyadari masalah-masalah penting di dalam diri mereka dan menyadari bahwa mereka sendirilah yang bertanggung jawab terhadap masalah tersebut. Sastra tidak pernah pudar apalagi mati. Sebab, sastra mampu mengajak masyarakat untuk berpikir kritis dan peka dengan lingkungan sekitar. Sastra tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Relita-realita yang ada di dalam masyarakat kemudian dituangkan dalam beberapa karya seperti cerita, puisi maupun bentuk karya sastra lainnya. Adanya karya sastra inilah yang mendorong munculnya kepedulian, keterbukaan, dan pertisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa. Pendidikan sastra tentu akan memegang peranan penting dalam mengolah pola pikir masyarakat. Namun, pendidikan sastra tidak pernah dijadikan acuan dalam penyelesaian masalah. Padahal, sastra adalah ilmu yang menarik. Sastra mampu membukakan mata pembaca mengenai realita sosial, politik, dan budaya yang ada di masyarakat. Selain itu, sastra menyimpan pesan moral atau amanat dari sang penulis. Sastra juga dapat menjadi tonggak perubahan di masyarakat. Sebagai contoh adalah karya François Rabelais yang berjudul Gargantua (1534). Kritikan Rabelais dituangkan dalam kehidupan sang tokoh utama, yaitu seorang anak raksasa bernama Gargantua. Ia mengkritik sistem pendidikan di Perancis yang tidak sesuai dengan prinsip humanisme. Singkat cerita, Gargantua menghafal alfabet ketika berusia 5 tahun 3 bulan. Kemudian, ia pun menghafal perbendaharaan kata (vocabulaire, -red) pada usia 13 tahun 6 bulan dan 2 minggu, lalu dilanjutkan tatabahasa Latin pada usia 18 tahun 11 bulan. Rabelais mengungkapkan kecacatan sistem pendidikan yang semata-mata hanya dari buku, tanpa ada hubungannya dengan realita dan alam. Akibat dari kecacatan sistem pendidikan itu lah, Gargantua menjadi sinting, konyol bahkan suka bengong. Ayahnya, Grandgousier, pun marah besar dan memutuskan untuk mengirim anaknya ke Paris. Di bawah bimbingan Ponocrates (= rajin), Gargantua dididik menjadi seorang humanis. Selain belajar melalui media buku, ia juga banyak belajar dari pengalaman sehari-harinya. Karya sastra yang ditulis oleh Rabelais ini berfungsi sebagai sarana kritik sosial di mana sang penulis menginginkan adanya perubahan di bidang pendidikan. Adanya sensor bukanlah penghalang untuk berpendapat melalui karya sastra. Rabelais pun menggunakan analogi anak raksasa yang sebenarnya merupakan representasi dari para pelajar di Perancis pada masa itu. Maka, jelaslah karya sastra mempunyai relevansi tinggi dengan masalah-masalah di dunia pendidikan. Melalui karya sastra, seorang penulis dapat menyampaikan gagasannya. Ketika gagasan itu disebarluaskan melalui karya, masyarakat mulai berpikir akan adanya perubahan. Terbukti beberapa beberapa puluh tahun kemudian, pemerintah Perancis mulai membenahi sistem pendidikan yang “kolot” tersebut. Selain sebagai media efektif untuk penyampaian gagasan si penulis, sastra juga dapat menjadi media edukasi bagi para siswa. Dalam memahami suatu karya sastra, siswa akan ditantang untuk berpikir kritis. Siswa juga dapat memahami budaya masyarakat yang menjadi latar dalam teks sastra yang sedang dipelajarinya. Saran dan Kesimpulan Jadi, sesungguhnya banyak sekali manfaat yang bisa diambil ketika mempelajari suatu karya sastra. Selain memanusiakan manusia, sastra juga mampu memperkenalkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, melatih kecerdasan emosional serta mempertajam penalaran seseorang. Dengan mempelajari sastra, seorang siswa akan dilatih kepekaannya. Sehingga ilmu yang dipelajarinya dapat diaplikasikan secara langsung dalam mengatasi permasalahan di masyarakat. “Sebab, sastra dapat memperhalus jiwa, menumbuhkan cinta kasih kepada sesama dan kepada Sang Pencipta serta dapat memotivasi pembacanya dalam menjalani kehidupan.” Daftar Pustaka Jaririndu.blogspot, “Peranan Sastra Dalam Kehidupan Bangsa” [internet]. Peranan Sastra Dalam Kehidupan Bangsa, Juli 2011, 19:10 [diakses 10 November 2019]. Tersedia dari https://jaririndu.blogspot.com/2011/07/peranan-sastra-dalam-dunia-pendidikan.html Buahpena, “Peranan Sastra Dalam Kehidupan Bangsa” [internet]. Mengulik Peranan Sastra Dalam Pendidikan, 16 November 2015, http://buahpena.fib.ugm.ac.id/?p=351 19:20 [diakses 10 November 2019]. Tersedia dari